286 Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4), 2009: 286-291 N. Sutrisno et al. PERSPEKTIF DAN URGENSI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERTANIAN YANG TEPAT1) N. Sutrisno, P. Setyanto, dan U. Kurnia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 PENDAHULUAN Revolusi hijau merupakan awal dari munculnya gangguan terhadap keseimbangan lingkungan pertanian akibat penggunaan bahan agrokimia yang tinggi untuk meningkatkan produksi pertanian. Revolusi hijau yang terjadi pada tahun 1500-1800 merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan, seperti gandum, padi, jagung, dan kentang yang meningkat tajam akibat penduduk yang bertambah dengan cepat. Proses ini berlangsung terus-menerus di Eropa dan Amerika Utara pada tahun 1850-1950. Pada saat itu, produksi pangan dari tanaman maupun hewan dipacu dengan menggunakan pupuk secara besar-besaran dan ditunjang dengan pengembangan irigasi. Demikian pula penggunaan bahan kimia seperti pestisida dan herbisida mulai dirasakan mencemari lingkungan. Kualitas lingkungan pertanian juga makin menurun akibat pencemaran limbah industri dan pertambangan, khususnya unsur logam bahan beracun berbahaya (B3), seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), krom (Cr), arsen (As), nikel (Ni), dan kobalt (Co). Unsur logam B3 yang 1) Naskah disampaikan pada Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bulan Juli 2008. terlarut dalam limbah selanjutnya mengalir ke lahan pertanian dan akan terakumulasi dan terendapkan dalam daerah perakaran tanaman dan terbawa panen. Revolusi industri juga mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) karena pemakaian batu bara sebagai bahan bakar. Pengembangan industri yang menggunakan mesin berbahan bakar fosil akan memacu peningkatan suhu permukaan bumi. Konsentrasi CO2 meningkat dua kali dibanding era sebelum revolusi industri sehingga meningkatkan suhu permukaan bumi. Secara teoritis, gas rumah kaca (GRK) di atmosfir bumi sangat penting karena gas tersebut membuat iklim bumi menjadi hangat dan stabil. Tanpa GRK di atmosfir, suhu permukaan bumi diperkirakan mencapai -18oC. Namun, konsentrasi GRK yang berlebihan di atmosfir berdampak buruk, karena panas yang dipantulkan kembali ke muka bumi akan lebih banyak sehingga suhu bumi makin panas. Karbon dioksida adalah salah satu GRK yang konsentrasinya di atmosfir mendapat prioritas untuk diturunkan. Ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO2 di atmosfir hanya 290 ppmv (part per million volume), dan saat ini konsentrasinya meningkat menjadi 375 ppmv. Peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh tidak seimbangnya antara besarnya sumber emisi Perspektif dan urgensi pengelolaan lingkungan pertanian ... (source) dan daya rosotnya (sink). Pesatnya perkembangan industri, tingginya pemakaian bahan bakar fosil, dan penggundulan hutan alam menyebabkan daya tambat CO2 jauh lebih rendah dibanding pelepasannya dari sumber emisi. Isu lingkungan pertanian dan penurunan produktivitas lahan mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Pengelolaan lingkungan pertanian merupakan suatu keharusan karena kerusakan dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Pelaksanaannya dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Dalam RPJM disebutkan bahwa meningkatnya pencemaran tanah, air dan udara, serta rendahnya produktivitas lahan dan mutu komoditas pertanian disebabkan oleh adanya kegiatan industri, rumah tangga, pertambangan, dan pertanian. Antisipasi dan penanggulangannya dikemukakan secara jelas dalam Revitalisasi Pertanian, bahwa peningkatan iptek pertanian dan pengembangan riset pertanian dilakukan melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang tepat, spesifik lokasi, dan ramah lingkungan. ANALISIS PERMASALAHAN Isu lingkungan mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah karena kerusakan lingkungan yang makin mengkhawatirkan. Banyak masalah lingkungan, khususnya lingkungan pertanian, yang saat ini menjadi masalah nasional diangkat menjadi masalah internasional. Gas Rumah Kaca Isu lingkungan pertanian yang menjadi masalah dunia adalah emisi GRK dari lahan 287 pertanian karena ditengarai berkontribusi terhadap pemanasan global. Pelangi Energi Abadi Citra Enviro/PEACE melaporkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai penghasil emisi GRK dari kegiatan penggundulan hutan, degradasi lahan gambut, dan kebakaran hutan. Total emisi GRK dari penggundulan hutan dan kebakaran hutan adalah lima kali lipat emisi dari sektor non-kehutanan. Emisi GRK dari sektor kehutanan, khususnya penggundulan hutan, menyumbang 83% dari emisi tahunan GRK Indonesia. Emisi GRK dari kegiatan pertanian dan sampah sangat kecil dan tidak signifikan secara global. Emisi GRK dari kegiatan pertanian sebagian besar (70%) berasal dari produksi padi, terutama gas metana (CH 4) dan nitrogen dioksida (N2O). Emisi GRK tersebut akan berdampak terhadap peningkatan suhu global, yang selanjutnya terhadap perubahan iklim yang akan berdampak buruk bagi sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan. GRK yang perlu mendapat perhatian adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH 4), nitro-oksida (N 2 O), O3 , kloroflurokarbon (CFC), hidrokloroflurokarbon (HCFC), hidroflurokarbon (HFC), perflurokarbon (PFC), dan sulfur heksaflorida (SF6). Dalam tulisan ini hanya dibahas gas CO2, CH4 dan N2O karena memiliki sifat seperti rumah kaca, yaitu meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga meningkatkan suhu di atmosfir bumi. Gambar 1 memperlihatkan perbandingan dan hubungan antara gas CO2, CH4 dan N2O dengan kenaikan suhu. Sekitar 57% GRK berasal dari pembangkit atau produksi energi dan konsumsi energi, yaitu pembakaran bahan bakar fosil (BBF) 288 N. Sutrisno et al. Kenaikan suhu (oC) 1,6 1,2 0,8 0,4 0 CO2 CCFC CH4 O3 Gas rumah kaca N2O Gambar 1. Sumbangan gas rumah kaca (GRK) terhadap pemanasan global (UNEP, 1987). seperti minyak bumi, gas, dan batu bara dalam pembangkit tenaga listrik untuk keperluan rumah tangga, industri, dan transportasi. Metana (CH4) terbentuk dari metabolisme jasad renik dalam kondisi tergenang (anaerob) di dasar rawa, sawah, lambung manusia atau hewan, dan dalam tumpukan sampah di TPA. Gas metana juga dihasilkan dari pembakaran biomassa/ bahan organik dan terdapat dalam tambang batu bara. Produksi metana dipengaruhi oleh suhu, sehingga dalam isu pemanasan global, peningkatan suhu akan memperbesar produksi metana. Sumber metana umumnya adalah antropogenik, yaitu hasil kegiatan manusia di bidang pertanian, peternakan, dan pembakaran biomassa, berturut-turut memberikan sumbangan 21%, 15%, dan 8% emisi dunia. Emisi metana dari lahan pertanian umumnya berasal dari sawah. Karbon dioksida sangat diperlukan tanaman untuk keperluan fotosintesis guna penyusunan karbohidrat. Namun dalam kondisi berlebihan, CO2 ikut berperan dalam peningkatan efek rumah kaca. Menurut perhitungan, CO2 mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemanasan global dibandingkan dengan GRK lainnya. Sekitar 50% pemanasan global disebabkan oleh CO2 dan sisanya oleh GRK yang lain. Emisi CO2 terbesar berasal dari penebangan dan pembakaran hutan, terutama dari negara-negara sedang berkembang di sekitar katulistiwa. Sebagian dari CO2 akibat penggundulan hutan diikat oleh vegetasi hutan yang tumbuh kembali atau dari hutan yang masih tersisa. Selebihnya, CO2 diemisikan ke atmosfir dan berkontribusi terhadap pemanasan global. Nitro oksida (N2O) berasal dari pembakaran biomassa, kegiatan mikroba dalam proses denitrifikasi dan nitrifikasi, konsumsi bahan bakar fosil, dan dari lautan. Proses denitrifikasi dan nitrifikasi berkaitan erat dengan penggunaan pupuk, baik pupuk organik maupun anorganik terutama nitrogen. Makin banyak pupuk yang digunakan, khususnya pupuk anorganik, makin besar pula emisi N2O. Jenis tanah, kondisi tanah, suhu, curah hujan, dan jenis tanaman akan berpengaruh terhadap laju emisi N2O. Residu Pestisida Penggunaan pestisida yang berlebihan atau penanganan hama dan penyakit yang Perspektif dan urgensi pengelolaan lingkungan pertanian ... kurang tepat akan berpotensi mencemari lingkungan, seperti penggunaan pestisida yang residunya dapat menimbulkan endocrine disrupting activities (EDs) atau gangguan pada sistem endokrin (hormon reproduksi) pada manusia. Dilaporkan bahwa 17 jenis pestisida yang beredar di Indonesia dan digunakan petani ditengarai dapat menimbulkan EDs, yaitu 2,4 D, alaklor, benomil, karbaril, sipermetrin, dikofol, endosulfan, esfenvalerat, etilparation, fenvalerat, malation, mankozeb, metomil, metiram, metribuzin, trifluralin, dan vinklozolin. Residu pestisida yang tergolong ke dalam persistent organic pollutants (POPs) adalah senyawa organik yang tahan terhadap fotolitik, degradasi biologis maupun kimia. Pestisida yang tergolong POPs adalah aldrin, heksa-klorobenzena, klordan, mirex, dieldrin, toksafan, DDT, dioksin, endrin, furans, heptaklor, dan PCBs. United Nations Environment Programme (UNEP) memberikan perhatian serius dan memprioritaskan 12 jenis POPs tersebut untuk diidentifikasi keberadaannya pada lingkungan pertanian karena bersifat toksik. Menurut UNESCO, endrin dan dieldrin termasuk dalam kategori I (extremely hazardous), sedangkan aldrin, toksafan, klordan, DDT, heptaklor dan lindan termasuk kategori II (highly hazardous). Pencemaran bahan agrokimia terjadi karena penggunaan insektisida yang berlebihan atau kurang bijaksana. Residu insektisida, yang berupa insektisida, metabolit, atau derivatnya ditemukan pada komoditas pangan, ternak, pakan ternak, ikan, tanah, udara, air, dan lain-lain akibat penggunaan insektisida. Residu insektisida yang umum ditemukan adalah jenis organofosfat, karbamat, piretroid, dan 289 organoklorin, yang ditemukan dalam tanah, air, dan bahan makanan. Beberapa insektisida yang sudah dilarang digunakan di lingkungan pertanian, saat ini masih ditemukan pada tanah, air, dan beberapa komoditas pertanian, seperti residu organoklorin (lindan, aldrin, dieldrin, heptaklor, DDT, dan endrin). Pengaruh negatif dari penggunaan pestisida pada tanaman terlihat antara lain dari tingginya residu pestisida pada beberapa sayuran, tanaman pangan, air sumur, dan sawah serta dalam darah petani. Dilaporkan bahwa pada tanah, air, dan sayuran di daerah Jawa Tengah dan Bali ditemukan kandungan residu insektisida organoklorin dan organofosfat dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Beberapa sayuran seperti tomat, kubis, dan wortel di Lembang, Pangalengan dan Kertasari, Bandung juga mengandung residu pestisida profenofos, deltametrin, klorpirifos, dan permetrin. Jika sayuran tersebut dikonsumsi secara terus-menerus tanpa memperhatikan cara pengolahan yang baik, kemungkinan akan menyebabkan keracunan. Residu pestisida juga ditemukan pada hasil pertanian yang beredar di pasaran. Beras dan kedelai dari lima pasar besar di DKI Jakarta (Pasar Koja, Senen, Jatinegara, Minggu dan Grogol) mengandung residu g-BHC dengan konsentrasi masing-masing 0,02-0,11 ppm dan 0,01-0,03 ppm. Residu pestisida juga ditemukan dalam susu sapi. Dilaporkan bahwa susu sapi perah yang berasal dari daerah Ungaran, Jawa Tengah mengandung residu g-BHC dengan konsentrasi 0,02 ppm. Hasil penelitian Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada dan Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Pati menunjukkan bahwa hampir seluruh con- 290 N. Sutrisno et al. toh darah petani di Desa Ngurensiti, Kabupaten Pati, positif terpapar 17 jenis residu pestisida. Limbah Industri Isu nasional kerusakan lingkungan lainnya adalah pencemaran yang disebabkan oleh limbah industri dan pertambangan, khususnya unsur logam B3, seperti Hg, Pb, Cd, Cr, As, Ni, dan Co yang terlarut dalam limbah dan mengalir ke lahan pertanian. Pencemaran akibat limbah industri terjadi karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri. Cemaran zat kimia beracun berbahaya pada daerah perakaran tanaman akan menurunkan produksi dan mutu hasil pertanian. Bahan beracun yang terbawa produk pertanian akan terkonsumsi, terakumulasi, dan membahayakan kesehatan manusia. Masalah tersebut perlu mendapat perhatian serius, dan telah menjadi masalah dunia. Persoalan logam berat di lingkungan terutama karena akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya di alam makin meningkat sehingga berpotensi meracuni tanah dan air. Tanah di sekitar kawasan industri tekstil di Kabupaten Sumedang dan Bandung (Jawa Barat) dilaporkan telah tercemar logam berat Cu, Zn, Pb, Cd, Co, Cr, dan Ni. Demikian juga tanah di sekitar industri penyepuhan logam di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Limbah industri tersebut mengandung logam berat dan mencemari lahan sawah di sekitarnya. Jerami padi dan beras hasil panen di lokasi tersebut mengandung logam berat Zn, Cu, Pb, Cd, Co, Cr, dan Ni. Kandungan Zn pada jerami padi sudah melebihi nilai terendah dari batas kritis yang dibolehkan. Limbah industri bumbu masak (monosodium glutamat, MSG), juga berpotensi mencemari lingkungan karena mengandung garam cukup tinggi. Pembuangan limbah tersebut ke lingkungan pertanian menyebabkan tanah sawah di sekitar pabrik tersebut mengandung natrium (Na) dan logam berat seperti Pb, Cd, Co, dan Cr dengan nilai hampir mendekati batas kritis. Garam dalam konsentrasi tinggi juga dapat menyebabkan plasmolisis dan terdispersinya partikel-partikel atau koloid tanah yang halus sehingga struktur tanah berubah. Struktur tanah sawah yang pejal/ masif atau gumpal menjadi remah dan lepas, sehingga tidak baik sebagai media tumbuh tanaman. IMPLIKASI KEBIJAKAN Gangguan keseimbangan lingkungan pertanian dapat menurunkan produktivitas lahan dan kualitas hasil pertanian, sehingga pengelolaan lingkungan pertanian yang tepat perlu diupayakan. Pengelolaan lingkungan pertanian harus lebih diintensifkan dan disesuaikan dengan kondisi setempat, meliputi sumber daya alam dan kebiasaan petani. Upaya untuk memperbaiki dan menjaga lingkungan pertanian adalah sebagai berikut: 1. Mitigasi gas rumah kaca dilakukan berdasarkan prinsip bahwa emisi GRK yang dikeluarkan harus lebih kecil dari rosot (zink). Penurunan CO2 dilakukan dengan prinsip emisi CO2 harus lebih kecil dari CO2 yang ditambat tanaman. CO 2 termasuk gas yang mudah didegradasi atau ditambat, demikian pula N2O, mudah didegradasi. Namun, emisi CH4 sulit didegradasi, sehingga akumulasi CH4 dari waktu ke waktu terus Perspektif dan urgensi pengelolaan lingkungan pertanian ... meningkat. Untuk mengurangi akumulasi CH4 di atmosfir harus diterapkan strategi yang tepat dan dapat diaplikasikan. Prinsipnya, emisi CH4 diubah menjadi gas yang mudah didegradasi, seperti penerapan sistem pengairan berselang (intermitten). Sistem pengairan tersebut dapat menekan emisi CH4, tetapi N2O dan CO2 meningkat. Namun, hal ini tidak terlalu bermasalah karena N2O dan CO2 mudah terdegradasi. Penggunaan varietas padi yang rendah emisi CH4 juga perlu disosialisasikan. Penerapan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah akan makin mengurangi emisi CH4. Sistem pemupukan, baik dengan pupuk organik maupun anorganik, akan menurunkan emisi CH4 dari tanah sawah. 2. Penerapan teknologi remediasi pencemaran lingkungan pertanian difokuskan pada upaya penanggulangan 291 objek yang terkena dampak pencemaran, yaitu lahan sawah dan produknya (tanah, air, tanaman/produk pertanian). Teknologi pengelolaan lingkungan pertanian yang tercemar meliputi: (a) kemoremediasi, yaitu memodifikasi tingkat kemasaman tanah melalui pengapuran, pemberian bahan organik untuk menekan pergerakan logam berat di dalam tanah, dan penambahan karbon aktif ke dalam tanah untuk menurunkan residu pestisida dalam produk pertanian; (b) fitoremediasi, yaitu memanfaatkan fungsi tumbuhan yang dapat menyerap, mendegradasi, mentransformasi, dan menekan pergerakan bahan pencemar; dan (c) bioremediasi untuk meminimalkan pencemaran dengan memanfaatkan mikroorganisme yang mampu mendegradasi residu pestisida maupun logam berat.