Volume 1, Nomor 2 Agustus 2012 ISSN: 2089-7790 DEPIK Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan (Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences) DEPIK Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan (Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences) ISSN: 2089-7790 Penerbit : Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala Penanggung Jawab : Prof. Dr. Adlim, M.Sc (Ketua Pelaksana Koordinatorat Kelautan dan Perikanan) Ketua Dewan Editor : Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc (Manajemen SDP dan Budidaya Perairan) Editor Pelaksana : Ichsan Setiawan, M.Si (Oseanografi) Sekretaris Editor : Drs. Muhammad, M.Si (Hydrodinamika) Anggota Dewan Editor : Prof. Dr. Adlim, M.Sc (Kimia Lingkungan) Prof. Dr. Syamsul Rizal (Fisika Perairan) Dr. Musri Musman, M.Sc (Kimia Perairan) Dr. M. Ali Sarong, M.Si (Ekologi Perairan) Dr. Indra, M.Si (Manejemen Pesisir & Kelautan) Dr. Edi Rudi, M.Si (Biologi Laut) Dr. Abrar Muslim, M.Eng (Kimia Lingkungan) Farok Afero, Ph.D (Biometrik dan Sosial Ekonomi Perikanan) Teknisi IT/Web Master Sirkulasi dan Dokumentasi : Achmad Muhadjier : Muhammad Saumi, A.Md Ikan Depik, Rasbora tawarensis Alamat Redaksi: Koordinatorat Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala Kopelma Darussalam – Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia. Email : [email protected] Website : depikjurnal.unsyiah.ac.id Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084 DEPIK JURNAL ILMU-ILMU PERAIRAN, PESISIR DAN PERIKANAN VOLUME 1, NOMOR 2, AGUSTUS 2012 ISSN : 2089-7790 DAFTAR ISI 1. 2. 3. 4. 5. Aplikasi model hidrologi HBV di DAS Peusangan Aceh sebagai studi pengantar pengembangan konsep ekohidrologi berkelanjutan………………………… Yopi Ilhamsyah, Syahrizal Koem, Andi Syahid Muttaqin 86 - 92 Komunitas fitoplankton di perairan Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh……………………………………………………………………………………………………………………… Nurfadillah, Ario Damar, Enan M. Adiwilaga 93 - 98 Selektivitas fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak etil asetat(EtOAc) biji putat air (Barringtonia racemosa)terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan ikan lele lokal (Clarias batrachus)………………………………… Musri Musman , Sofia , Viqqi Kurnianda Karakter bilateral simetri ikan betutu (Oxyeleotris sp.): Kajian keragaman morfologi sebagai dasar pengembangan budidaya…………………………… Muh. Nadjmi Abulias dan Dian Bhagawati Analisis subsidi bahan bakar minyak (BBM) solar bagi nelayan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh………………………………………………………………………………… Zainal A.Muchlisin, Nur Fadli, Arifsyah M. Nasution, Rika Astuti, Marzuki, Darmawi Musni 6. Keragaman ikan karang di perairan Pulau Makian Provinsi Maluku Utara………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… Najamuddin Samar Ishak Adityawan Ahmad 7. Uji selektivitas fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji putat air Barringtonia racemosa) terhadap ikan mujair (Oreochromis mossambicus)……………………………………………………………………………………………………………………………………………… Musri Musman, Sofia, Adli Waliul Perdana 8. Keragaman jenis dan persen penutupan tumbuhan air di ekosistem Danau Laut Tawar, Takengon, Provinsi Aceh………………………………………………………………… Irma Dewiyanti 99 - 102 103 – 106 107 - 113 104 - 120 121 - 124 125 - 130 Depik, 1(2): 86-92 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Aplikasi model hidrologi HBV di DAS Peusangan Aceh sebagai studi pengantar pengembangan konsep ekohidrologi berkelanjutan Application of HBV hydrological model in Peusangan Watershed Aceh as a preface study to the development of sustainable ecohydrological concept Yopi Ilhamsyah1*, Syahrizal Koem2, Andi Syahid Muttaqin3 1Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; 2Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo 21752; 3Dept. Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor; 3. *Email korespodensi: [email protected] Abstract. A study of HBV hydrological model in Peusangan watershed Aceh as a preface study to the development of sustainable ecohydrological concept was done. The objective of the study was to apply and to test the HBV subtropical model into a tropical region Peusangan watershed. Peusangan watershed, situated in northern Aceh, covers an area of 2268.39 km2 and 128 km in length. The HBV model was manually calibrated by trial adjustment of each parameter to obtain the appropriate physical characteristics of Peusangan watershed. The result showed that the model was nearly consistent with the observation data. In fact, the correlation and error bias of the model were 0.623 and 0.11, respectively. However, the weakness of the model reported in the study is due to the coverage of the weather station data which locate far in the downstream of Peusangan watershed. In the meantime, both of model result and observation showed a good agreement to catch the peakflow of Peusangan watershed. The two peakflow arise on May and October which were 212 m 3dt-1 and 250 m3dt-1, respectively. Keywords: HBV Hydrological model, Peusangan watershed, peakflow Abstrak. Telah dilakukan studi mengenai aplikasi model hidrologi HBV di DAS Peusangan sebagai studi pengantar untuk pengembangan konsep ekohidrologi berkelanjutan. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengaplikasikan dan menguji model subtropis HBV ke daerah tropis DAS Peusangan Aceh. DAS Peusangan berlokasi di Aceh bagian utara memiliki luas 2268,39 km2 dan panjang 128 km. Model HBV dikalibrasi secara manual melalui ujicoba penyesuaian parameter untuk mendapatkan kondisi fisik yang sesuai dengan DAS Peusangan. Hasil studi menunjukkan bahwa model hampir sesuai dengan data observasi dengan nilai korelasi 0,623 dan bias error 0,11. Akan tetapi, kelemahan model pada studi ini dikarenakan oleh cakupan data stasiun cuaca yang berlokasi di hilir DAS Peusangan. Kedua hasil model dan observasi menunjukkan kesesuaian dalam menggambarkan debit puncak DAS Peusangan. Debit puncak tersebut terjadi pada Mei dan Oktober yang masing-masing bernilai 212 m3dt-1 dan 250 m3dt-1. Kata kunci: Model hidrologi HBV, DAS Peusangan, debit puncak Pendahuluan Singh (1995) mengartikan model hidrologi sebagai tiruan proses hidrologi untuk keperluan analisis tentang keberadaan air menurut aspek jumlah, waktu, tempat, probabilitas dan runtutan waktu (time series). Sistem hidrologi yang umum dikaji adalah Daerah Aliran Sungai (DAS). Model yang akan dikaji pada studi ini adalah model Hydrologiska Byråns Vattenbalansavdelning (HBV). Model HBV merupakan model hujan-limpasan (rainfall-runoff) yang memasukan konsep numerik dari proses-proses hidrologi pada skala DAS. Model HBV dikembangkan oleh Institusi Meteorologi dan Hidrologi Swedia dan penggunaannya banyak diterapkan di daerah subtropis dengan bentuk presipitasi berupa salju dan beberapa parameter DAS lainnya yang memiliki banyak kesesuaian. Beberapa aplikasi model HBV untuk mengkaji berbagai kondisi hidrologi DAS di subtropis antara lain seperti yang dilakukan oleh Kobold et al. (2006) dan Grillakis et al. (2010) masingmasing untuk mengkaji banjir bandang serta peramalannya pada DAS di Slovenia serta te Linde et al. (2007), Normand et al. (2010) dan Jia et al. (2012) masing-masing mengkaji performa model HBV pada DAS Rhine di Eropa, DAS di Nepal dan DAS Liao di China. Untuk aplikasi di daerah tropis maka model HBV memerlukan penyesuaian parameter yang sesuai dengan kondisi daerah tropis. Beberapa model HBV telah diaplikasikan di daerah tropis namun peneliti belum menjumpai aplikasi model HBV untuk DAS di Indonesia. Oleh karenanya, peneliti mencoba mengadaptasikan model HBV untuk kondisi DAS Peusangan, Aceh. Model HBV juga dapat diaplikasikan untuk mendukung manajemen DAS seperti studi yang dilakukan oleh Götzinger dan Bárdossy (2005) di mana mereka menggunakan model HBV untuk mendukung pengelolaan DAS Neckar di Eropa tengah. Dengan demikian diharapkan aplikasi model HBV di DAS Peusangan ini nantinya dapat menjadi suatu studi pengantar untuk pengembangan konsep ekohidrologi di sekitar DAS Peusangan, Aceh. Berdasarkan WWF-Indonesia (2011), DAS Peusangan termasuk dalam kategori kritis 1 nasional yang harus segera diselamatkan dari kerusakan. Hal ini diakibatkan oleh rusaknya ekosistem akibat degradasi lahan hutan di daerah hulu DLT. Isu utama lainnya dilaporkan bahwa di daerah hulu Danau Laut Tawar (DLT) mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan erosi tanah yang berdampak terhadap pengurangan debit air DLT. Selain itu, konversi lahan tanpa rencana tata ruang 86 Depik, 1(2): 86-92 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 yang baik di sepanjang DAS Peusangan juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang berdampak terhadap kelangsungan hidup beragam etnik masyarakat (Gayo dan Aceh) yang mendiami wilayah hulu, tengah dan hilir DAS Peusangan. Mengingat pentingnya keberadaan DAS Peusangan sebagai water resources bagi masyarakat Gayo dan Aceh, water intake bagi perusahaan-perusahaan besar berskala nasional dan internasional yang beroperasi di Aceh Utara serta sebagai water energy penyuplai kebutuhan tenaga listrik untuk kabupaten/kota melalui pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Peusangan maka kerusakan ekosistem hidrologi DAS Peusangan harus sesegera mungkin direstorasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain menyusun konsep tata ruang yang mengedepankan integrasi ekosistem-hidrologi berkelanjutan, konservasi daerah kawasan hutan di hulu DLT serta konservasi kawasan tangkapan air di bagian tengah dan hilir DAS Peusangan dan melakukan kajian pemodelan hidrologi secara intensif untuk menyusun prototipe DAS serta faktor-faktor fisik yang berperan pada DAS Peusangan. Konsep pemodelan ini bermanfaat sebagai suatu tinjauan sintesis untuk mendukung perencanaan manajemen DAS berkelanjutan, di samping kemampuan model untuk melakukan simulasi prediksi yang tentu saja didasari oleh pendekatan-pendekatan matematika serta asumsi-asumsi fisik. Dengan demikian diharapkan melalui aplikasi model Hidrologi HBV ini konsep pembangungan ekohidrologi berkelanjutan dapat terwujud dengan baik di DAS Peusangan Aceh. Tujuan dalam studi ini adalah mengaplikasikan model HBV pada DAS Peusangan Aceh berdasarkan data hidrometeorologi yang dibutuhkan seperti curah hujan harian, suhu udara harian dan evapotranspirasi potensial bulanan. Keluaran debit air pada model selanjutnya dibandingkan dengan data debit air observasi. Tingkat keberhasilan model ditentukan oleh koefisien korelasi dan bias error model. Keluaran debit air ini nantinya bermanfaat untuk memprediksi terjadinya banjir serta dapat pula digunakan untuk potensi pengembangan PLTA yang tentu saja sifatnya sebagai pengantar perencanaan awal pengembangan konsep ekohidrologi berkelanjutan di DAS Peusangan. Bahan dan Metode Model HBV dipilih terutama karena pendekatan konseptual di mana proses hidrologi mengalami penyederhanaan dalam fungsi aljabar sehingga dapat dengan mudah dikomputasikan menggunakan Spreadsheet. Berdasarkan Aghakouchak dan Habib (2010), model HBV mengasumsikan daerah kajian DAS sebagai satu zona tunggal di mana parameter tidak mengalami perubahan secara spasial di seluruh DAS. Model HBV terdiri dari empat parameter utama: (a) curah hujan kumulatif, (a) kelembaban tanah, (c) evapotranspirasi, serta (d) limpasan permukaan. Gambar 1. Diagram alir model HBV yang diaplikasikan pada DAS Peusangan, CH = curah hujan(mm), ETp = Evaporasi potensial(mm)dan Q = debit air (m 3 dt-1). Diagram alir model HBV ditunjukkan pada Gambar 1. Model HBV dijalankan dalam langkah waktu harian. Input data yang dibutuhkan meliputi deret waktu observasi curah hujan dan suhu harian serta laju evapotranspirasi potensial bulanan. Hasil utama dari model HBV adalah debit air pada outlet DAS yang terdiri dari tiga rutin, yaitu: limpasan permukaan, interflow (kontribusi dari limpasan permukaan) dan baseflow (kontribusi dari aliran dasar). Ketiga rutin ini masingmasing memiliki parameter utama seperti ditunjukkan pada tabel 1. Aghakouchak dan Habib (2010) selanjutnya menjelaskan bahwa curah hujan diproses dalam rutin kelembaban tanah di mana curah hujan efektif memberikan kontribusi terhadap 87 Depik, 1(2): 86-92 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 limpasan permukaan. Bagian sisa curah hujan memberikan kontribusi untuk kelembaban tanah yang dengan sendirinya akan menguap selama ada kadar air yang cukup di bawah permukaan. Kalibrasi parameter model HBV pada studi ini dilakukan secara manual di antara nilai minimum dan maksimum pada tabel 1 yang bertujuan untuk mendapatkan karakteristik fisik yang sesuai dengan DAS Peusangan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Uhlenbrook et al. (1998) pada empat DAS dengan skala berbeda di Jerman dan Berglöv et al. (2009) untuk DAS Rhine di Jerman. Data curah hujan dan suhu udara harian pada tahun 1991 sebagai input model diperoleh dari stasiun BMKG Kelas III Bandara Malikussaleh, Lhokseumawe yang berlokasi di hilir DAS Peusangan. Pemilihan tahun 1991 didasari sematamata oleh karena ketersediaan data. Karena studi ini sifatnya hanya ingin menguji model HBV untuk daerah tropis maka pemilihan tahun 1991 tidak memiliki implikasi berarti untuk kondisi hidrologi lainnya. Tabel 1. Parameter model HBV. No. Parameter Satuan 1. 2. 3. 4. Koefisien bentuk kelembaban tanah (Beta) Koefisien resesi reservoir atas 1 (K1) Koefisien resesi reservoir atas 2 (K2) Perkolasi (PERC) Hari-1 Hari-1 mm hari-1 Minimum 1 0,001 0,001 0,001 Nilai Maksimum 7 0,7 0,3 0,7 Parameter model HBV pada Tabel 1 didasarkan pada studi yang dilakukan Lindström (1997). Koefisien korelasi ditulis dalam bentuk Di mana O adalah nilai debit air observasi (m3 dt-1) dan P adalah nilai debit air simulasi (m 3 dt-1). Koefisien korelasi ini juga digunakan dalam studi yang dilakukan oleh Grillakis et al. (2010) untuk menghitung kriteria efisiensi model HBV, namun pers. (1) pada Grillakis et al. (2010) ditulis dalam bentuk persamaan kuadrat. Hasil dan Pembahasan Kondisi geografis Peusangan adalah nama daerah tangkapan air terpenting di Aceh. DAS Peusangan melintasi empat kabupaten yakni kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireun dan Aceh Utara sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2. Secara geografis DAS Peusangan terletak pada 4,51-5,28 LU dan 96,45–97,05 BT. DAS Peusangan memiliki panjang ± 128 km. Hulu utamanya berada di DLT yang berada di dataran tinggi Gayo di kota Takengon. Selain itu ada 107 sungai yang terdiri dari sub DAS yang berasal dari hutan-hutan di sekitar Bukit Barisan yang turut mengalirkan airnya ke DAS Peusangan. DAS Peusangan bermuara di Selat Malaka di Kabupaten Bireun. Bentang lahan yang menjadi daerah tangkapan air DAS Peusangan mencapai luas 2268,39 km2 (WWF-Indonesia, 2011). Analisa data iklim dan hidrologi Data klimatologi (curah hujan harian, suhu udara harian serta evaporasi potensial bulanan dan data hidrologi (debit air harian) untuk tahun 1991 digunakan sebagai masukan (input) untuk simulasi model HBV untuk DAS Peusangan Aceh. Namun, data curah hujan harian untuk jangka waktu panjang yang mencakup keseluruhan wilayah DAS Peusangan tidak tersedia. Sehingga dalam studi ini digunakan data curah hujan yang diperoleh dari stasiun BMKG Kelas III Lhokseumawe, Bandara Malikussaleh demikian juga dengan data suhu udara harian diperoleh dari stasiun yang sama. Stasiun ini berlokasi di hilir DAS Peusangan. Untuk evaporasi potensial bulanan diperoleh melalui perhitungan menggunakan rumusan Thornthwaite. Gambar 3.a, 3.b dan 3.c menunjukkan curah hujan harian (mm), suhu udara harian (°C) dan evaporasi potensial bulanan (mm) di stasiun Meteorologi kelas III Lhokseumawe, Bandara Malikussaleh. Suhu udara harian di hilir DAS Peusangan pada tahun 1991 seperti ditunjukkan pada gambar 3.b mencapai suhu tertinggi 27,1oC pada awal musim kemarau di bulan Juni sementara suhu terendah 25,1oC terjadi Gambar 2. Lokasi geografis DAS Peusangan pada awal musim hujan pada bulan November dan Desember. (Khasanah et al., 2010). Untuk musim kemarau yang berlangsung antara Juni-Agustus, 88 Depik, 1(2): 86-92 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 suhu udara rata-rata berkisar 26,9oC. Pada pertengahan musim pancaroba di bulan April, hilir DAS Peusangan mengalami curah hujan terendah 19 mm (gambar 3.a). Keadaan ini juga menunjukkan bahwa pada bulan ini hilir DAS Peusangan mengalami kondisi kering dikarenakan suhu serta penguapan yang tinggi tidak diimbangi oleh ketersediaan air di permukaan. Suhu udara bulanan rata-rata pada bulan April berkisar 26,9oC seperti ditunjukkan pada gambar 3.b dan besar penguapan adalah sekitar 140 mm sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3.c. Keadaan ini tentunya juga berpengaruh terhadap berkurangnya debit air yang mengalir di DAS Peusangan. Gambar 4 menunjukkan penurunan debit air pada bulan April. Kondisi kering ini juga terjadi pada awal musim kering di bulan Juni dengan curah hujan bulanan sebesar 49 mm dan pada awal musim pancaroba di bulan September dengan jumlah curah hujan 37 mm (Gambar 3.a). Pada pertengahan musim kering di bulan Juli, hilir DAS Peusangan menerima curah hujan rata-rata 97 mm. Besarnya curah hujan pada bulan Juli ini dipengaruhi oleh besarnya penguapan pada bulan Juni yang mendorong terbentuknya awan konvektif dan terjadi hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi di bulan Juli. Pada awal musim hujan di bulan Oktober hilir DAS Peusangan menerima curah hujan yang banyak sebesar 195 mm kemudian meningkat pada bulan November dengan curah hujan ratarata 206 mm. Rata-rata curah hujan pada musim hujan adalah 177 mm (Gambar 3.a). Secara keseluruhan curah hujan tahunan di hilir DAS Peusangan pada tahun 1991 sebesar 1271 mm. Gambar 3.a juga menunjukkan curah hujan harian di DAS Peusangan dengan dua puncak musim hujan yang terjadi pada bulan Mei dan Oktober yang sekaligus menggambarkan pola iklim ekuatorial yang merupakan ciri khas tipe iklim di daerah Khatulistiwa (Boer dan Subbiah, 2005). Gambar 3. a) Curah hujan harian (mm); b) Suhu udara harian ( ºC); dan c) Evaporasi potensial bulanan (mm) di hilir DAS Peusangan, Aceh pada tahun 1991. 89 Depik, 1(2): 86-92 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Kalibrasi model HBV Kalibrasi parameter model HBV diperlukan untuk memenuhi persyaratan optimisasi sebuah model DAS. Dalam hal ini memenuhi kriteria efisiensi model. Kriteria efisiensi ini salah satunya dapat dihitung menggunakan koefisien korelasi pada persamaan (1). Kalibrasi model curah hujan-limpasan HBV dilakukan secara manual menggunakan penyesuaian uji coba terhadap parameter model untuk mendapatkan hasil yang cocok antara deret waktu observasi dan model. Kalibrasi parameter model HBV ditunjukkan pada tabel 2. Hasil kalibrasi menyajikan parameter beta dan perkolasi berpengaruh terhadap simulasi model HBV. Hal ini juga sesuai dengan nilai kalibrasi maksimum antara dua parameter ini seperti ditunjukkan pada tabel 2. Kondisi ini mengindikasikan bahwa debit air DAS Peusangan dipengaruhi oleh faktor kelembaban tanah dan aliran dasar dan sekaligus menunjukkan bahwa kondisi DAS Peusangan pada tahun 1991 masih dalam kondisi baik. Tabel 2. Kalibrasi parameter model HBV. Nilai No. Parameter Satuan Kalibrasi Minimum Maksimum 1. Beta 1 7 6 -1 2. K1 Hari 0,001 0,7 0,7 3. K2 Hari-1 0,001 0,3 0,001 4. PERC mm hari-1 0,001 0,7 0,7 Simulasi model HBV Hasil model HBV DAS Peusangan untuk debit air (m3dt-1) di DAS Peusangan tahun 1991 ditunjukkan pada gambar 4. Hasil simulasi telah menunjukkan pola fluktuasi yang hampir sesuai dengan data observasi. Debit puncak limpasan terjadi pada Mei dengan debit air 212 m3dt-1 dan Oktober mencapai 250 m3dt-1. Debit puncak ini juga berkaitan dengan curah hujan tinggi pada bulan Mei (173 mm) dan Oktober (195 mm) seperti ditunjukkan pada gambar 3.a. Debit puncak pada Mei dapat disimulasi dengan baik, namun untuk debit puncak pada Oktober model menunjukkan simulasi yang kurang baik. Koefisien korelasi DAS Peusangan bernilai 0,623 dengan bias 0,1131. Mengacu pada nilai korelasi ini maka model HBV DAS Peusangan dapat dikatakan baik. Kekurangan model ini hanya menggunakan data satu tahun. Bergström (1995) mengatakan untuk kalibrasi model HBV menggunakan data harian 10 tahun. Demikian juga dengan Hägström et al. (1990) mengatakan bahwa sangat diharapkan untuk menyimpan beberapa tahun data untuk periode uji independen. Tes semacam ini akan menunjukkan apakah model tersebut juga valid di luar dari periode kalibrasi. Hägström et al. (1990) juga mengatakan bahwa untuk mendapatkan hasil model yang baik dibutuhkan biasanya data observasi debit air > 2 tahun. Untuk kasus DAS Peusangan, simulasi model hanya berlangsung selama 1 tahun. Peneliti berasumsi bahwa hasil simulasi model HBV DAS Peusangan masih dalam tahap menuju kestabilan model sehingga diperleh pola yang tidak begitu sesuai dengan data observasi dan untuk mencapai hasil yang mampu menyajikan interpretasi yang representatif sesuai dengan debit air DAS Peusangan sesungguhnya maka diperlukan waktu simulasi lebih dari dua tahun dengan pengujian kestabilan model pada tahun pertama. Ini juga sesuai dengan Primožič et al. (2008) yang menyatakan bahwa kinerja model yang kurang juga dapat disebabkan oleh kekurangan data. Gambar 4. Simulasi model HBV untuk debit air (m3dt-1) di DAS Peusangan, Aceh pada tahun 1991 dengan korelasi 0,623. 90 Depik, 1(2): 86-92 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Sebagai informasi tambahan, stasiun BMKG Bandara Malikussaleh juga berlokasi jauh dari hilir DAS Peusangan, sehingga mempengaruhi keakurasian hasil model HBV DAS Peusangan. Untuk mendapatkan hasil yang baik diperlukan beberapa stasiun observasi yang berdekatan dengan lokasi DAS. Stasiun penakar curah hujan dengan jumlah yang banyak bermanfaat untuk menaksir curah hujan wilayah. Sementara jumlah stasiun yang sedikit berdampak terhadap penyimpangan nilai limpasan dari nilai observasi. Kaitan model HBV dengan water resources dan ekohidrologi Dari hasil model diperoleh bahwa potensi debit air DAS Peusangan dalam satu tahun sebesar 26581,2 m 3 dt-1. Jumlah ini berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai sumber listrik tenaga air. Studi ini menggunakan data hidrometeorologi tahun 1990 yang sekaligus merepresentasikan kondisi kawasan daerah tangkapan air yang masih terjaga dengan baik. Tentu saja, kondisi ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi saat ini di DAS Peusangan. Hasil model dengan data tahun 1990 menunjukkan debit air dalam jumlah besar. Kondisi ini seyogyanya harus terus dipertahankan pada saat ini dan pada akhirnya ini menjadi alasan kuat untuk mengembangkan konsep ekohidrologi berkelanjutan di DAS Peusangan sekaligus rekomendasi bagi pengembangan PLTA Peusangan. Selanjutnya, keluaran debit air dari model HBV dapat digunakan untuk memahami hubungan antara proses hidrologi dan ekologi pada skala DAS sehingga perbaikan kualitas air, peningkatan biodiversiti dan pembangungan berkelanjutan dapat diwujudkan. Selain itu, kaitan hasil model dan ekohidrologi juga bermanfaat untuk menurunkan potensi banjir yang terjadi di sepanjang DAS Peusangan. Melihat hasil simulasi model HBV bahwa debit puncak DAS terjadi pada Mei dan Oktober yang masing-masing bernilai 212 m3dt-1 dan 250 m3dt-1. Artinya pada bulan Mei dan Oktober perlu diwaspadai terjadinya banjir dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Untuk menanggulangi resiko banjir di DAS Peusangan perlu adanya pengelolaan melalui Green Cover di sekitar DAS Peusangan. Hal ini dilakukan, karena pada saat terjadi debit puncak dengan curah hujan yang tinggi peran dari vegetasi yang dapat memperbesar ukuran pori-pori tanah akan mempermudah terajdinya infiltrasi. Pengelolaan lahan disekitar DAS Peusangan terutama sawah, perlu menyesuaikan masa tanam pada saat terjadi intensitas curah hujan yang tinggi. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan air sawah pada disekitar DAS Peusangan. Upaya ini sangat efektif untuk mengurangi limpasan permukaan. Kesimpulan Simulasi model HBV untuk debit air di DAS Peusangan tahun 1991 telah menunjukkan pola fluktuasi yang hampir sesuai dengan data observasi. Koefisien korelasi dari model ini adalah 0,623 dengan bias model 0,1131. Kelemahan dari model ini adalah menggunakan satu stasiun penakar hujan yaitu stasiun BMKG Bandara Malikussaleh yang berada jauh dari hilir DAS Peusangan sehingga mempengaruhi keakuratan hasil simulasi. Oleh karenanya untuk mendapatkan hasil model yang baik disarankan menggunakan data curah hujan wilayah dengan stasiun penakar hujan yang lebih rapat di sekitar DAS Peusangan. Selain itu, panjang data atau interval waktu memiliki pengaruh terhadap keakuratan hasil simulasi. Hal ini disebabkan karena model melakukan penyesuaian pada rentan waktu awal simulasi. Sehingga, apabila kajian serupa akan dilakukan, perlu diperhatikan simulasi dalam jangka waktu yang panjang (data masukan lebih dari 2 tahun dan didukung data observasi lain yang lengkap). Keluaran debit air model HBV DAS Peusangan terkait water energy berpotensi untuk pengembangan PLTA. Kaitannya dengan konsep ekohidrologi sangat bermanfaat untuk diterapkan di DAS Peusangan karena dapat meningkatkan kualitas siklus air, peningkatan biodiversiti selain juga dapat meminimalisir potensi terjadinya banjir di bantaran DAS Peusangan. Ucapan terima kasih Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Hidayat Pawitan atas masukan, saran dan koreksi yang bermanfaat menuju kesempurnaan studi ini. Demikian juga kepada reviewer dan editor jurnal Depik. Lisa Tanika atas pemberian data Hidrometeorologi DAS Peusangan Aceh. Penghargaan penulis berikan kepada DIKTI melalui beasiswa BPPS dan Beasiswa Unggulan untuk kelangsungan studi dan publikasi ini. Daftar Pustaka Aghakouchak, A., E. Habib. 2010. Application of a conceptual hydrologic model in teaching hydrologic processes. International Journal of Engineering Education, 26(4): 963-973. Berglöv, G., J. German, H. Gustavsson, U. Harbman, B. Johansson. 2009. Improvement HBV model Rhine in FEWS. Final report SMHI Hydrology 112, Koblenz, Germany. Boer, R., A. R. Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. Monitoring and predicting agricultural drought, halaman 330-344 dalam V. S. Boken, A. P. Cracknell, R. L. Heathcote (Ed), A global study. Oxford University Press, UK. Götzinger, J., A. Bárdossy. 2005. Integration and calibration of a conceptual rainfall-runoff model in the framework of a decision support system for river basin management. Advances in Geosciences, 5: 31–35. Grillakis, M. G., I. K. Tsanis, A. G. Koutroulis. 2010. Application of the HBV hydrological model in a flash flood case in Slovenia. Natural Hazards and Earth System Sciences, 10: 2713–2725. Häggstöm, M. 1990. Application of the HBV model for flood forecasting in six Central American Rivers. Working paper SMHI Hydrology 27, Norrköping, Sweden. 91 Depik, 1(2): 86-92 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Jia, Q. Y., F. H. Sun. 2012. Modeling and forecasting process using the HBV model in Liao river delta. Procedia Environmental Sciences, 13: 122 – 128. Khasanah, K., E. Mulyoutami, A. Ekadinata, T. Asmawan, L. Tanika, Z. Said, M. van Noordwijk, B. Leimona. 2010. Kaji cepat hidrologi di daerah aliran sungai Krueng Peusangan, NAD, Sumatra. Working paper 122 World Agroforestry Centre, Bogor, Indonesia. Kobold, M., M. Brilly. 2006. The Use of HBV model for flash flood forecasting. Natural Hazards and Earth System Sciences, 6: 407–417. Lindström, G., B. Johansson, M. Persson, M. Gardelin, S. Bergström. 1997. Development and test of the distributed HBV96 hydrological model. Journal of Hydrology, 201: 272-288. Normand, S., M. Konz, J. Merz. 2010. An application of the HBV model to the Tamor Basin in Eastern Nepal. Journal of Hydrology and Meteorology, 7(1): 49-58. Primožič, M., M. Kobold, M. Brilly. 2008. The implementation of the HBV model on the Sava River Basin, dalam Proceeding of XXIVth Conference of the Danubian Countries on the Hydrological Forecasting and Hydrological Bases of Water Management. Slovenia 2-4 June 2008. Singh, V. P. 1995. Computer models of watershed hydrology. Water Resources Publications, USA. te Linde, A. H., J. C. J. H. Aerts, R. T. W. L. Hurkmans, M. Eberle. 2007. Comparing model performance of two rainfallrunoff models in the Rhine basin using different atmospheric forcing data sets. Hydrology and Earth System Science Discussion, 4: 4325–4360. Uhlenbrook, S., J. Holocher, C. Leibundgut, J. Seibert. 1998. Using a conceptual rainfall-runoff model on different scales by comparing a headwater with larger basins, halaman 297-305 dalam Proceedings of the HeadWater'98 Conference. Merano, Italy April 1998. WWF-Indonesia. 2011. Aceh insight. Laporan 1(3), Banda Aceh. 92 Depik, 1(2): 93-98 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Komunitas fitoplankton di perairan Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh Community of phytoplankton in Lake Laut Tawar, Aceh Tengah, Aceh Province Nurfadillah1*, Ario Damar2, Enan M. Adiwilaga2 1Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda aceh 23111; 2Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan, FPIK Institut Pertanian Bogor, Bogor; *Email korespodensi: [email protected] Abstract. The aims of the present study was to evaluate community structure and biomass of phytoplankton based on the depth stratification in the waters of Lake Laut Tawar. Sampling was conducted during March and April 2010. The results showed that 43 species of phytoplankton belonging to five classes were found in Lake Laut tawar. The most common class was Chlorophyceae with 20 genera, followed by Bacillariophyceae (diatoms) by 9 genera, Cyanophyceae (10 genera), Dinophyceae (2 genera), and Euglenophyceae (2 genera). The highest species composition was found at II with 15 m depth (24 genera), while the highest abundance of phytoplankton was occured at station with 10 depth (155600 cells/l), while the lowest abundance was obtained at 15 depth (12745 cells/l). Overall the phytoplankton population in Lake Laut Tawar was dominated by Bacillarophyceae. In addition, the diversity index of phytoplankton was in moderate level (2.34), while the evenness index was ranged from 0.43 to 0.87, indicate the distribution of the individuals of each species was varied, however there was no predominant species detected.. Keywords: Phytoplankton, structure community, Laut Tawar Lake. Abstrak. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dinamika struktur komunitas dan biomassa fitoplankton berdasarkan stratifikasi kedalaman di Perairan Danau Laut Tawar. Sampling dilakukan pada empat stasiun dengan masing-masing empat kedalaman, yaitu 0,2 m, 3 m, 10 m, dan 15 m. Pengambilan sampling air dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval waktu 14 hari, yaitu selama bulan Maret sampai April 2010. Fitoplankton yang tersaring diamati dibawah mikroskop cahaya. Hasil penelitian mendapati sebanyak 43 jenis fitoplankton yang terbagi kedalam lima kelas, dimana klas yang paling dominan adalah kelas Chlorophyceae (20 genera), diikuti oleh Bacillariophyceae (diatom) sebanyak 9 genera, Cyanophyceae sebanyak 10 genera, kelas Dinophyceae (dinoflagellata) dan Euglenophyceae, masing-masing 2 genera. Komposisi jenis fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun II dengan kedalaman 15 m yaitu sebanyak 24 genera. Kelimpahan fitoplankton tertinggi diperoleh pada stasiun I dengan kedalaman 10 m (38900 sel/l), sedangkan kelimpahan terendah diperoleh pada stasiun III di kedalaman 15 m (3355 sel/l). Kelimpahan fitoplankton secara keseluruhan di dominasi oleh kelas Bacillarophyceae. Selain itu, nilai indeks keanekaragaman fitoplankton menunjukkan keanekaragaman yang relatif sedang 2,34. Nilai indeks keseragaman jenisnya bervariasi dan relatif sedang berkisar antara 0,43 - 0,87, ini menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis juga bervariasi namun tidak ada jenis yang mendominansi. Kata kunci : Fitoplankton, struktur komunitas, Danau Laut Tawar Pendahuluan Danau Laut Tawar terletak di Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah pada ketinggian 1.250 m di atas permukaan laut. Danau ini memiliki luas 5.472 ha dan kedalaman rata-rata 51,13 meter. Aliran air permukaan atau sungai yang menuju ke danau Laut Tawar berjumlah 25 buah yang berasal dari 18 daerah hulu/kawasan tangkap dengan debit air bervariasi dari 11 sampai 2.554 liter per detik (Bappeda Aceh Tengah, 2004). Saat ini Danau Laut Tawar telah dimanfaatkan antara lain sebagai lokasi penangkapan, budidaya karamba jaring apung dan pariwisata. Kegiatan-kegiatan tersebut telah mengindikasikan terjadinya degradasi sumberdaya, peningkatan unsur hara yang dapat meningkatkan kesuburan perairan, serta terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perairan. Beban masukan dari kegiatan-kegiatan domestik, karamba jaring apung, kegiatan pertanian baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap keberadaan organisme perairan khususnya plankton sebagai organisme yang peka terhadap perubahan kualitas air. Beban masukan yang nyata biasanya akan membawa partikel tersuspensi, nutrien serta bahan organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi. Perubahan yang terjadi pada ekosistem danau saat ini sangat cepat akibat pengaruh dari kegiatan-kegiatan tersebut, akibatnya danau mengalami penurunan fungsi dan perubahan status perairan. Keberadaan unsur hara di Danau Laut Tawar akan berpengaruh terhadap peningkatan biomassa fitoplankton dan kesuburan danau. Pada perairan danau yang dalam seperti Danau Laut Tawar kemungkinan terjadi pengadukan sampai dasar perairan sangat kecil sehingga adanya perbedaan keberadaan unsur hara serta perbedaan suhu yang mencolok antara lapisan dasar dan lapisan permukaan sehingga diduga adanya hubungan komponen biotik (struktur komunitas fitoplankton) dan abiotik (ketersediaan unsur hara) yang berbeda pada setiap stratifikasi kedalaman perairan danau. Sulawesty (2007) mengungkapkan bahwa kelimpahan fitoplankton tinggi pada lapisan permukaaan dan menurun sesuai dengan semakin bertambahnya kedalaman dan semakin menurunnya daya tembus cahaya matahari. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dinamika 93 Depik, 1(2): 93-98 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 struktur komunitas dan biomassa fitoplankton berdasarkan stratifikasi kedalaman di Perairan Danau Laut Tawar. Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2010 berlokasi di Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah. Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu kegiatan di lapangan dan di laboratorium. Kegiatan di lapangan meliputi pengambilan sampel air yang dilakukan sebanyak 4 kali sampling dengan selang waktu 14 hari Penentuan titik sampling dilakukan secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal terdiri dari 4 stasiun pengamatan. Stasiun I di daerah One-one (096o51’55,4’’BT - 04036’29,0’’ LS) yang mewakili daerah karamba jaring apung (KJA). Stasiun II di daerah Mampak (096o51’48,1’’BT - 04o38’12,2’’ LS) yang mewakili daerah pusat kota serta kawasan pemukiman. Stasiun III merupakan daerah pertengahan danau (096o 56’03,8’’ BT - 04o36’47,4’’ LS). Stasiun IV di daerah Bewang (096o58’28,4’’ BT 04o35’37,1’’LS) yaitu daerah yang aktivitas penduduknya sedikit. Penentuan pengambilan sampel didasarkan pada kedalaman perairan di tiap stasiun pengamatan dengan mempertimbangkan pola umum stratifikasi suhu dan penetrasi cahaya pada lapisan perairan yaitu pada kedalaman 0,2 m, 3 m, 10 m, dan 15 m (Gambar 1). Mampa k Kp. Kala Klitu ST 2 Outlet One-one ST 3 ST 1 ST 4 Bewang INL ET Provinsi Aceh Gambar 1. Peta Danau Laut Tawar yang menunjukkan lokasi pengambilan sampel Pengambilan data Pengambilan sampel air pada berbagai strata kedalaman (0,2 m, 3 m, 10 m, dan 15 m) dengan menggunakan Vandorn water sampler volume 2 liter. Sampel air yang diambil sebanyak 20 liter, air tersebut kemudian disaring dengan menggunakan jaring plankton ukuran mata jaring 40 µm. Contoh air yang tersaring (100 ml) dimasukkan dalam botol koleksi yang berlabel kemudian diawetkan dengan lugol 2 % sebanyak 8 – 10 tetes, selanjutnya diamati di bawah mikroskop, dan diidentifikasi dengan menggunakan buku petunjuk Prescott (1970), Belcher and Swale (1979), dan Mizuno (1979). Selain itu juga diukur beberapa parameter kualitas air antara lain pH, oksigen terlarut, nitrat, nitrit, amonia, silika, orthofosfat dan total fosfat; sedangkan parameter biologi berupa kelimpahan fitoplankton. Perhitungan kelimpahan plankton dilakukan dengan menggunakan metode sapuan Sedgwick Rafter Counting Cell dengan tiga kali ulangan. Rumus perhitungan kelimpahan plankton berdasarkan APHA (2005) yaitu sebagai berikut: Dimana, N adalah kelimpahan plankton (sel/l), n jumlah plankton yang tercacah (sel), a luas gelas penutup (mm2), v volume air terkonsentrasi (ml), A luas satu lapangan pandang (mm2), vc volume air dibawah gelas penutup (ml) dan V volume air yang disaring (l). Perhitungan indek biologi Indeks keragaman Indeks yang digunakan dalam mengetahui tingkat keragaman jenis yang ada dalam suatu komunitas yaitu menggunakan indeks keanekaragaman (Odum 1971). 94 Depik, 1(2): 93-98 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 H S ' p i ln p i i 1 Dimana, H’= iIndeks keanekaragaman jenis, pi= suatu fungsi peluang untuk masing-masing bagian secara keseluruhan (ni/N), ni= Jumlah individu jenis ke-i, N= jumlah total individu. Kisaran nilai indeks keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Legendre dan Legendre 1998): H’ < 2,3 = keanekaragaman kecil dan kestabilan komunitas rendah 2,3 H’ 6,9 = keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang H’ > 6,9 = keanekaragaman besar dan kestabilan komunitas tinggi Indeks keseragaman Indeks keseragaman ini digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan penyebaran sejumlah individu setiap marga pada tingkat komunitas. Indeks keseragaman (evenness index) berdasarkan persamaan (Odum 1971) : H' e ln S Dimana, e = indeks keseragaman, H’= indeks keanekaragaman, S = jumlah jenis. Odum (1971) menyatakan indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1. Apabila nilai e mendekati 1 sebaran individu antar jenis merata. Nilai e mendekati 0 apabila sebaran individu antar jenis tidak merata atau ada sekelompok jenis tertentu yang dominan. Indeks dominansi Indeks dominansi diperoleh dengan menggunakan indeks Simpson (Odum 1971). s ( ni / N ) 2 C i 1 Dimana, C= indeks dominansi Simpson, ni= jumlah individu jenis ke-i, N= jumlah total individu. Nilai kisaran dominansi antara 0 – 1. Jika nilai C mendekati 0 tidak ada jenis yang dominan, dan biasanya diikuti dengan nilai e yang besar. Untuk nilai C yang mendekati 1 berarti terdapat jenis yang mendominansi dan nilai e semakin kecil (Odum 1971). Hasil dan Pembahasan Kondisi lingkungan Nilai rata-rata kualitas air di semua stasiun pengamatan selama penelitian berfluktuatif. Pada umumnya kondisi perairan danau Laut Tawar masih dalam kisaran optimum bagi pertumbuhan fitoplankton. Tabel 1. Nilai kisaran rata-rata kualitas air pada setiap stasiun dan kedalaman selama penelitian pada bulan Maret hingga April 2010. Stasiun Parameter I II III IV Suhu oC 24,6 - 25,9 24,5 - 25,6 24,6 - 25,8 24,2 - 25,4 Kecerahan (cm) 320 - 500 360 - 630 390 - 650 475 - 645 Kedalaman (m) 19,36 18,80 75,55 55,20 pH 7,8 - 8,7 7,8 - 8,4 7,3 - 8,5 7,8 - 8,4 DO (mg/l) 3,09 - 6,54 4,06 - 6,48 4,98 - 6,43 4,75 - 6,38 Nitrat (mg/l) 0,045 - 0,279 0,246 - 0,393 0,028 - 0,342 0,008 - 0,283 Nitrit (mg/l) 0,002 - 0,003 0,0021 - 0,0023 0,0021- 0,005 0,0018 - 0,0024 Amonia (mg/l) 0,045 - 0,054 0,043 - 0,056 0,042 - 0,052 0,046 - 0,064 Orthofosfat (mg/l) 0,013 - 0,042 0,009 - 0,018 0,010 - 0,027 0,015 - 0,025 Total Fosfat (mg/l) 0,037 - 0,105 0,042 - 0,047 0,038 - 0,056 0,040 - 0,047 Silika (mg/l) 12,22 - 13,64 10,99 - 13,02 12,70 - 13,12 12,33 - 12,74 Klorofil-a (µg/l) 1,531 - 3,744 0,933 - 3,148 1,867 - 4,993 1,093 - 8,131 Ketengan: stasiun I= One one, stasiun II= Mampak, stasiun III= Tengah Danau , stasiun IV= Bewang Secara umum terlihat bahwa unsur hara yang mempengaruhi kelimpahan fitoplankton adalah ortofosfat dan total fosfat, nitrat dan amonia. Ortofosfat, nitrat dan amonia merupakan unsur hara yang dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton. Sedangkan keeratan antara suhu dan pH merupakan komponen yang seiring meningkat satu sama lain, suhu semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman, sama halnya dengan kondisi pH dan DO. 95 Depik, 1(2): 93-98 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Struktur komunitas fitoplankton Komposisi jenis Komposisi fitoplankton yang ditemukan di perairan Danau Laut Tawar terdiri dari 43 jenis (genera), terdiri dari lima kelas yaitu kelas Bacillariophyceae (diatom) sebanyak 9 genera, kelas Chlorophyceae sebanyak 20 genera, kelas Cyanophyceae sebanyak 10 genera, kelas Dinophyceae (dinoflagellata) sebanyak 2 genera, dan Euglenophyceae sebanyak 2 genera. Komposisi fitoplankton yang ditemukan pada setiap kedalaman pengamatan menunjukkan kelas chlorophyceae yang paling banyak jenisnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Siege (2005) disitasi oleh Prabandani (2007) bahwa perairan tergenang yang eutrofik pada umumnya berlimpah fitoplankton dari kelas chlorophyceae. Komposisi kelas fitoplankton dari hasil pengamatan pada 4 stasiun dan 4 kali pengamatan di perairan Danau Laut Tawar disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Jumlah genera fitoplankton berdasarkan kelas yang ditemukan pada seluruh stasiun dan kedalaman pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan pada keempat stasiun dan keempat kedalaman terlihat jenis Nitzschia sp, Eunotia sp, Cosmarium sp, Staurastrum sp, Spirulina sp, Anaebaena sp dan Peridinium sp keberadaannya selalu ada pada setiap pengamatan dan merupakan penyusun utama komunitas fitoplankton di setiap lapisan kedalaman perairan. Komposisi jenis fitoplankton tertinggi terdapat di stasiun II pada kedalaman 15 m yaitu sebanyak 24 genera. Hal ini terkait dengan kondisi perairan dimana letak stasiun ini berada di sekitar pemukiman penduduk sehingga unsur hara yang tersedia relatif tinggi sehingga mendukung pertumbuhan dan perkembangan jenis fitoplankton. Kelimpahan Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan di perairan Danau Laut Tawar pada setiap stasiun pengamatan dan kedalaman 0,2 m, 3 m, 10 m, dan 15 m memperlihatkan perbedaan yang bervariasi. Kelimpahan rata-rata fitoplankton di perairan Danau Laut Tawar berkisar antara 3355 – 38900 sel/l, dengan kelimpahan fitoplankton yang didominasi oleh kelas Bacillarophyceae yaitu berkisar antara 53,75 – 56,02 %. Kelimpahan rata-rata fitoplankton berdasarkan stasiun disajikan pada gambar 3. Gambar 3. Kelimpahan rata-rata fitoplankton berdasarkan stasiun pengamatan di perairan Danau Laut Tawar Kelimpahan fitoplankton tertinggi diperoleh pada stasiun I kedalaman 10 m yaitu 38900 sel/l. Hal ini terkait dengan kondisi perairan yang berada di kawasan karamba jaring apung dimana ketersediaan unsur hara tinggi khususnya kadar nitrat yang mencapai 0,4 mg/l, sehingga pertumbuhan fitoplankton juga optimal. Dalam perkembangan fitoplankton untuk tumbuh ada beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah kekeruhan, proses fotosintesis serta ketersediaan 96 Depik, 1(2): 93-98 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 unsur hara yang cukup. Kelimpahan terendah diperoleh pada stasiun III di kedalaman 15 m yaitu sebesar 3355 sel/l, hal ini diduga karena rendahnya unsur hara pada stasiun ini seperti kadar nitrat 0,0067 mg/l. Kelimpahan fitoplankton menunjukkan perbedaan fluktuasi pada setiap waktu pengamatan yaitu selama 14 hari sekali. Hal ini sesuai dengan penelitian Umar (2003) yang menyatakan bahwa fluktuasi kelimpahan fitoplankton berkaitan dengan siklus hidup dari fitoplankton di perairan yaitu sekitar 15 – 21 hari. Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa fitoplankton merespon perubahan fisika dan kimia lingkungan secara fluktuasi populasi. Perubahan variasi fitoplankton di daerah tropis dapat terjadi karena adanya pengaruh musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kedalaman menunjukkan kelas Bacillariophyceae melimpah di setiap kedalaman dan stasiun pengamatan. Kelimpahan tertinggi yaitu pada kedalaman 10 m. Hal ini terkait dengan intensitas cahaya relatif berkurang pada kedalaman 10 m, dimana beberapa fitoplankton tidak menyukai cahaya matahari dan menempati lapisan kedalaman ini, terutama dari kelas Bacillariophyceae dan Dinophyceae. Tingginya kelimpahan dari kelas Bacillariophyceae diduga karena tingginya kadar silika, selain itu kelas Bacillariophyceae merupakan jenis diatom yang paling toleran terhadap kondisi perairan seperti suhu dan mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan perairannya sehingga dapat berkembang biak dengan cepat dan memanfaatkan kandungan nutrien dengan baik. Kemampuan reproduksi dari diatom lebih besar dibandingkan dengan kelompok fitoplankton lainnya. Pada saat terjadi peningkatan konsentrasi zat hara, diatom mampu melakukan pembelahan mitosis sebanyak tiga kali dalam 24 jam. Dinoflagellata hanya mampu melakukannya satu kali dalam 24 jam pada kondisi zat hara yang sama (Praseno dan Sugestiningsih 2000). Indek biologi Rata-rata indeks keanekaragaman fitoplankton di stasiun I berkisar antara 1,66 – 1,99, pada stasiun II berkisar antara 1,77 – 2,00. Indeks keanekaragaman di stasiun III dan IV masing-masing berkisar antara 1,70 – 1,99 dan 1,68 – 1,87. Berdasarkan kriteria nilai indeks keanekaragaman dari Odum (1971) menunjukkan bahwa keanekaragaman dan kestabilan komunitas fitoplankton di perairan Danau Laut Tawar tergolong sedang (moderat). Keanekaragaman fitoplankton antar kedalaman juga menunjukkan hal yang sama bahwa keanekaragaman jenis fitoplankton di kedalaman permukaan, 3 m, 10 m, dan 15 m memiliki keanekaragaman sedang. Hal ini terlihat dari komposisi genera fitoplankton yang relatif tinggi. Indeks kemerataan secara keseluruhan di setiap stasiun pengamatan dan kedalaman berkisar antara 0,62 – 0,73. Basmi (2000) menjelaskan bahwa nilai indeks kemerataan jenis berkisar antara 0-1. Berdasarkan nilai indeks tersebut terlihat bahwa perairan Danau Laut Tawar memiliki kemerataan fitoplankton yang tinggi. Kisaran indeks dominansi pada setiap stasiun dan kedalaman secara keseluruhan adalah 0,19 – 0,29. Berdasarkan nilai tersebut terlihat bahwa indeks dominansi di perairan Danau Laut Tawar tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa relatif tidak ada jenis plankton yang mendominansi perairan tersebut. Menurut Basmi (2000) nilai indeks dominansi plankton berkisar antara 0 – 1, bila indeks dominansi mendekati 0, berarti di dalam struktur komunitas biota yang kita amati tidak terdapat jenis yang secara menyolok mendominansi jenis lainnya. Secara umum struktur komunitas fitoplankton di perairan Danau Laut Tawar menggambarkan kondisi yang relatif stabil namun dapat berubah sewaktu-waktu dengan adanya perubahan kondisi lingkungan, hal ini dindikasikan dengan indeks keanekaragaman fitoplankton yang tergolong sedang, indeks keseragaman yang relatif merata dan indeks dominansi yang relatif rendah. Hal ini terlihat dari komposisi genera fitoplankton yang relatif tinggi pada setiap waktu pengamatan. Adanya beberapa jenis fitoplankton yang keberadaannya selalu hadir di setiap kedalaman dan stasiun pengamatan pada empat kali waktu pengamatan seperti jenis Nitzschia sp, Eunotia sp, Cosmarium sp, Staurastrum sp, Spirulina sp, Anaebaena sp dan Peridinium sp. Sehingga tidak adanya perubahan yang nyata terhadap jenis fitoplankton yang muncul di empat kali pengamatan. Beberapa faktor dapat menjadi pertimbangan untuk menjelaskan fenomena perkembangan komunitas fitoplankton ini, antara lain faktor lingkungan, waktu sampling, keberadaan unsur hara yang relatif tidak berbeda antar waktu pengamatan. Kesimpulan Komposisi fitoplankton yang ditemukan di perairan Danau Laut Tawar terdiri dari 43 jenis (genera) fitoplankton. Kelimpahan fitoplankton tertinggi diperoleh pada stasiun I kedalaman 10 m yaitu 38900 sel/l. Kelimpahan terendah diperoleh pada stasiun III di kedalaman 15 m yaitu sebesar 3355 sel/l. Kelimpahan fitoplankton secara keseluruhan di dominasi oleh kelas Bacillarophyceae yaitu berkisar antara 53,75 – 56,02 % dengan jenis yang melimpah yaitu Nitzschia sp. Secara umum struktur komunitas fitoplankton Danau Laut tawar menunjukkan keanekaragaman yang relatif sedang, dengan nilai indeks keanekaragaman plankton tertinggi ditemukan di stasiun I kedalaman 15 meter (2,34). Nilai indeks keseragaman jenisnya bervariasi dan relatif sedang berkisar antara 0,43 - 0,87, ini menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis juga bervariasi namun tidak ada jenis yang mendominansi dan ini terlihat dari indeks dominansinya yang relatif rendah yaitu berkisar antara 0,12 – 0,55. Beberapa jenis fitoplankton yang keberadaannya selalu hadir di setiap kedalaman dan stasiun pengamatan pada empat kali waktu pengamatan sehingga tidak adanya perubahan yang nyata terhadap jenis fitoplankton yang muncul di empat kali pengamatan. Daftar Pustaka American Public Health Association. 2005. Standard methods for the examination of water and wastewater, 21th edition. Washington: APHA, AWWA (American Waters Works Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Hal 3 – 42. Amalia, F.J. 2010. Pendugaan status kesuburan perairan Danau Lido, Bogor, Jawa Barat, melalui beberapa pendekatan [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 82 hal. 97 Depik, 1(2): 93-98 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Bappeda Kabupaten Aceh Tengah. 2004. Laut Tawar selayang pandang (karateristik Danau Laut Tawar). Brosur. Takengon. 9 hal. Basmi, J.H. 2000. Planktonologi: Plankton sebagai bioindikator kualitas perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. 59 hal. Belcher, H., E. Swale. 1979. An Illustrated guide to river phytoplankton. London: Institute of Terrestrial Ecology, Camridge. 64 p. Bengen, D.G. 2000. Teknik pengambilan contoh dan analisa data biofisik sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Bogor. 88 hal. Damar, A. 2003. Effects of enrichment on nutrien dynamics, phytoplankton dynamics and primary production in Indonesian tropical waters : a comparison between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. Forschung-und Technologiezentrum Westkueste Publ. Ser No. 199: 196 p. Kartamihardja, E.S., H. Satria, A.S. Sarnita. 1995. Limnologi dan potensi produksi ikan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1(3): 11-25. Mizuno, T. 1979. Illustration of the freshwater plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co. Ltd., Osaka. 353 p. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of ecology. Third Ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. 574 p. Prabandani, D. Diah, B.S. Setiani, A. Sabar. 2007. Komposisi plankton di perairan Waduk Saguling, Jawa Barat. Lingkungan tropis edisi khusus Agustus 2007. IATPI. Bandung. Indonesia. Prescott, G.W. 1970. How to know the freshwater algae. WMC Brown Company Publisher, IOWA. 384 p. Sulawesty, F., Yustiawati. 1999. Distribusi vertikal fitoplankton di Danau Kerinci. Jurnal Limnotek, 6 (2): 13 – 21. Sulawesty, F. 2007. Distribusi vertikal fitoplankton di Danau Singkarak. Jurnal Limnotek, 14 (1): 37 – 46. Vollenweider, R.A., F. Giovanardi, G. Montanari, A. Rinaldi. 1998. Characterization of the trophic conditions of marine coastal waters with special reference to the NW Adriatic Sea: Proposal for a trophic scale, turbidity and generalized water quality index. Journal Environmetric, 9 (1): 329 – 357. Wetzel, R.G., G.E. Liken. 1991. Limnological analyses, 2nd. Springer-Verlag, New York. 98 Depik, 1(2): 99-102 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Selektivitas fraksi Rf < 0,5 ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air (Barringtonia racemosa)terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan ikan lele lokal (Clarias batrachus) The selectivity of fraction Rf < 0.5 of ethyl acetate extract (EtOAc) of putat air kernel (Barringtonia racemosa) on golden apple snail (Pomacea canaliculata) and local catfish (Clarias batrachus) Musri Musman1* , Sofia2 , Viqqi Kurnianda1 Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. Email korespondensi: [email protected] Abstract. Research to determine the selectivity of fraction Rf < 0.5 of ethyl acetate extract (EtOAc) of putat air kernel (Barringtonia racemosa) on golden apple snail(Pomacea canaliculata) and local catfish (Clarias batrachus) was conducted in February 2012 at the Laboratory of Chemistry of Teacher Training and Education Faculty and Laboratory of Marine Chemistry of Coordinatorate of Marine and Fisheries of Syiah Kuala University. Thin-layer chromatography was used to separate components in the extract samples, and testing of biological activity based on the procedures recommended by FAO. Golden apple snail and local catfish mortality data were analyzed using Probit program, and value of selectivity (S) was processed according to the Wang and Feng’s formula.The values of LC50 of the fraction Rf < 0.5 were 29.26 ppm for P. canaliculata and 44.47 ppm for C. batracus. The selectivity value for the tested organisms was 1.51. This study revealed that the tested extract has bioactive property as molluscicide of P. canaliculata. Key words: Biological activity, thin-layer chromatography, mortality, bioactive property, molluscicide, LC50. Abstrak.Penelitian untuk mengetahui selektivitas fraksi Rf < 0,5 ekstrak EtOAc biji putat air (Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan lele lokal (Clarias batrachus) telah dilakukan pada bulan Februari 2012 di Laboratorium Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Laboratorium Kimia Laut Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala. Kromatografi lapis tipis digunakan sebagai teknik pemisahan komponen senyawaan dalam ekstrak cuplikan, dan pengujian keaktifan biologi didasarkan pada kaedah yang dianjurkan oleh FAO. Data mortalitas keong mas dan lele lokal yang diperoleh karena pemberian fraksi Rf < 0,5 ekstrak EtOAc biji B. racemosa dianalisa dengan program Probit, dan harga selektivitas (S) diolah berdasarkan formula Feng dan Wang. Harga LC50 fraksi Rf< 0,5 ekstrak EtOAc biji B. racemosa terhadap P. canaliculata dan C.batracus masing-masing adalah 29,26 ppm dan 44,47 ppm. Nilai selektivitas fraksi Rf< 0,5 ekstrak EtOAc biji B.racemosa terhadap organisme uji adalah 1.51. Penelitian ini menunjukkan bahwa fraksi Rf < 0,5 ekstrak EtOAc biji putat air memiliki bioaktif sebagai moluskosida keong mas. Kata kunci: Keaktifan biologi, kromatografi lapis tipis, mortalitas, bioaktif, moluskosida, LC 50. Pendahuluan Musman et al. (2012) melaporkan bahwa ekstrak EtOAc biji putat air menunjukkan selektivitas racun terhadap keong mas (Pomacea canaliculata). Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan terhadap bahan alam ekstrak EtOAc yang berpotensi sebagai moluskosida keong mas. Kajian ini berdasarkan dari fakta bahwa ekstrak EtOAc terdiri atas campuran bahan alam yang memiliki sifat kutub dan tankutub. Campuran bahan alam tersebut dapat dipisah-pisahkan menjadi fraksi kutub dan fraksi tankutub. Salah satu cara pemisahan dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis. Pada pemisahan kromatografi lapis tipis, ekstrak EtOAc diaplikasikan pada fasa diam silika gel dan dibawa oleh pelarut sebagai fasa gerak. Berdasarkan berat molekul, ekstrak EtOAc terpisah-pisah menjadi fraksi-fraksi oleh daya gerak pelarut yang digunakan. Keterpisahan fraksi-fraksi dimaksud dihitung berdasarkan harga faktor retardasinya dalam rentang 0≤ Rf ≤ 1. Harga Rf rendah menunjukkan fraksi berafinitas besar atau fraksi kutub, dan sebaliknya harga Rf tinggi menunjukkan fraksi berafinitas kecil atau fraksi tankutub. Dalam penelitian ini, fraksi-fraksi yang memiliki Rf<0,5 diakumulasi sebagai fraksi kutub dari ekstrak EtOAc. Keong mas dan lele lokal merupakan biota air tawar yang dapat hidup bersama-sama dalam suatu ekosistim misalnya di sawah. Oleh karena itu, perlu dikaji apakah pemberian fraksi R f < 0,5 dari ekstrak EtOAc B. racemosa terhadap keong mas sebagai organisme sasaran memberikan pengaruh merugikan bagi lele lokal yang merupakan organisme bukan sasaran dalam pengendalian hama padi di sawah. Suripto (2009) menyatakan bahwa untuk menilai kualitas suatu pestisida bukan saja ditentukan oleh toksisitasnya terhadap organisme sasaran, tetapi juga perbandingan toksisitas terhadap organisme lain yang bukan sasaran. Terkait penelitian ini, fraksi-fraksi Rf <0,5 dari ekstrak EtOAc B. racemosa akan diuji selektivitas racunnya terhadap keong mas dan lele lokal. 99 Depik, 1(2): 99-102 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2012 di Laboratorium Kimia FKIP Universitas Syiah Kuala dan Laboratorium Kimia Laut Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala. Ekstraksi dan fraksinasi Pemisahan komponen ber-Rf < 0,5 dari ekstrak sampel dilakukan sebagai berikut. Ekstrak EtOAc dari biji B. racemosa sebanyak 1,89 g dihidrolisa dengan menggunakan prosedur Wang et al. (2011). Hasil hidrolisa dipisahkan atas lapisan kloroform dan air. Lapisan kloroform dikeringkan dengan pengawa putar dan diperoleh residu sebanyak 0,5g (dinyatakan sebagai A). Residu ini selanjutnya difraksinasi dengan kromatografi lapis tipis Si60 (Merck Kieselgel 60F 254, 20 x 20 cm)dengan pengembang diklorometana. Komponen ber-Rf < 0,5 dikerok dan diekstraksi dengan EtOAc, dan diperoleh residu sebanyak 0,22g (dinyatakan sebagai B). Organisme uji Organisme yang digunakan untuk uji selektivitas ini adalah keong mas (Pomacea canaliculata) yang dikumpulkan dari Desa Cot Irie, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, dan lele lokal (Clarias batrachus) yang dipasok dari lokasi pembenihan ikan budidaya di daerah Bogor, Jawa Barat. Masing-masing jenis organisme yang dibutuhkan 180 individu dan sebagai cadangan organisme masing-masing 20 individu, sehingga masing-masing organisme dibutuhkan sebanyak 200 individu. Persiapan wadah uji Wadah uji untuk penelitian ini adalah aquarium kaca berukuran 45cm x 30cm x 35cm sebanyak 36 unit. Ketinggian air dari dasar wadah adalah 10 cm( Musman, 2010). Proses pencampuran fraksi ber-Rf < 0,5 dalam wadah uji Untuk pencampuran fraksi ber-Rf < 0,5 disiapkan aquarium kaca sebanyak 36 unit yang dikelompokkan atas 18 unit untuk keong mas dan 18 unit untuk lele lokal. Selanjutnya, larutan B dibuat dengan konsentrasi masing-masing 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm. Kemudian, air diambil dari lokasi pengambilan keong mas, lalu dimasukkan ke dalam akuarium uji setinggi 10 cm yang diukur dari dasar aquarium (volume air 13,5L), dan diisi 10 individu uji pada setiap aquarium. organisme uji terlebih dahulu didiamkan (adaptasi) di dalam aquarium selama lebih kurang 30 menit tanpa diberi makanan, selanjutnya dituangkan larutan B sebanyak 100 mL kedalam setiap aquarium sesuai dengan konsentrasinya. Pengamatan kondisi dan mortalitas organisme uji Pengujian keaktifan biologi dilakukan berdasarkan kaedah yang dianjurkan oleh FAO (Reish dan Oshida, 1987). Pengamatan dilakukan setelah penuangan larutan ekstrak ke dalam aquarium yang berisi organisme uji. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui angka mortalitas setelah 48 jam pemberian ekstrak. Mortalitas keong mas ditandai dengan keluarnya cairan melalui celah operculum atau kakunya pergerakan operculum bila ditekan ke arah dalam (Musman, 2004). Ciri-ciri keracunan ikan dirujuk pada Rudiyanti dan Ekasari (2009)yang menyatakan bahwa ikan yang terkena racun dapat diketahui dengan gerakan yang hiperaktif, lebih sering berada di permukaan, menggelepar, lumpuh sehingga kemampuan ikan untuk beradaptasi semakin berkurang dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Analisa data Data mortalitas keong mas dan lele lokal yang diperoleh karena pemberian fraksi R f < 0,5 ekstrak EtOAc biji B. racemosa dianalisa dengan program Probit (Finney, 1971). Menurut Feng dan Wang (1984), harga LC50 yang diperoleh digunakan untuk menghitung harga selektivitas (S) melalui formula: S = LC50 lele lokal/LC50 keong mas Dimana : S = harga selektivitas, LC50 lele lokal sebagai organisme non sasaran, LC50 keong mas sebagai organisme sasaran. Kesimpulan terhadap harga S adalah: Jika S > 1 berarti ekstrak uji merupakan racun yang selektif terhadap keong mas, dan jika S 1 berarti ekstrak uji merupakan racun yang tidak selektif terhadap keong mas. Hasil dan Pembahasan Data mortalitas keong mas dan lele lokal yang diberi perlakuan fraksi R f < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji B. racemosa dengan konsentrasi berbeda diolah ke dalam diagram batang(Gambar 1). Data mortalitas yang telah diperoleh, diproses dan dianalisa dengan program Probit, untuk mendapatkan nilai LC 50 sebagaimana diungkapkan pada Tabel 1. Nilai selektivitas fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji putat air dihitung berdasarkan harga LC 50 masing-masing organisme uji. Nilai selektivitas yang diperoleh adalah 1,51. Teramati dalam uji ini bahwa keong mas memperlihatkan respon dengan menutup operculum-nya rerata lima menit setelah dipajan larutan uji. Hal ini diperkirakan bahwa larutan uji tersebar keseluruh badan air uji dalam waktu kurang dari lima menit. Ini mengindikasikan kelarutan larutan uji dengan air sangat besar. Keong mas mendeteksi adanya toksikan di badan air tersebut, dan seketika menarik kakinya ke dalam cangkangnya melalui operculum untuk menghindari kontak dengan toksikan. Keadaan diam keong mas dengan menutup operculum diduga sebagai upaya keong mas meminimalkan kontak dengan toksikan. Namun, keinginan makan yang besar dari keong mas menjadi pemicu terbukanya operculum untuk mencari makanan. Keaktifan keongmas bergerak untuk mencari makanan berakibat pada seringnya terjadi kontak kaki dengan bahan moluskosida (Musman, 2009). 100 Depik, 1(2): 99-102 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Tabel 1. Nilai LC50 yang diperolehmasingmasing organisme uji Organisme uji LC50 [ppm] Keong mas (P. canaliculata) 29,259 Lele lokal (C. batracus) 44,471 Gambar 1. Mortalitas keong mas dan lele lokal versus konsentrasi larutan Dalam upaya menetralisir pengaruh racun uji, keong mas mengeluarkan cairan berupa lendir dari tubuhnya. Diduga, lendir yang dikeluarkan oleh keong mas justru mengakumulasi toksikan di tubuhnya. Akibat terakumulasi toksikan di tubuhnya, keong mas bergerak ke permukaan badan air untuk bernafas melalui siphon. Francis et al. (2002) menyatakan bahwa terhambatnya proses pernafasan pada keong mas terjadi karena difusi oksigen melalui insang terhalang oleh lendir tersebut. Namun, dalamnya badan air dalam wadah uji menghalangi keong mas menarik oksigen terus menerus, dan memaksa keong mas tenggelam ke badan air berisi toksikan. Produksi lendir dari tubuh keong mas dalam jumlah yang berlebihan diperkirakan menghambat proses pernafasannya dan mengakibatkan kematian biota tersebut. Musman (2010) menyatakan bahwa pada biji putat air terkandung senyawa saponin. Diduga, adanya senyawa kelompok glikosida tersebut dalam ekstrak biji putat air menyebabkan kematian pada keong mas. Pengamatan terhadap lele lokal menunjukkan lele lokal tetap bergerak aktif menuju tepi dan dasar wadah meskipun larutan uji telah dipajan dalam kurun waktu 15 menit. Tanggapan lele lokal terhadap kehadiran toksikan di badan air uji diperlihatkan dengan kegiatan yang tak normal seperti “berguling-guling (twisting), berputar-putar (whirling), gerakan lambat (sluggishness), dan hilangnya kemampuan apung (loss of buoyancy) (Pierce et al., 1994). Perubahan tingkah laku pada lele lokal diduga karena adanya pengaruh pemberian fraksi R f < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji putat air yang mengandung senyawa saponin. Perubahan tingkah laku dimaksud tidak teramati pada kontrol. Saponin merupakan racun bagi organism poikiloterm karena dapat menghemolisis sel darah merah (Musman, 2004). Hemolisis sel darah merah diduga terjadi di insang yang berakibat pada kelumpuhan sistem saraf pusat lele lokal sehingga lele lokal tidak dapat bernafas dan berakibat pada kematiannya. Hal ini diperlihatkan dengan jelas oleh lele lokal melalui kegiatan yang paling menonjol dilakukan oleh ikan uji tersebut, dalam upaya beradaptasi dengan badan air yang telah dipajan toksikan, adalah tingginya frekwensi muncul ke permukaan air sebagai upaya untuk menghirup udara melalui organ arborescent. Rudiyanti dan Ekasari (2009) menguatkan amatan pada penelitian ini bahwa ikan yang terkena racun dapat diketahui dengan gerakan yang hiperaktif, lebih sering berada di permukaan, menggelepar, lumpuh sehingga kemampuan ikan untuk beradaptasi semakin berkurang dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Pengamatan uji ini berlangsung selama 48 jam. Kurun waktu ini dikategorikan sebagai jenis bioassay periode waktu pendek (Reish dan Oshida, 1987).Selama kurun waktu ini, senyawaan toksikan menunjukkan kestabilan struktur. Pemajanan fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji putat air terhadap organisme uji menunjukkan pengaruh mematikan terhadap organisme dimaksud dari waktu ke waktu selama kurun waktu penelitian. Itu berarti, struktur senyawa toksikan dimaksud tidak mengalami deformasi selama berada dalam badan air. Bila terjadi deformasi struktur suatu toksikan, sifat biologi racunnya akan hilang dan tidak dapat memberikan efek mematikan bagi organisme uji dalam kurun waktu pengujian (Musman, 2010). Pengaruh konsentrasi larutan uji terhadap kematian organisme uji teramati dengan sangat jelas. Kematian organisme uji berbanding lurus dengan konsentrasi larutan uji (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak zat toksikan yang dipajan maka semakin banyak organisme uji yang merespon mati dalam kurun waktu penelitian ini. Hasil analisa probit menunjukkan harga LC50 untuk keong mas dan lele lokal masing-masing sebesar 29,26 ppm (dengan batas bawah sebesar 20,07 ppm dan batas atas sebesar 37,25 ppm) dan 44,47 ppm (dengan batas bawah sebesar 31,11 dan batas atas sebesar 57,27 ppm). Konsentrasi batas bawah merupakan konsentrasi dimana organisme mulai mengalami kematian, sedangkan batas atas merupakan konsentrasi dimana seluruh organisme yang dipajankan mengalami kematian. Harga LC50 di atas mengindikasikan bahwa lele lokal merespon mati pada rentang konsentrasi larutan uji 31,11 ppm dan 57,27 ppm atau pada rerata konsentrasi 44,47 ppm. Dipihak lain, keong mas merespon mati pada rentang 101 Depik, 1(2): 99-102 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 konsentrasi larutan uji 20,07 ppm dan 37,25 ppm atau pada rerata konsentrasi 29,26 ppm. Harga LC 50 ini bermakna pada konsentrasi 29,26 ppm lele lokal belum merespon mati sebesar 50% bila dibandingkan dengan keong mas. Nilai dimaksud menunjukkan bahwa larutan uji yang dipajan ke badan air uji direspon mati oleh lele lokal pada konsentrasi 44,47 ppm pada rentang terendah 31,10 ppm dan rentang tertinggi 57,27 ppm. Itu bermakna, konsentrasi larutan uji sebesar 29,26 ppm telah memberi efek mati bagi keong mas tapi tidak mematikan bagi lele lokal. Nilai selektivitas fraksi Rf < 0,5 dari ektrak EtOAc biji putat air yang diperoleh dari perbandingan LC 50 lele lokal terhadap LC50 keong mas adalah 1,51. Nilai ini menunjukkan bahwa fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji putat air menunjukkan selektivitas racun terhadap keong mas sebagai biota sasaran. Kesimpulan Pemberian fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji putat air kepada keong mas dan lele lokal menyebabkan mortalitas keong mas dan lele lokal. LC50 fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji putat air terhadap keong mas dan lele lokal masing-masing adalah 29,26 ppm dan 44,47 ppm berdasarkan analisa Probit. Nilai selektivitas fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji putat air terhadap organisme uji adalah 1,51. Senyawaan yang terkandung dalam fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak EtOAc biji putat air memperlihatkan moluskosida keong mas. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kavinta Melanie yang telah memberikan ekstrak AtOAc dari biji B. racemosa untuk digunakan pada penelitian ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada reviewer atas arahannya sehingga paper ini menjadi lebih baik. Daftar Pustaka Feng, H.T., T.C. Wang. 1984. Selectivity of insecticides to Plutella xylostella (L) and Apanteles plutellae. Plan Prot. Bull., 26: 275-284. Finney, D.J. 1971. Probit analysis. 3rd ed. Cambridge Univ. Press, Cambridge. Francis, G., Z. Keren, H.P.S. Makkar, K. Becker. 2002. The Biological action of saponin in animal system, A review. British Journal of Nutrition, 88:587-605. Musman, M. 2004. Effect of methanol extract of fruit of Penteut (Barringtonia asiatica) to mortality of golden apple snail (Pomacea canaliculata). Jurnal Natural, 4(2): 9-11. _______, M., 2009.The Potency of Penteut Ie (Acehnese, Barringtonia racemosa (L.) Spreng) as molluscicide of Pomacea species (Ampullariidae), in Abidin dkk. (eds.), Understanding disaster and environmental issue with science and engineering towards sustainable development. Proceeding The International Conference on Natural and Environmental Sciences 2009 (ICONES’09). Banda Aceh, 6-8 May 2009. _______, M. 2010.Toxicity of Barringtonia racemosa(L.) kernel extract on Pomacea canaliculata (Ampullariidae). Tropical Life Science Research, 21(2): 41-50. _______, M., S. Karina, K. Melanie. 2012. Uji selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air (Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan ikan lele lokal (Clarias batracus). Depik, 1(1): 27-31. Pierce, R.A., T.W. May, V. C. Suppes. 1994. Collection and submission of samples of fish-kill investigation and toxicsubstances analysis. University of Missouri Extension, Columbia, MO. Publication No. G9402. Reish, D.L., P.S. Oshida. 1987. Manual of methods in aquatic environment research. Part 10: Short – term Static Biossay. FAO Fisheries Technical Paper No. 247. Rudiyanti, S., A.D. Ekasari. 2009. Pertumbuhan dan survival rate ikan mas (Cyprinus carpio Linn) pada berbagai konsentrasi pestisida regent 0,3 g. Jurnal Saintek Perikanan, 5(1): 39-47. Suripto. 2009. Selektifitas anti Moluska dari tanaman Jayanti {Sesbania sesban (L.) Merr.}. Jurnal Biol. Trop., 10(1): 24-32. Wang, L., X. Wang, X. Yuan, B. Zhao. 2011. Simultaneous Analysis of Diosgenin and Sarsasapogenin in Asparagus officinalis Byproduct by Thin-layer Chromatography. Phytochem. Anal., 22: 14-17. 102 Depik, 1(2): 103-106 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Karakter bilateral simetri ikan betutu (Oxyeleotris sp.): Kajian keragaman morfologi sebagai dasar pengembangan budidaya Bilateral symmetry fish character: The study of morphological diversity as a basis for aquaculture development Muh. Nadjmi Abulias*, Dian Bhagawati Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Kampus UNSOED Grendeng Purwokerto 53122 *Email korespodensi : [email protected] Abstract. Genetic diversity information of Gobiidae is needed as a basis for management of its culture or conservation efforts. Mean while, the stability development of the paired organs in animals is closely related to the level of their genetic diversity. In this regard, a study has been conducted to determine of bilateral symmetry characteristics of marble gobies from Jenderal Soedirman reservoir of Banjarnegara and Rawapening Swamp of Salatiga. A survey method was used with purposive sampling technique. The observed variables were abnormalities and meristic bilateral characters. The characters including the number of soft rays on pectoral fins and pelvic fins, and the number of scales on lateral lines. The results showed that both marble gobies from Jenderal Soedirman Reservoir and Rawapening Swamp did not show abnormalities. However, their bilateral meristic characters had been fluctuated, especially for pectoral fins and lateral lines; whereas pelvic fins seem to be symmetry. According to their observed bilateral symmetry characters, in general, it could be concluded that marble gobies from Jenderal Soedirman Reservoir had a better genetic diversity compare to those from Rawapening Swamp. Therefore, it can be used as local genetic resources. Key words: Bilateral symmetry character, marbel gobies, Jenderal Soedirman Reservoirs, Rawa pening Swamp Abstrak. Informasi keragaman genetik betutu diperlukan sebagai dasar pengelolaan dalam pemeliharaan ataupun upaya konservasinya. Sementara itu, kestabilan perkembangan organ-organ berpasangan pada hewan terkait erat dengan tingkat keragaman genetiknya. Sehubungan dengan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian untuk mengetahui karakter simetri bilateral pada ikan betutu yang berasal dari waduk Panglima Besar Soedirman Banjarnegara dan Rawa Pening Salatiga. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan teknik pengambilan sampel secara purvosive sampling. Variabel utama yang diamati adalah abnormalitas dan karakter meristik bilateral. Karakter meristik bilateral mencakup jumlah jari-jari lemah sirip dada, sirip perut, dan jumlah sisik linea lateralis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan betutu yang diamati tidak mengalami abnormalitas, baik yang berasal dari waduk Rawa Pening maupun Pangsar Soedirman. Namun, mengalami fluktuasi karakter meristik bilateral untuk organ sirip dada dan linea lateralis, sedangkan untuk rumus jari-jari sirip perut, semuanya dalam keadaan simetris. Secara umum berdasarkan karakter simetri bilateral yang diamati, diperoleh informasi bahwa populasi betutu asal waduk Pangsar Soedirman memiliki keragaman genetik yang lebih baik dari pada populasi Rawa Pening, sehingga dapat digunakan sebagai sumber genetik lokal. Kata kunci : Karakter simetri bilateral, betutu, waduk Rawa Pening dan Pangsar Soedirman Pendahuluan Ikan betutu (Oxyeleotris sp) merupakan salah satu jenis ikan air tawar dari familia Eleotrididae berukuran sedang dan dapat dibedakan dari anggota familia Gobiidae oleh sirip perutnya yang terpisah (tidak berbentuk mangkok) dan adanya enam jari tulang penguat tutup insang. Terdapat tiga species ikan betutu yang telah diketahui, yaitu O. marmarata., O. uropthalmoides dan O. uropthalmus (Kottelat et al., 1993). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ikan tersebut kebanyakan hidup di muara sungai, rawa, atau danau. Bentuk tubuh ikan betutu menyerupai ikan lele, khususnya kepalanya yang pipih dorsoventral. Akan tetapi, ikan betutu tidak memiliki sungut dan patil. Selain itu, tubuhnya tertutup oleh sisik. Bagian dorsal tubuh mulai dari kepala sampai dengan ekor dihiasi oleh ornamen-ornamen spesifik berwarna gelap dan terang. Oleh karena itu, di Kalimantan ikan betutu dikenal sebagai ikan hantu. Di luar negeri ikan betutu disebut the sleeper fish karena ikan ini senang tidur atau berdiam diri (Nyuwan, 2000; Larson, 2000). Ikan betutu (Oxyeleotris sp) mempunyai potensi besar sebagai komoditas ekspor ke berbagai negara. Namun, hingga kini ketersediaannya belum dapat memenuhi peluang tersebut karena sepenuhnya masih bergantung kepada hasil penangkapan di alam (Nyuwan, 2000). Apabila kegiatan eksploitasi ikan betutu dari alam tidak diimbangi dengan usaha budidayanya, maka dikhawatirkan akan menurunkan populasinya di alam dan mengancam kelestariannya. Usaha budidaya ikan mencakup kegiatan pembenihan dan pembesaran memerlukan modal pengetahuan dan keterampilan yang memadai bagi pembudidayanya. Terutama terkait dengan kualitas induk yang akan dipijahkan. Mengingat, kualitas induk ikut berperan dalam menentukan kualitas keturunannya. Satyani (2007) menyatakan bahwa calon induk ikan yang akan digunakan dalam pembenihan, sebaiknya memenuhi persyaratan dalam hal umur, ukuran dan asal-usul genetisnya. Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh dalam melakukan estimasi studi genetika pada suatu populasi species organisme dimaksudkan untuk memberikan evaluasi mengenai variasi genetik populasi tersebut. Suryadi (2002) studi tentang variasi genetik merupakan aspek yang sangat penting dalam pelestarian dan juga pemanfaatan plasma nutfah. 103 Depik, 1(2): 103-106 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Evaluasi karakter dari suatu populasi dapat dilakukan dengan studi analisis protein (protein elektroforesis) ataupun melalui studi morfometrik. Kedua cara tersebut dapat digunakan untuk menentukan keragaman genetik dalam struktur populasi (Taniguchi dan Sugama,1990). Kestabilan perkembangan organ-organ berpasangan pada hewan berhubungan erat dengan tingkat keragaman genetiknya. Kestabilan organ-organ berpasangan tersebut, disebut dengan fluktuasi asarsimetri (Clarke,1992). Atas dasar hal tersebut, maka untuk mengetahui keragaman genetik ikan betutu asal Waduk PB Soedirman Banjarnegara dan Waduk Rawa Pening Salatiga, telah dilakukan karakterisasi morfologi, khususnya pemeriksaan karakter meristik bilateralnya. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan mampu menjadi landasan dalam upaya pelestarian ikan betutu di alam dan kegiatan budidayanya. Bahan dan Metode Materi penelitian berupa ikan betutu dari Waduk PB Soedirman Banjarnegara dan Waduk Rawa Pening Salatiga. Alat yang digunakan adalah kontainer plastik, sarung tangan, bak preparat, disecting set, jangka sorong (ketelitian 0,1 mm), timbangan teknik (ketelitian 0,01 gram), jarum preparat, kaca pembesar dan mikroskop bcinokuler. Penelitian menggunakan metode survei dengan teknik pengambilan sampel secara Purposive Random Sampling. Jumlah sampel ikan betutu dari masing-masing waduk sebanyak 30 ekor. Data utama yang diamati yaitu karakter meristik bilateral yang mencakup jumlah jari-jari lemah sirip dada, sirip perut dan sisik pada garis rusuk (linea lateralis). Untuk melakukan karakterisasi tersebut, langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut (Saanin, 1984 dan Nurhidayat et al., 2003) : a. ikan sampel, yang memiliki organ tubuh berpasangan pada sisi kiri dan kanannya tidak tumbuh sama sekali, dipisahkan dari perhitungan asimetri dan dikelompokkan pada individu yang abnormal untuk menentukan tingkat abnormalitasnya. b. sirip dada dan sirip perut, dipisahkan dari tubuh ikan sampel dengan cara memotong dari bagian pangkal tanpa merusak jari-jari lemahnya. c. dilakukan penghitungan bagian kiri dan bagian kanan organ-organ tersebut di bawah mikroskop binokuler serta dilakukan penghitungan jumlah sisik pada linea lateralis. Hasil pengukuran dan penghitungan jumlah jari-jari lemah sirip dada, sirip perut, serta jumlah sisik linea lateralis, selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai fluktuasi asimetri besaran dan bilangan berdasarkan petunjuk dari Leary et al. (1985). Fluktuasi asimetri besaran (FAm), yaitu jumlah absolut perbedaan karakter organ kiri dengan kanan dari sejumlah individu yang diamati. Fluktuasi asimetri bilangan (FAn), yaitu jumlah karakter individu asimetri dari sejumlah individu yang diamati. FA m = Σ ( L – R ) N FA n = Σ Z n Keterangan : FA m : fluktuasi asimetri besaran (magnitude) FA n : fluktuasi asimetri bilangan (number) L : jumlah organ sisi kiri R : jumlah organ sisi kanan Z : jumlah individu asimetri untuk ciri meristik tertentu N, n : jumlah sampel Tingkat abnormalitas, diamati berdasarkan persentase abnormalitas dari masing-masing organ yang diamati. Data hasil pengamatan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Hasil determinasi dan identifikasi terhadap ikan betutu hasil tangkapan di Waduk PB Soedirman dan Waduk Rawa Pening, mengarah pada Oxyeleotris marmorata Blkr. Bentuk kepala gepeng, tubuh bagian anterior silindris, sedangkan bagian posteriornya pipih. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah, sirip perut sepasang, bentuk membulat dan terletak berdekatan. Mempunyai sepasang sirip dada yang bentuknya membulat serta sebuah sirip ekor dengan ujung membulat. Terdapat perbedaan warna tubuh ikan betutu asal Waduk PB Soedirman dengan yang berasal dari Waduk Rawa Pening. Ikan betutu asal Waduk PB Soedirman mempunyai warna tubuh coklat kehitaman dengan bercak-bercak hitam di seluruh tubuhnya., sedangkan yang berasal dari Waduk Rawa Pening tubuhnya berwarna coklat kekuningan dengan bercak hitam. Warna sirip dada dan perut pada ikan betutu asal Waduk PB Soedirman kekuningan, sedangkan yang berasal dari Waduk Rawa Pening warna kemerahan. Ikan betutu asal Waduk PB Soedirman yang diamati mempunyai panjang tubuh berkisar antara 15,5 – 24,8 cm dengan bobot berkisar 190 –347,5 gram, sedangkan yang berasal dari Waduk Rawa Pening, mempunyai panjang tubuh berkisar antara 19 – 29,2 cm dengan bobot berkisar 250,1 – 494,8 gram. Menurut Komarudin (2000), rumus jari-jari pada ikan betutu adalah D.1. VI; D.2. I-9; A I. 7-8; P. 17-19; L.l 80-90; L.tr. ± 25. Pada penelitian ini, organ berpasangan yang diamati meliputi : rumus jari-jari sirip dada, sirip perut dan jumlah sisik pada linea lateralis. Keadaan asimetri dialami pada rumus jari-jari pada sirip dada dan jumlah sisik pada linea lateralis. Sampel ikan yang diamati, semuanya dalam kondisi normal. Organ yang dikategorikan abnormal atau mengalami 104 Depik, 1(2): 103-106 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 penyimpangan pada penelitian ini yaitu : apabila kedua organ tidak tumbuh sama sekali, salah satu organ tidak tumbuh sama sekali serta apabila jumlah sisik linea lateralis , rumus jari-jari sirip dada maupun sirip perut mengalami penyimpangan. Mengingat bahwa semua individu ikan betutu dari kedua populasi yang diamati dalam keadaan normal, maka perhitungan hanya dilakukan terhadap fluktuasi karakter meristik bilateralnya. Hasil perhitungan persentase fluktuasi asimetri bilangan (FAn) dan besaran (FAm) untuk karakter meristik dari linea lateralis, rumus jari-jari sirip dada dan sirip perut terangkum dalam tabel berikut (Tabel 1 dan Tabel 2). Tabel 1. Nilai fluktuasi asimetri bilangan (FAn) pada karakter sirip dada, sirip perut dan linea lateralis ikan betutu asal Waduk Soedirman dan Waduk Rawa Pening No Asal Sampel Fluktuasi asimetri bilangan (FAn) Sirip dada Sirip perut Linea lateralis 1. Soedirman 0,136 0 0,227 2. Rawa Pening 0,333 0 0,619 Tabel 1. memperlihatkan bahwa ikan betutu asal waduk PB Soedirman dan Rawa Pening mengalami fluktuasi karakter meristik bilateral untuk organ sirip dada dan linea lateralis, sedangkan untuk rumus jari-jari sirip perut, semuanya dalam keadaan simetris. Hasil perhitungan tersebut juga menunjukkan bahwa linea lateralis mempunyai nilai fluktuasi asimetri bilangan lebih tinggi (0,227 sampai 0,619) dibandingkan karakter sirip dada (0,136 sampai 0,333). Umumnya jumlah jari-jari lemah pada sirip dada bagian kiri jumlahnya relatif lebih banyak dari pada bagian kanan, sedangkan jumlah sisik pada linea lateralis bagian kanan jumlahnya relatif lebih banyak daripada yang kiri. Keadaan ini dapat dilihat berdasarkan tanda negatif (-) pada hasil perhitungan fluktuasi asimetri besaran (Tabel 3.). Tabel 2. Nilai fluktuasi asimetri besaran (FAm) pada karakter sirip dada, sirip perut dan linea lateralis ikan betutu asal Waduk Soedirman dan Waduk Rawa Pening No Asal Sampel Fluktuasi asimetri besaran (FAm) Sirip dada Sirip perut Linea lateralis 1. Soedirman 0,045 0 0,045 2. Rawa Pening 0,048 0 -0,095 Besarnya fluktuasi asimetri bilangan dan besaran dari ketiga karakter meristik bilateral pada ikan betutu asal Waduk PB Soedirman dan Waduk Rawa Pening, maka dilakukan penghitungan nilai gabungan. Hasil perhitungan nilai fluktuasi asimetri bilangan dan besaran gabungan tersebut tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai fluktuasi asimetri bilangan (FAn) dan besaran (FAm) gabungan (jari-jari lemah sirip dada, sirip perut dan sisik linea lateralis) ikan betutu asal Waduk Soedirman dan Waduk Rawa Pening No. Asal ikan Fluktuasi bilangan (FAn) Fluktuasi besaran (Fam) 1. Soedirman 0,363 0,090 2. Rawa Pening 0,952 -0,047 Hasil perhitungan nilai fluktuasi bilangan dan besaran dari karakter meristik bilateral yang diamati, diperoleh informasi bahwa ikan betutu dari waduk Soedirman mempunyai nilai fluktuasi asimetri bilangan (0,363) yang lebih rendah dibanding yang berasal dari Rawa Pening (0.952). Namun, untuk fluktuasi asimetri besaran, nilainya sama yaitu sebesar 0,045. Hasil perhitungan yang tertera pada tabel tersebut memberikan gambaran bahwa jumlah individu ikan betutu yang hidup di waduk Rawa Pening, yang kurang mampu berkembang secara tepat serta normal, jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang berasal dari waduk Soedirman. Menurut Van Valen (1962), adanya perbedaan fenotip pada individu untuk sifat meristik yang bilateral dapat menunjukkan fluktuasi asimetri, yaitu adanya perbedaan antara karakter sisi kiri dan sisi kanan, yang menyebar secara normal dengan rataan mendekati nol, sebagai akibat dari ketidakmampuan individu untuk berkembang secara tepat dan normal. Terkait dengan lebih tingginya nilai fluktuasi asimetri pada populasi betutu asal Rawa Pening, kemungkinan karena dari waktu ke waktu jumlah populasinya terus berkurang, sehingga keragaman genetiknya menurun. Hal tersebut terjadi akibat dari intensitas penangkapan betutu di Rawa Pening relatif lebih tinggi dibanding di waduk Soedirman, Menurut Hall dalam Harteman (2003) penurunan keanekaragaman genetik dapat disebabkan oleh penangkapan secara berlebihan (over fishing), yang mampu berpengaruh terhadap dinamika populasinya. Hasil pengamatan di Waduk Soedirman Banjarnegara. dan Waduk Rawa Pening Salatiga, pada kedua perairan tersebut telah mulai dilakukan pemeliharaan ikan betutu dalam karamba. Namun demikian, hasilnya kurang mencukupi kebutuhan pasar, karena benih yang dipelihara berasal dari hasil tangkapan di waduk, sehingga jumlahnya tidak mencukupi. Akibatnya warga di sekitar perairan tersebut sering melakukan penangkapan langsung dari waduk daripada mengandalkan hasil budidaya. Keadaan tersebut, terutama terjadi di Waduk Rawa Pening yang penduduknya telah bertahun-tahun dikenal sebagai pemasok betutu ke beberapa wilayah di dalam maupun luar negeri, sehingga penangkapan betutu di Waduk Rawa Pening dilakukan setiap hari. Adanya penangkapan yang berlangsung terus menerus dan bersifat pengurasan sumberdaya, maka hal tersebut dapat menurunkan keragaman genetik ikan betutu di Waduk Rawa Pening. 105 Depik, 1(2): 103-106 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Ikan betutu di Waduk PB Soedirman keberadaannya relatif lebih aman dari tingginya tingkat penangkapan, karena warga sekitar kurang menyukai daging ikan betutu. Penduduk setempat juga belum banyak yang tahu bahwa harga jual ikan betutu di pasaran cukup tinggi serta merupakan komoditas ekspor, sehingga warga tidak melakukan penangkapan secara berlebihan. Kesimpulan Ikan betutu asal Waduk PB Soedirman dan Waduk Rawa Pening yang diamati masih dalam keadaan normal, tetapi mengalami fluktuasi karakter meristik bilateral untuk organ sirip dada dan linea lateralis, sedangkan untuk rumus jari-jari sirip perut, semuanya dalam keadaan simetris. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada DP2M DIKTI selaku penyandang dana dari penelitian STRANAS BATCH IV tahun 2009 yang dilaksanakan sesuai dengan Surat Perjanjian Kerja Penelitian Nomor: 4453.6/H23.6/PL/2009, tanggal 6 Agustus 2009 serta STRANAS lanjutan tahun 2010 yang dilaksanakan sesuai dengan Surat Perjanjian Kerja Penelitian Nomor: 1595.7/H23.6/DT.01.00/2010, Tanggal 1 April 2010. Daftar Pustaka Clark, A.M, F.W.E. Rowe. 1971. Monograph of Swallow Water Indo-West Pasific Echinoderms. Pitman Press, London. Harteman, E. 2003. Ancaman Manusia terhadap Keanekaragaman hayati dan Upaya Perlindungan di Indonesia. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana, IPB Bogor. Komarudin, U. 2000. Betutu. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition Ltd., Singapore. Larson, H.K. 2000. Gobiidae (gobies and sleepers)., p. 635-640. In J.E. Randall and K.K.P. Lim (eds). A checklist of the Fishes of the South China Sea. Raffles Bull. Zool., (8): 569-667. Leary, R.F., F.W. Allendorf, K.L. Knudsen. 1985. Development instability as an indicator of reduced genetic variation in hatchery trout. trans. American Fish. Soc., 114 : 230 – 235. Nurhidayat, M.A., O. Carman, E. Haris, K. Sumantadinata. 2003. Fluktuasi Asimetri dan Abnormalitas Pada Ikan Lele Dumbo (Glorias sp.) Yang Dibudidayakan di Kolam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia., 9 (1): 55 - 59. Nyuwan, S.B. 2000. Ikan betutu masih menangkap dari alam. Trubus. Juli, 2000. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Binacipta, Bandung. Satyani, D.L. 2007. Reproduksi dan pembenihan ikan hias air tawar. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarat Surjadi, H. 2002. Draft Dokumen IBSAP Bagian 3/8, Tinjauan : Keanekaragaman Hayati Sebagai Aset Produkstif Pembangunan Berkelanjutan. www. polarhome. com Taniguchi, N., K. Sugama. 1990. Genetic variation and population structur of red sea bream in the coastal waters of Japan and the East China Sea. Nipon Suisan Gakkaishi, 56(7): 1069-1077. Van Valen, L. 1962. A study of fluctuating asymmetry. Evolution, 16:125-142. 106 Depik, 1(2): 107-113 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Analisis subsidi bahan bakar minyak (BBM) solar bagi nelayan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh Analysis of fuel subsidy (diesel) for fishermen in Aceh Besar District, Aceh Province Zainal A. Muchlisin1*, Nur Fadli1, Arifsyah M. Nasution2, Rika Astuti3, Marzuki3, Darmawi Musni3 1Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. World Wildlife Fund (WWF), Banda Aceh; 3Jaringan Kualisi Untuk Laut Aceh (Kuala), Banda Aceh. Email korespodensi: [email protected] 2The Abstract. Fuel is one of important components in fishing activity. The objectives of this research were to analyze the need and the receiver of fuel subsidy in Aceh Besar t as well as to analyze the problems that faced by fisherman in Aceh Besar district. The survey was done on June-August 2012 in five sub-district in Aceh Besar namely: (1) Baitussalam, (2) Mesjid Raya, (3) Leupung (4) Lhoknga dan (5) Mesjid Raya. The result shown that the average cost of one trip of fishing activities in Aceh Besar were Rp700.000. The lowest operational cost was found in Seulimum (Rp96.200 per trip) and the highest was found in Baitussalam sub-district (Rp1, 793,710 per trip). Fuel was the biggest cost for fishing activity; it was ranged 40%-73% with average 57.9%. The lowest proportion of fuel consumption was found in Baitussalam sub-district and the highest was found in Lhoknga sub-district. In average, the fisherman’s fuel consumption was 1,237L. per month; with total subsidy was Rp 5,824,737 per fisherman per month. The profit will be decreased up to 89.5% if there was no fuel subsidy. In addition, the result also shown that the fisherman in Aceh Besar did not have any skill to generate their alternative income. As the consequence, in the future there is a need to develop programs to generate the alternative livelihood for Aceh Besar fisherman as well as their family. Keywords: Capture fishery, conservation, budget allocation, and climate changes Abstrak. Bahan bakar minyak (BBM) salah satu komponen penting dalam suatu operasi penangkapan ikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan dan penerimaan subsidi solar oleh nelayan di Kabupaten Aceh Besar dan beberapa permasalahan dalam perikanan tangkap. Survey dilakukan pada Juni sampai Agustus 2012. Lokasi survey meliputi lima kecamatan di Aceh Besar, yaitu: (1) Baitussalam, (2) Mesjid Raya, (3) Leupung (4) Lhoknga dan (5) Seulimum. Hasil penelitian menunjukkan biaya operasional per trip rata-rata nelayan di Kabupaten Aceh Besar lebih kurang Rp700.000, dimana biaya operasional terendah didapati pada nelayan di Kecamatan Seulimum (Rp96.200 per trip) dan tertinggi di Kecamatan Baitussalam (Rp1,793,710). Komponen BBM merupakan komponen terbesar dalam kegiatan penangkapan ikan nelayan Aceh Besar yaitu berkisar 40%-73% (rata-rata adalah 57.9%) dari total biaya operasional. Proporsi pemakaian BBM terendah dijumpai pada nelayan di Kecamatan Baitussalam dan tertinggi pada nelayan Lhoknga. Rerata nelayan di Kabupaten Aceh Besar menghabiskan BBM sebanyak 1,237 liter per bulan, dengan total jumlah subsidi yang diterima adalah Rp 5,824,737 per orang setiap bulan. Jika nelayan tidak mendapatkan subsidi BBM akan dapat menurunkan keuntungan sampai dengan 89.5%. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan Aceh Besar tidak memiliki ketrampilan tambahan selain melaut. oleh sebab itu, dimasa depan program insentif perikanan Aceh Besar untuk sektor perikanan tangkap harus diarahkan untuk peningkatan kapasitas nelayan terutama introduksi dan diversifikasi ketrampilan yang produktif baik untuk nelayan maupun untuk keluarga mereka. Kata kunci: Perikanan tangkap, konservasi, alokasi anggaran, dan perubahan iklim Pendahuluan Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi kekayaan alam yang cukup besar terutama di sektor perikanan. Sektor perikanan telah menjadi salah satu sektor andalan Provinsi Aceh, lebih kurang 55% penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara langsung maupun tidak langsung (Yusuf, 2003). Oleh karena itu pengembangan sektor perikanan harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Provinsi Aceh sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara umum di kawasan ini. Namun sayangnya kondisi perekonomian sebagai besar nelayan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya masih sangat memprihatinkan (Muchlisin et al., 2012). Menurut data BPS, Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin tertinggi di Sumatra, yaitu mencapai 19.57% (BPS, 2012). The World Bank (2008) melaporkan bahwa dari 975,374 kepala keluarga di Aceh atau setara dengan 4,16 juta jiwa, lebih kurang 510,633 kepala keluarga (52.35) tergolong keluarga miskin. Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu kabupaten yang berada di pesisir Aceh, kabupaten ini secar a administrasi terdiri dari 26 Kecamatan, 8 kecamatan diantaranya adalah kecamatan pesisir. Aceh Besar memiliki potensi garis pantai sepanjang 344 km dengan luas wilayah perairan lautnya adalah 2.796 km 2 dan jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 21 Buah serta pulau-pulau kecil terluar 2 buah . Menurut data statistik yang ada pada tahun 2010 tercatat 1,543 orang nelayan tetap dan 107 Depik, 1(2): 107-113 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 513 orang nelayan sambilan (DKP Aceh Besar, 2010). Selain itu, pesisir dan laut Aceh Besar juga memiliki keanekaragaman hayati pesisir antara lain, terumbu karang seluas 1.155 ha dan ekosistem mangrove seluas 980,82 ha (DKP Aceh Besar, 2010). Bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu komponen penting dalam suatu operasi penangkapan ikan, komponen ini menyumbang 60% dari total biaya operasi (Hermawan, 2006). Subsidi BBM yang dijalankan oleh pemerintah diharapkan dapat membantu meringankan beban nelayan. Namun kenyataannya saat ini nelayan mengeluhkan kesulitan dalam mendapatkan BBM (solar) dengan harga resmi pemerintah, umumnya mereka mendapatkannya dari pihak ketiga dengan harga jauh lebih tinggi dari harga resmi, kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya operasional dan mengurangi keuntungan nelayan. Kebijakan subsidi termasuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah selalu menimbulkan pendapat pro dan kontra, ada pihak yang menolak dengan alasan membebani anggaran dan rentan penyalaggunaan, namun tidak sedikit pula yang mendukung dengan alasan sebagian besar nelayan Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan (Handoko dan Patriadi, 2005). Hal ini senada dengan Martadiningrat (2009) yang menyebutkan bahwa 90% masyarakat nelayan Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu kebijakan subsidi BBM khususnya bagi nelayan di Aceh Besar dirasa masih diperlukan. Namun, sampai saat ini belum ada analisa kebutuhan bahan bakar minyak bagi nelayan Aceh Besar dan berapa jumlah subsidi yang mereka terima melalui pembelian bahan bakar minyak. Survey ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan dan penerimaan subsidi solar oleh nelayan di Kabupaten Aceh Besar dan beberapa permasalahan dalam perikanan tangkap. Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada mulai Juni sampai Agustus 2012. Servey lapangan dilaksanakan pada 21-28 Juni 2012. Lokasi survey meliputi lima kecamatan di Aceh Besar, yaitu: (1) Baitussalam, (2)Mesjid Raya, (3) Leupung (4) Lhoknga dan (5) Mesjid Raya (Gambar 1). Gambar 1. Peta Kabupaten Aceh Besar Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar, Badan Pusat Statistik Daerah, dan jurnaljurnal yang terkait. Sedangkan data primer diperoleh dari wawancara terhadap nelayan lokasi penelitian. Wawancara dengan berpedoman kepada kuisioner (semi terbuka) dilakukan terhadap 50 orang responden yang berprofesi sebagai nelayan, dengan sebaran sebagai berikut; Kecamatan Baitussalam 11 orang, Kecamatan Leupung 7 orang, Kecamatan Lhoknga 8 orang, Kecamatan Mesjid Raya 14 orang dan Kecamatan Seulimum 10 orang. Jenis informasi yang dikumpulkan melalui wawancara tersebut antara lain; biaya operasional dan biaya tetap serta pemasukan, trip per bulan, lama waktu operasional, daerah penangkapan dan jumlah konsumsi BBM setiap trip. Biaya operasional dalam penelitian ini adalah biaya BBM ditambah biaya lainnya, yaitu biaya konsumsi dan es, sedangkan biaya perbaikan dan penyusutan kapal dan alat tangkap tidak dimasukkan sebagai komponen biaya operasional disini. Informasi tambahan yang dikumpulkan antara lain; permasaalahn dan perikana tangkap, dan isu-isu konservasi. 108 Depik, 1(2): 107-113 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian diolah secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel, selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Rerata besaran biaya operasional per trip nelayan di Kabupaten Aceh Besar lebih kurang Rp700.000, dimana biaya operasional terendah didapati pada nelayan di Kecamatan Seulimum (Rp96.200 per trip) dan tertinggi di Kecamatan Baitussalam (Rp1,793,710). Secara umum besaran biaya per trip nelayan berbeda bergantung kepada jenis dan kondisi kapal, dan alat tangkap yang digunakan (Wikaniati, 2011), jarak tempuh ke lokasi penangkapan (fishing ground) dan umur mesin juga memberikan pengaruh kepada konsumsi BBM dan berdampak kepada naiknya biaya operasional. Komponen bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar merupakan komponen biaya terbesar dalam sebuah operasi penangkapan ikan, dan biaya konsumsi menempati urutan kedua. Berdasarkan hasil survey terlihat komponen BBM berkisar 40%-73% dari total biaya operasional. Proporsi pemakain BBM terendah dijumpai pada nelayan di Kecamatan Baitussalam dan tertinggi pada nelayan Lhoknga. Rerata komponen biaya BBM nelayan Aceh Besar adalah 54.9% (Tabel 1), kondisi ini lebih tinggi berbanding dengan nelayan di Kabupaten Tegal, dimana biaya operasi untuk BBM hanya 47.40% (Hermawan, 2006). Umumnya nelayan dari Baitussalam melakukan penangkapan ikan di daerah Pulo Aceh, Pulau Breah dan Bate 13 dan umumnya mereka beroperasi selama 3-4 hari per trip dan bermalam di kawasan Pulo Aceh berhampiran dengan daerah penangkapan, dengan demikian mereka dapat menghemat pemakaian BBM, dan konsekuensinya biaya konsumsi meningkat. Sebaliknya nelayan dari Lhoknga umumnya melakukan penangkapan ikan sampai ke Zona Ekonomi Ekkusif (ZEE) namun masih tergolong one day fishing hal menyebabkan pemakaian BBM meningkat dan berkontribusi terhadap tingginya proporsi biaya untuk BBM. Secara umum nelayan Kabupaten Aceh Besar tergolong nelayan kecil (artisanal fishermen) menangkap ikan di daerah pesisir dan tergolong one day fishing, umumnya nelayan dengan tipe tersebut dijumpai di Kecamatan Leupung, Lhoknga dan Mesjid Raya. Nelayan one day fishing umumnya mempunyai waktu operasi 10-12 jam, misalnya nelayan yang menangkap ikan di siang hari berangkat melaut pada pagi dan kembali sore hari, sedangkan nelayan yang beroperasi pada malam hari berangkat melaut pada sore hari dan kembali pagi hari esoknya. Suatu temuan menarik diperoleh pada nelayan responden di Kecamatan Seulimun (Lampanah Lengah), mereka memiliki rerata 2 trip penangkapan setiap hari sehingga waktu operasi setiap trip menjadi lebih singkat, yaitu rerata 7.2 jam. Umumnya nelayan di Lampanah Lengah melakukan penangkapan pada siang hari, yaitu mulai pagi hari dan kembali ke pantai pada siang hari, setelah beristirahat makan dan sholat di darat mereka kembali melaut dan kembali ke pantai pada sore hari. Nelayan dengan waktu operasi lebih panjang dijumpai di Kecamatan Baitussalam, rerata nelayan disana memiliki waktu operasi lebih dari 62 jam, dengan total trip per bulan rerata 12 trip. Tabel 1. Total biaya operasional dan proporsi biaya bahan bakar minyak (BBM) per trip nelayan Kabupaten Aceh Besar berdasarkan kecamatan. ∑ Komponen sampel No. Kecamatan Total biaya operasi BBM (Rp) Persentase komponen per trip (Rp) biaya BBM (%) 1. 11 Baitussalam 1,793,710 775,400 43.2 2. Leupung 7 940,475 380,000 40.4 3. Lhoknga 8 653,625 478,125 73.1 Mesjid Raya 14 154,771 93,750 60.6 Seulimum Rerata 10 96,200 727,756 55,200 344,095 57.4 54.9 4. 5. Secara umum terlihat bahwa kelompok nelayan yang memiliki jumlah trip paling banyak dengan jarak areal penangkapan yang lebih jauh akan menghabiskan jumlah BBM lebih banyak, misalnya nelayan Leupung dan Lhoknga dengan areal penangkapan di sekitar Pulau Rusa dan Batee Dua sampai ke ZEE. Namun demikian, nelayan di Kecamatan Mesjid Raya yang memiliki jumlah trip tergolong tinggi namun mengkonsumsi jumlah solar lebih rendah, hal ini disebabkan nelayan disini menangkap tidak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka, yaitu disekitar Lhok Krueng Raya dan Kampung Baro (Tabel 2). Hasil survey menunjukkan bahwa penerima subsidi terbesar adalah nelayan di Kecamatan Leupung dan Kecamatan Lhoknga. Total pemakain solar rerata per bulan setiap nelayan di Kecamatan Mesjid Raya dan Seulimen tidak jauh berbeda, namun jumlah subsidi yang diterima oleh nelayan di Kecamatan Seulimun jauh lebih rendah, hal ini disebabkan harga jual eceran solar di Seulimum (Lampanah Leungah) lebih tinggi berbanding di Mesjid Raya (Krueng Raya) (Tabel 3). Subsidi maksimum hanya dinikmati oleh nelayan di Kecamatan Leupung karena mereka dapat membeli solar pada harga eceran resmi pemerintah (Rp 4,500/L). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nelayan belum menikmati subsidi solar secara maksimal karena mereka harus membeli diatas harga resmi pemerintah, hal ini disebab karena belum adanya tempat penjualan resmi (dealer Pertamina) 109 Depik, 1(2): 107-113 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 pada hampir semua kawasan/tempat pendaratan ikan (TPI/PPI). Nelayan harus mengeluarkan uang ektra berkisar Rp500 sampai Rp1,500 untuk setiap liter solar yang dibeli. Oleh karena itu kedepan pengadaan stasiun pengisian BBM disetiap pusatpusat nelayan perlu dipertimbangkan. Pohan (2010) melaporkan bahwa pembangunan stasiun pengisian BBM di PPN Pelabuhanratu, Jawa Barat berdampak langsung pada penurunan biaya operasional nelayan dan peningkatan keuntungan. Sebenarnya subsidi yang diterima oleh nelayan bukan hanya dari BBM semata, beberapa komponen lain yang sering disubsidi adalah kapal dan alat tangkap, namun beban subsidi non BBM ini relatif lebih ringan berbanding subsidi BBM (Handoko dan Patriadi, 2005). Jika kebijakan subsidi BBM dicabut, maka akan berdampak sangat buruk bagi nelayan dimana dapat menurunkan pendapatan rerata 89.5%, bahkan untuk nelayan kecil khususnya akan menyebabkan kerugian karena pendapatan tidak dapat menutupi biaya operasional, sebagaimana ditemukan pada nelayan di Kecamatan Lhoknga, Mesjid Raya dan Seulimum (Tabel 4). Oleh karena itu subsidi BBM untuk nelayan khususnya nelayan kecil mutlak diperlukan. Hal ini senada dengan Zulham (2005) yang menyebutkan bahwa subsidi perikanan tetap diperlukan dalam pengembangan perikanan tangkap di Indonesia. Wikaniati (2011) telah melakukan kajian tentang subsidi solar bagi nelayan ikan teri nasi di Kabupaten Pekalongan, menyimpulkan bahwa pemberian subsidi solar tidak menyebabkan kelestarian sumberdaya ikan teri terganggu, lebih lanjut dijelaskan bahwa subsidi solar berpengaruh nyata dan positif terhadap pendapatan nelayan. Sehingga semakin besar nelayan meningkatkan tingkat pemanfaatan subsidi solar, maka pendapatan akan meningkat. Rerata nelayan di Kabupaten Aceh Besar menghabiskan BBM sebanyak 1,237 liter per bulan, dengan total jumlah subsidi yang diterima adalah Rp5,824,737 per orang setiap bulan. Menurut data statistik Tahun 2010, tercatat lebih kurang 1,543 orang nelayan tetap di Kabupaten Aceh Besar, dengan demikian dapat diprediksi jumlah BBM yang diperlukan sebanyak lebih kurang 1,908,691 liter per bulan dengan jumlah subsidi lebih kurang Rp8,987,569,191 per bulan. Sebagai gambaran secara nasional nelayan Indonesia telah menerima subsidi BBM sebanyak Rp3.6, Triliun pada tahun 2006 (Ghofar et al., 2008). Secara rerata nelayan Indonesia mengkonsumsi lebih kurang 2.61 milyar liter BMM per tahun atau setara dengan Rp2.2 Triliun (238 juta USD) (Antara News, 2006). Jumlah ini masih tergolong rendah (hanya 0.92%) berbanding jumlah subsidi BBM secara menyeluruh yang mencapai Rp234.2 Triliuin pada tahun 2012 (Anatara News, 2012)., dan secara global jumlah subsidi BBM untuk sektor perikanan mencapai 4.2-8.5 Milyar USD per tahun (Sumaila et al., 2008). Dari hasil wawancara dengan dengan nelayan Aceh Besar diperoleh informasi bahwa mereka mengaku terjadi penurunan hasil tangkapan saat ini berbanding 5 tahun lalu (Gambar 2), menurut mereka hal ini disebabkan karena perubahan iklim dan kerusakan habitat (Gambar 3). Kendala utama yang dihadapi oleh nelayan Aceh Besar adalah iklim yang tidak menentu (disebabkan oleh perubahan iklim) sehingga mereka sulit memprediksi ruaya ikan dan musim barat yang berlangsung lebih awal dan lebih panjang, kendala lainnya adalah mahal dan kelangkaan BBM solar (Gambar 4). Tabel 2. Jumlah trip penangkapan dan total pemakaian solar oleh setiap nelayan di Kabupaten Aceh Besar berdasarkan kecamatan. No. Kecamatan Jumlah Waktu/trip Harga beli Jumlah Total Trip/bulan (Jam) BBM/L BBM/ trip BBM/bulan (L) (Rp) (L) 1. Baitussalam 11.5 62.67 5,150 150.56 1,080 2. 3. Leupung 24 11.7 4,500 84.43 2,026 Lhoknga 24 10 5,125 91.88 2,205 4. Mesjid Raya 24 12 5,000 18.75 450 5. Seulimum 38.4 7.2 6,000 9.2 422 Rerata 24.4 20.7 5,155 71.0 1,237 No. Tabel 3. Penerimaan subsidi rerata per bulan nelayan di Kabupaten Aceh Besar berdasarkan kecamatan. Total Harga solar Total pembelian Pembelian pada pemakaian Subsidi/Bulan Kecamatan non-subsidi per bulan pada harga non-subsidi per bulan (Rp) (Rp) harga subsidi (Rp) (Rp) (L) 1. Baitussalam 1,080 9,685 5,562,000 10,459,800 4,897,800 2. Leupung 2,026 9,685 9,118,285.714 19,624,577.14 10,506,291.43 3. Lhoknga 2,205 9,685 11,300,625 21,355,425 10,054,800 4. Mesjid Raya 450 9,685 2,250,000 4,358,250 2,108,250 5. Seulimum 422 9,685 2,534,400 4,090,944 1,556,544 1,237 9,685 6,153,062 11,977,799 5,824,737 Rerata 110 Depik, 1(2): 107-113 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Table 4. Analisis biaya pada harga BBM subsisi dan non-subsidi nelayan di Kabupaten Aceh Besar No. Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. Baitussalam Leupung Lhoknga Mesjid Raya Seulimum Rerata Biaya Operasional/trip dengan BBM subsidi (Rp) 1,793,710 940,475 653,625 154,771 96,200 727,756 Biaya Operasional/trip dengan BBM non-subsidi (Rp) 2,538,484 1,378,180 1,065,358 242,615 130,102 1,070,948 Pendapatan rerata/trip (Rp) Keuntungan dengan subsidi (Rp) Keuntungan/kerugi an tanpa subsidi (Rp) 3,350,000 2,528,000 1,050,000 201,500 130,000 1,451,900 1,556,290 1,587,525 396,375 46,729 33,800 3,620,719 811,516 1,149,820 -15,358 -41,115 -102 380,952 Tabel 4. Analasisi biaya pada harga BBM sudsidi dan non-subsidi nelayan di Kabupaten Aceh Besar Gambar 2. Persepsi masyarakat nelayan terhadap hasil tangkapan ikan. Gambar 3. Persepsi masyarakat terhadap penyebab perubahan hasil tangkapan ikan selama beberapa tahun terakhir. Gambar 4. Beberapa kendala yang dihadapi oleh nelayan Aceh Besar. Gambar 5. Jenis pekerjaan sampingan yang ditekuni oleh nelayan Kabupaten Aceh Besar 111 Depik, 1(2): 107-113 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Pada musim barat umumnya nelayan tidak melaut mereka menghabiskan waktunya di darat, sebagian memperbaiki jaring atau kapal yang rusak dan sebagian lagi tidak melakukan apapun kegiatan yang produktif, hal ini disebabkan karena sebagian besar (>45%) nelayan Aceh Besar tidak memiliki ketrampilan tambahan selain melaut (Gambar 5). Hal senada juga dijumpai pada nelayan di Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya dimana lebih kurang 76% nelayan disana tidak memiliki pekerjaan alternatif, dimana hampir 68% diantaranya menghabiskan waktunya berjam-jam di warung kopi dan hanya 24% saja menggunakan waktu senggangnya untuk kegiatan produktif (Mussawir, 2009). Dalam masa sulit seperti itu umumnya nelayan mengandalkan pinjaman (berhutang) kepada toke bangku (tengkulak) dengan imbalan hasil tangkapan mereka harus dijual kepada toke bangku berkenaan, kondisi ini menyebabkan mereka selalu terjerat dan sulit melepaskan diri dari sistim ijon tersebut. Oleh karena itu dimasa depan program insentif perikanan Aceh Besar untuk sektor perikanan tangkap harus diarahkan untuk peningkatan kapasitas nelayan terutama introduksi dan diversifikasi ketrampilan yang produktif baik untuk nelayan maupun untuk keluarga mereka. Oleh karena itu lebih dari 50% responden menyatakan bahwa usaha perikanan tangkap dimasa depan akan semakin sulit (Gambar 6). Gambar 6. Persepsi nelayan responden terhadap kondisi perikanan tangkap dimasa depan. Kesimpulan Nelayan di Kabupaten Aceh Besar belum menikmati subsidi BBM secara maksimal karena mereka umumnya harus membeli BBM diatas harga resmi pemerintah. Biaya operasional per trip rata-rata nelayan di Kabupaten Aceh Besar lebih kurang Rp700.000, dimana biaya operasional terendah didapati pada nelayan di Kecamatan Seulimum (Rp96.200 per trip) dan tertinggi di Kecamatan Baitussalam (Rp1,793,710). Komponen BBM merupakan komponen terbesar dalam kegiatan penangkapan ikan nelayan Aceh Besar yaitu berkisar 40%-73% (rata-rata adalah 57.9%) dari total biaya operasional. Proporsi pemakaian BBM terendah dijumpai pada nelayan di Kecamatan Baitussalam dan tertinggi pada nelayan Lhoknga. Rerata nelayan di Kabupaten Aceh Besar menghabiskan BBM sebanyak 1,237 liter per bulan, dengan total jumlah subsidi yang diterima adalah Rp 5,824,737 per orang setiap bulan. Jika subsidi BBM dicabut maka pendapatan nelayan rerata menurut 89.5%. Oleh karena itu, subsidi BBM untuk nelayan perlu dipertahankan dan kedepan pengadaan stasiun pengisian BBM disetiap pusat-pusat nelayan perlu dipertimbangkan. Sebagian besar nelayan Aceh Besar juga tidak memiliki keterampilan tambahan selain melaut. oleh sebab itu, dimasa depan program insentif perikanan Aceh Besar untuk sektor perikanan tangkap harus diarahkan untuk peningkatan kapasitas nelayan terutama introduksi dan diversifikasi ketrampilan yang produktif baik untuk nelayan maupun untuk keluarga mereka. Ucapatan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh The World Wildlife Fund (WWF bekerjasama dengan Jaringan Kualisi untuk Laut Aceh (Kuala) dan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada pihak penyandang dana dan semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Antara News. 2006. Goverment provides subsidized fuel supply for fishermen. Antara News, www.antara.co.id/en/. Tanggal akses 20 Agustus 2006. Antara News. 2012. Subsidi BBM membengkak sampai Rp234,2 triliu. http://www.antaranews.com/berita/309074/subsidibbm-membengkak-sampai-rp2342-triliun. Tanggal akses 18 Agustus 2012. 112 Depik, 1(2): 107-113 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 DKP Aceh Besar. 2010. Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar, Jantho. Ghofar, A., D.K. Schoor, A. Halim. 2008. Selected Indonesian fisheries subsidies: quantitative and qualitative assessment of policy coherence and effectiveness. The Nature Conservation – Coral Triangle, Bali. Handoko, R. and P. Patriadi. 2005. Evaluasi subsidi Non BBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 9(4): 42-64. Badan Pusat Statistik. 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1dandaftar=1danid_subyek=23dannotab=1. Tanggal akses, 18 Agustus 2012. Hermawan, M.. 2006. Keberlanjutan perikanan tangkap skala K=kecil : Studi perikanan pantai di Serang dan Tegal. Disertasi, Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Muchlisin, Z.A., M. Nazir dan Musri Musman. 2012. Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan minapolitan di beberapa lokasi dalam Provinsi Aceh: suatu kajian awal. Depik, 1(1): 68-77. Mussawir. 2009. Analisis masalah kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya. Thesis Magister, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumetera Utara, Medan. Sumaila, U.R., L. Teh, R. Watson, P. Tyedmers, D. Pauly. 2008. Fuel price increase, subsidies, overcapacity, and resource sustainability. Journal of Marine Science, 65: 832–840. Wikaniati, 2011. Analisis kebijakan pemberian subsidi perikanan (solar) terhadap kelestarian sumberdaya ikan teri nasi dan pendapatan nelayan payang gemplo (Kasus TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan). Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yusuf, Q. 2003. Empowerment of panglima laot in Aceh. International workshop on Marine Science and Resource. Banda Aceh, 11-13 March, 2003. Zulham, A. 2005. Implementasi kebijakan subsidi perikanan pada pengembangan perikana tangkap. Thesis Magister, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 113 Depik, 1(2): 114-120 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Keragaman ikan karang di perairan Pulau Makian Provinsi Maluku Utara Diversity of reef fish at waters of Makian Island in North Maluku Najamuddin1*, Samar Ishak2, Adityawan Ahmad1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Khairun, Ternate 95778. 2Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Stasiun Penelitian Lapangan, Ternate. Email korespondensi: [email protected] 1 Abstract.. The objective of the present study was to identify and evaluate reef fish community structure at Makian Island. Sampling was conducted in two stations at coordinate position of 00º.22’15.75”N -127 º.25’12.00”E to 00 º.22’7.90”N - 127 º.25’17.40”E with two different depths i.e. 5 meters and 10 meters. Coral reef data were collected using line intercept transect method, while the reef fish data were taken using a census visual method. A total of 138 species of coral reef fishes were recorded during the survey belong to 47 genera and 21 families. The fish diversity on station 1 for both depths (5 meters and 10 meters) were a medium level, while on station 2 at 5 meters water depth was also a medium category, but a higher diversity was detected at 10 meters depth. The percentage coral covers on station 1 at 5 meters depth was a medium level, at 10 meters depth was classified as high covered, while on station 2 at 5 meters and 10 meters depth were classified very high percent covers. Key words: Diversity, coral, percent covers, and line intercept transect Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis struktur komuntas ikan karang di perairan pantai Pulau Makian. Pengambilan data dilakukan pada dua titik pengamatan yaitu pada posisi geografis 00.22’15.75” LU127.25’12.00” BT dan 00.22’7.90” LU - 127.25’17.40” BT dengan dua kedalaman berbeda yaitu pada kedalaman 5 meter dan 10 meter. Metode pengumpulan data karang dilakukan dengan transek garis, sedang pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual. Hasil identifikasi ditemukan sebanyak 138 spesies yang tergolong dalam 47 genus dan 21 famili. Keragaman ikan karang pada stasiun 1 pada kedua kedalaman (5 meter dan 10 meter) tergolong sedang sedang dan pada stasiun 2 pada kedalaman 5 meter juga menunjukkan keanekaragaman sedang, sedangkan pada kedalaman 10 meter menunjukkan keanekaragaman tinggi. Persentase tutupan karang di stasiun 1 pada kedalaman 5 meter tergolong cukup, kedalaman 10 meter tergolong tinggi dan stasiun 2 pada kedalaman 5 meter dan 10 meter tergolong sangat tinggi. Kata kunci: Keragaman, karang, persen tutupan, dan transek garis Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem khas perairan tropik, dengan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Biota yang hidup di terumbu karang merupakan suatu komunitas yang terdiri dari berbagai tingkatan tropik, dimana masing-masing komponen dalam komunitas ini saling tergantung satu sama lain, sehingga membentuk suatu ekosistem yang lengkap. Salah satu jenis biota yang hidup di terumbu karang adalah ikan karang, yang umumnya memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi pada ekosistem tersebut (Odum, 1993). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan ikan karang dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang, dimana pada daerah yang terlindung (leeward) dan daerah terbuka (windward) biasanya terdapat terumbu karang yang mempunyai struktur morfologi yang berbeda. Allen et al. (2003) menyatakan bahwa dari perkiraan 12.000 spesies ikan laut dunia, kurang lebih 7.000 spesies (58,3%) merupakan ikan yang hidup didaerah terumbu karang. Selanjutnya dikatakan bahwa wilayah antara bagian utara dan selatan Sulawesi hingga ujung barat Papua termasuk kepulaun Raja Ampat dan Halmahera merupakan wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi, terutama untuk karang dan ikan karang (Allen, 2005). Komunitas ikan karang ditemukan beragam disetiap perairan dan kawasan. Terumbu karang yang jauh dari pemukiman umumnya memiliki kondisi relatif baik dibandingkan dengan yang dekat pemukiman akibat tekanan dari aktifitas masyarakat (Suharsono, 2007). Perairan pantai Pulau Makian, yang secara administratif termasuk wilayah pemerintahan Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara memiliki ekosistem terumbu karang dengan berbagai jenis ikan yang berasosiasi dengannya, diharapkan potensi ini dapat dimanfaatkan secara bijak guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun berapa besar potensi terumbu karang dan biota yang berasosiasi di dalamnya khususnya komuntas ikan karang belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan dengan harapan hasilnya dapat menjadi dasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan karang secara berkelanjutan. Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 di perairan pantai Pulau Makian Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara (Gambar 1). Pengambilan data dilakukan pada dua stasiun yaitu pada posisi geografis 00.22’15.75” LU-127.25’12.00” BT (stasiun 1) dan 00.22’7.90” LU - 127.25’17.40” BT (stasiun 2) dengan dua kedalaman berbeda yaitu pada kedalaman 5 m dan 10 m. Penentuan dua stasiun didasarkan pada keterwakilan kondisi perairan dimana stasiun 1 terletak dekat dengan pemukiman sedang stasiun 2 jauh dari pemukiman. 114 Depik, 1(2): 114-120 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Prosedur pengambilan data Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan peralatan selam scuba. Data yang diambil yaitu karang tutupan karang dan keragaman jenis ikan karang. Data karang diambil berdasarkan bentuk tutupan karang (life form) dengan menggunakan metode transek garis (line intercept transect) sedangkan data ikan karang diambil dengan menggunakan sensus visual (underwater census visual) (English et al., 1997). Panjang garis transek yang digunakan adalah 50 meter. Pengamatan dilakukan pada dua kedalaman berbeda yaitu kedalaman 5 m dan 10 m. Analisis data Persentase tutupan karang Persen tutupan karang dihitung mengikuti formula yang diajukan oleh English et al. (1997) sebagai berikut: C a X 100% A Dimana: C = Persentase tutupan karang, a = Panjang transek life form ke-I, A = Panjang total transek. Dengan kriteria persentase tutupan karang: 76% - 100% = sangat tinggi 51% - 75% = tinggi 31% - 50% = sedang 11% - 30% = rendah 0% - 10% = sangat rendah Indek keragaman Indeks keragaman jenis ikan dihitung mengikuti Ludwig n dan Reynolds (1988): ni ni H' ( i 1 N ) Ln ( N Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian ) Dimana: ni = Jumlah individu jenis ke-I, N = Jumlah individu seluruh jenis, ni = Jumlah individu jenis ke-i, H' = Indeks keanekaragaman jenis. Dengan kriteria sebagai berikut: H‘ < 1 = Keanekaragaman rendah 1 ≤ H‘≤ 3 = Keanekaragaman sedang H‘ > 3 = Keanekaragaman Indeks kemerataan Indek kemerataan jenis dihitung berdasarkan Krebs (1989): H' H max E Dimana: H’ = Indeks keanekaragaman, H max = ln s, S = Jumlah seluruh individu. Dengan kreteria sebagai berikut: > 0,81 : penyebaran jenis sangat merata 0,61-0,81 : penyebaran jenis lebih merata 0,41-0,60 : penyebaran jenis merata 0,21-0,40 : penyebaran jenis cukup merata < 0,21 : penyebaran jenis tidak merata Indeks dominasi Indek dominansi jenis dihitung dengan rumus: s D i 1 ni N 2 Dimana: D = Indeks dominansi jenis, Ni = jumlah individu jenis ke-i, N = jumlah total individu . Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1, dimana: D 0, artinya tidak terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. D 1, artinya terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas labil. Hubungan keanekaragaman ikan karang dengan tutupan karang Hubungan keanekaragaman ikan karang dengan persentase tutupan karang dianalisis dengan persamaan regresi linier sederhana (Sarwono, 2006) dengan persamaan: Y = a + bx Dimana: Y = Keanekaragaman ikan karang, x = Persentase tutupan karang, a = intercept, dan b = slope. Kriteria hubungan berdasarkan nilai koefisien regresi: 100 % = hubungan sempurna > 75 % – 99 % = hubungan sangat kuat > 50 % – 75 % = hubungan kuat 115 Depik, 1(2): 114-120 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 > 25 % – 50 % = hubungan cukup > 0 % – 25 % = hubungan sangat lemah 0 % = tidak ada hubungan Hasil dan Pembahasan Komposis jenis ikan karang Jumlah ikan karang yang tercatat dari hasil sensus visual di perairan pantai Pulau Makian sebanyak 138 spesies, tergolong dalam 47 genus dan 21 famili dengan total individu sebanyak 2.404 ekor. Pada stasiun 1 di kedalaman 5 meter tercatat sebanyak 19 spesies dan di kedalaman 10 meter tercatat sebanyak 9 spesies. Pada stasiun 2 di kedalaman 5 meter tercatat sebanyak 42 spesies dan di kedalaman 10 meter tercatat sebanyak 68 spesies. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Kondisi stasiun 1 yang letaknya cukup dekat dengan pemukiman penduduk dan pelabuhan menyebabkan kondisi karang di stasiun ini mendapatkan tekanan lingkungan cukup tinggi sehingga berpengaruh terhadap komposisi ikan karang yang ditemukan yang relatif lebih sedikit dibanding pada stasiun 2. Komposisi ikan karang di stasiun 1 terdiri 8 family, 14 genus dan 28 spesies. Topografi di stasiun 1 terdiri dari rataan terumbu (reef flat) pada kedalaman 2 - 5 meter kemudian reef slope sampai kedalaman 15 meter. Aktifitas masyarakat di Pulau Makian tidak jauh beda dengan kehidupan masyarakat pesisir pada umumnya di Maluku Utara yaitu sebagai petani kebun dan nelayan. Transportasi laut dan perikanan sangat menonjol, hal ini dapat dilihat dengan adanya sarana pelabuhan yang dipadati dengan speed boat, perahu dan kapal penangkapan ikan yang berlabuh di sepanjang areal pelabuhan. Dampak aktivitas masyarakat tersebut memberikan pengaruh terhadap terjadinya perubahan kualitas lingkungan perairan yang kemudian secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang dan ikan karang. Tabel 1. Komposisi jenis ikan karang pada stasiun 1 Family Cirrihitidae Pomacentridae Genus Spesies Cirrihitichthys Amphiprion Ablyglyphidodon Abudefduf Chromis Acanthuridae Caesionidae Labridae Mullidae Nemipteridae Chaetodontidae Dascyllus Pomacentrus Zebrasoma Pterocaesio Halichoeres Thallassoma Parupeneus Scolopsis Chaetodon Cirrihitichthys oxycephalus Amphiprion ocellaris A. perideraion A. clarkii Ablyglyphidodon aureus A. curacao Abudefduf sexfasciatus A. vaigiensis Chromis viridis C. ternatensis Dascyllus trimaculatus Pomacentrus coelestis Zebrasoma scopas Pterocaesio tile Halichoeres melanurus Thallassoma lunure Parupeneus multifascitus Scolopsis bilineatus Chaetodon kleinii C. lunula C. trifasciatus C. vagabundus Jumlah Kedalaman 5 meter 10 meter (jumlah (jumlah individu) individu) 1 4 2 2 2 50 20 10 20 50 50 100 20 10 10 10 10 100 2 2 5 5 2 2 2 6 2 1 311 189 Kondisi umum stasiun 2 agak berbeda dengan stasiun 1, dimana pusat pemukiman penduduk cukup jauh dari stasiun 2 sehingga aktivitas masyarakat seperti transportasi laut, pelabuhan yang dipadati dengan speed boat, perahu dan kapal penangkapan ikan yang bertambat di sepanjang areal pelabuhan sehingga pada stasiun 2 tidak ada tekanan perubahan lingkungan yang dapat mengganggu dan merusak ekosistem karang. Ikan karang memberikan respons terhadap struktur habitat, yang akan mempengaruhi distribusi dan kelimpahannya. Oleh karena terumbu karang pada stasiun terlihat perbedaan nyata dimana komposisi jenis ikan karang pada stasiun 2 cukup melimpah dibanding pada stasiun 1. Walaupun ekosistem habitat kehidupan karang terlihat stabil, tidak berubah, namun sebenarnya terjadi perubahan dari waktu ke waktu. Karang dapat mati dan tumbuh dalam suatu keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium). Dalam habitat kehidupan karang terjadi persaingan ruang hidup dan penyesuaian (proses adaptasi) yang terus menerus terhadap 116 Depik, 1(2): 114-120 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 dinamika perubahan faktor lingkungan habitat tersebut. Karang dapat berubah atau mati karena pengaruh gelombang besar atau ulah manusia. Namun perubahan atau gangguan yang kecil dapat berpengaruh baik bagi perkembangan karang dan penting untuk perkembangan keanekaragaman jenis dan koloni karang. Habitat karang dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi merupakan tempat hidup, tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat memijah (spawning ground) untuk berbagai ikan karang. Terumbu karang selain menjadi barier alami, penahan gelombang dari tengah laut, untuk pesisir pantai menyebabkan pula berkembangnya kehidupan ikan-ikan karang yang beraneka ragam jenisnya. Keberadaan ikan-ikan kecil mengundang ikan yang lebih besar untuk hidup dan mencari makan di tempat tersebut. Terumbu karang merupakan tempat pembiakan ikan dan menjadi tempat berlindung serta mencari makan baik bagi pemakan plankton maupun bagi ikan predator. Semakin berkembang habitat karang semakin banyak pula populasi dan jenis ikan yang ada di sekitarnya. Tabel 2. Komposisi jenis ikan karang pada stasiun 2 Family Genus Spesies Apogonidae Apogon Anthiinae Pseudanthias Cirrihitidae Cirrihitichthys Paracirrhites Engraulidae Pomacentridae Stolephorus Amphiprion Apogon fleurieu Archamia fucata Pseudanthias huchtii P. tuka Cirrihitichthys oxycephalus Paracirrhites arcatus P. forsteri Stolephorus heterolubus Amphiprion ocellaris A. perideraion A. clarkia A. frenatus Premnas biaculeatus Ablyglyphidodon leucogaster A. aureus A. curacao Abudefduf sexfasciatus A. vaigiensis Chromis analis C. caudalis C. opercularis C. viridis C. retrofasciata C. ternatensis Dascyllus trimaculatus D. reticulatus Neoglyphidodon nigoris Pomacentrus nigromarginatus P. coelestis P. auriventris P. moluccensis Genicanthus lamarck Pygoplites diacanthus Pomacanthus imperator P. sexstiatus P. navarchus Pseudochromis splendens Zanclus cornutus Acanthurus lineatus A. auranticavus Naso caeruleacudus Zebrasoma scopas Caesio lunaris Pterocaesio tile Caranx melampygus Platax pinnatus Plectorhinchus polytaenia P. chaetodonoides P. lineatus Myrpristis berndti M. amaena Sargocentron caudimaculatum Anampes caeruleopunctatus Cheilinus undulates C.celebicus Coris gaimard Halichoeres melanurus Premnas Ablyglyphidodon Abudefduf Chromis Dascyllus Pomacentrus Pomacanthidae Genicanthus Pygoplites Pomacanthus Pseudochromidae Zanclidae Acanthuridae Pseudochromis Zanclus Acanthurus Carangidae Ephippidae Haemullidae Naso Zebrasoma Caesio Pterocaesio Caranx Platax Plectorhinchus Holocentridae Myrpristis Labridae Sargocentron Anampes Cheilinus Caesionidae Coris Halichoeres 117 Kedalaman 5 meter 10 meter (jumlah jumlah individu) individu) 50 100 50 50 50 4 2 1 200 4 4 2 4 4 1 1 1 1 50 50 50 10 20 10 20 20 50 100 20 50 20 50 20 10 20 20 10 100 10 2 2 5 1 3 1 5 2 5 10 5 50 10 20 15 50 150 3 5 10 2 2 10 10 10 2 3 2 2 2 - Depik, 1(2): 114-120 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Lanjutan Tabel 2… Labroides Labrichthys Thalassoma Lutjanus Lutjanidae Labroides dimidiatus Labrichthys unilineatus Thalassoma lunare Lutjanus kasmira L. deccusatus Macolor macularis M. niger Parupeneus multifascitus P. bifasciatus Scolopsis bilineatus Cephalopholis miniata C. cyanostigma Epinephelus polyphekadion E. merra E. fasciatus Anyperodon leucogrammicus Siganus vulpinus Chaetodon lineolatus C. kleinii C. lunulatus C. trifasciatus C. baronessa C. speculum C. vagabundus C. bennetti C. rafflesii C. triangulum C. punctatofasciatus Forcipiger flavissimus Heniochus varius H. pleorataenia Macolor Mullidae Parupeneus Nemipteridae Serranidae Scolopsis Cephalopholis Epinephelus Anyperodon Siganus Chaetodon Siganidae Chaetodontidae Forcipiger Heniochus 2 10 2 5 1 2 1 1 4 4 2 2 642 Jumlah 2 3 2 5 10 10 20 5 4 10 2 1 1 1 4 6 10 2 6 4 2 4 2 2 2 4 4 2 1.262 Kelompok ikan karang Komposisi ikan karang dapat pula dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu kelompok ikan mayor, ikan target, dan ikan indikator. Kelompok ikan major umumnya hidup dalam kelompok besar (schooling fish) dan banyak terdapat di daerah terumbu karang yang memiliki tipe terumbu karang bercabang. Kelompok ikan target merupakan ikan konsumsi atau ikan ekonomis penting yang hidup berasosiasi kuat dengan perairan. Kelompok ikan indikator umumnya hidup soliter dan merupakan jenis-jenis ikan yang umumnya digunakan sebagai indikator bagi kesehatan ekosistem terumbu. Hasil pengelompokan spesies ikan karang yang temukan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Hasil pengelompokan ikan karang di lokasi penelitian ditemukan kelompok ikan major dengan jumlah spesies terbesar yaitu sebanyak 65 spesies yang didominasi oleh spesies Chromis ternatensis dan Chromis viridis. Kelompok ikan target sebanyak 50 spesies yang didominasi oleh spesies Pterocaesio tile dan kelompok ikan indikator sebanyak 23 spesies yang sebagian besar adalah spesies Chaetodon trifasciatus dan Chaetodon kleinii. Tingginya kelimpahan spesies ikan major di lokasi penelitian karena kondisi terumbu karang di perairan pantai Pulau Makian umumnya berupa tipe terumbu karang bercabang. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan (Lieske and Myers, 2001) bahwa umumnya kelompok ikan major hidup dalam kelompok besar (schooling fish) dan banyak terdapat di daerah terumbu karang yang memiliki tipe terumbu karang bercabang. Tabel 3. Hasil Pengelompokan Spesies Ikan Karang di Perairan Pantai Pulau Makian. Stasiun 1 Stasiun 2 Jumlah Kelompok Ikan Karang Spesies 5 meter 10 meter 5 meter 10 meter Ikan Major 12 3 24 26 65 Ikan Target 5 2 14 29 50 Ikan Indikator 2 4 4 13 23 Total 138 Struktur komunitas ikan karang Hasil analisis komunitas ikan karang di perairan pantai Pulau Makian yang terdiri dari indeks keanekaragaman, kemerataan, dan dominasi spesies disajikan pada Tabel 4. 118 Depik, 1(2): 114-120 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Tabel 4. Hasil analisis komunitas ikan karang di perairan Pantai Pulau Makian Stasiun Pengamatan Indeks Keanekaragaman 5 meter 10 meter Indeks Kemerataan 5 meter 10 meter Indeks Dominasi 5 meter 10 meter Stasiun 1 2.19 1.30 0.38 0.25 0.17 0.36 Stasiun 2 2.84 3.27 0.44 0.46 0.08 0.07 Pada stasiun 1 indeks keanekaragaman jenis ikan karang masuk dalam kriteria keanekaragaman sedang dengan pola penyebaran jenis cukup merata dan tidak ada yang dominan. Pada stasiun 2 terdapat perbedaan indeks keanekaragaman di kedalaman 5 meter dan 10 meter, dimana pada kedalaman 5 meter keankeragaman ikan karang masuk kriteria keanekaragaman sedang dan pada kedalaman 10 meter masuk dalam kriteria keanekaragaman tinggi. Adapun indeks kemerataan dan dominasi diperoleh pola penyebaran jenis merata dan tidak ada yang dominan. Persentase tutupan karang Analisis persentase tutupan karang dilakukan berdasarkan penilaian terhadap bentuk pertumbuhan karang (life form) di perairan pantai Pulau Makian hasilnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase tutupan karang di perairan pantai Pulau Makian Stasiun 1 Stasiun 2 Bentuk Pertumbuhan 5 meter 10 meter 5 meter 10 meter Coral 45.0 52.8 79.6 86.6 Sponge 3.4 0.8 15.2 10.0 Algae 1.6 0.8 - - Dead coral 0.8 - - 0.6 Abiotik 49.2 45.6 5.2 2.8 Total 100 100 100 100 Persentase total tutupan karang hidup tertinggi diperoleh pada stasiun 2 di kedalaman 10 meter berkisar 86,6 % dan kedalaman 5 meter 79,6% yang masuk dalam kriteria sangat tinggi, sedangkan pada stasiun 1 di kedalaman 10 meter 53% masuk kriteria tinggi dan kedalaman 5 meter 45,0% tergolong kriteria sedang. Kategori other benthic tercatat bentuk sponge pada stasiun 2 di kedalaman 5 meter yaitu 15,2% (kategori rendah) dan kedalaman 10 meter 10,0 % (kategori sangat rendah), pada stasiun 1 di kedalaman 5 meter yaitu 3,4% (kategori sangat rendah) dan kedalaman 10 meter 0,8% (kategori sangat rendah). Komponen abiotik lain yang terdiri dari karang mati (dead coral) hanya tercatat pada stasiun 2 di kedalaman 10 meter yaitu 0,6% (kategori sangat rendah), sedangkan dead coral with alga (DCA) hanya tercatat di kedalaman 5 meter pada stasiun 1 yaitu 0,8% (kategori sangat rendah). Pecahan karang (rubble) tercatat pada stasiun 1 di kedalaman 5 meter yaitu 0,8% (kategori sangat rendah) dan kedalaman 10 meter yaitu 4 % (sangat rendah), sedangkan pada stasiun 2 di kedalaman 5 meter yaitu 1,6% (kategori sangat rendah) dan kedalaman 10 meter yaitu 0,2% (kategori sangat rendah). Pasir (sand) hanya tercatat pada stasiun 2 di kedalaman 5 meter yaitu 3,6% (kategori sangat rendah) dan kedalaman 10 meter yaitu 2,6% (kategori sangat rendah). Sedangkan lumpur (silt) hanya tercatat pada stasiun 1 di kedalaman 5 meter yaitu 48,4% (kategori tinggi) dan kedalaman 10 meter yaitu 41,6% (kategori sedang). Bentuk tutupan karang yang mendominasi di stasiun 1 yaitu Acropora branching, Coral foliose dan Acropora submassive. Sedangkan pada stasiun 2 yaitu Acropora tabulate, Coral millepora, Coral mushroom, Acropora submassive, Acropora branching, dan Acropora digitate. Hubungan keanekaragaman ikan karang dan tutupan karang Hubungan keanekaragaman ikan karang dengan persentase tutupan karang dianalisis berdasarkan pengelompokan jenis ikan karang dalam 3 kelompok yaitu ikan major, ikan target, dan ikan indikator. Hasil analisis hubungannya dilakukan dengan pendekatan persamaan regresi linier sederhana. Analisis hubungan keanekaragaman jenis ikan major terhadap persentase tutupan karang diperoleh nilai persamaan regresinya Y = 40.53+37.59x dengan nilai koefisien regresi R 2 = 0,787 atau 78,7%. Dengan demikian hubungannya sangat kuat. Hubungan keanekaragaman jenis ikan target terhadap persentase tutupan karang diperoleh nilai persamaan regresinya Y = 52.29+51.23x dengan nilai koefisien regresi R 2 = 0,547 atau 54,7% yang artinya bahwa terdapat hubungan yang kuat. Adapun hasil analisis regresi hubungan antara keanekaragaman jenis ikan indikator terhadap persentase tutupan karang diperoleh persamaan regresinya Y = 52.03+279.3x dengan nilai koefisien regresi R2 = 0,547 atau 54,7% berarti menunjukkan hubungan yang kuat pula. 119 Depik, 1(2): 114-120 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Tabel 6. Hasil analisis keanekaragaman kelompok ikan karang dan persentase penutupan karang Indeks Keanekaragaman Persentase Titik Tutupan Kedalaman Pengamatan Ikan Major Ikan Target Ikan Indikator Karang 5 meter 0.47 0.06 0.02 45,0 Stasiun 1 10 meter 0.13 0.16 0.02 52,8 Stasiun 2 5 meter 0.89 0.15 0.03 79,6 10 meter 1.22 0.70 0.13 86,6 Pola hubungan yang diperoleh bahwa keberadaan terumbu karang yang baik berperan penting bagi keragaman dan kelimpahan ikan karang seperti spawning, nursery, feeding, shelter. Wooton, 1992 mengemukakan bahwa sejumlah spesies ikan karang akan memilih habitat terumbu karang yang baik yang mampu mendukung kelangsungan hidupnya. Hal senada dikemukakan oleh Allen et al. (2003), bahwa sejumlah besar spesies ikan karang yang ditemukan pada ekosistem terumbu karang adalah refleksi langsung dari besarnya kesempatan yang diberikan oleh habitat terumbu karang. Ikan karang akan memberikan respons terhadap struktur habitat, yang akan mempengaruhi distribusi dan kelimpahannya. Interaksi spesisifk spesies ikan karang untuk berlindung di terumbu karang telah menjadikan komunitas ikan karang memiliki variasi yang tinggi. Walaupun beberapa spesies ikan karang muncul pada sebaran bervariasi dari tipe dasar perairan. Kesimpulan Komposisi spesies ikan karang yang teridentifikasi di perairan pantai Pulau Makian terdiri dari 138 spesies, 47 genus dan 21 famili dengan tingkat keragaman pada stasiun 1 tergolong sedang dan pada stasiun 2 di kedalaman 5 meter tergolong sedang dan di kedalaman 10 meter tergolong keanekaragaman tinggi. Persentase tutupan karang di stasiun 1 pada kedalaman 5 meter tergolong sedang dan kedalaman 10 meter tergolong tinggi. Stasiun 2 pada kedalaman 5 meter dan 10 meter persentase tutupan karang sangat tinggi. Daftar Pustaka Allen, G. R., R. Steene, P. Humann, N. Deloach. 2003. Reef fish identification tropical pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Frorida USA. Allen, G.R. 2005. Coral Reef Fishes of Southwestern Halmahera, Indonesia. Report of Halmahera Survey, 2005. English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1997. Survey manual for tropical marine resources. Australian Institute of Marine Science, Townsvile. Krebs, C. J. 1989. Ecological methodology. Harper dan Row Pub., New York. Lieske, E., R. Myers. 2001. Reef fishes of the world. Periplus, Singapore. Ludwig, J.A., J.F. Reynolds. 1988. Statistical ecology. A primer on methods and computing. Jhon Wiley dan Son, New York. Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi. Terjemahan: S. Samingan (edisi ketiga) Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Sarwono. 2006. Metode penelitian kualitatif, mengenal analisis korelasi. http://www.jonathansarwono.com. Diakses pada tanggal 10 Juli 2011. Suharsono. 2007. Kondisi terumbu karang di Indonesia. http://www.antaranews.com. Diakses pada tanggal 3 Desember 2010. Wooton, R.J. 1992. Tertiary level biology : Fish ecology. Blackie. Glasgow and London. Chapman and Hall, New York. 120 Depik, 1(2): 121-124 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Uji selektivitas fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji putat air (Barringtonia racemosa) terhadap ikan mujair (Oreochromis mossambicus) The selektivity of Rf < 0.5 fraction of MeOH extract of putat air kernel’s (Barringtonia racemosa) on tilapia (Oreochromis mossambicus) Musri Musman*1, Sofia2, Adli Waliul Perdana1 1Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, 2Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; *Email korespondensi: [email protected] Abstract. The objective of the present study was to evaluate the selectivity of the R f < 0.5 fraction of MeOH extract of putat air kernels (Barringtonia racemosa) on golden snail (Pomacea canaliculata) and tilapia (Oreochromis mossambicus). The research was conducted on November 2011 to February 2012 at Chemical Laboratory of Teacher Training and Education Facultyand Marine Chemical Laboratory of Coordinatorate of Marine and Fisheries of Syiah Kuala University. Thin-layer chromatography was used as the separation technique towards component compounds in the extract samples. The research was used five levels concentration of Rf < 0.5 fraction of MeOH solution (20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, 100 ppm) with three repetitions. Mortality rates of golden snails and tilapia were detected when they were exposure to Rf < 0.5 fraction of MeOH extract of B. racemosa kernels. The data were analyzed by Probit, and selectivity value (S) was calculated by Feng and Wang formula. The results revealed that Rf < 0.5 fraction of MeOH extract of putat air kernels was selective to golden apple snails. Key words: Thin-layer chromatography, mortality, Probit, and moluscida Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui selektivitas fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji putat air (Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan ikan mujair (Oreochromis mossambicus). Penelitian telah dilakukan pada bulan November 2011 sampai Februari 2012 di Laboratorium Kimia FKIP dan Laboratorium Kimia Laut Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala. Kromatografi lapis tipis digunakan sebagai teknik pemisahan komponen senyawaan dalam ekstrak cuplikan. Penelitian ini menggunakan lima konsentrasi Rf < 0.5 MeOH yaitu 20, 40, 60 , 80, dan 100 ppm dengan tiga kali ulangan. Data mortalitas keong mas dan ikan mujair yang diperoleh dari hasil pemberian fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji B. racemosa dianalisa dengan program Probit, sedangkan harga selektivitas (S) diolah menggunakan formula Feng dan Wang. Penelitian ini mengindikasikan bahwa fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji putat air selektif sebagai moluskosida terhadap keong mas. Kata kunci: Kromatografi lapis tipis, kematian, Probit, dan moluskosida Pendahuluan Keong mas (Pomacea canaliculata) pada awal masuknya ke Indonesia untuk hewan hias dalam akuarium (Hendarsih dan Kurniawati, 2009). Hewan ini sangat rakus sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk memeliharanya dan berkembang biak sangat cepat. Namun saat ini keong mas dapat dijumpai dengan mudah dialam bebas dan hewan ini menjadi hama utama padi yang sangat merugikan para petani (Damborenea et al., 2006). Sejak hama keong mas ini merebak, banyak cara sudah dilakukan untuk mengendalikan hama tersebut baik secara mekanik seperti pemasangan perangkap telur maupun biologis dengan memungut langsung telur dan keong mas. Petani-petani juga telah menggunakan pestisida sintesis di sawah untuk mengendalikan hama ini. Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua pestisida sintesis yang digunakan efektif membunuh hewan sasaran. Sa’id (1994) menyatakan kurang lebih hanya 20% pestisida mengenai sasaran sedangkan 80% tidak efektif dan masuk dan terakumulasi dalam tanah. Residu pestisida sintesis ini dapat memberikan efek samping, seperti terjadi pencemaran lingkungan dan dapat menyebabkan kematian ikan-ikan dan hewan ternak lainnya di sawah (Suripto, 2009). Saat ini para pakar mulai meneliti tumbuhan-tumbuhan yang dapat dijadikan pestisida alami untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pestisida sintetis. Beberapa tumbuhan tropis telah terbukti mengandung senyawa anti moluska yang biasa disebut moluskosida. Kelompok senyawa asal tumbuhan yang telah teridentifikasi aktif moluskosida adalah golongan saponin, tanin, alkaloid, dan flavonoid (Musman, 2009; Hui-Chi Huanget al., 2003). Barringtonia racemosa atau putat air merupakan salah satu tumbuhan tropis yang mengandung senyawa moluskosida dan telah diuji terhadap organisma keong mas (Musman, 2010). Biji tumbuhan ini mengandung saponin dan flavonoid (Ojewole et al., 2005; Gowri et al., 2009). Dua senyawa ini memberikan efek yang signifikan terhadap kematian keong mas (Musman, 2010). Pada penelitian ini dilakukan pengujian selektivitas Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa kepada organisma lain yang ada di ekosistem sawah, salah satunya ikan mujair. Pemilihan ikan mujair dikarenakan ikan mujair sering didapati hidup di areal persawahan terutama di saluran irigasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui selektivitas fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak metanol biji putat air (Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) yang dibandingkan dengan ikan mujair (Oreochromis mossambicus). Hasil penelitian ini diharapkan dapat 121 Depik, 1(2): 121-124 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 memberi informasi tentang penggunaan fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH dari biji B. racemosa sebagai racun keong mas (Pomacea canaliculata) yang dibandingkan dengan ikan mujair (Oreochromis mossambicus). Bahan dan Metode Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia FKIP Universitas Syiah Kuala dan Kimia Laut Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Februari 2012. Pengumpulan organisma uji Organisma uji yang digunakan adalah keong mas (Pomacea canaliculata) yang diperoleh dari persawahan di desa Tandjung Selamat, Aceh Besar dan ikan mujair (Oreochromis mossambicus) diperoleh dari Desa Penteut, Lhokseumawe. Keong mas yang digunakan sebanyak 180 individu dengan panjang cangkang 2–3 cm, sedangkan ikan mujair yang digunakan sebanyak 180 ekor dengan panjang total 3–4 cm. Hidrolisa ekstrak MeOH biji B. racemosa Ekstrak MeOH sebanyak 7,77 g dihidrolisa dengan 70 mL larutan HCl 4,87 M selama 3 jam, lalu didinginkan, kemudian ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 37,5 mL pada larutan tersebut. Produk hidrolisa diekstraksi dengan 600 mL CHCl3, kemudian dievaporasi lapisan CHCl3 dengan rotary evaporator. Produk hidrolisa diperoleh sebanyak 0,62 g. Penentuan pelarut untuk hasil hidrolisa Bilah pralapis silika gel disiapkan dengan ukuran 5 cm x 1 cm sebanyak 3 (tiga) bilah. Garis awal dan garis akhir dibuat pada bilah yang telah disiapkan sebelumnya. Kelarutan produk hidrolisa diuji dengan tiga pelarut tunggal yaitu Diklorometana, Metanol, dan Etil asetat. Produk hidrolisa yang telah dilarutkan kemudian ditotolkan pada garis awal dengan pipet kapiler. Wadah kromatografi diisi dengan salah satu pelarut tunggal, kemudian wadah kromatografi ditutup selama 2 menit untuk menjenuhkannya dengan pelarut, kemudian tutup wadah kromatografi dibuka. Bilah pralapis silika gel yang telah ditotolkan produk hidrolisa dimasukkan ke dalam wadah kromatografi dengan menyangga pada dinding wadah kromatografi. Bilah pralapis silika gel yang tercelup ke pelarut tidak boleh melewati garis awal. Wadah kromatografi ditutup. Pengembangan pralapis silika gel dilakukan hingga pelarut mencapai garis akhir. Tutup wadah kromatografi dibuka dan bilah pralapis silika gel dikeluarkan. Bilah pralapis silika gel dikeringkan dengan hair dryer. Bilah pralapis silika gel yang telah kering tersebut disinari dengan sinar UV untuk melihat bercak noda, lalu bercak noda ditandai dan dicatat warnanya. Keterpisahan noda diperiksa atas fraksi-fraksi berdasarkan nilai Rf. Bilah pralapis silika gel yang telah ditandai nodanya disemprot dengan larutan kromatogenik (H2SO4). Kemudian bilah tersebut dipanaskan di atas hot plate hingga muncul bercak berwarna, dan bercak warna tersebut ditandai dan dihitung nilai Rf –nya. Fraksinasi produk hidrolisa Pralapis silika gel disiapkan dengan ukuran 20x20 cm2. Garis awal dan garis akhir dibuat dengan pensil pada pralapis silika gel. Dilarutkan sebanyak 0,62 g produk hidrolisa dalam pelarut metanol. Produk hidrolisa yang telah dilarutkan ditotolkan pada garis awal. Pelarut yang telah disiapkan dituang ke dalam wadah kromatografi. Pada penelitian ini pelarut yang baik untuk fraksinasi produk hidrolisa adalah etil asetat. Fraksinasi dilakukan hingga pelarut mencapai garis akhir, setelah pelarut mencapai garis akhir pralapis silika gel dikeluarkan. Pralapis silika gel dikeringkan dengan hair dryer. Pralapis yang telah kering tersebut disinari dengan sinar UV untuk melihat bercak noda. Bercak noda ditandai dan dicatat warnanya, kemudian ditentukan nilai Rf pada masing-masing bercak noda. Pralapis silika gel dipotong dibahagian kanannya seukuran 20x1 cm2 (akan digunakan sebagai rujukan kromatogenik). Selanjutnya bilah pralapis silika gel disemprot dengan larutan kromatogenik, lalu dipanaskan di atas hot plate, kemudian ditandai bercak yang muncul dan dihitung masing-masing nilai Rf –nya. Bercak yang muncul pada bilah dibandingkan dengan pralapis silika gel dengan cara ditandai sesuai bercak pita yang muncul pada bilah. Silika gel sesuai dengan zona pita yang telah ditandai dikerok dan dipisahkan kerokan silika gel yang memiliki harga R f < 0,5 dengan kerokan silika gel yang memiliki harga R f ≥ 0,5 dalam gelas kimia. Selanjutnya masing-masing kerokan silika gel direndam dalam pelarut etil asetat, kemudian disaring campuran dengan kertas saring Whatman No. 1. Larutan yang diperoleh dikeringkan dengan rotary evaporator. Komponen ber-Rf < 0,5 ditimbang. Hasil yang diperoleh digunakan sebagai cuplikan uji selektivitas. Prosespencampuran ekstrak dalam wadah uji Wadah uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium berukuran 45 cm x 30 cm x 35 cm sebanyak 36 unit. Ketinggian air dari dasar wadah adalah 10 cm (Musman, 2010). Ekstrak MeOH biji B. racemosa fraksi Rf < 0,5 dibuat dalam beberapa larutan konsentrasi yaitu 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm serta kontrol. Akuarium kaca diatur dalam 2 kelompok (keong mas dan ikan mujair) yang terdiri masing-masing 6 akuarium. Setiap kelompoknya dilakukan tiga kali ulangan. Setiap akuarium kemudian diisi sebanyak 10 individu keong mas dan 10 ekor untuk ikan mujair. Organisma yang akan diuji terlebih dahulu diaklimatisasi selama 30 menit agar organisma uji merasa nyaman dan dapat bergerak bebas. Kelima jenis larutan konsentrasi tersebut kemudian dituangkan sebanyak 100 mL ke dalam masing-masing akuarium yang telah berisi organisma uji (Musman et al., 2012). Pengamatan kondisi dan mortalitas organisma uji Pengujian keaktifan biologi ini dilakukan berdasarkan kaedah yang dianjurkan oleh FAO (Reish and Oshida, 1987). Pengamatan dilakukan setelah penuangan larutan ekstrak ke dalam akuarium organisma uji. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui mortalitas organisma uji setelah 48 jam pemberian ekstrak. Mortalitas keong mas ditandai 122 Depik, 1(2): 121-124 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 dengan keluarnya cairan lendir melalui celah operculum atau kakunya pergerakan operculum bila ditekan ke arah dalam (Musman, 2004). Ikan mujair yang terkena racun gejalanya hampir sama dengan ikan lainnya seperti yang dinyatakan Rudiyanti dan Ekasari (2009) bahwa ikan yang terkena racun dapat diketahui dengan gerakan yang hiperaktif, menggelepar, lumpuh sehingga kemampuan ikan untuk beradaptasi semakin berkurang dan akhirnya menyebabkan kematian. Analisa Data Data mortalitas keong mas dan ikan mujair yang diperoleh karena pemberian ekstrak MeOH biji B. racemosa fraksi Rf < 0,5 dianalisa dengan program Probit (Finney, 1971). Menurut Feng and Wang (1984), nilai LC50 yang diperoleh digunakan untuk menghitung nilai selektivitas (S) melalui formula: S= LC50 ikan mujair/LC50 keong mas Kreteria terhadap nilai S adalah, jika nilai S > 1 berarti ekstrak uji merupakan racun yang selektif terhadap keong mas, dan jika nilai S 1 berarti ekstrak uji merupakan racun yang tidak selektif terhadap keong mas. Hasil dan Pembahasan Tabel 50 organisma uji Tabel1.1.Nilai NilaiLC LC 50 organisma uji Organisma Uji Keong mas Ikan mujair Nilai LC50 [ppm] 46,76 64,06 mortalitas Rerata organisma (individu) Data rerata mortalitas keong mas dan ikan mujair setelah diberi perlakuan fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji B. racemosa dengan menggunakan konsentrasi yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 1. Nilai LC50 yang telah diperoleh dari masing-masing organisma uji digunakan untuk menghitung nilai selektivitas fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa. Nilai selektivitas yang diperoleh adalah sebesar 1,36. Pengamatan secara visual pada keong mas menunjukkan bahwa keong mas yang berada di akuarium kontrol masih terlihat aktif bergerak dan menempel di kaca akuarium. Pengamatan visual pada keong mas ini sesuai dengan pernyataan Yati (2006) bahwa keong mas (P. canaliculata) pada perlakuan kontrol tetap aktif bergerak dan merayap di dasar akuarium. Keong mas yang berada di akuarium yang telah diberikan larutan uji fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji B. racemosa terlihat menarik kaki mereka ke dalam cangkangnya melalui operculum tidak lama setelah racun dimasukkan. Tindakan keong mas ini dilakukan untuk menghindari tubuhnya terkontaminasi oleh racun fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa. Keong mas merupakan hewan yang sangat rakus (Hendarsih dan Kurniawati, 2009), keinginan untuk terus makan inilah yang menyebabkan keong mas membuka kembali operculum-nya untuk bergerak mencari makanan. Keaktifan keong mas bergerak untuk mencari makanan berakibat pada seringnya terjadi kontak kaki dengan bahan moluskosida (Musman, 2009). Untuk mengurangi kontak lebih lanjut permukaan tubuhnya dengan moluskosida, keong mas mengeluarkan lendir. Namun pembentukan lendir dalam jumlah yang berlebihan ini, dapat menghambat proses pernapasannya dan mengakibatkan kematian (Musman et al., 2012). Data mortalitas yang telah diperoleh dari kedua organisma uji diolah dengan menggunakan program Probit untuk mengetahui nilai LC50. Hasil LC50 yang diperoleh tertera pada Tabel 1. Musman (2010) menyatakan bahwa kematian yang tinggi pada keong mas disebabkan oleh senyawa saponin dan flavonoid yang memberikan efek biologis pada keong mas. Hadirnya saponin dalam badan air menyebabkan terhambatnya proses pernafasan pada keong mas (Musman, 2009). 8 7 6 5 4 Keong Mas 3 Ikan Mujair 2 1 0 0 20 40 60 Konsentrasi (ppm) 80 100 Gambar 1. Diagram batangrerata mortalitas sampel uji keong mas dan ikan mujair terhadap konsentrasi (ppm). Pengamatan secara visual terhadap ikan mujair setelah larutan uji dipajan ialah ikan mujair terlihat bergerak dengan cepat dan tidak teratur di dalam akuarium seperti berputar-putar. Hal ini menandakan larutan uji sangat cepat larut di dalam air. Ikan mujair yang terkena racun menjadi tidak teratur pergerakannya, kehilangan keseimbangan dan cenderung berada di dasar. Racun fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji B. racemosa masuk ke dalam tubuh ikan mujair melalui insang. Ikan mujair mati karena telah terakumulasinya racun dalam tubuh ikan dan terhambatnya reaksi serta fungsi sistem saraf dalam tubuh ikan mujair (Rahmanpiu, 2007). Peristiwa ini berbanding terbalik dengan kondisi ikan mujair yang berada di akuarium kontrol. Ikan mujair yang berada diakuarium kontrol terlihat tenang dan bebas bergerak. 123 Depik, 1(2): 121-124 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Pengamatan dalam penelitian ini berlangsung selama 2x24 jam. Jangka waktu ini dikategorikan sebagai jenis bioassay periode waktu pendek (Reish dan Oshida, 1987). Pemajanan fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa terhadap organisma uji menunjukkan pengaruh mortalitas terhadap organisma uji dari waktu ke waktu selama masa penelitian. Hal ini menandakan bahwa struktur senyawa toksikan dimaksud tidak mengalami deformasi selama berada di dalam air. Apabila terjadi deformasi struktur suatu toksikan, sifat biologi pada racun tersebut akan hilang dan tidak dapat memberikan efek mematikan bagi organisma uji dalam kurun waktu pengujian (Musman, 2010). Pengaruh konsentrasi larutan uji fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa terhadap mortalitas organisma uji keong mas dan ikan mujair terlihat dengan jelas. Angka mortalitas yang didapat dari organisma uji berbanding lurus dengan konsentrasi larutan uji yang diberikan. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan uji yang dipajan maka semakin tinggi pula mortalitas organisma uji yang mati dalam kurun waktu penelitian. Nilai selektivitas fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa yang diperoleh dari perbandingan LC50 ikan mujair terhadap LC50 keong mas adalah 1,36. Harga selektivitas ini menunjukkan bahwa fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa memiliki selektivitas yang tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa sifat racun fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa ini sangat selektif terhadap organisma uji keong mas, karena pada batasan harga konsentrasi tertentu ekstrak ini sudah mampu membunuh organisma yang menjadi sasaran uji pada penelitian ini, yaitu keong mas, akan tetapi tidak banyak membunuh organisma yang bukan sasaran utama, yaitu ikan mujair. Kesimpulan Pemberian fraksi Rf < 0,5 ekstrak MeOH biji B. racemosa menyebabkan kematian terhadap organisma uji. LC50 fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa terhadap keong mas adalah 46,76 ppm dan 64,06 ppm untuk ikan mujair. Nilai selektivitas fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa adalah 1,36. Fraksi Rf < 0,5 dari ekstrak MeOH biji B. racemosa menunjukkan sifat biologisnya sebagai moluskosida keong mas. Daftar Pustaka Damborenea, C., F. Brusa. and A. Paola. 2006. Variation in worm assemblagesassociated with Pomacea canaliculata (Caenogastropoda, Ampullariidae) in sites near the Rio de la Plata estuary. Argentina. Biocell (Mendoza), 3(3): 457-468. Feng, H. T., T. C. Wang. 1984. Selectivity of insecticides to Plutella xylostella (L) and Apanteles plutellae. Plant Prot. Bull., 26: 275–284. Finney, D. J. 1971. Probit analysis. 3nd edition. Cambridge University Press, Cambridge. Gowri, P. M., S. V. Radhakrishnan, S. J. Basha, A. V. Sarma, J. M. Rao. 2009. Oleanane-type isomeric triterpenoids from Barringtonia racemosa. Journal of Natural Products, 72(4): 791–795. Hendarsih, S., N. Kurniawati. 2009. Keong mas dari hewan peliharaan menjadi hama utama padi sawah. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Subang, Jawa Barat. Hui-Chi Huang, Liao Sin-Chung, ChangFang-Rong, Kuo Yao-Haur, W. Yang-Chang. 2003. Moluscicidal saponins from Sapindus mukorossi, Inhibitory Agents of Golden Apple Snail, Pomacea canaliculata. Journal Agriculture Food Chem., 51(17): 49 16-19. Musman, M. 2004. Effect of methanol extract of fruit of penteut (Barringtonia asiatica) to mortality of golden snail (Pomacea canaliculata). Jurnal Natural, 4(2): 9-11. Musman, M. 2009. The potency of penteut ie (Acehnese, Barringtonia racemosa (L. Spreng) as molluscicide of Pomacea species (Ampullaridae), Abidin ddk.(eds.), Understanding Disaster and Environmental Issues with Science and Engineering towards Sustainable Development. Proceeding of the International Conference on Natural and Environmental Sciences 2009 (ICONES ’09). Banda Aceh, 6-8 May 2009. Musman, M. 2010. Toxicity of Barringtonia racemosa (L.) kernel eextract on Pomacea canaliculata (Ampullariidae). Tropical Life Science Research, 21(2): 41-50. Musman, M., S. Karina, K. Melanie. 2012. Uji selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air (Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan ikan lele lokal (Clarias batracus). Depik. 1(1):27-31. Ojewole, J. A. O., N. Nundkumar, C. O. Adewunmi. 2005. Molluscicidal, cercariacidal, larvacidal and antiplasmodial properties of Barringtonia racemosa fruit and seed extracts. BLACPMA, 3(5): 88-92. Rahmanpiu. 2007. Toksisitas ekstrak buah pandita (Anamirta cocculus) terhadap bioindikator ikan mujair (Tilapia mosambica) pada pemeliharaan udang windu (Penaeus monodon). Gema Pendidikan. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Haluoleo, Kendari. Reish, D. L., P. S. Oshida. 1987. Manual of methods in aquatic environment Research: Part 10 – Short-term Static Bioassay. FAO Fisheries Technical Paper 247, Rome. Rudiyanti, S., A. D. Ekasari. 2009. Pertumbuhan dan survival rate ikan mas (Cyprinus carpio Linn) pada berbagai konsentrasi pestisida regent 0,3 g. Jurnal Saintek Perikanan, 5(1): 39-47. Sa’id, E. G. 1994. Dampak negatif pestisida, sebuah catatan bagi kita semua. Agrotek, 2(1): 71-72. Suripto. 2009. Selektivitas anti moluska dari tanaman jayanti {Sesbania sesban (L.) Merr.}. Jurnal Biol. Trop., 10(1): 24-32. Yati, N. 2006. Aktivitas moluskisida ekstrak biji teh (Camelia sinensis) (THEACEAE) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) (Mesogastropoda: Ampulariidae). Laporan penelitian, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran, Bandung. 124 Depik, 1(2): 125-130 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Keragaman jenis dan persen penutupan tumbuhan air di ekosistem Danau Laut Tawar, Takengon, Provinsi Aceh Diversity and percent covers of aquatic plants in Lake Laut Tawar ecosystem, Takengon, Aceh Province Irma Dewiyanti Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111. Email korespodensi: [email protected] Abstract. Primary production in freshwater can be observed with the existing of aquatic plants includes micro and macrophyte. The study of aquatic plant is necessary due to the plant has important in aquatic environments, such as providing habitat, spawning ground, feeding ground, and nursery ground for aquatic biota. This study was conducted in June 2012, and the purposes were to identify species of aquatic plants and their percent cover in Lake Laut Tawar, Takengon. Sampling were conducted using quadrate transects of 0.5 x 0.5 m2, and the every transect was divided into 25 sampling points. A total of 10 species of aquatic plants were found and there were divided into four groups based on their morphoecology i.e. emergent, free floating, free submerged and rooted with floating leaves. Of these, emergent group was the most predominant (six species), followed by free floating (two species), free submerged (one species), and rooted with floating leave (one species). Hydrilla verticillata (free submerged group) and Eichhornia crassipes (free floating group) had the highest percent covers and density. Key words: Macrophytes, morphoecological, percent cover, H. verticillata, E. crassipes Abstrak. Produksi primer pada perairan air tawar dapat diukur dari keberadaan tumbuhan air. Penelitian mengenai tumbuhan air perlu dilakukan karena memiliki peranan yang penting pada lingkungan perairan, diantaranya sebagai habitat, daerah mencari makan, pengasuhan dan pemijahan untuk biota perairan. Penelitian ini dilakukan di Danau Laut Tawar, Takengon. Pengambilan data menggunakan transek kuadrat 0,5 x 0,5m2 yang dibagi menjadi 25 bagian yang diamati secara terpisah. 10 jenis tumbuhan air ditemukan pada lokasi penelitian yang termasuk kedalam empat tipe habitat tanaman air. Diantara tipe habitat yang teramati, tipe habitat daun tersembul merupakan species yang paling sering ditemukan (enam spesies), diikuti oleh tipe habitat terapung sempurna sebanyak dua spesies, tipe habitat terendam sempurna (satu spesies), dan tipe habitat daun terapung dengan akar tenggelam (satu spesies). Hydrilla verticillata (terendam sempurna) dan Eichhornia crassipes (terapung sempurna) memiliki persen penutupan yang tertinggi dan termasuk dalam kriteria sangat rapat. Kata kunci: Tumbuhan air, tipe habitat, persen penutupan, H. verticillata, E. crassipes Pendahuluan Danau Laut Tawar terletak pada ketinggian 1.200 m dari permukaan laut dengan luas lebih kurang 7.000 Ha dan kedalaman rerata ± 80 m. Salah satu komunitas yang memiliki peranan penting dan terdapat di sekeliling danau ini adalah komunitas tumbuhan air (macrophytes). Tumbuhan air merupakan tumbuhan yang tinggal di sekitar air dan didalam air yang berfungsi sebagai produsen penghasil energi pada suatu ekosistem (Odum dan Barrett, 2005). Produsen pada suatu ekosistem air tawar terdiri dari dua tipe yaitu, tanaman bentik yang kebanyakan anggota Devisi Spermatophyta (tanaman berbiji) dan fitoplankton atau tanaman hijau yang mengapung. Keberadaan tumbuhan air yang hidup dengan baik akan menciptakan produktivitas perairan yang tinggi dan menghasilkan keanekaragaman biota akuatik yang tinggi pula. Beberapa peranan tumbuhan air yang sangat penting adalah sebagai produsen primer, sebagai habitat biota, tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuhan atau alga (Boyd, 1968). Disamping itu, tumbuhan air dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai jenis ikan herbivora, hal ini terlihat dari banyaknya larvalarva dan juvenil biota air yang ditemukan pada tumbuhan air. Daun tumbuhan air yang lebat dan besar pada jenis tertentu akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaaan. Chambers (1970) menegaskan bahwa tumbuhan air memiliki peranan yang penting dalam struktur dan fungsi ekosistem perairan. Selama ini data dan informasi tentang keanekaragaman jenis tumbuhan air di kawasan Danau Laut Tawar belum tersedia dengan baik. Ketersediaan data dan informasi ini sangat dibutuhkan dalam rangka pengelolaan sumberdaya danau dan menghasilkan nilai konservasi, oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan awal berupa identifikasi jenis tumbuhan air yang terdapat pada Danau Laut Tawar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan air yang terdapat di Danau Laut Tawar beserta tipe habitatnya, dan persen penutupan setiap jenis yang ditemukan. Metode Penelitian Lokasi dan waktu penelitian Danau Laut Tawar, Aceh Tengah - Takengon, Provinsi Aceh secara Geografis terletak pada 04°36′43″ LU dan 096°55′25″ BT. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni, 2012. Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu kegiatan di 125 Depik, 1(2): 125-130 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 lapangan dan di laboratorium. Penentuan stasiun penelitian dilakukan dengan metode acak berstratifikasi yaitu dengan membagi lokasi penelitian menjadi beberapa lapisan atau strata berdasarkan keterwakilan kawasan kajian. Pengambilan data dilakukan pada 5 stasiun di kawasan Danau Laut Tawar. Stasiun yang menjadi kawasan penelitian adalah Toweran (stasiun 1), Bintang (stasiun 2), Boom (stasiun 3), Kelitu (stasiun 4), dan Mandale (stasiun 5). Pada setiap stasiun pengamatan diambil 3 plot sebagai ulangan. Gambar 1. Danau Laut Tawar yang menunjukkan lokasi penelitian (Dimodifikasi dari http:/maps.google.com) Pengambilan data tumbuhan air Data tumbuhan air diambil dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 0,5 m x 0,5 m yang meliputi jenis tumbuhan air dan proporsi substrat yang tertutupi tumbuhan air sehingga dapat diketahui kelasnya pada setiap plot penelitian. Setiap plot pengamatan (transek 0,5 m x 0,5 m) dibagi menjadi 25 bagian yang diamati secara terpisah. Tumbuhan air yang sudah terkumpul disimpan dalam plastik contoh dan diawetkan dengan alkohol 40% dan diidentifikasi di Laboratorium Biologi Laut Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Jenis tumbuhan air juga difoto untuk membantu proses identifikasi. Identifikasi jenis tumbuhan air merujuk pada referensi taxonomi berdasarkan Sainty and Jacobs, (1988); dan Cook et al. (1974). Setelah diidentifikasi tumbuhan air tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis dan dihitung persen penutupannya pada setiap petak pengambilan contoh (plot). Analisa data Menurut Brower et al. (1990) rumus yang dapat digunakan dalam perhitungan persen penutupan jenis sebagai berikut: C = ∑ (Mi x fi)/∑f Dimana: C = nilai penutupan vegetasi (%), Mi = nilai tengah kelas penutupan ke-i, fi = frekuensi munculnya kelas penutupan ke-i, ∑f = jumlah total frekuensi seluruh penutupan kelas. Nilai penutupan tiap jenis mengacu pada Tabel 1 sehingga pada setiap bagian pada transek kuadrat dapat ditentukan kategori kelas dan nilai tengahnya. Menurut Brower et al., (1990), kriteria penutupan sebagai berikut: C < 5% = sangat jarang, 5% ≤ C< 25% = jarang 25% ≤ C< 50% = sedang, 50% ≤ C< 75% = rapat, C≥ 75% = sangat rapat Tabel 1. Kelas penutupan yang digunakan untuk mencatat kelimpahan tumbuhan air (Brower et al., 1990) Kelas (i) Proporsi substrat yang tertutupi % Substrat yang tertutupi Nilai tengah (M) 5 ½ - seluruhnya 50 – 100 75 4 ¼-½ 25 – 50 37,5 3 1/8 – ¼ 12,5 – 25 18,75 2 1/16 – 1/8 6,25 – 12,5 9,38 1 Kurang dari 1/16 < 6,25 3,13 0 Kosong 0 0 126 Depik, 1(2): 125-130 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Hasil dan Pembahasan Keragaman jenis Data yang diperoleh selama pengamatan meliputi jenis tumbuhan air, tipe habitat, dan persen penutupannya dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lima stasiun penelitian diperoleh 10 jenis tumbuhan air yang terdapat di sekitar kawasan Danau Laut Tawar. Total jenis tumbuhan air yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan Pereira et al. (2012) dimana teridentifikasi 44 species tumbuhan air macrophytes pada kawasan Rio Grande lakes, Brazil. Tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan air pada kawasan Rio Grande Lakes, disebabkan kawasan ini merupakan perairan konservasi dan tingginya penyebaran macrophytes. Tabel 2. Jenis-jenis tumbuhan air beserta persen penutupannya Stasiun penelitian I (Toweran) No. Species 1 Gramineae Brachiaria mutica 3 Hydrocharitaceae Hydrilla verticillata Poaceae Oryza sativa 4 Polygonaceae Polygonum sp. 2 2 Pontederiaceae Eichhornia crassipes Araceae Pistia stratiotes Commelinaceae Murdannia sp. 3 Convolvulaceae Ipomoea aquatic 4 Cyperaceae Rhynchospora corymbosa 5 Gramineae Brachiaria mutica 5 II (Bintang) 1 6 7 8 III (Boom) 1 2 3 4 IV (Kelitu) V (Mandale) Hydrocharitaceae Hydrilla verticillata Poaceae Oryza sativa Pontederiaceae Eichhornia crassipes Pontederiaceae Eichhornia crassipes Gramineae Brachiaria mutica Araceae Pistia stratiotes Araceae Colocasia esculenta Gramineae Brachiaria mutica Pontederiaceae Eichhornia crassipes Morpho-Ecology Group/ Tipe Habitat Persen Penutupan Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 23,4% Terendam sempurna (Free Submerged) 75% Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 26,4% Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 3% Terapung Sempurna (Free floating) 27,1% Terapung sempurna (Free floating) 25 % Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 3,9% Daun terapung dengan akar tenggelam (Rooted with floating leave) 2,4% Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 8,6% Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 9,0 % Terendam sempurna (Free Submerged) 11,6 % Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 33,8 % Terapung Sempurna (Free floating) 48,8 % Terapung Sempurna (free floating) 75% Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 33,8% Terapung sempurna (free floating) 28,5% Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 9% Tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) 34,9% Terapung Sempurna (Free floating) 3,2% Jumlah jenis-jenis tumbuhan air yang ditemukan berbeda untuk setiap stasiun penelitian, stasiun 1 yang terletak di Toweran ditemukan 5 jenis tumbuhan air yang di dominasi oleh spesies Hydrilla verticillata, stasiun 2 yang terletak di Bintang ditemukan 8 jenis tumbuhan air yang didominasi oleh Eichhornia crassipes dan diikuti jenis Oryza satyva, stasiun 3 yang terletak di Boom ditemukan 4 jenis tumbuhan air yang didominasi oleh spesies Eichhornia crassipes, stasiun 4 dan 5 yang terlatak di Kelitu dan Mandale hanya di ditemukan 1 jenis tumbuhan air (Tabel 2). Penentuan dominasi jenis tertentu pada lokasi 127 Depik, 1(2): 125-130 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 pengamatan dilihat dari hasil persen penutupan jenis yang tertinggi. Stasiun 2 yang berlokasi di Bintang memiliki total jenis tumbuhan air yang paling tinggi yaitu 8 jenis. Kovaks (1992) menyatakan bahwa tingginya kehadiran tumbuhan air di dalam suatu perairan baik yang sejenis ataupun berbeda jenis menandakan daerah tersebut memiliki tingkat kesuburan tinggi dan dapat terjadi eutrofikasi. Hydrilla verticillata mendominasi dibandingkan jenis lainnya pada stasiun 1 disebabkan jenis ini merupakan tumbuhan air yang cukup produktif dalam air yang dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat, dan keberadaannya didukung dengan arus yang cenderung tenang. H. verticillata dapat tumbuh dengan subur pada kawasan yang kaya bahan organiknya, stasiun ini banyak mendapatkan bahan organik dari kegiatan pertanian, limbah rumah tangga, dan kegiatan perikanan malalui masukan air (water inlet) yang juga sangat mempengaruhi kualitas air. Kondisi substrat di stasiun ini juga tergolong kasar dimana banyak ditemukan pasir, kondisi ini memungkinkan H. verticillata dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sampai kedalaman 2 m. Jenis ini tumbuh secara horizontal sehingga membentuk tikar padat vegetasi (Cook et al., 1974). H. verticillata merupakan kelompok tumbuhan yang paling banyak dijumpai dan memegang peranan yang sangat penting sebagai pengikat lapisan dan endapan lumpur. Berdasarkan hasil penelitian Wiriadinata and Seyowati (2008) jenis H. verticillata merupakan saringan lumpur yang terbawa arus aliran karena tumbuhnya berkelompok dan mampu mengurangi laju pendangkalan. Jenis Eichhornia crassipes atau yang lebih dikenal dengan Eceng Gondok yang mendominasi di stasiun 2 dan 3 hidup mengapung di air dan terkadang berakar dalam tanah jika hidup di perairan yang dangkal. E. crassipes memiliki perkembangbiakan yang sangat cepat. Eceng gondok mampu mengikat unsur logam dalam air, sehingga tanaman ini cocok hidup di air yang kotor dibandingkan air bersih, seperti pada stasiun 3 yang terletak di kawasan pemukiman penduduk sehingga banyak terdapat limbah/buangan sampah organik dan anorganik. Lokasi ini terletak di pinggiran kota Takengon yang langsung berhadapan dengan hilir danau. Chambers (1970) menyatakan bahwa E. crassipes merupakan jenis tumbuhan air yang memilki tingkat toleransi yang tinggi terhadap pencemaran. E. Crassipes juga dapat hidup dengan baik di perairan yang berarus seperti di stasiun 3. Tingginya dominansi jenis ini dapat menyebabkan tertutupnya kawasan permukaan perairan sehingga membatasi penetrasi cahaya yang masuk kedalam perairan, dan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem didalamnya. Kehadiran species E. Crassipes yang tinggi dimana mencapai persen penutupan 75% menghalangi pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan air lainnya, hal ini terlihat dari sedikitnya jenis yang ditemukan di stasiun ini dan juga dapat mengurangi nilai keindahan dari danau. Lokasi penelitian juga ditemukan famili rumput-rumputan yaitu Poaceae dan jenis yang ditemukan adalah Oriza sativa atau yang sering dikenal dengan sebutan padi. Pada stasiun 2, jenis ini memiliki persen penutupan yang cukup tinggi setelah jenis E. crassipes yaitu 33,8 %. Jenis O. sativa di temukan di pinggiran danau yang bersebelahan dengan sawah milik masyarakat setempat. Wiriadinata dan Seyowati (2008) mengatakan bahwa famili rumput-rumputan merupakan kelompok yang sangat banyak jumlahnya, tumbuh di tepian danau, sawah secara berkelompok dan sangat rapat sehingga dapat menutupi daerah yang luas, dan juga dapat menahan lumpur dalam volume yang besar sehingga cocok ditanam di mulut danau. Jenis Brachiaria mutica dari family Gramineae ditemukan hampir disemua stasiun penelitian kecuali stasiun 5. Jenis ini ditemukan pada kawasan yang bersubstrat halus sampai substrat agak kasar dengan kawasan perairan yang tenang sampai berarus. Akar B. mutica merupakan akar serabut dan dapat mengikat sedimen, sehingga menguatkan dan menstabilkan dasar permukaaan. Batang bagian bawah jenis B. Mutica tumbuh menjalar sehingga memperkokoh keberadaannya (Sainty dan Jacobs, 1988). Perbedaan jumlah jenis tumbuhan air yang ditemukan pada setiap stasiun berhubungan dengan kondisi substrat yang berbeda, dimana daerah perairan Toweran, Bintang, dan Klitu memiliki tipe substrat cenderung kasar seperti pasir sedangkan di daerah Boom tipe substratnya adalah lumpur. Tipe arus perairan juga berbeda pada setiap stasiun, dimana kawasan Boom, dan Toweran tidak/sedikit berarus, dan kawasan lainnya cenderung berarus sedang sampai kuat. Aktivitas penduduk juga sangat mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan tumbuhan air seperti di bidang pertanian yaitu keberadaan sawah dan kebun kopi serta masukan limbah rumah tangga yang membawa bahan organik dan menyuburkan perairan. Boyd (1968) mengatakan bahwa tumbuhan air sebagai produsen erat hubungannya dengan nutrient yang terkandung disekitarnya yang diperoleh dari hasil aktivitas masyarakat setempat. Tipe habitat Tumbuhan air yang ditemukan selama penelitian memiliki 4 tipe habitat yaitu tipe habitat tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) terdiri dari jenis Brachiaria mutica, Polygonum sp, Oryza sativa, Murdannia sp., Rhynchospora corymbosa, dan Colocasia esculenta, tipe habitat terendam sempurna (Free Submerged) hanya ditemukan satu jenis yaitu Hydrilla verticillata, tipe habitat terapung sempurna (Free floating) terdiri dari jenis Eichhornia crassipes, dan Pistia stratiotes, sedangkan jenis Ipomoea aquatic memiliki tipe habitat daun terapung dengan akar tenggelam (Rooted with floating leave). Odum dan Barrett (2005) mengelompokkan tumbuhan air menjadi terrestrial plants yaitu tumbuhan air yang seluruh organ tubuhnya belum tertutup oleh air, emerget plants yaitu tumbuhan air yang akarnya berada dalam air dan bagian lainnya berada di permukaan air, submerged plants yaitu tumbuhan air yang seluruh bagian tubuhnya berada dalam air, dan floating plants yaitu tumbuhan air yang bagian akar dan batangnya mengapung di perairan (Odum dan Barrett, 2005). Esteves (1998) disitasi oleh Pereira (2012) membagi tipe habitat (morphoecological group) tumbuhan air menjadi enam kategori yaitu emergent, rooted with floating leaves, submerged rooted, free submerged, dan free floating. Umumnya, empat tipe habitat digunakan untuk mengklasifikasi tumbuhan air macrophytes yaitu submerged, floating-leaved, emergent dan free-floating. Jenis-jenis tumbuhan air yang termasuk pada empat kategori diatas mampu hidup dengan baik pada beberapa tipe lingkungan perairan seperti danau, dan sungai (Sculthorpe, 1985). 128 Depik, 1(2): 125-130 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Pada kawasan penelitian lebih banyak ditemukan jenis tumbuhan air dengan tipe habitat Emergent yaitu sebanyak 6 (enam) jenis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pereira (2012), menunjukkan bahwa tumbuhan air macrophytes di danau Rio Grande (Brazil) dengan tipe habitat emergent lebih banyak ditemukan dan hampir mewakili daerah kajiannnya yaitu sebanyak 28 jenis dari 43 jenis yang ditemukan yang tersebar pada tipe habitat yang berbeda. Banyaknya jenis-jenis tumbuhan air dari tipe habitat ini disebabkan karena tanaman berakar dengan daun timbul (emergent) memiliki pola adaptasi yang baik pada derah perairan tergenang maupun lingkungan darat dan memiliki sebaran tipe substrat yang luas. Piedade, et al., (1991) menegaskan bahwa jenis-jenis tumbuhan air dengan tipe Emergent sering diamati karena peranannya yang penting dan sebagai produksi utama yang luar biasa di perairan. Odum dan Barrett (2005) menambahkan bahwa Tanaman yang menyembul ini membentuk rantai penting yang menghubungkan lingkungan darat dengan air dan memiliki distribusi hidup yang luas. Tipe habitat terapung sempurna (free floating) dan terendam sempurna (free sumerged) merupakan tipe habitat dari jenis-jenis tumbuhan air yang memiliki persen penutupan yang paling tinggi di lokasi pengamatan. Tipe habitat terapung sempurna (free floating) menggunakan semua bagian permukaan berfotosintesis horizontal dan dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air. Howard-Wiliams dan Al-lanson (1981) disitasi oleh Goldsborough dan Kemp (1988) menyataan bahwa produksi primer dari tumbuhan dengan tipe habitat terendam (submersed) merupakan sumber utama bahan organik yang penting untuk kehidupan di ekosistem perairan. Distribusi serta seluruh produksi dari tumbuhan tipe ini sangat berhubungan dengan keberadaan cahaya dan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan. Persen penutupan Persen penutupan tumbuhan air menggambarkan luas daerah yang tertutup oleh tumbuhan air. Berdasarkan kriteria penutupan vegetasi berdasarkan Brower et al. (1990), persen penutupan tumbuhan air di Danau Laut Tawar berkisar 2,4 % - 75 %, dengan kategori sangat jarang sampai sangat rapat. Tumbuhan air dari species Hydrilla verticillata (Hydrocharitaceae) di stasiun 1 dan Eichhornia crassipes (Pontederiaceae) di stasiun 3 memiliki persen penutupan yang paling tinggi dibandingkan jenis tumbuhan air lainnya yaitu 75% dan bisa dikatakan substrat yang tertutupi jenis-jenis ini mencapai 100%, sehingga termasuk dalam kriteria luas penutupan sangat rapat. Rapatnya penutupan tumbuhan air kedua jenis ini menyebabkan adanya kecenderungan bagi jenis tersebut mendominasi pada kawasan tersebut (stasiun 1 dan 3) dan dipengaruhi oleh tingginya kerapatan jenis tersebut. Jenis H. verticillata dan E. crassipes memiliki ketahanan yang tinggi untuk mengatasi lingkungan yang ekstrim dan menyukai kawasan yang tinggi akan unsur haranya. Kriteria penutupan sedang terdapat pada jenis O. sativa, P. stratiotes, dan B. mutica, kriteria penutupan jarang terdapat pada jenis R. corymbosa dan C. esculenta, sedangkan yang memiliki krteria penutupan sangat jarang ditemukan pada jenis Polygonum sp., Murdannia sp., dan Ipomea aquatic. Rendahnya persen penutupan pada beberapa jenis tumbuhan air berhubungan dengan kesesuaian substrat, kompetisi dalam memperoleh unsur hara, dan faktor lingkungan fisika-kimia perairan. Kesimpulan Jumlah jenis tumbuhan air yang ditemukan di kawasan Danau Laut Tawar adalah 10 jenis, dimana stasiun 2 (Bintang) memiliki jumlah jenis yang tertinggi yaitu 8 jenis. Persen penutupan yang tertinggi terdapat pada jenis Hydrilla verticillata family Hydrocharitaceae dan Eichhornia crassipes famili Pontederiaceae dengan persen penutupan mencapai 75% kategori sangat rapat dengan tipe habitat terendam sempurna (free submerged) dan terapung sempurna (free floting). Tipe habitat yang sering ditemukan di lokasi penelitian adalah tanaman berakar dengan daun tersembul (Emergent) dengan persen penutupan kategori jarang dan sedang. Ucapan Terimakasih Penelitian ini didanai oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Pertamanan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ridwan Iriadi atas bantuan dan dukungannya selama pengambilan data dan penghargaan kepada tim peneliti dan tenaga lapangan dari Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala. Penelitian ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan, informasi, dan saran dari mereka. Daftar Pustaka Boyd, C. E. 1968. Fresh water plants: a potential sources of protein. Econ. Bot., 22:359-368. Brower, J.E., J.H. Zar., C.N von Ende. 1990. Field and laboratory methods for general ecology, 3rd edition. Wn.C Publishing, Dubuque. Chambers, K. L. 1970. Biochemical coevolution. Twenty-ninth Biology Colloquium, Oregon state, University Press. Eugene. Cook, C.D.K., B.J. Gut., E.M. Rix., M. Seitz. 1974. Water plants of the world: A manual for the identification of the genera of freshwater macrophytes. Dr. W.Junk Publisher, The Hague. England. Goldsborough, W.J., W.M. Kemp. 1988. Light responses of a submersed macrophyte: implication for survival in turbid tidal water. Ecology, 69(6): 1775-1786. Kovaks, M. 1992. Biological indicators in environmental protection. Ellis Horwood Liimited, England. Odum, E.P., G. W. Barrett., 2005. Fundamentals of ecology. 5th Edition. Thomson Learning, United State. 598 p. Pereira, S. A., C. R. Trindade., E. F. Albertoni., C. P. Siva. 2012. Aquatic macrophytes of six subtropical shallow lakes, Rio Grande do Sul, Brazil. Check List, 8(2): 187-181. 129 Depik, 1(2): 125-130 Agustus 2012 ISSN 2089-7790 Piedade, M. T. F., Junk, W. J., Long, S.P. 1991. The productivity of the C4 grass Eichinocloa polystachya on the Amazon floodplain. Ecology, 72(4): 1456-1463. Sainty, G.R., S.W.L. Jacobs. 1988. Water plants in Australia. Royal Botanic Gardens, Sydney. Australian Water Resources Council. 144p. Sculthorpe, C. D. 1985. The biology of aquatic vascular plants. Königstein-West Germany: Koeltz Scientific Books. 597 p Wiriadinata, H., F.M. Setyowati. 2008. Tumbuhan riparian untuk Danau, Situ dan Rawa di Jabodetabek. Laporan Penelitian, 387-396 pp. 130