Wahyuni-Self Fulfilling Prophecy dalam Jurnalisme

advertisement
Self Fulfilling Prophecy Dalam Jurnalisme Bagi Elektabilitas Kandidat Politik
Abstrak
Wahyuni Choiriyati, M.Si
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Gunadarma
[email protected]
Media menjelan 2014 sebagai bagian dari aktor strategis Pemilu telah menjadi referensi
publik dalam menentukan kandidat politik pada setiap pemilihan pejabat publik. Fungsi ini
menjadi tolak ukur untuk melihat kinerja media massa dan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Ironisnya, praktik jurnalisme lebih banyak dikendalikan oleh pasar (market driven journalism).
Akibat mengikuti selera pasar, karya jurnalisme tidak lagi dikategorikan sebagai output media
yang berorientasi pada pelayanan publik, namun sebagai suatu produk yang memiliki nilai
ekonomi. Tulisan ini menghadirkan kritik bagi media nasional di tanah air terkait urgensitas
menghadirkan analisis secara kritis dalam setiap peliputan fakta politik. Faktanya media
cenderung tumpul ketika kepemilikan media yang notabene dipunyai politisi beradu dengan
prinsip netralitas dalam produk jurnalistik. Tulisan ini menganalisis pendekatan bandwagon
effect pada iklan politik stasiun televisi yang tercatat pada data KPI. Stasiun televisi secara
simultan mengubah kebijakan media pada saat pemilik medianya melakukan iklan politik pada
stasiun televisinya. Praktek media partisan tidak dapat dihindari ketika kepemilikan media
beradu dengan peliputan informasi politik, maraknya iklan politik dari pemilik media menjadi
fakta tumpulnya orientasi sosial media sebagai public service. Situasi tersebut menempatkan
produk jurnalisme sebagai arena self fulfilling prophecy (sebuah prediksi yang secara langsung
atau tidak dapat menjadi benar) yang meningkatkan elektabilitas kandidat politik tertentu.
Kata kunci: bandwagon effect, jurnalisme, kredibilitas media.
Pengantar
Tulisan ini secara umum mengulas bagaimana media dan pengaruhnya pada kajian
komunikasi politik di Indonesia. Perkembangan media di Indonesia pasca reformasi memiliki
relasi signifikan dengan peristiwa politik di tanah air. Hal ini dapat dirasakan secara langsung
ketika politisi, pemimpin partai politik bahkan seorang presiden mendapatkan liputan secara luas
terkait aktifitas komunikasi politiknya.
Ironisnya, riset mutakhir dalam pemikiran Wasburn (1995), cenderung menghasilkan
kesimpulan yan memposisikan media massa telah bergeser sebagai media yang menjadi forum
warga. Situasi tersebut terlihat pada semakin rendahnya liputan-liputan mendalam dan laporan
investigatif yang dihasilkan media. Wasburn lebih lanjut melacak aktifitas liputan media
terutama dalam konteks kampanye Pemilu memiliki kecenderungan terdekontekstualisasi.
Peliputan media yang terdekontekstualisasi tentu sangat tidak membantu
proses
demokratisasi dalam masyarakat kita. Merujuk pada Putra (2008) laporan media yang
terdekontekstualisasi terjadi ketika peristiwa-peristiwa yang dilaporkan tanpa konteks sosial. Hal
ini dilakukan karena proses dekontekstualisasi ini memiliki keuntungan bagi media, laporan yang
berkonteks akan memerlukan waktu lebih panjang dalam riset yang dengan sendirinya
menambah biaya peliputan.
Kecenderungan peliputan media di Indonesia yang lepas dari konteks social jelas
berseberangan dengan fungsi media massa atau pers dalam pemikian Norris (2000). Norris
menungkapkan fungsi media diposisikan sebagai civic forum, pers berperan sebagai pengawas
pemerintah atau lembaga-lembaga publik, dan pers sekaligus sebagai agen mobilisasi dukungan
warga terhadap suatu posisi politis. Fungsi tersebut dapat dipakai sebagai kriteria dalam
mengukur kinerja media bila dikaitkan dengan iklim demokrasi di
Indonesia menjelang
kontestasi 2014.
Media dan Mobilisasi Politik
Peliputan media dan aktifitas politik menjelang 2014 di Indonesia sulit dipisahkan, hal ini
ditandai dengan positioning beberapa stasiun televisi dalam menyambut tahun Pemilu 2014.
Tedapat dua stasiun televisi yang menempatkan diri sebagai agen penting pesta demokrasi di
tanah air. TV One dengan slogan “TV Pemilu”, sementara Metro TV sebagai stasiun TV berita
pertama di Indonesia yang mengawal Pemilu Indonesia sejak tahun 2004. Pada Pemilu tahun
2004 dan 2009 Metro TV memasan tagline „The Election Channel, Referensi Pemilu Indonesia‟,
namun untuk tahun ini Metro TV hadir dengan penamaan dan jargon baru, yakni „Metro TV
Saluran Indonesia Memilih‟.
Maraknya liputan politik melalui media diharapkan mendorong kekuatan demokrasi yang
mensyaratkan partisipasi warga secara bebas. Media massa atau pers akan dinilai berhasil apabila
mampu menstimulasi setiap warga negara belajar memahami dinamika politik. Output yang
diharapkan dari media sebagai agen mobilisasi politik adalah setiap warga negara dapat
menentukan pilihan politik dengan lebih cerdas. Media massa sejalan dengan fungsinya
diharapkan meningkatkan angka partisipasi politik dalam setiap proses politik. Liberalisasi
media di Indonesia terkait kekuatan, kepemilikan modal menjadikan public bertanya “Apakah
media massa Indonesia sudah menjalankan prinsip fairness, transparan, non partisan sebagai
media publik?”
Pertanyaan diatas barangkali terjawab dengan beberapa temuan oleh Laporan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai instrumen yang mengatur industri penyiaran di tanah air. KPI
menemukan ratusan iklan politik di berbagai stasiun televisi, seperti MNC Group, TV One, dan
Metro TV. Data KPI menunjukkan, ketika Hary Tanoesoedibjo masih di Partai Nasional
Demokrat (NasDem) sepanjang Oktober hingga November 2012, RCTI menayangkan 127 iklan
Partai NasDem. Perubahan afiliasi politik Hary Tanoesoedibjo ke Partai Hanura, langsung
merubah kebijakan redaksi di stasiun MNCGoup. Bahkan KPI menemukan, pada 2-15 April
2013, terdapat 11 pemberitaan mengenai Hanura yang ditayangkan di RCTI, MNC TV, dan
Global TV. Sedangkan di TV One, yang dimiliki keluarga Bakrie, ditemukan 10 pemberitaan
tentang Aburizal Bakrie sepanjang April 2013. Pada periode yang sama, muncul 143 kali
tayangan iklan politik Ketua Umum Partai Golkar yang mencalonkan diri menjadi Presiden RI
2014 tersebut. Data tesebut belum digabungkan dengan temuan di Metro TV. Peliputan secara
mendalam pemilik sekaligus politisi partai NasDem.
Pandangan pesimis atas temuan KPI diatas sejalan dengan pemikiran Tuchman (1978).
Bahwasanya besarnya pengaruh iklan dan pemberitaan media massa menurut sosiolog Gaye
Tuchman (1978), adalah karena media melakukan tindakan yang dapat mengkonstruksi realita.
Karena media melihat peristiwa dari kacamata tertentu, maka informasi realitas yang diterima
masyarakat adalah realitas yang telah dibentuk oleh media. Media bukanlah sebuah entitas yang
bebas, karena media sendiri menjadi pelaku konstruksi realitas yang melekat di dalamnya
keperpihakan pada kepentingan sang pemilik institusi media tersebut.
Fakta diatas diperkuat pernyataan Norris (2000), kenyataan terkikisnya dukungan
terhadap berbagai peran lembaga politik yang ada sekaligus rendahnya partisipasi warga dalam
Pemilu diduga akibat praktek pemberitaan dalam bidang politik. Pemberitaan lebih di dominasi
liputan politik personalisasi dibanding pada isu-isu politik yang relevan.
Pernyataan diatas diperkuat oleh pendapat Kovach (2001), bahwa Jurnalisme dan
demokrasi tumbuh bersama-sama, demokrasi tidak akan bertahan tanpa jurnalisme politik yang
baik. Aktifitas jurnalisme yang berbaur dengan hiburan, atau jurnalisme yang menjadi alat
propaganda politik justru akan meracuni demokrasi.
Pemikiran Kovach memperkuat fakta bahwa, liputan jurnalisme harus mampu
menyajikan informasi independen, yang pada gilirannya menjadi suatu referensi public dalam
menentukan keputusan politik. Oleh karena itu, independensi institusi media sangat penting
untuk terpisah dari otoritas politik, sosial atau bahkan relasi bisnis. Kenyataannya, hampir semua
institusi media di Indonesia memiliki relasi kuat dari semua aspek otoritas politik, sosial bahkan
bisnis dan cenderung bias personal. Akibatnya loyalitas jurnalis lebih berpihak pada pemilik
media dibandingkan pada publik. Dalam konteks kredibilitas media, media tidak hanya
memasang iklan politik secara rutin, namun harus mampu mengimbangi liputan jurnalisme
politik yang kritis terhadap pemasang iklan tersebut. Secara normatif, perlunya jurnalis yang
bekerja dalam liputan politik untuk selalu bertanya, dimana posisi junalis dan bagaimana
seharusnya bersikap dalam peliputan politik atas figur politisi atau kandidat politik. Dalam
situasi tersebut, jurnalis, media dan aktifitas peliputan politik menjadi segitiga aktor strategis
dalam menghadapi Pemilu.
Media sebagai Band Wagon Effect
Efek Komunitas atau sering diistilahkan sebagai Bandwagon effect yaitu suatu manfaat
yang dinikmati seseorang sebagai hasil dari orang lain yang melakukan hal yang sama dengan
yang kita kerjakan. Secara umum Bandwagon effect berkaitan dengan jaringan luar (network
externalities). Network externalities dapat memberikan manfaat apabila berasal dari pengguna
yang sedang atau mampu menggunakan jaringan untuk berkomunikasi dengan lebih dari satu
orang (Rohlfs, 2001). Aplikasi efek komunitas terbaca melalui liputan Pemilu tahun 2009, yang
mampu mendudukan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono sebagai
pemenang. Publik tentu masih mengingat ketika 5 lembaga survey yang merilis hasilnya
menyatakan 3 lembaga sepakat bahwa SBY adalah kandidat terkuat dalam pemilu 2009
(Lembaga Survey Indonesia= 70%, LSN=67.10%, LP3ES= 54.9%). Sementara itu tedapat 1
lembaga menunjukkan SBY-Boediono (33%) bersaing ketat dengan JK-Wiranto (29%) dan
Mega-Prabowo (20%). Sisanya 1 lembaga yaitu Lembaga Survey Rakyat, menomersatukan
Mega-Prabowo (89%). Validitas survey ini sulit kita yakini namun semuanya memiliki tujuan
yang sama yaitu membentuk persepsi pemilih tentang apa yang dipilih kebanyakan orang. Hasil
pemilu 2009 ternyata menunjukkan pasangan SBY-Boediono lah yang menang dengan perolehan
suara sebanyak 60%.
Berbeda halnya pada kasus pemilihan Gubenur DKI Jakarta 2012. Pada 1 Juli 2012,
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survey yang menunjukkan bahwa 43.7%
partisipan memilih pasangan calon gubernur dan wakil Gubernur Fauzi Bowo dan Nachrowi
Ramli (Foke-Nara). Cukup dengan tambahan 7% perolehan suara, pasangan nomor urut satu ini
dapat bertarung di putaran kedua. Sementara itu Laporan utama majalah Tempo edisi 17
September 2012 bertajuk “Survei Memastikan” menunjukkan bahwa pasangan calon Gubernur
DKI Jakarta Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli diperkirakan meraih suara 44,7 persen. Adapun
pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok meraih 45,6 persen suara. Dari
survei itu ada 9,7 persen responden yang belum memutuskan pilihannya. Dari hasil analisis data,
umumnya para responden yang belum memilih ini menolak diwawancarai atau tak berada di
rumah saat masa survei. Namun, mereka ini karakteristiknya lebih menyukai Jokowi.
Berdasar liputan media pada Pilkada DKI tersebut, terbukti bahwa pasangan Foke
meskipun memiliki tingkat popularitas lebih tinggi dari pasangan Jokowi sebagai kandidat
Gubernur petahana, tetap harus menerima kekalahan. Pemberitaan Pilkada DKI 2012 termasuk
dalam liputan yang paling banyak dinanti publik, mengingat kota Jakarta sebagai ibukota Negara
menjadi repesentasi wilayah perebutan kekuasaan masing-masing partai politik. Ditambah
heterogenitas penduduk DKI sekaligus dengan berbagai kompleksitas persoalan didalamnya jelas
memerlukan figur pemimpin yang mampu mengubah DKI menjadi lebih baik.
Kemenangan Jokowi dalam konteks peliputan media menunjukkan bahwa apa yang
dilakukan sebagian besar orang dapat berpengaruh pada perilaku individu. Jokowi dalam masa
kampanye mampu menjadi “media darling” nya warga DKI. Sejurus dengan kekuatan media yan
gencar memuat prestasi Jokowi sebagai nominator wali kota terbaik di dunia dinilai sebagai
pengakuan sekaligus legitimasi atas keberhasilan kepemimpinannya. Pengakuan tersebut
merupakan hal yang positif bagi Kota Solo dan Indonesia pada umumnya, ditengah banyaknya
pejabat daerah yang beperkara dengan KPK. Tenyata dunia internasional telah memberikan
perhatian terhadap Indonesia khususnya Kota Solo (Suara Pembaharuan, 25 Juni 2012).
Konstruksi media dalam liputan Jokowi yang menempatkannnya sebagai „media darling”
sejalan konsep yang sering digunakan dalam pendekatan efek komunitas atau bandwagon effect,
yang berpandangan bahwa individu cenderung mengikuti apa yang dipikirkan dan dilakukan
orang lain. Contoh sederhananya adalah orang berama-ramai menyambut, menonton, bahkan
berdesakan ketika Jokowi melakukan „blusukan‟, karena melihat atau mendengar banyak orang
menyaksikan aksi Jokowi tersebut, publik tergerak intensif untuk selalu mengikuti sepak terjang
Jokowi melalui media, terbukti halaman Facebook dan Twitter-nya diikuti ratusan ribu orang
hingga saat ini. Konsep bandwagon effect Tidak hanya bermanfaat bagi target, bandwagon effect
juga bermanfaat bagi pelaku karena dapat berakibat pada self fulfilling prophecy (prediksi yang
secara langsung atau tidak dapat menjadi suatu kebenaran). Dalam konteks kemenangan Jokowi,
asumsi self fulfilling prophecy menunjukkan bahwa media memiliki implikasi langsung pada
pembentukan norma deskriptif sekaligus mempengaruhi keputusan individu, dan akhirnya
menghasilkan bandwagon effect bagi elektabilitas seorang kandidat.
Simpulan
Umumnya media yang menjadi subyek perilaku manipulasi dari sebuah peristiwa politik
dipengaruhi tekanan kepentingan pemilik medianya. Kondisi iklim politik di tanah air menjelang
pesta demokrasi 2014, menjadikan ruang ekspresi media lebih pada tokoh publik, politisi bahkan
politikus yang sekaligus pemilik media bukan masyarakat biasa. Elit politik diposisikan sebagai
subyek aktif dalam liputan berita politik dan isu-isu yang selalu dikaitkan dengan konstituennya.
Khalayak dalam logika market driven journalism sebatas obyek yang menerima begitu saja
informasi media. Kenyataan menunjukkan sebagian besar iklan politik yang menjadi indikator
tulisan ini menjelang Pemilu 2014 mampu mengubah kebijakan media sesuai dengan
kepentingan pemiliknya. Antisipasi atas kondisi yang selalu berulang setiap menjelang Pemilu
harus disikapi dengan peningkatan profesionalisme yaitu penerapan kode etik jurnalistik bagi
media dan jurnalis di tanah air. Penguatan kontrol publik melalui mekanisme media watch dan
berbagai komunitas sejenis harus lebih ditingkatkan.
Referensi:
Kovach, Bill (2001). 9 Elements of Journalism. New York: The Rivers Press
Norris, Pippa, (2000). A Virtuous Circle: Political Communications In Post-Industrial Societies.
New York: Cambridge University Press
Putra, I Gusti Ngurah (2008). Demokrasi dan Kinerja Pers Indonesia dalam Media, Komunikasi
dan Politik. Fisipol UGM: Yogyakarta
Rohlfs, Jeffrey H, (2001). Striking Up The Band : A Review of Bandwagon Effects in High –
Technology Industries, Cambridge: MIT Press
Tuchman, Gaye. (1978) Making A News: A Study In The Construction of Reality, Michigan: Free
Press
Tempo, edisi 17 September 2012 “Survey Memastikan”
Suara Pembaharuan, 25 Juni 2012
Download