AiTI Indonesia Executive Gathering Pekonomian Indonesia dalam Masa Transisi A.Prasetyantoko Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Menjadikan PEMILU 2014 Sebagai kemenangan rakyat J. Kristiadi Peneliti Senior CSIS, Jakarta GRAND MERCURE JAKARTA 14 MARET 2014 Bincang2 bersama Bapak Djohar Koh Pakar Feng Shui MENJADIKAN PEMILU 2014 SEBAGAI KEMENANGAN RAKYAT. J. Kristiadi1 Secara normatif rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, namun ternyata tidak mudah rakyat Indonesia menjadi pemenang tulen pada pemilu 2014. Bahkan pesta demokrasi sebagai festival yang seharusnya merayakan kedaulatan rakyat, serta kontestasi memilih pemimpin yang ideal, dihantui oleh sikap skeptis dan apatisme publik terhadap faedah dan kemaslahatan Pemilu. Penyebabnya, antara lain adalah tingkat kepercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan negara semakin merosot. Rendahnya keterandalan lembaga-lembaga tersebut dipertegas dengan beberapa survai akhir -akhir ini. Indikatornya, potensi pemilih yang menyatakan belum tahu atau tidak memilih berkisar 30 sampai dengan 40%. Bahkan di beberapa kandidat kepala daerah, proporsinya kemenangannya lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak memilih (“golput”); misalnya Pilkada Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara. Namun yang tidak kalah memprihatinkan adalah apatisme dikalangan pemilih muda yang jumlahnya sekitar 30 juta. Proporsi mereka yang tidak peduli politik, dan Pemilu pada khususnya diperkirakan 1 sangat besar. Tanpa usaha yang serius Peneliti Senior CSIS, Jakarta 1 memberikan advokasi kepada mereka, dikuatirkan generasi muda akan kedap terhadap masa depan nasib bangsa dan negaranya. Partai politik sebagai sumber daya manusia yang menyediakan penguasa untuk mengelola kekuasaan negara, lebih mengesankan menampilkan diri sebagai sosok pemangsa kekayaan negara dari pada “insan” yang mempunyai empati tinggi terhadap derita rakyat. Getaran yang dirasakan oleh publik, orientasi politisi hanya fokus kepada pesona kekuasaan tanpa cita-cita luhur. Mereka mengabaikan prestasi yang seharusnya diukir melalui kerja keras yang memihak kepada kepentingan rakyat. Akibatnya, sebagaimana survai yang dilansir oleh harian Kompas, Senin, 22 Juli dan 21 Oktober 2013, Pemerintahan koalisi, menjelang usai masa kerjanya semakin lunglai daya empatinya terhadap kehidupan rakyat yang semakin sulit. Ketidakcakapan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan akan mengakibatkan modal sosial terkuras habis disedot oleh para pemangsa kekayaan negara. Dalam pertarungan kekuasaan yang nyaris tanpa cita-cita atau ideologi, medan politik bukan ranah kompetisi yang sehat, melainkan menjadi sekedar arena perburuan kekuasaan. Kemenangan dan kekalahan dalam kontestasi adalah pertarungan antara hidup dan mati. Menjadi pemenang adalah segalagalanya. Apalagi kalau mereka yang bertarung telah melakukan investasi yang sangat besar sehingga kekalahan akan membangkrutkannya. Pada hal peran ideologi sangat penting. Dalam konteks ini mungkin ada baiknya sedikit merenung dan memaknai ideologi. Secara umum ideologi adalah gagasan atau cita-cita besar yang menuntun penziarahan bangsa mencapai kemuliaan dan hidup bahagia. Tanpa bimbingan adicita sebagai sumber inspirasi dan sekaligus cahaya terang yang memandu mewujudkan cita-cita, dapat dipastikan bangsa yang bersangkutan mudah tersesat menuju ke arah yang tidak berketentuan. Oleh sebab itu peran ideologi sangat penting dalam berpolitik karena ranah kekuasaan sarat dengan adu siasat dan pertarungan kepentingan. Berpolitik tanpa ideologi akan mendorong pelaku politik (politisi) memasuki lorong gelap yang hanya dituntun oleh dua istingtual dasar yaitu naluri untuk memenuhi survivalitas dan memburu insting ego atau interes privat. Dua perangkat naluri yang secara 2 kodrati dimiliki oleh makhluk sub-manusia (antropoid). bermatabat, manusia yang Sebagai insan hanya mengikuti, mengumbar dan mengekploitasi intuisi primitif akan terjebak, menurut terminologi Albert O. Hirscman ( dalam The Passions and The Interests,1977), dalam tiga dosa yang menjatuhkan martabat manusia : nafsu mengejar uang dan harta benda (lust for money and possesion), hasrat berkuasa (lust for power) serta gelora libido ( sexual lust). Meskipun bangsa Indonesia mempunyai ideologi yang berisi nilai-nilai luhur, Pancasila, tetapi menembus ranah daya penetrasi keutamaan kekuasaan. Nada dasar tersebut belum mampu politik Indonesia adalah keperpukauan terhadap pesona dan nikmat kekuasaan. Resonansi laras tersebut menyusup keseluruh struktur kekuasaan sehingga ranah politik sangat gersang dan cengkar bagi tumbuhnya benih-benih nilai-nilai mulia. Lebih memprihatinkan lagi, partai politik sebagai institusi yang seharusnya menyediakan lahan subur persemaian ideologi serta wahana mengobarkan citacita, justru mengalami tingkat kemiskinan ideologi yang paling parah. Laju pemiskinan di partai politik berbanding tegak lurus dengan gelora nafsu memburu kekuasaan. Misalnya, Calon pemegang kekuasaan legislatif tidak diseleksi berdasarkan rekam jejak, transparan, demokratis serta prinsip-prinsip meritokratik, tetapi lebih didasarkan atas popularitas mereka. Lembaga yang mempuyai tugas sangat mulia karena akan menentukan nasib negara dan bangsa kedepan, diserahkan oleh mereka yang diragukan kemampuan, komitmen serta ketrampilan mengelola kekuasaan dengan bijak. Kritikan publik mulai dari yang tajam, konstruktif sampai cemoohan sarkastis terhadap parlemen yang merupakan kepanjangan tangan dari partai politik, dianggap angin lalu. Kajian FORMMAPI bulan Januari 2013 secara rinci mengevaluasi kinerja DPR. Intinya, menegaskan pelaksanaan tiga fungsi utama DPR : legislasi, anggaran dan pengawasan, mengalami kemorosotan bahkan cenderung merusak citra lembaga wakil rakyat. Oleh sebab itu kepercayaan publik terhadap institusi tersebut merosot sampai titik nadir. Sementara itu politik anggaran hanya melayani kepentingan DPR dan Pemerintah, bahkan di duga kuat terjadinya perilaku mereka mafia anggaran. Potret DPR semakin buruk karena semakin jauh dari hidup sederhana, motivasi mengabdi rakyat samar-samar, malas bersidang namun rajin studi banding meskipun 3 hasilnya tidak jelas. Kajian ini hanya salah satu dari sekian banyak studi yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat dengan kesimpulan yang senada. Meskipun tingkat kepercayaan pubik amat rendah terhadap parlemen, akibat dari kinerjanya yang amat buruk, tetapi partai politik masih mengajukan sebagian besar kader-kadernya (sekitar 90%), dengan prstasi minim prestasi tersebut, menjadi caleg untuk pemilu legislatif 2014. Kebebalan inilah yang mengakibatkan masyarakat skeptis kontestasi politik dalam Pemilu 2014 akan menjadikan rakyat sebagai pemenang sejati. Harapan tersebut nampaknya hanya fatamorgana politik yang akan segera lenyap oleh pancaran panasnya kontestasi politik menjelang Pemilu 2014. Pemilu tahun depan dikuatirkan akan menjadi mimpi buruk bagi publik, meskipun merupakan mimpi indah para caleg yang sudah melamun dan membayangkan nikmatnya mereguk kekuasaan. Proses pemiskinan ideologi akan mengakibatkan sebagian kader-kader partai menjadi buta batin dan mata hatinya, kering imajinasi serta semakin jauh dari rakyat yang di wakilinya. dipastikan Mereka mungkin berlimpah harta tetapi dapat berjiwa kerdil kalau larut dalam proses transaksi politik kepentingan yang sudah berurat berakar dalam setiap tingkatan proses pengambilan keputusan politik. Salah satu akibat tragis dari tingginya tingkat kemiskinan ideologi, dapat dipastikan kontestasi politik dalam Pemilu pencitraan. 2014 menjadi adu strategi Kefakiran cita-cita akan di kemas dan di kompensasi dengan berjualan tampang dan perilaku populis yang menyesatkan para pemilih yang terbatas kemampuan aksesnya untuk mengetahui kapasitas dan integritas mereka. Medan politik akan menjadi lautan citra yang akan menenggelamkan masyarakat dalam fantasi dan sensasi yang membunuh realitas politik. Perilaku mengagumi diri sendiri, tidak jarang disertai dengan himbauan bernada sakral serta mengumbar janji-janji populis yang dianggap mudah mengelabuhi publik. Mengumbar nilai-nilai luhur dan iktikad tanpa keteladanan dan jaminan pelaksanaan hanya akan menjadikan ranah publik menjadi lautan kemunafikan. Fenomena keserakahan yang telah memprihatinkan memadamkan pelita tersebut mencerminkan harapan masyarakat. nafsu Kehidupan bersama menjadi gelap karena terjadi gerhana total etika sosial. Moralitas 4 sebagai lentera kehidupan berbangsa dan bernegara dihalangai oleh awan gelap yang diproduksi oleh perilaku manusia yang menjadi budak nafsunya sendiri. Lembaga politik dan institusi hukum menjadi arena perbudakan nafsu yang mengakibatkan negara semakin ringkih karena tidak berdaya melawan naluri hasrat kesewenangan dari mereka yang tidak dapat dapat mengendalikan nafsunya. Modal sosial para kandidat wakil rakyat dan kandidat presiden mendorong merekauntuk mencoba meraih dukungan dengan mengumbar janji politik. Terlebih persaingan internal saling “mematikan”diantara sesama kader Parpol, akibat kerancuan sistem Pileg antara sistem proporsional dan suara terbanyak, diperkirakan akan menimbulkan gelombang pasang janji-janji muluk para politisi. Pemilu yang seharusnya dirayakan untuk menyongsong kemenangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, hanya akan menjadi festival tanpa makna. Janji sebagai etika social, dan bagian dari peradaban, karena berkaitan dengan niat, komitmen serta iktikad untuk melakukan sesuatu (mensejahterakan masyarakat), atau tidak melakukan sesuatu (korupsi) yang berguna untuk rakyat; hanya dijadikan sekedar siasat sesaat politisi untuk mengumpulkan suara. Proyeksi Politik Pasca Pemilu 2014. Isyu sentral pemilu 2014 bukan proyeksi konstelasi kekuatan partai politik karena dari berbagai survai dan kajian menunjukkan bahwa dua parpol akan dominan ( PDI-P dan Partai Golkar), disusul dengan empat partai lain, Partai Demokrat, Gerindra, berobah. Hanura dan Nasdem. Sekuel urutannya masih dapat Pusaran syu justru spekulasi tentang siapakan tokoh yang akan menjadi pilihan rakyat sebagai Presiden 2014-2019. Melalui serangkaian penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga suvai menunjukkan tingkat sentimen public dan elektabilitas Jokowi terbendung. Contoh, survai CSIS cenderung meningkat, seakan tidak April 2013, elektabilitasnya uggul jauh melampuai kandidat yang lain, 28,6%; dan survai November 2013, merayap menjadi 34,7%. Sementara itu, kalau PDI-P sudah mencalonkan Jokowi sebelum Pileg, sebagai kandidat Presiden, perolehan PDIP dapat mencapai 29%, jauh melampaui perolehan PDIP bila belum mencalonkannya, 5 17,6%. Hasil ini mengkonfirmasi survai harian Kompas sebelumnya. Kecenderungan memguatnya daya grafitasi politik Jokowi memungkinkan pasangan MegawatiJokowi ( bukan Jokowi-Megawati) dapat mengungguli pasangan lain dalam Pilpres 2014. Mengapa Jokowi dapat menjadi “darling” nya public. Banyak alasan yang dapat disebutkan, antara lain, ia tidak hanya mempunyai visi dan misi yang dipasang di didinding demi imaji pribadi, tetapi ia mempunyai obsesi dan empati yang muncul dari bisikan hati untuk membangun DKI serta memperhatikan budaya warga Betawi. hanya Ia juga berhasil meyakinkan publik bahwa ia bukan pandai mengumbar janji tetapi juga piawi dan berani melakukan eksekusi untuk mengukir prestasi. Ia tidak peduli citra, karena ia lebih mengutamakan kerja nyata yang kasat mata sehingga dapat dinikmati rakyat jelata. Ia juga berani memulai bertindak tegas tetapi tetap manusiawi terhadap warga yang selama ini mempunyai “tradisi” melanggar regulasi, dan dibiarkan oleh para petinggi di DKI, sehingga menimbulkan perilaku anarki. Akumulasi dari fator-faktor tersebut membuat Jokowi mempunyai daya gravitasi politik yang membuahkan simpati dan rekognisi publik sehingga meluap melampaui batas teritori DKI. Namun elektabilitas yang semakin tinggi serta akumulasi prestasi belum menjamin Jokowi menjadi Presiden RI karena politik mempunyai hukumnya sendiri. Ganjalan pertama adalah lingkaran dalam PDI-P yang merasakan betapa getirnya menjadi kader partai oposisi selama hampir sepuluh tahun, ibaratnya, berdarah-darah. Oleh sebab itu mereka sangat ingin mendapatkan ”imbalan politik”, kalau PDI-P memenangkan Pileg dan Pilpres 2014. Harapan tersebut hampir mustahil kalau Jokowi sebagai kandidat presiden menang dalam Pilres. Kecemasan tersebut muncul karena PDI-P Jokowi setelah menjadi Gubernur DKI tidak membabi buta merekrut pejabat public maupun memilih kontraktor. Dia teguh dengan dengan prinsip transparan dan meritokratik, bukan kekerabatan politik. Oleh karena itu elemen-elemen PDI-P tersebut akan mencoba menjegal agar kandidat Pilpres PDI-P jangan Jokowi, tetapi tokoh lain (maksudnya adaah Megawati) yang dianggap lebih memahami hasrat mereka. 6 Kedua, lawan politik Jokowi dapat memprovokasi lingkaran dalam PDI-P, agar membujuk Megawati maju sebagai Kandidat Pilpres 2014. Kalkulasi politik lawan politiknya adalah lebih mudah mengalahkan Megawati dari pada Jokowi. Provokasi dipekirakan akan semakin kencang kalau PDI-P dalam Pemilu Legislatif memperoleh proporsi perolehan jumlah suara mendekati 40%. Jumlah dukungan itu akan memberikan amunisi bagi lawan politik untuk lebih meyakinkan Megawati supaya maju dalam Pilpres 2014. Ketiga, bagi Megawati sendiri tentu mempunyai bebagai pertimbangan subyektif namun manusiawi untuk dijadikan dasar mengambil keputusan. Mulai dari pertimbangan apakah keluarga besarnya rela kalau PDI-P mencalonkan Presiden bukan dari darah Sukarno. Selain itu, andaikata harus mencalonkan Jokowi, keluarga Sukarno akan mendapatkan keuntungan politik apa? Namun pertanyaan yang tidak kalah mengusiknya adalah dimana posisi dia yang semakin senior. Bagaimanapun juga ia memerlukan panggung politik dan pengakuan publik. Oleh sebab itu ia tidak rela kalau pencalonan Jokowi sebagai Capres hanya karena popularitas dan elektabilitas Jokowi. Ia selalu mengatakan bahwa kedua hal itu hanya merupakan akibat dari “gemblengan” Megawati dalam membentuk kader-kader PDI-P. Hasilnya, antara lain, Jokowi, Ganjar Pranowo (Gubenur Jateng), Risma ( Walikota Surabaya), dan lain sebagainya. Last but not least, sementara kalangan meragukan validitas elektabilitas Jokowi karena maksim “Jokowi Effect” dianggap tidak ampuh mendongkrak perolehan suara kandidat Kepala Daerah PDI-P di beberapa wilayah, misalnya di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan lain sebagainya. Namun hal itu tidak dapat dijadikan ukuran, sebab preferensi publik adalah Jokowi untuk Presiden 2014, bukan sebagai Kepala Daerah setempat. Penutup. Pemilu sudah melembaga dan telah menjadi bagian kehidupan masyarakat yang lumrah. Namun sayangnya lima belas tahun terakhir, proses politik yang melembaga tersebut tidak disertai dengan proses penguatan lembaga-lembaga politik, negara dan pemerintahan. Kontasitasi terhadap politik makro menjelang Pemilu 2014 memberikan arah dan iklim bahwa kontestasi 7 politik dapat mengarah kepada menguatnya oligarki politik. Dalam tataran regulasi, penyebab lain yang menjadikan kompetisi politik dalam Pemilu 2014 tidak menjajikan adalah absennya aturan main tentang dana parpol dan kampanye yang adil dalam kompetisi politik. Sehingga politik uang menjadi faktor dominan dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan. Dominasi uang dapat dicegah dengan mengontrol dana parpol dengan aturan yang transparan, akuntantabel serta disertai sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Transparansi dan akuntabilitas dana parpol disertai sanksi yang tegas akan membawa beberapa efek positif. Pertama, politik uang dapat ditekan serendah mungkin, karena uang bukan faktor dominan dalam kompetisi politik. Kedua, mendorong parpol melakukan kaderisasi dengan sungguh-sungguh karena modal berpolitik adalah kualitas kader bukan uang. Ketiga, secara bertahap kualitas lembaga perwakilan serta pejabat publik akan semakin baik sehingga penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih efektif. Oleh sebab itu kontrol dana parpol, wajib hukumnya. Sebaliknya, bila dana partai dan dana kampanye tidak dapat dikontrol, kontestasi pemilu dikuatirkan akan didekte oleh mafiosio-mafioso yang sumber dananya berasal dari kekayaan negara, serta, kemungkinan besar, dari hasil pencucian uang haram baik dari perdagangan narkoba atau perjudian. Harapan publik kepada pemegang otoritas politik, sisa waktu sebagai pemegang kekuasaan seyogyanya dimanfaatkan secara maksimal menggenjot prestasi, bukan berburu gengsi dan menebar sensasi. Agenda tersebut antara lain adalah niat politik mencari terobosan dan konsensus politik yang dapat di jadikan jejak awal dan tanda-tanda yang dapat memberikan harapan publik. Pemerintah Koalisi dengan modal dukungan lebih dari 60% suara, antara lain harus mendorong beberapa regulasi yang sedang dalam proses pembahasan di DPR, kalapun tidak dapat diselesaikan pada akhir masa jabatannya, membangun kesepakatan politik agar regulasi-regulasi tersebut benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat. Upaya ini sekaligus kesempatan para kandikat anggota DPR, yang sebagian besar adalah petahana dan mendapatkan rapor merah dari publik, dengan spirit pertobatan, memperbaiki citranya bukan melalui penampilan, melainkan dengan komitmen mereka kepada kepentingan publik. Khususnya kepada Presiden, agenda tersebut dapat 8 dijadikan karya besar (magnum opus) dan diwariskan pemerintahan yang akan datang dan masyarakat pada umumnya. mengendalikan nafsu dan bekerja keras untuk rakyat. Sementara itu di tataran masyarakat, civil society, sudah mendesak dilakukan konsolidasi untuk membangun “kekuatan tanding” yang efektif. Kekuatan itu diperlukan guna mengimbangi kekuatan lembaga-lembaga politik dan negara yang sangat korup sehingga elit penguasa lumpuh, tidak mempunyai greget melakukan pembenahan tatanan kekuasaan yang carutmarut. Tanpa kekuatan tanding, gagasan cemerlang yang bertaburan dalam masyarakat yang dapat menghadirkan roh demokrasi menjadi mubazir. Kekuatan tanding inilah yang dapat memaksa elit politik yang “sesat niat” menjadi “sadar niat” agar dalam mengelola kekuasaan benar-benar berorientasi kepada kepentingan rakyat. Jakarta, Februari 2014. 9