4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surimi Surimi merupakan konsentrat protein miofibril terstabilkan yang diperoleh dari daging ikan lumat setelah mengalami proses pencucian dengan air dingin dan atau dicampurkan dengan bahan cryoprotectant. Surimi belumlah menjadi produk jadi, namun dapat diolah lagi menjadi variasi produk pangan, yakni dari kamaboko tradisional hingga menjadi produk seafood substitusi (Park JW 2005). Teknologi surimi dan daging lumat memungkinkan untuk diterapkan dalam pemanfaatan ikan bernilai ekonomis rendah. Saat ini surimi secara komersial telah diproduksi secara mekanis. Pabrik surimi dapat ditemukan di beberapa lokasi di Indonesia (Irianto dan Soesilo 2007). Rangkaian proses ikan menjadi surimi terdiri dari tahap preparasi, pemisahan daging (filleting), pelumatan, pencucian, penyaringan dan pemerasan. Setelah tahap pemerasan dihasilkan surimi mentah (raw surimi), yang dikenal sebagai na-na surimi. Adapun surimi beku (atau frozen surimi) adalah surimi yang telah dicampur dengan bahan anti-denaturasi (cryoprortectant) dan selanjutnya dibekukan. Berdasarkan kandungan garamnya surimi beku dibedakan menjadi dua jenis yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi dengan garam) (Suzuki 1981). Beberapa proses pengolahan produk berbasis surimi beserta contohnya antara lain proses pengukusan/pemasakan (kamaboko, hanpen, dan naruto), proses penggorengan (tempura dan satsumage), proses pemanggangan (chikuwa) dan proses olahan lain (sosis ikan dan ham ikan). Pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan penting untuk menghilangkan lemak, darah, enzim, protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel, meningkatkan kemampuan pembentukan gel, dan menghambat denaturasi protein akibat pembekuan (Suzuki 1981). Banyaknya proses pencucian dalam produksi surimi dengan kualitas yang baik ditentukan oleh jenis, komposisi, dan kesegaran bahan baku ikan. Proses pencucian juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan konsentrasi protein miofibril sehingga kualitas surimi tergolong tinggi (Lanier dan Lee 1992). 5 Fokus utama dalam pembuatan surimi adalah mempertahankan sifat fungsional protein dan meningkatkan kemampuan pembentukan gel. Cryoprotectant dapat mencegah terjadinya denaturasi protein (terutama menjaga stabilitas aktomiosin) selama penyimpanan beku. Fungsi kerja Cryoprotectant dengan meningkatkan tekanan permukaan air begitu juga jumlah air yang terikat (Matsumoto 1980). Pipatsattayanuwong et al. (1995) menyebutkan bahwa semua surimi komersial tersimpan dalam bentuk beku. Cryoprotectant digunakan untuk meminimalkan denaturasi protein selama penyimpanan beku. Cryoprotectant yang umum digunakan umumnya sukrosa (4%) dan sorbitol (4-5%), dengan atau tanpa penambahan sodium fosfat sebanyak (0,3%). Industri surimi terus memodernisasi proses dan produktivitasnya. Hal ini terus berkembang seiring dengan terus meningkatnya permintaan surimi oleh pasar dunia (Sonu 1986). Keunggulan teknologi surimi (Okada 1992) meliputi: (a) mampu memanfaatkan berbagai jenis ikan baik jenis ikan ekonomis maupun ikan non-ekonomis; (b) surimi beku mampu tersimpan dalam jangka waktu lama dengan kandungan protein fungsional yang masih cukup tinggi; (c) banyak variasi surimi based product dihasilkan dengan berbagai bentuk dan rasa dari aplikasi teknologi pengolahan dan penambahan bumbu-bumbu; dan (d) teknologi saat ini mampu memproduksi surimi dalam jumlah besar dengan konsistensi kualitas terjaga. 2.2 Karakteristik Surimi Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gel yang baik, kandungan air, dan warnanya yang cenderung putih. Mutu ini sangat tergantung dari berbagai faktor seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode dan kualitas air, pengawasan suhu pembekuan dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi (Suzuki 1981). Kualitas surimi ditentukan pula dengan adanya proses pencucian yang menghilangkan lemak dan bahan asing yang tak diharapkan. Lebih dari itu kualitas surimi yang baik ditunjukkan selama penyimpanan (beku) mampu menjaga konsentrasi miofibril dan pembentukan gel (Lee 1986). Secara garis besar kualitas tersebut dipengaruhi oleh faktor internal (biologi) dan eksternal (proses). Faktor internal yang mempengaruhi kualitas 6 surimi yakni jenis ikan, musim dan kematangan gonad ikan, serta tingkat kesegaran mutu ikan. Adapun faktor eksternal yang dimaksud antara lain adalah proses pemanenan, penanganan ikan, mutu air, lama proses dan suhu pengolahan, frekuensi dan besar perbandingan air pencucian, nilai pH dan salinitas (Park dan Morrissey 2000). Japanese Association of Refrigeration menganjurkan kondisi suhu penyimpanan surimi beku yang baik yakni berkisar antara -23°C hingga -25°C (Matsumoto dan Noguchi 1992). Derajat kelarutan protein daging ikan bisa dipengaruhi oleh penyimpanan beku, dimana penurunan derajat kelarutan protein menjadi indikasi telah terjadinya denaturasi yang menyebabkan daging ikan menjadi lebih keras, kering, dan berongga (Winarno 1997). Tabel 1 Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Produk Surimi Beku (SNI 01-2694.1-2006) Jenis Uji a) Organoleptik b) Cemaran Mikroba - ALT - Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholerae - Vibrio parahaemolyticus (kanagawa positif) c) Cemaran Kimia - Raksa (Hg)* - Timbal (Pb)* - Histamin* - Cadmium (Cd)* d) Kadar Air e) Fisika -Suhu pusat f) Filth Satuan Persyaratan Angka (1 – 10) minimal 7 koloni/gram APM/gram APM/gram APM/gram APM/gram maksimal 5,0 x 105 maksimal < 2 negatif negatif maksimal < 3 mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg % maksimal 1 maksimal 0,4 maksimal 100 maksimal 0,1 80 – 82 ºC maksimal -18 Potong - CATATAN* Bila diperlukan Keterangan: ALT = Angka Lempeng Total, APM = Angka Paling Memungkinkan Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006) Surimi yang bermutu tinggi harus berasal dari bahan baku yang segar, dimana protein yang terkandung dalam ikan tidak mengalami denaturasi. Surimi memiliki beberapa sifat fungsional penting seperti kemampuan pembentukan gel (gel forming) dan kapasitas mempertahankan air (water holding capacity). Sol surimi diperlakukan pada suhu awal 40°C selama 30 menit kemudian dipanaskan 7 pada suhu 90°C selama 20 menit. Gel yang terbentuk bisa disimpan dalam air es selama 24 jam pada suhu 4°C sebelum dianalisis (Zhou et al. 2006). 2.3 Deskripsi Ikan Nila Ikan nila memiliki bentuk tubuh bilateral simetris, artinya akan terbagi menjadi dua bagian yang sama antara sisi tubuh kanan dan kiri jika ikan dibelah bagian tengahnya. Bentuk tubuhnya pipih dan perut membesar. Mulut ikan nila posisinya terminal dan dapat disembulkan, tidak memiliki sungut serta memiliki linea lateralis lengkap terputus. Sirip punggungnya mempunyai lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lunak, sedangkan sirip ekor mempunyai dua jari-jari keras dan enam jari-jari lunak. Sirip punggung berwarna hitam dan sirip dada menghitam, pada sirip ekor terdapat enam buah jari-jari tegak (Suyanto 1994). Trewavas (1982) menyebutkan klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub-filum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Sub-kelas : Acantophterigii Ordo : Percomorphi Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus Linea lateralis Sirip dorsal Sirip ekor Mulut Sirip ventral Sirip anal Sirip pektoral Gambar 1 Ikan nila (Oreochromis niloticus) (Anonim 2007) Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila, antara lain toleran terhadap lingkungan (hidup di air tawar dan payau pada kisaran pH 5-11), pertumbuhannya cepat, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat dipijahkan kembali 8 setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap kekurangan oksigen dalam air (Suyanto 1994). Tabel 2 Kandungan kimia ikan nila (Oreochromis niloticus) Jumlah (%, b/b) Analisis A B Kadar Protein 13,40 15,80 Kadar Air 83,99 81,40 Kadar Abu 0,78 1,20 Kadar Lemak 1,03 0,60 C 15,05 81,19 0,51 3,07 Sumber: (A) Samsudin (2003), (B) Suyanto (2002), (C) Imanawati (2000) Nilai rendemen daging ikan nila (skinless) 21,49 ± 5,64% dan nilai rendemen surimi ikan nila dengan frekuensi pencucian 1 kali 15,54% (Afriwanty 2008). Struktur daging ikan nila mempunyai komponen pigmen yang tinggi dan kandungan lemak non-struktural yang dapat menyebabkan bau amis dan berlumpur dengan intensitas yang tinggi. Kehadiran komponen-komponen tersebut bisa mempengaruhi rasa dan warna produk daging ikan nila selama penyimpanan dan juga bisa mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen. Proses pereduksian protein sarkoplasma, lemak, sisa darah, dan materi-materi lain dari daging yang larut dalam air melalui proses pencucian telah dan masih terus diteliti (Park,Lin dan Yongsawatdigul 1997). 2.4 Protein Daging Ikan Kandungan protein daging ikan berkisar 15-25%. Protein tersebut terbagi menjadi 3 macam, yakni sarkoplasma, miofibril, dan stroma. Komposisi protein sarkoplasma meliputi 30% dari total protein, protein miofibril 65-75%, dan protein stroma 3-5% (Okada 1990). Ketiga macam protein tersebut memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda satu sama lain. 2.4.1 Sarkoplasma Protein sarkoplasma larut terhadap air dan secara normal ditemukan di plasma sel dan berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel-sel otot dan pembawa oksigen (Hall dan Ahmad 1992). Protein sarkoplasma dapat menghambat dalam pembentukan gel, seperti beberapa protease yang merusak miofibril. Protein sarkoplasma akan mengganggu 9 cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel, karena protein ini mempunyai kapasitas pengikatan air yang rendah (Otterburn 1989). Protein sarkoplasma pada ikan jauh lebih stabil dibandingkan protein miofibrilnya (Eskin et al. 1971). Protein sarkoplasma memiliki komposisi sebanyak 30% dari total protein. Protein sarkoplasma meliputi sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolisme energi dan glikolisis. Sebagian besar protein sarkoplasma memiliki bobot molekul relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karakteristik fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut sarkoplasma yang tinggi dalam air (Nakai dan Modler 2000). 2.4.2 Miofibril Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan yang bersifat larut dalam larutan garam. Protein miofibril berperan penting dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan (Rahayu et al. 1992). Penyusun utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20% dari total miofibril) dan miosin (sebesar 50-60% dari total protein miofibril) (Suzuki 1981). Miosin bersifat kurang stabil dibandingkan dengan aktin (Eskin et al. 1971). Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan elastisitas gel protein (Zayas 1997). Struktur kimia miosin terdiri dari enam sub-unit polipeptida, dua rantai besar dan empat rantai ringan membentuk suatu molekul asimetris dengan dua kepala berbentuk globular terkait tangkai α-heliks panjang yang dapat mengikat aktin dan berisi enzim ATP-ase aktif. Bagian heliks miosin memiliki dua engsel yang memudahkan untuk berikatan dengan aktin. Bagian kepala terdapat 27 dari 40 golongan sulfhidril yang kaya residu asam amino hidrofilik, sedangkan bagian tangkai berisi kelompok rantai yang sisinya bermuatan seperti residu arginil, glutamil dan lisinil. Struktur kimia aktin berupa monomer-monomer (G-aktin) atau dalam bentuk ikatan (F-aktin), yang dalam bentuk jaringan otot berbentuk filamen heliks ganda dan terdiri dari monomer globular (Suzuki 1981). Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat gel aktomiosin pada ikan adalah konsentrasi protein, pH, kekuatan ion, waktu dan suhu pemanasan. Penurunan pH 10 dan peningkatan konsentrasi protein meningkatkan kekuatan gel aktomiosin (Zayas 1997). Protein miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran nilai pH<6,5 dan bisa berdampak pada kemampuan pembentukan gel (MacDonald et al. 2000). 2.4.3 Stroma Protein stroma merupakan bagian protein yang paling sedikit, membentuk jaringan ikat dan bersifat tidak larut air, larutan asam, alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot (Suzuki 1981). Protein stroma terdiri dari protein ekstraseluler, yaitu kolagen, retikulin, dan elastin serta komponen pendukung lainnya (Nakai dan Modler 2000). Bila jaringan penghubung yang mengandung sebagian besar kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama, kolagen berubah menjadi gelatin. Pada saat yang sama, sebagian besar jaringan penghubung akan hilang dan daging ikan terpisah dengan miomer. Ikan yang berdaging gelap memiliki stroma lebih banyak dibandingkan ikan berdaging putih (Hashimoto et al. 1979 dalam Suzuki 1981). 2.5 Denaturasi Protein Perubahan pada suatu protein yang ditimbulkan oleh panas dikenal sebagai denaturasi. Pemanasan pada albumin telur yang selalu terjadi menjadikannya terkoagulasi menjadi padatan putih secara permanen. Pengaruh panas tersebut terjadi pada semua protein globular, tanpa memandang ukuran atau fungsi biologinya, walaupun suhu tepat bagi fenomena tersebut mungkin bisa bervariasi. Namun denaturasi protein dapat terjadi bukan hanya oleh panas, tetapi juga oleh pH ekstrim, beberapa pelarut organik (alkohol atau aseton), zat terlarut tertentu (urea), detergen, atau hanya dengan pengguncangan intensif larutan protein dan bersinggungan dengan udara sehingga berbentuk busa (Lehninger 1982). Rantai polipeptida (dengan struktur lebih tinggi dan lebih besar dari struktur primer) berikatan kovalen pada protein asli dan melipat dalam tiga dimensi dengan suatu pola khas untuk masing-masing jenis protein. Pola spesifik pada tiap rantai yang terbentuk memberikan aktivitas biologi yang khas. Apabila 11 suatu protein terdenaturasi, susunan tiga dimensi khas dari rantai polipeptida terganggu dan molekul tersebut terbuka menjadi acak (Gambar 2), namun tanpa ada kerusakan pada struktur kerangka kovalen (struktur primer) (Lehninger 1982). Gambar 2. Perlakuan panas dan penyebab lain dapat menyebabkan denaturasi dan membukanya protein globular asli tanpa memecah kerangka kovalen (Lehninger 1982). Terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan suhu rendah disebabkan adanya peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi organik terlarut pada akhir fase sebelum terjadi pembekuan di dalam sel. Dengan demikian konsentrasi garam mineral menjadi sangat tinggi apabila cairan dalam sel membeku, sehingga menyebabkan terjadinya pemisahan dan denaturasi protein. Akibat dari semua ini, maka akan terjadi perubahan pH dan kekuatan ionik (Suzuki 1981). 2.6 Cryoprotectant Cryoprotectant digunakan untuk menghambat terjadinya denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku. Cryoprotectant mampu menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen. Cryoprotectant meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari protein, dan menstabilkan protein (Zhou et al. 2006). Gambar 3 memperlihatkan efek penggunaan cryoprotectant terhadap protein. Kebanyakan mono-, di-sakarida dan beberapa poliol bermolekul rendah, sama seperti halnya asam amino dan asam karboksilat memiliki sifat cryoprotective. Selain itu, bahan-bahan berberat molekul tinggi seperti polidekstrosa dan maltodekstrin juga dapat berfungsi sebagai agen cryoprotective 12 (Arakawa et al.. 1990 dalam Auh et al.. 1999). Seperti apapun bentuk molekulnya, semua cryoprotectant harus larut air, dapat menurunkan titik beku dalam larutan laru dan sifatnya nontoksik terhadap sel, sehingga dapat bertindak sebagai pelindung (McHugh 2003). Gambar 3 Skema denaturasi α-heliks heliks protein selama penyimpanan beku dan pencegahannya oleh cryoprotectant (Matsumoto 1980 dalam Matsumoto dan Noguchi 1992) Cryoprotectant yang telah digunakan secara komersial pada industri surimi adalah campuran sorbitol dan sukrosa dengan perbandingan 1:1. Walaupun bahan tesebut memiliki efek cryoprotective yang baik pada protein miofibril ikan, cryoprotectant komersial ini mengakibatkan timbulnya rasa manis yang berlebihan dan nilai kalori yang tinggi pada surimi, serta mengakibatkan terjadinya reaksi Maillard (Zhou et al. 2006). Sorbitol dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan rusakan hati (Fröster 1976 dalam Koivistoinen oivistoinen dan Hyvönen 1980). Sorbitol sebagai cryoprotectant berikatan dengan air melalui ikatan hidrogen sehingga mencegah denaturasi protein dengan mengurangi pengikatan air dengan protein selama penyimpanan (MacDonald et al. 2000). Sorbitol memiliki tingkat ingkat kemanisan 0,5 0,5-0,7 0,7 kali kemanisan sukrosa dengan nilai kalori 2,6 kkal/g atau setara dengan 10,87 kJ/g. Struktur kimia sorbitol disajikan pada Gambar 4. 13 Gambar 4 Struktur kimia sorbitol (Anonim 2008) Kemampuan pembentukan gel surimi beku lebih ditentukan oleh penambahan cryoprotectant cryoprotectant. Diantara semua cryoprotectant yang digunakan, trehalose memperlihatkan efek yang bersifat melindungi lebih besar terhadap denaturasi protein yang ditunjukkan oleh efekti efektivitas vitas dalam aktivitas memelihara Ca2+-ATPase ATPase dan daya larut protein (Zhou et al. 2006). 2.7 Karagenan Karagenan adalah polisakarida linear turunan dari bermacam bermacam-macam spesies rumput laut merah. Karagenan merupakan koloid hidrofilik yang penting dan terdapat sebagai material matriks pada beberapa spesies rumput laut merah, mempunyai kemiripan fungsi struktu strukturr seperti selulosa pada tanaman, dan secara kimia merupakan galaktan bersulfat tinggi. Tabel 3 Standar mutu karagenan semimurni (EC, FAO, dan FCC dalam Bixler dan Johndro 2000) European Codex Food Chemistry Parameter Commision Alimentarius Codex Alkohol residual pH Viskositas Sulfat (SO4) Total abu Abu tidak larut asam Bahan tidak larut asam Total 0,1% ≥ 5 cPs 15 - 40% 1 - 40% ≤ 1% Total 0,1% 8-11 ≥ 5 cPs 15 - 40% 15 - 40% ≤ 1% ≥ 5 cPs 18 - 40% ≥ 35% ≤ 1% 8 - 15% 8 - 15% 8 - 15% Dari semua jenis karagenan, kappa karagenan memberikan gel yang paling kuat. Proses pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan antar rantai polimer sehingga membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung pelarut pada celah-celahnya (Glicksman 1983). Kestabilan karagenan sebagai senyawa 14 biasanya akan mengalami depolimerisasi secara perlahan dalam penyimpanan. Tetapi karagenan (kappa dan iota) biasanya memiliki daya kekuatan gel serta kekuatan reaksi terhadap protein dan tidak terpengaruh oleh proses depolimerisasi (Winarno 1990). Tabel 4 Kelarutan karagenan dalam berbagai medium (Moraino 1977 dalam Winarno 1990) Medium Kappa Iota Lambda Larut pada suhu di atas 60°C Larut garam Na, K, Ca, Tidak larut Larut pada suhu di atas 60°C Larut garam Na, Ca, Tidak larut Susu panas Larut Larut Larut Susu dingin Garam Na, Ca, K, tidak larut tetapi akan mengembang Tidak larut Larut Larutan sukrosa Larut dalam keadaan panas Sulit larut Larutan garam Tidak larut Larut dalam keadaan panas Larut dalam keadaan panas Larut dalam keadaan panas Larutan organik Tidak larut Tidak larut Tidak larut Air panas Air dingin Pada umumnya, karagenan dapat melakukan Larut Larut interaksi dengan makromolekul yang bermuatan, misalnya protein sehingga mampu menghasilkan berbagai jenis pengaruh seperti peningkatan viskositas, pembentukan gel, pengendapan dan penyaringan stabilisasi. Hasil interaksi antara karagenan dan protein sangat tergantung pada pH larutan serta pH isoelektrik dari protein (Winarno 1990). Salah satu karakteristik karagenan yang penting dalam berinteraksi dengan protein adalah interaksi yang terjadi melalui dua cara, yakni (1) interaksi antara muatan positif gugus amino dalam protein dengan muatan negatif dari gugus sulfat dalam karagenan, atau (2) interaksi antara gugus ester sulfat dalam karagenan dengan gugus karboksil dalam protein (Glicksman 1983). Interaksi yang terjadi antara protein dengan karagenan disajikan pada Gambar 5. Mekanisme-mekanisme tersebut menghasilkan sistem protein yang lebih stabil dengan meningkatnya kekuatan dan fungsi yang lebih baik (Llanto et al. 1990). Interaksi karagenan dan protein dapat terjadi dengan adanya kation polivalen seperti kalsium (Ca2+) yang menjadi jembatan penghubung dengan menghilangkan gugus dari grup karboksil (Towle 1973). 15 Gambar 5 Interaksi antara protein dengan karagenan (Marine Colloids 1992 dalam Nussinovitch 1997) Pada daging, penambahan karagenan digunakan untuk mendorong peningkatan produk karena karagenan mengikat air bebas dan berinteraksi dengan protein sehingga protein yang dapat larut tetap tertahan. Karagenan mengikat air pada otot daging sehingga meningkatkan tekstur dan kelembutan (McHugh 2003). Penambahan karagenan berlebihan tidak mampu mengikat protein daging (Ledward 1979). Karagenan semimurni juga digunakan untuk meningkatkan kekuatan gel pada daging sehingga teksturnya lebih baik. Pada industri coklat, karagenan semimurni digunakan untuk memberikan viskositas yang baik pada susu, suspensi yang baik pada coklat, dan memberi ”rasa pada mulut” (mouthfeel). Pada industri es krim, karagenan semimurni berfungsi mengontrol viskositas dan mencegah pembentukan kristal es (Bixler dan Johndro 2000). Peningkatan terhadap kemampuan daya ikat air pada produk rendah-lemak frankfurter telah diketahui dengan adanya penambahan karagenan (Foegeding dan Ramsey 1986). Penelitian lain telah menyebutkan bahwa penambahan KCl mungkin meningkatkan efektivitas karagenan pada produk-produk rendah-lemak (Barbut dan Mittal 1989). 2.8 Polifosfat Secara industri, STPP diproses dengan pemanasan stoikiometri campuran disodium fosfat dan monosodium fosfat pada kondisi terkontrol dan terjaga 16 [2Na2HPO4 + NaH2PO4 → Na5P3O10 + 2H2O]. (Greenwood et al. 1997 dalam Anonima 2010). Ciri-ciri umum STPP antara lain kepadatan 2,52 g/cm3; titik cair 622°C; dan kelarutan (pada suhu 25°C) 145 ppt. Garam STPP digunakan pada berbagai aplikasi, namun terdapat regulasi mengenai jumlah pemakaiannya, karena STPP secara substansi meningkatkan berat makanan (khususnya seafood) disertai peningkatan daya ikat air (Anonimb 2010). Wujud sodium polyphosphat berupa bubuk yang tak memiliki warna (transparan) seperti kaca. Sodium polyphosphate digunakan pada bubuk krim, daging asap, susu bubuk, seafood beku, buah dan sayuran kaleng. Fungsi pada bahan makanan antara lain mencegah timbulnya noda pada bagian luar makanan kaleng, menginaktivasi ion logam, menghambat laju oksidasi lemak pada sistem makanan basah, menekan pertumbuhan mikroba, dan mengurangi air selama pengolahan minuman beralkohol. Lembaga Keamanan Pangan Amerika (FDA) menyatakan penggunaannya hanya 5% pada bahan pangan yang diawetkan. Sementara itu Kanada menerapkan peraturan penggunaan bahan tambahan pangan tersebut sebesar 2000 ppm pada produk berbahan daging dan 5000 ppm pada ikan beku (Van Waser 1958). Polifosfat yang umum digunakan ini (diutamakan) berupa STPP. Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler (Trianto 1987 dalam Naryati 2001) Polifosfat meskipun bukan berfungsi sebagai cryoprotectant tetapi perlu ditambahkan untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) dan memperbaiki sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi. Biasanya polifosfat ditambahkan sebanyak 0,2–0,3% dalam bentuk garam natrium tripolifosfat (Peranginangin et al. 1999). Fosfat telah diterima secara luas sebagai bahan tambahan potensial pada ikan dan seafood yang berguna untuk meningkatkan fungsional karakteristik produk dengan meningkatkan penyimpanan air pada ikan segar dan berfungsi juga untuk mengurangi kehilangan bobot pada pencairan ikan beku (Chang dan Regenstein 1997 dalam Julavittayanukul et al. 2006). 17 2.9 Garam Kalium Klorida (KCl) Tubuh seseorang dewasa mengandung kalium (250 g) dua kali lebih banyak dari natrium (110 g). Walaupun demikian biasanya konsumsi kalium lebih sedikit daripada natrium. Konsumsi tiap orang per hari di Amerika 2-6 gram kalium. Namun di sebagian besar Negara jumlah kalium yang dikonsumsi per hari sekitar 3,7–7,4 gram kalium klorida (Winarno 1997). Potassium chloride/kalium klorida memiliki wujud tak berwarna atau kristal putih, dan tak memiliki bau. Larut terhadap air, gliserin, dan sedikit larut pada alkohol. Daya larut tersebut bisa berkurang dengan adanya HCl, MgCl2 dan NaCl. Fungsi pada bahan makanan antara lain; sebagai pembentuk dan peningkat citarasa, pembentuk gel, pengontrol kadar pH, dan stabiliser. Lembaga Pangan Amerika (FDA) menyatakan terdapat peraturan mengenai penambahan bahan tersebut pada daging yakni tidak lebih dari 3% per berat produk (Lewis 1989). Adanya ion monovalen yaitu kalium (K+), amonium (NH4+), rubidium (Rb+), dan cessium (Cs+) membantu pembentukan gel kappa. Ion K+ membentuk gel yang keras dan elastis pada kappa karagenan, sedangkan ion Na+ menghambat pembentukan gel (Angka dan Suhartono 2000). Pada konsentrasi kalium (KCl) lebih tinggi, kekenyalan gel karagenan akan meningkat. Ion kalium juga mempunyai pengaruh meningkatkan suhu cair dan suhu gelasi dari karagenan. Bila kation tersebut dihilangkan, maka karagenan tidak lagi mampu membentuk gel (Winarno 1990). Batas penggunaan KCl sangat ditentukan oleh uji organoleptik, karena semakin tinggi KCl semakin terasa pahit. Batas atas dari makanan yang tidak terganggu kelezatannya adalah konsentrasi 0,1–0,2 persen klorida. Namun demikian, dalam makanan yang asin seperti beberapa cured daging, kadar 0,5 persen natrium klorida dapat diganti dengan kalium klorida tanpa dapat dideteksi. Fungsi karagenan bila dikombinasikan dengan garam kalium, maka karagenan sangat efektif sebagai (Winarno 1990). gel pengikat atau gel pelapis produk daging