Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL

advertisement
Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Untuk
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Dalam Mata Pelajaran Matematika Tentang
Himpunan Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pucakwangi
Artikel Ilmiah
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Kepada Program Studi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer
Fakultas Teknologi Informasi
Oleh:
Hana Meidawati
NIM: 702011109
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA DAN KOMPUTER
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2016
2
3
4
5
6
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu pembentuk pondasi bagi tumbuh dan
berkembangnya seorang anak untuk memperoleh masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya pendidikan yang mapan dapat meningkatkan kualitas hidup seperti
berpikir kritis, kreatif serta produktif. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara[1].
Hasil observasi di sekolah mengenai keadaan siswa menunjukkan bahwa
bagi sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi. Mereka
merasa tidak berhasil mengerjakan soal sebelum mencobanya. Hal ini juga diperjelas
dari hasil wawancara peneliti dengan guru mata pelajaran Matematika SMP Negeri
1 Pucakwangi diperoleh informasi bahwa tidak hanya mengenai ketakutan siswa
terhadap materi yang diberikan tetapi juga karena kurangnya motivasi dan minat
siswa saja. Tetapi sebagai pendidik, guru juga ikut andil bagian dari permasalahan
ini karena penyampaian pembelajaran yang monoton sehingga siswa cenderung
pasif di kelas. Hal tersebut membuat guru harus memikirkan cara bagaimana siswa
dapat tertarik dan tetap fokus pada materi yang diajarkan. Salah satu upaya dari guru
tersebut untuk menarik minat siswa di kelasnya dengan mengubah cara mengajar di
kelas.
Berdasarkan masalah – masalah tersebut, munculah sebuah gagasan untuk
menggunakan sistem pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning).
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antaramateri yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari
– hari[2]. CTL merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan
memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya
dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari
(konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki
pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari
satu permasalahan ke permasalahan lainnya. CTL adalah sebuah konsep
pembelajaran yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata dan mendorong pendidik membuat hubungan antara
materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat.
CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagianbagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka
akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya
secara terpisah. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan
dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama, mereka
membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di
dalamnya, dan memperoleh ilmu pengetahuan. Menurut teori pembelajaran
7
konstektual, bahwa belajar hanya terjadi ketika murid memproses informasi atau
pengetahuan baru sehingga informasi atau pengetahuan tersebut dipahami mereka
dalam kerangka acuan (memori, pengalaman, dan respon) mereka sendiri. Dengan
merubah pola pembelajaran dan menerapkan pendekatan konstektual diharapkan
pemahaman siswa tentang materi pembelajaran meningkat sehingga prestasi belajar
siswa akan menjadi lebih baik dan menggembirakan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan ke
dalam beberapa masalah yang muncul. Penggunaan metode pembelajaran yang
kurang variatif yang hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Namun
media pembelajaran yang disediakan kurang dimanfaatkan secara maksimal.
Mata pelajaran Matematika sangatlah penting karena merupakan ilmu
universal yang mendasari perkembangan teknologi modern. Sehingga guru harus
dapat memilih metode dan media pembelajaran yang tepat untuk membuat siswa
tertarik dengan materi yang diajarkan sehingga mampu membuat siswa ikut
berpatisipasi aktif dalam proses pembelajaran dalam arti siswa tidak lagi melakukan
kegiatan diluar kegiatan pembelajaran. Penelitian dengan cara menerapkan sebuah
model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) yang akan dilakukan
nantinya akan membandingkan minat kelompok siswa yang diterapkan model
pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) dengan kelompok siswa
yang tidak diterapkan model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and
Learning).
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa sebelum dan sesudah pembelajaran
pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Dan untuk mengetahui perbedaan hasil
belajar antara siswa kelas kontrol yang menggunakan metode pembelajaran CTL
(Contextual Teaching and Learning) dengan siswa kelas eksperimen yang tidak
menggunakan metode CTL (Contextual Teaching and Learning).
2.
Tinjauan Pustaka
Belajar adalah “Learning is the process by which behavior (in the broader
sense) is originated or changed through practice or training.” (Belajar adalah proses
dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau
latihan)[3]. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai
hasil pengalamanya sendiri dalam interaksi dengan lingkunganya[4]. Belajar
merupakan proses perubahan tingkah laku pada diri sendiri berkat pengalaman dan
latihan. Pengalaman dan latihan terjadi melalui interaksi antar individu dan
lingkungannya, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosialnya[5]. Belajar
adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut
ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti
peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan,
daya pikir, dan lain-lain kemampuan[6].
Pembelajaran adalah suatu persiapan yang dipersiapkan oleh guru guna
menarik dan memberi informasi kepada siswa, sehingga dengan persiapan yang
8
dirancang oleh guru dapat membantu siswa dalam menghadapi tujuan[7].
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar[8]. Pembelajaran pada hakekatnya merupakan
proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan
perilaku ke arah lebih baik. Selama proses pembelajaran, tugas guru yang paling
utama adalah mengkondisikan lingkungan belajar agar menunjang terjadinya
perubahan perilaku bagi siswa[9]. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material fasilitas, perlengkapan dan
prosedur yang saling mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran[10].
Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai
hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan
psikomotorik[11]. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar
dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi
hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pengajaran dari
puncak proses belajar[12].
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL)
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran
dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari[13]. CTL merupakan suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan
untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna
(Meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan
dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi maupun kultural. Sehingga
peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat
diaplikasikan dan ditransfer dari satu konteks permasalahan yang satu ke
permasalahan lainnya[14].
Langkah-langkah dalam CTL sebagai berikut : 1) Langkah pertama,
mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna
apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya. 2) Langkah kedua,
melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan.
3) Langkah ketiga, mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan. 4) Langkah keempat, menciptakan masyarakat belajar,
seperti melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab, dan sebagainya. 5)
Langkah kelima, menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui
ilustrasi, model bahkan media yang sebenarnya. 6) Langkah keenam, membiasakan
anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah
dilakukan. 7) Langkah ketujuh, melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai
kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.[15]
Untuk mencapai pemahaman yang bermakna maka pembelajaran
matematika harus diarahkan pada pengembangan kemampuan koneksi matematik
antar berbagai ide, memahami bagaimana ide-ide matematik saling terkait satu sama
lain sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematik
dalam konteks di luar matematika.[16]
9
Agar potensi siswa dapat dikembangkan secara optimal berdasarkan
perkembangan aspek kognitif, menurut Ebbutt dan Straker [17] asumsi tentang
karakteristik siswa dan implikasi terhadap pembelajaran matematika diberikan
sebagai berikut:
1. Siswa akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai motivasi.
Implikasi pandangan ini bagi guru adalah: (1) menyediakan kegiatan yang
menyenangkan, (2) memperhatikan keinginan siswa. (3) membangun pengertian
melalui apa yang diketahui oleh siswa, (4) menciptakan suasana kelas yang
mendukung kegiatan belajar, (5) memberikan kegiatan belajar yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran, (6) memberikan kegiatan yang menantang, (7) memberikan
kegiatan yang memberikan harapan keberhasilan, dan (8) menghargai setiap
pencapaian siswa.
2. Siswa mempelajari matematika dengan caranya sendiri.
Implikasi pandangan ini adalah: (1) siswa belajar dengan cara yang berbeda dan
dengan kecepatan yang berbeda, (2) tiap siswa memerlukan pengalaman tersendiri
yang terhubung dengan pengalamannya diwaktu lampau, (3) tiap siswa mempunyai
latar belakang socialekonomi-budaya yang berbeda. Oleh karena itu guru perlu: (1) mengetahui kelebihan
dan kekurangan para siswanya, (2) merencanakan kegiatan yang sesuai dengan
tingkat kemampuan siswa, (3) membangun pengetahuan dan ketrampilan siswa, baik
yang dia peroleh di sekolah maupun di rumah, (4) menggunakan catatan kemajuan
siswa (assessment).
3. Siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui
kerjasama dengan temannya.
Implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah: (1) memberikan kesempatan belajar
dalam kelompok untuk melatih kerjasama, (2) memberikan kesempatan belajar
secara klasikal untuk memberi kesempatan saling bertukar gagasan, (3) memberi
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatannya secara mandiri., (4)
melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan tentang kegiatan yang akan
dilakukannya, dan (5) mengajarkan bagaimana cara mempelajari matematika.
4. Siswa memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam
mempelajari matematika.
Implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah : (1) menyediakan dan menggunakan
berbagai alat peraga, (2) memberikan kesempatan belajar matematika diberbagai
tempat dan keadaan, (3) memberikan kesempatan menggunakan matematika untuk
berbagai keperluan, (4) mengembangkan sikap menggunakan matematika sebagai
alat untuk memecahkan problematika baik di sekolah maupun di rumah, (5)
menghargai sumbangan tradisi, budaya dan seni dalam pengembangan matematika,
dan (6) membantu siswa menilai sendiri kegiatan matematikanya.
Himpunan matematika dapat didefinisikan sebagai sebuah kumpulan dari
beberapa objek baik itu benda abstrak maupun benda real (nyata) yang dapat
didefinisikan dengan jelas. Artinya benda-benda tersebut jelas adanya dan memiliki
keterangan yang jelas. Salah satu contoh himpunan adalah kumpulan mahasiswa
jurusan matematika FMIPA Universitas Lampung atau Kumpulan siswa kelas 6 SD
10
Pelita Harapan. Intinya kumpulan tersebut didefinisikan dengan jelas. Berbeda
dengan kumpulan anak yang berambut gondrong atau kumpulan anak-anak pandai,
itu tidak bisa disebut himpunan karena benda-benda tersebut tidak didefinisikan
dengan jelas dan tidak merujuk pada objek tertentu yang jelas keberadaannya.[18]
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Harcharan Pardhan dan
Razia Fakir Mohammad (2005), menyimpulkan bahwa: Guru harus memberdayakan
peserta didik untuk lebih sukses dalam pelaksanaan pengajaran yang inovatif bukan
dalam hal kembali ke pengajaran konvensional. Permasalahan ini telah tersebar
diberbagai negara seperti Inggris dan Amerika Serikat. Saat ini, kita merasakan
matematika yang ditawarkan program pendidikan di suatu lembaga pendidikan,
matematika dianggap sebagai bagian dari seluruh wacana/ program untuk
memberikan pembelajaran baru tentang teori, filsafat dan pedagogik. Dengan
demikian, waktu yang digunkan tidak cukup untuk menutup semua konten yang
diperlukan. Kami merasa ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan guru
untuk menyediakan jalur alternatif untuk meningkatkan guru matematika. Alternatif
yang mungkin dapat digunakan adalah pengenalan program spesialisasi subjek yang
memungkinkan para guru untuk belajar lebih mendalam. Jalur lain yaitu dengan
membentuk kemitraan Sekolah yang akhirnya dapat membuat guru dapat
berkomunikasi dengan peserta didik dengan baik[19].
Penelitian yang dilakukan oleh Wayne Melville dan Bevis Yaxley (2009),
menyimpulkan bahwa Penekanan pada lembaga pendidikan adalah penting untuk
dua alasan. Yang pertama adalah mapan posisi yang lembaga pendidikan miliki
adalah pada kinerja dan belajar guru (Horn, 2005; Ritchie & Rigano, 2002; Siskin,
1994; Talbert, 2002; Visscher & Witziers, 2004). Kedua, sebagai suatu organisasi,
lembaga pendidikan harus menyediakan menyediakan “Struktur pengaturan dan
instrumen” untuk mengembangkan profesionalitas dan kinerja guru[20].
3.
Metode Penelitian
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
penggunaan sistem pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) akan
mempengaruhi kualitas pembelajaran yang akan berimbas pada kualitas belajar
siswa. Khususnya pada pokok bahasan Himpunan pada semester genap tahun ajaran
2015/2016. Dalam penelitian ini ada dua kelompok siswa yaitu kelompok siswa
yang dikenai sistem pembelajaran CTL, dan kelompok siswa yang menggunakan
metode pembelajaran biasa / konvensional yaitu dengan menggunakan metode
ceramah. Dua kelompok tersebut akan dilihat bagaimana sistem pembelajaran ini
bereaksi pada suatu kelas.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri
1 Pucakwangi Semester Genap Tahun Pelajaran 2015/2016. Populasi terdiri dari 2
kelas (kelas kontrol dan kelas eksperimen) dengan jumlah siswa seluruhnya ada 56
siswa. Untuk memperoleh kelas homogen, sebelumnya telah diadakan tes ujicoba
homogenitas.
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti[21].
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cluster random
11
sampling. Penentuan sampel dari populasi yaitu diambil satu kelas yang berjumlah
28 siswa secara acak dari keenam kelas VII SMP N 1 Pucakwangi Kabupaten Pati.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelas sampel yang diambil mendapat
materi dengan kurikulum yang sama, siswa duduk pada tingkat kelas yang sama, dan
pembagian kelas tidak ada kelas unggulan. Adapun variable dalam penelitian ini
adalah: (1) Variabel bebas (X) pada penelitian ini adalah metode Pembelajaran CTL
(Contextual Teaching and Learning). (2) Variabel terikat (Y) pada penelitian ini
adalah perkembangan siswa dalam mata pelajaran Matematika.
Teknik pengumpulan data menggunakan : (1) Metode Dokumentasi.
Metode ini digunakan untuk mendapatkan daftar nama siswa kelas VII semester II
SMP N 1 Pucakwangi Kabupaten Pati tahun ajaran 2015/2016. (2) Metode Tes. Tes
awal merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk mengetahui prestasi
belajar siswa sebelum dilakukan penelitian. Perangkat tes ini akan dibagikan kepada
setiap siswa di kelas eksperimen maupun kelas kontrol di awal pertemuan. Tes Akhir
digunakan untuk mendapatkan data dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
setelah dilakukan penelitian. Tes dalam soal obyektif (pilihan ganda) dengan empat
alternatif jawaban dan satu jawaban benar. Jumlah item soal sebanyak 30 butir.
Teknik analisis data yang digunakan adalah seperti ini, tes awal dibagikan
di kelas eksperimen dan kelas kontrol, sebelumnya instrumen diuji validitas dan
releabilitasnya. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan
atau kesahihan suatu instrumen[22]. Untuk menentukan validitas instrumen
digunakan rumus product moment dalam Siregar (2012) sebagai berikut:
a. Uji instrumen
1) Validitas
Validitas merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu instrument tes.
Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 72), validitas adalah suatu ukuran menunjukkan
tingkat kevalitan atau kesahihan suatu instrumen.
Validitas butir soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus korelasi
product moment sebagai berikut :
𝑛 ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑥𝑦 =
√{(𝑛 ∑ 𝑋 2 ) − (∑ 𝑋)2 }{{(𝑛 ∑ 𝑌 2 ) − (∑ 𝑌)2 }}
Keterangan:
𝑟𝑥𝑦
: koefisien korelasi antara variabel 𝑥 dan 𝑦
∑ 𝑥𝑦
: jumlah perkalian 𝑥 dan 𝑦
X
: jumlah skor butir angket
Y
: jumlah skor total
𝑛
: jumlah peserta yang ikut tes
Setelah diperoleh harga rxy, selanjutnya dikonsultasikan dengan r Product
Moment dengan taraf signifikan 5%. Apabila didalam perhitungan didapat 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 >
𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , maka item soal tersebut valid (Arikunto, 2007: 75).
2) Reliabilitas
12
Suatu tes dikatakan reliable apabila tes tersebut dapat dipercaya dan
konsisten. Untuk mengetahui reliabilitas tes digunakan rumus alpha seperti yang
tercantum dalam (Arikunto, 2007: 109) sebagai berikut :
∑ 𝜎𝑖2
𝑛
) (1 − 2 )
𝑟𝑖 = (
𝑛−1
𝜎𝑡
Keterangan :
𝑟𝑖
= reliabilitas instrument
𝑛
= jumlah item dalam instrument
∑ 𝜎𝑖2
= mean skor total
2
𝜎𝑡
= varians total
Kriteria reliabilitas soal adalah sebagai berikut :
0,800 – 1,000
= sangat tinggi
0,600 – 0,799
= tinggi
0,400 – 0,599
= cukup
0,200 – 0,399
= rendah
0,000 – 0,199
= sangat rendah
(Arikunto, 2007: 75).
3) Tingkat kesukaran soal
Perangkat tes yang baik adalah perangkat tes yang memiliki tingkat
kesukaran seimbang, artinya perangkat tes tidak terlalu mudah dan tidak terlalu
sukar. Tingkat kesukaran soal adalah bilangan yang menunjukkan sukar atau
mudahnya suatu soal (Arikunto, 2007: 207). Rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut :
𝐵
𝑃=
𝐽𝑆
Keterangan :
P = indeks kesukaran
B = banyaknya siswa yang menjawab benar
JS= jumlah seluruh peserta yang ikut tes
Kriteria taraf kesukaran soal tes adalah sebagai berikut :
0,00  P  0,30 = sukar
0,30  P  0,70 = sedang
0,70  P  1,00 = mudah
4) Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang kurang pandai
(berkemampuan rendah). (Arikunto, 2007: 211)
Rumus yang digunakan adalah :
𝐵𝐴 𝐵𝐵
𝐷𝑃 =
−
= 𝑃𝐴 − 𝑃𝐵
𝐽𝐴 𝐽𝐵
Keterangan:
DP = Daya Pembeda suatu alat ukur
13
𝐽𝐴 = banyaknya peserta kelompok atas
𝐽𝐵 = banyaknya peserta kelompok bawah
𝐵𝐴 = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
𝐵𝐵 = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
𝑃𝐴 = proporsi kelompok atas yang menjawab benar
𝑃𝐵 = proporsi kelompok bawah yang menjawab benar
Kriteria daya pembeda soal tes adalah sebagai berikut:
DP : 0,00 – 0,20 = jelek (poor)
DP : 0,21 – 0,40 = cukup (satisfactory)
DP : 0,41 – 0,70 = baik (good)
DP : 0,71 – 1,00 = baik sekali (excellent)
DP : negatif, semuanya tidak baik, jadi semua butir soal yang mempunyai nilai DP
negatif sebaiknya dibuang saja. (Arikunto, 2007: 218)
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis awal
dengan uji normalitas , uji homogenesis sampel dilanjutkan dengan analisis akhir
menggunakan uji regresi linier.
a. Tahap analisis awal
Uji normalitas yang digunakan adalah menggunakan uji lillifors sebagai:
a) Hipotesis
H0 = sampel dari populasi berdistribusi normal
Ha = sampel tidak dari populasi berdistribusi normal
b) Prosedur
(1) X1, X2,…., Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2,…., Zn dengan rumus:
𝑋𝑖 − 𝑋̅
𝑍𝑖 =
𝑆
Keterangan:
𝑍𝑖 = bilangan baku
𝑋𝑖 = sampel
𝑋̅ = rata-rata sampel
𝑆 = simpangan baku
Data dari sampel tersebut di urutkan skor terendah ke skor tertinggi.
Dengan data berdistribusi normal dihitung peluang. Menghitung proporsi Z1, Z2,….,
Zn ≤Zi. Jika proporsi ini dinyatakan oleh S(Zi) maka:
𝑍1 , 𝑍2 , … , 𝑍𝑛 yang ≤ 𝑍𝑖
𝑆(𝑍𝑖 ) =
𝑛
Menghitung selisih F(Zi) - S(Zi) dan menentukan harga mutlaknya. Ambil
harga terbesar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut, harga terbesar ini
dinamakan L0. Menerima atau menolak H0, kita bandingkan L0 dengan nilai kritis L
untuk taraf nyata α = 5%. Dengan kriteria terima H0 jika L0 < Ltabel, dan tolak H0 jika
L0> Ltabel
b. Tahap analisis akhir
1. Uji Homogenitas Varians
14
Setelah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diuji normalitasnya
dan didapatkan kondisi yang sepadan kemudian diberikan perlakuan pada keduanya.
Selanjutnya dari hasil perlakuan ditentukan homogenitas variansnya supaya dapat
digunakan metode statistika yang cocok, sehingga kesimpulan yang diambil tidak
menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Untuk menguji kehomogenan varians
menggunakan rumus berikut :
Vb
F (nb − 1), (nk − 1) = Vk
Keterangan :
Vb = varians yang lebih besar
Vk = varians yang lebih kecil
Nb = jumlah subyek dengan varians yang lebih besar
Nk = jumlah subyek dengan varians yang lebih kecil
Dari hasil perhitungan kemudian dikonsultasikan dengan Ftabel dengan derajat
kebebasan dk = nb - 1 dan nk – 1,dengan taraf signifikan .=10%. Jika Fhitung < Ftabel,
maka kedua kelompok memiliki varians yang homogen.
2. Uji Hipotesis
Setelah kedua kelompok diketahui homogen, selanjutnya diuji t-tes,
dengan menggunakan rumus menurut Sudjana (1989:239) :
t=
𝑋̅1 − 𝑋̅2
𝑆 1
1
√𝑛 + 𝑛
1
2
dengan 𝑆2 =
(𝑛1 −1). 𝑠12 +(𝑛2 −1). 𝑠22
𝑛1 + 𝑛2 . 2
Keterangan :
𝑋̅1 = Mean skor tes kelompok eksperimen
𝑋̅2 = Mean skor tes kelompok kontrol
𝑆2 = varian kedua kelompok
𝑛1 = banyaknya subyek kelompok eksperimen
𝑛2 = banyaknya subyek kelompok kontrol
Selanjutnya thitung dikonsultasikan dengan ttabel dengan derajat kebebasan =
(𝑛1 + 𝑛2 . 2) dengan taraf signifikan α = 5 %. Terima H0 jika thitung < T1-α dan tolak
H0 jika t mempunyai harga lain.
4.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Analisis yang dilakukan meliputi 2 tahap, adalah sebagai berikut :
1. Analisis Tahap Awal
Dalam analisis tahap awal ini yang dilakukan adalah uji normalitas dari
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk mengetahui kelas berdistribusi
normal atau tidak. Dari hasil penelitian ini dibuat daftar distribusi frekuensi. Dari
̅ = 55,8; s = 11,2 untuk kelompok eksperimen dan X
̅ = 57,7;
daftar tersebut diperoleh X
s = 11,5 untuk kelompok kontrol. Harga-harga ini untuk menghitung harga z dari
setiap batas kelas. Dan harga z digunakan untuk menentukan frekuensi harapan (Ei),
kemudian dihitung statistik 𝑥 2 = 6,1025 (kelompok eksperimen) dan 𝑥 2 = 6,4345
(kelompok kontrol). Selanjutnya harga ini dikonsultasikan dengan tabel chi kuadrat,
dengan α = 5% dan dk = 3, diperoleh 𝑥 2 (0,95;3)=7,81. Karena 𝑥 2 data < 𝑥 2 tabel,
maka dapat dikatakan bahwa sampel tersebut terdistribusi normal.
15
2. Analisis Tahap Akhir
a. Uji Homogenitas Varians
Dari 2 kelompok yang sepadan selanjutnya dikenai perlakuan sendirisendiri, dalam arti kelompok eksperimen diberi pengajaran dengan sistem belajar
kelompok dan kelompok kontrol diberi pengajaran dengan sistem perorangan
(inividu). Dari hasil perhitungan didapatkan ̅
X=20,1; S2 =4,5758 (untuk kelas
2
̅= 16,3; S =7,5966 (untuk kelas kontrol). Selanjutnya ditentukan
eksperimen) dan X
kehomogenan variansnya dan diperoleh Fhitung = 1,85. Karena Fhitung < Ftabel maka
kedua pengukuran tersebut memiliki varians yang homogen.
b. Uji Hipotesis
Setelah diketahui kehomogenan varians selanjutnya diuji dengan t-tes
untuk menentukan hipotesisnya. Dari perhitungan didapatkan thitung = 5,965.
Kemudian dikonsultasikan dengan ttabel = 1,67 dengan dk = 58 dan taraf signifikan α
= 5%. Karena thitung >t1-α maka H0 ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa prestasi
belajar siswa yang dikenai pengajaran dengan sistem belajar kelompok lebih baik
dibanding dengan prestasi belajar siswa yang dikenai pengajaran dengan sistem
belajar perorangan (individu).
Dari hasil penelitian statistik diperoleh thitung = 5,956 dan ttabel = 1,67
ternyata thitung lebih dari ttabel dengan kata lain Ho ditolak dan Ha diterima. Dalam penelitian
ini diambil nilai dari kedua sistem pengajaran yang diberikan pada pokok bahasan
Himpunan, kemudian hasilnya dikorelasikan. Dari hasil penelitian ternyata prestasi
belajar siswa yang dikenai pengajaran dengan seistem belajar kelompok lebih baik
dibanding siswa yang dikenai pengajaran dengan sistem belajar perorangan
(individu). Hal ini menunjukkan bahwa belajar kelompok merupakan salah satu
pemecahan untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa dalam meningkatkan
prestasi belajar.
5.
Simpulan
Pada observasi (pengamatan) awal sebelum dilakukan tes ujicoba,
partisipasi siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pucakwangi rendah. Siswa kurang aktif
atau diam di dalam kelas, tidak berani berpendapat ataupun berbicara di depan
kelas, dan semangat untuk belajar yang lesu.
Setelah diberikan perlakuan penerapan desain pembelajaran dengan model CTL
selama enam kali pertemuan pada kelas eksperimen, didapat hasil bahwa
partisipasi siswa meningkat. Siswa menjadi lebih aktif berani mengeluarkan
pendapat, bertanya kepada guru jika ada hal yang belum diketahui, berani
berbicara di depan kelas. Sedangkan pada kelas kontrol yang tidak diberikan
perlakuan, tetap dengan metode pembelajaran konvensional (ceramah). Dari
perbandingan dua kelas kontrol dan kelas eksperimen, dapat disimpulkan bahwa
dengan adanya model pembelajaran CTL dapat meningkatkan partisipasi (siswa
menjadi aktif) kelas VII SMP Negeri 1 Pucakwangi dalam mata pelajaran
matematika sehingga mengalami kenaikan kualitas pembelajaran.
16
6.
Saran
Penggunaan konsep pembelajaran yang bisa menarik bagi siswa bisa
menjadi pertimbangan untuk meningkatkan minat belajar siswa yang akan
berpengaruh pada partisipasi siswa di dalam kelas sehingga mempengaruhi kualitas
pembelajaran yang akhirnya meningkatkan hasil belajar siswa. Dikarenakan selama
ini metode pembelajaran yang digunakan monoton sehingga membuat siswa menjadi
pasif. Ada banyak macam model dan metode pembelajarn yang bisa diterapkan
tergantung pada kebutuhan permasalahan kelas.
7.
Daftar Pustaka
[1]
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas : Jakarta.
[2]
Syaiful Sagala. 2008. Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta : Bandung.
[3]
Dalyono, M. 2006. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta.
[4]
Slameto. 2003. Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta:
Jakarta.
[5]
[6]
[7]
[8]
Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar Mengajar. Sinar Baru Algensindo. Bandung.
Sudjana, Nana. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Sinar Baru Bandung.
Hakim, Thursan. 2000. Belajar Secara Efektif. Sindur Pres. Semarang.
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta : Jakarta.
[9]
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas : Jakarta.
[10] E. Mulyasa. 2003. Manajemen Berbasis Madrasah, Konsep Strategi
dan Implementasi. Rosdakarya : Bandung.
[11] Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara : Bandung.
[12] Sudjana, Nana. 2009. Penilain Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya :
Bandung.
[13] Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta : Jakarta.
[14] Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.
Bumi Angkasa : Jakarta.
[15] Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhana. 2010. Konsep Strategi Pembelajaran. Refika
Aditama : Bandung.
[16] http://www.m-edukasi.web.id/2014/08/langkah-pembelajaran-kontekstual.html
diakses pada 14 maret 2016
[17] National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and Standars for
School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
[18] Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis
Kompetensi SMP. Jakarta: Depdiknas.
[19] http://www.rumusmatematikadasar.com/2014/09/pengertian-teori-konsep-dan-jenishimpunan-matematika.html diakses pada 14 maret 2016
17
[20]
[21]
[22]
[23]
[24]
https://www.scribd.com/doc/301368167/Pengertian-Kualitas-Pembelajaran-DanIndikator-Kualitas-Pembelajaran diakses pada 14 maret 2016
Pardhan, Harcharan. 2005. “Teaching Science And Mathematics For Conceptual
Understanding? A Rising Issue”. Eurasia Journal of Mathematics, Science and
Technology Education. Volume 1. Nomor 1. Halaman 20.
Melville, Wayne. 2009. “Contextual Opportunities for Teacher Professional Learning:
The Experience of One Science Department”. Eurasia Journal of Mathematics, Science
and Technology Education. Volume 5. Nomor 4. Halaman 357-368.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :
Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Edisi
Revisi 2010. Jakarta : Rineka Cipta.
18
Download