Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Dalam Mata Pelajaran Matematika Tentang Himpunan Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pucakwangi Artikel Ilmiah Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Kepada Program Studi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer Fakultas Teknologi Informasi Oleh: Hana Meidawati NIM: 702011109 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA DAN KOMPUTER FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA 2016 2 3 4 5 6 1. Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu pembentuk pondasi bagi tumbuh dan berkembangnya seorang anak untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Dengan adanya pendidikan yang mapan dapat meningkatkan kualitas hidup seperti berpikir kritis, kreatif serta produktif. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara[1]. Hasil observasi di sekolah mengenai keadaan siswa menunjukkan bahwa bagi sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi. Mereka merasa tidak berhasil mengerjakan soal sebelum mencobanya. Hal ini juga diperjelas dari hasil wawancara peneliti dengan guru mata pelajaran Matematika SMP Negeri 1 Pucakwangi diperoleh informasi bahwa tidak hanya mengenai ketakutan siswa terhadap materi yang diberikan tetapi juga karena kurangnya motivasi dan minat siswa saja. Tetapi sebagai pendidik, guru juga ikut andil bagian dari permasalahan ini karena penyampaian pembelajaran yang monoton sehingga siswa cenderung pasif di kelas. Hal tersebut membuat guru harus memikirkan cara bagaimana siswa dapat tertarik dan tetap fokus pada materi yang diajarkan. Salah satu upaya dari guru tersebut untuk menarik minat siswa di kelasnya dengan mengubah cara mengajar di kelas. Berdasarkan masalah – masalah tersebut, munculah sebuah gagasan untuk menggunakan sistem pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antaramateri yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari – hari[2]. CTL merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lainnya. CTL adalah sebuah konsep pembelajaran yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pendidik membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagianbagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama, mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya, dan memperoleh ilmu pengetahuan. Menurut teori pembelajaran 7 konstektual, bahwa belajar hanya terjadi ketika murid memproses informasi atau pengetahuan baru sehingga informasi atau pengetahuan tersebut dipahami mereka dalam kerangka acuan (memori, pengalaman, dan respon) mereka sendiri. Dengan merubah pola pembelajaran dan menerapkan pendekatan konstektual diharapkan pemahaman siswa tentang materi pembelajaran meningkat sehingga prestasi belajar siswa akan menjadi lebih baik dan menggembirakan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan ke dalam beberapa masalah yang muncul. Penggunaan metode pembelajaran yang kurang variatif yang hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Namun media pembelajaran yang disediakan kurang dimanfaatkan secara maksimal. Mata pelajaran Matematika sangatlah penting karena merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern. Sehingga guru harus dapat memilih metode dan media pembelajaran yang tepat untuk membuat siswa tertarik dengan materi yang diajarkan sehingga mampu membuat siswa ikut berpatisipasi aktif dalam proses pembelajaran dalam arti siswa tidak lagi melakukan kegiatan diluar kegiatan pembelajaran. Penelitian dengan cara menerapkan sebuah model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) yang akan dilakukan nantinya akan membandingkan minat kelompok siswa yang diterapkan model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) dengan kelompok siswa yang tidak diterapkan model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa sebelum dan sesudah pembelajaran pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Dan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar antara siswa kelas kontrol yang menggunakan metode pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) dengan siswa kelas eksperimen yang tidak menggunakan metode CTL (Contextual Teaching and Learning). 2. Tinjauan Pustaka Belajar adalah “Learning is the process by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through practice or training.” (Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan)[3]. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamanya sendiri dalam interaksi dengan lingkunganya[4]. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku pada diri sendiri berkat pengalaman dan latihan. Pengalaman dan latihan terjadi melalui interaksi antar individu dan lingkungannya, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosialnya[5]. Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan[6]. Pembelajaran adalah suatu persiapan yang dipersiapkan oleh guru guna menarik dan memberi informasi kepada siswa, sehingga dengan persiapan yang 8 dirancang oleh guru dapat membantu siswa dalam menghadapi tujuan[7]. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar[8]. Pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah lebih baik. Selama proses pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan belajar agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi siswa[9]. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran[10]. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik[11]. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pengajaran dari puncak proses belajar[12]. Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari[13]. CTL merupakan suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna (Meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan pribadi, agama, sosial, ekonomi maupun kultural. Sehingga peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dan ditransfer dari satu konteks permasalahan yang satu ke permasalahan lainnya[14]. Langkah-langkah dalam CTL sebagai berikut : 1) Langkah pertama, mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya. 2) Langkah kedua, melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan. 3) Langkah ketiga, mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan. 4) Langkah keempat, menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab, dan sebagainya. 5) Langkah kelima, menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media yang sebenarnya. 6) Langkah keenam, membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. 7) Langkah ketujuh, melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.[15] Untuk mencapai pemahaman yang bermakna maka pembelajaran matematika harus diarahkan pada pengembangan kemampuan koneksi matematik antar berbagai ide, memahami bagaimana ide-ide matematik saling terkait satu sama lain sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematik dalam konteks di luar matematika.[16] 9 Agar potensi siswa dapat dikembangkan secara optimal berdasarkan perkembangan aspek kognitif, menurut Ebbutt dan Straker [17] asumsi tentang karakteristik siswa dan implikasi terhadap pembelajaran matematika diberikan sebagai berikut: 1. Siswa akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai motivasi. Implikasi pandangan ini bagi guru adalah: (1) menyediakan kegiatan yang menyenangkan, (2) memperhatikan keinginan siswa. (3) membangun pengertian melalui apa yang diketahui oleh siswa, (4) menciptakan suasana kelas yang mendukung kegiatan belajar, (5) memberikan kegiatan belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, (6) memberikan kegiatan yang menantang, (7) memberikan kegiatan yang memberikan harapan keberhasilan, dan (8) menghargai setiap pencapaian siswa. 2. Siswa mempelajari matematika dengan caranya sendiri. Implikasi pandangan ini adalah: (1) siswa belajar dengan cara yang berbeda dan dengan kecepatan yang berbeda, (2) tiap siswa memerlukan pengalaman tersendiri yang terhubung dengan pengalamannya diwaktu lampau, (3) tiap siswa mempunyai latar belakang socialekonomi-budaya yang berbeda. Oleh karena itu guru perlu: (1) mengetahui kelebihan dan kekurangan para siswanya, (2) merencanakan kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, (3) membangun pengetahuan dan ketrampilan siswa, baik yang dia peroleh di sekolah maupun di rumah, (4) menggunakan catatan kemajuan siswa (assessment). 3. Siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerjasama dengan temannya. Implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah: (1) memberikan kesempatan belajar dalam kelompok untuk melatih kerjasama, (2) memberikan kesempatan belajar secara klasikal untuk memberi kesempatan saling bertukar gagasan, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatannya secara mandiri., (4) melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan tentang kegiatan yang akan dilakukannya, dan (5) mengajarkan bagaimana cara mempelajari matematika. 4. Siswa memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah : (1) menyediakan dan menggunakan berbagai alat peraga, (2) memberikan kesempatan belajar matematika diberbagai tempat dan keadaan, (3) memberikan kesempatan menggunakan matematika untuk berbagai keperluan, (4) mengembangkan sikap menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan problematika baik di sekolah maupun di rumah, (5) menghargai sumbangan tradisi, budaya dan seni dalam pengembangan matematika, dan (6) membantu siswa menilai sendiri kegiatan matematikanya. Himpunan matematika dapat didefinisikan sebagai sebuah kumpulan dari beberapa objek baik itu benda abstrak maupun benda real (nyata) yang dapat didefinisikan dengan jelas. Artinya benda-benda tersebut jelas adanya dan memiliki keterangan yang jelas. Salah satu contoh himpunan adalah kumpulan mahasiswa jurusan matematika FMIPA Universitas Lampung atau Kumpulan siswa kelas 6 SD 10 Pelita Harapan. Intinya kumpulan tersebut didefinisikan dengan jelas. Berbeda dengan kumpulan anak yang berambut gondrong atau kumpulan anak-anak pandai, itu tidak bisa disebut himpunan karena benda-benda tersebut tidak didefinisikan dengan jelas dan tidak merujuk pada objek tertentu yang jelas keberadaannya.[18] Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Harcharan Pardhan dan Razia Fakir Mohammad (2005), menyimpulkan bahwa: Guru harus memberdayakan peserta didik untuk lebih sukses dalam pelaksanaan pengajaran yang inovatif bukan dalam hal kembali ke pengajaran konvensional. Permasalahan ini telah tersebar diberbagai negara seperti Inggris dan Amerika Serikat. Saat ini, kita merasakan matematika yang ditawarkan program pendidikan di suatu lembaga pendidikan, matematika dianggap sebagai bagian dari seluruh wacana/ program untuk memberikan pembelajaran baru tentang teori, filsafat dan pedagogik. Dengan demikian, waktu yang digunkan tidak cukup untuk menutup semua konten yang diperlukan. Kami merasa ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan guru untuk menyediakan jalur alternatif untuk meningkatkan guru matematika. Alternatif yang mungkin dapat digunakan adalah pengenalan program spesialisasi subjek yang memungkinkan para guru untuk belajar lebih mendalam. Jalur lain yaitu dengan membentuk kemitraan Sekolah yang akhirnya dapat membuat guru dapat berkomunikasi dengan peserta didik dengan baik[19]. Penelitian yang dilakukan oleh Wayne Melville dan Bevis Yaxley (2009), menyimpulkan bahwa Penekanan pada lembaga pendidikan adalah penting untuk dua alasan. Yang pertama adalah mapan posisi yang lembaga pendidikan miliki adalah pada kinerja dan belajar guru (Horn, 2005; Ritchie & Rigano, 2002; Siskin, 1994; Talbert, 2002; Visscher & Witziers, 2004). Kedua, sebagai suatu organisasi, lembaga pendidikan harus menyediakan menyediakan “Struktur pengaturan dan instrumen” untuk mengembangkan profesionalitas dan kinerja guru[20]. 3. Metode Penelitian Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penggunaan sistem pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) akan mempengaruhi kualitas pembelajaran yang akan berimbas pada kualitas belajar siswa. Khususnya pada pokok bahasan Himpunan pada semester genap tahun ajaran 2015/2016. Dalam penelitian ini ada dua kelompok siswa yaitu kelompok siswa yang dikenai sistem pembelajaran CTL, dan kelompok siswa yang menggunakan metode pembelajaran biasa / konvensional yaitu dengan menggunakan metode ceramah. Dua kelompok tersebut akan dilihat bagaimana sistem pembelajaran ini bereaksi pada suatu kelas. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pucakwangi Semester Genap Tahun Pelajaran 2015/2016. Populasi terdiri dari 2 kelas (kelas kontrol dan kelas eksperimen) dengan jumlah siswa seluruhnya ada 56 siswa. Untuk memperoleh kelas homogen, sebelumnya telah diadakan tes ujicoba homogenitas. Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti[21]. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cluster random 11 sampling. Penentuan sampel dari populasi yaitu diambil satu kelas yang berjumlah 28 siswa secara acak dari keenam kelas VII SMP N 1 Pucakwangi Kabupaten Pati. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelas sampel yang diambil mendapat materi dengan kurikulum yang sama, siswa duduk pada tingkat kelas yang sama, dan pembagian kelas tidak ada kelas unggulan. Adapun variable dalam penelitian ini adalah: (1) Variabel bebas (X) pada penelitian ini adalah metode Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). (2) Variabel terikat (Y) pada penelitian ini adalah perkembangan siswa dalam mata pelajaran Matematika. Teknik pengumpulan data menggunakan : (1) Metode Dokumentasi. Metode ini digunakan untuk mendapatkan daftar nama siswa kelas VII semester II SMP N 1 Pucakwangi Kabupaten Pati tahun ajaran 2015/2016. (2) Metode Tes. Tes awal merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk mengetahui prestasi belajar siswa sebelum dilakukan penelitian. Perangkat tes ini akan dibagikan kepada setiap siswa di kelas eksperimen maupun kelas kontrol di awal pertemuan. Tes Akhir digunakan untuk mendapatkan data dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah dilakukan penelitian. Tes dalam soal obyektif (pilihan ganda) dengan empat alternatif jawaban dan satu jawaban benar. Jumlah item soal sebanyak 30 butir. Teknik analisis data yang digunakan adalah seperti ini, tes awal dibagikan di kelas eksperimen dan kelas kontrol, sebelumnya instrumen diuji validitas dan releabilitasnya. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen[22]. Untuk menentukan validitas instrumen digunakan rumus product moment dalam Siregar (2012) sebagai berikut: a. Uji instrumen 1) Validitas Validitas merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu instrument tes. Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 72), validitas adalah suatu ukuran menunjukkan tingkat kevalitan atau kesahihan suatu instrumen. Validitas butir soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut : 𝑛 ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌) 𝑟𝑥𝑦 = √{(𝑛 ∑ 𝑋 2 ) − (∑ 𝑋)2 }{{(𝑛 ∑ 𝑌 2 ) − (∑ 𝑌)2 }} Keterangan: 𝑟𝑥𝑦 : koefisien korelasi antara variabel 𝑥 dan 𝑦 ∑ 𝑥𝑦 : jumlah perkalian 𝑥 dan 𝑦 X : jumlah skor butir angket Y : jumlah skor total 𝑛 : jumlah peserta yang ikut tes Setelah diperoleh harga rxy, selanjutnya dikonsultasikan dengan r Product Moment dengan taraf signifikan 5%. Apabila didalam perhitungan didapat 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , maka item soal tersebut valid (Arikunto, 2007: 75). 2) Reliabilitas 12 Suatu tes dikatakan reliable apabila tes tersebut dapat dipercaya dan konsisten. Untuk mengetahui reliabilitas tes digunakan rumus alpha seperti yang tercantum dalam (Arikunto, 2007: 109) sebagai berikut : ∑ 𝜎𝑖2 𝑛 ) (1 − 2 ) 𝑟𝑖 = ( 𝑛−1 𝜎𝑡 Keterangan : 𝑟𝑖 = reliabilitas instrument 𝑛 = jumlah item dalam instrument ∑ 𝜎𝑖2 = mean skor total 2 𝜎𝑡 = varians total Kriteria reliabilitas soal adalah sebagai berikut : 0,800 – 1,000 = sangat tinggi 0,600 – 0,799 = tinggi 0,400 – 0,599 = cukup 0,200 – 0,399 = rendah 0,000 – 0,199 = sangat rendah (Arikunto, 2007: 75). 3) Tingkat kesukaran soal Perangkat tes yang baik adalah perangkat tes yang memiliki tingkat kesukaran seimbang, artinya perangkat tes tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Tingkat kesukaran soal adalah bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya suatu soal (Arikunto, 2007: 207). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : 𝐵 𝑃= 𝐽𝑆 Keterangan : P = indeks kesukaran B = banyaknya siswa yang menjawab benar JS= jumlah seluruh peserta yang ikut tes Kriteria taraf kesukaran soal tes adalah sebagai berikut : 0,00 P 0,30 = sukar 0,30 P 0,70 = sedang 0,70 P 1,00 = mudah 4) Daya Pembeda Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang kurang pandai (berkemampuan rendah). (Arikunto, 2007: 211) Rumus yang digunakan adalah : 𝐵𝐴 𝐵𝐵 𝐷𝑃 = − = 𝑃𝐴 − 𝑃𝐵 𝐽𝐴 𝐽𝐵 Keterangan: DP = Daya Pembeda suatu alat ukur 13 𝐽𝐴 = banyaknya peserta kelompok atas 𝐽𝐵 = banyaknya peserta kelompok bawah 𝐵𝐴 = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar 𝐵𝐵 = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar 𝑃𝐴 = proporsi kelompok atas yang menjawab benar 𝑃𝐵 = proporsi kelompok bawah yang menjawab benar Kriteria daya pembeda soal tes adalah sebagai berikut: DP : 0,00 – 0,20 = jelek (poor) DP : 0,21 – 0,40 = cukup (satisfactory) DP : 0,41 – 0,70 = baik (good) DP : 0,71 – 1,00 = baik sekali (excellent) DP : negatif, semuanya tidak baik, jadi semua butir soal yang mempunyai nilai DP negatif sebaiknya dibuang saja. (Arikunto, 2007: 218) Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis awal dengan uji normalitas , uji homogenesis sampel dilanjutkan dengan analisis akhir menggunakan uji regresi linier. a. Tahap analisis awal Uji normalitas yang digunakan adalah menggunakan uji lillifors sebagai: a) Hipotesis H0 = sampel dari populasi berdistribusi normal Ha = sampel tidak dari populasi berdistribusi normal b) Prosedur (1) X1, X2,…., Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2,…., Zn dengan rumus: 𝑋𝑖 − 𝑋̅ 𝑍𝑖 = 𝑆 Keterangan: 𝑍𝑖 = bilangan baku 𝑋𝑖 = sampel 𝑋̅ = rata-rata sampel 𝑆 = simpangan baku Data dari sampel tersebut di urutkan skor terendah ke skor tertinggi. Dengan data berdistribusi normal dihitung peluang. Menghitung proporsi Z1, Z2,…., Zn ≤Zi. Jika proporsi ini dinyatakan oleh S(Zi) maka: 𝑍1 , 𝑍2 , … , 𝑍𝑛 yang ≤ 𝑍𝑖 𝑆(𝑍𝑖 ) = 𝑛 Menghitung selisih F(Zi) - S(Zi) dan menentukan harga mutlaknya. Ambil harga terbesar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut, harga terbesar ini dinamakan L0. Menerima atau menolak H0, kita bandingkan L0 dengan nilai kritis L untuk taraf nyata α = 5%. Dengan kriteria terima H0 jika L0 < Ltabel, dan tolak H0 jika L0> Ltabel b. Tahap analisis akhir 1. Uji Homogenitas Varians 14 Setelah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diuji normalitasnya dan didapatkan kondisi yang sepadan kemudian diberikan perlakuan pada keduanya. Selanjutnya dari hasil perlakuan ditentukan homogenitas variansnya supaya dapat digunakan metode statistika yang cocok, sehingga kesimpulan yang diambil tidak menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Untuk menguji kehomogenan varians menggunakan rumus berikut : Vb F (nb − 1), (nk − 1) = Vk Keterangan : Vb = varians yang lebih besar Vk = varians yang lebih kecil Nb = jumlah subyek dengan varians yang lebih besar Nk = jumlah subyek dengan varians yang lebih kecil Dari hasil perhitungan kemudian dikonsultasikan dengan Ftabel dengan derajat kebebasan dk = nb - 1 dan nk – 1,dengan taraf signifikan .=10%. Jika Fhitung < Ftabel, maka kedua kelompok memiliki varians yang homogen. 2. Uji Hipotesis Setelah kedua kelompok diketahui homogen, selanjutnya diuji t-tes, dengan menggunakan rumus menurut Sudjana (1989:239) : t= 𝑋̅1 − 𝑋̅2 𝑆 1 1 √𝑛 + 𝑛 1 2 dengan 𝑆2 = (𝑛1 −1). 𝑠12 +(𝑛2 −1). 𝑠22 𝑛1 + 𝑛2 . 2 Keterangan : 𝑋̅1 = Mean skor tes kelompok eksperimen 𝑋̅2 = Mean skor tes kelompok kontrol 𝑆2 = varian kedua kelompok 𝑛1 = banyaknya subyek kelompok eksperimen 𝑛2 = banyaknya subyek kelompok kontrol Selanjutnya thitung dikonsultasikan dengan ttabel dengan derajat kebebasan = (𝑛1 + 𝑛2 . 2) dengan taraf signifikan α = 5 %. Terima H0 jika thitung < T1-α dan tolak H0 jika t mempunyai harga lain. 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis yang dilakukan meliputi 2 tahap, adalah sebagai berikut : 1. Analisis Tahap Awal Dalam analisis tahap awal ini yang dilakukan adalah uji normalitas dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk mengetahui kelas berdistribusi normal atau tidak. Dari hasil penelitian ini dibuat daftar distribusi frekuensi. Dari ̅ = 55,8; s = 11,2 untuk kelompok eksperimen dan X ̅ = 57,7; daftar tersebut diperoleh X s = 11,5 untuk kelompok kontrol. Harga-harga ini untuk menghitung harga z dari setiap batas kelas. Dan harga z digunakan untuk menentukan frekuensi harapan (Ei), kemudian dihitung statistik 𝑥 2 = 6,1025 (kelompok eksperimen) dan 𝑥 2 = 6,4345 (kelompok kontrol). Selanjutnya harga ini dikonsultasikan dengan tabel chi kuadrat, dengan α = 5% dan dk = 3, diperoleh 𝑥 2 (0,95;3)=7,81. Karena 𝑥 2 data < 𝑥 2 tabel, maka dapat dikatakan bahwa sampel tersebut terdistribusi normal. 15 2. Analisis Tahap Akhir a. Uji Homogenitas Varians Dari 2 kelompok yang sepadan selanjutnya dikenai perlakuan sendirisendiri, dalam arti kelompok eksperimen diberi pengajaran dengan sistem belajar kelompok dan kelompok kontrol diberi pengajaran dengan sistem perorangan (inividu). Dari hasil perhitungan didapatkan ̅ X=20,1; S2 =4,5758 (untuk kelas 2 ̅= 16,3; S =7,5966 (untuk kelas kontrol). Selanjutnya ditentukan eksperimen) dan X kehomogenan variansnya dan diperoleh Fhitung = 1,85. Karena Fhitung < Ftabel maka kedua pengukuran tersebut memiliki varians yang homogen. b. Uji Hipotesis Setelah diketahui kehomogenan varians selanjutnya diuji dengan t-tes untuk menentukan hipotesisnya. Dari perhitungan didapatkan thitung = 5,965. Kemudian dikonsultasikan dengan ttabel = 1,67 dengan dk = 58 dan taraf signifikan α = 5%. Karena thitung >t1-α maka H0 ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa yang dikenai pengajaran dengan sistem belajar kelompok lebih baik dibanding dengan prestasi belajar siswa yang dikenai pengajaran dengan sistem belajar perorangan (individu). Dari hasil penelitian statistik diperoleh thitung = 5,956 dan ttabel = 1,67 ternyata thitung lebih dari ttabel dengan kata lain Ho ditolak dan Ha diterima. Dalam penelitian ini diambil nilai dari kedua sistem pengajaran yang diberikan pada pokok bahasan Himpunan, kemudian hasilnya dikorelasikan. Dari hasil penelitian ternyata prestasi belajar siswa yang dikenai pengajaran dengan seistem belajar kelompok lebih baik dibanding siswa yang dikenai pengajaran dengan sistem belajar perorangan (individu). Hal ini menunjukkan bahwa belajar kelompok merupakan salah satu pemecahan untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa dalam meningkatkan prestasi belajar. 5. Simpulan Pada observasi (pengamatan) awal sebelum dilakukan tes ujicoba, partisipasi siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pucakwangi rendah. Siswa kurang aktif atau diam di dalam kelas, tidak berani berpendapat ataupun berbicara di depan kelas, dan semangat untuk belajar yang lesu. Setelah diberikan perlakuan penerapan desain pembelajaran dengan model CTL selama enam kali pertemuan pada kelas eksperimen, didapat hasil bahwa partisipasi siswa meningkat. Siswa menjadi lebih aktif berani mengeluarkan pendapat, bertanya kepada guru jika ada hal yang belum diketahui, berani berbicara di depan kelas. Sedangkan pada kelas kontrol yang tidak diberikan perlakuan, tetap dengan metode pembelajaran konvensional (ceramah). Dari perbandingan dua kelas kontrol dan kelas eksperimen, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya model pembelajaran CTL dapat meningkatkan partisipasi (siswa menjadi aktif) kelas VII SMP Negeri 1 Pucakwangi dalam mata pelajaran matematika sehingga mengalami kenaikan kualitas pembelajaran. 16 6. Saran Penggunaan konsep pembelajaran yang bisa menarik bagi siswa bisa menjadi pertimbangan untuk meningkatkan minat belajar siswa yang akan berpengaruh pada partisipasi siswa di dalam kelas sehingga mempengaruhi kualitas pembelajaran yang akhirnya meningkatkan hasil belajar siswa. Dikarenakan selama ini metode pembelajaran yang digunakan monoton sehingga membuat siswa menjadi pasif. Ada banyak macam model dan metode pembelajarn yang bisa diterapkan tergantung pada kebutuhan permasalahan kelas. 7. Daftar Pustaka [1] Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas : Jakarta. [2] Syaiful Sagala. 2008. Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta : Bandung. [3] Dalyono, M. 2006. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta. [4] Slameto. 2003. Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta: Jakarta. [5] [6] [7] [8] Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar Mengajar. Sinar Baru Algensindo. Bandung. Sudjana, Nana. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Sinar Baru Bandung. Hakim, Thursan. 2000. Belajar Secara Efektif. Sindur Pres. Semarang. Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta : Jakarta. [9] Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas : Jakarta. [10] E. Mulyasa. 2003. Manajemen Berbasis Madrasah, Konsep Strategi dan Implementasi. Rosdakarya : Bandung. [11] Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara : Bandung. [12] Sudjana, Nana. 2009. Penilain Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya : Bandung. [13] Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta : Jakarta. [14] Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Bumi Angkasa : Jakarta. [15] Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhana. 2010. Konsep Strategi Pembelajaran. Refika Aditama : Bandung. [16] http://www.m-edukasi.web.id/2014/08/langkah-pembelajaran-kontekstual.html diakses pada 14 maret 2016 [17] National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and Standars for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. [18] Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi SMP. Jakarta: Depdiknas. [19] http://www.rumusmatematikadasar.com/2014/09/pengertian-teori-konsep-dan-jenishimpunan-matematika.html diakses pada 14 maret 2016 17 [20] [21] [22] [23] [24] https://www.scribd.com/doc/301368167/Pengertian-Kualitas-Pembelajaran-DanIndikator-Kualitas-Pembelajaran diakses pada 14 maret 2016 Pardhan, Harcharan. 2005. “Teaching Science And Mathematics For Conceptual Understanding? A Rising Issue”. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education. Volume 1. Nomor 1. Halaman 20. Melville, Wayne. 2009. “Contextual Opportunities for Teacher Professional Learning: The Experience of One Science Department”. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education. Volume 5. Nomor 4. Halaman 357-368. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi 2010. Jakarta : Rineka Cipta. 18