BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perusahaan yang bergerak di bidang engineering, procurement, dan construction (EPC) akan selalu berkaitan erat dengan ilmu manajemen proyek. Kemampuan dalam menerapkan manajemen proyek dalam setiap proyek yang dijalankan akan menjadi penentu keberhasilan perusahaan dalam menjaga kualitas setiap proyek yang dijalankan. Tidak hanya kualitas, indikator lain penentu keberhasilan suatu proyek juga meliputi tepatnya waktu pengerjaan dan efisiensi biaya. Kemampuan perusahaan untuk memberikan ketiga indikator tersebut pada setiap proyeknya yang akan menentukan harapan perusahaan untuk memperoleh proyek serupa di masa depan (Project Management Institute, 2000). Manajemen proyek adalah salah satu bidang yang paling penting dan paling sedikit dimengerti dalam ilmu manajemen (Sterman, 1992). Hal ini karena pendekatan manajemen proyek yang dilakukan secara generik dan tradisional masih kurang mencukupi dalam memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai proyek. Banyak bidang proyek-proyek penting yang selalu mengalami keterlambatan waktu atau pembengkakan biaya dalam setiap eksekusinya (Sterman, 2000). Seringkali manajemen proyek dengan pendekatan tradisional tidak dapat memberikan analisis yang mencukupi apabila menghadapi proyek dengan tingkat kompleksitas yang tinggi. Kompleksitas dalam sebuah proyek dapat dilihat dari adanya tiga aspek; variasi pekerjaan yang harus dilakukan, tingkat interdependensi antar pekerjaan tersebut, dan elemen ketidakpastian yang ada (Williams, 1999). Ketiga aspek ini sering ditemukan di banyak proyek besar sehingga diperlukan bantuan tambahan seperti system dynamics untuk menganalisisnya. Penggunaan system dynamics dalam manajemen proyek memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh pendekatan tradisional. Walaupun kedua 1 pendekatan ini sama-sama memiliki sudut pandang sistemik, tingkat detail yang digunakan dalam melihat sistem proyek umumnya berbeda. Manajemen proyek dengan pendekatan tradisional membantu manajer proyek dalam permasalahan operasional yang terjadi dalam proses sementara pendekatan system dynamics memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai efektifitas kebijakan manajerial yang berbeda (Rodriguez, 1994). Gambar 1.1. menunjukkan gambaran umum proses dalam manajemen proyek dengan pendekatan tradisional. Gambar 1.1. Proses Manajemen Proyek Secara Generik (Rodrigues, 1994) Perusahaan yang bergerak di bidang EPC seringkali harus menggunakan concurrent engineering untuk mempersingkat durasi waktu pengerjaan proyek. Concurrent engineering adalah suatu pendekatan sistematis dalam pengerjaan di mana seluruh aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu masalah dilakukan secara bersamaan (Shenas dan Derakshan, 1992). Pada manajemen proyek, hal ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Pada proyek yang memerlukan suatu departemen untuk bekerja dari hasil pekerjaan departemen yang lain, pengerjaan seluruh aktivitas secara simultan akan membuat departemen tersebut untuk mengantisipasi atau mengambil asumsi atas pekerjaan yang dilakukan departemen lainnya. Ketika asumsi tersebut cocok dengan pekerjaan sebenarnya maka performansi proyek akan meningkat, tetapi seringkali terjadi kondisi sebaliknya di mana asumsi yang diambil salah dan akan menurunkan performansi proyek (Lyneis dan Ford, 2007). Pada fase engineering suatu proyek EPC, mayoritas pekerjaan yang dilakukan adalah perancangan dan perencanaan. Jenis pekerjaan seperti ini memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi dan kemungkinan perubahan rencana yang mudah terjadi. Hal ini terjadi akibat pengetahuan mengenai proyek yang dikerjakan masih sedikit pada awal pengerjaan dan akan meningkat seiring dengan berlangsungnya proyek (Mahmoud-Jouini, dkk, 2004). Gambar 1.2. menjelaskan korelasi antara meningkatnya pengetahuan tentang proyek dengan penurunan kemungkinan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan terhadap proyek. Dalam kondisi seperti ini proyek EPC memiliki kompleksitas yang sangat tinggi sehingga membutuhkan bantuan model seperti system dynamics untuk melakukan analisis. Gambar 1.2. Grafik Pengetahuan dan Kemungkinan Tindakan pada Pengerjaan Proyek Terhadap Waktu (Mahmoud-Jouini, dkk, 2004) Ketidakpastian yang ada dalam proyek akan mengakibatkan perubahan rencana yang akan menimbulkan munculnya rework. Pada fase engineering suatu proyek EPC, beberapa departemen dengan tanggung jawab terhadap berbagai bidang yang berbeda harus saling bekerja sama. Ketidakpastian dan penggunaan concurrent engineering akan membuat departemen-departemen ini harus bekerja berdasarkan asumsi, yang akan meningkatkan error yang terjadi. Selain itu, rework akibat departemen yang berada pada upstream juga akan mempengaruhi departemen yang berada pada downstream karena kesalahan akibat error atau asumsi yang terjadi di departemen upstream akan terbawa ke departemen downstream. Penelitian tentang efek bullwhip pada rework ini sudah pernah dilakukan oleh Wibowo (2011) di mana ditemukan bahwa semakin jauh suatu departemen ke aliran upstream, semakin banyak rework yang harus dikerjakan pada departemen tersebut. Untuk menjaga pengontrolan proyek berjalan dengan lancar, perusahaan harus melakukan pengukuran kinerja terhadap semua departemen yang terkait dalam proyek. Pengukuran kinerja untuk proyek dapat dilakukan menggunakan Key Performance Indicators (KPI) (The KPI Working Group, 2000). Fase engineering suatu proyek EPC memiliki ciri khas di mana biasanya rework pada departemen upstream akan diturunkan dan mempengaruhi jumlah rework pada departemen downstream. Hal tersebut membagi jenis rework pada fase engineering proyek EPC menjadi dua; rework internal yang disebabkan kesalahan departemen itu sendiri, dan rework eksternal yang disebabkan oleh kesalahan dari departemen lain. Pengukuran kinerja yang dilakukan terhadap departemen yang bekerja dalam proyek harus merefleksikan kinerja sesungguhnya dari departemen tersebut. Dalam menentukan ukuran kinerja, performa suatu departemen tidak seharusnya menerima penalti akibat kesalahan yang bukan berasal dari departemen itu sendiri (rework eksternal). Maka dari itu, melakukan pengukuran kinerja yang tanpa mempertimbangkan faktor rework eksternal akan menghasilkan indikator performa yang tidak representatif. Hal tersebut karena akan adanya departemen yang terlihat memiliki performa lebih buruk dari departemen lainnya, walaupun hal tersebut disebabkan karena departemen yang bersangkutan harus mengerjakan lebih banyak pekerjaan yang diturunkan dari departemen lain. Metode pengukuran KPI yang umum digunakan saat ini dilakukan dengan hanya mempertimbangkan jumlah pekerjaan awal tanpa mempertimbangkan keberadaan rework. Hal ini ditunjukkan dengan penentuan baseline yang mengasumsikan semua pekerjaan dilakukan secara linear (Hartono & Muhamad, 2014). Menentukan baseline durasi proyek tanpa mempertimbangkan rework, terutama yang disebabkan oleh kesalahan departemen lain, tidak hanya akan menghasilkan indikator performa yang tidak representatif, tetapi juga akan menyebabkan pengukuran KPI yang tidak adil. Departemen-departemen yang berada di posisi downstream dalam aliran informasi akan selalu terlihat lebih buruk karena harus melakukan rework tambahan akibat kesalahan yang dilakukan departemen lain. Oleh karena itu, masih diperlukan adanya metode pengukuran KPI yang dapat menghasilkan indikator performa departemen yang setara dengan kesalahan yang dibuat oleh departemen tersebut. Penelitian mengenai pengukuran kinerja menggunakan KPI di mana keberadaan rework ikut dipertimbangkan sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Muhamad (2014). Dalam penelitian tersebut, dibuat model system dynamics yang menunjukkan dinamika rework pada suatu proyek EPC dan modifikasi yang diperlukan sehingga model tersebut cocok digunakan dalam pengukuran KPI. Penelitian tersebut memberikan konfirmasi bahwa pengukuran KPI yang dilakukan tanpa mempertimbangkan rework sama sekali akan menghasilkan pengukuran KPI dengan variasi nilai yang tinggi antar departemen-departemen yang terlibat. Variasi nilai tersebut akan membuat departemen yang posisinya berada di downstream dalam aliran informasi terlihat seakan lebih buruk dibandingkan departemen yang berada di upstream. Selain itu, penelitian tersebut dilakukan pada satu skenario dengan beberapa nilai variabel yang ditentukan berdasarkan asumsi sehingga hasil yang ditemukan masih belum bisa digunakan pada kondisi yang lebih umum. Penelitian Muhamad (2014) membatasi metode pengukuran KPI pada satu skenario saja. Agar model pengukuran KPI yang dibutuhkan dapat bermanfaat pada kasus yang lebih umum, perlu dilakukan generalisasi dengan menguji model pada lebih dari satu skenario. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian yang mengembangkan metode pengukuran KPI yang mempertimbangkan keberadaan rework turunan di mana model pada metode tersebut diuji pada banyak skenario proyek. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah: ”Mengembangkan metode pengukuran KPI baru yang dapat digunakan sebagai baseline pengukuran kinerja departemen yang dapat lebih mencerminkan performa sebenarnya dari departemen tersebut pada kondisi yang umum.” 1.3. Asumsi dan Batasan Masalah Adapun asumsi dan batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Sistem yang diamati terbatas pada fase engineering proyek EPC. 2. Pengukuran KPI yang diteliti terbatas hanya menggunakan Schedule Performance Index (SPI) saja. 3. Rework dengan hubungan timbal-balik antara dua departemen dianggap sebagai rework eksternal dan dipertimbangkan dalam model. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan metode baru untuk menentukan baseline KPI yang mempertimbangkan rework yang diberikan oleh departemen upstream (rework eksternal). 2. Membandingkan metode pengukuran KPI yang baru dengan metode pengukuran KPI yang umum digunakan pada saat ini dengan banyak skenario. 3. Mengidentifikasi pengaruh yang diberikan variabel exogenous pada model terhadap tingkat keadilan pengukuran KPI. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah agar didapatkan metode pengukuran KPI yang dapat merepresentasikan kinerja sebenarnya suatu departemen pada fase engineering proyek EPC secara lebih akurat, adil, dan representatif. Selain itu, generalisasi yang dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai metode pengukuran KPI pada kondisi yang lebih umum. Penelitian yang dilakukan terhadap metode ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada perusahaan khususnya dalam pengukuran performa suatu departemen dalam suatu proyek. Dengan demikian informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi proyek serupa di masa depan.