www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XIV, Nomor 1 : 19–26, 1989. ISSN 0216–1877 PENGARUH AMONIA TERHADAP IKAN DALAM BUDIDAYA SISTEM TERTUTUP oleh Sutomo 1) ABSTRACT EFFECT OF AMONIA ON FISH IN CLOSED CULTURE SYSTEM. Among the metabolits, amonia ranks the most dangerous excretory product Amonia accumulation causes detrimental effects to basic functions and structures of the cultured animal. Detrimental effects to the basic functions include impairment of gas exchange and inhibition of fundamental metabolic processes soon cause reductions in growth rate, physical performance, and tolerance to environmental stress (including tolerance to pollutans) and diseases. While detrimental effects to the structures include structural damage of epithelia and internal tissues. At critical NH3 concentrations, detrimental effects are augmented by high ambient of pH values, high temperature, low levels of oxygen and the presence of water pollutants. Damage increases with exposure time, and rapidly become irreversible. Pada prinsipnya, substansi-substansi yang dapat membahayakan kehidupan ikanikan dalam budidaya sistem tertutup dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yakni: kontaminan dan metabolit (sisa-sisa metabolisme). Kontaminan umumnya berasal dari bahan yang digunakan untuk pencucian dan sterilisasi alat-alat laboratorium seperti deterjen, pemanasan dan lain-lain. Zat-zat metabolit secara global dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah ektokrin (metabolit eksternal). Ektokrin ini merupakan zat racun yang dikeluarkan oleh sejenis fitoplankton dinoflagellata, yaitu Gymnodinium veneficium dan toksin yang dikeluarkan oleh beberapa jenis PENDAHULUAN Salah satu masalah yang sering dihadapi dalam budidaya ikan adalah menurunnya kualitas air pemeliharaan. Hal ini antara lain disebabkan oleh masuknya substansisubstansi pencemar yang dapat terakumulasi di dalam media pemeliharaan. Meningkatnya kadar zat-zat pencemar tersebut dapat mengganggu proses kehidupan dan setelah mencapai kadar tertentu dapat mematikan hewan peliharaan. Kasus demikian sering terjadi terutama pada ikan-ikan yang dipelihara di dalam akuarium atau budidaya sistem tertutup lainnya, yang airnya tidak atau jarang diganti. 1) Baku Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI, Jakarta. 19 Oseana, Volume XIV No. 1, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id karena itu memerlukan deflnisi yang tepat. Amonia sering didefinisikan sebagai gas NH3, nitrogen amonia dan lain sebagainya. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan amonia adalah NH3 dan NH4+, sesuai dengan istilah yang dipakai oleh KINNE (1976). Seperti telah disebutkan dalam pendahuluan bahwa amonia merupakan produk akhir metabolisme nitrogen yang bersifat racun. Oleh karena itu kehadiran amonia di dalam lingkungan perairan tentunya dapat mempengaruhi dan mengganggu hewanhewan yang hidup dalam perairan tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi amonia dalam air budidaya mengakibatkan berbagai macam kerusakan terhadap organisme terutama kerusakan pada fungsi dan struktur organ. Pada kadar yang sangat rendah kurang berbahaya, tetapi dengan meningkatnya kadar amonia, secara cepat menjadi berbahaya terhadap hewan perairan. Pengaruh amonia terhadap jenis hewan perairan tampak tidak khas. Studi perbandingan mengenai pengaruh amonia terhadap fungsi dan struktur organ tampak tidak berbeda baik hewan perairan darat maupun hewan laut, walaupun berasal dari kelompok taksonomik yang berbeda. Efek subletal NH3 adalah terjadinya penyempitan permukaan insang. Terjadinya penyempitan permukaan insang ini akan mengakibatkan kecepatan proses pertukaran gas dalam insang menjadi menurun. Selain itu efek subletal amonia juga bisa menyebabkan penurunan jumlah sel darah, penurunan kadar oksigen dalam darah, mengurangi ketahanan fisik dan daya tahan terhadap penyakit, serta mengakibatkan kerusakan struktural berbagai jenis organ, termasuk parenkhim hati. Ikan karper, Cyprinus carpio tampak lebih tahan daripada ikan Salmo gairdnerii Ikan karper, C. carpio masih dapat tumbuh hewan budidaya, misalnya oleh siput air, Biomphalaria sudanica, ikan zebra, Brachydanio rerio dan gurami biru, Trichogaster trichopterus. Golongan kedua adalah zat-zat kimia yang merupakan hasil akhir metabolisme nitrogen seperti amonia, urea, asam urat serta substansi nitrogen lainnya seperti guanin, asam amino dan oksida trimetilamin. Di antara substansi-substansi berbahaya tersebut, amonia dipandang sebagai substansi berbahaya yang paling potensial dalam sistem budidaya tertutup. Di samping sangat toksik, amonia juga merupakan senyawa nitrogen yang paling banyak diproduksi dari metabolisme nitrogen. Amonia yang terdapat dalam air tidak hanya berasal dari hasil metabolisme organisme yang hidup, tetapi juga berasal dari proses dekomposisi organisme yang telah mati dan sisa-sisa makanan. Oleh karena itu amonia sering menjadi salah satu kendala utama dalam usaha budidaya. CAMBELL (1973) menyatakan bahwa hampir seluruh hewan perairan bersifat amonotelik, karena sebagian besar hasil akhir metabolisme nitrogen vane dikeluarkan dari tubuhnya adalah amonia. Hasil penelitian PARRY (1960) menunjukkan bahwa semua krustasea adalah bersifat amonotelik, kecuali Cardisoma guanhumi Sejumlah 80% – 90% dari hasil akhir metabolisme nitrogen yang dikeluarkan oleh amfipoda dan isopoda adalah amonia. Demikian pula pada jenis kopepoda, Calanus helgolandicus yang dibudidayakan ternyata hampir 90% dari metabolit nitrogen yang dikeluarkan adalah berbentuk amonia (CORNER et al. 1972). Mengingat hal tersebut di atas, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengulas pengaruh amonia terhadap ikan budidaya. PENGARUH AMONIA TERHADAP IKAN BUDIDAYA Istilah "amonia" sering digunakan secara berbeda dalam literatur biologi dan oleh 20 Oseana, Volume XIV No. 1, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id pada kadar amonia total yang menghambat pertumbuhan Salmo gairdnerii Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan karper, C. carpio yang dipelihara pada suhu sekitar 20° C dan pH mendekati 7, bertambah beratnya dari 2,74 gram menjadi 3,30 gram selama 91 hari. Tetapi bila dalam tempat pemeliharaan ditambahkan NH4CI dengan kadar 0,3 mg/1, ternyata berat ikan tersebut berkurang dari 2,80 gram menjadi 2,77 gram dalam waktu 91 hari. Ikan karper masih dapat hidup dalam kadar NH4C1 1,2 mg/1, tetapi KAWAMOTO (dalam KINNE 1976) berpendapat bahwa ikan-ikan tersebut akan mati pada kadar yang sedikit lebih tinggi karena kegagalan dalam pernapasan. Ikan S. gairdnerii yang diperlakukan pada kadar amonia 1 mg/l, kandungan oksigen dalam darahnya berkurang sekitar 14% dari keadaan normal, tetapi kandungan karbon dioksida dalam darahnya naik sekitar 15%. S. gairdnerii yang diperlakukan dengan kadar NH3 1,64,3 mg/1 selama 24 jam menunjukkan peningkatan dalam konsumsi oksigen (53% sampai 106% di atas tingkat normal). Kenaikan kadar amonia sampai batas kritis cenderung merusak keseimbangan pertukaran gas antara organisme dengan lingkungan. REICHENBACH–KLINKE (dalam KINNE 1976) telah melakukan uji toksisitas amonia terhadap 240 individu ikan air tawar seperti Squalis cephalus, Carassius auratus, C. carassius, Gobio gobio, Esox lucius, Cyprinus carpio, Salmo gairdnerii, Rutihis rutilus dan Tinca tinca. Percobaan dilakukan dalam akuarium dengan volume 50 liter, pada suhu 16° sampai 17°C, pH 8,4 sampai 8,6; kadar NH4+ berkisar antara 1 dan 4 mg/1 (0,1 sampai 0,4 mg NH3/l). Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa amonia berpengaruh terhadap sel-sel darah, insang dan hati. Pada kadar NH4+ 3 mg/1 (0,27 mg NH 3/l) atau lebih menyebabkan pembengkakkan sel-sel insang dan hati, pelekatan filamen-filamen insang dan pertumbuhan yang berlebihan (hiperplasia). Pada waktu yang sama, jumlah sel-sel darah merah menurun. Kerusakan pada parenkhim hati dan komponen-komponen darah, secara cepat dapat mengakibatkan kematian. Anak-anak ikan yang baru menetas sangat sensitif terhadap amonia. Benih ikan Salmo gairdnerii akan mengalami kerusakan darah yang "tidak dapat pulih" (irreversible) bila dipelihara dalam air yang mengandung NH3 sebesar 0,27 mg/1. Oleh karena itu diharapkan bahwa dalam budidaya, kadar NH3 yang diperbolehkan harus di bawah konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh ikan-ikan dewasa. Perlakuan dengan amonia hidroksida pada kadar 0,7 mg/1 (setara dengan kadar NH3 0,014 mg/1 pada suhu 6°C atau 0,018 mg/1 pada suhu 14°C) baik pada suhu 6°C atau 14°C menunjukkan bahwa tingkat proliferasi dan pelekatan filamen-filamen insang meningkat pada awal minggu keempat, dan setelah itu peningkatannya tidak dapat dihitung lagi. Perpanjangan waktu perlakuan mengakibatkan kerusakan yang bersifat irreversible (tidak dapat pulih). Pemindahan ke media budidaya yang normal terbukti tidak menunjukkan pemulihan pada insang yang telah mengalami proliferasi secara ekstensif. Menurut KINNE (1976), kadar N– NH3 yang diperbolehkan dalam sistem budidaya adalah 0,001 mg/1 atau kurang. LIAO & MAYO (1972) telah membuat kriteria kadar amonia dalam budidaya ikan salmon, seperti terlihat pada Tabel 1. Kadar NH3 yang diinginkan adalah tidak boleh lebih dari 0,005 mg/1. Sementara menurut buku Pedoman Penetapan Baku Mutu lingkungan yang dikeluarkan oleh Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1988), ditetapkan bahwa kadar maksi- 21 Oseana, Volume XIV No. 1, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id Tabel 1. Kriteria kadar amonia (mg/l) dalam sistem budidaya ikan salmon (LIAO & MAYO 1972) Tingkat (level) NH3 Optimum NH4+ 0 < 0,4 Diinginkan < 0,005 < 1,0 Diperbolehkan dalam Periode waktu pendek < 0,025 < 1,6 Mulai mematikan 0,08 mum N – NH3 dalam budidaya ikan air tawar adalah 0,016 mg/1. Sedangkan untuk budidaya ikan air laut kadar NH3 sebagai N yang diperbolehkan adalah 1,0 mg/1 atau kurang, dan yang diinginkan adalah 0,3 mg/1 atau kurang. Namun demikian para ahli menganjurkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang batas kadar amonia yang dapat diterima untuk berbagai jenis ikan budidaya. Sebagai contoh, pada pH air 7,0 persentase kadar NH3 adalah 0,3, sedangkan pada pH air 7,9 persentase NH3 bebas naik sekitar 10 kali lipat yaitu 2,9% (suhu air tetap 10°C). Hal yang sama juga terjadi bila suhu air naik. Pada suhu air 10°C, persentase amoniak adalah 5,7, kenaikan suhu menjadi 20°C menyebabkan persentase amoniak naik menjadi 7,3 (pH air tetap 8,2) (Tabel 2). Distribusi NH3 dan NH4+ dalam sistem biologi tergantung pada tingkat permeabilitas membran sel terhadap kedua bentuk zat tersebut. Secara umum, membran sel permeabel terhadap NH3, tetapi relatif tidak permeabel terhadap NH4+. Seperti diketahui bahwa tingkat toksisitas amonia tergantung pada jumlah amonia yang masuk ke dalam sel. Maka dengan demikian amonia dalam bentuk NH3 merupakan substansi perusak utama daripada dalam bentuk NH4+. Anak ikan "Chinook salmon" (Onchorhyncus tshawytscha) yang diperlakukan dalam air yang mengandung NH3 sebanyak 0,006 mg/1 (suhu 6° – 14°C, pH 7,8) dapat mengakibatkan hiperplasia secara ekstensif pada epithelium insang. Perlakuan NH3 secara terus-menerus dapat merangsang timbulnya penyakit pada insang oleh bakteri. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAYA RACUN AMONIA Pengaruh pH terhadap distribusi relatif NH3 dan NH4+ pada kedua sisi membran sel dilukiskan secara skematis pada Gambar 1. Pada pH tinggi) sebagian besar NH4+ akan berubah menjadi NH3. Oleh karena NH3 lebih beracun daripada NH4+, maka budidaya ikan dalam air dengan pH tinggi lebih berbahaya dibandingkan dengan pH rendah. Pengaruh amonia terhadap proses biologi tergantung pada proporsi dan distribusi dari NH3 dan NH4+. Proporsi NH3 dan NH4+ terutama ditentukan oleh pH dan suhu air. Kenaikan pH air akan menyebabkan persentase NH3 dalam air semakin tinggi. 22 Oseana, Volume XIV No. 1, 1989 3,0 www.oseanografi.lipi.go.id I Tabel 2. Persentase NH3 dalam larutan amonium hidroksida sebagai fungsi pH dan suhu (WUHRMANN et al. dalam KINNE 1976) Suhu °C 10 15 20 Persentase NH3 bebas pH 7,0 7,5 7,6 7,7 7,8 7,9 8,0 8,1 8,2 8,3 8,4 8,5 8,8 9,0 9,5 0,3 1,1 1,4 1,8 2,3 2,9 3,6 4,6 5,7 7,1 8,9 11,1 20,3 29,1 57,6 Cairan luar 0,4 1,3 1,6 2,1 2,6 3,3 4,1 5,2 6,5 8,0 9,9 12,3 22,1 32,3 59,8 0,5 1,5 1,9 2,4 3,0 3,8 4,7 6,9 7,3 9,1 11,2 13,7 24,2 35,8 62,1 Cairan sel membran sel (a) ~ NH4 NH4' r J (b) NH3 H+ L H+ Gambar 1. Pertukaran amonia melalui membran sel. a) Tingkat permeabilitassel untuk NH4+ rendah, tetapi tinggi untuk NH3; b) Kelebihan ion H+ (pada sisi dengan pH lebih rendah) cenderung menarin NH3 dari sisi dengan pH lebih tinggi. (WARREN & SCHENKER dalam KINNE 1976). 23 Oseana, Volume XIV No. 1, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id sitas NH3 terhadap ikan S. gairdnerii Pengaruh mematikan (lethal effect) NH 3 terhadap ikan tersebut telah dipelajari oleh DOWNING & MERKENS (1955). Mereka menemukan bahwa NH3 pada kadar 0,84 mg/1 dapat mematikan ikan S. gairdnerii (pada kondisi suhu, O2 dan CO2 normal dan pH 8,2). Sedangkan pada suhu 10°C, efek mematikan didapatkan pada kadar 18 mg NH4+/1. Di samping pH, suhu dan kandungan oksigen dalam air, kehadiran beberapa zat pencemar seperti fenol, garam logam, deterjen dapat juga memperkuat daya racun amonia. Jaringan-jaringan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah, dengan mudah dapat dipenetrasi oleh NH3 dan akibatnya mudah dirusakkan. Senyawa-senyawa yang mudah mengikat besi (Fe) cenderung mempengaruhi fungsi pernafasan. Sebagai contoh, H2S masuk melalui membran sel 100 kali lebih cepat daripada O2 dan menginaktifkan Fe dalam haemoglobin (Hb). Hal ini dapat mengurangi kemampuan penjenuhan oksigen oleh jaringan, dan sebagai akibatnya NH3 lebih mudah masuk ke dalam jaringan. ELUS (dalam KINNE 1976) mendapatkan bahwa pengaruh pencemaran amonia dalam sungai dan perairan pantai, pada pH tinggi lebih berat dibanding pada pH rendah. Ikan "rainbow trout", Salmo gairdnerii dapat hidup dalam kadar amonia sepuluh kali lipat pada pH = 7, daripada dalam air dengan pH= 8 (DOWNING & MERKENS 1955). Tingkat toksisitas NH3 juga tergantung pada kadar oksigen terlarut. Pada percobaan dengan menggunakan tiga perlakuan kadar NH3 (0,86; 1,38; 1,96 ppm). pada suhu 19,8°C terhadap ikan S. gairdnerii ternyata didapatkan bahwa periode ketahanan hidup meningkat dengan bertambahnya kadar oksigen terlarut (Gambar 2). Sebagai contoh, pada kadar NH3 – N sebesar 0,86 ppm dan O2 sebesar 1,5 ppm ikan & gairdnerii hanya dapat hidup selama sekitar 10 menit, tetapi bila kadar oksigen dinaikkan menjadi 8,5 ppm, ikan tersebut dapat hidup lebih lama yaitu sekitar 1000 menit (DOWNING & MERKENS 1955). Kenaikan kadar CO2 dalam medium budidaya cenderung menambah daya toksi- 1.000 2 3 4 56 7 2 34 56 7 I 1.00 1,38 ppm 1 NH3 1 I OH 1,96 ppm 8 1.0 2 8 3 4 5 6 7 8 Oksigen terlarut (ppm) Gambar 2. Toksisitas amonia pada beberapa kadar N - NH3 dan oksigen terlarut terhadap ikan Salmo gairdnerii Lingkaran terbuka : pH 7,0; lingkaran tertutup : pH 8,2; suhu 19,8°C; air tawar. (DOWNING & MERKENS dalam KINNE 1976). 24 Oseana, Volume XIV No. 1, 1989 www.oseanografi.lipi.go.id "Amonia oksidase" CARA PENANGGULANGAN BAHAYA NH 3 DALAM BUDIDAYA SISTEM TERTUTUP a) 2NH 3 + 3,5 O 2 NO 2 Dalam pembahasan terdahulu telah dikemukakan bahwa amonia dapat mengganggu kehidupan bahkan mematikan hewanhewan yang dibudidayakan. Oleh karena itu untuk melindungi hewan-hewan budidaya dari bahaya racun amonia diperlukan usaha penanggulangan. Usaha untuk menanggulangi bahaya NH3 dalam budidaya sistem tertutup dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu: 1. Secara mekanis, yaitu dengan cara penyaringan. Bahan yang dapat digunakan sebagai penyaring bisa berupa pasir, kerikil, wool, keramik, tanah diatomae, plastik berpori, kertas saring dan lain-lain. 2. Secara fisika-kimia. Cara yang umum digunakan dalam perlakuan ini adalah absorbsi dengan karbon aktif, pengudaraan (aerasi), oksigenasi, atau ozonisasi. Menurut KINNE (1976) kedua cara mekanis dan fisika-kimia tersebut kurang efisien, tetapi baik juga dipakai sebagai metode pelengkap dalam pengurangan bahaya NH3. 3. Secara biologis. Cara ini dianggap cukup efisien dalam menanggulangi bahaya NH3 . Pada metode biologis, organisme yang memegang peranan penting adalah bakteri nitrifikasi dan alga. Kedua jenis organisme ini dapat melenyapkan atau setidak-tidaknya mengurangi NH3 dalam air budidaya dengan caranya masing-masing. Menurut SCHLE– GEL (1975), ada dua proses dasar transformasi NH3 yaitu nitrifikasi (oksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat) yang dilakukan oleh bakteri nitrifikasi, serta proses denitrifikasi (reduksi nitrat menjadi nitrit, atau nitrit menjadi nitrous oksida atau nitrogen bebas. Reaksi kimianya adalah sebagai berikut: b)NO 2 "Nitrit oksidase" ---------------- s* NO 3 "Denitrifikasi" c) NO 3 + NO 3 + CH 2 O N2, N2O Perubahan NH3 menjadi NO3 berlangsung melalui dua tahapan. Tahap pertama ialah oksidasi amonia menjadi nitrit secara enzimatis yang dilakukan oleh bakteri-bakteri seperti Nitrosomonas europaea, Nitrosocystis javaensis, Nitrosococcus oceanus, Nitrosospira briensis, dan Nitrosolobus multiformis. Tahap kedua adalah oksidasi nitrit menjadi nitrat secara enzimatis oleh bakteribakteri seperti Nitrobacter winogradskyi, N. agilis, Nitrococcus mobilis, dan Nitrospina gracilis. Molekul nitrogen dapat difiksasi oleh bakteri tertentu, ragi (yeast) dan alga hijau-biru. Nitrogen yang terdapat dalam bentuk amonia dapat dimetabolisir secara langsung oleh alga untuk pembuatan senyawa asam amino melalui proses transsaminase. Dengan demikian hadirnya amonia dalam air akan segera diserap oleh alga sehingga bahaya amonia dapat dihindari. Untuk mengurangi bahaya NH3 dapat juga dilakukan dengan menghindari jumlah ikan yang melampaui kapasitas pemeliharaan atau terjadinya akumulasi limbah makanan. Apabila keadaannya kritis, maka segera dilakukan pergantian sebagian air budidaya dengan yang baru, dan dianjurkan untuk dilakukan resirkulasi melalui perlakuan air secara biologis serta dilengkapi dengan pemisahan busa. Pengaturan pH air juga merupakan faktor penting dalam pengurangan bahaya NH3. pH air yang tinggi dapat memperkuat daya toksisitas NH3, tetapi pH yang rendah- 25 Oseana, Volume XIV No. 1, 1989 + O2 + 3H2 O www.oseanografi.lipi.go.id pun kurang baik karena dapat menekan bakteri pengoksida amonia dan mengakibatkan air tidak nyaman lagi bagi hewan-hewan laut. Oleh karena itu pH air budidaya sebaiknya diusahakan agar tetap berkisar antara 7,6 – 8,2. Apabila pH air terlalu rendah, maka untuk menaikkannya bisa ditambahkan kalsium oksida atau magnesium oksida. KINNE, O. 1976. Cultivation of marine organisms : water quality management and technology. In : "Marine Ecology" (O, KINNE ed.). Vol. III Part. I. Wiley, London : 19–268. DAFTAR PUSTAKA PARRY, G. 1960. Excretion. In : "The physiology of Crustacea metabolism and growth" (J.H. WATERMAN ed.). vol. 1 Acad. Press. New York : 341–366. LIAO, P.B. and R.O. MAYO 1972. Salmonid hatchery water reuse systems. Aquaculture 1 : 317–335. CAMPBELL, J.W. 1973. Nitrogen excretion In: "Comparative animal physiology" (PROSSER, C.L. ed.). W.B. Saunders Company. Philadelpia: 234–257. CORNER, E.D.S., R.N. HEAD and C.C. KILVINGTON 1972. On the nutrition and metabolism of zooplankton. VI : The form of nitrogen excreted by Calarnus. J. Mar. Biol. Ass. U.K. 47: 113–120. DOWNING, KM. and J.C. MERKENS 1955. The influence of dissolved oxygen concentration on the toxicity of un-ionized ammonia to rainbow trout (Salmo gairdnerii RICHARDSON). Ann. Appl. Biol. 43 : 243–246. SCHLEGEL, H.G. 1975. Mechanism of chemo-autotrophy. In : "Marine Ecology". (O, KINNE. ed.). Vol. II, Part I. Wiley, London : 9 – 60. SEKRETARIAT MENTERI NEGARA KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP 1988. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan lingkungan Hidup. Nomor Kep-02/–MENKLH/I/1988 : 57 hal. 26 Oseana, Volume XIV No. 1, 1989