BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepel (Stelechocarpus burahol)
Kepel (Stelechocarpus burahol) dikenal oleh masyarakat Jawa dengan
sebutan kepel, kecindul atau cindul, sedangkan untuk daerah Pasundan dikenal
dengan nama burahol. Pohon ini memiliki taksonomi sebagai berikut:
kingdom : Plantae
famili
: Annonaceae
genus
: Stelechocarpus
spesies
: Stelechocarpus burahol (Blume) Hook F. & Thomson
Pohon kepel merupakan pohon tradisi yang erat dengan adat Jawa, terutama di
daerah Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Konon jaman dahulu kepel hanya
boleh ditanam oleh Bangsawan atau Pejabat Tinggi Keraton yang menunjukkan
kewibawaan pejabat tinggi saat itu, dalam arti dapat memimpin punggawa keraton
dengan baik. Ada juga yang mengartikan bahwa orang yang memiliki pohon kepel
adalah bangsawan yang dekat atau kepercayaan raja (Sunarto 1992).
Buah kepel berbentuk bulat dengan pangkal meruncing seperti buah buni
dan berwarna coklat tua dan menempel pada batang. Daging buah rasanya manis
dan berair. Setiap buah memiliki biji yang keras sebanyak 4-6 biji, karena kulit
biji
sangat
keras
maka
untuk
perkecambahan
(perkembangbiakannya)
membutuhkan perlakuan mekanis. Ketinggian pohonnya dapat mencapai 15-20
meter dengan diameter batang 60 cm. Batang berwarna pepagan cokelat tua
dengan permukaan tidak merata karena bekas tempat bunga dan buah keluar.
Daunnya berbentuk elip-lonjong hingga bundar-lanset dengan panjang 12-27 cm
dan lebar 5-9 cm. Bunga jantan terdapat pada batang bagian atas dan cabang lebih
tua, dan bunga betina terdapat pada batang bagian bawah (BKKHN 2011).
Kepel merupakan bagian dari famili Annonaceae dengan nama latin
Stelechocarpus burahol, dapat tumbuh di daerah yang memiliki ketinggian 150300 meter di atas permukaan laut dan berbunga setelah berumur 8 tahun pada
bulan September-Oktober, namun buah dapat dipanen selama 6 bulan setelah
berbunga yaitu pada bulan Maret-April. Di Jawa, tanaman ini sudah jarang
5
ditemukan karena isi buah yang sebagian besar adalah biji sehingga tidak ada
orang yang tertarik untuk membudidayakannya dan juga karena adanya sistem
kepercayaan yang menganggap bahwa pohon ini hanya layak ditanam oleh warga
keraton. Bagian pohon ini terdiri dari biji, buah, daun dan kayu yang secara
keseluruhan mempunyai nilai manfaat yang besar. Buahnya dapat dimakan segar
dan berkhasiat sebagai bahan obat maupun kosmetika. Daging buahnya yang
berwarna jingga dan mengandung sari buah telah memberikan aroma seperti
bunga viola pada ekskresi tubuh. Selain itu, buah ini dipercaya memiliki banyak
khasiat. Daging buah kepel dapat memperlancar air kencing dan mencegah
inflamasi ginjal (INN 2002).
Gambar 1 Pohon, daun dan buah Kepel (TO 2008).
Daging buah kepel ini digunakan oleh para wanita bangsawan di Jawa
sebagai parfum . Kayunya dapat digunakan sebagai bahan industri atau bahan
perabot rumah tangga dan bahan bangunan yang tahan lebih dari 50 tahun. Daun
kepel bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi asam urat. Lalap daun kepel
mampu menurunkan kadar kolesterol. Di samping itu pohon kepel juga
6
mempunyai nilai estetika sebagai tanaman hias berpotensial, daunnya yang
muncul secara serentak berubah dari merah muda pucat menjadi merah sebelum
berubah lagi menjadi hijau cemerlang. Pohonnya berbentuk piramid dengan
banyak cabang lateral yang tersusun secara sistematik, dan sifatnya yang kaulifor
(cauliflory) menambah keindahannya (Sunarto 1992).
2.2 Deodoran Oral
Odoran yang dihasilkan dari aktivitas tubuh berasal dari makanan, tubuh
hewan, urine dan feses atau campuran dari keduanya. Tetapi bau yang paling
signifikan berasal dari ekskreta seperti urine dan feses (Phung et al. 2005). Dari
tubuh sendiri, kelenjar apokrin merupakan kelenjar yang berperan untuk
menghasilkan keringat. Permasalahan bau badan pada manusia umumnya berasal
dari sekresi apokrin yang difermentasi oleh bakteri aksiler sehingga menimbulkan
bau yang sangat menyengat (Yamakoshi et al. 2002).
Bau pada ekskreta tubuh, seperti urine dan feses dapat disebabkan karena
aktivitas mikroba saluran pencernaan yang menghasilkan nitogen volatil
(amonia), senyawa amina (trimetilamin), senyawa produk dekomposisi usus
(indol, skatol, kresol, fenol, tiol) dan senyawa sulfida (metil merkaptan) (Curtis et
al. 2004). Curtis juga telah mengelompokkan odoran-odoran yang dihasilkan
tubuh yaitu amonia dan volatil amin, komponen sulfur, volatile fatty acid (VFA)
pada ruminansia, indol dan fenol, alkohol, dan karbonil (Curtis 1993).
Senyawa-senyawa odoran dapat bersumber dari pakan yang dimakan
sehari-hari. Perbedaan pola makan yang terdapat di berbagai daerah merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah senyawa odoran yang dihasilkan
(Phung et al. 2005). Faktor lain yang sangat mempengaruhi konsentrasi senyawa
odoran adalah komposisi pakan dan faktor lingkungan.
Banyak cara yang dilakukan agar dapat menghilangkan bau badan, salah
satunya adalah dengan menggunakan deodoran. Deodoran saat ini bekerja dengan
dua cara, yaitu menutup bau dan mengikat senyawa penghasil bau . Umumnya,
deodoran diaplikasikan secara topikal pada permukaan tubuh yang banyak
mengeluarkan keringat seperti aksila. Deodoran yang diberikan secara topikal
tersebut berfungsi untuk menghambat laju pertumbuhan mikroorganisme. Selain
7
deodoran topikal, penggunaan deodoran juga dapat dilakukan secara oral.
Deodoran oral merupakan deodoran yang diaplikasikan melalui makanan atau
pakan yang berbasis herbal
dan secara efektif dapat mengurangi bau pada
ekskreta tubuh termasuk urine dan feses (Yamakoshi et al. 2002).
Deodoran oral yang efektif dan ekonomis dalam mengurangi bau ekskreta
telah dipatenkan oleh Yamakoshi et al. (2002), yakni dengan mengombinasikan
proantosianidin dari ekstrak biji anggur dan ekstrak jamur champignon.
Perpaduan kedua zat ini secara signifikan mampu menurunkan bau dari ekskreta.
Efektivitas pengujian yang dilakukan adalah uji organoleptik, pengukuran kadar
metil merkaptan, amonia, metil-amin, dan aktivitas mikroba bifidobakter serta
produk dekomposisi usus (Yamakoshi et al. 2002).
Deodoran
oral bekerja secara efektif menurunkan zat-zat yang
menyebabkan bau tubuh seperti metil merkaptan, amonia dan metil-amin yang
diekskresikan oleh tubuh. Selain itu, deodoran oral juga dapat meningkatkan
aktivitas bifidobakteri sebagai mikroflora normal usus dalam menekan populasi
enterobakter. Peningkatan aktivitas tersebut ditandai dengan meningkatnya
populasi bakteri sehingga dapat mendegradasi produk-produk dekomposisi usus
yaitu fenol, kresol, indol, dan skatol yang terdapat dalam feses (Yamakoshi et al.
2002).
Usaha lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan produksi senyawa
odoran adalah dengan memberikan diet yang berfokus pada jumlah protein pakan.
Semakin tinggi kandungan protein pada pakan maka akan semakin menaikkan
jumlah senyawa odoran yang dihasilkan. Selain memberikan diet yang berfokus
pada protein, pemberian feed additive pada pakan merupakan hal yang dapat
mengurangi senyawa odor dari hewan. Prinsip yang digunakan oleh feed additive
untuk mengurangi produksi senyawa odoran adalah dengan mengubah jumlah
mikroflora yang terdapat dalam saluran pencernaan, merubah pH sehingga kondisi
menjadi kurang baik untuk senyawa odoran, dan dengan menyerap odor (Ritter
1989).
Menurut Canh et al. (1998), mengubah pH merupakan prinsip yang
banyak diperhatikan oleh para peneliti. Pada pH rendah, amonia akan membentuk
ion amonium sehingga emisi amonia akan berkurang. Beberapa garam yang
8
ditambahkan pada pakan untuk mengurangi emisi amonia dengan cara
menurunkan nilai pH adalah garam yang mengandung Ca seperti CaSO4, CaCl2,
dan kalsium benzoat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian garam ini
dapat mengurangi emisi gas amonia sebesar 30%, 33% dan 54%. Namun pada pH
rendah, emisi amonia akan berkurang tetapi kondisi ini dapat menambah emisi
hidrogen sulfida. Hal ini menunjukkan bahwa mengurangi senyawa odor dengan
cara mengubah pH merupakan cara yang belum terevaluasi dengan hasil yang
baik.
2.3 Amonia dan Volatil Amin
Kotoran merupakan sisa dari makanan yang tidak dicerna dan
mengandung protein, lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya. Amonia
yang merupakan salah satu hasil dekomposisi protein adalah gas alkalin yang
mempunyai daya iritasi tertinggi dan dapat dihasilkan juga melalui dekomposisi
senyawa organik. Dari kotoran yang berkaitan dengan nitrogen inilah menjadi
sumber bagi mikroorganisme yang menghasilkan gas amonia, nitrit, nitrat dan
sulfida yang menyebabkan bau.
Amonia dan volatil amin merupakan senyawa yang memiliki bau tajam
dan dapat bersumber dari urea (Spoelstra 1980). Konsentrasi amonia pada
kandang domba mencapai 8 ppm, pada kandang babi mencapai 5-18 ppm, dan
pada kandang unggas mencapai 5-30 ppm. Salah satu penelitian di USA juga
melaporkan bahwa amonia dengan konsentrasi sebesar 7 ppm sudah dapat
menyebabkan gejala klinis pada pekerja (Donham et al. 1989). Hewan babi, ayam
pedaging dan ayam petelur akan merasakan gangguan jika konsentrasi amonia
mencapai 20 ppm (Wathes et al. 2002).
Amonia yang muncul pada feses banyak bersumber dari pemecahan urea.
Urea dibentuk di hati sebagai produk akhir dari metabolisme protein dan akan
diekskresikan melalui urine. Urea yang terdapat pada urine dan berkontak
langsung dengan feses akan mengalami proses hidrolisis oleh enzim urease yang
terdapat pada feses. Hal ini menyebabkan urea akan berubah menjadi ion
amonium dan beberapa ion amonium ini akan diubah menjadi amonia bebas
(Aarnink et al. 1993). Jumlah amonia yang diemisikan ke udara bergantung pada
9
konsentrasi amonia, pH, dan suhu. Jumlah amonia akan bertambah jika pH feses
semakin besar. Feses yang memiliki pH sekitar 7 maka amonia akan muncul
sebagai ion amonium dan kondisi ini dapat mengurangi volatilitas gas amonia
(Aarnink 1997).
Diantara gas-gas yang diekskresikan melalui feses, gas yang paling banyak
menimbulkan masalah bagi kesehatan dan produktifitas adalah gas amonia.
Menurut H. Setiawan 1996, pengaruh yang ditimbulkan dari berbagai kadar
amonia terlihat pada tabel berikut.
Tabel 1 Pengaruh amonia terhadap manusia dan ternak
5
Gejala/pengaruh yang ditimbulkan pada manusia dan
ternak
Kadar paling rendah yang tercium baunya
6
Mulai timbul iritasi pada mukosa mata dan saluran nafas
11
Penurunan produktifitas ternak
25
Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 8 jam
35
Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 10 menit
Kadar amonia (ppm)
40
50
Mulai menyebabkan sakit kepala, mual, dan hilang nafsu
makan pada manusia
Penurunan drastis pada produktivitas ternak dan juga
terjadi pembengkakan bursa fabricious pada ayam
Sumber: Setiawan (1996)
Volatil amin yang merupakan senyawa odoran yaitu metilamin,
trimetilamin, etilamin, cadaverin, dan putrescin (Phung et al. 2005). Trimetilamin
merupakan basa nitrogen volatil yang sangat mudah menguap, sehingga tidak
jarang trimetilamin digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kesegaran
suatu makanan, terutama pada ikan dengan menghitung nilai total volatil nitrogen
(TVN). Pada proses pembusukan ikan, trimetilamin dihasilkan melalui aktivitas
bakteri proteolitik dalam menguraikan protein menjadi senyawa protein yang
lebih sederhana dan mereduksi trimetilamin oksida menjadi trimetilamin.
Semakin tinggi aktivitas bakteri maka semakin tinggi nilai TVN (Siagian 2002).
10
Volatil amin merupakan senyawa yang didapatkan melalui metabolisme
kandungan protein yang terjadi pada kondisi anaerobik. Volatil amin diproduksi
melalui reaksi dekarboksilasi dari asam amino. Selain itu, volatil amin juga dapat
diproduksi melalui proses aminasi dari aldehid dan reaksi demetilasi dari senyawa
kolin (Drasar & Hill 1974).
2.4 Fenol dan Indol dalam Feses
Fenol merupakan salah satu zat metabolik toksik hasil fermentasi protein
oleh bakteri pembusuk yang ada dalam usus. Selain fenol, zat metabolik toksik
hasil fermentasi protein adalah amoniak dan senyawa amina, hidrogen sulfida,
histamine, nitrosamin, kresol, indol dan skatol, esterogen, dan lain-lain. Fenol dan
kresol merupakan hasil degradasi tirosin oleh mikroba di saluran pencernaan
hewan. Tirosin akan dideaminasi membentuk 4-hydroxyphenylpropionic acid.
Senyawa ini akan mengalami dekarboksilasi membentuk 4-ethylphenol kemudian
dioksidasi menjadi 4-hydroxyphenylacetic acid. Setelah itu, senyawa ini akan
mengalami dekarboksilasi kembali menjadi p-kresol dan dioksidasi menjadi 4hydroxybenzoic acid, kemudian senyawa inilah yang juga akan mengalami
dekarboksilasi membentuk fenol. Seluruh proses ini juga dipengaruhi oleh peran
bakteri Clostridium dan Escherichia coli (Drasar & Hill 1974).
Fenol diserap di usus besar dan mengalami detoksifikasi di hati melalui
reaksi konjugasi dengan asam glukuronat menghasilkan glucuronides atau asam
sulfur dan berakhir menjadi sulfat. Urine yang mengandung glucuronides jika
berkontak langsung dengan feses akan dihidrolisis oleh enzim β-glucuronidase
yang terdapat pada feses dan kembali membentuk fenol (Smith & Williams 1966).
Pada dasarnya senyawa-senyawa ini bersifat basa karena 40-50 % padatan
feses adalah bakteri. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap 300
gram feses basah terdapat 186 mg kadar amonia, 1,4 mg fenol, 12,2 mg parakresol, 8,5 mg indol, dan 3,3 mg skatol. Selain itu juga terbentuk Ndimetilnitrosamin sekitar 0,067-0,67 mg per hari per 75 kg berat badan manusia.
Proses pembusukan yang dilakukan oleh mikroba tidak hanya terjadi di usus saja,
zat metabolik toksik hasil fermentasi protein juga diperoleh jika mikroba yang ada
11
dalam udara menyerang protein, peptida, dan asam amino pada telur, ikan, dan
daging (Silalahi 2006).
Indol dan skatol adalah senyawa yang diproduksi di usus besar hewan dan
merupakan hasil fermentasi dari asam amino triptophan. Senyawa ini akan diserap
dan mengalami detoksifikasi di hati dan kemudian akan diekskresikan melalui
urine. Bagian indol dan skatol yang tidak terserap akan dibuang melalui feses.
Bakteri yang berpengaruh dalam proses fermentasi triptophan menjadi indol dan
skatol adalah E.coli dan Proteus (Capel et al. 1974). Proses yang sama seperti
pada fenol, indol yang terdapat pada urine apabila kontak langsung dengan feses
juga akan dihidrolisis membentuk indol kembali.
Pada usus besar, triptophan diubah menjadi asam indol-3-asetik oleh
bakteri E.coli terjadi melalui proses dekarboksilasi (Chung et al. 1975). Kemudian
asam ini akan didegradasi oleh Lactobacillus menjadi skatol (Yokoyama &
Carlson 1974). Menurut penelitian yang dilakukan Mikkelsen & Jensen (1996)
ditemukan bahwa bakteri Clostridium scatologenes dapat mengubah senyawa
indol secara langsung menjadi skatol.
Hasil metabolik toksik ini berbahaya bagi tubuh karena dapat
menimbulkan berbagai penyakit. Hidrogen sulfida dan amonia adalah toksin yang
mampu merusak lever, histamin dapat memperbesar berbagai penyakit alergi,
indol dan fenol dianggap sebagai zat karsinogen (zat-zat yang dapat menyebabkan
kanker). Pada kondisi konstipasi, zat-zat ini akan di absorpsi tubuh sehingga dapat
menyebabkan intestinal toksemia yang dimana kondisi ini sangat berbahaya bagi
penderita sirosis hati. Hal ini dikarenakan adanya kolon yang statis sehingga
menyebabkan terjadinya pemecahan urea oleh bakteri yang akan mempercepat
timbulnya hepatic encephalopati pada penderita sirosis hati (Silalahi 2006).
Substansi-substansi yang dihasilkan mikroba pembusuk (amonia, fenol,
kresol, indol, skatol, dsb) merupakan penyebab timbulnya bau yang tidak sedap.
Bau makanan yang telah basi merupakan salah satu proses alami yang didupliksi
dalam sistem pencernaan oleh mikroba dalam usus, sehingga amonia, fenol,
kresol, indol, dan lain-lain merupakan penyebab terjadinya bau pada feses. Semua
substansi ini diproduksi secara alami dalam sistem pencernaan makanan (Silalahi
2006).
12
2.5 Mencit (Mus musculus)
Hewan percobaan yang sering digunakan untuk peneltian di bidang
kedokteran terbagi atas 5 kelompok, yaitu hewan laboratorium berukuran kecil
(mencit, tikus, kelinci), karnivora (kucing dan anjing), primata (Macaca dan
babon), hewan domestik besar (domba, sapi, babi), dan kelompok hewan lainnya
(unggas) (Wolfenshon & Lloyd 1998). Menurut Malole dan Parmano (1998),
pemilihan hewan laboratorium untuk penelitian harus mempertimbangkan spesies
dan kondisi fisiologisnya. Pada penelitian yang berkaitan dengan antraks dan
rabies sebaiknya menggunakan mencit, begitu pula penelitian yang berkaitan
dengan enterobaktericeae juga menggunakan mencit dan tikus sebagai hewan
laboratorium. Kelinci biasa digunakan untuk penelitian hiperkolesterolemia
karena peka terhadap kolesterol dan biasa menyimpan lemak tubuh dalam jumlah
yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap
pakan yang mengandung kolesterol (Sirois 2005).
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan rodensia yang sering digunakan
untuk penelitian dan mempelajari teratologi, genetik, gerontologi, toksikologi, dan
karsinogenitas. Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut
kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
subfilum
: Vertebrata
kelas
: Mamalia
subkelas
: Theria
ordo
: Rodensia
subordo
: Sciurognathi
famili
: Muridae
subfamili
: Murinae
genus
: Mus
spesies
: Mus musculus (Besselsen 2004)
Penggunaan mencit sebagai hewan coba dapat dikarenakan mencit
memiliki sistem manajemen pemeliharaan yang mudah sehingga dapat dipelihara
dalam jumlah banyak, selain itu mencit juga memiliki variasi genetik yang cukup
besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya yang terkarakterisasi dengan baik
13
(Malole & Pramono 1989). Mencit juga memiliki potensial reproduksi yang
tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka hidup yang pendek, berukuran
kecil, dan harga relatif murah (Sirois 2005).
Gambar 2 Mencit (Mus musculus) (DetoxiProt 2009).
Mencit memiliki ukuran tubuh yang kecil sehingga mudah untuk
dikendalikan. Pada bagian ekor mencit juga terdapat rambut-rambut halus yang
menutupi bagian permukaannya. Mencit juga memiliki beberapa kelenjar seperti
saliva, paratiroid, submaksilari, sublingual, dan kelenjar Harderian. Rata-rata
umur yang dimiliki oleh mencit adalah 1 sampai 3 tahun dengan berat badan
umum mencit jantan dewasa berkisar 20 sampai 40 gram dan betina 22 sampai 63
gram. Mencit memasuki usia dewasa pada umur 6 minggu dan memiliki masa
kebuntingan selama 19 sampai 21 hari (Sirois 2005).
Download