BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori Dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Teori Tentang Hasil Belajar Afektif a. Pengertian Belajar Kehidupan manusia sehari-harinya pasti tidak lepas dari kegiatan belajar. Belajar adalah kata kunci yang paling penting dalam setiap usaha dalam pendidikan, sehingga pendidikan tidak akan pernah ada bila tanpa belajar. Belajar menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah” perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi sebagai hasil dari pengalaman” (KBBI, 2008). Banyak ahli pendidikan mengemukakan pengertian belajar yang berbeda antar satu dan yang lain, tetapi semua pengertian yang ada selalu mengacu pada prinsip yang sama yaitu mengalami perubahan pada orang yang melakukan proses belajar. Ada beberapa teori yang berpendapat bahwa proses belajar pada prinsipnya bertumpu pada struktur kognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga membentuk satu kesatuan yang memiliki makna bagi subjek didik (Sardiman, 2004:20). Teori semacam ini boleh jadi diterima, dengan suatu alasan bahwa dari struktur kognitif dapat mempengaruhi perkembangan afeksi ataupun penampilan seseorang. Menurut Slavin, dalam Anni (2004:2) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah seperti dalam teori belajar persepsi yang dikembangkan oleh Arthur Comb dalam Sutarto, dkk (1999:44) menyatakan bahwa belajar dipengaruhi oleh cara-cara individu dalam menerima dirinya sendiri dengan lingkungannya. Geoch dalam Sardiman A.M (2005:20) mengatakan “Learning is a change in performance as a result of pratice”, belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai hasil praktik. 8 9 Santrock (2008) mengungkapkan bahwa “belajar adalah perubahan yang relatif permanen pada perilaku, pengetahuan dan kemampuan berpikir yang diperoleh karena pengalaman”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Slameto (2010) bahwa “belajar adalah satu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan”. Sementara menurut W.S. Wikel (1999:53) “Belajar atau yang disebut dengan Learning adalah perubahan yang secara relative berlangsung lama pada perilaku yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman. Belajar pada manusia merupakan suatu aktifitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan dan pemahaman, ketrampilan dan sikap”. Belajar berasal dari kata ajar yang berarti mencoba (trial) yaitu kegiatan mencoba sesuatu yang belum atau tidak diketahui (Idris, 2009:01). Berdasarkan definisi diatas, belajar pada dasarnya suatu kegiatan untuk mengetahui sesuatu dan pada akhirnya akan menimbulkan suatu perubahan yang baik dari segi pengetahuan, ketrampilan dan sikap.Perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Sementara itu Belajar menurut (Riyanto, 2009: 6) adalah suatu proses untuk mengubah permormansi yang tidak terbatas pada ketrampilan, tetapi juga meliputi fungsi-fungsi, seperti skill, persepsi, emosi, proses berpikir, sehingga dapat menghasikan perbaikan performansi. Sedangkan, Winkel mengemukakan bahwa dalam belajar kognitif didapatkan dua aktivitas kognitif, yaitu mengingat dan berpikir (Riyanto, 2009: 48). Dalam psikologi, apa yang dipelajari tidak harus benar atau adatif (kita bisa mempelajari kebiasaan baik dan kebiasaan buruk), tidak harus dengan sadar atau sengaja (salah satu kelebihannya adanya pembimbing kiata dalam menguasai ketrampilan tertentu adalah karena keberadaannya membuat kita menyadari kesalahan apa yang telah kita pelajari 10 secara tidak sadar), dan tidak harus melibatkan tindakan lahiriah (sikap dan emosi bisa kita pelajari sebagaimana pengetahuan dan keterampilan). Wayan Seregeg (Riyanto, 2009: 53) hendaknya dalam belajar pengetahuan perlu mengkonseptualisasikan informasi yang baru dengan konsep yang telah dimiliki, agar belajar anak (siswa) menjadi penuh bermakna (meaning verbal learning).Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik-sosio menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya (Suprijono, 2013: 3). Belajar adalah proses mendapatkan pengetahuan. Perolehan dan upaya penambahan pengetahuan hanyalah salah satu bagian kecil dari keciatan terbentuknya kepribadian yang utuh. Sedangkan menurut Witherington (Purwanto, 2013: 84) belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatukan diri sebagai pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian. Pengertian belajar diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa belajar merupakan sebuah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan tingkah laku dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Perubahan yang terjadi dalam proses belajar diperlihatkan dalam bentuk peningkatan di berbagai hal seperti pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, ketrampilan dan daya pikir.Perubahan tingkah laku dari seseorang merupakan pencerminan dari hasil belajar. b. Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar merupakan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar, perolehan aaspek-aspek perubahan perilaku tersebut tergantung pada yang dipelajari oleh pembelajar (Anni, 2004:4). Sedangkan menurut Gagne dan Briggs menyatakan bahwa “Hasil belajar merupakan kemampuan internal yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang telah menjadi milik pribadi seseorang dan memungkinkan orang itu melakukan sesuatu (Haryati, 2007:36). 11 Sebagai tolak ukur keberhasilan proses belajar indikator-indikatornya adalah sebagai berikut ; (1) Penguasaan materi pelajaran yang dibelajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun secara kelompok; (2) Perilaku yang disebutkan dalam tujan pembelajaran khusus dapat dicapai oleh siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan maupun kegagalan siswa dapat digunakan acuan patokan, misalnya : a) Istimewa, apabila seluruh materi pelajaran dikuasai siswa; b) Baik sekali: 85% sampai dengan 94% materi pelajaran dapat dikuasai; c) Baik: 75% sampai dengan 84% materi pelajaran dikuasai siswa; d) Kurang: apabila materi pelajaran kurang dari 75% dikuasai siswa. (Sutikno, 2013:25) Hasil belajar adalah kemampuan yang diperolah anak setelah melalui kegiatan belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perilaku yang relatif menetap. Hasil belajar dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Keller dalam Abdurrahman (1999:38) memandang hasil belajar sebagi keluaran dari suatu pemrosesan dua kelompok masukan yang berupa informasi, yaitu kelompok masukan pribadi dan kelompok masukan yang berasal dari lingkungan. Masukan pribadi terdiri dari .motivasi, harapan untuk berhasil, inteligensi dan penguasaan awal, evaluasi kognitif terhadap kewajaran, masukan dari luar yaitu rancangan dan pengeloaan motivasional, rancangan dan pengeloaan kegiatan belajar, rancangan dan pengeloaan ulangan penguatan. Salah satu indikator tercapai atau tidaknya suatu proses pembelajaran adalah dengan melihat hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Hasil belajar merupakan cerminan tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan dari proses belajar yang telah dilaksanakan yang pada puncaknya diakhiri dengan suatu evaluasi. Hasil belajar diartikan sebagai hasil ahir pengambilan keputusan tentang tinggi rendahnya nilai siswa selama mengikuti proses belajar mengajar, 12 pembelajaran dikatakan berhasil jika tingkat pengetahuan siswa bertambah dari hasil sebelumnya (Djamarah, 2000: 25). Sedangkan menurut Terry Overton (2008) mengemukakan bahwa : Test is a method to determine a student’s ability to complete certain tasks or demontstrate mastery of a skill or knowledge of content. Some types would be multiple choice tests or a weekly spelling test. While it commonly used interchangeably with assesment, or even evaluation, it can be distinguished by the fact that a test is one form of an assesment. Tes adalah suatu metode untuk menentukan kemampuan siswa menyelesaikan sejumlah tugas tertentu atau mendemonstrasikan penguasaan suatu keterampilan atau pengetahuan pada suatu materi pelajaran. Beberapa tipe tes misalnya tes pilihan ganda atau tes mengeja mingguan. Seringkali penggunaannya tertukar dengan asesmen, atau bahkan evaluasi (penilaian), yang mana sebenarnya tes dapat dengan mudah dibedakan berdasarkan kenyataan bahwa tes adalah salah satu bentuk asesmen. Hasil belajar merupakan bagian dari hasil komponen pembelajaran salah satunya pada ranah kognitif. Siswa dikatakan berhasil dalam belajar jika siswa benar-benar mengerti materi yang dipelajari. Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan pada ranah kognitif dapat diukur melalui beberapa aspek, salah satunya aspek yang di dasarkan pada taksonomi Bloom yang meliputi C1 (hafalan), C2 (pemahaman), C3 (penerapan), C4 (analisis), C5 (sintesis) dan C6 (evaluasi), (Rustaman 2005). Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan tidak terlepas mempelajari fakta, konsep dan prinsip kewarganegaraan. Hasil belajar yang diukur pada penelitian ini lebih ditekankan pada ranah kognitif. Hasil belajar merupakan tingkat penguasaan yang dicapai oleh murid dalam mengikuti program belajar mengajar, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:3), hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Sedangkan hasil belajar menurut Arikunto (2001:63) sebagai hasil yang telah dicapai seseorang setelah mengalami proses belajar dengan terlebih dahulu mengadakan evaluasi dari proses belajar yang dilakukan. 13 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar dapat dikatakan tuntas apabila telah memenuhi kriteria ketuntasan minimum yang ditetapkan oleh masing-masing guru mata pelajaran dan sebagai suatu pencapaian dari apa yang seseorang pelajari sehingga mengalami adanya perubahan pemikiran yang lebih maju. Perubahan tersebut sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki kegiatan belajar mengajar. c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut Abu Ahmadi (2013: 138) antara lain : 1. Faktor jasmaniah, meliputi penglihatan, pendengaran, struktur tubuh dan sebagainya. 2. Faktor psikologis, terdiri dari: (a) Faktor intelektif meliputi, faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat; serta faktor kecakapan yaitu prestasi yang telah dimiliki. (b) Faktor non intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, penyesuaian diri. 3. Faktor kematangan fisik dan psikis, meliputi: (a) Faktor sosial, meliputi lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kelompok. (b) Faktor budaya, seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian. (c) Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim. 4. Faktor lingkungan spritual atau keamanan. Sedangkan, menurut Purwanto (Ketut Dharma, 2008: 159), faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar adalah faktor internal dan faktor eksternal. Disamping itu, menurut Purwanto (2013: 107) menjelasakan masih ada faktor lain yang mempengaruhi proses dan hasil belajar yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Faktor luar a. Lingkungan, meliputi alam dan sosial. b. Instrumental, meliput kurikulum/bahan ajar, guru/pengajar, sarana dan fasilitas, adminstrasi./manajemen. 2. Faktor dalam a. Fisiologi, meliputi kondisi fisik dan panca indera. b. Psikologi, meliputi bakat, minat, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif, 14 Proses belajar mengajar dipengaruhi beberapa faktor yang yang mempunyai indikasi terhadap prestasi belajar. Faktor-faktor tersebut digolongkan menjadi dua yaitu faktor intern dan faktor ekstern. “Faktor intern adalah suatu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Contohnya adalah faktor jasmaniah yang terdapat dalam tubuh misalnya kondisi kesehatan, cacat tubuh, minat dan bakat yang dimiliki oleh siswa. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar individu”. Contohnya adalah faktor lingkungan keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal siswa dan faktor keadaan masyarakat. (Djamarah, 2002:142). Menurut Slameto (2003), prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh bentuk nilai. Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor intern yang meliputi faktor jasmaniah (kesehatan dan cacat tubuh) dan faktor psikologi intelegensi, (bakat, minat, motif, kematangan, dan kelelahan). Sedangkan faktor ekstern meliputi faktor keluarga (cara mendidik orang tua, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga dan keperluan keluarga), faktor sekolah (metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa siswa, disiplin sekolah dan alat pelajaran), dan faktor masyarakat (kegiatan siswa dengan dalam masyarakat, media masa, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat). Tujuan proses belajar mengajar secara ideal adalah agar bahan yang dipelajari Tujuan proses belajar mengajar secara ideal adalah agar bahan yang dipelajari dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Salah satu usaha untuk mencapai hal itu adalah dengan pengembangan prinsip belajar tuntas atau “mastery learning”. Maksud utama belajar tuntas adalah usaha dikuasainya bahan oleh siswa yang sedang mempelajari bahan tertentu secara tuntas” (Nasution, 2000:36). 15 d. Ranah Afektif Ranah afektif berhubungan dengan minat, perhatian, sikap, penghargaan, proses internalisasi, pembentukan karakteristik diri, dan emosi serta derajat penerimaan atau penolakan suatu obyek dalam kegiatan belajar mengajar. Kartwohl & Bloom (Dimyati & Mudjiono, 1994; Syambasri Munaf, 2001) membagi ranah afektif menjadi 5 kategori yaitu 1. Penerimaan (receiving) Jenjang ini adalah pembuka alat indera seseorang terhadap dunia luar. Ada tiga proses untuk jenjang penerimaan ini, pertama adanya kesadaran tentang apa yang sedang terjadi kita sadar adanya sejawat yang datang, orang berbicara, acara televisi, dan sebagainya. Kedua adalah kesediaan menerima apa yang terjadi tersebut sebagai stimulus. Ketiga adalah kemauan kita untuk mengontrol atau memilih stimulus mana yang akan kita perhatikan lebih lanjut. 2. Penanggapan (responding) Penanggapan adalah jenjang kedua dan lebih tinggi dari jenjang penerimaan. Penanggapan ini yang ditekankan adalah keinginan yang bersangkutan dan bukan sesuatu yang dirasakan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. 3. Penghargaan (valuing) Penghargaan adalah jenjang ketiga. Jenjang ini aktivitas efektif lebih tinggi dari jenjang pemberian penanggapan. Kalau dalam jenjang penanggapan orang yang melakukannya baru menunjukkan rasa senang dan gembira dapat memberikan penanggapan, dalam jenjang penghargaan ini sudah sampai pada rasa keterikatan atau memiliki terhadap suatu stimulus. Jenjang penghargaan terbagi atas tiga kategori pula yaitu penerimaan suatu nilai, kecenderungan (preferensi) akan suatu nilai, dan keterikatan (commitment) akan suatu nilai tertentu. 16 4. Pengorganisasian (organization) Pengorganisasian adalah jenjang keempat. Pengorganisasian terjadi apabila seseorang berada dalam situasi dimana terdapat lebih dari satu nilai atau sikap. Kesamaan antara pengorganisasian dengan sintetis dalam kognitif. Keduanya berhubungan dengan berbagai jenis dan kelompok stimulus. Perbedaannya, dalam sintetis hasil dari proses yang diperhatikan dan dianggap sebagai hasil kemampuan intelektua, afektif hal yang diutamakan adalah proses dan kecenderungan yang diperhatikan dalam berhubungan dengan stimulus. 5. Penjatidirian (characterization) Penjatidirian adalah jenjang tertinggi afektif. Jenjang ini nilai dan sikap sudah menjadi milik seseorang. Jadi, nilai dan sikap bukan saja diterima, disenangi, dihargai, digunakan dalam kehidupan, serta diorganisasikan dengan nilai dan sikap lainnya, tetapi sudah mendarah daging pada dirinya. Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. (Yamin, 2003: 32) Sedangkan menurut Anderson (1981) dalam buku (Winarno, 2013:194) bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan. Dimana sikap adalah salah satu ranah yang amat menentukan keberhasilan seseorang dalam proses pembelajaran. e. Definisi Konseptual Hasil Belajar Hasil belajar adalah suatu pencapaian yang diperoleh oleh siswa dalam proses pembelajaran yang dituangkan dengan angka maupun dalam pengaplikasian pada kehidupan sehari-hari atas ilmu yang didapat. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si subjek belajar, tujuan, 17 motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari. f. Definisi Operasional Hasil Belajar Afektif Siswa Dari definisi konseptual tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi operasional hasil belajar afektif yaitu sebagai berikut : 1) Sikap rela berkorban atau patriotisme (a). Peduli terhadap sesama. (b). Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. 2) Menjaga persatuan (a). Saling menghargai. (b). Menahan diri. (c). Menerima perbedaan. 3) Tanggung jawab (a). Kesadaran dan kewajiban. (b). Cinta produk dan menghargai budaya asli. (c). Prestasi. 18 19 20 3. Tinjauan Organisasi Siswa Intra Sekolah Organisasi sekolah secara umum adalah kelompok kerjasama antara pribadi yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi dalam hal ini dimaksudkan satuan atau kelompok kerjasama para siswa yang dibentuk dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu mendukung terwujudnya pembinaan kesiswaan. Secara Organisasi OSIS adalah satu-satunya wadah organisasi siswa yang sah di sekolah. Oleh karena itu setiap sekolah wajib membentuk Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan OSIS di sekolah lain dan tidak menjadi bagian / alat dari organisasi lain yang ada di luar sekolah. Secara sematis di dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 226/C/Kep/0/1993 disebutkan bahwa organisasikesiswaan di sekolah adalah OSIS. Kepanjangan OSIS terdiri dari, Organisasi, Siswa, Intra, Sekolah: Masing-masing mempunyai pengertian: 1) Organisasi, secara umum adalah kelompok kerjasama antara pribadi yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi dalam hal ini dimaksudkan satuan atau kelompok kerjasama para siswa yang dibentuk dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu mendukung terwujudnya pembinaan kesiswaan. 2) Siswa adalah peserta didik pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. 3) Intra adalah berarti terletak di dalam dan di antara. Sehingga OSIS berarti suatu organisasi siswa yang ada di dalam dan di lingkungan sekolah yang bersangkutan. 4) Sekolah adalah satuan pendidikan tempat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan. Ada berbagai macam organisasi yang umumnya terdapat di lingkup sekolah, menurut Jamal Mamur Asmani (2011: 77-78) setiap sekolah Negeri wajib mempunyai organisasi sekolah sebagai berikut: 21 1) Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Secara sistematis di dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 226/C/Kep/0/1993 disebutkan bahwa organisasi kesiswaan di sekolah adalah OSIS. Dan peran OSIS antara lain sebagai berikut: a) Sebagai wadah OSIS merupakan salah satu wadah kegiatan para siswa di Sekolah bersama dengan jalur pembinaan yang lain untuk mendukung tercapainya tujuan pembinaan kesiswaan. Oleh sebab itu OSIS dalam mewujudkan fungsinya sebagai wadah untuk berekspresi, latihan kepemimpinan,ekstrakurikuler,dan wawasan wiyatamandala bagi siswa. b) Sebagai Penggerak / Motivator OSIS akan tampil sebagai penggerak apabila para pembina, pengurus mampu membawa OSIS selalu dapat menyesuaikan dan memenuhi kebutuhan yang diharapkan, yaitu menghadapi perubahan, memiliki daya tangkal terhadap ancaman, memanfaatkan peluang dan perubahan, dan yang paling penting memberikan kepuasan kepada anggota. c) Peranan yang bersifat preventif OSIS dapat menggerakan sumber daya yang ada secara eksternal, OSIS mampu mengadaptasi dengan lingkungan, seperti : menyelesaikan persoalan perilaku menyimpang siswa dan sebagainya. Dengan demikian secara preventif OSIS berhasil ikut mengamankan sekolah dari segala ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar. Peranan Preventif OSIS akan terwujud apabila peranan OSIS sebagai pendorong lebih dahulu harus dapat diwujudkan. 2) Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) Peran Paskibra antara lain: a) Untuk memperdalam sikap nasionalisme siswa b) Untuk penanaman, pemantapan dan pembentukan nilai-nilai kepribadian pada diri siswa. c) Untuk penanaman sikiap kedisiplinan melalui kegiatan baris berbaris serta latihan kepemimpinan dan bela negara. 3) Rohis Rohis yaitu suatu organisasi sekolah yang berhubungan dengan pelayanan rohani siswa. Rohis dibentuk agar siswa tidak hanya mendapatkan pendidikan duniawi tetapi juga pendidikan agama sebagai bekal mereka dalam berkehidupan yang sesuai dengan syariat Islam. Peran Rohis antara lain: a) Meningkatkan keimanan siswa. b) Menambah ilmu tentang keagamaan. c) Membentengi diri siswa dari pengaruh negatif lingkungan. 22 4) Pramuka Pramuka merupakan organisasi pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan yang dilaksanakan di Indonesia. Pramuka merupakan singkatan dari Praja Muda Karana, yang memiliki arti Rakyat Muda yang Suka Berkarya. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pramuka bertujuan untuk: a) Membentuk pribadi yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, b) Membentuk pribadi yang berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, c) Membentuk pribadi yang memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, d) Membentuk pribadi yang mengamalkan Pancasila, e) Membentuk pribadi yang melestarikan lingkungan hidup (Jamal, 2011: 77-78) 23 4. Teori Tentang Nilai-nilai Kebangsaan Siswa a. Klasifikasi Nilai Menurut Linda secara garis besar “Nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani dan nilai-nilai memberi” (Zaim Elmubarok, 2008: 7). Berikut merupakan penjelasan dari kedua kelompok tersebut: a) Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. b) Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok ini adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati. Sedangkan Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu: “a) Nilai Material, b) Nilai Vital, c) Nilai Kerohanian” (Kaelan, 2004: 89). Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Nilai Material adalah sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia. b) Nilai Vital adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. c) Nilai kerohanian adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu: (1) Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta). (2) Nilai keindahan atau nilai estetis, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia. (3) Nilai religius, yaitu nilai yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia. 24 Notonagoro berpendapat bahwa: Nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian, tetap nilai-nilai kerohanian yang mengaku adanya nilai material dan nilai vital. Dengan demikian, nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sistematis-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar sampai pada sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan (Kaelan, 2004: 90). Nilai-nilai menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 7-8) diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini: “1) Agama, 2) Pancasila, 3) Budaya, 4) Tujuan Pendidikan Nasional”. Penjelasannya sebagai berikut: 1) Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilainilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. 2) Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. 25 3) Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. 4) Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Berikut ini akan dikemukakan delapan belas nilai karakter menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 9), antara lain sebagai berikut: “Religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan atau nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab”. Penjelasannya sebagai berikut: 1) Religius, yakni sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2) Jujur, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3) Toleransi, yakni sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4) Disiplin, yakni tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 26 5) Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6) Kreatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7) Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8) Demokratis, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9) Rasa ingin tahu, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10) Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11) Cinta tanah air, yakni cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12) Menghargai prestasi, yakni sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13) Bersahabat/Komunikatif, yakni tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14) Cinta damai, yakni sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15) Gemar membaca, yakni kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 27 16) Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17) Peduli sosial, yakni sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18) Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Demikianlah ke delapan belas nilai karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Nasional dalam upaya membangun karakter bangsa melalui pendidikan di sekolah/madrasah. Sebagai contoh nilai, dalam buku bahwa Direktoral Pendidikan Lanjutan Pertama, Direktoral Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Bahan Pendamping Guru Sekolah Swasta Tradisional (Islam) telah menginventarisasi Domain Budi Pekerti Islami sebagai nilai-nilai karakter yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga sekolah Islam sebagaimana disampaikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 1. Domain Budi Pekerti Islami Menurut Al-Qur’an dan Hadits Terhadap Tuhan 1. Iman dan taqwa 2. Syukur 3. Tawakal 4. Ikhlas 5. Sabar 6. Mawas diri 7. Disiplin 8. Berfikir jauh ke depan 9. Jujur 10. Amanah Terhadap Diri Sendiri 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Adil jujur Mawas diri Disiplin Kasih sayang Kerja keras Pengambil resiko 8. Berinisiatif 9. Kerja cerdas 10. Kreatif 11. Berfikir jauh ke depan /bervisi Terhadap Keluarga 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Adil Jujur Disiplin Kasih sayang Lembut hati Berfikir jauh ke depan Berfikir konstukt if Bertang Terhadap Orang lain Terhadap Masyarakat dan Bangsa 1. Adil 1. Adil 2. Jujur 2. Jujur 3. Disiplin 3. Disiplin 4. Kasih 4. Kasih sayang sayang 5. Lembut 5. Kerja hati keras 6. Bertang 6. Rendah gung hati jawab 7. Berinisiatif 7. Bijaksan 8. Kerja a keras 8. Menghar 9. Kerja gai cerdas Terhadap Alam Lingkungan 1. Adil 2. Amanah 3. Disiplin 4. Kasih sayang 5. Kerja keras 6. Berinisiatif 7. Kerja keras 8. Kerja cerdas 9. Berfikir jauh ke depan 10. Berfikir 28 11. Pengabdi 12. Berfikir an matang 12. Susila 13. Bersahaja 13. Beradab 14. Bersemangat 15. Berfikir konsturktif 16. Bertanggung jawab 17. Bijaksana 18. Cerdik 19. Cermat 20. Dinamis 21. Efisien 22. Gigih 23. Tangguh 24. Ulet 25. Berkemauan keras 26. Hemat 27. Kukuh 28. Lugas 29. Mandiri 30. Menghargai kesehatan 31. Pengendalian diri 32. Produktif 33. Rajin 34. Tekun 35. Percaya diri 36. Tertib 37. Tegas 38. Sabar 39. Ceria/perian g 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. gung jawab Bijaksan a Hemat Menghar gai kesehata n Pemaaf Rela berkorba n Rendah hati Setia Tertib Kerja keras Kerja cerdas Amanah Sabar Tenggan g rasa Bela rasa/emp ati Pemurah Ramah tamah Sopan santun Seportif Terbuka 9. Pemaaf 10. Rela berkorba n 11. Rendah hati 12. Tertib 13. Amanah 14. Sabar 15. Tenggan g rasa 16. Bela rasa 17. Pemurah 18. Ramah tamah 19. Sopan santun 20. Sportif 21. Terbuka 10. Berfikir jauh ke depan 11. Berfikir konstruktif 12. Bertanggu ng jawab 13. Bijaksana 14. Mengharga i kesehatan 15. Produktif 16. Rela berkorban 17. Setia/loyal 18. Tertib 19. Amanah 20. Sabar 21. Tenggang rasa 22. Bela rasa 23. pemurah 24. Ramah tamah 25. Sikap hormat konstruktif 11. Bertanggun g jawab 12. Bijaksana 13. Mengharga i kesehatan dan kebersihan 14. Rela berkorban (Sumber. Muchlas Samani dan Hariyanto, 2012: 48) Dari contoh tersebut di atas dapat dilihat betapa banyaknya nilai karakter asli bangsa Indonesia yang dapat digali dari khazanah budaya Indonesia. Sementara itu, dalam Desain Induk Pendidikan Karakter antara lain diutarakan bahwa: Secara subtantif terdiri atas 3 (tiga) nilai operatif (operative value), nilainilai dalam tindakan, atau tiga unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan dan terdiri atas pengetahuan tentang moral (moral knowing, aspek kognitif), perasaan berlandaskan moral (moral feeling, aspek afektif), dan perilaku berlandaskan moral (moral behavior, aspek psikomotor) (Muchlas Samani dan Hariyanto, 2012: 49). 29 Karakter yang baik (good character) terdiri atas proses-proses yang meliputi: Tahu mana yang baik (knowing the good), keinginan melakukan yang baik (desiring the good), dan melakukan yang baik (doing the good). Kecuali itu, karakter yang baik juga harus ditunjang oleh kebiasaan pikir (habit of the mind), kebiasaan kalbu (habit of the heart), dan kebiasaan tindakan (habit of action) (Muchlas Samani dan Hariyanto, 2012: 49). Nilai-nilai karakter atau nilai budi pekerti yang identik dengan moral, merupakan suatu hal yang sangat penting untuk ditanamkan kepada masyarakat/warga negara. Penanaman nilai-nilai karakter ini perlu ditanamkan dan akan sangat efektif, apabila ditanamkan kepada masyarakat/warga negara sejak dini, karena karakter anak pada masa itu belum terpengaruhi dengan karakter-karakter yang tidak baik. Sehingga akan dapat membentuk karakter anak yang bermutu dan berkualitas, yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang terkandung di dalam Pancasila. b. Pengertian Kebangsaan Kebangsaan berasal dari kata “bangsa” atau “nation” secara pengertian politik diartikan sebagai “Masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan yang tertinggi ke luar dan ke dalam” (Moerdiono, 1995: 39). Pandangan tentang bangsa dan kebangsaan sering dihubungkan dengan pendapat Ernest Renan, yang menyatakan bahwa : Keberadaan atau ketidakberadaan suatu bangsa tergantung pada kehendak individu: penduduk dari suatu wilayah yang muncul secara historis, yang memandang dirinya sebangai sebuah bangsa dan kewarganegaraan itu disamakan dengan kebangsaan (Ali Masykur, 2011: 60). Kehadiran suatu nation adalah hasil kesepakatan untuk hidup bersama demi tercapainya kepentingan bersama. Pengertian bangsa atau nation adalah sebagai berikut: Nation adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual. Nation adalah suatu kesatuan solidaritas yang besar, tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau dan yang oleh manusia-manusia yang 30 bersangkutan bersedia dibuat di masa depan. Nation mempunyai masa lampau, tetapi ia melanjutkan dirinya pada masa kini melalui suatu kenyataan yang jelas, yaitu kesepakatan, keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup bersama (Ali Masykur, 2011: 61). Gagasan tentang hidup bersama yang menjadi dasar terbentuknya nation dikemukakan oleh Otto Bauer yang mendefinisikan, “Bangsa sebagai persamaan perangai yang timbul karena persatuan nasib” (Ali Masykur, 2011: 61). Semangat hidup bersama atas dasar nasib dan perangai itulah yang melahirkan niat, semangat, dan tujuan yang sama dalam mengarungi kehidupan bersama menuju masa depan. Semangat kebangsaan yang lahir karena sejarah yang sama telah membuktikan keampuhannya dalam gelombang sejarah kemanusiaan sehingga mampu menempatkan manusia secara adil antara dua kutub kebebasan dan keterikatan dalam tatanan dunia. Mengenai hubungan antara agama dengan nasionalisme, Barbara dan Ann J.Rieffer (2003: 1) menjelaskan bahwa : Some of the most prominent authors, including Erness Gallner, Benedict Anderson and Eric Hobsbawm, have all largely neglected the role of religion in their discussions of the rise of nationalism by focussing on economic factors. A proper understanding of the development of nationalism should incorporate the direct and inderect influences of religion. Ultimately, the type of religious nationalism affect what type of nation state develops. The stronger the religious influence on the national movement, the greater the likehood that discrimination and human right violations will occur. Maka dapat disimpulkan bahwa beberapa ahli terkemuka seperti Erness Gallner, Benedict Anderson, dan Eric Hobsbawm telah melalaikan peranan agama dalam nasionalisme. Perkembangan nasionalisme harus diakui bahwa itu juga berasal dari agama. Nasionalisme yang didasarkan pada kekuatan agama akan memberikan pengaruh terhadap pergerakan nasional negara, seperti tidak akan ada diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia seperti peperangan. 31 Moerdiono (1995: 39) menyatakan bahwa “Negara kebangsaan adalah suatu komunitas politik yang dirancang, dibangun dan beroperasi berdasar wawasan kebangsaan”. Lebih lanjut Moerdiono (1995: 37) menyatakan bahwa: Wawasan kebangsaan tumbuh dan berkembang melalui proses komunikasi antara unsur-unsur bangsa, yang bukan saja akan menimbulkan rasa saling percaya mempercayai, tetapi juga akan memungkinkan dirumuskannya sasaran masa depan yang cara-cara untuk mencapainya. Dengan demikian, proses kristalisasi wawasan kebangsaan yang tumbuh di berbagai kalangan dan golongan serta individu telah berjalan secara alami dan spontan, maka wawasan kebangsaan mampu menjadi penggerak lahirnya suatu negara, yaitu kesatuan. Rasa ingin bersatu itu muncul karena perasaan yang sama antar individu yang merasa sependeritaan, senasib dan sepenanggungan. Secara konsepsional, Siswono menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kebangsaan, adalah sebagai berikut: “1) Rasa kebangsaan, 2) Paham kebangsaan, 3) Semangat kebangsaan, 4) Wawasan kebangsaan” (Ali Masykur, 2011: 65). Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1) Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, kesadaran untuk bersatu sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena sejarah, aspirasi perjuangan masa lampau, kebersamaan kepentingan, rasa senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu dan masa kini, serta kesamaan pandangan, harapan, dan tujuan dalam merumuskan cita-cita bangsa untuk waktu yang akan datang. 2) Paham kebangsaan adalah aktualisasi dari rasa kebangsaan yang berupa gagasan-gagasan, pikiran-pikiran yang bersifat nasional, di mana suatu bangsa secara bersama-sama memiliki cita-cita kehidupan berbangsa dan tujuan nasional yang jelas dan rasional. 32 3) Semangat kebangsaan adalah kerelaan dalam berkorban demi kepentingan bangsa dan tanah air. Semangat tersebut terbentuk dari tumbuh dan berkembangnya rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. 4) Wawasan kebangsaan adalah cara pandang terhadap suatu masalah yang didasari oleh rasa kebangsaan, mengikuti alur berfikir paham kebangsaan dan dilakukan dengan semangat kebangsaan. Unsur-unsur kebangsaan yang terdiri dari rasa, paham, semangat, dan wawasan kebangsaan tersebut terjalin dalam satu kesatuan, sehingga akan membentuk suatu karakter kebangsaan di dalam diri masyarakat yang tinggal bersama. Karakter kebangsaan berisi nilai-nilai yang menyebabkan utuh dan bersatunya bangsa. Nilai tersebut berkembang dari rasa peduli terhadap bangsanya, merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya, bangga terhadap bangsanya, setia dan cinta terhadap bangsanya, yang bermuara pada siap berkorban demi bangsanya. Persoalannya jelas, bahwa kebangsaan adalah sebuah nilai bukan materi semata. Pendidikan nilai (afektif), dalam arti internalisasi nilai pada diri seseorang, tidak harus berupa suatu program atau pelajaran khusus, melainkan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan. Atas dasar ini, maka pendidikan kebangsaan bisa mengambil tempat pada bidang studi lain, diantaranya Pendidikan Agama Islam (PAI). PAI berwawasan kebangsaan bukan berarti materinya berisikan Pancasila, UUD 1945 atau GBHN, melainkan: Jiwa, semangat dan rasa cinta tanah air yang memang tidak bertentangan bahkan paralel dengan norma agama Islam, diintegrasikan baik lewat materi, metode, maupun suasana pendidikannya. Di antara materi pelajaran yang relevan adalah Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Fiqh dan Akhlak (Rachman Assegaf, 2005: 247). Materi Sejarah Kebudayaan Islam dikembangkan tidak hanya mengungkap biografi Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in, melainkan sesuai dengan kasus Indonesia, semisal perjuangan tokoh muslim, ulama dan pemimpin nasional, setelah dikonstektualkan dengan masa kini. Apa yang terjadi kurikulum sekarang 33 justru sebaliknya, bila mengungkap perjuangan pahlawan terdahulu, konteksnya lepas mengungkap perjuangan pahlawan terdahulu, konteksnya lepas sama sekali dengan urgensi masa kini, sehingga menjadikan jiwa patriotisme dan semangat kebangsaan menyejarah. Materi fiqh-syari’ah yang dengan pembahasan ibadahmu’amalah, bisa diperluas dengan merepresentasikan kajian fiqh-ssyasah, secara lebih memadai. Baik Al-Qur’an maupun Hadits, keduanya mengandung prinsipprinsip kebangsaan yang amat membantu tujuan ini. Materi akhlak yang terfokus pada kajian perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama, diri-sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada akhlak, bila bangsa itu meremehkan akhlak akan menjadi punah bangsa tersebut. Maka dari itu, nilai-nilai Islami sangat penting untuk ditanamkan kepada peserta didik di sekolah. Peningkatan penguatan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air di sekolah saat ini juga bisa dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini diselenggarakan oleh sekolah yang merupakan kegiatan di luar jam pelajaran. Melalui kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik, salah satu dari kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan Pramuka. Pengertian pendidikan kepramukaan dalam Keppres No. 34 Tahun 1999 Pasal 8 Ayat (1) menjelaskan “Pendidikan kepramukaan adalah proses pembentukan kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia pramuka melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepramukaan”. Kepramukaan mempergunakan 10 nilai yang menjadi kode kehormatan. Kode kehormatan mempunyai makna suatu norma (aturan) yang menjadi ukuran kesadaran mengenai akhlak yang tersimpan dalam hati yang menyadari harga dirinya, serta menjadi standar tingkah laku pramuka di masyarakat. 10 nilai tersebut bernama Dasa Dharma yang tercantum di dalam Keppres No. 34 Tahun 1999 Pasal 13 Ayat (5), yang berbunyi: 1) Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2) Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. 34 3) Patriot yang sopan dan kesatria. 4) Patuh dan suka bermusyawarah. 5) Rela menolong dan tabah. 6) Rajin, terampil dan gembira. 7) Hemat, cermat dan bersahaja. 8) Disiplin, berani dan setia. 9) Bertanggung jawab dan dapat dipercaya. 10) Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan Gerakan Pramuka sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan non formal diharapkan mampu menjadi suatu kekuatan perubahan sosial nasional. Peran besar gerakan pramuka dalam pembentukan pribadi generasi muda dalam bidang karakter kebangsaan hendaknya dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Cara untuk melihat perkembangan semangat kebangsaan atau nasionalisme pada generasi muda di Indonesia, menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 40) menyatakan keterkaitan nilai, jenjang kelas, dan indikator semangat kebangsaan antara lain: 1) Turut serta dalam upacara peringatan hari pahlawan dan Proklamasi Kemerdekaan. 2) Menggunakan bahasa Indonesia ketika ada teman dari suku lain. 3) Menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu-lagu wajib dan lagu-lagu perjuangan. 4) Mengagumi banyaknya keragaman bahasa di Indonesia 5) Turut serta dalam panitia peringatan hari pahlawan dan Proklamasi Kemerdekaan. 6) Menyukai berbagai upacara adat di Nusantara. 7) Mengemukakan pikiran dan sikap mengenai ancaman dari negara lain terhadap bangsa dan negara Indonesia. 8) Mengemukakan sikap dan tindakan yang akan dilakukan . 9) Mengemukakan pikiran dan sikap terhadap pertentangan antara bangsa Indonesia dengan negara lain. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 27) indikator sekolah dan indikator kelas dari semangat kebangsaan sebagai berikut: 1) Indikator Sekolah: a) Melakukan upacara rutin sekolah. 35 b) Melakukan upacara hari-hari besar nasional. c) Menyelenggarakan peringatan hari kepahlawanan nasional. d) Memiliki program melakukan kunjungan ke tempat bersejarah. e) Mengikuti lomba pada hari besar nasional. 2) Indikator Kelas: a) Bekerja sama dengan teman sekelas yang berbeda suku, etnis, status sosial-ekonomi. b) Mendiskusikan hari-hari besar nasional. Peserta didik yang memiliki karakter kebangsaan khususnya sikap nasionalisme, maka peserta didik tersebut akan sangat memiliki rasa perhatian terhadap bangsa dan negaranya serta selalu ikut serta dalam suatu kegiatan yang mendorong untuk kemajuan bangsa. Penguatan karakter kebangsaan khususnya sikap nasionalisme dapat dilakukan melalui upacara bendera, seperti halnya yang disampaikan oleh Ali Hamzah, beliau menyatakan bahwa: Upacara bendera di sekolah adalah kegiatan pengibaran atau penurunan bendera Kebangsaan Republik Indonesia yang dilaksanakan pada saatsaat tertentu atau saat yang telah ditentukan, misalnya pelaksanaan upacara bendera di sekolah pada umumnya dilaksanakan setiap pagi pada hari Senin, merupakan salah satu bagian mata pelajaran di setiap sekolah. Upacara bendera pada hari Senin juga menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan tiap sekolah atau madrasah di Indonesia, selain untuk menanamkan rasa persatuan dan kesatuan kepada siswa, upacara bendera juga menjadi tolak ukur kedisiplinan semua warga sekolah, khususnya para siswa. Banyak pesan moral yang terkandung dalam pelaksanaan upacara di sekolah, salah satu diantaranya adalah rasa nasionalisme atau cinta terhadap bangsa Indonesia (Ali Hamzah. 2012. http://smpn1pohjentrek.blogspot.com/2012/08/memupuknasionalisme). Salah satu nilai luhur yang terkandung dari setiap pelaksanaan upacara bendera yaitu penghormatan kepada Bendera Merah Putih, sebagai simbol martabat bangsa. Di mana para generasi penerus bangsa dibekali dengan kecintaannya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu: 36 1) Nilai demokrasi: mengandung makna bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat, setiap warga negara memiliki kebebasan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaran pemerintahan. 2) Nilai kesamaan derajat: setiap warga negara memiliki hak, kewajiban dan kedudukan yang sama di depan hukum. 3) Nilai ketaatan hukum: setiap warga negara tanpa pandang bulu wajib mentaati setiap hukum dan peraturan yang berlaku. (Safran Sofyan. 2014. http://www.lemhannas.go.id/portal/daftarartikel/2010-implementasi-nilai-nilai-kebangsaan-generasi-muda-dalamera-demokrasi.html) Berdasarkan uraian nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penyusunan perumusan pasal-pasal UUD 1945 telah mengakomodasi segala aspek dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia saat itu. Nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut sampai saat ini masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi kehidupan bangsa Indonesia walaupun adanya pengaruh globalisasi. Sehingga diharapkan nilai-nilai tersebut untuk dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Nilai‐nilai kebangsaan yang bersumber dari semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan ada 3 (tiga) nilai yang terkandung, yakni: “1) Nilai Toleransi, 2) Nilai Keadilan, 3) Nilai Gotong Royong/Kerjasama” (Uki hary. 2011.http://ukiehary.wordpress.com/2011/05/24/nilai%E2%80%90nilai kebangsaan-yang-bersumber-dari-semboyan-bangsa-bhinneka-tunggal-ika/). Hal tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Nilai Toleransi, merupakan satu sikap yang mau memahami orang lain sehingga komunikasi dapat berlangsung secara baik. 2) Nilai Keadilan, merupakan satu sikap mau menerima haknya dan tidak mau mengganggu hak orang lain. 3) Nilai Gotong Royong/Kerjasama, merupakan satu sikap untuk membantu pihak/orang yang lemah agar sama‐sama mencapai tujuan. Ada sikap saling 37 mengisi kekurangan orang lain, hal ini merupakan konsekuensi dari manusia dan daerah yang memiliki kemampuan yang berbeda dalam konteks otonomi daerah. Bila diterjemahkan lebih jauh, nilai‐nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai nilai yang menjadikan rakyat/warga negara dapat hidup dan menata kehidupan bersama dengan harmonis, bersatu sebagai kekuatan pembangunan negara, pada dasarnya tidak berbeda dan justru sangat relevan dengan nilai‐nilai kebangsaan yang dipersepsikan dari sila‐sila Pancasila, yaitu (Uki hary. 2011. http://ukiehary.wordpress.com/2011/05/24/nilai%E2%80%90nilai-kebangsaanyang-bersumber-dari-semboyan-bangsa-bhinneka-tunggal-ika/): 1) Kesederajatan 5) Kekeluargaan 2) Kebebasan 6) Keseimbangan 3) Non‐diskriminasi 7) Kepedulian 4) Pengorbanan 8) Produktivitas Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian semangat kebangsaan adalah suatu sikap yang tertanam di dalam jiwa individu yang mempunyai perhatian, cinta atau bangga terhadap bangsanya atau tanah airnya, dan individu tersebut selalu mengutamakan kepentingan bangsanya daripada kepentingan pribadinya (mempunyai perasaan fanatic terhadap bangsanya). 38 5. Perbedaan Hasil Belajar Afektif Antara Siswa Yang Aktif Dan Tidak Aktif Dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah Menurut Wahjo Sumidjo kegiatan ektrakulikuler adalah untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan siswa dalam arti memperkaya dan mempertajam serta memperbaiki pengetahuan para siswa yang berkaitan dengan mata pelajaran sesuai dengan programkulikuler yang ada. Kegiatan ekstrakulikuler ini juga merupakan seperangkat pengalaman belajar yang memiliki nilai-nilai manfaat bagi pembentukan kepribadian siswa. Adapun tujuan secara umum dari pelaksanaan ekstrakulikuler disekolah menurut Direktorat Pembinaan Kesiswaan (Depdikbud), yang dikutip dalam buku Suryosunroto adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan ektrakulikuler dapat meningkatkan kemampuan siswa beraspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. 2) Mengembangkan bakat dan minat siswa dalam upaya pembinaan pribadi menuju pembinaan seutuhnya. 3) Dapat mengetahui, mengenal, serta membedakan antara hubungan satu pelajaran dengan pelajaran lainnya. Menurut Syambudiarti kegiatan ekstrakulikuler adalah suatu kegiatan yang dilakukan diluar jam pelajaran sekolah (dilakukan termasuk hari libur) yang bertujuan memperluas pengetahuan siswa,menyalurkan bakat dan minat serta melengkapi upaya pembinaan seutuhnya dan ikut dinilai. Kegiatan ekstrakulikuler dilakukan diluar untuk memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan atau peningkatan nilai atau sikap, dalam rangka penerapan pengetahuan dari kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dalam kurikulum. Oleh karena itu kegiatan ekstrakulikuler perlu dikembangkan untuk menunjang hasil belajar afektif siswa. 39 OSIS adalah satu-satunya wadah organisasi siswa yang sah di sekolah. Oleh karena itu setiap sekolah wajib membentuk Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan OSIS di sekolah lain dan tidak menjadi bagian/ alat dari organisasi lain yang ada di luar sekolah. Penyelenggaraan OSIS merupakan bagian dari program pembinaan kesiswaan. Terdapat berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam OSIS. Secara umum dapat dikatakan bahwa tugas dan kewajiban OSIS adalah membantu dalam usaha melancarkan pelaksanaan program pengajaran dan pembinaan generasi muda di sekolah. Usaha ini hampir seluruhnya dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler atau ekstra kelas. Peran serta dan partisipasi aktif siswa dalam kepengurusan OSIS dan berbagai kegiatan di dalamnya diharapkan memberikan manfaat positif bagi siswa. Hal itu merupakan pendorong bagi siswa sebagai salah satu sarana untuk dapat meningkatkan hasil belajar. Dengan partisipasi dan berbagai pengalaman yang diperoleh, diantaranya peningkatan kepercayaan diri, peningkatan kemampuan mengemukakan pendapat, dan lainnya, partisipasi siswa dalam kegiatan belajar juga menjadi lebih baik. Siswa dapat mengaplikasikan pengalaman-pengalaman tersebut dalam kegiatan pembelajaran, misalnya bertanya pada guru mengenai materi yang belum dapat dipahami. Sehingga terdapat peluang nilai akademik siswa menjadi lebih tinggi, dan secara umum hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Meskipun keaktifan siswa dalam OSIS bisa juga berimbas negatif, terutama bila siswa tidak dapat memanajemen waktunya dengan baik, dan terlalu sibuk dalam kegiatan OSIS yang membuat waktunya untuk belajar berkurang. 40 6. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang relevan yaitu penelitian terdahulu yang mirip atau menyerupai dengan penelitian yang kita lakukan. Pada umumnya suatu penelitian tidak berasal dari penelitian murni, akan tetapi ada penelitian terdahulu yang memiliki persamaan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang relevan untuk penelitian ini antara lain : 1.Yuliariska Lutfitasari, 2009, dalam penelitiannya yang berjudul “pengaruh aktivitas dalam organisasi siswa intra sekolah (osis) dan kedisiplinan siswa terhadap prestasi belajar pengurus osis periode 2008/2009 dalam mata pelajaran pkn di tingkat sma-ma se kecamatan subah kabupaten batang”. Dalam penelitian ini mengemukakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara aktifitas dalam OSIS dan kedisiplinan terhadap prestasi belajar pengurus OSIS sebesar 71,8% dan sisanya 28,2% disebabkan oleh faktorfaktor lain. Faktor lain tersebut seperti faktor dari lingkungan keluarga baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar peserta didik, faktor lingkungan sekolah, keadaan sekolah yang memenuhi syarat akan menimbulkan semangat belajar, hal ini akan berpengaruh terhadap prestasi belajar, faktor guru juga mempunyai pengaruh dalam peningkatan prestasi belajar, ini terlihat dalam hubungan guru dengan siswa pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung yaitu cara guru menyampaikan materi pelajaran dan saat siswa menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. 4) Fajar Kurniawan, 2014, dalam penelitiannya yang berjudul “pengaruh keaktifan siswa dalam organisasi siswa intra sekolah (osis) dan kemampuan berpikir kreatif terhadap prestasi belajar (Studi Pada Siswa Smk Negeri 2 Pengasih Tahun Ajaran 2013/2014)”. Tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel keaktifan siswa dalam OSIS terhadap prestasi belajar siswa SMK Negeri 2 Pengasih tahun ajaran 2013/2014. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rhitung (0,178) yang lebih kecil dari rtabel (0,334). dengan probabilitas 41 0,307 > 0,05, sehingga Ho diterima dan Ha ditolak. Dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dalam OSIS tidak memiliki pengaruh yang berarti bagi peningkatan prestasi belajar siswa di SMK Negeri 2 Pengasih tahun ajaran 2013/2014. B. Kerangka Berfikir Kerangka berfikir pada dasarnya merupakan arahan penalaran untuk bisa pada pemberian jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan oleh penulis. Pembentukan watak atau sikap seorang siswa dirasa penting dan berpengaruh dalam perilaku mereka sehari-hari. Apabila dilihat dalam kenyataannya siswa cenderung mengenyampingkan aspek afektif dan lebih mengutamakan aspek kognitif atau pengetahuan.Sikap siswa secara langsung akan membentuk kesadaran dan disiplin belajar. Kesadaran dan disiplin belajar ini akan berpengaruh terhadap cara dan sikap belajar siswa yang akhirnya akan diperoleh prestasi belajar. Dari hal itu model pembelajaran pengembangan moral kognitif diharapkan mampu membentuk sikap siswa yang mampu menampilkan peran serta budaya politik partisipan, sehingga antara aspek kognitif dan afektif berjalan secara beriringan. Berdasarkan uraian diatas kerangka berfikir dari penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut : Nilai-Nilai Kebangsaan Aktif OSIS KBM di kelas, Ekstrakulikuler, Lingkungan masyarakat Hasil belajar afektif Gambar 1: Skema Kerangka Berfikir Tidak Aktif OSIS 42 C. Hipotesis Menurut Sugiono ( 2011:96 ), “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan massalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Sedangkan Suharsimi Arikunto (2006:71) mengartikan: “Hipotesis sebagai suatu jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul” Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang diajukan, hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang signifikan hasil belajar afektif antara siswa yang aktif dan tidak aktif dalam organisasi siswa intra sekolah (OSIS) ditinjau dari aspek nilai-nilai kebangsaan.