Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Bagian Pertama : Gugatan Oleh Ayi Solehudin Pendahuluan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu pilar peradilan dari empat peradilan yang ada di lingkungan Mahkamah Agung. Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sampai saat ini UndangUndang No. 5 Tahun 1986 telah mengalami dua kali perubahan/revisi yaitu dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009. Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Administrasi yang mengkhususkan pengujiannya pada Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara. Syarat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat diuji oleh Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang memenuhi ketentuan Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Apabila suatu Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara telah memenuhi secara kumulatif ketentuan Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat Keputusan Tata Usaha Negara tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengajuan Gugatan melalui pengadilan Tata Usaha Negara dapat dilakukan langsung oleh orang atau badan hukum perdata yang bersangkutan atau dapat diwakili oleh kuasa hukum yang berprofesi sebagai Advokat. Setelah perkara masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara, maka mulai saat itu, tanggung jawab penyelesaian perkara tersebut berada di pundak Pengadilan. Pengadilan akan memeriksa dan memutus Perkara yang masuk ke PTUN dalam jangka waktu paling lama 6 bulan1. Supaya gugatan yang disampaikan oleh Penggugat isinya sesuai dengan aturan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Tata usaha Negara, ada baiknya calon penggugat terutama yang tidak menggunakan jasa Advokat untuk memahami gugatan ini secara terperinci. 1. Pengertian Gugatan Pengertian gugatan terdapat dalam Pasal 1 Angka 11 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal dan Angka tersebut dinyatakan bahwa “Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan”. Berdasarkan rumusan Ketentuan diatas, dapat dipahami bahwa unsur-unsur dari gugatan adalah sebagai berikut : - Permohonan tertulis - Berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk menyatakan batal atau tidak sah suatu KTUN ataupun menuntut untuk diterbitkan suatu KTUN. - Diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Kepaniteraan perkara - Tujuan diajukannya gugatan untuk mendapatkan putusan 2. Objek Gugatan Setelah kita memahami pengertian dan unsur-unsur gugatan, selanjutnya harus dipahami juga objek yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Ada dua objek yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu : a. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang telah memenuhi secara kumulatif unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu penetapan tertulis 1 SEMA No. 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkata Angka 1 huruf a menyebutkan : 1. Bahwa perkara-perkara di Pengadilan harus diputus dan diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan termasuk minutasi, yaitu : a. perkara-perkara perdata umum, perdata agama dan perkara tata usaha negara, kecuali karena sifat dan keadaan perkaranya terpaksa lebih dari 6 (enam) bulan, dengan ketentuan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib melaporkan alasan-alasannya kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding. yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum. Berkaitan dengan unsure-unsur KTUN sebagaimana dimaksud oleh ketentuan diatas, penulis sampaikan dua pendapat mengenai unsur-unsur KTUN tersebut, yaitu : Menurut Indroharto, unsur KTUN ada 6 (enam), yaitu:2 a. Bentuk penetapan itu harus tertulis; b. Ia dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara; d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Bersifat Konkret, Individual dan final; f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Pendapat senada disampaikan oleh Paulus E. Lotulung, yang menyatakan bahwa unsur KTUN ada 7 (tujuh), yaitu:3 a. Penetapan tertulis; b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Bersifat Konkret; e. Individual; f. final; g. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Walaupun jumlah unsur KTUN dari kedua pendapat diatas berbeda, namun intinya sama yaitu : bentuk KTUNnya harus tertulis, diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat Konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila suatu KTUN telah memenuhi unsurunsur diatas maka KTUN seperti ini dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. 2 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. Keenam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 162-163. 3 Paulus Effendi Lotulung, Perbuatan-perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik, dalam P.J.J Sipayung (Editor), Pejabat Sebagai Calon Tergugat Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: CV. Sri Rahayu, 1989, hlm. 148. b. Fiktif Negatif ( yang dianggap sama dengan KTUN) Disamping KTUN, terdapat satu lagi objek yang dapat di gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu Fiktif Negatif. Fiktif Negatif ini tidak ada wujudnya atau abstrak. Abstrak disini maksudnya adalah tidak berbentuk Surat KTUN, hal ini terjadi apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan SK yang dimohonkan kepadanya oleh Penggugat, sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut dianggap sama dengan KTUN. KTUN ini dikenal dengan istilah Fiktif Negatif yang juga merupakan Objek gugatan yang merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Pengaturan mengenai Fiktif Negatif terdapat dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut : (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. 3. Subjek Gugatan a. Pihak yang dapat Menggugat Mengenai pihak yang dapat menggugat diatur dalam Pasal 53 Ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi: Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. Berdasarkan ketentuan di atas maka yang berkualitas menjadi Penggugat adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN baik di pusat maupun di daerah. Berkaitan dengan pihak yang dapat menggugat, Indroharto berpendapat sebagai berikut : Mengenai pengertian orang (natuurlijke person) sendiri tidak menimbulkan banyak komplikasi4. Sekarang kalau dipertanyakan: apakah organisasi dan instansi pemerintah seperti Propinsi, Kabupaten dalam kedudukannya sebagai badan hukum perdata itu juga berhak mengajukan gugatan TUN, maka logikanya boleh. Namun karena yang digugat harus selalu Badan atau Jabatan TUN, maka kemungkinan tersebut akan langka terjadi5. Dari pendapat Indroharto tersebut, penulis sependapat bahwa Badan Hukum Publik yang sedang dalam kedudukannya sebagai badan hukum perdata dapat menjadi Penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. b. Pihak yang dapat Digugat Pasal 1 Angka 12 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun menyebutkan, bahwa: Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Berdasarkan ketentuan di atas maka tidak diperkenankan perorangan menjadi Tergugat. Untuk menentukan siapa yang harus digugat sehubungan dengan adanya wewenang yang ada pada jabatan TUN, maka harus diketahui lebih dahulu apakah wewenang tersebut bersifat atribusi, delegasi ataukah mandat. a. Kewenangan Atribusi adalah wewenang yang ada pada Badan atau Pejabat TUN yang diperoleh dari ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Konsentrasi pertanggungjawaban tindakan disini adalah berada pada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan, 4 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Cet. Kesembilan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 43. 5 Ibid, hlm. 44. maka yang harus digugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan; b. Delegasi adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan wewenang dari pejabat atasan atau pejabat lain. Konsentrasi pertanggungjawaban tindakan disini telah berpindah sepenuhnya dari pejabat yang memberi mandat (delegant) kepada pejabat yang menerima delegasi (delegatoris). Maka yang harus digugat adalah pejabat yang menerima delegasi; c. Mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan wewenang dari pejabat atasan atau pejabat lain. Konsentrasi pertanggungjawaban tindakan disini adalah tetap berada pada pejabat yang memberi mandat. Maka yang harus digugat adalah pejabat yang memberi mandat. 4. Tenggang waktu a. Terhadap Gugatan yang objek gugatannya adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986; Terhadap gugatan dalam konteks ini, Tenggang waktu mengajukannya diatur dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986, yang berbunyi: Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Di dalam SEMA No. 2 Tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991 angka romawi V dijelaskan mengenai tenggang waktu ini secara lebih akurat: 1. Penghitungan tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 55 terhenti/tertunda (geschorst) pada saat gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang; 2. Sehubungan dengan Pasal 62 Ayat (6) dan Pasal 63 Ayat (4) maka gugatan baru hanya dapat diajukan dalam sisa tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada butir 1; 3. Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetapi merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut b. Terhadap Gugatan yang objek gugatannya Fiktif Negatif (yang dianggap sama dengan KTUN) Dalam hal gugatan diajukan dengan objek gugatannya yang dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986, maka tenggang waktu mengajukan gugatan diatur dalam Penjelasan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986, antara lain sebagai berikut: 1. Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan Pasal 3 Ayat (2) yang berbunyi: Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung setelah lewat tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. 2. Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan Pasal 3 Ayat (3) yang berbunyi: Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh hari) hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. 3. Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh hari) hari dihitung sejak hari pengumuman. 5. Mengajukan gugatan Apabila Objek dan Subjek gugatan telah terpenuhi dan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, maka gugatan dapat diajukan dengan syarat sebagai berikut : a. Syarat formiil 1. Identitas para pihak: nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya; 2. Nama, jabatan dan tempat kedudukan Tergugat; b. Syarat materiil 3. Dasar gugatan (posita); 4. Hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan (petitum). Adapun Prosedur Penerimaan Permohonan Gugatan Menurut Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Edisi Tahun 2009 Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah sebagai berikut : 1) Petugas pada meja pertama/loket pertama bertanggungjawab untuk menerima gugatan dan gugatan perlawanan terhadap penetapan dismissal. 2) Dokumen yang perlu di sertakan dalam pendaftaran perkara sekurangkurangnya adalah : a) Surat gugatan atau surat gugatan perlawanan. b) Surat kuasa khusus dari penggugat kepada kuasa hukumnya (bila penggugat menguasakan kepada kuasa hukum). c) Fotocopy kartu advokat kuasa hukum yang bersangkutan. d) Fotocopy surat keputusan TUN yang menjadi obyek sengketa, kecuali apabila obyek sengketa berupa keputusan fiktif-negatif atau apabila obyek sengketa tidak dikuasai oleh penggugat. 3) Petugas penerima berkas memeriksa kelengkkapan dengan menggunakan daftar periksa (check list) dan meneruskan berkas yang telah selesai di periksa kelengkapannya kepada Panitera Muda Perkara untuk menyatakan berkas telah lengkap/tidak lengkap. 4) Panitera Muda Perkara mengembalikan berkas yang belum lengkap dengan melampirkan daftar periksa supaya Pemohon/Penggugat atau kuasanya dapat melengkapi kekurangannya 5) Panjar biaya perkara yang telah ditetapkan di tuangkan dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar),dengan ketentuan : a) Dalam menentukan mempertimbangan besarnya panjar biaya perkara harus jarak dan kondisi daerah tempat tinggal para pihak, agar proses persidangan yang berhubungan dengan panggilan dan pemberitahuan dapat terselenggara dengan lancar. b) Biaya pemeriksaan lebih dari 5 orang sanksi di tanggung oleh pihak yang meminta c) Biaya panjar perkara wajib di tambah dalam hal panjar biaya perkara sudah tidak mencukupi. 6) Pada berkas perkara yang telah lengkap, dibuatkan SKUM rangkap tiga: a) Lembar pertama untuk Penggugat. b) Lembar kedua untuk Kasir c) Lembar ketiga untuk di lampirkan dalam berkas gugatan. 7) Berkas perkara yang telah di lengkapi dengan SKUM diserahkan kepada penggugat atau kuasanya agar membayar jumlah uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada kasir pengadilan TUN. 8) Kasir menandatangani dan membubuhkan stempel lunas pada SKUM setelah menerima pembayaran, serta mencatat ke dalam buku Jurnal Keuangan Perkara. 9) Dalam hal gugatan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali yang diterima melalui pos, maka harus diperhatikan : a) Tenggang waktu pembayaran panjar biaya perkara paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikirimkannya surat pemberitahuan tentang pembayaran panjar biaya perkara kepada penggugat. b) Setelah panjar biaya perkara di terima, surat gugatan yang telah dilengkapi SKUM diserahkan kepada kasir untuk di catat dalam buku jurnal yang bersangkutan c) Petugas para meja kedua/loket kedua mencatatnya dalam register Induk Perkara dan Register Perkara Gugatan. d) Gugatan Penggugat tidak akan di daftar apabila setelah lewat 6 (enam) bulan sejak dikirimkan surat pemberitahuan tentang pembayaran panjar biaya perkara pada penggugat,ternyata panjar perkara belum di terima di kepaniteraan. 10) Dalam hal tempat tinggal penggugat jauh dari pengadilan TUN yang berwenang memeriksa perkaranya, maka pembayaran panjar biaya perkara dapat dilakukan dengan 2 cara : a) Dibayarkan melalui Pengadilan TUN atau Pengadilan Negeri terdekat, selanjutnya oleh Pengadilan yang bersangkutan dikirimkan ke pengadilan TUN yang berwenang tersebut. Ongkos kirim di tanggung penggugat di luar panjar biaya perkara. b) Dikirimkan langsung ke Pengadilan TUN yang berwenang memeriksa perkaranya. 11) Kasir kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara. 12) Petugas pada meja kedua/loket kedua mencatat perkara yang masuk ke dalam Register Induk Perkara. Terhadap perkara gugatan perlawanan terhadap penetapan dismissal,diberi tambahan kode PLW (Perlawanan) pada nomor perkaranya. 13) Panitera setelah menerima berkas perkara dari petugas meja kedua/loket kedua membuat resume gugatan,sekurang-kurangnya berisi : a. Apakah gugatan di ajukan sendiri oleh penggugat atau diwakili oleh kuasa hukumnya. b. Apakah gugatan masih dalam tenggang waktu 90(sembilan puluh)hari sesuai pasal 55 UU PERATUN. c. Apakah alasan gugatan sesuai pasal 53 ayat (2) UU PERATUN. d. Apakah gugatan telah memuat hal-hal yang ditentukan pasal 56 UU PERATUN. e. Klarifikasi perkara TUN nya. 14) Pengisian kolom-kolom buku register harus di laksanakan dengan tertib dan cermat berdasarkan jalannya penyelesaian perkara. 6. Bentuk Gugatan Bentuk gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan tersebut akan menjadi pegangan pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Namun, bagi mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu untuk merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.6 Gugatan yang telah dibuat, ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya. Bagi Penggugat yang tidak pandai baca tulis, cukup dengan membubuhkan cap jari yang dilegalisir oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, tanpa dibubuhi materai. Terhadap gugatan yang dibuat dan ditandatangani oleh Kuasa, maka gugatan harus dilampiri surat kuasanya yang sah.7 Gugatan sedapat mungkin disertai juga Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan.8 Bersambung ke Bagian Kedua 6 Penjelasan Pasal 53 Ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004. Pasal 56 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986, Penulisan nama dalam gugatan harus menyebutkan terlebih dahulu nama pihak Penggugat prinsipal, baru kemudian nama Kuasa yang mendampinginya. 8 Lihat Pasal 56 Ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986, Namun seringkali KTUN yang akan disengketakan tidak ada dalam tangan Penggugat atau pihak ketiga yang terkena akibat hukum KTUN tersebut, dalam keadaan seperti ini tidak menjadi sesuatu yang wajib dilampirkan dalam gugatan. Dalam rangka pemeriksaan persiapan, Hakim selalu dapat meminta kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan Tata Usaha Negara yang sedang disengketakan itu. 7