BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERPANJANGAN HAK

advertisement
 10 BAB II
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERPANJANGAN HAK GUNA
BANGUNAN BERSAMA ATAS RUMAH SUSUN KLENDER
2. 1. TINJAUAN TENTANG TANAH DAN HAK YANG MELEKAT DI
ATASNYA
Pengaturan tanah di wilayah Indonesia tercantum dalam ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(untuk selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan ketentuan Hukum Tanah
Nasional. Dalam Hukum Tanah Nasional ada bermacam-macam hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam UUPA, antara lain:
1. Hak Bangsa Indonesia
Adalah hak penguasaan atas tanah tertinggi yang meliputi semua tanah
yang ada dalam wilayah Indonesia, dan merupakan tanah bersama yang
bersifat abadi dan menjadi sumber hak-hak penguasaan atas tanah yang
lain. Hal ini menunjukkan suatu hubungan yang bersifat abadi antara
bangsa Indonesia dengan tanah di seluruh wilayah Indonesia dengan
subyeknya bangsa Indonesia. Pengaturan Hak Bangsa Indonesia dimuat
dalam pasal 1 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA.
2. Hak Menguasai dari Negara
Hak ini bersumber dari Hak Bangsa Indonesia yang merupakan penugasan
pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur publik.
Melalui Hak Menguasai Negara, Negara akan dapat senantiasa
mengendalikan atau mengarahkan fungsi bumi, air, ruang angkasa sesuai
dengan kebijakan pemerintah. Negara dalam hal ini tidak menjadi
pemegang hak, melainkan sebagai badan penguasa yang mempunyai hakhak sebagai berikut:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan;
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
11 b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai oleh
subyek hukum tanah;
c.
Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan
sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, oleh karena itu dalam
penyelenggaraannya dilimpahkan kepada Negara Republik Indonesia
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 ayat (1)
UUPA). Pelaksanaan Hak Menguasai dari Negara ini dapat dilimpahkan
kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat hukum adat sepanjang
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut
ketentuan-ketentuan dari Peraturan Pemerintah (Pasal 2 ayat (4) UUPA).
Pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan Negara tersebut dapat juga
diberikan kepada Badan Otorita, Perusahaan Negara, dan Perusahaan
Daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu dengan Hak
Pengelolaan12.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak Ulayat diatur dalam UUPA Pasal 3, dimana terkandung pernyataan
pengakuan mengenai eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
bahwa sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dan pelaksanaannya
tidak bertentangan dengan pembangunan nasional, maka hak ulayat itu
dibiarkan tetap berlangsung dan diakui oleh masyarakat hukum adat
masing-masing. Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum
adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
wilayahnya.13
Dalam
perkembangan
terhadap
pengakuan
dan
penghormatan terhadap Hak Ulayat masyarakat hukum adat tersebut
dikukuhkan di dalam perubahan kedua Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 oleh MPR-RI pada tanggal 18 Agustus 2000 di dalam pasal 18B ayat
12
Boedi Harsono, op. cit., hal. 278.
13
Ibid., hal. 283.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
12 (2) disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
4. Hak-Hak Perorangan Atas Tanah
Hak-hak Perorangan Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang di
bidang perdata kepada pemegang haknya untuk memakai atau menguasai,
menggunakan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Hakhak perorangan atas tanah terdiri dari:
a. Hak-hak atas tanah, yang dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
1) Hak-hak atas tanah Orisinal atau primer
Yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Negara
dengan cara memperolehnya melalui permohonan hak, dan
bersumber langsung pada Hak Bangsa Indonesia. Jenis hak
atas tanahnya meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.
2) Hak-hak atas tanah Derivatif atau sekunder
Yaitu hak-hak atas tanah yang bersumber pada pihak lain.
Hak ini tidak langsung bersumber kepada Hak Bangsa
Inodonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara
memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara
pemilik
tanah
dengan
calon
pemegang
hak
yang
bersangkutan. Jenis hak atas tanahnya yaitu Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Usaha Bagi Hasil,
Hak Gadai atas Tanah, dan Hak Menumpang.
b. Hak atas tanah wakaf
Hak atas tanah wakaf diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu
perwakafan tanah Hak Milik yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Hak Milik.
c. Hak-hak Jaminan Atas Tanah
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
13 Artinya adalah hak penguasaan atas tanah yang tidak memberikan
wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang
dikuasainya tetapi memberikan wewenang untuk menjual lelang
tanah tersebut apabila pemilik tanah tersebut (debitur) melakukan
wanprestasi. Hak jaminan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah Nasional adalah Hak Tanggungan yang pengaturannya
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.
Jenis-jenis hak atas tanah di dalam UUPA ditentukan dalam Pasal 16 ayat
(1) UUPA yang menyatakan bahwa hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA antara lain:
a) Hak Milik
b) Hak Guna Usaha
c) Hak Guna Bangunan
d) Hak Pakai
e) Hak Sewa
f) Hak Membuka Tanah
g) Hak Memungut Hasil Hutan
h) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Dengan adanya jenis-jenis hak atas tanah tersebut di atas, maka penulis hanya
akan menguraikan hak atas tanah yang berkaitan dengan judul tesis.
2.1.1. HAK GUNA BANGUNAN
Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan diatur dalam:
i.
Pasal 35 sampai dengan pasal 40, pasal 50 juncto 52, dan pasal 55
UUPA;
ii. Ketentuan Konversi di UUPA, pasal I (3) dan (4), pasal II, V, dan pasal
VIII (1);
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
14 iii. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
iv. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing;
v.
Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA)/Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Nomor 9 Tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang
menggantikan PMDN Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan Mengenai
Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah;
vi. PMDN Nomor 2 Tahun 1984 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak
atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan
dengan Fasilitas KPR dari Bank Tabungan Negara;
vii. PMNA/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999, tentang Izin Lokasi yang
menggantikan PMNA/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata
Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan
Dalam Rangka Penanaman Modal;
viii. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah Negara (untuk
selanjutnya disebut PP No. 40 Tahun 1996) dalam Pasal 19 sampai 38;
ix. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUPA, pengertian Hak Guna Bangunan
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Pengertian
“bukan miliknya sendiri” berarti Hak Guna Bangunan dapat lahir dari:
1. Pemberian atau permohonan hak (HGB sebagai Hak atas Tanah Primer);
2. Perjanjian pembebanan Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik
kepunyaan orang lain (HGB sebagai Hak atas Tanah Sekunder).
Hak Guna Bangunan dapat diberikan di atas tanah Negara, tanah Hak
Pengelolaan, dan tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan yang berada di atas tanah
Negara dan tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang, sedangkan menurut pasal
25 sampai 29 PP Nomor 40 Tahun 1996, Hak Guna Bangunan yang diberikan di
atas tanah Hak Milik paling lama 30 tahun dan tidak dapat diperpanjang, hanya
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
15 dapat diperbaharui setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam
pemberiannya tersebut.25 Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak
Pengelolaan terjadi dengan keputusan pemberian hak atas usul dari pemegang
Hak Pengelolaan. Jangka waktu yang diberikan untuk pertama kali paling lama 30
tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat
diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Pemberian hak tersebut
didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk
dicatat dalam Buku Tanah, dan sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertipikat
Hak Guna Bangunan (Pasal 22 dan 23 PP Nomor 40 Tahun 1996).
Adapun syarat permohonan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan:
1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat
dan tujuan pemberian hak tersebut;
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB;
4. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang bersangkutan;
5. Permohonan diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum
berakhirnya waktu HGB tersebut.
Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan atau Subyek HGB adalah:
a. Warga negara Indonesia;
b. Badan
hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia;
c. Perusahaan Patungan (PMA) apabila memerlukan tanah untuk keperluan
emplasemen, bangunan pabrik, dan lain-lain (Keputusan Presiden Nomor
34 Tahun 1992).
25
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah, Seri Hukum Harta
Kekayaan, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 202.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
16 Hak Guna Bangunan dapat dialihkan kepada pihak lain.26 Pengalihan ini
didasarkan pada kepentingan pihak yang memegang Hak Guna Bangunan.
Kewenangan bagi pemegang hak guna bangunan untuk mengalihkan hak guna
bangunan yang dimilikinya diatur pada Pasal 35 ayat (3) UUPA bahwa, “Hak
Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain.” Dengan dapat
dialihkannya hak guna bangunan sesuai dengan ketentuan tersebut, hak guna
bangunan dapat juga dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 39 UUPA bahwa, “Hak
Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.”
Hak Guna Bangunan tidak dapat dimiliki oleh orang maupun badan hukum asing.
Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat menjadi subyek atau pemegang Hak Guna Bangunan
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika Hak Guna Bangunan tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena
hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain (misalnya Hak Tanggungan
karena Hak Guna Bangunan tersebut dijadikan jaminan kredit) akan diindahkan,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban untuk:
1. Membayar uang pemasukan kepada Negara;
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukan;
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta
menjaga kelestarian hidup;
4. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung karena keadaan geografis
atau sebab lain;
26
Jimmy Joses Sembiring, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, (Jakarta: Visimedia,
2010), hal. 15.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
17 5. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada Negara,
pemegang Hak Pengelolaan, atau pemegang Hak Milik sesudah HGB
tersebut hapus;
6. Menyerahkan sertipikat HGB yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
Pemegang HGB berhak untuk:
1. Menguasai dan mempergunakan tanahnya selama waktu tertentu untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau
usahanya;
2. Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya.
Mengenai luas tanah pada tanah dengan Hak Guna Bangunan, tidak ada
pembatasan, tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan. Ketentuannya adalah
apabila satu keluarga telah mempunyai 5 (lima) sertipikat tanah maka untuk setiap
perubahannya harus mendapat izin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hak
Guna Bangunan dapat dilihat dari asal terjadinya, apabila asal tanah adalah Tanah
Negara, maka terjadinya adalah melalui permohonan hak. Sedangkan jika berasal
dari tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu (Hak Milik dan Hak
Pengelolaan), maka terjadinya melalui perjanjian antara pemilik tanah tersebut
dengan pihak yang akan memperoleh HGB.
Berdasarkan ketentuan pasal 35 ayat (3) UUPA serta pasal 34 PP Nomor 40
Tahun 1996, Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
di samping itu Hak Guna Bangunan juga dapat dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani Hak Tanggungan (Pasal 39 UUPA juncto pasal 33 PP Nomor 40 Tahun
1996). Peralihan Hak Guna Bangunan dapat melalui:
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Penyertaan dalam modal
d. Hibah
e. Pewarisan
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
18 Adapun ciri-ciri dari Hak Guna Bangunan adalah sebagai berikut:27
i.
Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP Nomor 24 Tahun 1997.
ii. Jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir. Hak
Guna Bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan
atas permintaan pemegang hak serta mengingat keperluan dan keadaan
bangunannya, Hak Guna Bangunan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun.
iii. Hak Guna Bangunan dapat beralih kepada pihak lain, yaitu karena
peristiwa hukum, misalnya pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta
karena perkawinan campuran.
iv. Hak Guna Bangunan dapat dialihkan kepada pihak lain sepanjang jangka
waktu berlakunya belum habis. Hal ini terjadi karena subyek hukum
melakukan suatu perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian jual
beli, hibah, penukaran, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan
lain yang bermaksud untuk memindahkan hak penguasaan atas tanah.
v.
Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan sepanjang jangka waktu berlakunya belum habis.
vi. Hak Guna Bangunan termasuk salah satu hak yang wajib didaftar.
vii. Hak Guna Bangunan juga dapat dilepaskan oleh pemegang haknya
sehingga tanahnya menjadi tanah Negara.
Hapusnya Hak Guna Bangunan antara lain karena:
1. Jangka waktunya berakhir;
2. Dibatalkan karena syarat tidak terpenuhi;
3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
4. Dicabut untuk kepentingan umum (Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961);
5. Tanahnya ditelantarkan;
6. Tanahnya musnah;
27
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Teori dan
Praktek), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal 141.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
19 7. Pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HGB.
2.1.2. HAK PENGELOLAAN
Dalam UUPA Hak Pengelolaan di dalam sistematika hak-hak penguasaan
atas tanah tidak dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah, akan tetapi
keberadaannya tersirat dalam penjelasan umum UUPA yaitu:
“Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat
memberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah tanah yang tidak
dapat dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang ataupun pihak lain) kepada
seseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, atau Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada
sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. (Pasal 2 ayat (4)
UUPA)28
Hak Pengelolaan pada hakikatnya merupakan gempilan/serpihan/pecahan
dari Hak Menguasai dari Negara sebagaimana berdasarkan dari pengertian Hak
Pengelolaan yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996
juncto Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut dengan PMNA/Kepala BPN) Nomor 9
Tahun 1999 bahwa Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Berdasarkan Pasal 3 PMDN Nomor 5 Tahun 1974, Hak Pengelolaan adalah hak
atas tanah yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk:
1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya;
2. Menggunakan tanah untuk keperluan sendiri;
3. Menyerahkan bagian dari tanahnya kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang telah ditentukan bagi pemegang hak tersebut yang
meliputi segi peruntukan, segi penggunaan, segi jangka waktu dan segi
keuangannya.
Setelah jangka waktu hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga itu
berakhir maka tanah tersebut kembali lagi ke dalam penguasaan sepenuhnya
28
Harsono, op.cit., hal. 279.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
20 pemegang Hak Pengelolaan dalam keadaan bebas dari hak-hak yang
membebaninya.
Landasan hukum yang mengatur tentang Hak Pengelolaan diatur dalam
peraturan-peraturan sebagai berikut:
a. Pada UUPA tidak dituliskan secara tegas, hanya disinggung dalam
Penjelasan Umum bagian A II (2);
b. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang
Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan KetentuanKetentuan Kebijaksanaan selanjutnya;
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan
Mengenai Penyediaan dan Pemberian Hak untuk Keperluan Perusahaan;
d. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang
Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan;
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tatacara
Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah
Hak Pengelolaan Beserta Pendaftarannya (untuk selanjutnya disebut
PMDN Nomor 1 Tahun 1977);
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan
dan Pemberian Hak atas Tanah untuk Keperluan Pembangunan
Perumahan;
g. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah;
h. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak
atas Negara dan Hak Pengelolaan.
Hak Pengelolaan ini dulu berasal dari apa yang disebut “Hak Beheer”29,
yaitu hak penguasaan atas tanah Negara yang setelah UUPA melalui PMA Nomor
9 Tahun 1965 dikonversi menjadi hak atas tanah menurut hukum tanah nasional.
Kalau dengan Hak Beheer, jika tanahnya digunakan sendiri oleh instansi
29
Arie S. Hutagalung, “Sekilas Mengenai Hak Pengelolaan”, Pendapat Hukum Mengenai
Hak Pengelolaan, Jakarta, 2006, hal. 1.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
21 pemerintah untuk keperluan sendiri maka akan dikonversi menjadi Hak Pakai,
tetapi apabila tanahnya selain akan digunakan sendiri, ada bagian-bagian dari
tanah lainnya akan diserahkan kepada pihak ketiga yang meliputi segi peruntukan,
penggunaan dan jangka waktu dan keuangan, maka Hak Beheer dikonversi
menjadi Hak Pengelolaan.
Dalam perkembangannya, diketahui bahwa subyek dari Hak Pengelolaan antara
lain:30
a. Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) dan
masyarakat hukum adat (Penjelasan Umum UUPA dan Pasal 2 ayat (4)
UUPA).
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan dan pengembangan
wilayah, industri, pariwisata, pelabuhan, perumahan/pemukiman (PMDN
Nomor 5 Tahun 1974).
c. Perum, Persero, atau bentuk lain yang bergerak di bidang penyediaan,
pengadaan, dan pematangan tanah bagi kegiatan usaha (PMDN Nomor 5
Tahun 1974).
d. Badan otorita (Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 juncto Nomor
94 Tahun 1998).
e. Lembaga dan instansi pemerintah.
Berdasarkan pasal 67 ayat (1) PMNA/Ka.BPN Nomor 9 Tahun 1999, Hak
Pengelolaan dapat diberikan kepada:
a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah;
d. PT. Persero;
e. Badan Otorita;
f. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
30
Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan
Implementasi, (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006), hal. 154.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
22 Hak Pengelolaan terjadi karena adanya Penetapan dari Pemerintah, dan diberikan
selama tanah tersebut dipergunakan. Luas tanahnya tidak dibatasi dan menurut
kebutuhan. Sifat dan ciri-ciri Hak Pengelolaan:
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PMA Nomor 1 Tahun
1966;
2. Tidak dapat dipindahtangankan;
3. Tidak dapat dijadikan jaminan hutang;
4. Mempunyai segi-segi perdata dan segi-segi publik.
Berdasarkan PMDN Nomor 1 ayat (1) Nomor 1 Tahun 1977, pemegang Hak
Pengelolaan tersebut diberikan kewenangan untuk melakukan kegiatan yang
merupakan sebagian dari kewenangan Negara, yang antara lain:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usahanya;
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga
menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak
tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu
dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah
kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat
yang berwenang, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Proses pemberian hak atas tanah di atas tanah Hak Pengelolaan diatur di
dalam Pasal 67 sampai pasal 75 PMNA/Ka.BPN Nomor 9 Tahun 1999, dimana
pemohon harus terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian
penggunaan tanah dari pemegang Hak Pengelolaan (Pasal 4 ayat (2)
PMNA/Ka.BPN Nomor 9 Tahun 1999. Perjanjian tersebut wajib dibuat dalam
bentuk tertulis antara pemegang Hak Pengelolaan dengan Pemohon (Pasal 3 ayat
(1) PMDN Nomor 1 Tahun 1977). Dalam hal ini pemohon adalah pihak ketiga
yaitu para investor atau developer yang memerlukan tanah untuk keperluan
usahanya. Pihak ketiga dapat diberikan sebagian dari tanah Hak Pengelolaan yang
wajib dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Untuk
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dapat diperpanjang jangka waktunya dan
diperbaharui haknya. Dengan adanya pemberian hak-hak atas tanah di atas Hak
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
23 Pengelolaan tersebut, maka hak-hak atas tanah itu dapat dijadikan jaminan hutang
yang dibebani dengan lembaga jaminan Hak Tanggungan. Oleh karena itu, Hak
Pengelolaan sendiri tidak dapat dijadikan jaminan hutang yang dibebani dengan
Hak Tanggungan.
Dalam rangka penggunaan bagian tanah Hak Pengelolaan oleh pihak ketiga,
pemegang Hak Pengelolaan berwenang untuk menetapkan jumlah uang
pemasukan yang harus dibayaroleh pihak ketiga sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Uang pemasukan yang dimaksud adalah uang yang harus dibayar oleh
setiap penerima hak atas tanah Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku
sebagai pengakuan (recognitie) atas Hak Menguasai Negara (Pasal 1 angka 11
PMNA/Ka.BPN Nomor 9 Tahun 1999). Uang pemasukan tersebut merupakan
sumber pendapatan bagi pemegang Hak Pengelolaan, karena telah mengeluarkan
biaya untuk memperoleh tanah dan mematangkan tanahnya hingga siap pakai
sesuai dengan tujuan pemakaiannya.
Pihak ketiga selain berkewajiban untuk membayar uang pemasukan, juga
wajib untuk mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
kepada Kepala Kantor Pertanahan yang berwenang memberikan hak atas tanah
yang dimohon setelah perjanjian tertulis disepakati oleh kedua belah pihak. Hak
atas tanah yang diberikan di atas Hak Pengelolaan baru dapat dilaksanakan setelah
Hak Pengelolaan itu didaftarkan dan diterbitkan sertipikatnya oleh Kantor
Pertanahan yang diberikan kepada pihak ketiga sebagai alat bukti yang kuat. Hak
Pengelolaan tidak akan pernah hapus selama subyek Hak Pengelolaan masih ada,
dan selama masih konsisten melaksanakan tugasnya untuk memberikan bagianbagian dari Hak Pengelolaannya bagi pihak ketiga untuk keperluan usaha pihak
ketiga tersebut.31
Hapusnya Hak Pengelolaan antara lain karena:
1. Dilepaskan oleh pemegang haknya;
2. Dicabut untuk kepentingan umum;
3. Diterlantarkan;
4. Tanahnya musnah.
31
Ibid., hal. 160.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
24 2. 2. TATA CARA MEMPEROLEH HAK ATAS TANAH YANG
DIPERLUKAN
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum menentukan cara
memperoleh tanah yang diperlukan:
1. Proyeknya
Yaitu apa yang direncanakan untuk dibangun atau apa yang akan
dibangun, misalnya yang akan dibangun itu adalah rumah, pelabuhan
udara atau pelabuhan laut, dan sebagainya. Dengan demikian masalah
proyek ini erat sekali kaitannya dengan masalah lokasi.
2. Lokasi
Yang dimaksud dengan lokasi adalah tempat dimana proyek akan
dibangun. Instansi yang menentukan lokasi proyek ialah Pemerintah
Daerah setempat yaitu:
1. Pemerintah Daerah Tingkat I;
2. Pemerintah Daerah Tingkat II (Kotamadya/Kabupaten).
Dalam hal ini Pemerintah Daerah yang sudah mempunyai pedoman untuk
pembangunan di daerahnya berdasarkan Rencana Tata Kota yang telah
dibuatnya. Rencana Kota (Staadplan atau City Planning) tersebut masih
perlu dilengkapi lagi dengan rencana yang lain, yaitu apa yang disebut
Rencana Tata guna Tanah (RTGT). RTGT ini tidak dapat dipisahkan dari
Rencana Kota.
Pokok-pokok dari RTGT tersebut antara lain ialah:
a. Tujuan
Supaya di daerah itu dapat dilakukan sepenuhnya daya guna
sehingga tanah yang tersedia dapat memenuhi berbagai keperluan
bangunan, baik bangunan yang bersangkutan dengan Pemerintah
Daerah dan masyarakat pada umumnya. Dengan perkataan lain,
memberi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
pembangunan di daerahnya, dan pedoman ini sekaligus juga harus
ditaati oleh warga kotanya. Masalah ini dapat kita kaitkan kembali
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
25 dengan kewajiban dari setiap pemegang hak atas tanah, bahwa di
samping mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya,
juga berkewajiban agar orang lain dapat turut merasakan
manfaatnya
(“fungsi
sosial”).
Sejauhmana
orang
telah
melaksanakan kewajibannya, akan terlihat apakah ia sudah
memenuhi RTGT tersebut. Di sini apabila kita hubungkan dengan
Hak Bangsa, maka pemegang hak atas tanah yang subyeknya
perorangan, terdapat unsur kebersamaan.
b. Isi
1. Master Plan (Rencana Induk), bersifat umum dan biasanya
untuk jangka waktu 20 tahun lamanya.
2. Detail Plan (Rencana Terperinci), bersifat khusus dan sudah
terperinci, misalnya untuk daerah tertentu, sudah tertuang
dalam gambar dengan jelas letak jalan-jalannya, saluransaluran air, taman, dan lain-lain.
c. Sifat RTGT
1. Terbuka untuk umum
Artinya, bahwa setiap orang atau warga kota dapat melihat
dan mengetahui RTGT tersebut.
2. Konsisten
Artinya, kalau sudah ditetapkan hari ini, tidaklah akan
berubah keesokan harinya, sehingga ada kepastian hukum.
Oleh karena itu dibuat untuk jangka waktu 20 tahun lamanya
(master plan).
3. Fleksibel
Misalnya. Setiap 5 tahun sekali akan ditinjau oleh Pemerintah
Daerah dan diadakan penyesuaian melalui Peraturan Daerah
(Perda), karena mungkin data yang dipakai sudah “out of
date” dan tidak akurat lagi. Namun demikian, Perda tidaklah
dapat berlaku dengan segera. Untuk itu terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan dari atasannya. Contohnya, pada
daerah tingkat II harus mendapat persetujuan dari Pemerintah
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
26 Daerah Tingkat I, dan tingkat I harus mendapat persetujuan
dari Menteri Dalam Negeri.
4. Mengikat
Dalam hal ini Pemerintah Daerah dan para warganya menaati
RTGT sebagai pedoman untuk melaksanakan pembangunan
di daerah yang bersangkutan.
3. Tanah yang tersedia
1. Segi fisik, terdiri dari:
- Letak tanahnya yang menyangkut masalah yurisdiksi perubahan
dasar;
- Luas tanahnya, dalam hal ini perlu diteliti ukuran yang tepat;
- Batas-batas tanahnya untuk mencegah konflik dengan tanah
yang bersebelahan.
2. Segi yuridis
- Status tanahnya, apakah tanah itu tanah Negara atau tanah hakhak pribadi tertentu;
- Status subyeknya, siapakah pemilik atau pemegang hak atas
tanah.
- Hak-hak pihak ketiga yang membebani;
- Perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang telah terjadi;
- Apakah ada penguasaan ilegal di atasnya.
Untuk mengetahui keterangan mengenai segi fisik dan yuridis dari tanah
yang tersedia secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:
Tanah Hak Yang Sudah
Didaftar
Tanah Hak Yang Belum Didaftar
Sertipikat Hak atas Tanah yang Bagian tanah-tanah bekas hak
memuat data yuridis dan data Indonesia, antara lain bekas Hak
fisik atas bidang tanah yang Milik Adat, yang dianggap sebagai
bersangkutan.
tanda buktinya (sebelum UUPA)
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
27 ialah:
Petuk Pajak:
-
Pajak hasil bumi/”landrente”
(bagi Hak Milik Adat di desadesa), disebut dengan istilah
Girik, ketitir atau pipil.
-
Verponding Indonesia (bagi
Hak Milik Adat di kota-kota
besar).
Tanda bukti pembayaran pajak
tersebut sekarang disebut tanda bukti
pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan.
Yang dimaksud dengan tata cara memperoleh tanah yang tersedia adalah prosedur
yang harus ditempuh dengan tujuan untuk menimbulkan suatu hubungan yang
legal antara subyek tertentu dengan tanah tertentu. Secara garis besar menurut
hukum tanah nasional dikenal 3 (tiga) macam status tanah yaitu:
1. Tanah Negara, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh Negara;
2. Tanah hak, yaitu tanah yang dipunyai oleh perorangan atau badan hukum,
artinya sudah terdapat hubungan hukum yang konkret antara subyek
tertentu dengan tanahnya;
3. Tanah ulayat, yaitu tanah dalam penguasaan suatu masyarakat hukum adat.
Dalam garis besarnya secara khusus, tata cara memperoleh tanah menurut
hukum tanah nasional adalah sebagai berikut:
1. Acara Permohonan dan Pemberian Hak atas Tanah, jika tanah yang
diperlukan berstatus tanah Negara.
Hak-hak yang dapat diperoleh atas tanah yang dikuasai Negara ada 5
macam (hak-hak primer) yaitu: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
28 Dasar hukumnya:
a. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 pengganti PP 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah;
b. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan;
c. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah
Negara.
2. Acara Pemindahan Hak, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak;
b. Pihak yang memerlukan tanah boleh memiliki hak yang sudah ada;
c. Pemilik bersedia menyerahkan tanah.
Cara ini dilakukan apabila pihak yang memerlukan tanah
memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang tersedia,
dan pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk memindahkan
haknya. Pemindahan hak adalah perbuatan hukum untuk memindahkan
hak atas tanah kepada pihak lain. Tanah-tanah hak yang dapat dipindahkan
adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
atas Tanah Negara (Hak Pakai yang primer). Bentuk-bentuk pemindahan
hak:
1. Jual Beli
Pemindahan hak terjadi pada saat itu juga secara langsung dari
penjual kepada pembeli. Bersifat tunai, yaitu pemindahan hak atas
tanah dan pembayarannya serentak terjadi bersamaan sebagaimana
konsepsi Hukum Adat.
2. Tukar Menukar
Hak atas tanah tertentu ditukar dengan hak atas tanah lain yang
sejenis.
3. Hibah
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
29 Pemindahan hak terjadi seketika dan langsung sebagai penyisihan
sebagian dari harta kekayaan seseorang yang diberikan secara
cuma-cuma semasa ia hidup kepada orang yang biasanya
mempunyai hubungan kekerabatan.
4. Hibah Wasiat
Pemindahan hak terjadi secara langsung menurut kehendak terakhir
dari si pemberi wasiat, tetapi dengan syarat sesudah ia mati baru
terjadi pemindahan haknya. Itupun masih diperlukan perbuatan
hukum
yang
lain
dimana
pelaksanaannya
harus
melalui
pelaksanaan wasiat kepada si penerima hibah wasiat tersebut.
Dalam hal pemindahan hak, syarat-syarat subyek pun harus dipenuhi. Jika
subyek selaku calon penerima hak tidak memenuhi syarat-syarat subyek
hak atas tanah yang akan dipindahkan kepadanya sebagaimana ditentukan
dalam UUPA, maka akan batal demi hukum dan tanahnya akan menjadi
Tanah Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta khusus untuk pemindahan hak
dengan jual beli maka pembayaran yang diterima oleh pemilik tidak dapat
dituntut kembali (Pasal 26 ayat (2) UUPA).
Menurut Hukum Tanah Positif, jual beli tanah setelah tanggal 24
September 1960 merupakan pemindahan hak atas tanah untuk selamalamanya, yang dalam Hukum Adat dinamakan “jual lepas” dan bersifat
“tunai”. Artinya, begitu terjadi jual beli, begitu pula pada saat bersamaan
terjadilah pemindahan hak atas tanah dan pembayaran harga, sehingga
sejak itu putus hubungan antara pemilik yang lama dengan tanahnya untuk
selama-lamanya. Pemindahan hak ini berarti pemindahan penguasaan
secara yuridis dan secara fisik sekaligus. Namun ada kalanya pemindahan
hak tersebut baru secara yuridis saja karena fisik tanah masih ada di bawah
penguasaan orang lain, sehingga penyerahan secara fisik akan menyusul
kemudian. Tata caranya, jual beli harus dilakukan di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan hanya jual beli dengan akta yang dibuat
oleh PPAT saja yang dapat dipakai untuk pendaftaran di Kantor
Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah (Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
30 Namun demikian, pendaftaran jual beli pada Kantor Pertanahan bukanlah
untuk sahnya jual beli, tetapi berfungsi memperkuat dan memperluas
pembuktian. Sahnya jual beli tersebut ditentukan oleh syarat materiil dari
perbuatan jual beli yang bersangkutan, bukan oleh Pasal 19 PP 10/1961
(sekarang PP Nomor 24 Tahun 1997), antara lain:
a.
Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
b.
Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
c.
Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut
hukum;
d.
Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.
3. Acara Pelepasan Hak, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak atau tanah hak ulayat
suatu masyarakat hukum adat;
b. Pihak yang memerlukan tanah tidak boleh memiliki hak yang
sudah ada;
c. Pemilik bersedia menyerahkan tanahnya.
Pelepasan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum berupa
melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat antara pemegang hak
dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan
cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hingga tanah yang
bersangkutan berubah statusnya menjadi tanah Negara. Pelepasan hak atas
tanah dilakukan bilamana subyek yang memerlukan tanah tidak memenuhi
syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan sehingga
tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan pemegang hak atas tanah
bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya. Acara pelepasan hak wajib
dilakukan dengan Surat Pernyataan Pelepasan Hak yang ditandatangani
oleh pemegang hak diketahui pjabat yang berwenang. Hal ini dikarenakan
pada dasarnya pelepasan hak tersebut dilakukan oleh pemegang hak atas
tanah dengan sukarela.
4. Acara Pencabutan Hak, jika:
a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak;
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
31 b. Pemilik tanah tidak bersedia melepaskan haknya;
c. Tanah tersebut diperuntukkan bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum.
Pencabutan hak yaitu pengambilan tanah kepunyaan pihak lain oleh
Pemerintah secara paksa untuk keperluan penyelenggaraan kepentingan
umum dengan pemberian ganti rugi yang layak kepada yang mempunyai
tanah. Pencabutan hak adalah perbuatan hukum sepihak yang dilakukan
oleh Pemerintah. Landasan hukumnya antara lain adalah Pasal 18 UUPA,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, dan Perpres Nomor 36 Tahun
2005 sebagai pengganti Keppres Nomor 55 Tahun 1993. Syarat-syarat
melaksanakan pencabutan hak:
i.
Tanah diperlukan benar-benar untuk kepentingan umum;
ii.
Merupakan upaya terakhir untuk menguasai tanah yang diperlukan
dan hanya digunakan dalam keadaan memaksa;
iii.
Harus ada ganti rugi yang layak;
iv.
Harus dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden;
v.
Bila ganti rugi yang tidak memuaskan harus banding ke Pengadilan
Tinggi.
2. 3. PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran atas suatu tanah merupakan hal yang harus dilakukan oleh
siapa saja yang melakukan transaksi atas tanah, baik itu transaksi jual beli, sewa
menyewa, dan sebagainya. Pendaftaran atas suatu tanah harus dilakukan sesuai
dengan prosedur sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan. Hak milik atas suatu tanah ataupun bangunan yang berdiri di atas tanah
akan mendapatkan perlindungan secara hukum dan secara yuridis untuk
memperoleh pengakuan dari Negara apabila sudah dilakukan pendaftaran.
Pendaftaran tanah di Indonesia diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
24 Tahun 1997. Pasal 1 ayat (1) dari PP ini mendefinisikan pendaftaran tanah
sebagai berikut:
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
32 pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Dari definisi itu, dapat disimpulkan bahwa pendaftaran tanah merupakan
salah satu sarana bagi pemerintah untuk melakukan pendataan atas hak suatu
tanah. Pendataan ini mutlak diperukan agar semua tanah yang berada di wilayah
Republik Indonesia jelas kepemilikannya dan tidak menjadi tanah terlantar juga
tidak terjadi kekacauan dalam hal penguasaan hak atas tanah. Tujuan pendaftaran
tanah sebagaimana disebutkan pada Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 yakni:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
PP Nomor 24 Tahun 1997 menentukan jenis-jenis tanah apa saja yang
harus didaftarkan sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 9 aat (1) mengenai
obyek pendaftaran tanah meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai;
b. Tanah hak pengelolaan;
c. Tanah wakaf;
d. Hak milik atas satuan rumah susun;
e. Hak tanggungan;
f. Tanah Negara.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
33 Pendaftaran tanah terdiri atas dua kegiatan utama, yatu pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pasal 1 angka 9 PP Nomor
24 Tahun 1997 mendefinisikan pendaftaran tanah untuk pertama kali sebagai
kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang
dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961
maupun PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sebagai suatu
obyek yang masuk ke dalam kategori harta benda, sudah sewajarnya apabila
terjadi peralihan hak milik atas suatu tanah. Peralihan hak milik atas suatu tanah
berakibat pada perubahan atas data kepemilikan atas suatu tanah sehingga apabila
peralihan atas kepemilikan suatu tanah tidak diikuti dengan pendaftaran atas
perubahan kepemilikan maka akan dapat menimbulkan permasalahan hukum.
Pada pasal 1 angka 12 PP Nomor 24 Tahun 1997, pemeliharaan data
pendaftaran tanah didefinisikan sebagai kegiatan pendaftaran tanah untuk
menyesuaikan data fisik dan yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar
nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang
terjadi kemudian. Tujuan utama dari pemeliharaan data adalah untuk dapat
mengetahui status tanah tersebut sehingga dengan adanya data akan memberikan
kemudahan bagi pihak-pihak yang akan melakukan transaksi tanah dan sekaligus
juga memberikan kepastian hukum bagi para pihak32. Pasal 12 ayat (1) PP Nomor
24 Tahun 1997 menguraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk pendaftaran
tanah yang dilakukan untuk pertama kali yaitu:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
b. Pembuktian hak dan pembukuannya;
c. Penerbitan sertipikat;
d. Penyajian data fisik dan data yuridis;
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagaimana yang diuraikan di
pasal 12 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah:
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;
32
Sembiring, op. cit., hal. 38.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
34 b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
2. 4. PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
2.4.1. PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN
Hak guna bangunan merupakan hak yang dimiliki atas bangunan yang
berdiri di atas suatu tanah. Sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, hak
guna bangunan hanya dapat diajukan oleh Warga Negara Indonesia dan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia. Permohonan atas
pemberian hak guna bangunan harus diajukan secara tertulis oleh pemohon hak.
Permohonan yang diajukan secara tertulis tersebut memuat identitas dari pemohon
dan juga hal-hal lainnya yang berkaitan dengan data-data fisik, sebagaimana yang
ditentukan dalam pasal 33 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, antara lain :
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. Jika perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan
pekerjaannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya
yang masih menjadi tanggungannya;
b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau
peraturan
pendiriannya
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:
a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik
surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah
dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah,
putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat
bukti perolehan tanah lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukut atau Gambar
Situasi sebutkan tanggal dan nomornya);
c. Jenis tanah (pertanian, non pertanian);
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
35 d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara).
3. Lain-lain:
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah
yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.
Permohonan hak guna bangunan ini juga harus dilampirkan dengan dokumendokumen pendukunga yang mana dokumen pendukung tersebut merupakan
dokumen atas diri pemohon hak guna bangunan dan dokumen atas tanah.33
Pasal 34 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 mengatur tentang hal-hal yang harus dipenuhi
untuk pengurusan perolehan hak guna bangunan, yaitu:
1.
Bagi Perusahaan Nonfasilitas Penanaman Modal:
a) Mengenai pemohon:
i. Jika perorangan : fotokopi surat bukti identitas, surat bukti
kewarganegaraan Republik Indonesia;
ii. Jika badan hukum : fotokopi akta atau peraturan
pendiriannya dan salinan surat keputusan penunjukannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b) Mengenai tanahnya:
i. Data yuridis : sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat
bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan
atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, PPAT, akta
pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti
perolehan tanah lainnya;
ii. Data fisik : surat ukur, gambar situasi, dan IMB apabila ada;
iii. Surat lain yang dianggap perlu.
33
Ibid., hal. 62.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
36 c) Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas, dan
status tanah-tanah yang telah dimiliki oleh pemohon termasuk
bidang tanah yang dimohon.
2.
Bagi Perusahaan dengan Fasilitas Penanaman Modal:
a. Fotokopi identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan
yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan
sebagai badan hukum;
b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka
panjang;
c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau
surat izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah;
d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa
pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta
pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti
perolehan tanah lainnya;
e. Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau
Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari
Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat
persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non-PMDN
atau PMA.
f. Surat ukur apabila ada.
Surat permohonan tersebut diajukan kepada Menteri melalui Kepala
Kantor Pertanahan yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Setelah surat permohonan tersebut diterima, kelengkapan data yuridis
permohonan tersebut akan diperiksa dan diteliti oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Setelah selesai diperiksa, permohonan tersebut dicatatkan di formulir isian.
Setelah itu, pemohon wajib melunasi biaya administrasi atas pendaftaran tersebut.
Setelah
pemeriksaan
administrasi
tersebut
selesai
dilakukan,
dilakukan
pemeriksaan terhadap kebenaran atas dokumen dan data-data yang disampaikan
oleh pemohon. Hal ini sesuai dalam pasal 37 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999, yaitu :
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
37 1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data
yuridis dan data fisik permohonan HGB
dan memeriksa kelayakan
permohonan tersebut, dapat atau tidaknya diproses lebih lanjut sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku.
2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor
Pertanahan memerintahkan Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran
Tanah untuk mempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran.
3) Selanjutnya, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada :
a. Kepala Seksi Hak atas Tanah untuk memeriksa permohonan hak
terhadap tanah yang sudah terdaftar yang kemudian dituangkan
dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (konstatering rapport);
b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap
tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara;
c. Panitia Pemeriksa Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap
tanah selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
b, yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah.
4) Dalam hal data fisik dan yuridis belum lengkap, Kepala Kantor Pertanahan
memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.
5) Dalam hal keputusan pemberian HGB telah dilimpahkan kepada Kepala
Kantor Pertanahan, setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi
Hak Atas Tanah, Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan
pemberian HGB atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan
disertai dengan alasan penolakannya.
6) Dalam hal oleh Menteri keputusan pemberian HGB tidak dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan, maka berkas permohonan disampaikan
kepada Kepala Kantor Wilayah disertai pendapat dan pertimbangannya.
Perpanjangan Hak Guna Bangunan dapat diajukan oleh pemegang HGB dalam
tenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum jangka waktu berakhirnya HGB.
Persyaratan, proses dan prosedur yang harus dilalui oleh pemohon sama seperti
proses permohonan untuk mendapatkan Hak Guna Bangunan. Permohonan atas
perpanjangan jangka waktu HGB akan dikabulkan apabila memenuhi persyaratan
seperti dalam Pasal 44 PMNA Nomor 9 Tahun 1999 antara lain :
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
38 1) Permohonan
perpanjangan
jangka
waktu
HGB
yang
tanahnya
dipergunakan untuk bangunan rumah tinggal dikabulkan oleh pejabat
yang berwenang apabila :
a. Tanah tersebut masih dipergunakan untuk rumah tinggal sesuai
dengan maksud pemberian hak yang bersangkutan atau telah
dipergunakan pemegang hak untuk keperluan sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk kawasan yang
bersangkutan;
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak
Guna Bangunan.
2) Permohonan
perpanjangan
jangka
waktu
HGB
yang
tanahnya
dipergunakan untuk keperluan lain daripada untuk bangunan tempat
tinggal dikabulkan oleh pejabat yang berwenang apabila :
a. Tanah yang bersangkutan dipergunakan sesuai dengan RTRW yang
berlaku
pada
saat
permohonan
perpanjangan,
atau
masih
dipergunakan sesuai dengan maksud pemberian hak tersebut atau
RTRW yang berlaku sebelum saat permohonan perpanjangan, akan
tetapi pemegang hak sanggup untuk menyesuaikan penggunaan
tanah tersebut dengan RTRW yang berlaku;
b. Syarat-syarat pemberian hak masih dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB.
Selain persyaratan tersebut, permohonan perpanjangan jangka waktu HGB
baru akan dikabulkan oleh pejabat yang berwenang apabila kepada pemohon telah
diberikan persetujuan untuk perpanjangan hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yaitu mendapat
persetujuan dari pemegang Hak Milik atau Hak Pengelolaan atas tanah yang
bersangkutan, dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak
yang bersangkutan. Persetujuan tersebut dapat dituangkan dalam suatu Akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
39 2.4.2. PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN
Hak Pengelolaan tidak dapat diberikan kepada individu. Hak pengelolaan
hanya dapat diberikan kepada instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah,,
BUMN, BUMD, Persero, Badan Otorita, dan badan-badan hukum pemerintah
lainnya.
Untuk mendapatkan hak pengelolaan, harus diajukan permohonan
tertulis yang memuat :
1) Keterangan mengenai pemohon.
2) Nama badan hukum, tempat kedudukan, akta, atau peraturan pendiriannya
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik :
a. Bukti pemilikan dan bukti perolehan tanah berupa sertifikat,
penunjukan atau penyerahan dari pemerintah, pelepasan kawasan
hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik
adat, atau bukti perolehan tanah lainnya;
b. Letak, batas, luas (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi, sebutkan
tanggal dan nomornya);
c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian);
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah Negara)
4) Lain-lain :
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah
yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.
Permohonan tertulis tersebut dilampiri dengan :
1) Fotokopi identitas permohonan atau surat keputusan pembentukannya atau
akta pendirian perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2) Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang;
3) Izin lokasi
4) Bukti pemilikan atau bukti perolehan tanah;
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
40 5) Surat persetujuan atau rekomendasi dari instansi terkait apabila
diperlukan;
6) Surat ukur apabila ada;
7) Surat pernyataan atau bukti bahwa seluruh modalnya dimiliki oleh
Pemerintah.
Surat permohonan tersebut ditujukan kepada Menteri Pertanahan melalui Kepala
Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Setelah surat permohonan diterima, kelengkapannya akan diperiksa. Pemohon
juga diwajibkan membayar biaya administrasi, yang kemudian setelah hal-hal
tersebut dipenuhi, Kepala Kantor Pertanahan akan menyampaikan permohonan
kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan yang disertai dengan pendapat dan
pertimbangannya, yang kemudian akan diteruskan lagi kepada Menteri
Pertanahan. Menteri akan menerbitkan keputusan pemberian ataupun penolakan
terhadap Hak Pengelolaan yang dimohonkan dengan disertai alasan-alasan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 103 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999,
setiap penerimaan hak atas tanah harus memenuhi kewajiban sebagai berikut :
a. Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan
uang pemasukan kepada Negara sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Memelihara tanda-tanda batas.
c. Menggunakan tanah secara optimal, mencegah kerusakan dan hilangnya
kesuburan tanah, menggunakan tanah sesuai kondisi lingkungan hidup,
dan kewajiban-kewajiban lain yang tercantum dalam sertipikatnya.
d. Dalam hal penerimaan hak tidak memenuhi kewajiban, Menteri dapat
membatalkan haknya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemegang Hak Pengelolaan memang mempunyai kewenangan untuk
menggunakan tanah yang dihaki bagi keperluan usahanya. Tetapi itu bukan tujuan
pemberian hak tersebut kepadanya. Tujuan utamanya adalah bahwa tanah yang
bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang
memerlukan. Hal ini seperti yang telah dikemukakan dalam Pasal 2 Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1965, yang menyatakan apabila tanah
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
41 tersebut dimaksudkan juga untuk diberikan kepada pihak ketiga, maka hak
penguasaan atas tanah Negara dikonversi menjadi Hak Pengelolaan.34 Bagianbagian tanah Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai. Pemberiannya dilakukan oleh
Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul pemegang Hak
Pengelolaan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian antara pemegang Hak
Pengelolaan dan calon pemegang hak atas tanah di atas Hak Pengelolaan. Tanpa
adanya perjanjian tersebut Hak Guna Bangunan, Hak Pakai ataupun Hak Milik
tidak dapat diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan. Sebagaimana halnya tanah
Negara, selama dibebani hak-hak atas tanah tersebut, Hak Pengelolaan yang
bersangkutan tetap berlangsung. Setelah jangka waktu Hak Guna Bangunan yang
dibebankan itu berakir, menurut pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
1 Tahun 1977, tanah yang bersangkutan kembali ke dalam penguasaan
sepenuhnya dari pemegang Hak Pengelolaan. Jadi, Hak Pengelolaan dapat
dibebani hak-hak antara lain seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak
Pakai; tetapi tidak sebaliknya, Hak Pengelolaan tidak dapat diberikan di atas tanah
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang sudah ada terlebih dahulu
di atas tanah yang sama.
2.4.3. PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK
PENGELOLAAN
Dengan
adanya
Peraturan
Menteri
Negara
Agraria/Kepala
Badan
Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan maka
semua ketentuan dan keputusan yang telah diatur sebelumnya dinyatakan tidak
berlaku, termasuk Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 1 Tahun
1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas
Tanah Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya. Padahal, apa
34
Laksmi Harundani, Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun yang Hak Atas Bersama Berada di atas Tanah Hak Pengelolaan (Analisis Kasus:
Apartemen Mangga Dua Court), Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, hal. 20.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
42 yang diatur dalam PMDN Nomor 1 Tahun 1977 belum mendapat pengaturan
dalam PMNA/KBPN 9 Tahun 1999. Dalam pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN Nomor
9 Tahun 1999 hanya disebutkan bahwa : “Dalam hal tanah yang dimohon
merupakan tanah Hak Pengelolaan, pemohon harus terlebih dahulu menunjukkan
berupa Perjanjian Penggunaan Tanah dari pemegang Hak Pengelolaan.” Oleh
karenanya, prosedur yang berkaitan dengan pemberian hak atas tanah di atas Hak
Pengelolaan masih akan dikaitkan dengan PMDN Nomor 1 Tahun 1977.
Sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Negara
Agraria/Kepala
BPN
(PMNA/KBPN) Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, HGB
di atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan suatu keputusan Pemberian Hak
oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya berdasarkan usul dari
pemegang Hak Pengelolaan. Hal ini wajib dilakukan dengan pembuatan
perjanjian tertulis antara pihak pemegang Hak Pengelolaan dan pihak yang
bersangkutan, mengenai :
a. Identitas pihak-pihak yang bersangkutan
b. Letak, batas-batas dan luas tanah yang dimaksud
c. Jenis penggunaannya
d. Hak atas tanah yang akan dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga
yang bersangkutan dan keterangan mengenai jangka waktunya dan
kemungkinan untuk memperpanjangnya.
e. Jenis-jenis bangunan yang akan didirikan di atasnya dan ketentuan
mengenai pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada berakhirnya hak
atas tanah yang diberikan
f. Jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya
g. Syarat-syarat lain yang dianggap perlu.
Perjanjian tertulis dapat memuat syarat-syarat lain yang disepakati bersama
selama sesuai dengan “asas kebebasan berkontrak” yang dituangkan dalam betuk
akta, baik di bawah tangan maupun akta otentik yang dibuat oleh Notaris yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
43 Setelah pihak ketiga memperoleh penunjukan/penyerahan dari pemegang
Hak Pengelolaan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan HGB
tersebut dengan perantara pemegang Hak Pengelolaan. Pemegang Hak
Pengelolaan tersebut berkewajiban untuk melengkapi berkasi permohonan
tersebut dan meneruskannya kepada Kepala BPN melalui Kepala Kantor
Pertanahan setempat, disertai usul-usul tentang syarat-syarat yang harus ditaati
oleh penerima hak. Permohonan tersebut diajukan dan diselesaikan sesuai dengan
PP Nomor 40 Tahun 1996 jo. PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999 jo.
PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999.
Dalam hal perpanjangan, pembaharuan, maupun peralihan HGB di atas
tanah Hak Pengelolaan harus disertai persetujuan atau rekomendasi terlebih
dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan. Jika tidak diperoleh persetujuan dari
pemegang Hak Pengelolaan tersebut, proses perpanjangan, pembaharuan ataupun
peralihan HGB tersebut tidak dapat diaksanakan dan tanahnya kembali dalam
penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. Khusus untuk Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai pemegang Hak Pengelolaan, terdapat ketentuan
tersendiri mengenai pemberian rekomendasi tersebut. Hal ini diatur dengan
Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 122 Tahun 2001 yang
menentukan bahwa Pemohon berhak mendapatkan sesuatu hak di atas bidang
tanah Hak Pengelolaan yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Daerah
berdasarkan rekomendasi dari Gubernur DKI Jakarta yang telah memenuhi
persyaratan dan membayar uang pemasukan yang ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah.
Persyaratan permohonan rekomendasi diatur dalam pasal 3 Keputusan
tersebut yang menentukan antara lain:
1. Pemohon
untuk
memperoleh
rekomendasi
terlebih
dahulu
harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Gubernur dalam hal ini
Kepala Biro Perlengkapan dengan melampirkan identitas pemohon, yaitu
fotocopy Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta untuk pemohon perorangan
atau fotocopy akta pendirian, surat keterangan domisili di DKI Jakarta dan
Nomor Pokok Wajib Pajak untuk pemohon badan hukum.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
44 2. Fotocopy perjanjian jual beli atau perjanjian penyerahan penggunaan tanah
Hak Pengelolaan kepada Pemohon atau perjanjian hak sewa/peralihan hak
sewa yang sah menurut hukum.
3. Surat keterangan penggunaan tanah yang dikeluarkan oleh Lurah dan
Camat setempat untuk tanah Desa dan tanah eks Kota Praja.
4. Gambar Ketetapan Rencana Kota yang berlaku dari Dinas/Suku Dinas
Tata Kota setempat.
5. Fotocopy bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terakhir
atas nama pemohon untuk Tanah Desa dan Tanah Eks Kota Praja.
6. Surat pernyataan kesanggupan membayar uang pemasukan bermaterai
cukup.
Permohonan tersebut disampaikan melalui sekretariat Tim Pertimbangan
Pemberian Rekomendasi (TP2R) yang berkedudukan di Biro Perlengkapan
Propinsi DKI Jakarta. Setelah permohonan diterima oleh TP2R, selanjutnya
diteliti dan diproses secara administratif, yang kemudian dapat ditolak karena
persyaratan belum lengkap, atau dapat juga diterima dan dilanjutkan pada proses
selanjutnya. Permohonan yang diterima berdasrkan hasil penelitian administratif
oleh TP2R selanjutnya akan dilakukan penelitian lapangan dan hasilnya
dituangkan dalam Berita Acara Hasil Penelitian Lapangan, kemudian diadakan
pengkajian dan rapat pembebasan paripurna dengan mempertimbangkan
sekurang-kurangnya aspek kepentingan umum dan Ketetapan Rencana Kota
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, pengkajian dan rapat pembahasan,
permohonan dapat ditolak ataupun disetujui. Dalam hal ditolak, maka penolakan
disertai dengan alasan yang jelas dan dibuatkan surat penolakan yang
ditandatangani oleh Kepala Biro Perlengkapan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak tanggal diterimanya permohonan. Permohonan yang disetujui
berdasarkan rapat pembahasan, maka TP2R menyiapkan Surat Perintah Setor
uang pemasukan berdasarkan Berita Acara Perhitungan Uang Pemasukan dalam
jangka waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan diterimanya
permohonan berdasarkan pembahasan TP2R yang dibuat rangkap 5 (lima). Uang
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
45 pemasukan kepada Negara ini merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP), khusus untuk DKI Jakarta cara perhitungannya adalah :
5 % x Luas Tanah x Nilai Jual Obyek Pajak.
Berdasarkan Surat Perintah Setor yang ditujukan kepada pemohon,
kemudian pemohon melakukan pembayaran ke Kantor Perbendaharaan dan Kas
Daerah dan menyerahkan Tanda Bukti Setor pembayaran kepada TP2R dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal Surat
Perintah Setor dan menyerahkan tanda bukti setor tersebut masing-masing :
a. Lembar kedua kepada Dinas Pendapatan Daerah;
b. Lembar ketiga kepada Biro Keuangan;
c. Lembar keempat kepada Biro Perlengkapan.
TP2R kemudian menyiapkan perbal Surat Rekomendasi untuk ditandatangani
pejabat yang berwenang sebagai berikut :
a. Luas tanah ≤ 500 m2 kepada Kepala Biro Perlengkapan;
b. Luas tanah > 500 – 1.000 m2 kepada Asisten Administrasi;
c. Luas tanah > 1.000 – 5.000 m2 kepada Sekretaris Daerah;
d. Luas tanah > 5.000 m2 kepada Gubernur;
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya
tanda bukti setor.
Pejabat yang berwenang tersebut di atas harus menandatangani Surat
Rekomendasi dalam jangka waktu terhitung sejak disampaikannya perbal paling
lama :
-
21 hari kerja untuk Gubernur;
-
15 hari kerja untuk Sekretaris Daerah;
-
10 hari kerja untuk Asisten Keuangan;
-
5 hari kerja untuk Kepala Biro Perlengkapan.
Surat rekomendasi yang telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang
tersebut kemudian disampaikan kepada pemohon dalam jangka waktu paling lama
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
46 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal surat rekomendasi tersebut dan
tembusannya disampaikan kepada :
a. Lembar kedua kepada Dinas Pendapatan Daerah;
b. Lembar ketiga kepada Biro Keuangan;
c. Lembar keempat kepada Biro Perlengkapan
Pemohon yang telah mendapat rekomendasi ini dapat mengajukan permohonan
HB yang diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
setempat yang apabila disetujui maka akan diberikan Surat Keputusan Pemberian
Haknya untuk kemudian didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya setempat dan kepada pemegang HGB akan diberikan
sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Pada buku tanah maupun sertipikat HGB
tersebut akan dicantumkan bahwa HGB tersebut berada di atas tanah Hak
Pengelolaan.
2. 5. TINJAUAN TENTANG RUMAH SUSUN SECARA UMUM
Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan
masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan
yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun
dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang
lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi
daerah yang kumuh. Saat ini di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Jakarta,
pemukiman rumah susun atau apartemen semakin marak, karena semakin
terbatasnya lahan untuk pembangunan perumahan. Bagi masyarakat Jakarta,
menghuni apartemen atau rumah susun dianggap memiliki keuntungan tersendiri,
antara lain yaitu kedekatan tempat tempat tinggal dengan tempat bekerja, letak
yang strategis karena rumah susun atau apartemen dibangun di tengah kota, dan
alasan keamanan yang terjamin.
Konsep dasar yang melandasi rumah Hak Milik atas Satuan Rumah susun
itu sendiri berpangkal pada teori-teori tentang pemilikan atas suatu benda.
Menurut hukum, suatu benda/bangunan dapat dimiliki oleh seseorang dua orang
atau bahkan lebih, yang dikenal dengan istilah pemilikan bersama. Dalam
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
47 pemilikan bersama atas suatu benda/bangunan pada pokoknya dikenal 2 (dua)
bentuk pemilikan, yaitu:
1. Pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede eigendom)
Dasar utamanya adalah ikatan hukum yang terlebih dahulu ada di antara
para pemilik benda bersamanya. Misalnya: Pemilikan bersama yang
terdapat pada harta perkawinan atau harta peninggalan. Para pemilik
bersama tidak dapat bebas memindahkan haknya kepada orang lain tanpa
persetujuan mede eigenaar lainnya, atau selama suami istri masih dalam
ikatan perkawinan tidak dimungkinkan mengadakan pemisahan dan
pembagian harta perkawinan.
2. Pemilikan bersama yang bebas (vrije mede eigendom)
Antara para pemilik bersama tidak terdapat ikatan hukum terlebih dahulu,
selain dari hak bersama menjadi pemilik dari suatu benda. Di sini ada
kehendak untuk bersama-sama menjadi pemilik atas suatu benda untuk
digunakan bersama.
Pembangunan
rumah
susun
dilakukan
dengan
mempergunakan
sistem
condominium yang mengambil dasar bentuk pemilikan bersama yang bebas, dan
penerapannya diatur dengan undang-undang. Condominium menurut arti kata
berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘con’ berarti bersamasama dan ‘dominium’ berarti pemilikan. Dalam perkembangan selanjutnya,
condominium mempunyai arti sebagai suatu pemilikan bangunan yang terdiri atas
bagian-bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang dapat
digunakan dan dihuni secara terpisah, serta dimiliki secara individual berikut
bagian-bagian lain dari bangunan itu dan tanah di atas mana bangunan itu berdiri
yang karena fungsinya digunakan bersama, dimiliki secara bersama-sama oleh
pemilik bagian yang dimiliki secara individual tersebut di atas.35
35
Arie S. Hutagalung, “Sistem Condominium Indonesia: Implikasi dan Manfaatnya bagi
Developer/Properti Owner” (Makalah Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang
Konsultan Hukum dan Kepengacaraan, FH-UI), Makalah Seminar “Property Development in
Indonesia”, diselenggarakan oleh centre for Management and Technology, Mandarin Hotel,
Jakarta, 7-8 Juli 1990, hal. 1.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
48 Berbagai peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai
rumah susun adalah:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Noomor 4 Tahun 1988 tentang
Rumah Susun;
3. Peraturan Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Bentuk dan Tatacara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah
Susun;
4. Peraturan Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang
Bentuk dan Tatacara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertipikat
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun;
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rumah Susun;
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 66/PRT/1992 tentang
Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun;
7. Surat Keputusan Menteri Negeri Perumahan Rakyat tanggal 17 November
1994 Nomor11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan
Rumah Susun;
8. Keputusan
Menteri
06/KPTS/BKPUN/1995
Negara
tanggal
Perumahan
26
Juni
1996
Rakyat
Nomor
tentang
Pedoman
Pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun.
Pengertian rumah susun berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985 adalah:
“Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal
dan vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”
Bagian dari sistem rumah susun yang utama bagi pemiliknya adalah satuan
rumah susun (SRS), yang diartikan sebagai bagian dari rumah susun yang tujuan
utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai
sarana ke jalan umum (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
49 Karena dapat digunakan secara terpisah, maka rumah susun harus dapat
mempunyai sarana ke jalan umum, sehingga pemiliknya dapat leluasa
menggunakannya secara individual tanpa mengganggu orang lain. Satuan rumah
Susun pada dasarnya merupakan dimensi dan volume ruang tertentu yang
mempunyai batas-batas yang jelas yaitu pada alasnya, samping-sampingnya dan
pada atasnya.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun juga merupakan salah satu obyek
pendaftaran tanah. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang merupakan revisi atas PP Nomor 10 Tahun 1961 sebagai
peraturan pelaksanaan dari UUPA menganut asas pemisahan horizontal, yang
mengatur bahwa pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada
di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horizontal memisahkan tanah
dan benda lain yang melekat pada tanah itu. Misalnya, Sudargo Gautama
berpendapat bahwa menurut hukum adat yang berlaku untuk tanah milik maka
dibedakan antara tanah dan rumah atau bangunan yang didirikan di atasnya.36
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman juga
menganut asas pemisahan horizontal, seperti tampak dari ketentuan pasal 6,
dengan memungkinkan pembangunan pemilikan rumah di atas tanah milik orang
lain. Demikian pula pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, dalam pasal 8 ayat (2) menganut asas pemisahan horizontal,
dengan menyatakan secara tegas bahwa setiap orang atau badan hukum dapat
memiliki bangunan gedung atau bagian bangunan gedung. Namun demikian,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,
dengan adanya sistem kondominium maka sulit untuk memisahkan bangunan
rumah susun dengan tanahnya karena rumah susun termasuk dalam jenis benda
bukan tanah yang sifatnya tetap. Oleh karena itu, atas tiap-tiap sarana rumah
susun yang melekat pada setiap satuan rumah susun, berlaku asas accessie,
36
Rizal Alif, Analisis Kepemilikan Hak atas Tanah Satuan Rumah Susun di dalam
Kerangka Hukum Benda, (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2009), hal. 65.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
50 sehingga tidak ada satuan rumah susun tanpa hak atas sarana bersama tersebut.37
Asas accessie atau pelekatan vertikal adalah pelekatan secara tegak lurus yang
melekatkan semua benda yang ada di atas maupun di dalam tanah dengan tanah
sebagai benda pokoknya (Pasal 571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Barat). Dalam asas accessie terbesit asas sifat mengikuti, dalam hal ini mengikuti
tanah. Dalam pengertian lebih luas, segala barang yang melekat pada tanah
mempunyai sifat mengikuti kedudukan yuridis tanah.
Untuk dapat memiliki satuan rumah susun harus dilandasi dengan suatu
lembaga atau hak penguasaan yang disebut Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
(HMSRS), yaitu hak untuk memiliki satuan rumah susun secara terpisah dan
berdiri sendiri berikut hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan
rumah susun yang bersangkutan (Pasal 8 dan Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985). Hubungan antara satuan rumah susun dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama dapat dilihat pada Nilai
Perbandingan Proporsional, yang dihitung berdasarkan luas bangunan atau nilai
satuan rumah susun secara keseluruhan pada saat pertama kali memperhitungkan
biaya pembangunan secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya.38
Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak
terpisah untuk pemakaian bersama dalam satu kesatuan fungsi dengan satuan
rumah susun. Bagian bersama ini merupakan struktur bangunan dari rumah susun
yang terdiri atas: pondasi, kolom-kolom, sloof, balok-balok luar, penunjang,
dinding-dnding struktur utama, atap, ruang masuk, koridor, selasar, tangga, pintupintu dan tangga darurat, jalan masuk dan jalan keluar dari rumah susun, jaringanjaringan listrik, gas dan telekomunikasi, serta ruang untuk umum. Bagian-bagian
bersama ini tidak dapat dihaki atau dimanfaatkan sendiri-sendiri oleh pemilik
37
Muhyanto, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Kedudukan Hukum dan Sertifikat
Pemilikan Rumah Susun, Proyek Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional BPHN,
Tahun 1993/1994, hal. 22-23.
38
Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, cet. 3, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 15.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
51 satuan rumah susun, tetapi merupakan hak bersama yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari satuan rumah susun yang bersangkutan.
Benda bersama adalah benda-benda yang bukan merupakan bagian rumah
susun tetapi dimiliki bersama serta tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
Benda bersama yang melengkapi rumah susun agar berfungsi sebagaimana
mestinya, terdiri atas:
a. Jaringan air bersih
b. Jaringan listrik
c. Jaringan gas (untuk hunian)
d. Saluran pembuangan air hujan
e. Saluran pembuangan air limbah
f. Saluran dan/atau pembuangan sampah
g. Tempat kemungkinan pemasangan jaringan telepon/alat komunikasi
lainnya
h. Alat transportasi yang berupa lift atau escalator sesuai tingkat
kebutuhannya
i. Alat pemadam kebakaran
j. Alat/sistem alarm
k. Generator listrik (untuk yang menggunakan lift)
l. Pertamanan yang ada di atas tanah bersama
m. Pelataran parkir
n. Penangkal petir
o. Fasilitas olahraga dan rekreasi di atas tanah bersama.
Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpusah, yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan
batasnya dengan persyaratan izin bangunan. Berdasarkan pasal 7 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985, Rumah Susun hanya dapat dibangunan di atas tanah yang
dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah Negara,
atau Hak Pengelolaan. Hak atas tanah bersama ini sangat menentukan dapat
tidaknya seseorang memiliki Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Apabila
seseorang/badan hukum yang karena hukum tidak boleh mempunyai hak atas
tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, maka Undang-Undang Rumah
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
52 Susun juga menetapkan bahwa orang/badan hukum tersebut juga tidak dapat
memiliki Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan. Hak
Pengelolaan hanya dapat diberikan kepada Badan Hukum yang seluruh modalnya
dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Karenanya jika Rumah
Susun dibangun atas Hak Pengelolaan, maka Penyelenggara Pembangunan wajib
menyelesaikan status Hak Guna Bangunannya terlebih dahulu sebelum Satuansatuan Rumah Susun tersebut terjual. Tanah bersama yang jelas batas-batasnya
dimana berdiri rumah susun dan prasarana serta fasilitasnya akan membentuk
suatu Lingkungan Rumah Susun.
Agar dapat melihat keseluruhan sistem rumah susun dari segi hak dan
kewajiban dari pemegang hak atas satuan rumah susun, Penyelenggara
Pembangunan wajib menampilkannya dalam bentuk Pertelaan, yang berisi uraian
dalam bentuk tulisan dan gambar yang memperjelas batas-batas masing-masing
satuan rumah susun, baik batas-batas horizontal maupun vertikal, bagian
bersamanya, benda-benda bersamanya dan tanah bersamanya serta uraian nilai
perbandingan proporsional masing-masing satuan rumah susunnya. Pertelaan ini
harus disahkan oleh Pemerintah Daerah tingkat II, kecuali di Daerah Khusus
Ibukota Jakarta disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pertelaan ini mempunyai arti penting dalam sistem rumah susun, karena dari
pertelaan akan muncul satuan-satuan rumah susun yang terpisah secara hukum
melalui proses pembuatan Akta Pemisahan.
Berdasarkan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun juncto pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 /Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebagai tanda bukti pemilikan atas satuan rumah
susun, kepada pemiliknya diberikan sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun untuk menjamin kepastian hukum atas satuan-satuan rumah susun yang
bersangkutan. Isi dari sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun berbeda
dengan sertipikat hak atas tanah. Sertipikat hak atas tanah hanya terdiri dari
Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur yang keduanya dijahit dalam suatu sampul
dokumen. Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, berdasarkan pasal 9
ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 terdiri atas:
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
53 a. Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur atas hak tanah bersama;
b. Gambar
denah
tingkat
rumah
susun
yang
bersangkutan,
yang
menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki;
c. Pertelaan/uraian mengenai besarnya hak pemilik atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang bersangkutan yang kesemuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Salinan Buku Tanah, Surat Ukur dan Gambar Denah tersebut di atas
kemudian dijilid menjadi satu dalam satu sampul dokumen. Sertipikat Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun harus sudah dimiliki oleh penyelenggara pembangunan
rumah susun sebelum satuan rumah susun dijual, sebab Sertipikat Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun merupakan syarat untuk dapat menjual satuan rumah susun
yang bersangkutan. Selain itu, sistem rumah susun juga memerlukan persyaratan
khusus dalam masalah keselamatan para penghunnya, sehingga setelah
pembangunan rumah susun selesai harus ada Izin Layak Huni lebih dahulu
sebelum diterbitkan sertipikatnya atau sebelum diperjualbelikan. Izin layak huni
akan dikeluarkan bilamana pelaksanaan pembangunan rumah susun dari segi
arsitektir, konstruksi, instalasi dan perlengkapatn bangunan lainnya telah benarbenar sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditentukan dalam Izin
Mendirikan Bangunan yang bersangkutan. Diperolehnya izin layak huni
merupakan salah satu syarat untuk penerbitan sertipikat hak milik atas Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan.
Sesuai dengan pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
juncto pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, penyelenggara rumah
susun wajib untuk mengadakan pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah
susun yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dalam
pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas-batasnya. Pemisahan
tersebut dilakukan dengan akta yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Bentuk dan Tatacara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun.
Di Jakarta, akta ini harus disahkan oleh Gubernur, yang kemudian wajib didaftar
ke Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan sertipikat hak atas tanah, izin
layak huni, izin mendirikan bangunan dan warkah-warkah lainnya. Akta
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
54 pengesahan berikut lampiran-lapirannya digunakan sebagai dasar penerbitan
sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dapat beralih dengan cara pewarisan
atau dengan cara pemindahan hak. Perbuatan pemindahan Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun terjadi dengan dilakukannya jual beli antara pihak penyelenggara
pembangunan rumah susun dengan pembeli, dan harus dilakukan dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang daerah kerjanya meliputi letak rumah
susun yang bersangkutan (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985). Jual
beli yang telah dilakukan di hadapan PPAT tersebut, wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran dilaksanakan dengan
membubuhkan catatan mengenai adanya jual beli yang telah dilakukan pada Buku
Tanah dan Salinan Buku Tanah yang merupakan bagian dari Sertipikat Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun. Sertipikat yang telah dibubuhi catatan pendaftaran,
diserahkan kepada pembeli selaku pemilik baru satuan rumah susun sebagai tanda
bukti pemilikannya.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dapat dijadikan sebagai jaminan kredit.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 13 Undang-Undang nomor 16 Tahun 1985 yang
menyatakan bahwa Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dapat dijadikan jaminan
hutang dengan dibebani hak tanggungan jika tanahnya Hak Milik atau Hak Guna
Bangunan, atau fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah Negara. Namun
demikian, di dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan ditegaskan bahwa Hak Pakai atas tanah negara menurut
ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan dapat juga dibebankan dengan lembaga Hak Tanggungan.
Selain tanah, kredit juga dapat diperoleh dengan bangunan gedung yang masih
akan dibangun sebagai jaminannya. Apabila Hak Tangguungan hapus karena
sebab-sebab tertentu maka perlu ada penghapusan/roya pada buku tanah/sertipikat
hak atas tanah serta buku tanah/sertipikat Hak Tanggungannya. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, dapat dilakukan roya
sebagian (Roya Parsial) dengan syarat harus diperjanjikan terlebih dahulu dalam
akta pemberiannya (Pasal 16 UU Nomor 16 Tahun 1985).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
55 Apabila debitur wanprestasi maka kreditur berhak menjual benda-benda
milik debitur yang dijadikan jaminan hutang untuk memperoleh kembali
piutangnya, dengan mengambil sebagian atau seluruh dari hasil penjualan
tersebut. Untuk menghindari kemungkinan yang tidak dikehendaki dalam
penjualan secara lelang umum tersebut, maka Pasal 17 UU Rumah Susun telah
membuka kemungkinan dilaksanakannya eksekusi di bawah tangan dengan
ketentuan:
1. Atas kesepakatan debitur dan kreditur serta menguntungkan semua
pihak;
2. Dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara
tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
3. Diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan;
4. Tidak ada yang keberatan.
Ada 3 (tiga) macam Rumah Susun di Indonesia yang semuanya mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 sebagai dasar hukum
pengaturannya, yaitu:39
1. Rumah Susun Sederhana (Rusuna), yang pada umumnya dihuni oleh
golongan yang kurang mampu. Biasanya dijual atau disewakan oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Perumnas. Rumah Susun
Klender yang akan dibahas dalam tulisan ini termasuk dalam kategori
Rumah Susun Sederhana.
2. Rumah Susun Menengah (Apartemen), biasanya dijual atau disewakan
oleh Perumnas/Pengembang Swasta kepada masyarakat konsumen
menengah ke bawah.
3. Rumah Susun Mewah (Apartemen/Condominium), selain dijual
kepada masyarakat konsumen menengah ke atas juga kepada orang
asing atau expatriate oleh Pengembang Swasta.
Para pemilik satuan rumah susun mempunyai hak untuk:
39
Ibid., hal. 12.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
56 1. Menghuni
satuan
rumah
susun
yang
dimilikinya,
serta
menggunakan bagian-bagian bersama, benda-benda bersama, dan
tanah bersama masing-masing sesuai dengan peruntukannya;
2. Menyewakan satuan rumah susun yang dimilikinya kepada pihak
lain yang akan menjadi penghuni, asal tidak melebihi jangka waktu
hak atas tanah bersama;
3. Menunjuk Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang
dimilikinya sebagai jaminan kredit dengan dibebani Hak
Tanggungan (Hipotik) atau Fidusia.
4. Memindahkan HMSRS tersebut kepada pihak lain melalui jual
beli, tukar menukar atau hibah.
5. Mengalihkan kepada ahli warisnya, karena HMSRS dapat beralih
karena pewarisan.
Para penghuni suatu lingkungan rumah susun diwajibkan membentuk
perhimpunan penghuni40. Perhimpunan penghuni oleh Undang-Undang Rumah
Susun diberi kedudukan sebagai badan hukum, dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah tangga, dan menurut pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 1988 dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik dan dengan
wewenang yang dimilikinya ini berkewajiban untuk mengurus kepentingan
bersama para pemilik dan penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan,
penghunian dan pengelolaan rumah susun yang mereka huni bersama. Selain
bertugas mengelola dan memelihara rumah susun beserta lingkungannya,
perhimpunan penghuni juga bertugas mengatur tata tertib penghuniannya,
sehingga dapat diwujudkan ketertiban, ketentraman dan keserasian dalam
lingkungan rumah susun yang bersangkutan. Perhimpunan Penghuni dapat
membentuk atau menunjuk Badan Pengelola yang bertugas menyelenggarakan
pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagian bersama,
benda bersama, tanah bersama, dan pemeliharaan serta perbaikannya. Dana yang
dipergunakan untuk membiayai pengelolaan dan pemeliharaan rumah susun,
diperoleh dari pemungutan iuran para penghuninya.
40
Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi, cet. 1,
(Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 173.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
57 Kewajiban lain dari para pemilik satuan rumah susun adalah dalam hal
jangka waktu hak atas tanah bersamanya berakhir, maka para pemilik satuan
rumah susun berkewajiban untuk bersama-sama mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai yang bersangkutan. Dalam mengajukan permohonan perpanjangan hak,
maupun untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum lainnya pemilik satuan
rumah susun harus terlebih dahulu memnita persetujuan tertulis kepada pemegang
Hak Pengelolaan. Untuk meminta persetujuan tersebut, ataupun setiap akan
melakukan perbuatan hukum terhadap satuan rumah susun, pemilik satuan rumah
susun
diwajibkan
membayar
uang
pemasukan
kepada
pemegang
Hak
Pengelolaan. Apabila pemilik satuan rumah susun tidak segera melakukan
perpanjangan hak atas tanah bersama dan tidak memenuhi kewajiban membayar
uang pemasukan, maka tanah bersama akan kembali kepada pemegang Hak
Pengelolaan.
2. 6. PENGHUNIAN DAN PENGELOLAAN RUMAH SUSUN
Sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, diketahui
bahwa satuan rumah susun yang merupakan milik perseorangan dikelola sendiri
oleh pemiliknya, sedangkan yang merupakan hak bersama harus digunakan dan
dikelola secara bersama karena menyangkut kepentingan dan kehidupan orang
banyak. Penggunaan dan pengelolaan milik bersama tersebut harus diatur dan
dilakukan oleh suatu Perhimpunan Penghuni yang diberi wewenang dan tanggung
jawab untuk itu. Maksud dan tujuan Perhimpunan Penghuni41 ini adalah:
1. Untuk mencapai pemanfaatan dan pemakaian rumah susun khusus bagi
keperluan satuan rumah susun.
2. Untuk membina, mengatur dan mengurus kepentingan bersama di antara
penghuni satuan rumah susun dengan menerapkan keseimbangan
kepentingan penghuni agar dapat tercapai ketertiban dan keselarasan
kehidupan bertetangga sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa
41
Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, cet. 3, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 20.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
58 Indonesia khususnya dalam mengelola bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama.
3. Untuk menjaga dan saling melengkapi kebutuhan penghuni dalam
menggunakan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
4. Untuk menjamin kelestarian penggunaan fungsi hak bersama di antara
penghuni.
5. Untuk
membina
terciptanya
kegotongroyongan
dalam
kehidupan
lingkungan di antara penghuni satuan rumah susun.
Adapun tugas pokok Perhimpunan Penghuni42 adalah:
1. Mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang
disusun oleh pengurus dalam Rapat Umum Perhimpunan Penghuni.
2. Membina para penghuni ke arah kesadaran hidup bersama yang serasi,
selaras, seimbang dalam rumah susun dan lingkungannya.
3. Mengangkat pengurus sesuai dengan hasil rapat umum perhimpunan
penghuni.
4. Mengawasi pekerjaan badan pengelola dalam rangka pengelolaan satuan
rumah susun beserta hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama.
Yang menjadi anggota perhimpunan adalah subyek yang memiliki atau
memakai atau menyewa atau menyewa beli (termasuk sewa guna usaha) atau yang
memanfaatkan satuan rumah susun yang berkedudukan sebagai penghuni.
Kepengurusan perhimpunan penghuni minimal terdiri dari seorang keua, seorang
sekretaris, seorang bendahara, dan seorang pengawas pengelolaan. Penambahan
jumlah keanggotaan dan penambahan jabatan dalam kepengurusan perhimpunan
disesuaikan dengan jumlah anggota dan kebutuhan yang perlu diatur dan dikelola.
Pengurus perhimpunan dipilih dari dan oleh Rapat Umum berdasarkan asas
musyawarah dan mufakat serta asas kekeluargaan oleh dan dari anggota
perhimpunan. Apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka pemilihan
dilakukan dengan pemungutan suara terbanyak. Pengurus perhimpunan penghuni
ini dipilih untuk masa bakti 3 (tiga) tahun dihitung sejak tanggal
42
Ibid., hal. 17.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
59 pengangkatannya. Pengurus dipilih selama-lamanya untuk 2 (dua) periode pada
jabatan yang sama. Bagi anggota pengurus yang telah 2 (dua) kali berturut-turut
memangku jabatan, dapat dipilih untuk jabatan yang berbeda.
Pengelolaan rumah susun dilakukan oleh suatu badan pengelola yang
ditunjuk atau dibentuk oleh Perhimpunan Penghuni yang berbentuk badan hukum
dan professional, yang harus dilengkapi dengan unit organisasi, personil dan
peralatan yang mampu untuk mengelola rumah susun yang bersangkutan.
Penunjukan badan pengelola dilakukan dengan:
1. Pengurus perhimpunan penghuni dapat menunjuk badan pengelola yang
berstatus badan hukum dan professional yang sesuai dengan tingkat
kebutuhannya yang bertugas menyelenggarakan pengelolaan rumah susun.
2. Jika badan pengelola yag telah ditunjuk tersebut tidak dapat menjalankan
tugasnya secara professional dapat mengganti badan pengelola tersebut
dan menunjuk badan pengelola lain yang lebih professional.
3. Dalam hal jumlah satuan-satuan rumah susun masih dalam batas-batas
yang dapat ditangani sendiri, perhimpunan penghuni dapat membentuk
badan pengelola yang dilengkapi dengan unit organisasi, personil dan
peralatan yang mampu untuk mengelola rumah susun.
Tugas dari badan pengelola43 tersebut adalah:
1. Mengadakan pemeriksaan, pemeliharaan, kebersihan dan perbaikan rumah
susun dan lingkungannya pada bagian bersama, benda bersama dan tanah
bersama.
2. Mengawasi ketertiban dan keamanan penghuni serta penggunaan bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai dengan peruntukannya.
3. Memberikan laporan secara berkala kepada pengurus perhimpunan
penghuni sekurang-kurangnya setiap 3 (tiga) bulan.
4. Mempertanggungjawaban
kepada
pengurus
perhimpunan
penghuni
tentang penyelenggaraan pengelolaan.
43
Arie S. Hutagalung, op. cit., hal. 172.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
60 2.7. PENELITIAN TENTANG RUMAH SUSUN KLENDER
Pihak penyelenggaraan pembangunan rumah susun Klender adalah Perum
Perumnas. Pada saat penjualan unit satuan rumah susun, pihak penyelenggara
memberitahukan secara lisan dan tulisan kepada calon pembeli bahwa hak atas
tanah bersamanya berada di atas tanah Hak Pengelolaan milik Pemerintah Daerah
yang diberikan untuk dikelola oleh Perum Perumnas. Hal ini termuat di dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat antara pembeli satuan rumah susun
dengan pihak developer, bahwa Hak Guna Bangunannya berada di atas tanah Hak
Pengelolaan, begitu pula di dalam Akta Jual Beli dan Sertipikat Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun. Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 2834 sebagai tanah
bersama berakhir jangka waktunya pada tanggal 20 Februari 2010, oleh karena itu
pada tahun 2007 pengurus dari Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Klender
(PPRSK) mengajukan permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan dari
lingkungan rumah susun tersebut yang luasnya 61.110 M² (enam puluh satu ribu
seratus sepuluh Meter persegi) kepada Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Timur.
Karena Hak Guna Bangunan tersebut terletak di atas Hak Pengelolaan, maka
PPRSK memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari pemegang Hak
Pengelolaan, yang dipegang oleh Perum Perumnas. Namun demikian proses
pemberian rekomendasi tersebut tidak berlangsung mudah, karena PERUM
PERUMNAS beralasan bahwa sertipikat induk dari tanah tempat Rumah Susun
Klender berdiri yang masih keseluruhan dan belum dipecah-pecah, telah hilang di
Kantor Pertanahan dan untuk itu PERUM PERUMNAS tidak dapat memberikan
rekomendasi perpanjangan Hak Guna Bangunan. Kantor Pertanahan pada awalnya
tidak mau mengakui bahwa sertipikat tersebut hilang, namun setelah berulang kali
didesak oleh PPRSK, Kantor Pertanahan menyatakan bahwa mungkin sertipikat
tersebut tercecer pada saat perpindahan Kantor Pertanahan dari tempat yang lama
ke tempat yang baru namun masih satu wilayah. Kemudian Kantor Pertanahan
meminta Ketua PPRSK untuk menandatangani suatu surat pernyataan bahwa
sertipikat tersebut hilang. Ketua PPRSK, Ir. Rivay R. Syam, menolak untuk
menandatanganinya karena menurut beliau hal tersebut tidak sesuai dengan
prosedur sebagaimana mestinya, sebab yang hilang adalah sertipikat yang dari
awal sudah disimpan di Kantor Pertanahan, dan pada waktu itu salinannya
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
61 seharusnya masih dipegang oleh Perum Perumnas sebagai pemegang Hak Guna
Bangunan; setelah perpanjangan HGB ini selesai barulah HGB tersebut akan
dibalik nama menjadi PPRSK. PPRSK kemudian mengambil tindakan dengan
melapor ke polisi dan mengumumkannya di media massa. Kemudian Kantor
Pertanahan akhirnya menerbitkan sertipikat penggantinya yaitu Sertipikat Hak
Guna Bangunan Nomor 2834. Walaupun telah diterbitkan penggantinya, PPRSK
masih kurang puas, karena pertelaan yang dijelaskan dalam sertipikat pengganti,
tidak termasuk 2 (dua) buah lapangan yang ada di tengah-tengah lingkungan
rumah susun Klender, sedangkan menurut PPRSK lapangan tersebut termasuk
dalam fasilitas bersama rumah susun Klender. Tidak lama kemudian, pada
lapangan tersebut diberi tanda batas yang bertulisan “Ini adalah Tanah MILIK
Perumnas yang Akan Dijadikan Fasilitas Komersial Apartemen”. Namun
demikian karena jangka waktu habisnya HGB sudah semakin dekat, PPRSK
memutuskan untuk mengurus perpanjangan HGB tersebut dahulu. Kemudian
Kantor Pertanahan Jakarta Timur mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
41/17/HGB/BPN.31.75-2010 tentang Pemberian Perpanjangan Hak Guna
Bangunan kepada Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional
(PERUM PERUMNAS) tanggal 10 Februari 2010. Sebagai kewajiban bersama
dari penerima hak, Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Klender diwajibkan
untuk membayar uang pemasukan kepada Kas Negara sebesar Rp 478.910.000,(empat ratus tujuh puluh delapan juta sembilan ratus sepuluh ribu Rupiah). Uang
pemasukan atas perpanjangan HGB bersama tersebut telah dilunasi oleh PPRSK.
Namun demikian, uang pemasukan atas perpanjangan HGB masing-masing
(individu) dari tiap-tiap satuan rumah susun sampai bulan Desember 2010 ini
belum semuanya terlunasi. Di Rumah Susun Klender terdapat 1280 satuan rumah
susun, dan yang melunasi uang pemasukan atas perpanjangan sertipikat HGB
individu tersebut baru sekitar 800 unit. Hal ini juga merupakan masalah, karena
sekitar 400 unit yang belum melunasi HGB individu tersebut, sertipikatnya masih
atas nama pembeli yang pertama kali, sedangkan unit satuan rumah susun tersebut
telah diperjualbelikan, dijadikan jaminan hutang di Bank, atau ada pula yang telah
meninggal dan belum dibalik nama terhadap ahli warisnya. Kemudian, karena
sertipikat induk HGB setelah terjadinya perpanjangan HGB bersama tersebut telah
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
62 dilunasi, sertipikat tersebut akan diproses balik nama menjadi nama Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun Klender, bukan lagi Perum Perumnas.
2.8. ANALISIS PERMASALAHAN
2.8.1. Hal yang harus diperhatikan dalam rangka proses perpanjangan Hak
Guna Bangunan bersama yang berada di atas tanah Hak Pengelolaan
Dalam proses perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) bersama yang
berada di atas tanah Hak Pengelolaan, pertama-tama harus diketahui siapa
pemegang Hak Guna Bangunan dan Hak Pengelolaannya. Dalam hal ini,
sertipikat HGB masih atas nama Perumnas, belum dibalik nama menjadi PPRSK.
Hal ini dikarenakan pada waktu pendirian Rumah Susun Klender, Perumnas
sebagai penyelenggara pembangunannya dengan dana dari Pemerintah. Namun
pada saat semua unit satuan rumah susun telah dibeli, sertipikat HGB tersebut
masih belum dibalik nama menjadi nama organisasi yang mengelola Rumah
Susun tersebut, yakni Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Klender (PPRSK).
Namun demikian, pada saat perpanjangan HGB bersama Rumah Susun Klender,
Perumnas tidak mau lagi mengurus perpanjangannya, karena Perumnas
menganggap Rumah Susun Klender telah memiliki suatu organisasi yang
mengelolanya yaitu PPRSK tersebut. Dengan demikian, yang mengajukan
permohonan perpanjangan Rumah Susun Klender adalah PPRSK. Di samping itu,
dalam perpanjangan hak tersebut akan diperlukan persetujuan atau rekomendasi
dari pemegang Hak Pengelolaan yang dalam hal ini, yaitu Perum Perumnas.
Dalam penelitian terhadap Rumah Susun Klender ini, prosedur yang seharusnya
tidak terlalu sulit, menjadi berlarut-larut karena banyaknya hal yang
menghambatnya. Salah satu di antaranya adalah hilangnya sertipikat induk HGB
bersama tersebut, sehingga Perumnas tidak mau memberikan persetujuan atau
rekomendasi terhadap sesuatu yang tidak ada bukti otentiknya. Perum Perumnas
dalam pelaksanaan sebagai pemegang Hak Pengelolaan ini harus mengikuti
ketentuan yang terdapat dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
63 122/2001 tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi Atas Permohonan Sesuatu
Hak Di Atas Bidang Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Desa dan Tanah Eks Kota
Praja Milik/Dikuasai Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, mulai dari proses
pengajuan rekomendasi, pembayaran uang pemasukan sampai dikeluarkannya
Surat rekomendasi pemberian HGB tersebut di atas tanah Hak Pengelolaan milik
Pemerintah Daerah tersebut.
Setelah keluarnya Surat Keputusan pemberian HGB di atas tanah Hak
Pengelolaan, Kantor Pertanahan wajib mencatatkan dalam Buku Tanah ataupun
salinan Buku Tanah bahwa HGB tersebut berada di atas tanah Hak Pengelolaan,
sehingga tidak terdapat pihak ketiga yang merasa dirugikan dengan tidak
dicantumkannya status hak atas tanah tersebut. Dalam hal satuan rumah susun
masih akan diperjualbelikan, harus diinformasikan kepada calon pembeli baik
secara lisan dan tertulis bahwa bangunan rumah susun tersebut di atas tanah Hak
Pengelolaan, sehingga jika jangka waktu HGB akan berakhir, pemilik satuan
rumah susun akan bersedia membayar biaya lebih kepada pemegang Hak
Pengelolaan sebagai uang pemasukan untuk perpanjangan HGB-nya.
Hal yang juga perlu diperhatikan dalam proses perpanjangan HGB bersama
di atas tanah Hak Pengelolaan adalah tentang uang pemasukan yang harus dibayar
kepada Negara dalam rangka meminta persetujuan atau rekomendasi dari
pemegang Hak Pengelolaan. Biayanya ditentukan oleh Pemerintah Daerah,
dimana khusus untuk DKI Jakarta cara perhitungannya adalah :
5 % x Luas Tanah x Nilai Jual Obyek Pajak
Dalam hal ini yang harus dibayarkan oleh PPRS Klender adalah sejumlah Rp
478.910.000,- (empat ratus tujuh puluh delapan juta sembilan ratus sepuluh ribu
Rupiah untuk tanah seluas 61.110 m2 yang dibayarkan oleh para pemilik satuan
rumah susun secara tanggung renteng. Karena HMSRS terletak di atas HGB
bersama, maka para pemilik HMSRS wajib untuk melakukan perpanjangan HGB
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
64 untuk dapat memperpanjang juga sertipikat HMSRS miliknya, yang syaratsyaratnya antara lain adalah44 :
1. Formulir permohonan kolektif atas nama anggota PPRS (Persatuan
Penghuni Rumah Susun) yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon
atau kuasanya di atas materai cukup;
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3. Fotocopy identitas para pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila
dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket;
4. Sertipikat asli HGB (ada di Kantor Pertanahan yang bersangkutan);
5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya
oleh petugas loket.
Hal ini diperlukan karena jangka waktu perpanjangan Hak Milik Satuan Rumah
Susun meliputi jangka waktu Perpanjangan Hak Guna Bangunan sebagai tanah
bersama dan Pencatatan Perpanjangan pada buku tanah dan sertipikat Hak Milik
Satuan Rumah Susun.
2.8.2. Permasalahan yang terdapat di dalam proses perpanjangan Hak
Guna Bangunan bersama di Rumah Susun Klender
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dalam proses perpanjangan HGB
bersama di atas tanah Hak Pengelolaan, PPRSK harus meminta persetujuan atau
rekomendasi dari pemegang Hak Pengelolaan tersebut, yaitu Perum Perumnas.
Namun Perumnas tidak dapat memberikan persetujuan tersebut dengan alasan
sertipikat induk atas tanah yang dimaksud, tidak ada lagi di Kantor Pertanahan.
Kemudian PPRSK mengambil tindakan melapor ke polisi dan mengumumkannya
di media-media massa. Sebelumnya PPRSK memang belum memegang sertipikat
HGB bersama tersebut, akan tetapi yang memegang adalah Perum Perumnas.
Namun Perum Perumnas tidak lagi mau mengurus permohonan perpanjangan
HGB tersebut, karena menurut mereka sesuai dengan pasal 19 ayat (2) Undang 44
Rudi
Karya,
“Perpanjangan
Hak
Milik
Atas
Satuan
Rumah
Susun”,
<http://rudikarya.blogspot.com/2010/05/a29.html>, tanggal akses 15 Desember 2010.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
65 Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun juncto Pasal 54 ayat (3) PP
Nomor 4 Tahun 1988, sejak didirikannya Perhimpunan Penghuni atas Rumah
Susun yang sah, PPRSK tersebut telah menjadi subyek hukum, sehingga sebagai
suatu organisasi yang mengelola rumah susun tersebut, PPRSK yang harus
mengajukan permohonan perpanjangan HGB bersama tersebut. Hal ini sesuai
dengan pasal 19 ayat (3) UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang
menyebutkan:
“Perhimpunan
penghuni
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik dan
penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya.”
Juncto pasal 54 ayat (1) PP No. 4/1988 menyebutkan, bahwa :
“Para penghuni dalam suatu lingkungan rumah susun baik untuk hunian maupun bukan
hunian wajib membentuk perhimpunan penghuni untuk mengatur dan mengurus
kepentingan
bersama
yang
bersangkutan
sebagai
pemilikan,
penghunian,
dan
pengelolaannya.”
Berdasarkan UUPA dihubungkan dengan Undang-Undang maupun Peraturan
Pemerintah tentang Rumah Susun, maka secara sah bahwa sejak terbentuknya
PPRS, status HGB yang sebelumnya atas nama pengembang/developer berpindah
haknya menjadi HGB milik PPRS. Oleh karena itu PPRS dapat mendaftarkan
peralihan nama sertifikat HGB bersama atas nama PPRS tersebut melalui instansi
yang berwenang yaitu di Kantor Pertanahan setempat, dan untuk itu wajib
membayar biaya pendaftaran peralihan nama tersebut, sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Kantor pertanahan kemudian menerbitkan suatu sertipikat pengganti.
Sertipikat pengganti yang diterbitkan, ternyata mempunyai nomor yang berbeda
dengan yang tercantum sebelumnya di sertipikat HGB individu pemilik satuan
rumah susun. Hal ini berbeda dengan prosedur dari penerbitan sertipikat pengganti
yang ada di PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pasal 57 sampai
60. Yang diatur di dalam PP tersebut hanyalah apabila pemegang hak yang
menghilangkan, atau merusakkan sertipikat, atau masih memakai blanko sertipikat
yang tidak digunakan lagi, ataupun yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
66 dalam lelang eksekusi sehingga dimohonkan penerbitan sertipikat pengganti.
Dalam hal ini harus disertai pernyataan di bawah sumpah dari pemegang hak di
hadapan Kepala Kantor Pertanahan mengenai hilangnya sertipikat hak. Setelah
diadakan pengumuman dalam surat kabar harian, maka sertipikat akan dibuatkan
penggantinya atas biaya pemohon. Dalam studi kasus Rumah Susun Klender ini,
Ketua PPRSK diminta oleh Kantor Pertanahan untuk menandatangani pernyataan
seperti dimaksud di atas, namun Ketua PPRSK tidak mau karena menurutnya hal
tersebut adalah tanggung jawab dari Kantor Pertanahan, karena yang hilang
bukanlah salinan melainkan sertipikat yang asli dan otentik itu sendiri, yang mana
seharusnya disimpan oleh Kantor Pertanahan itu sendiri. Namun oleh PPRSK
tidak dijadikan suatu permasalahan yang krusial karena menurut mereka yang
akan memproses perpanjangan juga Kantor Pertanahan, sehingga jika sertipikat
yang akan diperpanjang tersebut baru diterbitkan lagi penggantinya oleh mereka,
berarti sertipikat tersebut adalah yang sah meskipun nomornya berbeda.
Ketidakjelasan Pertelaan juga menjadi permasalahan bagi pemegang Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, sebab sertipikat pengganti yang diberikan oleh
Kantor Pertanahan tidak mengikutsertakan 2 (dua) buah lapangan olahraga yang
terletak di tengah-tengah lingkungan rumah susun Klender. Hal ini sebenarnya
masih mengganggu PPRSK, karena di kedua lapangan tersebut dibuat suatu
tulisan “Ini adalah Tanah MILIK Perumnas yang Akan Dijadikan Fasilitas
Komersial Apartemen”. Hal ini meresahkan PPRSK karena selain kedua lapangan
tersebut merupakan fasilitas bersama yang terletak di atas tanah bersama Rumah
Susun Klender, namun juga dalam tulisan tersebut dinyatakan bahwa tanah
tersebut adalah “Milik” Perumnas. Hal ini tidak sesuai dengan kedudukan
Perumnas yang hanya sebagai pemegang Hak Pengelolaan karena tanah tersebut
bukanlah milik Perumnas. Konsep hukum tanah di Indonesia, Pemerintah Daerah
dapat menguasai tanah dengan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Hak pakai
diberikan terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah untuk
pelaksanaan tugasnya, sedangkan Hak Pengelolaan diberikan kepada Pemerintah
Daerah dengan maksud untuk diserahkan kepada pihak ketiga, sedangkan Hak
Milik atas tanah bagi Pemerintah Daerah tidak pernah dijumpai dalam hukum
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
67 tanah positif di Indonesia. Menurut Mariam Darus Badrulzaman45, Hak Milik
adalah Hak Kebendaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga Pendaftaran
Tanah. Lembaga ini tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat
bukti yang kuat, tetapi juga menciptakan Hak Kebendaan. Hak Kebendaan atas
suatu tanah terjadi pada saat pendaftaran (pengumuman) dilakukan. Tanpa sifat
kebendaan, hak atas tanah belum memiliki kaitan dengan “Milik”. Jadi Hak Milik
masih merupakan istilah yang hampa, baru ada “Milik” namun belum ada “Hak”.
Selama pendaftaran belum terjadi, maka hak hanya mempunyai arti terhadap para
pihak pribadi, sedangkan umum belum mengetahui perubahan status hukum dari
benda. Pengakuan dari masyarakat baru terjadi pada saat milik itu didaftarkan.
Selain itu, hak milik merupakan hak kebendaan yang bersifat keperdataan maka
konsepsi demikian adalah tidak sesuai dan bertentangan dengan asas hubungan
hukum publik antara Daerah dengan Tanah46. Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai
Hak Milik Atas Tanah, adalah mengatur tentang penunjukan Badan Hukum
sebagai Subyek Hak Milik. Pemerintah Daerah sebagai Instansi Pemerintah tidak
dapat dipersamakan dengan Badan Hukum untuk memperoleh Hak Milik atas
Tanah, karena Pemerintah Daerah adalah Badan Hukum Publik, maka hak-hak
atas tanah yang dipunyainya adalah bersifat publik sebagai penerusan dari Hak
Menguasai Negara atas Tanah. Oleh karena itu, Perumnas tidak dapat begitu saja
membuat suatu pernyataan bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Di samping itu,
Perumnas sebagai pemegang Hak Pengelolaan dimana Hak Pengelolaan itu
sendiri pada hakikatnya bukan hak atas tanah, melainkan merupakan “gempilan”
dari Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya. Pemberian hak atas tanah Negara kepada
pihak lain, bukan berarti melepaskan Hak Menguasai Negara dari tanah yang
bersangkutan, hanya saja terhadap tanah-tanah yang sudah diberikan dengan
sesuatu hak kepada pihak lain, menjadi terbatas sampai batas kewenangan yang
45
Marium Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung:
Alumni, 1997), hal. 37.
46
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah: Menemukan Keadilan, Kemanfaatan dan
Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, (Jakarta: Prestasi Pustaka Raya, 2010).
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
68 merupakan isi hak yang diberikan. Hak Menguasai Negara ini tidak dapat
dipindahkan kepada pihak lain, tetapi dapat dilimpahkan kepada Pemerintah
Daerah dan masyarakat hukum adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan Nasional.47
Hal lain yang tidak luput sebagai masalah adalah masih ada sekitar 400 unit
satuan rumah susun yang pemiliknya belum melakukan perpanjangan HGB
individunya. Yang telah dilunasi oleh PPRSK secara tanggung renteng adalah
untuk HGB secara keseluruhan atas tanah bersamanya, yaitu seluas 61.110 m2
dengan harga Rp 478.910.000,-. Masing-masing pemilik satuan rumah susun
diwajibkan untuk membayar kurang lebih Rp 500.000,- ditambah biaya-biaya
administrasi sejumlah Rp 150.000,-. Para pemegang HMSRS yang belum
melunasi di antaranya adalah unit satuan rumah susun tersebut yang telah berganti
kepemilikan, baik karena jual beli, waris, hibah, dan juga ada yang dijadikan
jaminan hutang di Bank. Padahal dalam hal perpanjangan HGB, sejarah
pergantian kepemilikan tersebut sangatlah penting karena di sertipikat masih
banyak yang menggunakan nama pemilik pertama, tanpa membalik nama menjadi
pemilik yang terbaru. Dalam hal ini, PPRSK sebagai lembaga yang juga
membantu tiap-tiap pemilik satuan rumah susun dalam proses perpanjangan HGB
memberikan waktu sampai akhir tahun 2010.
2.8.3. Cara
penyelesaian
dari
permasalahan
yang
timbul
dalam
perpanjangan Hak Guna Bangunan bersama di Rumah Susun
Klender
Hal pertama yang menyebabkan sulitnya proses perpanjangan Hak Guna
Bangunan bersama di atas tanah Hak Pengelolaan atas rumah susun Klender
adalah Perumnas tidak bersedia memberikan rekomendasi atau persetujuan
sebagai pemegang Hak Pengelolaan, sampai adanya kejelasan mengenai sertipikat
Hak Guna Bangunan yang asli. Menurut Perum Perumnas, sertipikat tersebut
tidak pernah dipindahkan dari Kantor Pertanahan. Permasalahan ini segera
47
Boedi Harsono, op. cit., hal. 274.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
69 terselesaikan ketika diterbitkannya sertipikat pengganti dari Kantor Pertanahan
sehingga Perum Perumnas sebagai pemegang Hak Pengelolaan bersedia untuk
memberikan persetujuan untuk perpanjangan Hak Guna Bangunan tersebut. Di
sertipikat yang hilang tersebut tercantum nama Perum Perumnas sebagai
pemegang Hak Guna Bangunan yang pertama kali. Sebab, dalam penyelenggaraan
pembangunan rumah susun, ada kewajiban untuk menyelesaikan dulu pemberian
HGB di atas Hak Pengelolaan tersebut, sebelum diperbolehkan menjual satuan
rumah susun yang bersangkutan.48 Karena PPRS pada saat itu belum terbentuk,
maka yang tercatat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan adalah Perum
Perumnas. Seharusnya setelah semua unit satuan rumah susun terjual, nama
Perum Perumnas yang tercatat di sertipikat sebagai pemegang HGB tersebut
dibalik nama menjadi nama PPRSK. Namun penyerahan hak tersebut hanya
berdasarkan surat pengalihan hak di bawah tangan saja yang kemudian di akta
notarilkan. Kemudian barulah apabila jangka waktu berlakunya HGB habis, yang
melanjutkan HGB tersebut jelas atas nama PPRSK. Pada penyerahan hak,
walaupun belum terdaftar, seharusnya Perum Perumnas juga menyerahkan
sertipikat HGB yang diberikan oleh Kantor Pertanahan kepada PPRSK, namun
hal ini tidak dilakukan dan pada saat perpanjangan baru diketahui bahwa tidak
hanya sertipikat yang ada pada Perum Perumnas hilang, tetapi juga yang ada di
Kantor Pertanahan juga hilang.
Hal kedua yang menjadi masalah adalah siapa yang berhak mengajukan
permohonan perpanjangan HGB bersama di rumah susun Klender tersebut. Dalam
hal ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemegang HGB terdahulu adalah
Perum Perumnas. Tetapi karena unit satuan rumah susun telah dijual seluruhnya
maka terjadi penyerahan hak kepada PPRS, namun proses balik namanya baru
akan dilakukan setelah selesai perpanjangan HGB atas tanah yang bersangkutan.
Dalam hal ini jelas yang berhak dan berwenang dalam mengajukan permohonan
perpanjangan HGB adalah PPRSK, sebagai organisasi yang mewakili seluruh
pemegang satuan rumah susun Klender. Proses pengajuan permohonan
48
Boedi Harsono, op. cit., hal.356.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
70 perpanjangan HGB harus mengikuti Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9
Tahun 1999.
Kemudian yang juga menjadi masalah adalah hilangnya sertipikat di Kantor
Pertanahan. Hilangnya sertipikat di Kantor Pertanahan adalah hal yang sangat
krusial, sudah banyak terjadi namun belum ada pengaturannya di perundangundangan49. Dalam kasus rumah susun Klender ini, memang selain hilang di
kantor pertanahan, juga salinannya tidak pernah diberikan dari pemegang HGB
yang terdahulu yaitu Perum Perumnas kepada PPRSK. Ketua PPRSK sebagai
pemegang Hak Guna Bangunan yang baru, walaupun namanya belum tercatat di
sertipikat, diminta untuk menandatangani surat pernyataan dari Kantor
Pertanahan. Ketua PPRSK tersebut menolak, dan kemudian mengambil tindakan
untuk melapor ke polisi dan mengumumkannya di media massa. Kantor
Pertanahan kemudian akhirnya menerbitkan suatu sertipikat yang nomornya lain
dengan yang tercantum dalam salinan buku tanah yang ada di dalam sertipikat
HMSRS masing-masing pemilik satuan rumah susun. Penyelesaian dari
permasalahan ini adalah pada saat Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat
pengganti, yang kemudian akan dijadikan dasar dari perpanjangan HGB yang
bersangkutan.
Hal berikutnya masih berkaitan dengan sertipikat pengganti, yaitu pertelaan.
Gambar denah yang ada di sertipikat HMSRS masing-masing pemilik satuan
rumah susun ada yang tidak sama dengan gambar yang ada di sertipikat
pengganti. Atas tanah seluas 61.110 m2 tersebut, seharusnya disertakan 2 (dua)
buah lapangan yang berada persis di tengah-tengah rumah susun Klender, yang
mana masih merupakan tanah bersama dari rumah susun Klender tersebut.
Kemudian oleh Perumnas, dipasang suatu tanda yang bertuliskan “Ini adalah
Tanah Milik Perumnas yang Akan Dijadikan Fasilitas Komersial Apartemen”.
Mengenai pemilihan kata “Milik” pada kalimat tersebut di atas serta tanggapan
kontroversial dari PPRSK telah dijelaskan sebelumnya. Permasalahan ini belum
49
Jemy Sandjaja, “Lima Sertifikat Sekaligus “Hilang” di BPN Jakarta Pusat“,
<http://suarapembaca.detik.com/read/2008/12/23/151404/1058421/283/lima-sertifikat-sekaligushilang-di-bpn-jakarta-pusat > , tanggal akses 15 Desember 2010.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
71 terselesaikan, karena PPRSK pada waktu itu lebih memprioritaskan kepada
perpanjangan HGB dapat diselesaikan dengan baik. Menurut pendapat Penulis,
hal ini dapat diselesaikan dengan melihat dari sertipikat-sertipikat HMSRS yang
sudah ada. Dari sebanyak 1280 unit yang kesemuanya telah ada sertipikat
HMSRS nya sudah jelas terlihat bahwa gambar denah yang ada sebelumnya
adalah denah yang telah disetujui dan diukur oleh Kantor Pertanahan, dan dalam
hal perpanjangan HGB semestinya tidak perlu diukur lagi, apalagi dibuat suatu
ukuran yang baru tanpa sepengetahuan pemegang HGB itu sendiri. Oleh karena
itu menurut pendapat penulis, Kantor Pertanahan seharusnya melakukan koreksi
pada gambar denah terbaru yang tidak mengikutsertakan 2 (dua) buah lapangan
tersebut menjadi kembali ada, sebagaimana yang telah ada pada sertipikat
HMSRS yang telah dimiliki masing-masing pemilik satuan rumah susun.
Hal terakhir yang menjadi permasalahan adalah masih banyaknya pemilik
satuan rumah susun yang belum melakukan perpanjangan Hak Guna Bangunan
tersebut dan belum membayar uang pemasukan kepada Negara yang terhadap
masing-masing unit satuan rumah susun dikenakan biaya sebesar Rp 500.000,ditambah biaya-biaya administrasi sebesar Rp 150.000,-. Dalam pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dinyatakan bahwa
HMSRS adalah hak yang bersifat perorangan dan terpisah. Artinya, pemilikan
secara individual atas satuan rumah susunnya, dan pemilikan secara bersama atas
tanah bersama, benda bersama dan bagian bersama adalah satu kesatuan yang
tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, apabila Hak Guna Bangunan atas tanah
bersamanya habis jangka waktunya, maka ada 2 pendapat. Pendapat yang
pertama, Pakar hukum agraria Boedi Harsono dalam persidangan kasus
Apartemen Mangga Dua Court pernah berpendapat bahwa pemilik apartemen
masih berhak atas sertipikat yang dimilikinya. Persoalannya adalah apakah
perusahaan yang memelihara gedung itu bersedia membayar ganti rugi kepada
para pemilik unit apartemen yang memegang sertifikat, apabila nanti terjadi
keadaan memaksa (force majeur) atas apartemen tersebut50. Pendapat yang kedua
50
Shanti Rachmadsyah, “Apakah Ada Pemegang Tanah HPL Tidak Menyetujui
Perpanjangan HGB di Atasnya?”, <http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ccd85e6348b9>,
tanggal akses 15 Desember 2010.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
72 adalah hak milik atas satuan rumah susun tidak dapat dimiliki lagi karena telah
terpenuhi syarat batal, karena jika tidak diperpanjang tanahnya akan menjadi
tanah Negara, sedangkan rumah susun tidak dapat dibangun di atas tanah Negara,
tetapi tidak menghapuskan subyek hukum (pemilik) dan obyek hukumnya
(bangunan rumah susun tersebut) sehingga yang hapus hanyalah hubungan
hukumnya saja51. Hal ini sesuai dengan pasal 50 huruf c PP Nomor 4 Tahun 1988
tentang Rumah Susun, dimana jika terpenuhi syarat batal maka HMSRS-nya
hapus, tetapi yang hapus hanya hubungan hukum atas haknya, sedangkan pemilik
secara de facto masih memiliki bendanya. Jadi dengan hapusnya hak atas tanah
yaitu HGB juga menghapus keberlakuan sertipikat HMSRS yang ada di atasnya.
Dalam hal tersebut di atas, penulis beranggapan bahwa seharusnya dibuat
peraturan tentang pemberian ganti rugi terhadap pemilik satuan rumah susun,
sehingga pemilik satuan rumah susun mendapat kepastian hukum atas perolehan
HMSRS-nya.
51
Riendra Wienantha, “Status Kepemilikan Rumah Susun Di Atas Tanah Hak Guna
Bangunan”,
<http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/226/gdlhub-gdl-s1-2010-winanthari-11286-
fh0209-k.pdf>, tanggal akses 15 Desember 2010.
Universitas Indonesia
Tinjauan yuridis..., Shinta Mareti Purwaningtyas, FH UI, 2011.
Download