BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Yule dalam bukunya (1996: 3) yang berjudul Pragmatik, mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca. Yule juga menjelaskan bahwa tipe studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan dan diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa. Levinson (dalam Asrul 1996: 23) mengatakan Pragmatics is the study of deictic (at least in part), implicature, persupposition, speech act, and aspect of discourse structure ‘pragmatik adalah penelitian di bidang deiksis, implikatur, praanggapan, pertuturan (tindak ujaran), dan struktur wacana’. Deiksis sebagai salah satu bidang kajian pragmatik menjadi topik dalam penelitian ini, tetapi yang dibahas hanya terbatas pada deiksis persona (deiksis waktu dan tempat tidak dibahas). Di dalam bukunya, Moeliono (2003:42) mengemukakan pengertian deiksis, yaitu: Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Kata atau konstruksi seperti itu bersifat deiksis. 1 Universitas Sumatera Utara Contoh : (1) a. Kita harus berangkat sekarang. b. Harga barang naik semua sekarang. c. Sekarang pemalsuan barang terjadi di mana-mana. Pada kalimat (1a) sekarang merujuk ke jam atau bahkan ke menit. Pada kalimat (1b) cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu lalu sampai hari ini. Pada kalimat (1c) cakupannya lebih luas lagi, mungkin berbulan-bulan dan tidak mustahil bertahun-tahun. Kata sekarang beroperasi dengan kata deiktis penunjuk waktu lain, seperti besok atau nanti; acuan kata sekarang selalu merujuk pada saat peristiwa pembicaraan. Contoh berikut, seperti yang dikutip dari Chaer (2004: 57) akan menjelaskan pengertian deiksis: A dan B sedang bercakap-cakap, bagian akhir dari percakapan itu berupa: A : Saya belum bayarSPP, belum punya uang. B : Sama, saya juga. Jelas, kata saya pada percakapan itu pertama mengacu pada A, lalu mengacu pada B. Maka kata saya itu disebut bersifat deiksis. Bahasa Simalungun sebagai bahasa daerah sekaligus sebagai bahasa ibu bagi penutur etnis Simalungun, merupakan bahasa yang paling dominan digunakan masyarakat yang tinggal di Kabupaten Simalungun. Selain bahasa Simalungun, bahasa Indonesia, bahasa Karo, bahasa Jawa, dan bahasa Toba juga digunakan di tempat ini. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Simalungun tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah dan alat komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional, sebagai pengantar bahasa di sekolah, di pedesaan, pada tingkat permulaan serta sebagai alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah. 2 Universitas Sumatera Utara Beranalogi kepada keterangan di atas, perlu dipikirkan usaha pembinaan bahasa Simalungun yang didahului oleh suatu perencanaan sehingga pembinaan dan pengembangan bahasa Simalungun merupakan suatu keharusan di samping pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV: Pasal 36 yang berbunyi:”Bahasa negara ialah bahasa Indonesia” dengan penjelasan bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Madura, Sunda, dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dipelihara oleh negara, karena bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Bahasa Simalungun merupakan salah satu bahasa etnis Batak di Provinsi Sumatera Utara. Seperti halnya bahasa daerah lain, bahasa Simalingun terus hidup dan berkembang hingga saat ini. Etnik Batak Simalungun yang menggunakan bahasa Simalungun berada di Kabupaten Simalungun dan sebagian wilayah Deli Serdang. Kabupaten Simalungun yang merupakan pusat populasi penutur bahasa Simalungun berbatasan dengan empat kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Asahan. Luas wilayah Kabupaten Simalungun 4.386,6 Km2 atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara dan terdiri dari 34 kecamatan, 17 kelurahan, dan 334 desa/nagori. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penduduknya 808.288 jiwa dan populasi terbesar berada di Kecamatan Raya Siantar (59.064 jiwa) dan populasi terkecil di Kecamatan Haranggaol Horison (5.534 jiwa). Penelitian tentang bahasa Simalungun sudah banyak dilakukan orang, baik oleh sarjana maupun ahli bahasa, namun dari penelitian tersebut belum ada yang 3 Universitas Sumatera Utara mempermasalahkan bagaimana deiksis persona dalam bahasa Simalungun. Jadi, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana bentuk dan perilakunya. Penelitian dengan judul Verba Tindak Tutur dalam Bahasa Simalungun pernah dilakukan oleh Nainggolan (2006). Penelitian ini membahas masalah makna verba tindak tutur bahasa Simalungun sekaligus klasifikasi dan penggunaan verba tindak tutur dengan menggunakan teori NSM (Natural Semantic Metalangue). Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Semantics Primes and Universals oleh Anna Wierzbicka. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa verba tindak tutur dalam bahasa Simalungun dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe polisemi yang berasal dari elemen makna asali yaitu tipe mengatakan/terjadi, tipe mengatakan/melakukan, tipe mengatakan/mengetahui, tipe mengatakan /merasakan, tipe mengatakan/mengatakan. Berdasarkan tipe polisemi tersebut dijelaskan penggunaan verba tindak tutur sesuai dengan konteks budayanya sehingga terungkap persamaan dan perbedaan makna di antara kelompok verba tindak tutur tersebut. Penelitian dengan judul Konstruksi Kausatif Bahasa Simalungun pernah juga dilakukan oleh Sipayung (2007). Penelitian ini membahas konstruksi kausatif dalam bahasa Simalungun. Teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan Comrie, yang mengemukakan dua parameter dalam meneliti konstruksi kausatif. Parameter tersebut adalah parameter morfosintaksis dan parameter semantik. Berdasarkan parameter morfosintaksis, bahasa Simalungun memiliki tiga jenis kausatif yaitu kausatif morfologis, kausatif analitis, dan kausatif leksikal. Berdasarkan parameter semantik, kausatif dalam bahasa Simalungun dapat dibedakan 4 Universitas Sumatera Utara menjadi dua bagian besar yaitu kausatif sejati dan permisif (kesejatian kausatif), dan kausatif langsung dan tak langsung (durasi terjadinya sebab dan akibat). Penelitian tentang deiksis pernah dilakukan oleh Purwo (1984). Penelitian itu mengemukakan bahwa deiksis dibagi atas tiga, yaitu deiksis persona, ruang, dan waktu. Deiksis persona dibaginya atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti aku, saya; pertama jamak seperti kami, kita; kata ganti persona kedua tunggal seperti kau, engkau, kedua jamak seperti kalian; kata ganti persona ketiga tunggal seperti dia; ketiga jamak seperti mereka. Khusus tentang deiksis persona pernah diteliti oleh Sitepu (1999) dengan judul Deiksis Persona pada Cerpen Bromocorah. Dia hanya meneliti deiksis persona pada cerpen, oleh sebab itu deiksis yang dikaji hanya terbatas apa yang terdapat pada cerpen tersebut. Jadi, tidak semua deiksis dibahasnya. Deiksis persona yang dibahasnya hanya terbatas pada persona yang sering muncul seperti kata dia (persona ketiga tunggal), dan mereka (persona ketiga jamak). Penelitian tentang deiksis pernah juga dilakukan oleh Kristiana (2000) dengan judul Deiksis dalam Bahasa Batak Toba. Dia menyimpulkan bahasa Batak Toba mengenal deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu. Dalam membicarakan deiksis persona, dia membagi deiksis persona atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti ahu, iba; pertama jamak seperti hami, hita; kata ganti persona kedua tunggal seperti ho, kedua jamak seperti hamu; kata ganti persona ketiga tunggal seperti ibana, ketiga jamak seperti nasida. Penelitian tentang deiksis persona juga dilakukan oleh Marli (2004) dengan judul Deiksis Persona dalam Bahasa Jawa. Penelitian ini membahas masalah deiksis 5 Universitas Sumatera Utara persona dalam bahasa Jawa dengan menggunakan teori pragmatik. Marli menyimpulkan bahwa pemakaian deiksis persona dalam bhasa Jawa disesuaikan dengan tingkatan tutur (undak usuk) yang dalam bahasa Jawa dibagi atas tiga, yaitu ngoko (kasar), madya (sedang), dan krama (halus). Kata ganti persona dalam bahasa Jawa terbagi atas tiga bagian yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti aku, awakedhewe (untuk tingkat tutur ngoko), kulo (untuk tingkat tutur madya), kulo, dalem (untuk tingkat tutur krama); pertama jamak seperti awakekabeh (untuk tingkat tutur ngoko), kulosedoyo (untuk tingkat tutur madya), dalem (untuk tingkat tutur krama); kata ganti persona kedua tunggal seperti kowe, siro (untuk tingkat tutur ngoko), sampeyan (untuk tingkat tutur madya), panjenengan (untuk tingkat tutur krama); kedua jamak seperti kowekabeh (untuk tingkat tutur ngoko), sampeyansedoyo (untuk tingkat tutur madya), panjenengansedoyo, panjenengansami (untuk tingkat tutur krama); kata ganti persona ketiga tunggal seperti deweke, de’e,e (untuk tingkat tutur ngoko), piyambake (untuk tingkat tutur madya), piyanbakipun (untuk tingkat tutur krama); ketiga jamak seperti wongiku (untuk tingkat tutur ngoko), tiyangmeniko (untuk tingkat tutur madya), piyantun meniko, piyambakipunsedoyo (untuk tingkat tutur krama). Bentuk di- dalam bahasa Jawa dapat diikuti persona ketiga yang tidak pronominal. Bentuk di- tidak dapat diikuti persona pertama dan kedua. Leksem persona tunggal dalam bahasa Jawa dapat dirangkaikan dengan kata ganti demonstratif ini, itu sedangkan bentuk jamaknya tidak. Bentuk terikat persona dalam bahasa Jawa tidak dapat dirangkaikan dengan kata ini, itu. Dan kata ganti persona dalam bahasa Jawa tidak dapat direduplikasikan. 6 Universitas Sumatera Utara Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, bergantung pada siapa pembicaranya, dan bergantung pada saat dan tempat dituturkan kata itu. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiksis. Kata-kata seperti ini tidak memiliki referen yang tetap. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti kursi, rumah, kertas, di tempat mana pun, pada waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini, sekarang barulah dapat diketahui jika diketahui siapa, di mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nomina dan pronomina persona. Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa Simalungun juga mengenal kata ganti persona. Fenomena yang menarik dalam bahasa Simalungun antara lain adalah adanya bentuk yang berbeda dalam mengungkapkan makna yang sama. Kedua bentuk itu digunakan berdasarkan usia pembicara, seperti dijelaskan berikut ini. Contoh: (2) a. Bapa : “Laho huja nasiam” “Mau ke mana kalian” “Mau ke mana kalian?” b. Tulang : “Laho hu juma” “Mau ke ladang” “Mau ke ladang” (3) a. Lindung : “Laho huja hanima?” “Mau ke mana kalian?” 7 Universitas Sumatera Utara “Mau ke mana kalian?’ b. Robert : “Hanami laho hu juma” “Kami mau ke ladang” “Kami mau ke ladang” Dalam contoh (2) di atas, bapa (bapak) sebagai orang pertama tunggal menyapa Tulang (paman) dengan beberapa temannya yang memiliki usia sebaya dengan bapak. Jadi, untuk menjaga kesopanan dalam berbahasa, bapak harus menggunakan kata ganti persona nasiam, sedangkan dalam contoh (3) Lindung menyapa Robert dan teman-temannnya yang memiliki usia lebih muda daripada Lindung. Jadi, Lindung dapat menyapa Robert dengan menggunakan kata ganti persona hanima. Di dalam bahasa Simalungun, kata ganti persona hanima dan nasiam memiliki makna yang sama, yaitu kalian, tetapi pemakaian kata ganti tersebut dapat menunjukkan perbedaan usia antara penutur dan lawan tutur. Kata ganti persona nasiam dipakai untuk menyapa orang kedua jamak yang memiliki usia lebih tua, atau penutur dan lawan tutur memiliki usia yang sama (yang sudah orang tua), sedangkan hanima, dipakai untuk menyapa orang kedua jamak yang usianya lebih muda daripada penutur, atau penutur masih seumur (sebaya) dengan lawan tutur (masih anak-anak atau pemuda). Bila dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang mengenal satu kata ganti orang kedua jamak yaitu kalian, bahasa Simalungun mengenal dua kata ganti orang kedua jamak, yaitu nasiam dan hanima. Berdasarkan contoh di atas itulah peneliti merasa tertarik untuk meneliti deiksis persona dalam bahasa Simalungun. 8 Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, akan penulis utarakan fenomena-fenomena lain yang mendukung bahwa deiksis persona ini layak untuk diteliti. 1.1.2 Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apa sajakah bentuk deiksis persona dalam bahasa Simalungun? 2. Bagaimanakah perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun? 1.2 Batasan Masalah Sehubungan dengan masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada deiksis persona bahasa Simalungun dalam bentuk persona pertama, kedua, dan ketiga baik bentuk tunggal maupun yang jamak dalam situasi formal atau informal dalam kehidupan sehari-hari. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Pada hakikatnya sebuah penelitian mempunyai tujuan tertentu yang memberi arah pelaksanaan penelitian tersebut. Hal ini dianggap penting agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan bentuk deiksis persona dalam bahasa Simalungun. 2. Menjelaskan perilaku deisis persona dalam bahasa Simalungun. 9 Universitas Sumatera Utara 1.3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Menambah pengetahuan masyarakat bahasa tentang bentuk, dan perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun. 2. Menjadi salah satu rujukan terhadap penelitian sejenis untuk bahasa daerah lainnya. 3. Menjadi bahan inventarisasi dalam usaha pelestarian bahasa Simalungun. 1.4 Metode dan Teknik Penelitian 1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini adalah data tulis dan lisan. Data tulis diperoleh dari buku yang menjadi sumber data, terutama yang berhubungan dengan deiksis persona. Untuk memperoleh data tulis digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993: 133-136) yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa. Data tulis yang akan diteliti diperoleh dari tulisan yang menggunakan bahasa Simalungun. Data tulis yang digunakan adalah data dari buletin Ambilan Pakon Barita edisi 366/Oktober/2004. Buletin ini merupakan buletin yang menggunakan bahasa Simalungun dalam penyajiannya. Data lisan diperoleh dari informan yang menggunakan bahasa Simalungun. Data lisan ini berupa percakapan lisan dalam bahasa Simalungun yang menggunakan deiksis persona. Pengumpulan data lisan ini akan dilakukan di Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Pengumpulan data lisan dilakukan dengan metode cakap (Sudaryanto, 1993: 137-138), yaitu percakapan antara peneliti dengan penutur sebagai narasumber. Teknik dasar yang 10 Universitas Sumatera Utara digunakan adalah teknik pancing, yaitu peneliti berusaha memancing narasumber untuk berbicara. Selanjutnya, digunakan teknik cakap semuka, yaitu percakapan langsung dengan tatap muka antara peneliti dengan informan. Teknik ini dilanjutkan dengan teknik rekam bila dan teknik catat, yaitu dengan merekam dan mencatat data lisan yang diperoleh dari informan. Dalam pemilihan informan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan yang dimaksud adalah: 1. Berjenis kelamin pria atau wanita. 2. Berusia antara 20-65 tahun. 3. Berpendidikan minimal tamat sekolah dasar. 4. Memiliki kebanggaan terhadap bahasa Simalungun. 5. Dapat berbahasa Indonesia. 6. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun, 1995:150). Persyaratan di atas dimaksudkan agar data lisan yang diperoleh dari informan akurat dan terandalkan. 1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data Metode pengkajian data dalam penelitian ini adalah metode padan dan metode agih (Sudaryanto, 1993:13-15). Metode padan digunakan untuk menyeleksi serangkaian bentuk deiksis persona dalam bahasa Simalungun dengan menggunakan teknik dasar teknik pilah unsur penentu dengan daya pilah pembeda referen, yaitu melihat referen yang ditunjuk oleh data. Metode agih diterapkan dengan 11 Universitas Sumatera Utara menggunakan teknik ganti. Dalam hal ini data akan digantikan dengan unsur yang menjadi pokok perhatian dan mengganti unsur itu dengan data yang lain. Contoh : (4) a.“Maningon marhorja ahu sonari,” nini bapa “Harus bekerja aku sekarang,” kata bapak Bapak berkata,“Aku harus bekerja sekarang.” b.“Maningon marhorja ahu sonari,” nini tulang “Harus bekerja aku sekarang,” kata tulang Paman berkata, “aku harus kerja sekarang” c.“Maningon marhorja ahu sonari,” nini mamak “Harus bekerja aku sekarang,” kata ibu Ibu berkata ,“Aku harus bekerja sekarang.” Pada kalimat (4a), kata aku referennya mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu bapak, kalimat (4b) kata aku referennya berganti mengacu pada paman, dan pada kalimat (4c) kata aku referennya berganti mengacu pada ibu. Jadi, jelas kalau kata aku pada kalimat di atas referennya selalu berganti-ganti bergantung pada siapa yang menjadi pembicara. 1.5 Landasan Teori 1.5.1 Deiksis Persona Pengertian tentang deiksis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian yang dikemukakan oleh Purwo (1984: 1-2) : 12 Universitas Sumatera Utara “Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindahpindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu, seperti kata saya, sini, sekarang. Istilah deiksis dipinjam dari istilah Yunani Kuno, yaitu deiktikos yang bermakna ‘hal penunjukan secara langsung’. Dalam logika istilah Inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian tidak langsung”. Hal yang senada dengan Purwo dikemukakan juga oleh Chaer dan Leoni dan Siregar. Menurut Chaer dan Leoni (2004: 57) deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan dalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau berubah dan berpindah. Kata-kata yang referennya bisa menjadi tidak tetap ini disebut kata-kata deiksis. Kata-kata yang referennya deiksis ini antara lain, kata-kata berkenaan dengan persona (seperti aku, saya, kamu), tempat (seperti di sini, di sana, di situ), waktu (seperti tadi, besok, nanti, kemarin). Menurut Siregar (1996: 24) deiksis lazim juga diartikan sebagai salah satu segi makna dari kata atau kalimat yang memiliki referen tidak tetap (seperti saya, sini, sekarang), makna kata atau kalimat itu mempunyai makna deiksis. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti: buku, gedung, dan pisau, di mana pun dan oleh siapa pun kata-kata itu diucapkan, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui jika diketahui pula tempat, oleh siapa, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Dari pendapat para ahli di atas, dapat diambil simpulan bahwa deiksis adalah kata yang digunakan dalam tindak tutur, yang referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, bergantung pada siapa yang menjadi pembicara, dan bergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. 13 Universitas Sumatera Utara Contoh berikut seperti yang dikatakan oleh Purwo dalam Asrul (1996: 2425) akan memperjelas apa yang dimaksud dengan deiksis : “Andaikan Anda seorang wanita muda yang berjalan seorang diri, lalu mendengar bunyi siulan, dan Anda merasa seolah-olah ingin menyatakan reaksi Anda kepada si penyiul bahwa Anda merasa sebal atau marah terhadap apa yang dilakukan si penyiul itu. Apa yang hendak Anda lakukan? Situasi seperti ini sebenarnya ada dua ketidakpastian. Pertama, Anda tidak tahu siapa yang menyuarakan siulan itu. Kedua, Anda barangkali bukanlah orang yang dituju oleh orang yang membuat siulan itu. Jika Anda memalingkan wajah Anda dan mencemberuti si penyiul itu, berarti Anda mengakui bahwa siulan itu memang dialamatkan kepada Anda. Perbuatan yang Anda lakukan itu, dapat dianggap sebagai perbuatan “ge-er”, terlalu cepat merasa “dibegitukan”. Arti semantis dari siulan itu sendiri jelas. Yang tidak jelas identitas si pengirim berita dan si penerima berita; dengan kata lain aspek deiksis personanya tidak jelas. Contoh berikut, aspek deiksis personanya jelas tetapi aspek deiksis waktunya tidak jelas. Anda ingin bertemu dengan seseorang di tempat ia bekerja. Ketika sampai di kantornya, Anda melihat sepotong kertas tertempel pada pintunya yang bertuliskan “kembali dua jam lagi”. Beritanya jelas, identitas si pengirim berita juga jelas, dan yang dituju pun juga jelas. Yang kurang pada informasi itu adalah waktu pada saat berita itu ditulis. Dengan kata lain, aspek deiksis waktunya tidak jelas. Contoh berikut lebih parah lagi, bila dipandang dari sudut deiksis. Anda menemukan sebuah botol kosong (yang tertutup rapat) terapung-apung di tengah laut. Botol itu Anda ambil, dan di dalamnya ada sepotong kertas bertuliskan “Temui saya di sini pada jam dua belas siang besok dengan membawa tongkat sepanjang ini”. Konteks yang kurang pada kalimat itu bersangkutan dengan deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu. Purwo (1984: 22) mengatakan bahwa deiksis persona adalah referen yang ditujukan oleh kata ganti persona yang berganti-ganti tergantung dari peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi, dan kemudian menjadi pendengar, maka ia disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam pembicaraan tetapi menjadi bahan pembicaraan disebut persona ketiga. 14 Universitas Sumatera Utara Levinson (dalam Antilan, 2002: 33) mengatakan bahwa deiksis persona adalah penyandian peran partisipan di dalam peristiwa berbahasa. Pengertian yang sama dengan Levinson dibuat oleh Nababan. Nababan (1984: 41) mengemukakan bahwa di dalam kategori deiksis persona yang menjadi kriterianya adalah peran peserta di dalam peristiwa berbahasa. Dalam kaitannya dengan kompetensi pragmatik, bagaimana menggunakan deiksis persona itu secara tepat perlu diperhatikan. Dengan ungkapan lain, dalam setiap peristiwa berbahasa pemakai bahasa dituntut dapat menggunakan deiksis persona sesuai kaidah sosial dan santun berbahasa dengan tepat. Sebagai contoh persona pertama aku dan saya masing-masing memiliki perbedaan dalam pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal, misalnya di antara dua peserta tindak ujaran yang saling kenal atau akrab hubungannya. Sedangkan kata saya dipergunakan dalam situasi formal, misalnya dalam situasi ceramah, kuliah, atau di antara dua peserta tindak ujaran yang belum saling kenal, tetapi kata saya juga dapat dipakai dalam situasi informal seperti kata aku. Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nomina dan pronomina persona (Purwo 1984: 22). 1.5.2 Bentuk-bentuk Deiksis Persona Kridalaksana (1994: 76) mengatakan pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain (lihat Ramlan, 1991: 52 & Moeliono, 2003: 249). Nomina perawat dapat diacu dengan pronomina dia atau ia. Bentuk –nya pada Meja itu kakinya tiga, mengacu ke kata meja. Jika dilihat dari segi fungsinya dapat 15 Universitas Sumatera Utara dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan-dalam macam kalimat tertentu-juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina adalah bahwa acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung kepada siapa yang menjadi pembicara/penulis, siapa yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan. Ramlan (1991) membagi pronomina menjadi tiga macam, yaitu (1) pronomoina persona, (2) pronomina penunjuk, (3) pronomina penanya. Penelitian ini hanya mengkhususkan pada pronomina persona. Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang (Kridalaksana, 1994: 77). Kridalaksana membagi pronomina persona atas tiga bagian yaitu: (1) Pronomina persona pertama a. Pronomina pertama tunggal: aku, saya, dan daku. b. Pronomina pertama jamak: kami, kita. (2) Pronomina persona kedua a. Persona kedua tunggal: engkau, kamu, anda. b. Persona kedua jamak: kamu sekalian, anda sekalian. (3) Pronomina persona ketiga a. Persona ketiga tunggal: ia, dia, beliau. b. Persona ketiga jamak: mereka, mereka semua. 16 Universitas Sumatera Utara Berikut ini adalah kata ganti persona yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 1 Kata Ganti Persona Persona Tunggal Jamak Pertama saya, aku, daku, ku-, -ku Kami, kita Kedua engkau, kamu, anda, dikau, kau, -mu Kalian, kalian semua Ketiga ia, dia, beliau, -nya Mereka, mereka semua Purwo (1984) dan Chaer (1994) membagi pronomina persona atas tiga bagian, yaitu (1) kata ganti orang pertama misalnya saya, aku (tunggal), kalian, kamu sekalian (jamak); dan (3) kata ganti orang ketiga ia, dia, -nya, beliau (tunggal), mereka (jamak)’. Dengan mengacu dari pendapat ahli di atas, dapatlah dibagi pronomina persona yang dipakai dalam penelitian ini atas tiga bagian, yaitu: kata ganti persona pertama, kata ganti persona kedua, dan kata ganti persona ketiga dalam bentuk tunggal dan jamak. 1.5.3 Perilaku Deiksis Persona Purwo (1984: 33-36) membagi beberapa perilaku deiksis persona dalam konteks kalimat (sintaksis) bahasa Indonesia, yaitu: 1. Menurut pengamatan Mess, Poerwadarminta, dan Slametmuljana (dalam Purwo 1984) konstruksi di- hanya dapat disusul dengan pelaku persona ketiga saja. Dalam rangkaian dengan bentuk di- itu persona ketiga dapat berupa bentuk pronomina atau tidak. 17 Universitas Sumatera Utara Contoh: (5) Buku itu sudah dibacanya. (6) Buku itu sudah dibaca Ali. 2. Leksem persona dapat dirangkaikan dengan kata demonstratif ini,itu. Contoh: (7) Saya ini bodoh, tidak tahu apa-apa. (8) Lelaki macam apa aku ini, sampai tidak bisa menarik kesimpulan sederhana dari masalah yang sesederhana ini. (9) Kita ini adalah pemuda yang menjadi harapan bangsa! (10) Dia itu siapa, bermimpi bertemu dengan presiden. 3. Bentuk terikat persona dapat pula dirangkaikan dengan kata ini dan itu. Contoh: (11) Bukuku ini baru dibeli. (12) Dibeli di mana bajumu ini? 4. Kata ganti persona dapat direduplikasikan. Bentuk reduplikasi ini dipergunakan untuk memberikan warna emosi negatif, seperti kejengkelan, kejemuan, dan depresi. Kalau warna-warna itu tidak ada, maka bentuk reduplikasi tidak gramatikal. Contoh: (13) Mengapa aku-aku saja yang diberi tugas seperti ini. (14) Kami-kami ini yang selalu kena tegor, yang lain tidak pernah. (15) Kalau murid-murid kita nakal, kita-kita ini yang akan disalahkan. 18 Universitas Sumatera Utara