BAB I - Stiba "SATYA WIDYA"

advertisement
Roely Ardiansyah, Penggunaan Deiksis dalam Bahasa Indonesia
PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA
Roely Ardiansyah
Fakultas Bahasa dan Sains, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Deiksis dalam bahasa Indonesia merupakan cermin dari perilaku seseorang ketika
menggunakan bahasa sehari-hari. Deiksis merupakan lokasi dan identifikasi orang, objek,
peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan, atau yang sedang diacu dalam
hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau
yang diajak bicara. Upaya penunjukan atau deiksis dapat berupa pronominal orang (an), nama
diri, pronominal demonstratif (penunjuk), kala, keaspekan ciri gramatikal atau leksikal waktu.
Deiksis dalam penggunaan ada empat jenis, yaitu: (a) deiksis pronominal orangan (persona),
(b) deiksis yang menyangkut nama diri, (c) deiksis yang menyangkut pronominal demonstratif
(penunjuk), dan (d) deiksis yang menyangkut waktu.
Kata kunci: deiksis
A. Pendahuluan
Bahasa adalah sistem arbitrer lambanglambang bunyi yang digunakan oleh kelompok
masyarakat untuk melakukan kerja sama (Robins,
1992:14). Oleh sebab itu bahasa dapat difungsikan
sebagai alat komunikasi. Sebagai sarana
komunikasi, bahasa memiliki peran yang sangat
penting,
misalnya,
sebagai
alat
untuk
menyampaikan informasi kepada orang lain.
Seperti yang dikemukakan oleh Chaer (2003:33),
bahwa bahasa digunakan dalam segala tindak
kehidupan, sedangkan perilaku dalam kehidupan
itu sangat luas dan beragam, maka fungsi-fungsi
bahasa itu menjadi sangat baik sesuai dengan
banyaknya tindak dan perilaku, serta keperluan
manusia dalam kehidupan.
Bagian-bagian yang terdapat dalam
bahasa yaitu, fonetik, fonologi, gramatika, dan
semantik. Dari masing-masing bagian itu,
semuanya dapat menjalankan fungsinya sebagai
alat untuk menyampaikan pesan. Oleh karena itu,
bahasa harus bermakna. Terutama, dalam
penggunaan bahasa itu sendiri, pemilihan kata,
dan penggunaan unsur-unsur bahasa harus
sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian,
dari beberapa unsur bagian bahasa yang
berkaitan erat dengan makna adalah semantik.
Makna yang dikaji dalam semantik adalah makna
yang terikat dengan konteks. Oleh sebab itu,
peranan semantik sangat diperlukan dalam
mengkaji makna.
Berbicara mengenai semantik, deiksis
memegang peranan sangat penting. Lalu yang
menjadi pertanyaan adalah, Apakah deiksis itu?
Alwi (2003:42) menyatakan deiksis merupakan
gejala semantik yang terdapat pada kata atau
kontruksi, yang hanya dapat ditafsirkan
acuannya dengan memperhitungkan situasi
pembicaraan. Di sisi lain Sudaryanto (1985: 288),
berpendapat deiksis sama dengan kata ganti
tunjuk atau deiksis sangat terikat pada situasi,
hubungannya dengan situasi dan si penutur
begitu jelas. Ada pendapat lain yang menyatakan
bahwa “a deitic word is one take some element of its
meaning from the situation of the utterance in with it
is used (kata yang mengambil sebagian maknanya
dalam situasi ujaran ketika kata itu digunakan)
(Soekemi, 2000:33). Vehaar (2001:24), juga
berpendapat bahwa deiksis adalah semantik (di
dalam tuturan tertentu) yang berakar pada
identitas penutur. Semantik itu dapat bersifat
gramatikal, dapat pula bersifat leksikal, bila
leksikal dapat menyangkut semantik sematamata, dapat menyangkut juga referensi.
Mengutip pendapat Lyons, Djajasudarma
(1999:43) juga berpendapat bahwa penunjukan
atau deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang,
objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang
sedang dibicarakan, atau yang sedang diacu
dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan
waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara
atau yang diajak bicara. Upaya penunjukan dapat
14
PROSPECTS, Jurnal Humaniora, Sains. Pendidikan dan Pengajaran, Volume 1, Nomor 1, November 2012: 14-18
ISSN 2302-6278
berupa pronominal orang (an), nama diri,
deiksis. Oleh karena itu, hasil karya sastra tidak
pronominal demonstratif (penunjuk), kala,
hanya menarik untuk bahan kajian sastra,
keaspekan ciri gramatikal atau leksikal waktu.
melainkan cukup menarik pula sebagai bahan
Peran penunjukan dijabarkan dari kenyataan
kajian linguistik.
bahwa
dalam
pembahasan
pembicara
B. Klasifikasi Deiksis dalam Bahasa Indonesia
menyampaikan tuturannya kepada lawan bicara
Menurut Djajasudarma (1999:43—61),
(yang diajak bicara), atau bantuan antara lain:
menyatakan
deiksis
diklasifikasi
menjadi
pronominal orang (an), nama diri, dan
beberapa jenis:
pronominal
demonstrativ.
Jadi,
fungsi
penunjukan dalam bahasa dijalankan oleh
1. Deiksis Pronominal Orangan (Persona)
nominal.
Sistem pronominal orangan meliputi
Untuk mengkaji deiksis dalam bahasa
sistem tutur sapa (term of addresse) dan sistem
Indonesia, bukan hanya dalam perilaku
tutur acuan (term of reference). Sistem pronominal
berbahasa sehari-hari. Tetapi dalam karya sastra
persona di dalam bahasa Indonesia sebagai
juga ditemukan penggunaan deiksis. Dialog
berikut:
antarpelaku dalam karya sastra menggunakan
Persona
Tunggal
Jamak
Pertama
Aku, saya
Kami
Kedua
Engkau, kamu, anda
Kita
Ketiga
Dia, ia, beliau
mereka
Bahasa Indonesia hanya mengenal pembagian
pronominal persona menjadi tiga. Istilah
pronominal persona disebut juga kata ganti
persona, kata ganti diri (disebut demikian karena
fungsinya menggantikan diri orang, kata ganti
orang). Pronomina persona pertama dan kedua
yang selalu menyatakan orang atau benda
(terhitung binatang).
Aku, saya, kami dan kita mengacu dan
menunjuk kepada pembicara, engkau, kami, anda,
dan kalian menyapa dan menunjuk kepada yang
diajak bicara (kawan bicara): ia, dia, beliau, dan
mereka
mengacu dan menunjuk kepada
dibicarakan. Fungsi pronominal persona adalah
penunjukan kepada pembicara, kawan bicara dan
yang dibicarakan (sebagai fungsi pertama, di
samping berfungsi sebagai acuan dan sapaan). Di
dalam bahasa Indonesia pronominal persona
membedakan status yang dileksikalkan, terutama
terlihat pada pronominal persona pertama dan
kedua.
Seperti yang dinyatakan di atas, ada
empat macam pronominal persona yang mengacu
kepada pembicara.
(1) Aku, yang digunakan dalam corak bahasa
keakraban
kalau
pembicara
tidak
mengutamakan faktor ketakziman. Dalam
corak bahasa ini tidak terdapat jarak
psikologis antara pembicara dengan yang
diajak bicara (kawan bicara). Kata aku dan
saya berbeda, karena saya tak bermarkah,
sedangkan kata aku bermarkah keintiman.
(2) Saya, yang digunakan dalam corak bahasa
akrab ataupun yang adab, kalau pembicara
menyertakan faktor ketakziman. Dalam corak
bahasa itu diindahkan jarak psikologis
diantara pembicara dengan kawan bicara.
Orang yang belajar bahasa Indonesia lebih
aman memakai kata saya dalam situasi formal
maupun informal.
(3) Kami, yang tidak sengaja mengacu kepada
orang pertama jamak, tetapi juga dapat
dipakai untuk mengacu kepada orang
pertama tunggal, dan dipakai dalam corak
bahasa resmi, kalau pembicara sadar
mengindahkan jarak psikologis yang lebih
besar lagi. Dengan sikap itu, ia seakan-akan
hendak menyembunyikan kepribadiannya. Ia
tak ingin mengacu dirinya secara langsung (Ia
tidak mau menonjolkan dirinya).
(4) Kita, yang tidak saja mengacu kepada orang
pertama jamak, tetapi juga dapat mengacu
pada orang pertama tunggal. Sebagai
pengacu orang pertama tunggal, mungkin
masih terbatas pada daerah tertentu (Jakarta
dan wilayah pengaruhnya; daerah Jawa Barat
atau masyarakat bahasa Sunda menggunakan
kami sebagai pronominal persona pertama
dengan mempertimbangkan jarak psikologis
sebagai pembicara, yang kemudian terdesak
olek leksem kekerabatan). Orang yang tidak
ingin menggunakan kata aku dan saya untuk
mengacu dirinya, berhadapan dengan pilihan
kami atau kita. Kami (yang mengecualikan)
15
Roely Ardiansyah, Penggunaan Deiksis dalam Bahasa Indonesia
dirasakan terlalu besar jarak psikologis
terhadap yang diajak bicara. Sebaliknya kata
kita
agaknya
menimbulkan
perasaan
solidaritas di antara kelompok yang senasib
dan sebaya.
Bentuk pronominal persona kedua engkau
dan kamu hanya dapat digunakan antara peserta
ujaran yang akrab hubungannya, atau dipakai
oleh orang yang berstatus sosial lebih tinggi
untuk menyapa kawan bicara yang berstatus
sosial lebih tinggi untuk menyapa kawan bicara
yang berstatus sosial lebih rendah, atau diantara
pihak yang berstatus sosial sama.
kalimat (5) dan (6). Sedangkan sebagai unsur
untuk tutur sapaan/ kata sapaan nama diri hanya
menyapa dan menunjuk (tidak mengacu) kepada
pihak yang diajak bicara.
(5) Tuti berkata kepada ibunya, ”Bu, Tuti
sudah lapar.”
(6) Ani bertanya kepada Lana, “Jon tidak
hadir?”
Pada kalimat (5) peran Tuti seperti peran
Unyil pada kalimat (3) sebagai pembicara. Pada
kalimat (6) Jon berperan sebagai pihak yang
dibicarakan. Dengan demikian, kata Jon, mengacu
dan menunjuk pada diri Jon.
2.
Deiksis yang Menyangkut Nama Diri
Ujaran sehari-hari dapat menghindari
pemakaian pronominal orangan, kita cenderung
mamakai nama lain antara lain nama diri,
pangkat, dan tingkat kekerabatannya karena kita
agaknya lebih suka kepada pendekatan yang
tidak langsung. Nama diri digunakan sebagai
kata sapaan atau panggilan jika kita hendak mulai
suatu percakapan, atau jika hendak minta
perhatian kawan bicara.
Perhatikan contoh percakapan berikut:
(1)
(2)
3.
Deiksis yang Menyangkut Pronominal
Demonstratif (penunjuk)
Deiksis yang menyangkut pronominal
demonstrative ini ditunjukkan oleh satuan
leksikal yang berhubungan dengan arah dan
ruang, yang berupa antara lain ini, itu, sini, situ
dan sana. Di dalam bahasa Indonesia deiksis yang
menyangkut pronominal demonstratif atau
penunjuk dapat dibedakan dari sudut jauh
dekatnya. Pronominal aku dan saya berkolerasi
dengan ini, yakni dekat dengan pembicara.
Engkau, kamu dan anda berkolerasi dengan itu,
yakni jauh dari penbicara dan dekat kawan
bicara. Dia, ia, beliau berkolerasi dengan anu,
yakni jauh baik dari pembicara maupun dari
kawan bicara.
Bandingkan
pemakaian
pronominal
demonstratif yang menunjukkan perbedaan jauh
dekatnya:
Unyil mau ke mana?
Kamu/ engkau mau ke mana?
Pada kalimat (1) pembicara, misalnya:
Seorang ibu terlibat dalam percakapan dengan
anak yang bernama Unyil. Unyil berperan sebagai
pihak yang diajak bicara (kawan bicara atau
orang kedua). Pembicara menyapa kawan
bicaranya tidak dengan pronominal orang kedua
(kamu/engkau). seperti pada (2) tetapi dengan
nama diri kawan bicara. Pada saat nama Unyil
disebut, Unyil pun mengetahui bahwa dirinyalah
yang berperan sebagai kawan bicara. Biasanya
anak-anak mengacu dirinya dengan nama diri.
Demikian pula Unyil, seperti tampak dalam
kalimat berikut.
(1) Buku ini saya beli di situ
(2) Buku itu saya beli di sana
Pada (1) buku ini dan pada (2) buku itu,
kata ini dan itu sebagai penanda takrif (definite).
Buku ini maksudnya buku yang ada di sini atau
buku yang dekat dengan pembicara. Buku itu
maksudnya buku yang ada di situ atau buku
yang tidak dekat dengan pembicara.
Kata sini dan situ selain dipakai untuk mengacu
ke dan menunjuk lokasi, dipakai juga untuk
mengacu kepada pembicara dan menyapa yang
diajak bicara, seperti pada:
(3) Unyil mau ke sekolah, Bu
(4) Saya/ aku mau ke sekolah, Bu
Kata Unyil pada kalimat (3) atau
pengganti saya/ aku pada kalimat (4) tidak lagi
berfungsi sebagai kata sapaan tetapi sebagai
nama acuan. Nama acuan bentuknya dapat sama
dengan sapaan, yakni nama diri dan nama tingkat
kekerabatan. Sebagai tutur acuan nama diri hanya
mengacu dan menunjuk (tidak menyapa) kepada
pembicara dan yang dibicarakan seperti pada
Situ mau ke mana?
Kata situ digunakan untuk menyapa yang diajak
bicara. Hal tersebut terjadi karena pembicara
16
PROSPECTS, Jurnal Humaniora, Sains. Pendidikan dan Pengajaran, Volume 1, Nomor 1, November 2012: 14-18
ISSN 2302-6278
tidak mau atau tidak dapat memilih salah satu
bentuk sapaan karena alasan tertentu. Demikian
pula kata sini, seperti pada kalimat berikut.
bahasa Melayu-Indonesia nama hari dapat
dileksikalkan seperti kemarin dulu, kemarin ‘satu
hari sebelum sekarang’, sekarang ‘kini’, besok
‘satu hari sesudah sekarang’, lusa ‘dua hari
sesudah sekarang’. Leksem waktu seperti pagi,
siang, sore dan malam tidak bersifat deiksis
karena
perbedaan
masing-masing
leksem
berdasarkan patokan posisi planet bumi terhadap
matahari. Leksem waktu bersifat deiksis, apabila
yang menjadi patokan si pembicara. Kata sekarang
bertitik labuh pada saat si pembicara
mengucapkan kata itu (dalam kalimat), atau yang
disebut saat tuturan. Kata kemarin bertitik labuh
pada satu hari sebelum saat tuturan, dan kata
besok bertitik labuh pada satu hari sesudah
tuturan.
Penentuan kata kemarin dan besok
terhadap sekarang adalah tertentu, karena
memperhitungkan berdasarkan ukuran satu
kalender (satu hari, dua hari), penentuan leksem
deiksis dulu, tadi, nanti, kelak, tidak tertentu relatif.
Kata dulu dan tadi bertitik labuh pada waktu
sebelum saat tuturan, dulu menunjuk lebih jauh
ke belakang daripada tadi. Kata nanti dan kelak
bertitik labuh pada waktu sesudah saat tuturan,
kedua kata ini dapat sama-sama menunjuk jauh
ke depan.
Kata kelak tidak dapat dipakai untuk
menunjuk waktu dekat ke depan, misalnya:
Dalam pengertian satu menit, lima menit, atau
satu jam, sedangkan kata nanti dapat mengacu
kepada waktu tersebut.
Kata nanti dapat dirangkaikan dengan
kata pagi, siang, sore, malam (yang dapat menandai
perubahan hari atau tanggal), perhatikanlah:
Sini mau ke kampus.
Kata sini mengacu kepada diri pembicara.
Pembicara tidak menggunakan pronominal orang
yang mengacu pada dirinya karena ia tidak mau
melakukannya, atau karena ia sengaja menyapa
balik dengan istilah pronominal penunjuk yang
segolongan dengan situ. Kata sana mengacu dan
menunjuk lokasi yang jauh dari pembicara dan
kawan bicara, akan tetapi kadang-kadang
didapatkan pula kata sana yang digunakan
sebagai sapaan bagi kawan bicara seperti pada:
Sana saja yang ikut pergi
Pronomina
demonstratif
yang
menyangkut verba di dalam bahasa Indonesia
yang menunjukkan gerakan (dinamis) menuju
lokasi, baik lokasi pembicara maupun lokasi
kawan bicara pada situasi tertentu, misalnya:
berangkat, pergi dan datang. Verba tersebut
selalu muncul dengan preposisi direktif bila
menunjukkan gerak (bandingkanlah dengan
menuju yang menginklusikan preposisi ke)
bandingkanlah data berikut:
(1) Amir berangkat dari rumah pukul
delapan.
(2) Tuti berangkat ke sekolah naik sepeda.
(3) Adik pergi ke pasar dengan ibu.
(4) Saya datang ke Jakarta naik kereta
Parahiangan.
(5) Kakak datang di Bandung tengah malam.
Pada (1) berangkat dari berhubungan
dengan asal mulai berangkat menuju tempat lain.
Pada kalimat (2) berangkat ke berhubungan
dengan lokasi atau arah yang dituju. Pada kalimat
(3) pergi ke berhubungan dengan lokasi atau arah
yang dituju sama halnya dengan (2), proses
kearah tujuan. Pada kalimat (4) datang ke
berhubungan dengan lokasi yang dituju, sedang
dalam proses mencapai tempat tujuan. Pada
kalimat (5) datang di berhubungan dengan
tercapainya tempat yang dituju (kalimat
pencapaian,
tidak
menunjukkan
proses,
bandingkanlah dengan tiba di) dan sudah berada
tempat tujuan.
Nanti pagi
Nanti siang
Nanti sore
Nanti malam
pagi nanti
siang nanti
sore nanti
malam nanti
Urutan nanti pagi tidak dapat digunakan, dan
biasanya digunakan urutan besok pagi. Bila nanti
pagi diucapkan pada malam hari pada waktu
yang diacu adalah hari berikutnya. Urutan pagi
nanti biasanya diucapkan pada waktu-waktu
sesudah pukul dua belas malam sampai pukul
tiga pagi. Frase pagi nanti tidak dapat diucapkan
pada siang hari, sore hari atau malam hari
sebelum pukul dua belas malam.
Kata nanti bila bergabung dengan kata
pagi, siang, sore, atau malam tidak dapat memiliki
jangkauan ke depan lebih dari satu hari, sore hari
4.
Deiksis yang Menyangkut Waktu
Deiksis yang menyangkut waktu ini
berhubungan dengan sruktur temporal. Dalam
17
Roely Ardiansyah, Penggunaan Deiksis dalam Bahasa Indonesia
C. Kesimpulan
Semantik dalam penerapannya mengarah
pada ragam bahasa ilmiah. Apabila bahasa
dibentuk atau diolah, baik secara lisan maupun
tulis (karya sastra). Maka tanpa disadari hal
tersebut teridentifikasi makna dan memiliki
makna yang diterapkannya. Hal demikian jika
dianalisis, maka muncul makna yang dimaksud.
Makna yang ada di dalamnya tidak lepas dari
penggunaan deiksis. Deiksis dalam penggunaan
ada empat jenis, yaitu: (a) deiksis pronominal
orangan (persona), (b) deiksis yang menyangkut
nama diri, (c) deiksis yang menyangkut
pronominal demonstratif (penunjuk), dan (d)
deiksis yang menyangkut waktu.
Klasifikasi deiksis yang terdiri dari empat
jenis tersebut, sebagaimana dijelaskan di awal,
memiliki akurasi dalam penerapannya. Sehingga
dalam menganalisis makna yang ada di dalam
ragam bahasa ilmiah, baik bentuk lisan maupun
tulis sangat mudah ditemukan jenis yang
dimaksud serta diklasifikasi.
ataupun malam hari sebelum pukul dua belas
malam.
Kata tadi dan dulu berbeda dalam hal
jangkauannya. Kata tadi dapat bertitik labuh
misalnya: Pada satu menit, lima menit, satu jam,
atau tujuh jam sebelum saat tuturan (asalkan
tidak lebih dari satu hari sebelum saat tuturan),
sedangkan kata dulu mempunyai jangkauan lebih
dari satu tahun sebelum saat tuturan, dan dapat
lebih jauh lagi ke belakang tanpa ada batasnya.
Apabila jangkauan ke belakang terbatas hanya
beberapa hari sebelum tuturan, maka digunakan
frase tempo hari.
Kata tadi berbeda dengan kata nanti,
(yang tidak dirangkaikan dengan kata pagi) dapat
dirangkaikan dengan kata malam sebagai batas
dari tanggal dilihat dengan arah ke belakang.
Tadi pagi
Tadi siang
Tadi sore
Tadi malam
pagi tadi
siang tadi
sore tadi
malam tadi
Frase tadi malam atau malam tadi bertitik labuh
pada malam hari sebelum saat tuturan. Tetapi,
frase tadi malam hanya dapat diucapkan pada pagi
hari, siang hari atau sore hari pada hari
berikutnya. Apabila diucapkan pada malam hari
(untuk menunjuk pada malam sebelumnya)
sebagai ganti frase tadi malam digunakan kemarin
malam atau malam kemarin. Kata semalam dapat
memiliki makna satu malam atau kemarin malam.
Sejajar dengan kata dulu (yang memiliki
jangkauan tahunan ke belakang) kata kelak
memiliki jangkauan tahunan ke depan. Ekspresi
di kelak kemudian hari yang memiliki titik labuh
pada suatu hari yang tidak tentu dalam beberapa
tahun yang akan datang. Pengertian beberapa di
sini mempunyai patokan kira-kira lebih dari
sepuluh tahun, lima tahun masih terasa belum
cukup lama untuk jangkauan kata kelak.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Djajasudarma, Fatimah T. 1999. Semantik 1.
Bandung: P.T Refika Aditama.
------------------------------.
1999.
Semantik
2.
Bandung: P.T Refika Aditama.
R.H., Robin. 1992. Linguistik Umum. Yogyakarta:
Kanisius.
Soekemi, Kem. 2000. Semantics: A Work Book.
Surabaya: UNESA University Press.
Verhaar, J.W.M. 2001. Asas-asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
18
Download