PENGGUNAAN AgNOR SEBAGAI BIOMARKER SENSITIVITAS RADIASI PADA KANKER SERVIKS* Iin Kurnia*, , Budiningsih S**, Yanti Lusiyanti* * Bidang Biomedika PTKMR-BATAN **Departemen Patologi Anatomi RSCM/FKUI ABSTRAK PENGGUNAAN AgNOR SEBAGAI BIOMARKER SENSITIVITAS RADIASI PADA KANKER SERVIKS. Radiosensitivitas sel terhadap radiasi merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat responsife sel kanker terhadap radioterapi. Telah dilakukan penelitian pewarnaan AgNOR terhadap tiga puluh dua preparat histologi KSS (karsinoma sel squmaosa serviks) stadium lanjut lokal sebelum menerima sebelum menerima kemoradioterapi. Sediaan mikroskopik dikelompokkan berdasarkan sub tipe histologik berkeratin dan non keratin, stadium klinik IIB dan IIIB, serta derajat diferensiasi baik (G1), sedang (G2) dan buruk (G3). Dari penelitian diperoleh data rerata AgNOR sub tipe histologik berkeratin lebih besar dibanding rerata AgNOR non keratin (p <0,05). Rerata AgNOR pada stadium klinik IIB dan III B dan derajat diferensiasi baik, sedang dan buruk tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p > 0,05). Dari data di atas disimpulkan bahwa rerata AgNOR pada preparat KSS sub tipe histologik berkeratin lebih besar dibanding non keratin, hal ini diduga berkaitan dengan aktivitas sintesis protein lebih besar pada sub tipe histologik berkeratin dibanding non keratin, tidak ada perbedaan nilai rerata AgNOR antara stadium klinik IIB dan IIIB maupun derajat deferensiasi. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungannya dengan respon radiasi pada kemoradioterapi KSS. Kata kunci : AgNOR, sel karsinoma kanker serviks, kemoradioterapi ABSTRACT THE USING OF AgNOR AS SENSITIVITY RADIATION MARKER IN CERVICAL CANCER. Cell radiosensitivity is one of the most important factors influencing the level of tumor cell responsiveness to radiotherapy. The research on AgNOR staining was conducted in thirty-two specimens obtained from cervical carcinoma before treated with chemo-radiotherapy. The specimen was grouped according to histologically keratinizing and non keratinizing squamous cell carcinoma sub types, clinical stages (II B and IIIB), and grades of differentiation [good (G1), average (G2) and bad (G3)]. The average of AgNOR for keratinized sub type was significantly higher than that of non keratinized sub type (p < 0,05). No statistical significance was found between clinical stage of II B and IIIB and between three grades of differentiation p > 0,05. From this result, it was known that higher value of AgNOR was found in keratinized sub type rather than non keratinized, this may be related to higher protein synthesized in keratinized compared to non keratinized sub type. We suggest that more study is needed to know protein synthesise and radiation response relationship in cervical squamous carcinoma treated with chemoradiotherapy Key Word : AgNOR, cervical squamous cell carcinoma, chemoradiotherapy ---------------------------------------------------------------------------------------Disajikan dalam Seminar Nasional K3, PTKMR, 19 Desember 2006. I. PENDAHULUAN 1 Karsinoma servik squamosa (kanker servik) merupakan salah satu tumor ganas yang sering ditemukan di negara berkembang dengan tingkat sosioekonomi rendah. Penderita biasanya datang dalam stadium lanjut sehingga diperlukan pengobatan menggunakan radiasi (radioterapi) eksterna atau intrakaviter [1]. Berberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan radioterapi maupun prognosa penderita, diantaranya adalah, radiosensitivitas sel tumor terhadap radiasi yang berhubungan tengan tingkat proliferasi sel, tipe histologi atau derajat diferensiasi dan lain sebagainya. Parameter yang biasa digunakan untuk menilai respon radiasi adalah hasil histopatologik yaitu penilaiannya berdasarkan morfologik sel saja yakni ada tidaknya sel yang “viable” atau secara klinis, namun cara penilaian ini dianggap belum memuaskan. Radiosenitivitas sel terhadap radiasi merupakan salah satu faktor penting dalam menetukan tingkat responsife sel kanker terhadap radioterapi. Pada dasarnya radiosensitivitas sel merupakan suatu konsep yang didasarkan atas derajat respon sel terhadap radiasi. Radiosensitivitas sel dapat dibedakan atas 2 jenis yakni, radiosensitivitas esensial dan radiosensitivitas kondisional. Radiosensitivitas essensial didasarkan kepada kondisi “inherent” yakni kondisi yang dipengaruhi oleh factor internal sel itu sendiri, sedangkan radisensitivitas kondisinonal didasari pada factor eksternal misalnya dosis radiasi, status oksigen dll [2]. Dari penelitian secara klinik ditemukan adanya variasi yang besar dalam radiosensitivitas tumor, baik pada tipe histologis yang sama apalagi pada sub tipe histoplogis berbeda. Tumor dengan persentase sel yang berproiliferasi tinggi merupakan tumor yang paling radiosensitif [3]. Proliferasi sel dapat dipelajari baik dengan cara menghancurkan jaringan seperti pada metode “flowsitometri” maupun dengan cara tetap mempertahankan struktur jaringan seperti pelabelan dengan radioisotop, Ki-67, PCNA (proliperating cell nuclear antigen) dan tehnik pewarnaan AgNOR. Keuntungan mempelajari proliferasi sel tanpa menghancurkan jaringan adalah tetap terpeliharanya hubungan antar subpopulasi sel pada jaringan tumor [4]. AgNOR merupakan salah satu cara penilaian proliferasi dengan cara menghitung “nucleolar organizer region” (NOR) yang merupakan lengkung DNA ribosom yang ditranskripsikan menjadi RNA ribosomal dengan bantuan RNA polymerase. NOR terletak pada lengan pendek kromosom akrosentrik (nomor 13,14,15,21 dan 22} pada manusia dan terlihat secara ultrastruktural berasosiasi dengan komponen fibril pada fase interfase. NOR mengandung gen yang membentuk ribosomal 18s dan 28s RNA, yang sangat vital untuk sintesa protein [3,4]. Hubungan antara radiosensitivitas dengan proliferasi sel merupakan suatu hal yang kompleks dan efeknya bergantung pada fase dan siklus sel, frekuensi mitosis dan lamanya periode 2 interfase. Sel yang mempunyai frekuensi mitosis tinggi (fase interfase pendek) mempunyai waktu pemulihan yang lebih pendek sebelum memasuki fase mitosis berikutnya setelah menerima pajanan radiasi [2]. Demikian halnya dengan sel tumor dengan tingkat proliferasi tinggi pada umumnya lebih radiosensitif dibanding tumor dengan ploriferasi rendah, karena pada tumor yang tingkat proliferasinya tinggi mempunyai kemungkinan mati lebih besar akibat radiasi dibanding dengan tumor dengan tingkat proliferasi rendah. Disamping itu ada faktor lain yang berpengaruh yakni gambaran histologik, fraksi pertumbuhan dan sel hilang (sel tumor yang mati secara spontan) [3]. Baru-baru ini telah dilaporkan bahwa kuantitas dan distribusi AgNOR dapat mempresentasikan index prognosa yang baik pada karsinoma usus besat, kanker payudara, dan kanker kandung kemih dan kemungkin merefleksikan derajat keganasan dan proliferasi pada karsinoma sel squamosa pada karsinoma lidah, rongga mulut dan kolon [5]. Dari penelitian Kurnia [6] diketahui bahwa karsinoma sel squamosa serviks dengan nilai rerata AgNOR lebih tinggi pra radioterapi akan lebih radiosensitif sel kankernya dibanding dengan nilai rerata AgNOR yang lebih rendah pasca radiasi komplet dengan mengelompokkan derajat radiasinya secara histopatologik menurut metode Shimosato-Obushi. Penelitian yang dilakukan oleh Heber dkk [7] menunjukkan selisih rerata AgNOR antara pra radioterapi dan setelah fraksi pertama radioterapi menunjukkan korelasi positif dengan kesembuhan kanker dalam satu tahun pasca radioterapi. Sejauh ini belum ada publikasi yang menyatakan hubungan antara nilai rerata AgNOR dengan stadium klinis, sub tipe histologi dan derajat diferensiasi sel tumor pada pasien kanker serviks di Indonesia sebelum menerima pengobatan dengan kemoradioterapi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara nilai AgNOR sebagai biomarker sensitivitas sel tumor terhadap radiasi sebelum menjalani kemoradioterapi dengan stadium klinis, sub tipe histologik (keratin dan non keratin) dan derajat diferensiasi sel pada penderita karsinoma sel squamosa serviks. Diharapkan dari penelitian ini dapat ditemukan hubungan rerata nilai AgNOR dengan stadium klinis, sub tipe histologi keratin dan non keratin serta derajat diferensiasi karsionoma serviks squmosa di Indonesia sebelum menerima kemoradioterapi. II. TATA KERJA Sediaan mikroskopik yang digunakan pada penelitian ini berasal dari 32 sampel biopsi penderita karsinoma servik (KSS) stadium lanjut lokal yang datang ke RSCM tahun 2004 yang secara klinis terdiri dari stadium klinis IIB (sel tumor menyebar samapai parametrium) dan IIIB 3 (sel tumor telah mencapai dinding panggul telah mencapai dinding/hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal) [8,9]. Gambaran histologik selanjutnya dikelompokan menurut sub tipe histologiknya (berkeratin dan non keratin) dan diferensiasi dikelompokkan berdasarkan derajat diferensiasi baik(G1),bila ditemukan sel anaplastik sekitar 0-25%, sedang (G2) bila ditemukan sel anaplastik 25-50% dan buruk (G3) bila ditemukan sel anaplastik 50-70% [9]. II.1 Pewarnaan AgNOR Sampel biopsi pasien diproses menjadi blok paraffin, kemudian dipotong menjadi sediaan mikroskopik dengan ketebalan 4 µm. Sediaan diletakkan pada objek glass untuk dideparafinisasi dengan xilol sebanyak 2x. Dilakukan rehidrasi dengan alkohol 100 %, 90 %, 80 % dan terakhir dengan air . Selanjutnya sediaan dideionisasi, masing-masing selama 5 menit, kemudian diwarnai dengan pewarna AgNOR (larutan perak koloidal yang dibuat dar 2% bubuk gelatin dalam air deionisasi pada waterbath suhu 60 – 70oC). Kemudian ditambah asam formiat murni 1%. Larutan ini dicampur dengan 50% perak nitrat dalam air deionisasi dengan perbandingan 1:2 9dibuat sesaat sebelum dipakai). Selanjutnya sediaan ditetesi dengan larutan perak nitrat koloidal yang disaring dengan filter 0,22 µm milipore dan diiamkan selama 15 menit dan diinkubasi dalam larutan tiosulfat 5% selama 2 menit. Preparat didehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi 70 %, 80%, 90% dan 100 %, kemudian dilakukan penjernihan dengan xilol sebanyak 2x, setelah preparat kering ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk dilakukan penghitungan AgNOR. Sebagai kontrol positif digunakan sediaan kanker payudara dan control negative adalah sel darah putih [10]. II.2. Penghitungan Nilai AgNOR. Penghitungan butir AgNOR dilakukan dibawah mikroskop secara acak dari 100 sel menggunakan mikroskop perbesaran 100x. Nilai AgNOR yang dihitung adalah mAgNOR yakni rerata AgNOR dalam satu inti sel. Hasil perhitungan diuji secara statistik dengan uji student t (ttest) dengan tingkat kepercayaan 5 % (uji t p = 0,05) [11]. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Radiosensirifitas tumor secara umum ditentukan oleh fraksi pertumbuhan (fraksi sel tumor yang mengalami pertumbuhan dalam jaringan tumor), diferensiasi, proliferasi sel dan distribusi siklus sel dalam jaringan tumor. Dari pengamatan secara klinik telah terbukti adanya variasi respon radioterapi baik pada tipe berbeda maupun tipe tumor yang sama. Respon ini 4 dikelompokkan berdasarkan sejumlah factor penentu seperti tipe histologik, stadium klinis dan derajat diferensiasi, volume tumor, pola pertumbuhan merupakan tumor [12]. Nilai AgNOR merupakan salah satu penanda proliferasi terdiri dari protein “argyrophilic” yang berikatan dengan protein asam yang mengandung sulfhydril dan kaya gugus karboksil yang mengikat ion perak sehingga dapat diamati dengan mikroskop cahaya sebagai argiofil NOR yang berwarna coklat kehitaman di dalam inti[13]. Pada penelitian ini dilakukan penghitungan terhadap rerata AgNOR dalam satu inti sel (mAgNOR) pada setiap 100 sel berdasarkan pengelompokan stadium klinis, subtipe histologik dan derajat deferensiasi. Hasil penghitungan terhadap rerata AgNOR untuk kelompok stadium klinis, sub tipe histologik keratin dan non keratin dan derajat deferensiasi berturut-turut ditampilkan pada tabel 1, 2 dan 3 . Tabel 1. Nilai AgNOR kanker serviks squamosa berdasarkan stadium klinik berbeda No Stadium N Nilai rerata Nilai rentang Klinik (jumlah pasien) AgNOR AgNOR 22 3.94 ± 1,04* 2,3 - 6,1 1 IIB 10 3.9 ± 0,84 2,6 – 5,1 2 IIIB *Tidak berbeda bermakna, dengan uji student t, p hitung 0,9 > p value 0,05 Pengelompokan stadium klinis kanker berdasarkan pada tingkat penyebaran sel tumor dari tempat tumbuh awalnya atau tumor primer . Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa rerata nilai AgNOR stadium klinis IIB dan IIIB tidak berbeda bermakna (p = 0,9). Stadium klinis IIB dan IIB termasuk tumor yang sudah melakukan invasi terhadap jaringan sekitarnya [9]. Diduga tingkat proliferasi kedua tumor dengan stadium klinis ini hampir sama sehingga tidak ditemukan perbedaan nilai proliferasinya yang diamati dengan ekspresi AgNOR. Hasil yang sama telah dilaporkan pula bahwa tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara rerata AgNOR pada penderita tumor jinak endocervik pada stad II dan III. yaitu 2,9 ± 0,4 dan 3,1 ± 0,6 [14,15]. Begitu pula pada sel karsinoma squamosa paru rerata nilai AgNOR untuk stadium klinis lanjut lokal IIIA-IIIB juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. [16] . Nilai rerata AgNOR pada lapisan basal dari epitel exocerviks normal adalah 1 dalam 1 nukleus. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Xie-xie dkk [17] menyatakan bahwa nilai mAgNOR menunjukkan perbedaan bermakna antara epitel normal dan displasia serta antara displasia dan karsinoma squamosa pada rongga mulut. Nilai mAgNOR tiga kasus displasia yang berkembang menjadi ganas lebih besar dibanding nilai rerata mAgNOR dari displasia yang tidak berkembang menjadi ganas. Pada penderita kanker yang mempunyai nilai mAgNOR lebih 5 rendah mempunyai masa bebas karsinoma lebih lama dibanding pasien yang menpunyai nilai mAgNORnya lebih tinggi stelah menerima pengobatan [15]. Tabel 2. Nilai AgNOR kanker squamosa serviks berdasarkan sub tipe histologi No Sub tipe N Nilai rerata Nilai rentang histologi (jumlah pasien) AgNOR AgNOR 1 Keratin 17 4,3 ± 0,99*s 2,6 – 6,1 2 Non Keratin 15 3,6 ± 0,84 2,6 – 5,2 *Berbeda bermakna dengan uji student t, p hitung 0,02 < p value 0,05 Keratin merupakan sejenis protein yang dijumpai pada epitel dari sel tumor dan merupakan salah satu petanda untuk transformasi ”malignant”. Selanjutnya keberadaan keratin dijadikan sebagai salah satu subtipe histologik pada karsinoma sel squamosa serviks.. Pada penelitian ini nilai rerata AgNOR pada sub tipe histologik KSS berkeratin tampak lebih tinggi dibanding KSS non keratin dan secara statistik berbeda bermakna (p=0,02), hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan sintesis protein antara sel tumor berkeratin dibanding non keratin. Lebih tingginya nilai AgNOR pada sel mukosa yang berkeratin pada orang perokok dibanding sel normal juga ditemukan pada penelitian Bustos dkk [18]. Hal ini diduga disebabkan oleh aktifitas metabolik atau sintesis protein pada sel ini. Tabel 3. Nilai AgNOR kanker serviks squamosa berdasarkan derajat diferensiasi No Diferenisiasi N Nilai rerata Nilai rentang (Jumlah Pasien) AgNOR AgNOR 1 Baik (G1) 10 3,9 ± 0,92* 2,6 – 5,2 2 Sedang (G2) 19 3.97 ± 1,01* 2,3 – 6,1 2 Buruk (G3) 3 3,77 ±1,15* 3 – 5,1 *Tidak berbeda berbeda bermakna, dengan uji student t , p hitung G1 dan G2, p hitung 0,85, p hitung G2 dan G3 0,79 > p value 0,05 Gambar 1. Karsinoma serviks squamosa KSS diferensiasi Baik (G1) Gambar 2. Ekpresi AgNOR pada preparat diferensiasi baik (G1) 6 Gambar 3. Ekpresi AgNOR diferensiasi sedang perbesaran 10 x 40 Gambar 4. Ekspresi AgNOR pada KSS pada KSS diferensiasi buruk perbesaran 10 x 40 Nilai rerata AgNOR (tanda panah) dikelompokkan berdasarkan derajat deferensiasi baik (G1)), sedang (G2) dan buruk (G3) terlihat pada Gambar 2,3 dan 4. Nilai rerata AgNOR pada kelompok G1,G2 dan G3 relatif tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,85) untuk G1 dan G2, begitu juga untuk G2 dan G3 (p=0,79). Kemungkinan tidak dijumpai perbedaan yang bermakna nilai antara nilai rerata AgNOR pada ketiga kelompok diferensiasi tersebut berkaitan dengan jumlah sampel yang tidak seimbang pada 3 kelompok diferensiasi sel kanker tersebut, terutama G3, namun apabila dilihat nilai terendah dari 3 sampel yang diferensiasi buruk G3 terlihat lebih tinggi dibanding sel kanker yang diferensiasi baik dan sedang. Dari sejumlah publikasi ditemukan adanya hubungan antara derajat diferensiasi buruk dengan prognosis tumor, dimana tumor yang derajat diferensiasinya buruk berkaitan dengan prognosis yang jelek dibanding tumor yang derajat diferensiasinya sedang atau baik. Namun pada penelitian Briggite Miller dkk [14] melaporkan bahwa pada adenokarsinoma serviks terdapat perbedaan yang bermakna pada nilai AgNOR antara stadium 1 dan stadium 2 sedangkan antara stadium 2 dan 3 tidak dijumpai. Sedangkan pada tumor permukaan kandung kemih nilai AgNOR secara bermakna mengalami kenaikkan sejalan dengan kenaikkan derajat deferensiasi tumor [19] Pada penelitian ini nilai AgNOR pada sel KSS pada stadium klinis IIB dan IIIB menunjukkan nilai yang tidak berbeda, sehingga prediksi radiosensitifitas kedua stadium klinis tumor serviks ini diduga relatif sama. Derajat diferensiasi secara umum berhubungan dengan tingkat keganasan dan proliferasi sel, sehingga tumor yang derajat diferensiasinya buruk akan mempunyai tingkat proliferasi yang lebih tinggi, tercermin dari nilai AgNOR yang lebih tinggi, sehingga akan bersifat lebih radiosensitif. Sedangkan berdasarkan su histologik berkeratin menunjukkan rerata AgNOR yang lebih tinggi dibanding yang tak berkeratin. Aktivitas metabolisme sel berupa sintesis protein diduga berkaitan dengan munculnya fase fase pembelahan sel yang lebih sensitif terhadap radioterapi. Dari penelitian ini kami mengusulkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui fungsi AgNOR, dan respon radioterapi terhadap tumor baik melalui respon sementara atau setelah radioterapi untuk lebih memahani fungsi AgNOR sebagai petanda proliferasi ataupun sebagai petanda aktifitas metabolisme sel. 7 IV. KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulan sebagai berikut tidak ditemukan perbedaan nilai rerata AgNOR antara KSS serviks stadium klinis IIB dan IIIB. Ditemukan perbedaan nilai rerata AgNOR antara dua subtipe histologik KSS berkeratin dan non keratin. Nilai rerata AgNOR antara derajat deferensiasi baik, sedang maupun buruk relatif tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. SARAN Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui fungsi AgNOR, dan respon radioterapi tumor baik melalui respon sementara atau setelah radioterapi untuk lebih memahami fungsi AgNOR sebagai marker proliferasi ataupun sebagai penanda aktivitas metabolisme sel seperti dalam sintesa protein Daftar Pustaka 1. MARCIAL VA, LV MARCIAL. Radiation Theraphy of Cervical Cancer supplement Feb, 1993. 2. CASARET TGW. Radiation Histophology, Vol 1, CRP. Press, Florida;1980:30 -31. 3. TUBIANA M, JEAN D, ANDRE W. Introduction to Radiobiology, Taylor Francis, 1990: 385 – 395. 4. SORENTINO V, IN LEWIS. Cell Proliferation in Cancer Regulatory Mechanism of Neoplatic cell Growth, Oxford University Press,Oxford, 1996. 5. CHEN M, LEE JG, LO S, SHEN J. Argyrophilic Nuclear Organizer regions in naopharyngeal Carcinoma and Paraneoplastic Ephitelia Head and Neck. 25 (5) 395-399, 2003 6. KURNIA, I. Hubungan Nilai AgNOR Derajat Respon Radiasi Secara Histopatologik Karsinoma Serviks Uteri Stadium Lanjut Lokal, Tesis Magister Program Studi Biomedik, Kekhususan patobiologi, Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002 7. HEBER E, AMANDA ES, BEATRZ S, SUSANA N, OSVALDO S, MIGUEL B,MARIA EI. AgNORs as an Early Marker of Sensitivity to Radiotherapy in Ginaecology Cancer, The International of Academy of Cytology Acta Oncologya, Vol 46;2 :311-316. 8. BENEDET,JL. Et,al Carcinoma cervikx uteri, Journal of Epidemiology ond Biostatistic, 6(1)79:2001 9. RUBIN,P. Clinical Oncology,A Multidiciplinary Approach for Physicians and Students 8th edition (CD Room Version) 10. CROCKER J,BOLDLY AR,EGAN MJ; How should we count AgNORs Proposals for Standardized approach.J Pathol; 158:185-188;189 11. WAYNE WD.Biostatistics: A Foundation for analysis in the Health Sciences, Wiley Series Applied; 1991;191-227 8 12. PREMPREE T, PATANAPHAN V, SEWCHAND W, SCOTT RM, The influence of patients age and tumour grade on the prognosis of carcinoma of the cervix. Cancer 51:1764±1771(1983) 13. ALBERT. B, BRAD D, LEWIS J, RAFF M, WATSON JD, Molecular Biologi Of the Cell. Gardland New York, 379-383, 1995 14. MILLER BRIGITE, MD. FLAX SHERRIE, MD., DOCKTER, MICHAEL and PHOTOPULOS GUY, MD. Nucleolar Organizer Regions in Adenocarsinoma of the Uterine Cervix. CANCER, December 1994, Vol 74 No 12. 15. MARBAIX, E, DEMANDELEER, S HABBA, CL LIEGEOIS, PH. WILLEMS,T. RAHIER,J. and donnez,j. Nucleolar Organizer Regions in the Normal and Cacinomatous Epithelium of the Uterine Cervix 16. ANTONANGELO ,L BERNARDI, FDC. CAPELOZZI, VL. TAKAGI, TY. YOUNES, RN. YAGI,N. et al Morphometric Evaluation of Argyrophilic Nucleolar Organizer Region in Useful in Predicting long term Survival in Squamous Cell Carcinoma of the Lung. Chest ;111:110-4. 1997 17. XIE-XIE Diagnostic and prognostic Value of Nucleolar Organizer Regions in Normal Epithelium, Dysplasia, and Squamous Cell Carcinoma of the Oral Cavity. American cancer Society Vol 79, Number 11 Vol 79, 1997 18. BUSTOS ORELLANA AI, SANTANDER ESPINOZA IL, MARTINEZ FRANCO E, FREYRE JAME LOBOS N, and PINTO ORTEGA AV, Evaluation of keratinaization and AgNORs count inexfoliativecytology of normal oral mucosa from smokers and non smokers, Medicine Oral, Patologia Oral y Cirugia Bucal (Ed.impr.) vol 9 no 3 Valencia May- July 2004 19. TOMOBE, M., SHIMAZUI T, UCHIDA.K, HINOTSU.S and AZAKA.H, Argyrophili Nucleolar organizer Region Proliperating Cell has A Predictive Value For Recurrence In Suferficiall Bladder Tumor, The Journal of Urology , Dako Corp., Carpinteria, Calipornia 1999. 9 10