Pengaruh Temperatur Udara Pengering Terhadap Kadar Vitamin C

advertisement
Pengaruh Temperatur Udara Pengering Terhadap Kadar Vitamin C dan
B1 pada Produk Pengering
Jefrie Ronald Butar-Butar, Engkos Ahmad Kosasih
Program Sarjana Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI- Depok
Email: [email protected]
Abstrak
Pada proses pengeringan semprot apabila temperatur pengeringan terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan
pada bahan sensitif terhadap panas, terutama pada vitamin C dan B1. Meskipun demikian, jika temperatur terlalu
rendah dapat menyebabkan laju pengeringan produk sangat lambat. Variasi dari debit bahan , debit udara masuk
serta temperatur udara pengering diharapkan mampu mengeringkan bahan secara efisien di mana kerusakan
produk paling rendah dengan konsumsi daya paling efisien pada pengering semprot. Debit bahan menentukan
banyak produk yang akan dikeringkan namun jika terlalu besar maka pengeringan tidak tercapai, sedangkan
debit udara menentukan kapasitas pengeringan dimana banyaknya udara panas yang digunakan untuk
mengeringkan produk. Untuk temperatur pengeringan sangat penting pada laju pengeringan namun dapat
menyebabkan kerusakan bahan. Analisa perhitungan dan pengujian yang didapat pengeringan dengan tingkat
kerusakan terbesar produk vitamin C dan B1 adalah 14.6% pada temperatur 60°C dan 27.5% pada temperatur
140°C. Hal sangat dipengaruhi waktu kontak dari pengeringan meskipun dengan temperatur rendah sekalipun.
Dan energi konsumsi paling rendah adalah yang menggunakan dehumidifier dengan temperatur 10°C,
temperatur udara 120°C, dan debit udara 450 lpm.
INFLUENCE OF DRYING AIR TEMPERATURE ON VITAMIN C AND B1 AT
SPRAY DRIED PRODUCT
Abstract
In the spray drying process when the drying temperature is too high can cause damage to heat-sensitive
materials, especially in vitamins C and B1. However, if the temperature is too low can lead to a very slow rate of
drying products. Variations of material flow rate, air flow rate and air drying temperature are expected to drying
materials efficiently in which the lowest damage to the product with the most efficient of energy consumption in
the spray dryer. Material flow rate determines the product to be dried a lot but if it is too high then it can not be
achieved by drying process, while the air flow rate drying determines drying capacity which the amount of hot
air used to dry the product. For drying temperature on the drying rate is very important but can cause material
damage at high temperature. Analysis of the calculations obtained by drying with the highest product damage
level of vitamin C and B1 is 14.6 % at temperature 60°C and 27.5 % at temperature 140°C. It is really affected
by drying contact time even with low temperature. And the lowest energy consumption is which use
dehumidifier at temperature 10°C, air temperature at 120°C, and air flow rate at 450 lpm.
Keyword : Spray Dryer; Product Destruction; Drying Rate
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
Pendahuluan
Indonesia memiliki sumber bahan pangan yang sangat besar jumlah dan keragamannya.
Meskipun demikian, banyak bahan pangan cepat mengalami kerusakan karena adanya kadar
air pada bahan pangan jika disimpan terlalu lama. Untuk mengatasi hal ini, pengeringan bahan
pangan dapat dilakukan. Melalui proses pengeringan, hampir kebanyakan produk pangan
yang berasal dari pertanian, perkebunan, peternakan dan hasil laut dapat disimpan dalam
waktu yang lama. Hal ini dikarenakan aktivitas bakteri yang merusak produk dapat dihambat
dengan cara menurunkan kadar air pada produk tersebut. Namun tidak cukup hanya dengan
menurunkan kadar air, produk hasil pengeringan juga tidak boleh rusak. Bentuk kerusakan
produk dapat berupa aroma, rasa, maupun nutrisi.
Untuk mengurangi kerusakan produk, salah satu metode yang digunakan adalah enkapsulasi.
Teknologi enkapsulasi sering digunakan dalam industri makanan, kimia dan farmasi.
Enkapsulasi bertujuan untuk melindungi produk seperti vitamin dari reaksi yang merusak
yang mana sensitif terhadap cahaya, panas, oksidasi, maupun perubahan PH. Proses
enkapsulasi sering menggunakan teknik pengering semprot karena biaya yang rendah (Boza,
Barbin, & Scamparini, 2003).
Pengering semprot bekerja dengan cara mengatomisasikan bahan produk yang berbentuk cair
bersamaan dengan aliran udara panas dengan produk akhir berbentuk serbuk. Hal yang perlu
diperhatikan dalam perencanaan pengering semprot adalah seberapa besar pengaruh laju
aliran massa udara di blower, pengaruh tekanan pada sisi nozzel, serta temperatur dimana
percikan air tidak mampu menguap lagi saat berada di ruang pengering. Hal ini dikarenakan
untuk mengetahui pengaruh laju aliran bahan di mana dilakukan terhadap variasi temperatur
elemen pemanas, laju aliran dan temperatur udara yang masuk ke ruang pengering serta
tekanan pada sisi nozzel. Untuk meningkatkan laju pengeringan dapat digunakan sistem
dehumidifikasi pada aliran udara yang memanfaatkan sistem refrijerasi untuk menurunkan
kandungan air yang ada di udara. Selain itu, pengering semprot sangat penting untuk
dioptimasi dalam penggunaan daya. Sebab penggunaan daya yang tidak tepat dapat membuat
harga produk lebih mahal. Oleh karena itu, perlu dilakukan untuk efisiensi pada pengering
semprot dimana produk yang dihasilkan juga tidak mengalami kerusakan.
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
Tinjauan Teoritis
Pengeringan biasanya dijelaskan sebagai proses perindahan massa dan panas secara simultan.
Kalor sensible dan laten harus dipindahkan ke bahan. Panas dapat dipindahkan secara
konveksi dari udara ke permukaan bahan dan secara konduksi di dalam bahan.
Pengeringan terdiri dari dua proses penting yaitu :
1. Panas yang digunakan untuk menguapkan air.
2. Massa yang dipindahkan sebagai cairan dan uap didalam bahan padat dan sebagai uap
dari permukaan.
Faktor inilah yang akan menentukan seberapa besar laju penguapan. Pergerakan dalam bahan
berbentuk padat terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi yang mana bergantung dengan
karaktristik dari bahan tersebut. Karakter bahan dapat berbentuk poros atau non poros dan
bersifat higroskopis dan non higroskopis.
Ada dua mekanisme yang terjadi pada pengeringan, yaitu :
1. Mekanisme Internal (Aliran Fluida). Mekanisme internal dapat berupa aliran kapiler
yang merupakan kandungan air yang bergerak dari dalam bahan ke bagian permukaan
serta difusi uap yang terjadi karena adanya perbedaan tekanan penguapan dari bahan
ke lingkungan. Pergerakan juga dapat terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi
cairan di setiap bagian bahan.
2. Mekanismen Eksternal. Mekanisme eksternal terdiri dari temperatur, kelembaban,
aliran udara, dan kontak antara permukaan panas dengan permukaan basah.
Faktor - faktor yang mempengaruhi dalam kecepatan pengeringan ialah:
1. Luas Permukaan
Permukaan bahan merupakan tempat pertama kali terjadinya penguapan air,
sedangkan air yang ada di bagian tengah akan berdifusi ke bagian permukaan dan
kemudian menguap. Untuk mempercepat pengeringan umumnya fluida bahan yang akan
dikeringkan dipecah dalam bentuk yang paling kecil atau sederhana. Hal ini terjadi karena
akan memperluas permukaan bahan yang akan kontak langsung dengan udara pengering
serta mengurangi jarak dari inti bahan untuk berdifusi ke permukaan bahan.
2. Temperatur Udara Pengeringan
Temperatur udara pengeringan menentukan seberapa cepat proses pengeringan. Hal ini
dikarenakan temperatur digunakan untuk menyediakan energi panas pada udara sebagai
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
media pengering. Energi pada udara panas inilah yang digunakan untuk menguapkan
kandungan air di udara.
3. Kecepatan Aliran Udara
Udara yang bergerak digunakan untuk mengambil banyaknya kandungan air pada
bahan. Selain udara juga sebagai media pemanas untuk menguap air tersebut. Oleh karena
itu semakin cepat aliran udara, semakin cepat juga proses pengeringan.
4. Tekanan Udara
Pada tekanan atmosfir, air akan mendidih pada suhu 100oC. Pada tekanan lebih rendah
dari tekanan atmosfir air akan menguap pada suhu lebih rendah dari 100oC. Sehingga
dengan tekanan lebih rendah, mampu menguapkan air dengan temperatur rendah. Semakin
kecil tekanan udara akan semakin besar kemampuan perubahan air yang ada di udara
berubah menjadi uap. Pengaruh tekanan dan termperatur terhadap perubahan fasa air
ditunjukan pada gambar 1.
Gambar 1 Diagram P-T pada air
5. Kelembaban Spesifik Udara
Semakin lembab udara di dalam ruang pengering dan sekitarnya maka akan semakin
lama proses pengeringan berlangsung kering, begitu juga sebaliknya. Karena udara dengan
kelembaban spesifik rendah mampu mengabsorbsi uap air lebih banyak terhadap udara
kering yang dilewatkan jika dibandingkan dengan udara yang jenuh.
Pengering semprot merupakan operasi unit untuk mengubah material menjadi serbuk untuk
tujuan pengawetan, memudahkan penyimpanan, transportasi, penanganan, dan pertimbangan
ekonomi lainnya (Bhandari & Adhikari, 2006). Pengering semprot juga dapat didefinisikan
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
sebagai transformasi bahan berbentuk cair menjadi partikulat kering yang mana bahan
diatomisasikan terhadap media pengering yang panas yang menyebabkan terjadi penguapan
(Gustavo, Barbosa, 2005). Pengering semprot ini umumnya digunakan pengeringan makanan,
produk farmasi, dan bahan lainnya yang sensitif terhadap panas (Rattes, Ribeiro 2007; Fang
dan Bhandari, 2012 ). Hal ini sangat penting dikarenakan vitamin C dapat rusak selama
pengeringan dikarenakan panas (Bhandari & Adhikari, 2006).
Proses pengeringan dimulai dengan memompakan cairan bahan ke atomizer, yang mana
memecah bahan menjadi semprotan droplet-droplet halus dan mengeluarkannya ke ruang
pengering. Semprotan akan kontak dengan media pengering yang dipanaskan (biasanya
udara), yang membuat kandungan air pada bahan akan menguap dan droplet akan diubah
menjadi partikel kering yang mana memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Pada proses akhir,
partikel kering dipisahkan dari udara pengering dan dikumpulkan untuk mendapatkan produk akhir.
Sistem pengering semprot dapat dilihat dalam bentuk skema pada gambar 2.
Gambar 2 Skema Pengering Semprot
Keuntungan dari pengering semprot adalah (Gustavo, Barbosa, 2005):
1. Mampu untuk menjaga bentuk dan ukuran serbuk relatif konstan melalui
pengering ketika kondisi pengeringan dijaga konstan.
2. Merupakan operasi pengeringan yang bersifat kontinyu dan mudah diaplikasikan.
3. Dapat digunakan untuk larutan yang sensitif terhadap panas, tahan panas, dan
korosif..
Sedangkan kerugian dari pengering semprot adalah sebagai berikut (Filkova, Huang &
Mujumdar, 2006) :
1. Tidak fleksibel, dimana sebuah unit didesain untuk atomisasi yang halus tidak
dapat menghasilkan produk yang kasar.
2. Unit pengumpulan produk lebih banyak memakan biaya.
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
3. Fluida bahan harus dapat dipompa.
Untuk mengatasi kerusakan pada material yang sensitif tehadap panas, yang perlu
diperhatikan pada proses pengeringan adalah temperatur udara masuk. Temperatur udara
masuk dibagi menjadi dua, yaitu temperatur tanpa mmerusak produk dan temperatur dimana
konsumsi energi paling rendah namun bahan dapat kering (Gharsalloui, Adem dkk., 2007).
Temperatur udara masuk sangat mempengaruhi laju pengeringan. Jika temperatur udara
masuk rendah, maka dapat menyebabkan laju penguapan rendah dan penggumpalan produk
serbuk dikarenakan kondisi lembab (Medina-Torres, 2013). Temperatur juga mempengaruhi
“kelengketan” (stickiness) produk dengan produk itu sendiri atau produk dengan dinding
ruang pengering. Kelengketan ini dikarenakan temperatur bahan melebihi dari temperatur
transisi kaca (glass transition temperatur). Temperatur transisi kaca adalah properti dari
komponen amorf pada polimer seperti pada gula, asam organik, karet dan lainnya. Jika
temperatur produk dibawah temperatur transisi kaca maka produk masih dalam kondisi padat
sedangkan jika produk di atas temperatur transisi kaca maka produk mulai dalam kondisi cair.
Untuk itu digunakan maltodekstrin dalam larutan untuk meningkatkan temperatur transisi
kaca pada bahan (Bhandari dan Adhikari, 2006).
Hal yang mempengaruhi waktu pengeringan selain temperatur adalah diameter droplet bahan
(Vicente, João et al., 2013). Diameter droplet bahan mempengaruhi pengeringan dikarenakan
permukaan yang luas antara udara kering dan droplet bahan sehingga proses perpindahan
panas dan laju penguapan air dapat terjadi (Patil et al., 2014). Hal ini dikarenakan jika droplet
bahan berdiameter besar maka akan semakin besar juga jarak panas yang akan merambat ke
inti droplet dan begitu juga sebaliknya air yang ada pada bagian inti
dimana jarak
bergeraknya akan jauh ke bagian permukaan droplet (Tan, Lee Woun et al., 2011). Namun
partikel yang lebih kecil yang dihasilkan oleh kecepatan tinggi atomisasi cenderung untuk
mencapai temperatur yang lebih tinggi suhu di permukaan (Sousa & Borges, 2008). Selain itu
juga, laju aliran udara panas juga mempengaruhi pengeringan dan produk yang dihasilkan.
Hal ini dikarenakan banyaknya panas yang diberikan ke bahan sehingga bahan lebih cepat
kering (Langrish, 2009).
Tiamin merupakan gabungan dari molekul basa pirimidin dan tiazol yang dirangkai jembatan
metilen. Tiamin larut dalam alkohol 70 % dan air, dapat rusak oleh panas, terutama dengan
adanya alkali. Pada kondisi kering, tiamin stabil pada suhu 100o C selama beberapa jam.
Kelembaban akan mempercepat kerusakannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada makanan
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
segar, tiamin kurang stabil terhadap panas jika dibandingkan dengan makanan kering. Tiamin
juga diperlukan untuk reaksi fermentasi glukosa menjadi etanol, di dalam ragi. Sumber tiamin
antara lain tumbuhan biji-bijian, kacang-kacangan, daging, ikan dan susu.
Asam askorbat (vitamin C) digunakan secara luas dalam industri makanan, bukan hanya nilai
gizinya dalam industri makanan, tetapi juga untuk menjaga kualitas produk karena
manfaatnya yang banyak. Sebagai antioksidan, asam askorbat dapat meningkatkan kualitas
warna dan palatabilitas dari banyak jenis produk makanan. Dengan menghilangkan oksigen
dari lingkungan di sekitarnya, asam askorbat dalam bentuk tereduksinya menjadi wujud
oksida, dehidroaskorbik, menjadi bentuk teroksidasi, asam dehidroaskorbat. Tindakan ini
mengurangi oksidasi oleh oksigen yang tersedia di lingkungan membuat asam askorbat yang
antioksidan yang efektif. Umumnya vitamin C menjadi indikator indeks dari kualitas nutrisi.
Hal ini dikarenakan vitamin C lebih sensitif dibandingkan dengan vitamin yang lain. Faktorfaktor yang mempengaruhi degradasi vitamin C antara lain oksigen, cahaya, PH dan
temperatur. Namun temperatur yang menjadi permasalahan pada proses pengeringan.
(Erenturk, Gulaboglu & Gultekin, 2005; Santos & Silva, 2008; Langrish, T.G & Fletcher,
D.F, 2006 )
Asam askorbat umum dijumpai dalam industri makanan / minuman kaleng, terutama pada
pembuatan minuman, terutama yang terbuat dari jus/ekstrak buah. Asam askorbat tidak
hanya mengembalikan nilai gizi yang hilang selama pengolahan, tetapi juga memberikan
kontribusi terhadap penampilan dan palatabilitas produk. Buah - buahan dapat dibagi menjadi
dua kategori: buah - buahan yang menunjukkan perubahan warna pada pemotongan dan yang
tidak. Asam askorbat dapat ditemukan pada buah-buahan seperti apel, pisang, persik jeruk,
dan lemon.
Maltodekstrin merupakan suatu hasil hidrolisis pati dengan penambahan asam, enzim atau
keduanya dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan pengering semprot sehingga
diperoleh maltodekstrin. Maltodekstrin memiliki rasa yang lembut di mulut dan mudah
dicerna. Harga DE (Dextrose Equivalent) pada maltodekstrin mendeskripsikan tentang
kandungan gula pereduksi. Pada hidrolisis sempurna (pati seluruhnya dikonversikan menjadi
dekstrosa) nilai DE-nya 100 sedangkan pati yang sama sekali tidak terhidolisis DE-nya 0.
Maltodekstrin dengan DE yang rendah bersifat non-higroskopis, DE yang rendah
menunjukkan kecenderungan rendahnya penyerapan uap air. Maltodekstrin dengan DE tinggi
cenderung menyerap air (higroskopis). Sehingga untuk manghasilkan produk yang dengan
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
kelembaban yang rendah maka konsentrasi maltodekstrin dan DE perlu dikurangi (Goula,
Athanasia M. & Adamopoulos, Konstantinos G. 2010).
Maltodekstrin bersifat humektan yaitu dapat mengikat air tetapi mempunyai water activity
yang rendah, karena dapat mengikat air. Maka dapat digunakan dalam mengatur viskositas
suatu produk sesuai yang diinginkan. Maltodekstrin juga berfungsi sebagai enkapsulan aroma,
warna dan lemak, serta pembentuk viskositas. Kekentalan maltodekstrin yang tinggi penting
dalam penggunaannya terutama pada proses pengolahan bahan pangan.
Proses dehumidifikasi adalah proses pengembunan udara, sehingga kadar uap air yang
terkandung dalam udara berkurang. Untuk proses dehumidifikasi menggunakan prinsip
refrigerasi. Proses dehumidifikasi terjadi pada bagian evaporator, di mana kalor dari udara
diserap oleh refrijeran sehingga terjadi penurunan temperatur dan pengembunan. Prinsip kerja
dehumidifikasi dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3 Proses Dehumidifikasi
Kelembaban spesifik udara tetap konstan selama proses pendinginan, tetapi kelembaban
relatif meningkat. Jika kelembaban relatifnya meningkat, penting untuk melepas kandungan
air dari udara. Hal ini memerlukan pendingin udara di bawah suhu dewpoint nya. Proses
pendinginan dengan dehumidifikasi dapat ditunjukan dengan skema diatas. Ketika melewati
sisi dingin ataupun evaporator, temperatur menurun dan kelembaban relatif dengan
kelembaban spesifik konstan. Ketika mencapai kelembaban relatif maksimum, udara
mencapai titik embun atau udara jenuh. Jika pendinginan tetap dilakukan maka uap air yang
ada di udara akan terkondensasi.
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
Metode Penelitian
Objek dari eksperimen ini adalah larutan vitamin C dengan berat larutan bahan 1500 gr yang
terdiri dari 30 gr vitamin C atau 2% dari larutan bahan ditambahkan maltodekstrin sebanyak
270 atau 18% dari berat larutan bahan, dan akuades sebanyak 1200 gr atau 80% dari berat
larutan. Objek lain dari eksperimen berikutnya adalah larutan vitamin B1 dengan berat larutan
bahan 1500 gr yang terdiri dari 15 gr vitamin C atau 1% dari larutan bahan ditambahkan
maltodekstrin sebanyak 285 atau 19% dari berat larutan bahan, dan akuades sebanyak 1200 gr
atau 80% dari berat larutan.
Yang diamati dari objek tersebut adalah temperatur minimum pengeringan yang dibutuhkan
untuk mengeringkan bahan dengan variasi temperatur dehumidifier, temperatur heater,
tekanan nozzel penyemprot, debit bahan dan udara yang masuk ke ruang pengering. Data
tersebut kemudian diolah untuk mengetahui kinerja unit pengering semprot terhadap produk
vitamin C dan B1 yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan dari beberapa variasi temperatur
akan dilakukan analisa pengujian kadar vitamin C dan B1 di laboratorium pengujian analisis
SIG (Saraswanti Indo Genetech) yang berada di Bogor. Metode pengujian yang digunakan
adalah HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Data yang didapat dari hasil
pengujian digunakan mengetahui kadar kerusakan masing-masing vitamin terhadap
temperatur pengeringan. Eksperimen dilakukan selama periode waktu Mei 2014 s.d Juni
2014 di Laboratorium Perpindahan Panas, Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia.
Data ini diambil dengan variabel tetap yang telah ditentukan, yaitu: tegangan listrik pompa
penekan sebesar 1.5 Volt. Selain itu, variabel berubah juga diatur dimulai dari mengatur
variasi temperatur aliaran udara keluar dari dehumidifier dari 10°C, 15°C, dan 20°C yang
masing-masing dijaga untuk setiap perubahan tekanan udara nosel penyemprot produk pada 1
bar; laju aliran udara masuk ke ruang pengering pada, 450 lpm, 300 lpm, dan 150 lpm serta
putaran pompa peristaltik bahan yang diatur untuk mencapai temperatur minimum
pengeringannya. Pompa produk dinyalakan yang telah diatur putarannya. Kemudian, proses
pengeringan pada ruang pengering diamati selama 5 - 7 menit. Apabila belum menunjukkan
keringnya uap air, masih menunjukkan tanda - tanda uap/basah atau terjadi titik air pada ruang
pengering yang transparan, temperatur heater kembali diatur. Tunggu dan amati kembali
ruang pengering selama 5-7 menit untuk melihat adanya proses pengeringan. Data temperatur
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
heater saat ruang pengering menunjukkan tanda – tanda kering pada temperatur serendah
mungkin dicatat.
Gambar 4. Skema Pengering Semprot DTM FT UI
Udara dari lingkungan dihisap oleh blower menuju evaporator. Di evaporator udara
didehumidifikasi (dikurangi kelembaban spesifiknya), selanjutnya dialirkan melalui orifice.
Beda tekanan terukur di orifice, kemudian dikonversi dalam bentuk beda ketinggian oleh
manometer. Udara yang sudah diembunkan dinaikkan temperaturnya oleh heater. Kemudian
masuk ke ruang pengering, diruang pengering bahan yang telah diatomisasi oleh pressure
nozzle dengan bantuan kompressor disemprotkan dan bercampur dengan udara dari heater.
Proses perpindahan kalor dan massa terjadi. Air pada bahan akan menguap, bahan yang telah
kering jatuh ke bak penampung yang ada dibawah ruang pengering. Sebagian terbawa oleh
udara. Karena adanya gaya sentrifugal akibat pengaruh cyclone sebagian bahan tersebut
menumbuk dinding dan jatuh ke bak penampung yang ada di cyclone. Sebagian sisanya lagi
terbuang ke lingkungan bersama udara.
Dari temperatur dry bulb dan RH lingkungan didapatkan kelembaban spesifik udara
lingkungan. Ketika udara tersebut dialirkan paksa melalui blower yang melewati evaporator
dimana proses dehumidifikasi terjadi, udara kembali diukur temperatur dry bulb dan RH
udara saat keluar dari evaporator. Hal ini dapat dirumuskan dengan persamaan
!! = !!" + !!
(1)
Persamaan ini dapat digantikan dengan cara dibagi terhadap laju aliran massa udara kering
sehingga didapat :
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
!!
!!"
!
(2)
= !+!!
!"
Karena kelembaban spesifik merupakan rasio antara massa uap air dengan massa udara
kering, maka kelembaban spesifik dapat diganti dengan :
!=
!!
!!"
Oleh karena itu didapatkan persamaan sebagai berikut:
Atau
!!
=!+!
!!"
(3)
!!
!+!
(4)
!!" =
Pada sistem pengeringan semprot, ada yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Laju aliran udara pada blower.
2. Laju aliran udara pada nozzle pneumatik.
3. Laju aliran bahan
4. Laju aliran udara keluar ruang pengering.
Pada sistem ini, dapat dibuat persamaan kesetimbangan massa, yaitu :
!!"# !"#$%& + !!"# !"##$% + !!"#! = !!"# !"#$%#
(5)
Dengan laju aliran massa udara pada blower dapat dideskripsikan sebagai berikut :
!! !"#$%& = !!" !"#$%& + !! !"#$%&
(6)
!! !"#$ = !!" !"#$ + !! !"#$
(7)
Untuk pengukuran konsumsi energi terhadap 1 liter bahan adalah
!!"!#$% !"#$%&'()"# (! !"#$%) =
!!"!#$ (!)
!!"#$% (!"#$% !)
Dengan daya total dari masing-masing komponen pengering semprot, yakni
!!"!#$ = !!"#$%&''"% + !!"#$%#&%' + !!"#! + !!"##$%
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
(8)
Hasil Penelitian
Gambar 5 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Debit Bahan pada Temperatur Udara
Pengering 60°C
Gambar 6 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Debit Bahan pada Temperatur Udara
Pengering 90°C
Gambar 7 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Debit Bahan pada Temperatur Udara
Pengering 120°C
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
Gambar 8 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Konsumsi Energi pada Temperatur
Udara Pengering 60°C
Gambar 9 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Konsumsi Energi pada Temperatur
Udara Pengering 90°C
Gambar 10 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Konsumsi Energi pada Temperatur
Udara Pengering 120°C
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
Gambar 11 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Konsumsi Energi pada Temperatur
Udara Pengering 60°C
Gambar 12 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Konsumsi Energi pada Temperatur
Udara Pengering 90°C
Gambar 13 Grafik Hubungan Kelembaban Spesifik, Aliran Udara terhadap Konsumsi Energi pada Temperatur
Udara Pengering 120°C
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
Table 1. Data Kadar Bahan dan Kerusakan Produk
No.
Matriks
Sampel
405.41505 Bahan Baku Vit B1 & Maltodekstrin
Produk Vit B1 & Maltodekstrin
405.41507 (80°C)
Produk Vit B1 & Maltodekstrin
405.41506 (110°C)
Produk Vit B1 & Maltodekstrin
405.41508 (140°C)
405.41509 Bahan Baku Vit C & Maltodekstrin
Produk Vit C & Maltodekstrin
405.41512 (60°C)
Produk Vit C & Maltodekstrin
405.41513 (90°C)
Produk Vit C & Maltodekstrin
405.41511 (120°C)
Parameter Uji
Hasil Uji (mg/100 gr)
Vit B1
5729.54
Vit B1
Vit B1
Vit B1
Vit C
Vit C
Vit C
Vit C
Gambar 14 Grafik Persentase Kerusakan Vitamin C terhadap Temperatur
Gambar 15 Grafik Persentase Kerusakan Vitamin B1 terhadap Temperatur
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
5639.42
5331.97
4848.4
10802.76
9218.85
9755.39
9747.42
Pembahasan
a. Debit Bahan Pengeringan terhadap Temperatur Udara Pengering. Debit Udara, dan
Kelembaban Spesifik.
Debit bahan pada temperatur udara pengering 60°C terhadap kelembaban spesifik cenderung
berbanding terbalik. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5. dengan debit udara yang sama pada
150 lpm. Pada debit udara 150 lpm debit bahan tertinggi berada pada kelembaban spesifik
yang rendah dan begitu juga sebaliknya dimana debit bahan terendah berada pada kondisi
kelembaban spesifik yang tinggi. Hal ini berlaku juga pada debit udara yang lain seperti 300
lpm dan 450 lpm. Pola debit udara terhadap debit bahan terjadi dikarenakan dengan
kelembaban spesifik rendah maka udara pengering akan lebih banyak mengambil uap air
sehingga jumlah bahan yang akan dikeringkan jauh lebih besar. Pada variasi debit udara
pengering dengan variasi debit 150 lpm, 300 lpm, dan 450 lpm dapat disimpulkan debit bahan
tertinggi adalah pada debit udara 450 lpm yang mana dapat dilihat pada gambar 7. Hal serupa
dapat dilihat dari variasi temperatur udara pengeringan. Dapat diambil contoh dari variasi
temperatur pengeringan yang ada dari 60°C, 90°C, dan 120°C, debit bahan tertinggi berada
pada debit udara tertinggi juga. Pada debit udara yang tinggi, bahan akan lebih cepat kering
dan jumlah bahan akan kering akan lebih bnyak menguap hal ini dikarenakan besarnya jumlah
udara yang dialirkan untuk menguapkan uap air pada bahan. Pada variasi temperatur udara
pengering, debit bahan tertinggi berada pada temperatur pengeringan 120°C yang mana dapat
dilihat pada gambar 7 . Hal ini ditunjukan pada debit udara yang sama, dimisalkan pada debit
udara 450 lpm maka debit bahan tertinggi ada pada temperatur 120°C dengan nilai 0.000157.
Hal serupa juga ditunjukan pada debit udara yang lain yang mana dapat dilihat pada gambar 5
dan gambar 6. Pengaruh temperatur pengeringan dapat mempengaruhi laju pengeringan,
dimana temperatur udara yang tinggi menyediakan energi kalor yang disediakan udara untuk
menguapkan jumlah bahan lebih .
b. Konsumsi Energi Pengeringan terhadap Kelembaban Spesifik, Debit Udara, dan
Temperatur Udara Pengering.
Energi konsumsi paling rendah pada temperatur udara 120°C dan debit udara pengering 450
lpm. Hal ini dapat dilihat pada gambar 10. Serta energi konsumsi tertinggi pada debit udara
150 lpm dan temperatur udara pengering 60°C dengan temperatur keluar dehumidifier 20°C
yang mana dapat dilihat pada gambar 8. Konsumsi energi tertinggi ada pada debit terendah
dan kelembaban spesifik terendah, serta pada temperatur pengeringan terendah. Hal ini
dikarenakan daya kompresor akan rendah pada temperatur evaporator yang rendah. Konsumsi
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
energi pada kompresor dapat dilihat pada lampiran tabel data yang mana data daya diukur
menggunakan powermeter dalam keadaan sedang beroperasi.
c. Perbandingan Konsumsi Energi dengan Dehumifier dan Tanpa Dehumidifier.
Pada penyajian grafik dibawah pada gambar 13, energi konsumsi terendah adalah dengan
menggunakan dehumidifier 10°C pada kecepatan 450 lpm. Konsumsi daya tertinggi adalah
dengan menggunakan dehumidifier 20°C pada kecepatan 150 lpm. Kecepatan udara paling
optimal adalah 450 lpm. Hal ini ditunjukan pada masing-masing gambar grafik pada
temperatur 60°C, 90°C, dan 120°C. Namun pada temperatur udara pengeringan 60°C jika
tidak menggunakan dehumidifier, yang paling efisien adalah kecepatan udara 150 lpm
sebagaimana ditunjukan pada gambar 11. Pada penyajian grafik dibawah pada grafik 12,
energi konsumsi terendah adalah dengan menggunakan dehumidifier pada 10°C pada
kecepatan 450 lpm. Konsumsi daya tertinggi adalah dengan menggunakan dehumidifier 20°C
pada kecepatan 150 lpm. Kecepatan udara paling optimal adalah 450 lpm. Namun pada
temperatur udara pengeringan 90°C jika tidak menggunakan dehumidifier, yang paling efisien
adalah kecepatan udara 300 lpm. Pada penyajian grafik dibawah pada gambar 13, energi
konsumsi terendah adalah dengan menggunakan dehumidifier 10°C pada kecepatan 450 lpm.
Konsumsi daya tertinggi adalah dengan menggunakan dehumidifier 20°C pada kecepatan 150
lpm. Kecepatan udara paling optimal adalah 450 lpm. Namun pada temperatur udara
pengeringan 90°C jika tidak menggunakan dehumidifier, yang paling efisien adalah kecepatan
udara 300 lpm. Pada gambar 13 dapat disimpulkan bahwa pada temperatur 120°C dan debit
udara 450 lpm yang mana menggunakan dehumidifier pada temperatur 10°C memiliki energi
konsumsi paling kecil. Oleh karena itu, pengaruh dehumidifier sangat berpengaruh pada laju
pengeringan dimana udara akan mampu mengambil uap air pada bahan lebih banyak pada
bagian ruang pengering.
d. Kerusakan Vitamin C dan B1 terhadap Temperatur Udara Pengering.
Dari penyajian gambar grafik dibawah (gambar 15), data dapat disimpulkan persentase
tertinggi adalah temperatur 60°C dengan kerusakan vitamin C 14.6%. Bahan baku vitamin C
yang rusak pada 60°C lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur yang lebih tinggi. Hasil
ini diluar ekspetasi, dimana seharusnya vitamin C akan semakin rusak dengan semakin
tingginya temperatur. Menurut Mohammad Taufik bin Dalami, hasil ini dikarenakan adanya
faktor lain selain temperatur yang mempengaruhi kerusakan vitamin C. Tiap sampel yang
diuji memiliki waktu tertentu untuk menghasilkan serbuk. Karena temperatur yang tinggi,
waktu untuk memproduksi serbuk juga berkurang. Oleh sangat dipengaruhi oleh waktu Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
kontak pengeringannya. Waktu kontak pengeringan adalah semakin lama produk dipanaskan
dan lebih banyak vitamin C yang akan rusak.
Dari eksperimen yang dilakukan sebelumnya, waktu penampungan produk saat mesin
beroperasi dan waktu untuk menghasilkan produk serbuk juga berbeda-beda sesuai temperatur
udara panas. Untuk menghasilkan produk serbuk vitamin C pada
temperatur 60°C
dibutuhkan waktu 34 jam jika dibandingkan dengan menghasilkan produk serbuk vitamin C
pada temperatur 120°C dalam 9 jam. Waktu kontak pada produk serbuk vitamin C pada
temperatur 60°C ini yang menyebabkan semakin besar resiko kerusakan pada vitamin C
meskipun pada temperatur pengeringan paling rendah. Dari gambar grafik dibawah (gambar
16) dapat disimpulkan persentase keruasakan nutrisi tertinggi adalah temperatur 140°C
dengan kerusakan vitamin B1 sebesar 27.56 %. Temperatur kritis dari vitamin B1 tidak dapat
diketahui secara pasti sebab pada temperatur pengujian terendah, yaitu 80°C pada kondisi
kerusakan yang signifikan terhadap temperatur.
Kesimpulan
Hasil pengujian pengering semprot dan kombinasinya dengan
dehumidifier dengan
menggunakan sisi dingin evaporator pada sistem refrijerasi dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Karakteristik daya masing-masing komponen pengering semprot perlu diketahui aga
pengering semprot dapat dioptimasi. Konsumsi energi terendah adalah pada debit udara
450 lpm, temperatur udara pengering 120°C, dan kelembaban spesifik yang rendah.
2. Kerusakan vitamin C tertinggi adalah pada temperatur 60°C dengan kerusakan 14.6%
dmana produk akan rusak secara signifikan. Untuk vitamin B1 , kerusakan terjadi pada
temperatur 140°C dengan persentase 27.5% . Hal ini dikarenakan adanya faktor lain selain
temperatur yaitu waktu kontak pengeringan.
3.
Identifikasi
karakteristik
dan
kinerja
pengering
semprot
dengan
pemanfaatan
dehumidifier ini diperlukan untuk mendapatkan pengeringaan yang efektif dan efisien
sehingga dengan temperatur yang rendah sekalipun bahan dapat kering tanpa kerusakan
akibat dari pemanasan. Hal ini dapat diketahui dari penyajian grafik yang ada bahwa
konsumsi energi paling rendah pada pemakaian dehumidifier dengan temperatur 10°C
lebih efisien jika dibandingkan dengan tidak menggunakan dehumidifier.
4. Semakin tinggi temperatur pengeringan dan semakin rendah kelembaban relatif udara
pengering semakin tinggi juga debit bahan. Temperatur minimum pengeringan ini juga
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
dipengaruhi oleh debit udara yang masuk ke ruang pengeringan. Semakin tinggi debit
udara, semakin tinggi juga debit bahan yang akan dikeringkan.
Saran
Adapun beberapa saran yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai
berikut:
1. Pada ruang pengering sebaiknya dibuat pengumpul produk yang efisien karena seringnya
produk ikut terbawa udara yang keluar dari pengering. Hal ini dapat dilakukan dengan dua
atau lebih siklon untuk dikumpulkan. Serta juga pengumpulan produk juga dilakukan
dengan cepat untuk mengurangi resiko kerusakan produk serbuk untuk waktu kontaknya
meskipun dengan temperatur pengeringan yang relative rendah.
2. Proses pengambilan data RH dan temperatur harus diukur hingga dalam keadaan steady
dikarenakan alat ukur yang dipergunakan memiliki respon yang kurang cepat dalam
pengukuran.temperatur minimum pengeringan dan aliran udara di nozzel penyemprot
bahan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan data akuisisi yang terkalibrasi.
Kemudian, nozzel penyemprot dipasangi juga dengan sensor kelembaban yang dapat
mendeteksi tingkat kebasahan dinding ruang pengering, sehingga data yang diambil dapat
lebih terkontrol dan lebih akurat.
3. Tekanan nozzel yang tinggi dapat menyebabkan adanya tekanan balik pada nozzel
sehingga akan ada kemungkinan udara dari nozzel akan masuk ke saluran dimana bahan
akan mengalir. Hal ini akan menyebabkan ada udara yang akan terjebak yang mana akan
terjadi penyemprotan aliran bahan tidak akan kontinyu.
Daftar Referensi
Barbosa-Canovas, Gustavo V. & Ortega-Rivas, Enrique. (2005). Food Powders.
Physical Properties, Processing, and Functionality. New York: Kluwer Academic/Plenum
Publishers.
Boza, Y and Barbin, D. (2004). Effect of spray-drying on the quality of encapsulated
cells of Beijerinckia sp . Brazil: University of Campinas.
Chegini, G.R & Ghobadian, B. (2007). Spray Dryer Parameters for Fruit Juice Drying.
Tehran: University of Tehran.
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
De Sousa, Alexander Santos et al. (2008). Spray-Dried Tomato Powder:
Reconstitution Properties and Colour. Brazil : Brazilian Archives Biology and Technology.
Erenturk, Gulaboglu and Gultekin. (2005). The effects of cutting and drying medium
on the vitamin C content of rosehip during drying. Turkey : Attaturk University.
Fang, Zhongxiang & Bhandari, Bhesh. (2012). Comparing the efficiency of protein
and maltodextrin on spray drying of bayberry juice. Brisbane : University of Queensland.
Gharsalloui, Adem et al. (2007). Applications of spray-drying in microencapsulation
of food ingredients: An overview. France : Universite´ de Bourgogne.
Goula, Athanasia M. and Adamopoulos, Konstantinos G. (2010). A new technique for
spray drying orange juice concentrate. Greece : Aristotle University.
João Vicente et al. (2013). Fundamental analysis of particle formation in spray drying.
Lisbon: University of Lisbon.
Krishnan, Jagan Rao. (2008). Development of Spray Dried Strawberry Juice Powder.
Thesis Program Pascasarjana Universiti Pahang Malaysia.
Langrish, T.A.G. and Fletcher, D.F. (2006). Spray drying of food ingredients and
applications of CFD in spray drying. Australia : The University of Sydney.
Langrish, Tim A. G. (2009). Degradation of Vitamin C in Spray Dryers and
Temperature and Moisture Content Profiles in these Dryers. Springer Science.
L. Medina-Torres et al. (2013). Microencapsulation by spray drying of gallic acid with
nopal mucilage (Opuntia ficus indica). Mexico: Universidad Nacional Autónoma de México
P. H. S. Santos & M. A. Silva. (2008). Retention of Vitamin C in Drying Processes of
Fruits and Vegetables—A Review. Brazil: University of Campinas
Sablani, Shyam S. (2007). Drying of Fruits and Vegetables: Retention of Nutritional/
Functional Quality. Muscat: Sultan Qaboos University.
Tan, Lee Woun et al. (2011). Empirical modeling for spray drying process of sticky
and non-sticky products. Malaysia : Universiti Putra Malaysia.
Taufik bin Dalami, Moh. (2009). Production of Dragon Fruit Powder Using Spray
Drying”. Thesis Program Pascasarjana Universiti Pahang Malaysia.
Vaibhav Patil. (2014). Optimization of the spray-drying process for developing guava
powder using response surface methodologi . India: Banaras Hindu University.
Pengaruh temperatur…, Butar-Butar, Jefrie Ronald, FT UI, 2014
Download