/?J L. \ k KESESUAIAN WILAYAH PERAIRAN UNTUK PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT ( KKL ) BERAU AND1 RUSANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ABSTRACT ANDl RUSANDI. Study on the suitability of woter areas within Berau Marine ConservationArea for sustainable capturefnheries. Supervised by DANIEL R MONLVTJA ond MULYONO S BASKORO The objectives of this research are : 1)to reveal the suitability of marine conservation area in Berau for sustainable capture fisheries, 2) to formulate a policy on the use of environmentalfrend&fishing gear as a part of sustainable marine management strategv. This research used the Geographical Information Systemfor analyzing the suitability offishing ground and Analytical Hierarchy Process for determining environmentalfriendlyfishinggear. Sea surfme temperature, chlorophyll, salinity and analysis on bathymetry indicated that the suitable fishing ground of pelagic fishes located at the of estuary of Berau river and around Karang Besar. The waters between Kakaban and Maratua island and around Karang Gosongan are suitable for pelagic fishing ground. The suitable for demersal fishing ground are in the estuary of Berm river, in the south part of coral reef area between K m g Besar and Manimbora island, and in the waters around Bilangan-bilangan island. The area around Payang island is also suitable one for fishing ground targeting grouper (kerapu) and red snapper (koknp merah). However rhe existence of shark and dugong in rhe waters, indicated thai this area should not be allocated the fishing ground for such fishes. The research also revealed the existence of 14 fuhing gears in Berau Marine Conservation Area (MCA). The most environmental friendly fishing gear for pelagic f i h are the handline (pancing ladung), trolling (pancing tonda), and Longline (rawai), while for demersal fish are the handline @ancing ladung),trolling (jmncing rondo), spearfishing @annh ikmt), gillnet oaring insang), lobster trap (jerot udang), and trap (bubu). Key words: suitable area, environmental friendly fishing conservation area. Berau gear, marine AND1 RUSANDL Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanau Tangkap Berkelanjutan di Kawasan Konsewasi Laut @UU)Berau. Dibimbing oleh DANIEL R MONINTJA dan MULYONO S.BASKORO. Kawasan Konsemasi laut (KKL) Berau adalah salah satu kawasan konservasi laut yang terbesar yang telah diinisiasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau melalui Peraturan Bupati No 31 tahun 2005 tanggal 27 Desember 2005. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (KSDI) bahwa suatu kawasan kdnservasi laut terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya yang masih dianggap perlu. Zona perikanan berkelanjutan yang dimaksud disini adalah suatu zona yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Perikanan tangkap hiigga saat ini masih mempunyai peran penting terutama dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan oleh masyarakat pesisir. Di dalam pengelolaan kawasan konservasi laut Berau diperlukan informasi wilayah-wilayah tangkapan ikan yang berkelanjutan dan tidak mengganggu wilayah migrasi biota perairan langka dan dilindungi, oleh kaenanya penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui kesesuaian wilayah perairan di Kawasan Konse~asiLaut Berau untuk wilayah perikanan tangkap, 2) menyusun kebijakan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan sebagai bagian dari shategi pengelolaan wilayah perikanan tangkap secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersehut, pada penelitian ini digunakan metoda Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menganalisis kesesuaian wilayah penangkapan ikan dan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) untuk penentuan alat tangkap ramah lingkungan. Dari hasil overlay parameter suhu, khlorofil, salinitas, dan kedalaman perairan diketahui bahwa daerah yang sesuai untuk penangkapan ikan pelagis terutama untuk ikan-ikan kernbung, tongkol dan teri berada di luar muara Sungai Berau dan di sekitar Karang Besar. Perairan di antara P. Kakaban dan P. Maratua, serta perairan di sekitar Karang Gosongan juga m e ~ p a k a nperairan yang sangat sesuai untuk ikan-ikan pelagis. Wilayah perairan yang sangat sesuai untuk penangkapan ikan demersal temtama ikan-ikan jenis kerapu, kuwe dan kakap adalah di muara Sungai Berau, perairan karang bagian selatan yaitu di antara Karang Besar dan P. Manimbora, serta perairan di sekitar P. Bilang-hilangan. Perairan di sekitar P. Panjang juga m e ~ p a k a nwilayah yang sangat sesuai bagi penangkapan ikan demersal, seperti kerapu dan ikan merah, namun karena di perairan tersehut juge ada hiu dan duyung, maka perairan tersebut sebaiknya tidak d i j a d i i zona penangkapan ikan. Dari 14 jenis alat tangkap yang digunakan di Kawasan Kollse~asiLaut Berau, dihuat rangking skor alat mulai dari yang paling ramah hiigga yang paling tidak ramah. Tujuh jenis alat tangkap yang termasuk dalam alat tangkap yang teridentifikasi di KKL Berau berdasarkan hasil analisis hierarki alat tangkap yang ramah ligkungan diketahui bahwa alat tangkap yang ramah lingkungan untuk ikan pelagis adalah jenis pancing ladung, pancing tonda, dan rawaillongline. Alat tangkap yang ramah lingkungan untuk ikan demersal adalah jenis pancing ladung, pancing tonda, panah ikan, jaring insang, jerat udang, dan bubu. Beberapa jenis dari alat tangkap yang digunakan di KKL Berau, temyata bersifat tidak ramah lingkungan, seperti jaring gondronglrengge, bagan apung, pukat cinch, hampandsero, alat laidpotas, mini trawl, trawl. Dari hasil tumpangsusun sebaran alat tangkap dengan peta hasil analisis kesesuaian untuk wilayah tangkapan ikan demersal maupun wilayah tangkapan ikan pelagis, banyak ditemukan alat tangkap pelagis yang digunakan di wilayah yang sangat sesuai untuk ikan demersal. Hal ini mungkin terjadi karena kapalkapal nelayan yang ada di KKL Berau adalah kapal-kapal bertonase kecil, yang tidak mampu menjangkau daerah yang jauh/pemim yang dalam. Beberapa alat tangkap yang tidak ramah lingkungan juga masih ditemukan di wilayah yang seharusnya menjadi zona inti, oleh karenanya untuk mengelola perikanan tangkap berkelanjutan di kawasan KKL Berau perlu didukung dengan legalitas hukum dari pemerintah daerah Kabupaten Berau, terutama yang terkait dengan ijin penggunaan alat tangkap. Kata kunci :kawasan konsewasi laut, berau, kesesuaian wilayah, alat penangkapan ikan ramah lingkungan, perikanan tangkap, ikan pelagis, ikan demersal O Hak cipta milik Institut Pertaniaa Bogor, tahun 2009 Hak cipta diiindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbemya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tidak me~gikankepentingan yang wajar IF'B Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau selumh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB KESESUAIAN WILAYAH PERAIRAN UNTUK PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT ( KKL ) BERAU AND1 RUSANDI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pa& Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau. Nama Mahasiswa : AndlRusandi Nomor M uk Mahasiswa : C 551040174 Program Studi : Teknologi Kelautan : Disetujui, 7 Prof. Dr. Ir.Danie1 R Monintia Ketua Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc AW33Jta Program Studi Telcnologi Kelautan Tanggal Ujian : 29 April 2009 Tanggal Lulus : 2 2 JUL 2009 PRAKATA Puji Syukur disampaikan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan ksuunia-Nya sehigga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian di Kawasan Konservasi Laut (KKL)Berau di Kabupaten Berau Kalimantan T i . Judul Tesis ini adalah "Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau", yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister %is pada Sub Program Studi Perencanam Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku Ketua Komisi dan Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc selaku Anggota Komisi. 2. Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc, yang telah banyak memberikan arahan, masukan dan partner diskusi yang pada akhimya berkenan pula menjadi dosen penguji luar komisi pada sidang pasca sarjana penulis. 3. Bapak Prof. Ir. Widi A. Pratikto, MSc.,PhD., Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan yang pada tahun 2004 sebagai D i k t u r Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (P3K) DKP yang telah berkenan memberikan ijin belajar 4. Ibu Ir. Ida Kusuma W., Direktur Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K yang pada tahun 2004 sebagai Kepala Bagian Program Ditjen KP3K DKP yang telah memberikan dukungan untuk sekolah pasca sarjana di IPB 5. Bapak Ir. Agus Dennawan, MSi., Diiktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen KP3K yang telah memberikan dukungan terns menerus untuk menyelesaikan p e n d i d i di pasca sajana di JPB 6. Mohamad Jen, A.Pi., Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan D i Kelautan dan Perikanan Kabupaten B e r n dan Sonny TasidjawqSIK., Bio-Monitoring Ofiicer Sekretariat Bersama Bemu yang senantiasa menjadi partner diskusi sejak tahun 2004 hingga penyelesaian tesis ini baik langsung mapun lewat telepon dan email. 7. Rekan-rekan di Sekretariat Bersama (Joint Program) Berau dan rekan-rekan Dinas Kelautan dan Perilcanan Berau yang telah berkenan berbagi data dan informasi mengenai KKL Berau 8. Nirmalasari Idha Wijaya, SPi, MSi yang selalu menjadi teman diskusi dalam penyelesaian tesis hi, juga teman-teman laimya Yessi Gardenia, SPi.,MSi. dan Ika Wahyuningrum, SPi,.MSi. 9. Program COREMAP I1 yang telah memberikan bantuan penelitian melalui program beasiswa 10. Khususnya istriku Ria Kodariah, yang senantiam setia menemani, memberikan doa, semangat dan dorongan, serta anak-anakku yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian studi hi, juga kakak, adik-adikku yang telah memberikan doa serta dukungan yang tak pemah surut. 11. Rekan-rekan Mahasiswa Program TKL Sub Program Studi PPKP angkatan 200412005 dan angkatan 200512006, dan semua pihak yang tak tersebutkan satu persatu. Penulis menyadari kesempumaan masih belum dapat tempi dalarn tesis h i sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempumaannya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat berbagai pihak khususnya bagi masyarakat pesisu Kabupaten Berau. Bogor, April 2009 Andi Rusandi RIWAYAT EIIDI.JP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 Juli 1962 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Rubardi Martasasmita (Alm) dan Ibu Hj. Domirah (Alm). P e n d i d i i S-1 diselesaikan tahun 1987 di Institut Pertanian Bogor Fakuitas Perikanan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Penulis mulai bekerja di Sub Balai Konsewasi Sumberdaya Alam Pangandaran Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam pada tahun 1990. Selanjutnya berturut-turut bekerja di Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan. Pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan bekerja di Diktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai Kepala Sub bagian Program Ditjen P3K dan selanjutnya sebagai Kepala Seksi Konsewasi Kawasan pada Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (Dit. KTNL) D i k t o r a t Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen KP3K) dan sejak awal Januari 2009 penulis mendapat tugas menjadi Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Pontianak yang wilayah kerjanya meliputi seluruh provinsi dan kabupatenlkota Kalimantan. Pada tahun 2004 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Program Studi Teknologi Kelautan. ... DAFTAR IS1 Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR............................................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................ xvi 1 PENDAHULUAN..............................................................................................................1 1.1 Latar Belakang..................................................................................................1 1.2 Perurnusan Masalah ................................................................................................. 6 .. 1.3 Tujuan Penel~tlan..................................................................................................... .. ................................................................................................... 77 1.4 Manfaat Penel~t~an 1.5 Kerangka Pemikiran ................................................................................................ 7 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................... 9 2.1 Kawasan Konservasi Laut (KKL) .......................................................................... 9 2.2 Kawasan Konsewasi Laut Berau .......................................................................... 13 2.3 Usaha Perikanan Tangkap ..................................................................................... 16 2.4 Perikanan Tangkap Berkelanjutan........................................................................ 17 2.5 Pemanfaatan Teknologi Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis........24 2.5.1 Peneindraan . .iauh (INDRAJA) satelit ........................................................ 24 2.5.2 Sistem informasi geogratis (SIG) .............................................................. 25 2.6 Proses H i i AnalitikIPHA (Analytical Hiermchy Process/AHP) ..................... 27 3. METODOLOGI............................................................................................................... . . ................................................................................. 30 3.1 Lokasi dan Waktu Penel~t~an 30 3.2 Bahan dan Alat ......................................................................................................31 3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................................... 32 Pengumpulan citra satelit ........................................................................... 34 3.3.1 3.3.2 Pengumpulan data posisi dan hasil tangkapan .......................................... 34 3.4 Metode Pengolahan Data .......................................................................................34 3.4.1 Pengolahan citra satelit .............................................................................. 34 3.4.2 Pengolahan spasial................................................................................. 34 3.5 Analisis Data.......................................................................................................... 35 3.5.1 Analisis spasial .......................................................................................... 35 3.5.2 Analisis kesesuaian lahan daerah penangkapan ikan ................................38 3.5.3 Stnttegi pengelolaan wilayah perikanan tangkap ...................................... 43 3.5.4 Hierarki penentuan kebijakan penggunaan alat tangkap ........................... 44 4 HASIL PENELITIAN...................................................................................................... 51 4.1 Keadaan Umum ..................................................................................................... 51 4.1.1 Kondisi gwgrafis dan administratif .......................................................... 51 4.1.2 Parameter oseanografi ............................................................................... 54 Suhu air laut ................................................................................... 55 Salinitas air laut ............................................................................. 55 Khlorofil- a ....................................................................................56 Kondisi arus laut ............................................................................ 56 . .Kedalaman perairan ....................................................................... 58 4.1.3 Kondis~ekosistem...................................................................................... 61 4.1.3.1 Ekosistem mangrove...................................................................... 61 4.1.3.2 Ekosistem tenunbu karang ............................................................62 4.1.3.3 Ekosistem padang lamun ............................................................... 63 4.1.4 Kondisi sosial budaya masyarakat............................................................. 66 Kegiatan P e r i i a n Tangkap................................................................................. 68 4.2.1 Jenis alat penangkapan ikan ...................................................................... 69 4.2.2 Nelayan ...................................................................................................... 76 42.3 Metode penangkapan ikan ......................................................................... 81 4.2.4 Hasil tangkapan ikan ................................................................................. 81 4.2.5 Sebaran spasial daerah penangkapan ikan ................................................. 84 4.1.2.1 4.122 4.1.2.3 4.1.2.4 4.1.2.5 4.2 5 PEMBAHASAN......................................................................................................... 88 5.1 Zonasi Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap ..........................88 5.1.1 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis ......................................... 89 5.1.2 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan demersal ...................................... 89 5.2 Hierarki Pemilihan ~ l a i ~ & g k&ah a ~ Lingkungan ......................................... 92 5.2.1 Selektivitas alat tangkap ............................................................................ 95 5.2.2 Pemanfaatan berkelanjutan ........................................................................ 96 5.2.3 Tidak berdampak pada ekosistem......................................................... 96 5.2.4 Kemudahan pengoperasian ........................................................................96 5.2.5 Aman bagi nelayan .................................................................................... 97 5.2.6 Tidak menimbulkan pencemaran............................................................... 97 5.2.7 Produksi yang berkualitas tinggi ............................................................... 98 5.2.8 Aman bagi konsumen ................................................................................ 98 5.2.9 Menguntungkan bagi nelayan.................................................................... 98 5.2.10 Penenmaan masyarakat nelayan................................................................ 98 5.2.1 1 Legalitas kegiatan penangkapan ................................................................ 99 5.3 Penggunaan Alat Tangkap untuk Mendukung Pengelolaan Wilayah Perikanan Berkelanjutan ....................................................................................... 99 5.4 Rekomendasi Pengelolaaan Wilayah Penangkapan Berkelanjutan.....................100 6 KESIMPULAN ..............................................................................................................103 6.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 103 104 6.2 Saran .................................................................................................................... DAFTm PUSTAKA........................................................................................................... 105 LAMPIRAN.................................................................................................................... 1 1 1 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan &lam analisis kesesuaian wilayah perairan untuk perikanan tangkap di Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau Kalimantan Timur.............................................................................................................................32 . . 2 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang mengindikasikan keberadaan ikan pelagis terutama jenis ikan kembung, tongkol dan teri............................................................. 41 3 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang m e n g i n d i i i keberadaan ikan demersal terutama jenis ikan kerapu, kuwe dan kakap..................................................43 4 Matrik berbanding berpasangan..................................................................................... 48 5 Skor penetapan prioritas &lam PHA ........................................................ 49 6 Nama dan luas pulau-pulau kecil dalam KKL Berau..................................................... 53 7 Komposisi penutupan karang di perairan utara KKL Berau .......................................... 63 8 Komposisi penutupan karang di perairan selatan KKL Berau ....................................... 63 9 Nama kecamatan. kampung dan jumlah penduduk di KKL Berau................................ 66 10 Jenis dan jumlah alat tangkap bulan Februari . Juni 2005 ............................................. 69 11 Jenis dan jumlah alat tangkap bulan Juli 2005 .Februari 2006..................................... 70 12 Hasil tangkapan ikan pelagis di peraim KKL Berau.................................................... 82 13 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan KKL Berau................................................. 83 14 Matriks prioritas kriteria dalam mencapai tujuan penentuan jenis alat tangkap yang ramah ligkungan.................................................................................................. 93 15 Matriks ranking jenis alat tangkap yang ramah lingkungan........................................... 94 DAFrAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran .................................................................................. 8 2 Peta lokasi penelitian 4 Hasil dari analisis diagram Voronoi ..................................................................................................31 6 ........................................................................... 36 Tampilan hasil analisis jalur pada sekumpulan titik .................................................... 36 .. Hasil buffer pada unsur ttt~kdan garis ......................................................................... 37 7 Tampilan analisis tumpang susun (overloy)................................................................ 38 8 Diagram h i i i analisis penentuan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai untuk digunakan di zona perikanan belkelanjutan perairan KKL Berau........................................................................................................................... 5 50 Rata-rata sebaran suhu permukaan laut KKL Berau .................................................... 55 9 10 Rata-rata sebaran khlorofil- a KKL Berau ................................................................... 57 11 Kedalaman laut di perairan KKL Berau..................................................... 58 12 Citra NOAA-AVHRR penyebaran suhu bulan Januari-Desember 2006......................59 13 Citra TERRA-MODIS penyebaran klorofil bulan Januari-Desember 2006......... 14 Sebaran pancing......................................................... 15 60 ................................. 77 . . Sebaran pukat dan pukat clncln ....................................................................................78 -.-- .. 16 Sebaran trawl dan mlnl trawl ........................................................................................ 79 17 Sebaran rengge dan jerat udang .................................................................................... 80 18 Grafik hasil tangkapan ikan pelagis di perairan KKL Berau......................................... 83 19 Grafik hasii tangkapan ikan demersal di perairan KKL Berau .....................................84 20 Sebaran keberadaan ikan lumba-lumba dan hiu ............................................................ 85 -~ ~ ~ ~- ~ ~~ ~ ~ ~~ 21 Sebaran daerah penangkapan biota yang dilindungi 22 ~~~~ ~ ~ ~ ....................................................86 Sebaran daerah penangkapan ikan ekonomis penting .................................................87 ~~- 23 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis di KKL Berau ................................... 90 24 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan demersal di KKL Berau ................................ 91 25 Tampilan kriteria dan sub-kriteria dalam penentuanjenis alat tangkap nunah Lingkungan pada sofiware expert choice 2000 .................................................. 26 ........ 95 : Rencana zonasi wilayah perikanan tangkap berkelanjutan di KKL Berau ............... 102 Halaman 1 Data hasil tangkapan ikan 5 tahun ....................................................................... .......................................... Grafik sensitivitas penentuan alat tangkap ramah lingkungan..................................... 112 2 Data tokoh kunci sebagai responden expert judgement 114 3 115 4 Kuesioner proses hierarki analisis (F'H.4) .............................................................. 116 5 Alatalat penangkapan ikan .................................................................................. 121 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki luas laut lebih besar dibanding luas daratan. Jumlah pulau di negam ini sebanyak 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 95.181 km. Total luas wilayah perairan laut 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,l juta km2 perairan teritorial dan 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif. Luas perairan laut ini mencapai 75 % dari luas teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia (DKP 2005). Wilayah laut Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa terkenal memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam. Hasil beberapa pakar menunjukan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia antara lain 15 spesies lamun (Hoeksema 2007), 550 spesies reef building corals (Roberts et al. 2002), 45 spesies mangrove (Burke et al. 2002), lebih dari 40 spesies Mwrrom coral (Hoeksema 2007), 30 spesies marine mammals (Jefferson 1993) dan 2.122 spesies reef$shes (Allen 2007). Sumberdaya kelautan merupakan salah satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, namun pemanfaatan sumberdaya tersebut sampai saat ini kurang memperhatikan kelestariannya. Akibatnya terjadi penumnan fungsi, kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada. Dalam menjaga kelestarian sumberdaya kelautan di Indonesia, diperlukan suatu desain pengelolaan yang komprehensif. Desain pengeloiaan ini diharapkan dapat menyatukan beberapa kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodasikan kebutuhan masyarakat. Desain pengelolaan tersebut adalah menyisihkan lokasilokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi kawasan konservasi laut (KKL). Melalui KKL diharapkan upaya perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, serta pemanfaatan sumberdaya alam kelautan secara lestari dapat tenvujud, karena di dalam kawasan konsewasi juga menyediakan daerah penangkapan ikan yang hams dikelola pemanfaatannya sehingga dapat tejamin kelestariannya. Daerah penangkapan ikan Cfishing ground) adalah suatu wilayah dimana ikan-ikan biasa berkumpul dan merupakan target para nelayan untuk menangkap ikan karena selain lokasi sumberdaya ikan, wilayah tersebut dianggap aman untuk pengoperasian suatu alat tangkap dan tidak membahayakan bagi nelayan. Kondisifishing ground sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan yang mencakup, suhu, sariitas, upwelling dan adanya pertemuan arus panas dengan arus dingin. Selain itu jenis substrat dari dasar perairan akan mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan. Faktor biologi antara lain berkorelasi dengan kelimpahan plankton pada suatu wilayah tertentu. Ikanikan target yang akan ditangkap jumlahnya masih menguntungkan usaha penangkapan ikan. Sumberdaya ikan bersifat dapat pulihldiperbaharui (renewable resources), karena sumberdaya tersebut memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Apabila tidak dikelola secara hati-hati dan menyeluruh, kegiatan penangkapan ikan akan mengarah kepada eksploitasi yang tidak terkontrol dan akan mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan. Salah satu upaya yang hams dilakukan adalah pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan secara seimbang dengan usaha konsewasi sehingga kelestarian dapat terus terjaga (sustainable). Hal ini sejalan dengan yang telah dicanangkan oleh F A 0 (1995) dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries yang menyatakan bahwa 'States and users of aquatic ecosystems should minimize waste, catch of nontarget spesies, both fsh and non-fsh spesies, and impacts on associated or dependent spesies " Pengelolaan daerah penangkapan ikan yang berkelanjutan mengacu kepada Code of Conduct for responsible Fisheries dimana pengelolaan hams melalui kebijakan, hukum, dan kerangka kelembagaan yang tepat dengan mengadopsi langkah-langkah untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, langkah-langkah dimaksud, adalah : (1) Menghindari penangkapan ikan melebihi potensi lestarinya (2) Mendukung industri perikanan yang bertanggungjawab (3) Memperhatikan kepentingan nelayan kecil (4) Melindungi dan mengkonsewasi keanekaragaman hayati yang terancam punah (5) Memfasilitasi pemulihan stok ikan yang sudah mulai kurang (6) Mengkaji dan memperbaiki dampak negatif akibat aktivitas manusia (7) Meminimalkan dampak negatif seperti pencemaran limbah, besamya hasil tangkapan sampingan (by catch) dengan menggunakan alat tangkap yang selektif, efisien dan ramah lingkungan. Menurut Sembiring dan Husbani (1999) kawasan konservasi laut memiliki peran clan arti penting dalam kehidupan, karena memiliki nilai-nilai nyata dan instrinsik yang tidak terhingga, seperti nilai ekologi, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Kawasan konservasi laut sebagai perwakilan tipe ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut, keutuhan sumber plasma nutfah, keseimbangan ekosistem telah memberikan kontribusi yang jelas bagi kehidupan manusia dalam bentuk kepentingan ekonomi, ekologis, estetika, pendidikan, penelitian, biologi dan mainan masa depan permawan 2007). Kabupaten Berau merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang tinggi dan beragam di Indonesia, sehingga masuk dalam Sulrr Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) yang dikelola 3 negara yakni Indonesia, Malaysia dan Philipine. Bahkan saat ini, Kabupaten Berau menjadi salah satu lokasi Coral Triangle lnisiafive (CTI) yang akan dikerjasamakan oleh 6 negara yakni, Indonesia, Malaysia, Philipina, Papua New Guinea, Solomon Islands dan Timor Leste. Keanekaragaman hayati laut Berau adalah tertinggi kedua di Indonesia setelah Raja Ampat dan ketiga di dunia. Hutan mangrove ditemukan di sepanjang daerah pesisir di KKL Berau sebanyak 26 jenis. Sejumlah pulau-pulau kecil dan ekosistem padang lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies yang dilindungi dapat ditemukan seperti penyu, paus, lumba-lumba, duyung dan beberapa spesies lainnya. Perairan Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau terbesar di Indonesia. Selain itu, potensi perikanan dan pariwisatanya masih baik. Namun demikian, di kawasan pesisir dan laut Berau juga terdapat berbagai permasalahan seperti p e ~ s a k a nterumbu karang, perbuman telur penyu, penangkapan ikan yang tidak ramah ligkungan, dan lain sebagainya. Dengan potensi sumberdaya pesisir dan laut yang besar beserta permasalahannya, wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau perlu dikelola dengan baik clan tepat. Hal ini guna menjaga kelestarian dan bejalannya fungsi pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan agar mendukung kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Sesuai dengan program pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan) yang tengah menggalakkan pembentukan KKL di berbagai daerah dengan target 10 juta ha pada tahun 2010, termasuk pembentukan kawasan konservasi laut Kabupaten Berau (KKL Berau). KKL Berau ditetapkan melalui Peratumn Bupati Berau No 31 tahun 2005 tanggal 27 Desember 2005. Batas KKL di wilayah laut ditetapkan sejauh 4 mil yang diukur dari garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar &lam wilayah Kabupaten Berau, ditambah kawasan lindung mangrove yang telah tertuang di Peraturan Daerah No. 3 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Berau, sehingga luas KKL Berau hingga ke kawasan mangrove sebesar 1.222.988 ha. Secara umum tujuan pembentukan KKL Berau adalah melindungi keanekaragaman pesisir dan laut, serta menjamin pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut baik untuk kepentingan perikanan maupun pariwisata bahari dapat berkelanjutan di Kabupaten Berau. Dalam rangka optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi laut Berau, penerapan zonasi merupakan solusi yang tepat, namun perlu direncanakan secara matang. Salah satu teknologi dalam mengkaji zonasi di KKL Berau adalah dengan penginderaan jauh yang memanfaatkan sensor kelautan pada wahana satelit yang melintasi wilayah perairan. Menurut Kartasasmita (1999) dan Widodo (1999), penginderaan jauh satelit (remote sensing satellite) telah menjadi salah satu teknik yang sering dipakai dalam upaya menggali informasi-informasi dari parameter osenaografi di perairan, ha1 ini dikarenakan sensor satelit dapat menyapu wilayah dengan luas (sinoptik) dan memiliki frekuensi lintasan yang sering 2-4 kali sehari pada satu wilayah, sehingga perolehan data menjadi lebih cepat, runtun waktu (real time) dan murah. Pemanfaatan data dari citra satelit dengan berbasiskan tehnik pengolahan citra dapat memberikan kontribusi sangat besar dalam kegiatan pendugaan zona penangkapan ikan di perairan lapisan atas. Satelit NOAA menyediakan informasi pembahan suhu permukaan laut (SPL) dan citra MODIS-AQUA untuk informasi perubahan konsentrasi klorofil-a pada permukaan yang kemudiaan dapat di analisis dalam bentuk informasi atau peta dugaan posisi dan zona yang menjadi potensial bagi penangkapan sumberdaya ikan (Kushardono 2003). Menurut Hendriarti er al. (1985), Purba (1991) dan Hasyim (1996), SPL dapat memberikan informasi mengenai fenomena upwelling, POW,peergerakan massa air dan kesesuaian suhu permukaan yang merupakan indikator penting keberadaan ikan-ikan tertentu. Sementara nilai konsentarasi klomfil-a diatas 0,2 mg& menunjukkan kehadiran dari kehidupan plankton yang memadai untuk menopang atau mempertahankan kelangsungan perkembangan perikanan komersial (Bond 1979). Pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis (SIG) dalam bidang pesisir dan lautan sampai saat ini sudah banyak membantu para analis &lam mengkaji dan mengembangkan informasi bagi kegiatan sektor pesisir dan lautan. Sebagai contoh, analisis kesesuaian dalam penentuan lokasi yang tepat untuk budidaya udang, daerah penangkapan ikan, pelabuhan perikanan, kegiatan monitoring berbagai sumberdaya hayati pesisir (mangrove, lamun, rumput laut, temmbu karang dan stok ikan karang) dan penataan kawasan pesisir yang berkelanjutan. Teknologi SIG yang berbasis sistem komputer dapat membantu analis mengkombinasikan berbagai data masukan dari citra satelit, pesawat terbang, instrument akustik maupun hasil survey lapang untuk diolah dalam bentuk model spasial. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan informasi yang tepat mengenai zona penangkapan ikan berkelanjutan yang tepat berdasarkan data biofisik di KKL Berau sehingga dapat disusun strateginya demi kesesuaian wilayah perairan untuk perikanan tangkap. 1.2 Perurnusan Masalah Pada satu sisi, kawasan konsewasi laut Berau memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang tinggi, pada sisi lain di kawasan pesisir dan laut ini juga mempunyai berbagai permasalahan seperti degradasi lingkungan akibat beberapa aktivitas manusia seperti perusakan terumbu karang, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (iflegal jishing), eksploitasi ikan berlebihan (melebihi daya dukung), deplesi beberapa biota laut dilindungi seperti penyu, dan lain sebagainya. Kenyataan ini berdampak pada penurunan populasi ikan dan biota laut lainnya. Salah satu program terobosan &lam meminimalkan penurunan sumberdaya ini adalah pengelolaan Kawasan konsewasi laut Berau dengan sistem zonasi yang ditaati seluruh stakeholders termasuk masyarakat. Penunjukan kawasan konservasi laut Berau yang berdasarkan Peraturan Bupati Berau No 31 tahun 2005, perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan management plan yang didalamnya terdapat arahan zonasi sesuai dengan peruntukannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007 tentang Konsewasi Sumberdaya Ikan (KSDI) bahwa suatu kawasan konsewasi laut terdiri dari Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan, dan Zona lainnya yang masih dianggap perlu. Zona perikanan berkelanjutan yang dimaksud disini adalah suatu zona yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Penentuan daerah penangkapan ikantzona perikanan tangkap tidak mudah, oleh karenanya pada penelitian ini perlu kajian kesesuaian wilayah perairan tersebut untuk perikanan tangkap dengan beberapa pendekatan imagelcitra, dan data lain yang mendukung analisa kesesuaian daerah penangkapan ikan. Untuk lebih bermanfaatnya penentuan wilayah perikanan menjadi daerah penangkapan ikan berkelanjutan, perlu disusun strategi pengelolaan, antara lain mengkaji jenis alat tangkap yang ramah lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebagian mjukan dalam penyusunan management plan KKL Berau secara lengkap. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui kesesuaian wilayah perairan di kawasan konsewasi laut Berau untuk daemh penangkapan ikan (2) Menyusun rekomendasi pengaturan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan sebagai bagian dari strategi pengelolaan daerah penangkapan ikan secara berkelanjutan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini adalah salah satu bahan untuk penyusunan rencana zonasi di kawasan konsewasi taut Berau yang diwajibkan Peraturan Pemerintah tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan maupun Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan di kawasan konsewasi tersebut dapat lebih tejamin kelestarianya. 15 Kerangka Pemikiran Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang (WCED 1987), sehingga pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang hams mernperhitungkan permasalahan ekologi, ekonomi dan sosial (Munasinghe 2002). Dalam perencanaan wilayah perikanan berkelanjutan sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kondisi ekologi, sosial budaya dan ekonomi harus dapat berjalan secara seimbang. Aspek ekologi yang perlu diperhitungkan dalam perencanaan adalah daya dukung lingkungan terhadap seluruh aktivitas perikanan yang hams mempertimbangkan areal Zona Inti (No Take Zone) dan Zona Pemanfaatan Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan dan Zona lainnya. Perikanan tangkap berkelanjutan adalah salah satu aktivitas perikanan berkelanjutan yang dalam perencanaan strategi implementasinya sangat dipengaruhi kondisi sosial budaya dan ekomomi masyarakat. Dengan diketahuinya komponen-komponen tersebut di atas, diharapkan daerah penangkapan ikan dapat terpetakan dengan baik dan dapat menjadi bahan rujukan penentuan zonasi secara lengkap dalam rangka Perencanaan Pengelolaan KKL Berau. I. N a i h ~ p ~ ~ a l Gambar 1 Kerangka pemikiin i ~ i i d a k ~ 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Laut (KKL) Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap lingkungan khususnya lingkungan perairan laut, diindikasikan dengan terbitnya berbagai aturan dan kebijakan, seperti Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya tkan khususnya mandate pasat 1 ayat 1 bahwa konservasi sumberdaya ikan mempakan upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memeliara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Sehingga pernerintah sudah mewajibkan bagi seluruh stakeholders untuk melakukan upayaupaya pemanfaatan yang berkelanjutan baik untuk pemanfaatan ekosistem seperti pengelolaan kawasan konservasi maupun pemanfaatan jenislgenetik seperti penangkaran dan lain sebagainya. Dalam PP No 60 Tahun 2007 juga dinyatakan bahwa sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan, sedangkan potensi jenis ikan yang dimaksud PP tersebut adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Menurut Sembiring dan Husbani (1999) kawasan konservasi laut memiliki peran sangat penting dalam kehidupan, karena memiliki nilai-nilai nyata dan instrinsik yang tidak terhingga seperti nilai ekologi, ekonomi, sosial, yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia saat kini maupun saat mendatang. Sementara Dermawan (2007) menyatakan bahwa kawasan konservasi laut m e ~ p a k a n wilayah yang terpilih sebagai penvakilan berbagai tipe ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut, sebagai sumber plasma nutfah, serta sebagai penyeimbang ekosistem dengan kata lain terjaminnya proses-proses ekologis sehingga dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi kehidupan manusia. Kontribusi dan manfaat keberadaan kawasan k o n s e ~ a s ilaut antara lain dapat menunjang kepentingan ekonomi, ekologis, estetika, pendidikan dan penelitian, biologi dan jaminan masa depan (Dermawan 2007). Defrnisi kawasan konsewasi laut (Marine Pmtected Area-MF'A) yang dihasilkan kongres dunia tentang kawasan lindung ke-4 (World Wilderness Congress) dan diadopsi oleh IUCN pada tahun 1988, adalah : daerah intertidal atau subtidal termasuk flora dan fauna, sejarah dan keragaman budaya yang dilindungi sebagian atau seluruhnya melalui peraturan perundangan (Gubbay 1995 yang diacu dalam PT Norma Widya Karsa 2003). Definisi MPA menurut fiecutive Order 13158 dalam laporan-PT Norma Widya Karsa tahun 2003, bahwa MPA adalah "any area of the marine environment that has been reserved by federal, state, territorial, tribal or local laws or regulations to provide lasting protection for part or all of the natural and cultural resources therein" Berbagai bentuk, ukuran dan kamkteristik serta pengelolaan sebuah kawasan k o n s e ~ a s laut i (MPA), ha1 ini sangat tergantung dari tujuannya, seperti halnya di Amerika telah dikembangkan berbagai jenis MPA, seperti : national marine sanctuaries, fishery management zones, national seashores, national park national moments, critical habitats, national wildlge refuges, national estuarine research reserves, state conservation areas, state reserves, ha1 ini untuk kepentingan tujuan konsewasi seperti konsewasi kawasan (Marine Managed Area-MMA), konsewasi jenis antara lain konsewasi migratory species. MPA seluas 18.850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir pertama kali diperkenalkan pa& tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National Monument di Florida, dan menjadi perhatian khusus pada The World Congress on National Park tahun 1962 karena konsep konsewasi yang memadukan wilayah laut, pesisir dan perairan tawar didaratan. Dukungan Internasional semakin berkembang dalam mempromosikan MF'A, ha1 ini munculnya dukungan berbagai LSM seperti WWF Internasional menyatakan bahwa pengelolaan konsewasi laut menjadi sarana penting karena mampu menjamin pemulihan kesehatan ekosistem laut yang berimplikasi terhadap kesuburan wilayah perikanan. Konsep pengembangan MPA menjadi popular karena di lokasi MPA dilakukan konsewasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut secara berkelanjutan yang dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim global (global climate change), terutama sebagai kontrol pemanfaatan sumberdaya perikanan. Empat program pengembangan MPA (Dermawan 2007), yaitu : (1) Conservution of biodiversify - MPAs dapat melindungi dan memperbaiki keanekaragaman hayati lalut melalui implementasi perencanaan pengelolaan berbasis ekologi, yakni melalui prioritas daerah untuk konservasi laut, k o n s e ~ a s i habitat dan konsewasi jenis serta penyusunan kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan (2) Sustainable Fisheries - MPAs menunjukan cara yang efektif &lam upaya perlindungan terhadap collaps-nya perikanan, salah satunya dengan peningkatan rekruihnenl restocking ikan di wilayah kritis. Penerapan ini sangat sesuai di Asia Tenggara k a n a kondisi perikanannya yang multispecies dan multi-gem ( 3 ) Sustainable Tourism - MPAs dapat memajukan tourism melalui pelibatan seluruh stakeholders dalam pengelolaan MPA untuk melindungi, memelihara dm memperbaiki ekosistem laut karena fenomenanya menjadi asset andalan pariwisata bahari. (4) Integrated Coastal Management - MPAs dapat memberikan percontohan pengelolaan pesisir terpadu yang melibatkan berbagai stakeholders secara partisiptic sehingga terhindar dari "buildingblocks" Keseriusan Pemerintah Indonesia &lam penanganan konsewasi perairan, terutama perairan laut, diindikasikan dengan keluamya aturan-aturan diantaranya Undang-undang No 3 1 tahun 2004 tentang Perikanan, yang memandatkan bahwa konservasi sumberdaya ikan perlu diterapkan sebagai upaya perlindungan, pelestaria, dun pemanfmtan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dun genetic untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, t,n kesinambungan dengan tetap memeliharadan meningkatkan kunlitas nilai dun keanekaragaman sumberwa ikan ( p a d 1 angka 8 UU No 31 Tahun 2004), dan petunjuk operasional yang lebih detail dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang didalamnya memandatkan (pasal I angka 8) bahwa Kawasan Konsewasi Perairan yang termasuk Kawasan konservasi laut merupakan kawasan perairan yang dilindungi, diielola dengan sitem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan Pendelegasian kewenangan pengelolaan kawasan konservasi laut ke daerah juga diperbesar peluangnya, yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, temtama pada pasal 18 dijelaskan salah satu kewenangan ~i daerah di wilayah laut Bdalah eksplorasi, eksploitasi dan k o n s e ~ a sumberdaya alam di wilayahnya, sehingga sekarang dikenal dengan Kawasan k o n s e ~ a s laut i Daerah yang mencirikan bahwa inisiasi pengelolaan diawali dari daerah, namun pengaturan pengelolaan tetap mengacu kepada peraturan perundangan yang ada. Pengelolaan kawasan konservasi juga diatur di Undang-undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana regim pengelolaannya meliputi pesisir pantai sampai kearah laut dan pulau-pulau kecil, sementara pengaturan detail perencanaan pengelolaannya telah diatur di PERMEN KP No PER. 16/MEN/2008. Zona di kawasan konsewasi laut sebagaimana pasal 17 ayat 4 PP No 60 Tahun 2007, terdiri dari Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan serta Zona Lainnya Zona di Kawasan konservasi laut mempakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui pendekatan fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem. Zona inti diperuntukkan bagi: (1) Perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan; (2) Penelitian; dan (3) Pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan dipemntukkan bagi : (1) Perlindungan habitat dan populasi ikan; (2) Penangkapan ikan dengan alat dan cam yang ramah lingkungan; (3) Budidaya ramah lingkungan; (4) Pariwisata dan rekreasi; (5) Penelitian dan pengembangan; dan (6) Pendidikan. Zona Pemanfaatan dipemtukkan bagi: (1) Perlindungan habitat dan populasi ikm, (2) Pariwisata dan rekreasi; (3) Penelitian dan pengembangan; dan (4) Pendidikan. Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona perlindungan, zona pemanfaatan tradisional, dan zona rehabilitasi. Di zona perikanan berkelanjutan diutamakan peruntukannya untuk kegiatan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Penentuan wilayah perikanan budidaya maupun daerah penangkapan ikan dapat dilakukan dengan pendekatan analisa citra dan survey secara terpadu. 2 3 Kawasan Konservasi Laut Berau Kabupaten Berau yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur m e ~ p a k a n salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup tinggi dan beragam di Indonesia. Di wilayah pesisir dan laut Kabupaten ini terdapat terumbu k g yang luas dengan kondisi cukup baik. Keragaman terumbu karang Berau tertinggi kedua di Indonesia setelah Raja Ampat Papua dan yang ketiga di dunia Hutan mangrove di Kabupaten Berau banyak ditemukan di Delta Berau dan di sepanjang daerah pesisir. Sejumlah pulau-pulau kecil dan ekosistem padang lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies yang dilindungi dapat ditemukan seperti p e n s paus, lumba-lumba, duyung dan beberapa spesies laimya. Keanekaragaman yang tinggi di Kabupaten Berau ini, menjadikan hampir seluruh wilayah Berau dijadikan Kawasan Konservasi Laut Berau melalui Peraturan Bupati berau No 3 1 tahun 2005. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa bahwa jenis-jenis biota perairan yang dilindungi pemerintah adalah : Reptilia ( 1 ) Penyu tempayan (Caretta caretta) (2) Penyu hijau (Chelonia mydas) (3) Penyu belimbing (Dermochelyscoriacea) (4) Penyu sisik (Eretmochelysimbricata) (5) Penyu ridel (Lepidochelysolivaceae) (6) Penyu pipih (Natator depresa) Mamalia ( 1 ) Paus biru (Balaenoptera musculus) (2) Paus bersirip ( B a ~ a e m p t e r a p ~ s a l w ) (3) Paus bongkok (Megaptera novaeangliae) (4) Paus lemak (Cetacea/semuajenis familia cetacea) (5) Lumba-lumba air laut (Dolphinidae/semuajenis famila Dolphinidae) (6) Duyung (Dugong dugon) (7) Lumba-lumba air laut (Ziphiidael semua jenis familia Ziphiidae) Pisces Coelacanth (Latimeria chalumnae) Anthozoa Akar bahar, koral hitam (Anthiparesspp/genus Anfhipates) Molusca (1) Kima raksasa (Tridocnagigas) (2) Kima kecil (Tridacna mmima) (3) Kima sisiWseruling (Tridacnasquamosa) (4) Kima selatan (Tridacna derata) (5) Kima kuniaubang (Tridocna crocea) (6) Kima pasir (Hippopus hippopus) (7) Kima cina (Hippopusporcellamus) (8) Kepala kambing (Cussis cornuta) (9) Triton terompet (Charoniafritonis) (10) Nautilus berongga (Nautiluspompillus) ( I 1) Troka, susu bundar (Trochus niloticus) (12) Batu laga/siput hijau (Turbo Marmoratus) Crustacea 1. Ketam kelapa (Birgus lafro) 2. Ketam tapak kuda (Tachipleus gigas) Peraimn Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau terbesar di Indonesia, juga fenomena alam bawah aimya juga berpeluang dijadikannya pariwisata bahari yang bertaraf intemasional. Pennasalahan di kawasan pesisir dan laut merupakan ancaman bagi kelangsungan KKL Berau. Pennasalahan-pennasalahan tersebut antara lain perusakan t e m b u karang, penurunan populasi penyu, praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya (Wiryawan el at. 2005). Kabupaten Berau terdiri dari I3 Kecamatan, yaitu Tanjung Redeb, Gunung Tabw, Teluk Bayur, Segah, Kelay, Sambaliung, Derawan, Maratua, Tabalar, Biatan-Lempake, Talisayan, Batu Putih d m Biduk-Biduk. Dari 13 Kecamatan tersebut, delapan kecamatan merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Biduk-biduk, Batu Putih, Talisayan, Biatan-Lempake, Tabalar, Maratua, Derawan dan Sambaliung. Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Biatan Lempake merupakan Kecamatan yang baru dibentuk pada tahun 2005. Di satu sisi Berau mempunyai potensi keanekaragaman hayati pesisir dan laut, namun di sisi lain permasalahan degradasi pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil di perairan Berau semakin mengkhawatirkan, oleh karenanya pengelolaan kawasan konse~asilaut Berau perlu segera diprioritaskan untuk ditangani secara serius sehingga sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat. Sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah benvenang untuk mengelola sumberdaya alamnya sendiri, Pemerintah Pusat melalui Departemen Kelautan dan Perikanan mendorong Pemerintah Daerah untuk mengembangkan KKL di Berau. Keseriusan Pemerintah Kabupaten Berau terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir d m laut diwujudkan dengan penunjukan Kawasan konservasi laut Kabupaten Berau (KKL Berau) melalui Perahlran Bupati Berau tahun 2005. Batas KKL di wilayah laut ditetapkan sejauh 4 mil yang diukw dari garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar dalam wilayah Kabupaten Berau. Luas KKL Berau sebesar 1.222.988. ha. Secara umum tujuan pembentukan KKL Berau adalah untuk melindungi keanekaragaman laut, serta menjamin pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pariwisata bahari berkelanjutan di Kabupaten Berau (Wiryawan et al. 2005). Pembentukan KKL Berau diharapkan dapat menjadi model dalam mendesain pokok-pokok pengelolaan konsewasi laut yang berskala daerah, dan atau regional bahkan nasional karena lintas wilayah administrasi otonomi. Untuk menghindari berbagai pernasalahan yang berkembang dalam pengelolaan KKL, baik konflik vertikal (tumpang tindih pemndang-undangan) maupun horizontal (masalah pemanfaatan dan pengel~laansumberdaya), maka dibutuhkan suatu kajian yang mendalam terhadap berbagai peraturan perundangan-undangan yang telah berjalan, perencanan dan desain pengelolan yang baik, kelembagaan yang &pat bejalan sesuai dengan kebutuhan, serta sistem pendanaan yang mandiri. Menurut Wiryawan et al. (2005) untuk memudahkan pengelolaan, KKL Berau diusulkan menjadi 3 kawasan pengelolaan, yaitu bagian utara, tengah dan selatan. Kawasan pengelolaan bagian utara meliputi wilayah laut, pulau-pulau kecil, temmbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove di Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua. Kawasan pengelolaan bagian tengah meliputi wilayah laut dan hutan mangrove Kecamatan Tabalar, Biatan Lempake dan Talisayan. Kawasan pengelolaan bagian selatan meliputi wilayah laut, pulau-pulau kecil, temmbu karang, lamun dan hutan mangrove di Kecamatan Batu Putih dan Bidukbiduk. 2.3 Usaha Perikanan Taogkap Usaha perikanan tangkap adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak di budidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah, dan mengawetkan (Alhidayat 2002). Kesteven (1973) mengklasifikasikan usaha perikanan tangkap ke dalam tiga kelompok, yaitu perikanan subsisten, artisanal dan industri. Perikanan tangkap jenis artisanal dan industri termasuk jenis perikanan yang bersifat komersil. Pengklasifikasian ini didasarkan pada teknologi yang digunakan, tingkat modal, tenaga kerja yang digunakan serta kuantitas dan pemasam hasil tangkapan. Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha pembahan dari suatu yang dinilai kurang baik menjadi sesuatu yang baik ataupun dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Menurut Bahari (1989), pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebii baik. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, seperti yang tergambar dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Berikut syarat-syarat pengembangan usaha perikanan tangkap: (1) Meningkatkan kesejahteraan nelayan; (2) Meningkatkan jumlah produksi dalam rangka penyediaan sumber protein hewani; (3) Mendapatkanjenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor; (4) Menciptakan lapangan keja; (5) Tidak merusak kelestarian sumber daya ikan. Usaha pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa datang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan iptek, akan mampu mengatasi keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga hams mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi (Barus et al. 1991). 2.4 Perikanan TangkPp Berkelanjutan Pengelolaan berkelanjutan merupakan suatu proses mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yakni dengan cam menyerasikan aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan daya dukung sumberdaya alam. Perairan laut bersifat milik bersama, sehingga siapa pun dapat memanfaatkan sumberdaya hayati yang ada didalamnya. Perikanan tangkap mempakan kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut secara bebas. Pengembangan usaha perikanan m e ~ p a k a nsuatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Hamdan 2007). Menurut Charles (1994), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem perikanan berkelanjutan yaitu (1) Sistem alami (ikan ekosistem, dan lingkungan biofisik); (2) Sistem manusia (nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosiaUekonomi/budaya); dan (3) Sistem manajemen perikanan (perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan). Laju eksploitasi sumberdaya ikan yang tinggi dan melebihi daya dukungnya berdampak langsung terhadap keberlanjutan ketersediaan sumberdaya, mempercepat proses kemsakan sumberdaya ikan dan menurunnya permmbuhan ekonomi jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model pembangunan di masa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan perikanan berkelanjutan. Kegiatan perikanan tangkap di kawasan konse~asidipengamhi beberapa aspek, yakni, (1) aspek biologi, yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya ikan, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan jenis ikan, (2) aspek teknis, yang berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di atas kapal, fasilitas pendaratan, fasilitas penanganan ikan di darat, (3) aspek sosial, yang berhubungan dengan kelembagaan, ketenagaan keja serta dampak usaha terhadap nelayan, (4) aspek ekonomi, yang berkaitan dengan hasil produksi clan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders (Charles 2001 yang diacu dalam Hamdan 2007) Sumberdaya ikan bersifat dapat pulihldiperbaharui (renewable resources), dimana sumberdaya tersebut memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, namun pengelolaan yang kurang baik akan mengarah kepada eksploitasi yang tidak terkontrol dan akan mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan atau pemanfaatan sumberdaya ikan yang seimbang dengan konservasi sehingga kelestarian dapat terus tejaga (sustainable). Hal ini sejalan dengan yang telah dicanangkan oleh F A 0 (1995) dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries yang menyatakan bahwa "states and users of aquatic ecosystems should minimize waste, catch of non-target species, both fish and nonfish species, and impacts on associated or dependent species" Pengelolaan daerah penangkapan ikan yang berkelanjutan mengacu kepada Code of Conduct for Responsible Fisheries diiana pengelolaan harus melalui kebijakan, hukum, dan kerangka kelembagaan yang tepat dengan mengadopsi langkah-langkah untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, langkah-langkah dimaksud, adalah : ( 1 ) Menghindari penangkapan ikan melebihi potensi lestarinya (2) Mendukung industri perikanan yang bertanggungjawab (3) Memperhatikan kepentingan nelayan kecil (4) Melindungi dan mengkonservasi keanekaragaman hayati yang terancam punah (5) Memfasilitasi pemulihan stok ikan yang sudah mulai kurang (6) Mengkaji dan memperbaiki dampak negatif akibat aktivitas manusia (7) Meminimalkan dampak negatif seperti pencemaran limbah, besarnya hasil tangkapan sampingan (by catch) dengan menggunakan alat tangkap yang selektif, efisien dan ramah lingkungan. Penangkapan ikan yang berlebihan di suatu daemh penangkapan ikan akan mengakibatkan menurunnya sumberdaya ikan, menurut Azis et al. (1998) yang diacu dalam Hamdan (2007), wilayah penangkapan ikan di laut Jawa diindikasikan telah mengalami ove$shing pada berbagai jenis stok sumberdaya ikan seperti udang, ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, Beberapa ha1 yang mempengamhi tejadinya overfishing, yaitu jumpah nelayan, jumlah armada penangkapan, serta jumlah jumlah dan jenis alat tangkap yang dipakai dalam perikanan tangkap di suatu wilayah perairan. Penangkapan ikan dengan menggunakan metode tidak ramah lingkungan akan mempercepat terjadinya overfishing karena kegiatan penangkapan yang semakin tidak selektif dan terjadinya kerusakan habitat sebagai akibat dari metoda penangkapan yang merusak. Namun alat tangkap legal juga tetap akan menyebabkan ovetf7shingjika penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok sumberdaya dalam melakukan pemulihan (DKP2003 yang diacu dalam Hamdan 2007). Menurut Gulland (1983), indiitor tejadinya overJshing ditunjukan dengan menurunnya ukuran ikan yang ditangkap, dan makin menurunnya catch per unit e#oH (CPUE). Berkurang jumlah dan komposisi species ikan me~pikkansalah satu indikator penangkapan ikan yang berlebihan atau juga akibat tekanan terhadap perairan sehubungan dengan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir terutama konversi kawasan mangrove menjadi tambak dan sebagainya. Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya ikan yang terbatas kelimpahannya sesuai daya dukung habitatnya milik bersama dan terkenal karena milik bersama sehingga rawan terhadap over$shing (Monintja dan Yusfiandayani 2001 yang diacu dalam Hamdan 2007). Menurut Boer dan Azis (1995) yang diacu dalam Hamdan (2007), Salah satu tugas pengelola sumberdaya perikanan adalah menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total AIlowable Catch (TAC). Menurut Hamdan (2007) bahwa pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan dapat menerapkan kebijakan-kebijakan langsung seperti : (1) Pembatasan alat tangkap (restriction on gears), kebijakan ini semata-mata untuk melindungi sumbedaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak (desmtive) (2) Penutupan musim (closed season), kebijakan ini m e ~ p a k a n pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan yang didasari pada sumberdaya ikan yang tergantung kepada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu species saja &lam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Menurut Nikijuluw (2002) yang diacu dalam Hamdan (2007), penutupan musim ada 2 macam, yakni : 1) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, sehingga memberi peluang ikan untuk melakukan pemijahan dan berkembang biak 2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan, karena sumberdaya ikan telah mengalami degradasi yang diindikasikan hasil tangkapan ikan yang semakin sedikit, sehingga dengan penutupan ini memberikan peluangpada ikan untuk memperbaiki populasinya. (3) Penutupan area (closed area), Kebijakan ini memberikan pengertian penutupan kegiatan di daerah penangkapan ikan yang dapat bersifat permanen atau pada kurun waktu tertentu (4) Kuota penangkapan, kebijakan ini dilakukan dalam rangka pemberian hak kepada industry atau pelusahan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu dari perairan. Kuota adalah alokasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada (5) Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan, bentuk kebijakan ini ditujukan untuk mempertahankan strukhrr umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dalam rangka member kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut tertangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yangtertangkap Pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan menuntut pemanfaatan yang tidak melebihi ambang batas dari daya replika dan reproduksi sumberdaya ikan dalam periode tertentu. Oleh karena itu laju pemanfaatan sumberdaya ikan tidak boleh melebihi dari ambang pulih (potensi lestari). Tingkat pemanfaatanlpenangkapan ikan di suatu daerah penangkapan ikan tidak boleh melebihi 80 % dari nilai potensi hasil tangkapan maksimum yang lestari (nuurimum sustainable yield-MSY). Menurut DKP (2003 b), konsep dasar program sistem intensif CCRF, adalah: (1) Pemeliharaan dan perlindungan ekosistem perairan (2) Pengembangan organisasi, manajemen dan kelembagaan (3) Pengembangan teknologi alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan (4) Peningkatan pemahaman terhadap penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (5) Peningkatan mutu hasil perikanan (6) Peningkatan keselamatan dan keamanan aktivitas penangkapan ikan (7) Integrasi perikanan tangkap dengan pengelolaan kawasan pesisir Menurut Arimoto (1999) yang diacu dalam Hamdan (2007) bahwa teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang sedikit mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa kemsakan dasar perairan (benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap, kontribusi terhadap polusi, menurunnya keanekaragaman hayati (biodiversity), tertangkapnya ikan-ikan muda, melimpahnya hasil tangkapan sampingan (by-catch). Monintja (2000) menjelaskan bahwa w a teknis alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi criteria : (1) mempunyai selektivitas yang tinggi, (2) tidak m e ~ s a habitat k temmbu karang, (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi, (4) tidak membahayakan operatorlnelayan, (5) rendahnya hasil tangkapan sampinganlby-catch, (6) dampak terhadap biodiversity kecil, (7) tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, (8) hasil tangkapan tidak melebihi jumlah yang boleh dimanfaatkan/ total allowable catchTAC, (9) alat tangkap tersebut menggunakan sedikit bahan bakar, (10) secara hukum alat tangkap tersebut legal, (I I) jumlah investasi kecil, (12) hasil produksi baik dengan harga yang kompetitif Sebagaimana dijelaskan di sub bab sebelumnya bahwa di kawasan konservasi laut selain menyediakan wilayah untuk zona inti, juga menyediakan wilayah untuk perikanan tangkap berkelanjutan. Daerah penangkapan ikan @hing ground) adalah suatu wilayah dimana ikan-ikan biasa berkumpul dan m e ~ p a k a ntarget para nelayan untuk menangkap ikan karena selain lokasi sumberdaya ikan, wilayah tersebut dianggap aman untuk pengoperasian suatu alat tangkap dan tidak membahayakan bagi nelayan serta jumlah ikan target yang akan ditangkap dianggap masih menguntungkan secara ekonomi. Keberadaan fishing ground sangat dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya faktor lingkungan yang mencakup, suhu, salinitas, upwelling dan s Selain itu jenis substrat dari adanya pertemuan arus panas dengan a ~ dingin. dasar perairan akan mempengamhi keberadaan sumberdaya ikan. Faktor biologi antara lain berkorelasi dengan kelimpahan plankton pada suatu wilayah tertentu. Suhu adalah suatu besaran fsika yang menyatakan banyaknya aliran panas yang terkandung &lam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan, sangat tergantung pada jumlah panas yang diterima dari sinar matahari. Dengan demikian suhu permukaan air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah khatulistiwa (Hutagalung 1988). Ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Kelimpahan suatu jenis ikan pada suatu daerah penangkapan dipengaruhi perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan laimya (Laevastu dan Hayes 1981 yang diacu dalam Syahdan 2005). Laevastu dan Hayes 1981 yang diacu dalam Syahdan 2005 selanjutnya menyatakan bahwa suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobilitas gerakan, ruaya, penyebaran dan kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan; masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan. Lapisan perairan di permukaan laut tropis umumnya hangat dan variasi hariannya tinggi. Perairan Indonesia umumnya mempunyai kisaran suhu sekitar 28 - 3 1 OC pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu dimana sering terjadi up welling, keadaan suhunya dapat menjadi lebih rendah (sekitar 25 OC) yang disebabkan oleh massa air dingin dari bawah yang berasal dari bagian yang lebih dalam terangkat ke atas (Wyrtki 1961 yang diacu &lam Syahdan 2005). Cakalang m e ~ p & a n salah satu ikan pelagis yang memiliki karakteristik oseanografi yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian permukaan, sehingga kajian suhu permukaan laut dan klorofil-a akan lebih relevan untuk menjelaskan secara lebih spesifik lingkungan perairan yang didiaminya (Nontji 1993; Mam and Lazier 1996 yang diacu dalam Syahdan 2005). Informasi suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh secara in silu. atau melalui citra satelit. Gunarso (1985) yang diacu dalam Syahdan (2005) menyatakan bahwa pada suatu daerah penangkapan cakalang suhu permukaan yang disukai oleh jenis ikan tersebut biasanya berkisar 16-26 OC, walaupun untuk Indonesia suhu optimum itu adalah 28-29 OC. Ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu, khususnya pada waktu makan (Tampubolon 1990 yang diacu dalam Syahdan 2005). Nontji (1993) yang diacu dalam Syahdan (2005) menyatakan bahwa faktor yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah adanya peristiwa up welling yang salah satu pemicunya adalah sistem angin muson ; ha1 ini berkaitan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. 2.5 Pemanfaatan Tekoologi Penginderaan Jaub dan Sistem Informasi Geografis 2.5.1 Penginderaan jaub (INDRAJA) satelit National Oceanic Atmosperic Administration (NOAA) mempakan program penginderaanjauh satelit untuk lingkaran kelautan yang dimulai sejak tahun 1960an oleh negara Amerika Serikat yang pads awalnya bernama program television infared obseravtion satelitre (TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA masih mengoperasikan V i a satelit dengan seri NOAA-12,14, 15,16 dan 17. Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833 km di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit serial NOAA memanfaatkan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap parameter suhu permukaan laut (SPL) dan wama laut (ocean color). Untuk pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran panjang gelombang 3-14 pm. Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan dasar dalam menduga fenornena laut seperti upwelling, &nt dan pola arus permukaan yang mempakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya dengan unsur ham atau subur. Perairan subur mempakan tempat kecenderungan dari migrasi sumber daya ikan, yang dapat juga dikatakan sebagai DPI. Data SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kana1 i n h merah jauh, sebagai contoh SP diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA ataupun MODIS-AQUA (Kushardono 2003) Perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin muson memiliki pola massa air yang berbeda dan bewariasi antara musim yang satu dengan yang lainnya. Disamping itu perairan Indonesia juga dipengaruhi oleh massa air dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Kedua massa air ini dihubungkan dengan sistem arus lintas Indonesia (ARLINDO) di beberapa tempat seperti: Selat Makassar, Selat Sunda dan lain-lain. Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, sebatiknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna sulai m a s s air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat, perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan tejadiiya pembahan terhadap kondisi perairan atau tingkat konsenhasi klorofil-a. Sebaran klorofil-a didalam kolom perairan sangat bergantung dengan konsentrasi nutrient. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat juga digunakan sebagai petunjuk produktivitas suatu perairan. Dengan memanfaatkan dengan kisaran gelombang cahaya tampak atau antara 0,43-0,58 pm untuk warna sensor laut, dapat dilakukan pendugaan sebaran spasial klorofil-a di permukaan laut, sebagai contoh, identifikasi konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh dari pengolahan citra satelit MODIS-AQUA. 2.5.2 Sitem informasi geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) digolongkan kedalam sistem spasial dimana pemanfaatan SIG ini dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan dengan pengetahuan yang diiiliki oleh ilmuwan perikanan untuk kegiatan pengolahan perikanan laut di masa mendatang (Close dan Hall 2006). Pengertian sistem informasi geografis (SIG) jika dihubungkan dengan kegiatan pengelolaan perikanan adalah suatu analisis informasi dan pengelolaan data yang berasal dari data tangkapan, sintesis data citra, pengembangan data perikanan yang sudah ada ataupun analisis terhadap data yang berhubungan dengan kegiatan perikanan laut dalam menghasilkan keluaran informasi yang berguna bagi stakeholder perikanan (Holmes 2006). Pemanfaatan SIG bagi keperluan pengelolaan sumber daya perikanan dipemntukkkan pada tiga bidang, yaitu: (1) Kegiatan penangkapan, (2) Budidaya perairan dan (3) Kawasan perlindungan habitat sumber daya perairan. Tujuan pengelolaan dalam kegiatan pembangunan penangkapan ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya ini secara berkelanjutan dengan adanya dinamika penawaran (supply) dan permintaan (demand) sebagai dasar data masukan (Dahuri et al. 1996; Holmes 2006). Hasil tangkapan tinggi bergantung pada kondisi lingkungan perairan yang baik sehingga retautmen stok dan pertumbuhan individu dapat meningkat dengan membimalkan kematian alamiah dari individu itu sendiri. Logika masukan data pengelolaan seperti ini membutuhkan berbagai informasi yang terkait agar pengelolaan pembangunan perikanan tangkap yang berkelajutan dapat diwujukan, salah satunya dengan menyediakan informasi spasial distribusi jenis-jenis sumber daya perikanan itu sendiri (Dahuri et al. 1996; Holmes 2006). Data grafis SIG di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu: (1) Data raster dan (2) Data vektor. Data raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan S t ~ k t u matriks r atau pikselpiksel yang membentuk grid. Data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data-data spasial dengan titik-titik, garis-garis atau kuwa atau poligon dan atribut-atrihutnya. Struktur data vektor yang sering dipergunakan dalam SIG adalah suatu cara untuk membandingkan informasi titik, garis ataupun poligon kedalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan (Rahasta 2002). Model data spasial itu sendiri dalam pengertian SIG adalah pandangan atau persepsi terhadap dunia nyata (real world) yang telah disederhanakan, dimana kemampuan SIG yang dapat melakukan: (1) Analisis keruangan (spatial analysis) dan (2) Pemantauan (monitoring) dapat dipergunakan mempercepat dan mempermudah penataan ruang ataupun pemetaan potensi kebetadaan sumber daya pada suatu wilayah di permukaan bumi yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya (Prahasta 2002). Informasi tersaji &lam bentuk tema (thematic layer) dengan cakupan (coverage) dan atribut data yang disesuaikan dengan aslinya. Tema-tema tersebut kemudian dengan menggunakan metode tumpang susun (overlay) disajikan ke dalam bentuk peta yang mengandung berbagai informasi baik keberadaan sumber daya maupun kondisi lingkungan pendukungnya pada waktu itu (Prahasta 2004). 2.6 Proses Hirarki AnalitikmH.4 (Analytical Hierarchy ProcesdAHP) Marguire dan Carver (1991) yang diacu dalam Subandar (2002) telah mengamati kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision). Kelemahan SIG yang lain adalah keterbatasannya dalam penentuan prosedur pendukung pengambilan keputusan (Birkin et a/ 1996; Maguire, 1995 Subandar 2002). Subandar (1999) mengunakan teknik MCDM (Multy Criteria Decision Making) untuk mengatasi kelemahan SIG dalam pengambilan keputusan. Proses Hirarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analytical Hierarchy Process/AHP) mempakan salah satu metode MCDM yang mula-mula dikembangkan oleh Saaty (1991). dan sangat populer digunakan &lam perencanaan lahan, temtama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana [Saaty 1991). Proses Hirarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analytical Hiermchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Beberapa keuntungan rnenggunakan PHA sebagai alat analisis adalah (Saaty 1991): (1) PHA memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur. (2) PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. (3) PHA dapat menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. (4) PHA mencenninkan kecenderungan alami p i k i i untuk memilah-milah elemenelemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. ( 5 ) PHA memberi suatu skala dalam mengukur hal-ha1 yang tidak tenvujud untuk mendapatkan prioritas. (6) PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. (7) PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. (8) PHA mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. (9) PHA tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda. (I0)PHA memungkinkan orang memperhalus detinisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. Proses Hirarki Analitik (PHA) pada dasamya didisain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan pennasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model pennasalahan yang tidak mempunyai sbuktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masatah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-rnasalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty 1991). Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponemya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty 1991). Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hirarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hirarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki. Model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-ttjuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA. 3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertarna adalah o b s e ~ a s i lapangan sekaligus mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan rencana penelitian, dan pengumpulan informasi ke berbagai instansi teknis di lapangan. Tahap kedua mengkaji bahan informasi yang didapat dengan dosen pembimbing dan kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data lapang pada lokasi-lokasi sampling. Tahap ketiga adalah pengolahan dan analisis data primer maupun data citra untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam penyusunan kebijakan penggunaan alat tangkap dalam mngka pengelolaan wilayah perikanan tangkap yang berkelanjutan. Setelah tahap ketiga selesai dilakukan, peneliti masih kembali ke lapangan untuk menyempumakan berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan penelitiamya. Tahap pertama penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2007 di KKL Berau, tahap kedua dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sedangkan tahap terakhir adalah analisis data dan kajian spasial di laboratorium instalansi lingkungan dan cuaca, pusat pemanfaatan dan pengembangan penginderaan jauh, lembaga penerbangan dan antariksa nasional (ILC PUSBANGJA LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : (I) Citra satelit NOAA-AVHRR untuk bulan Januari-Desember 2006. (2) Citra satelit Terra-MODIS untuk bulan Januari-Desember 2006. (3) Data penangkapan dalam bentukjshing log book dari nelayan. (4) Peta digital Kabupaten Berau dan sekitarnya. Alat yang digunakan dalam menunjang penelitian ini adalah : (I) Komputer dan pencetak (printer). (2) Perangkat lunak (software) Er-mapper untuk pengolahan citra satelit. (3) Perangkat lunak (software) SIG Arc-view untuk analisis secara spasial. (4) Perangkat lunak (software) Expert Choice 2000 untuk analisis proses hierarki. 33 Metode Pengumpulan Data Data yang dapat menggambarkan status ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat sangat menentukan keberhasilan penentuan wilayah perairan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Kawasan Konsewasi Laut Berau. Data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (i) data fisik-oseanografi perairan KKL Berau, (ii) data perikanan tangkap, dan (iii) data persepsi masyarakat di pesisir KKL Berau mengenai masalah perikanan tangkap. Data primer diperoleh melalui obsewasi lapangan pada wilayah penelitian dan melalui hasii wawancara semi terstruktur dengan para pihak (stakeho1ders)yang terkait di wilayah tersebut. Data sekunder meliputi literatur-literatur penunjang dan data pendukung lainnya. Data sekunder yang dibutuhkan ditelusuri dari data statistik perikanan, hasil penelitian terdahuly dan data dari lembaga lain yang terkait dengan penelitian ini. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk memberikan masukan ke dalam sistem infomasi geografik, baik itu data spasial maupun data atribut. Rincian jenis data dan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tahel 1. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan dalam analisis kesesuaian wilayah perairan untuk perikanan tangkap di Kawasan Konsewasi Laut (KKL) Berau Kalimantan Timur I BENTUK 1 SUMBER DATA NO PARAMETER A. DATA BIO-FISIK 1. Hidro-oseanografi, meliputi: I Citra NOAA-AVHRR Suhu permukaan laut Klorofil-a Citra TERRA-MODIS Kedalaman peta Dishidros TNI AL 2. 1 Ekosistem pesisir, meliputi: Laporan Program Bersarna Kelautan Mangrove Laporan Berau Padang lamun Laporan Temmbu karang6. ( Data Perikanan Tnngkap daa Sosial Ekonomi Masyarskat 1. I Perikanan Tangkap, I - . meliputi: I Jenis & Jumlah alat tangkap Statistik Dinas Kelautan dan Statistik Perikanan Kabupaten Jumlah Nelayan Statistik Berau Hasil Perikanan Tangkap / I1 I1 I Tabel 1 Lanjutan NO I PARAMETER 2. ( Sosial Budaya, meliputi: Persepsi tentang KKL Persepsi tentang alat tangkap Pemahaman ttg metode penangkapan Ekonomi, meliputi: 3. Mata pencaharian pokok dan altematif Kelembagaan (kel. Nelayan, dll) - I BENTUK I SUMBER DATA I 1 Deskripsi Deskripsi Desktipsi 1 Wawancara dengan para pihaklstakeholder . Deskripsi Wawancara dengan nelayan Deskripsi Dalam menuangkan kerangka pemikiran sebagaimana tertulis di bab sebelumnya, penulis mencoba menyusun tahapan penelitian yang diawali dengan penyusunan rencana keja,sebagaimana tahapan penelitian di bawah ini : I PENYUSUNAN RENCANA KERJA I PENGUMPULAN DATA e ANALlSlS ClTRA ANALlSlS SDI + + SEBARAN IKAN & ALAT TqNGKAP ZONASI I ANALlSlS SIG 4 KESESUAIAN WILAYAH PERIKANAN TANGKAP ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS ( AHP ) 4 KEBIJAKAN PENGGUNAAN ALAT TANGKAP UNTUK PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN Gambar 3 Tahapan penelitian 33.1 Pengnrnpulan citra satelit Citra yang dikumpulkan berbentuk model data raster berasal dari jenis level dua yaitu telah terkoreksi baik secara geometric, radiometric dan memiliki informasi dasar. Citra yang telah diterima oleh antena penerimaan di ILC PUSBANGJA LAPAN, kemudian dilakukan : (1) Perekaman data kanal-kanal citra dari satelit NOAA-AVHRR dan Term- MODIS pada computer induk. (2) Perubahan (konversi) data kanal-kana1 citra ke dalam bentuk raster. (3) Pemilihan citra bebas awan, dimaksudkan untuk memilih liputan citra yang hanya memiliki < 10% tutupan awan pada lokasi penelitian. (4) Penyimpanan data kanal-kanal citra bebas awan ke dalam CD-ROOM untuk selanjutnya diolah. 33.2 Pengumpulan data posisi dan basil tangkapan Data posisi dan hasil tangkapan ikan paling sediiit dua tahun ke belakang. Jika satu musim penangkapan yang dianalisis, maka data dikumpulkan merupakan data harian penangkapan per trip bulan operasi selama musim penangkapan. Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan berasal dari aktivitas penangkapan bulan selama 5 tahun dari tahun 2001 - tahun 2005. Data jumlah alat tangkap diperoleh dari Sekretariat Bersama dari Februari 2005 hingga Febmari 2006. 3.4 Metode Pengolahan Data 3.4.1 Pengolahan citra satelit Pengolahan data kanal-kanal citra satelit NOAA-AVHRR dan TERRAMODlS dilakukan dengan metode pengolahan citra berbasiskan komputer menggunakan perangkat lunak Er-mapper. 3.4.2 Pengolahan spasial Pengolahan spasial yang berbasiskan SIG ini dimaksudkan untuk menghasilkan model spasial berbentuk peta yang berisikan berbagai informasi untuk dipergunakan oleh stakeholder dalam mengkaji sebaran dan pola ruaya ikan dengan menggunakan perangkat lunak Arc-view. Adapun tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan dalam kegiatan ini adalah: (1) Pembuatan even theme, dimaksudkan untuk menyajikan tabel klasifikasi posisi tangkapan ke bentuk tema lokasi kelas posisi tangkapan ikan dengan menggunakan fasilitas udd even theme. (2) Digitasi, dimaksudkan untuk merubah peta yang tadinya berbentuk analog ke dalam bentuk digital vektor yang memiliki koordinat. Kegiatan ini ditujukan terhadap peta analog salinitas, kecepatan arus dan peta dasar Berau dengan menggunakan fasilitas digitize on screen. (3) Retifikasi citra, dimaksudkan untuk menyesuaikan koordinat citra hasil olahan digital vektor peta dasar Berau agar nantinya dapat dianalisis dengan menggunakan fasilitas image analysis. (4) Pembuatan garis kontur ditujukan kepada semua tema informasi oseanografi yang telah dimiliki baik yang berasal dari citra dan digital vektor dengan menggunakan fasilitas add area jenispolyline. 3.5 Analisis Data 3.5.1 Analisis spasial Analisis spasial dimaksudkan untuk mendapatkan keluaran infonnasi- infonnasi penting dari berbagai tema sebagai data masukan yang dilakukan berdasarkan teknik SIC dengan memanfaatkan metode analisis spasial pada Arcview. Adapun analisis-analisis spasial yang dipergunakan adalah: (I) Diagram Voronoi (Prahasta 2004) ditujukan untuk membangun model spasial sebaran ikan yang tersaji dalam bentuk poligon area berdasarkan sekumpulan posisi penangkapan ikan yang tersebar secara acak dengan menggunakan program tambahan Thiessen Polygon analysis. Berikut ini tampilan hasil dari analisis diagram Voronoi dalam bentuk poligon dari sejumlah titik-titik yang tersebar secara acak: .. .. . '.. ..,..?' UNSUR TlTlK POLYGON Gambar 4 Hasil dari analisis diagram Voronoi (2) Analisis jaring (tracking amlysis), dimaksudkan untuk membangun jalur berbentuk unsur spasial garis yang &pat memperkirakan ruaya ikan berdasarkan posisi dari kelas tangkapan tinggi dengan memperguankan sub fasilitas make one polyline points pada program tambahan X-Tools (Prahasta 2004). Berikut ini contoh tampilan pembentukan jalur suatu objek berdasarkan analisis jalur (tracking analysis): UNSUR TlTlK JALUR (GARIS) Gambar 5 Tampilan hasil analisis jalur pada sekumpulan titik (3) Penambahan luasan (buffering area), dimaksudkan untuk menambah luasan area yang diinginkan dari suatu objek dengan menggunakan fasilitas create buffer (Prahasta 2004). Pembuatan buffer pada titik-titik potensial tangkapan dan perkiraan jalur ruaya dengan radius 3 mil, 5 mil dan 7 mil diiaksudkan untuk membentuk suatu zona potensial penangkapan (ZPPI) yang akan mempermudah operasi penangkapan jika pada titik-titik tangkapan potensial dan ruaya yang telah diperkirakan tidak memperoleh hasil tangkapan yang diinginkan, ha1 ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nath (1993) yang mengindikasikan masih adanya keberadaan sumberdaya ikan pada radius 3 mil, 5 mil dan 7 mil di sebelah kiri dan kanan dari area yang diduga sebagai tempat keberadaan ikan. Gambar berikut ini menjelaskan bentuk-bentuk hasil buffer pada unsur spasial titik dan garis: Gambar 6 Hasil buffer pada unsur titik dan garis (4) Analisis tumpang-susun (overlay annlysis), dimaksudkan untuk mendukung kegiatan interpretasi secara spasial terhadap hubungan antar tiap tema yang telah dibuat (Prahasta 2004). Overlay pada penelitian ini dilakukan untuk menghubungkan antar tema poligon model daerah sebaran ikan dengan tiap tema kontur parameter oseanografi sehingga dapat diietahui informasi oseanografi apa saja yang mendukung terjadinya penyebaran ikan di lokasi penelitian teresebut. Secara matematis analisis tumpang susun diberikan sebagai suatu fungsi ... (Prahasta 2004) yaitu: i . =. .f i : , . >:,I ..................................................................... (1) atau secara teknis persamaan fungsi ini dapat dibuat sebagai sebuah penjumlahan dari beberapa tema (F'rahasta 2004): V = 7 . - .,...- :,; ...................................................................... (2) -'I dengan: YCfl dan Y = Sebagai sebuah produk peta yang berisikan berbagai informasi ' . .. I = tema pertama atau dasar - = tema kedua = tema ke-i secara tampilan ditunjukkan pada gambar berikut ini: Gambar 7 Tampilan analisis tumpang-susun (overlay) (5) Interpretasi (Interpretation), merupakan nilai analisis yang dilakukan secara visual atau kenampakan atas unsur-unsur spasial yang telah dibuat agar dapat diketahui informasi-informasi yang berguna bagi stakeholder seperti: arah ruaya (migrasi) ikan, sebaran (dishibusi) ikan dan kisaran-kisaran parameter oseanografi yang telah diperoleh dari pengolahan data yaitu: SPL, konsentrasi klorofil-a, salinitas dan kedalaman pada daerah ruaya (migrasi) dan sebaran (distribusi) ikan itu sendiri. 3.5.2 Analisis kesesuaian lahan daerah penangkapan ikan Analisis kesesuaian lahan daerah tangkapan ikan dilakukan untuk spesies tertentu yang dominan sebagai spesies yang bernilai ekonomis penting. Untuk menentukan spesies yang bernilai ekonomis penting dilihat berdasarkan data hasil tangkapan ikan selama lima tahun, dari tahun 2001-2005. Berdasarkan hasil tangkapan, ikan akan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ikan pelagis dan kelompok ikan demersal. Selanjutnya, ikan yang dominan sebagai hasil tangkapan dari tiap-tiap kelompok dipilih untuk dilakukan analisis kesesuaian lahan daerah tangkapan untuk jenis ikan tersebut. Berikutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan. Analisis dilakukan dalam 4 tahap, yaitu: (i) penyusunan matriks kesesuaian setiap spesies yang dominan, (ii) pembobotan dan pengharkatan untuk tiap-tiap parameter pada matriks kesesuaian, (iii) analisis spasial dengan tahapan-tahapan seperti yang diuraikan pada sub-bab sebelumnya di atas, dan (iv) analisis overlay (tumpang susun), yaitu proses penampakan coverage, dilakukan untuk menganalisis dan mengidentifikasi hubungan spasial antarafeaturv-feature dari coverage. Analisis dilakukan dengan menggunakan software Arc View 3.3. Pengkategorian kesesuaian wilayah perikanan tangkap untuk kelompok ikan pelagis dan ikan demersal dilakukan berdasarkan parameter oseanografi yang mempengaruhi distribusi dan keberadaan ikan, yaitu suhu permukaan laut, konsentrasi kholofil-a, kedalaman perairan, dan salinitas air laut. Pembobotan untuk parameter-parameter tersebut diperoleh dari studi literatur tentang tingkah laku ikan dan penelitian-penelitian sebelumnya tentang wilayah penangkapan ikan. Sebagian besar informasi tentang tingkah laku ikan, baik ikan demersal m a w pelagis, diperdehdari websitc www.fishbase.org . Suhu mempakan parameter utama dalam mempengaruhi distribusi dan keberadaan ikan. Setiap jenis ikan mempunyai karakteristik dan penyesuaian kisaran suhu optimum clan batas toleransi suhu yang berbeda-beda. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa suhu perairan sangat mempengamhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobilitas gerakan; ruaya, penyebaran dan kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan; masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan. Cakalang merupakan salah satu ikan pelagis yang memiliki karakteristik oseanografi yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian permukaan, sehingga kajian suhu permukaan laut dan klorofil-a akan lebih relevan untuk menjelaskan secara lebih spesifik lingkungan perairan yang didiaminya (Nontji 1993; Mann and Lazier 1996 yang diacu dalam Syahdan 2005). Khorofil menempati posisi kedua setelah suhu, karena tingkat kepentingan ikan akan nutrien tidak lebih tinggi dari suhu (Judianto 2001). Keberadaan khlorofil yang berlimpah dapat diidentifikasikan dengan terjadinya up welling dan thermalfront. Satinitas air laut mempengaruhi keberadaan ikan karena setiap spesies ikan mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda pada kondisi salinitas yang berbeda. Beberapa spesies mempunyai tipe euryhaline dan yang lain mempunyai tipe stenohaline. Parameter kedalaman dianggap dapat mempengaruhi keberadaan ikan, karena ikan mempunyai habitat tertentu yang terletak pada kedalaman perairan yang berbeda. Berdasarkan hal-ha1 tersebut di atas, maka parameter yang akan digunakan dalam kriteria kesesuaian wilayah perairan untuk penangkapan ikan pelagis adalah suhu, khlomfil, kedalaman, dan salinitas. Sedangkan untuk ikan demersal kriteria tersebut ditambah parameter penutupan terumbu karang dan jenis substrat dasar perairan, karena kualitas dasar perairan sangat berpengaruh pada kehidupan ikan demersal. Pembobotan dm kelas kesesuaian (skoring) dari parameterparameter tersebut di atas untuk kriteria kesesuaian wilayah penangkapan kelompok ikan pelagis dan ikan demersal disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel 3. Kelas kesesuaian (skoring) untuk tiap parameter disusun berdasarkan kebutuhan hidup ikan, baik ikan pelagis maupun ikan demersal. Namun karena ikan pelagis maupun ikan demersal mempunyai jenis yang sangat banyak, maka dipilih jenis-jenis ikan tertentu, yang akan dijadikan indikator kebutuhan hidup bagi masing-masing kelompok ikan. Ikan yang menjadi indikator adalah jenis ikan yang paling banyak ditangkap di KKL Berau. Untuk ikan pelagis digunakan 3 jenis ikan, yaitu ikan kembung, tongkol, dan teri. Sedangkan untuk ikan demersal digunakan kerapu, kuwe, dan kakap. Dari website www.fishbase.org diperoleh informasi bahwa ikan pelagis seperti madihiang yellowfin twza (Thunnus aibacmes) hidup di kedalaman antara 1-250 m (Collette 1995). Dogtooth tuna (Gymnosarda unicoior) banyak ditemukan pada kedalaman 10-100 m (Lieske and Myers 1994) dan skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) ditemukan pada kedalaman 0-260 m (Collette 1995). Ikan tongkol jenis Euthynnus ajinis ditemukan pada kisaran kedalaman 0-200 m (FA0 Figis 2005). Ikan kembung (RasrreNiger foughnr) umumnya ditemukan pada kisaran kedalaman 150 m (Riede 2004) dan ikan kembung jenis lain RasfreNiger brochysoma ditemukan pada kisaran 15-200 m (Pauly and Torres 1996). Ikan teri (Sfolephorus commersonnii) banyak ditemukan pada kedalaman depth range 0 - 50 m (Whitehead 1988). Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ikan pelagis umumnya ditemukan pa& kisaran antara 0- >250 m, dan kedalaman rata-rata untuk menemukan spesies pelagis tersebut di atas adalah pada kisaran 100-250 m. Kebutuhan akan suhu perairan ikan madidihang yellow j n tuna (Thunnus albacares) antara 15-31°C (Collette 1995), dogtwth tuna (Gymmsarda unicolor) pada suhu perairan antara 20-28OC (Lieske and Myers 1994), dan skipjack tuna (ffitsowonus pelamis) pada suhu perairan 15-30°C (Collette 1995). Ikan tongkol jenis Euthynnus aflnis ditemukan pada kisaran suhu 18-29°C (Collette 1983) sedangkan ikan kembung Rastrelliger faughni ditemukan pada perairan dengan suhu yang tidak kurang dari 17OC, dan ikan kembung RustreNiger brachysoma ditemukan pada kisaran suhu 20 - 30°C (Riede 2004). Berdasarkan kondisi tersebut di atas, bahwa ikan pelagis umumnya ditemukan antara kisaran suhu 15-3l0C, dan suhu yang sangat sesuai untuk semua spesies tersebut dia atas adalah pada kisaran 20 - 30°C. Parameter khlorofil pada kondisi perairan normal (tidak terjadi blooming plankton), diasumsikan dengan semakin tinggi kandungan khlorofil, semakin banyak ikan yang ditemukan. Sedangkan rata-rata salinitas di perairan laut Indonesia antara 31-32 ppt merupakan salinitas yang paling optimum bagi keberadaan ikan. Tabel 2 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang mengindikasikan keberadaan ikan pelagis terutama jenis &an kernbung, tongkol dan teri Kelas Kesesuaian (Skor) Total Tidak Bobot Sangat Sesuai No. Kriteria Nilai sesuai Sesuai (3) (2) (1) Suhtr 15-20 (15 - >31 20 1 Permukaan Laut atau 20 - 30 Max 30-3 1 0 150 Konsentrasi 1,0660'566Min 0,066-0,565 15 2 Klorofil-a 1,501 1,065 50 (mg/m3) p p 3 Salinitas (ppm) 10 3 1-32 232-33 <3 1- >34 4 Kedalaman (m) 5 >loo-250 0-100 2250 Kelompok spesies demersal hidup pada perairan yang lebih dangkal, yaitu pada kedalaman 0-100 meter, dimana sinar matahari masih dapat menembus kolom air sampai ke dasar perairan sehingga benthos masih dapat hidup didasar perairan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan (1991) menyatakan bahwa biasanya jenis kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antam 40-50 meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30-33 ppt serta suhu antara 532°C. Gunarso (1995) menambahkan bahwa ikan kakap merah yang benikuran besar antara umur 15-20 tahun, umumnya menghuni perairan mulai dangkal hingga kedalaman 6&100 meter (Gunarso 1995). Menurut Lieske dan Myers (1994) kakap merah dari jenis Luljanur argentirnaculattcs hidup pada kedalaman 10-120 m. Ikan demersal dari jenis kerapu sebagian besar hidup di terumbu karang, walau kadang-kadang juga ditemukan di estuari atau batuan karang. Kerapu umumnya berasosiasi dengan dasar yang keras atau berbatu, namun juvenilnya ditemukan di padang lamun, dan ikan dewasa dari beberapa spesies menyukai daerah yang berpasir atau berlumpur. Sebagian besar spesies berada pada habitat yang kedalamannya kurang dari 100 meter, namun beberapa spesies kadangkadang ada di kedalaman 100-200 meter (bahkan sampai 500 meter). Kerapu dari jenis Epinephelus fuscogu~tatusberasosiasi dengan karang, hidup pada kisaran kedalaman 1-60 m (Heemstra and Randall 1993). Jenis ikan kuwe Carangoides rnalabaricus hidup berasosiasi dengan karang pada kisaran kedalaman 20 - 140 m (Randall 1995). Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpukan bahwa ikan demersal umumnya ditemukan pada kisaran antara 0->I00 m, dan kedalaman rata-rata untuk menemukan spesies ikan demersal tersebut di atas adalah pada kisaran 40100 m. Sedangkan kebutuhan akan khlorofil diasumsikan sama dengan ikan pelagis, yaitu semakin tinggi khlorofil semakin sesuai, karena rantai makanan yang terbentuk sebagai penyedia pakan bagi ikan demersal juga semakin banyak. Kebutuhan suhu untuk ikan demersal penting di KKL Berau tidak ditemukan literatur pendukungnya, sehingga diasumsikan bahwa suhu rata-rata perairan tropis antara 28-29°C merupakan suhu yang paling optimal bagi kehidupan ikan demersal. Ikan demersal seperti kakap merah, kerapu, dan kuwe merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang, oleh k a n a itu perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang merupakan perairan yang paling banyak ditemukan ikan jenis ini. Semakin tinggi penutupan terumbu karang, makin sesuai bagi kehidupan ikan demersal. Tabel 3 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang mengindikasikan keberadaan / I Kondisi dasar peraimn 3.5.3 Strategi pengelolaan wilayah perikanan tangkap 10 Terumbu, lamun pasir Lumpur Dengan melihat kondisi di daemh penelitian, strategi pengelolaan wilayah perikanan tangkap yang diperlukan adalah dengan melakukan kontrol terhadap variabel penangkapan. Dahuri (1999) mengemukakan dua langkah altematif, yaitu: (1) kontrol langsung, dan (2) substitusi altematif bagi pengurangan tingkat penangkapan. (1) Kontrol langsung dilakukan melalui beberapa hal, yaitu: I) Penetapan kuota volume penangkapan 2) Pengaturan penangkapan berdasarkan waktu tertentu (closed semon) 3) Pengaturan daerah penangkapan (closed area) 4) Pengaturan cara penangkapan melalui kontrol selektifitas dan kekuatan alat tangkap 5) Pembatasan ukuran ikan yang ditangkap 6) Kontrcl terhadap volume penangkapan, melalui pembatasan jumlah ijin kapal dan pembatasan volume ikan yang dibawa oleh setiap kapal. (2) Substitusi altematif Mencari altematif lain sebagai upaya untuk pengalihan dari cara-cara penangkapan agar tidak tejadi peningkatan hasil tangkapan, perlu dilakukan agar sumberdaya ikan tidak semakin deplesi. 3.5.4 Hirarki penentuan kebijakan penggunaan alat tangkap Alat tangkap yang digunakan di perairan KKL Berau cukup banyak jenisnya dan mempunyai selektivitas yang beraneka ragam. Dalam penelitian ini akan dilakukan klasifikasi terhadap berbagai alat tangkap tersebut untuk menentukan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai digunakan di zona perikanan berkelanjutan perairan KKL Berau, agar sumberdaya di KKL Berau tidak terdegradasi akibat pemanfaatan oleh manusia. Strategi yang tepat dan sesuai untuk menentukan kebijakan penggunaan alat tangkap adalah dengan metode Proses Hirarki Analitik (PHA). Penetapan ini dilakukan untuk mempemleh output strategi yang paling tepat sesuai dengan penepsi stakeholder dalam mengelola wilayah perikanan tangkap KKL Berau. Persepsi stakeholder dalam ha1 ini diperoleh dari beberapa responden yang me~pctkan tokoh kunci dalam pengelolaan perairan KKL Berau. Teknik pengambilan responden dalam rangka menggali infonnasilpendapat stakeholders adalah metode expert judgement (Pendapat Pakar). Pakar ditentukan secara pupsive sampling. Pakar responden bejumlah 12 orang, yang merupakan key persons (tokoh kunci) yang mewakili kelompok-kelompok stakeholders yang diperoleh pada saat identifikasi stakeholders. Kelompok stakeholders ini meliputi setiap unsur yang terkait dengan pengelolaan perairan KKL Berau, yaitu dari unsur birokrasi, akademisi, nelayan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada pengelolaan pesisir. Menurut (Saaty 1991) bahwa pengambilan keputusan dengan PHA dilakukan melalui pendekatan sistem. Pendekatan sistem ini berusaha melihat pennasalahan yang kompleks menjadi persolaan yang sederhana dengan cara membaginya ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Pemahaman terhadap situasi dan kondisi sistem membantu untuk melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Langkah paling awal dalam PHA adalah merinci pennasalahan ke dalam komponen-komponennya (tujuan, kriteria, sub kriteria, dan altematif kegiatan), kemudian mengatur bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk hirarki. Tahapan-tahapan dalam Proses Hirarki Analitik adalah sebagai berikut: (1) Identifikasi Sistem Identifikasi sistem dilakukan dengan cam mernpelajari kriteria alat tangkap ramah lingkungan yang layak digunakan di uura perikanan tangkap di kawasan konsewasi dan menentukan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan. (2) Penyusunan Struktur Hirarki Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh dari level puncak sampai ke level dimana dimungkinkan campur tangan untuk dapat memecahkan persoalan. Dalam penelitian ini dibuat menjadi 4 (empat) level struktur hirarki, mulai dari level alternatif alat penangkapan ikan, level subkriteria, level kriteria, dan level tujuan. Puncak dari hirarki, yang merupakan tujuan akhir, adalah menentukan jenis alat penangkapan yang ramah lingkungan untuk digunakan di zona perikanan tangkap kawasan KKL Berau, dari berbagai alat tangkap yang biasa digunakan nelayan di kawasan tersebut. Level altematif alat penangkapan ikan adalah jenis-jenis alat tangkap yang biasa digunakan nelayan di kawasan KKL Berau, meliputi 14 jenis, yaitu: pancing ladung, pancing tonda, panah ikan, jerat udang, jaring insanglgill net, rawaillong line, bubu, j a ~ gondronglrengge, g bagan apung, pukat cincin, hampang/sero, alat lainlpotas, mini trawl, dan trawl. Untuk mencapai tujuan akhir pemilihan alat penangkapan ikan dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria alat tangkap ramah lingkungan yang dirujuk dari Monintja (2000) dan Arami (2006). Kriteria tersebut dikelompokkan menjadi 4, yaitu biologi, teknis, sosial, dan finansial. Dari keempat kriteria tersebut dimodifikasi lagi oleh peneliti menjadi 11 subkriteria. Kriteria biologi ditunjukkan dengan sifat alat tangkap yang tidak merusak, sehingga pemanfaatannya berkelanjutan. Kriteria sosial ditinjau dari penerimaan masyarakat nelayan sebagai pengguna alat tangkap dan legalitas kegiatan penangkapan secara hukum. Kriteria teknis menunjukkan bahwa alat tangkap secara teknis dapat dikembangkan, meliputi enam sub-kriteria yaitu jenis alat tangkap yang tidak menimbulkan dampak pada ekosistem, mudah dioperasikan, aman bagi nelayan, tidak menimbulkan pencemaran, produksi yang berkualitas tinggi dan aman bagi konsmen. Sedangkan sub-kriteria dalam finansial dipertimbangkan berdasarkan jenis alat tangkap yang menguntungkan bagi nelayan. (3) Membuat Matriks Perbandingan Berpasangan Dilakukan untuk menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing kriteriakepentingan yang berada satu tingkat di atasnya. Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hierarki dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan berdasarkan pendapat dari para pakar atau bukan, namun memahami permasalahan. Pada level kriteria, tiap jenis kriteria dibandingkan dengan kriteria yang lainnya, misalnya kriteria biologi dibandingkan dengan kriteria teknis, kriteria biologi dibandingkan dengan kriteria sosial, demikian seterusnya hingga keempat kriteria tersebut habis dibandingkan. Pada level subkriteria, tiap jenis subkriteria dibandingkan dengan subkriteria yang lainnya, misalnya subkriteria alat tangkap yang tidak merusak dibandingkan dengan subkriteria pemanfaatan berkelanjutan, subkriteria alat tangkap yang tidak merusak dibandingkan dengan subkriteria alat tangkap yang diterima masyarakat nelayan, demikian seterusnya hingga kesebelas subkriteria tersebut habis dibandingkan. Pada level alternatif, tiap satu jenis alat tangkap dibandingkan dengan satu jenis yang lainnya, untuk masing-masing subsubkriteria dan masing-masing subkriteria. Kuisioner untuk matriks perbandingan disajikan pada lampiran 4 (4) Menghitung Matriks Pendapat Individu Dilakukan dengan cara menghiipun semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat matriks pada langkah ke 3 menjadi matriks pendapat individu. (5) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan Untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang ada. Untuk memadukan matriks pendapat individu yang b e d dari responden tersebut menjadi vektor pfioritas gabungan, digunakan rata- rata geomettik (GEOMETRIC MEAN) dengan formulasi sebagai berikut: RGi = rata-rata geomettik baris ke-i m = responden (1 -n) Bi, = vektor prioritas baris ke-i kolom ke-j (6) Pengolahan Horisontal Dimana: Pengolahan horisontal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama. (7) Revisi Pendapat Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai CR (Consisremy Ratio) cukup tinggi yaitu 0,I dengan mencari Root Mean S p a r e (RMS) dan merevisi pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar. Pengumpulan pendapat responden dilakukan dengan menggunakan teknii Focus Discussion Group (FGD), sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Sofhare Expert Choice version 2000 dan Microsofi Excell 2003. Dari analisis ini dapat dihasilkan prioritas penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan unhk spesies-spesies: (i) ikan pelagis dan (ii) ikan demersal. Tabel 4 Matrik berbandiig berpasangan Keterangan: : Subkriteria atau sifat yangdigunakan untuk pembandingan C Al, A2, ...,An : Elemen yang akan dibandiigkan, satu tingkat dibawah C. a12, a13,...,1 : Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ai terhadap Aj. Dalam persoalan pengambilan keputusan, konsistensi penting untuk diperhatikan. Konsistensi ini bertujuan untuk menilai seberapa besar kekonsistensian penialain satu variabel dengan faktor yang lain. Jika nilai konsistensi tinggi, maka penilaian antar variabel sudah baik. Ratio konsistensi dihitung dengan rumus sebagai berikut : Perhitungan akar ciri nilai eigen (eigen value) maksimum dengan rumus : VA = aij x Vp dengan Va = (V aij) Dimana : VA adalah vektor antara VA VB = - dengan VB = V bi VP Dimana : VB adalah nilai eigen - Perhitungan indeks konsistensi (Cl), dengan rumus : CI = h a k r -n n- 1 - Perhitungan rasio konsistensi (CR), dengan rumus : Penjelasan nilai skor yang digunakan untuk menetapkan prioritas antara 1-9 sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Skor penetapan prioritas &lam PHA I1 Intensitas pentingnya - 1 . I I I I 1 Kedua elemen sama pentingnya Elemen vane satu sedikit lebih penting ketimbang elemen yang lainnya Elemen yang satu sangat penting ketimbang elemen yang lainnya Elemen yang satu jelas lebih oentinp: ketimbang - elemen yang lainnya I Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang elemen yang lainnya - - . - I1 Penjelasan I Dua elemen menyumbangkan I sama besar sifat tersebut I1 1 Pengalaman dan sedkit menyokong satu elemen atas elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan 5 menyokong satu elemen atas elemen lainnya Satu elemen dengan kuat 7 disokong dan dominasi terlihat ( dalam p&tek 1 Bukti yang menyokong elemen 9 yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Kompromi diperlukan diantara Nilai diantara dua 2,4,6,8 pertimbangan yang berdekatan dua pertimbangan Sumber: Saaty (199 1) - Stmktur hirarki berbagai subkriteria dalam mencapai tujuan penentuan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai untuk digunakan di zona perikanan berkelanjutan perairan KKL Berau &pat dilihat dalam Gambar 8. Level 1: Level 2: BIOLOGIS Level 3: Level 4: Gambar 8 Diagram hirarki analisis penentuan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai untuk digunakan di zona perilcanan berkelanjutan perairan KKL Berau 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Keadaan umum 4.1.1 Kondisi geografis d m administratif Kabupaten Berau me~pftkan salah satu dari 13 kabupatenkota di Kalimantan Timur. Luas wilayahnya 3.426.070 ha dengan luas laut sekitar 1.222.988 ha. Batas Kabupaten Berau: sebelah barat berbalasan dengan Kabupaten Bulungan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bulungan Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kutai T i u r Secara administratif, Kabupaten Berau terdii atas 13 kecamatan, yaitu Tanjung Redeb, Gunung Tabur, Teluk Bayur, Segah, Kelay, Sambaliung, Derawan, Maratua, Tabalar, Biatan-Lempake, Talisayan, Batu Putih dan BidukBiduk. Delapan kecamatan terakhir merupakan kecamatan yang memiliki wilayah psisir dan laut. Khusus Kecamatan Maratua me~pt3kankecamatan yang terletak di laut. Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Biatan-Lempake me~upakan kecamatan yang baru dibentuk pada tahun 2005 (Gambar 2). KKL Berau terletak antara Karang Pulau Panjang, Tanjung Karangtigau dengan Karang Baliktaba di utara, menghadap ke Selat Makasar ke arah timur dan Semenanjung Mangkalihat di sebelah Selatan. Secara geografis lokasinya berada pada koordinat 02"49' 42.6"- 012' 0.06" Lintang U t a q 117"59'17.16"- 119"2' 50.30" Bujur T i u r . Luas wilayah KKL meliputi seluruh wilayah pesisir dan laut termasuk kawasan mangrove, yaitu 1.222.988 ha, meliputi 7 kecamatan pesisir di atas, kecuali Kecamatan Sambaliung ( W i a w a n ef al. 2005). Terdapat 2 (dua) sungai besar yang mengali ke dalam KKL,yaitu Sungai Berau dan Sungai Tabalar. Sungai Berau mempakan sungai utama yang mengalir jauh dari hulu Sungai Segah dan Sungai Kelay, kemudian menyatu di Kota Tanjung Redeb menuju ke arah laut. Sungai ini mempakan salah satu jalur transportasi utama dari Kota Tanjung Redeb menuju ke wilayah lain di luar Kabupaten Berau, termasuk ke pulau-pulau seperti Derawan, Sangalaki, Kakaban dan Maratua. Tingkat kekemhan Sungai Berau sangat tinggi, sehiigga pada bulan-bulan tertentu sedimen dari sungai ini terlihat hampir sampai ke karang Pulau Derawan. Kabupaten Berau menempati posisi geografis yang strategis b e d ditengah belahan utara Kalimantan Timur. Kawasan pesisimya yang menghadap ke Selat Makasar m e ~ p a k a njalur pelayaran domestik dan internasional yang termasuk jalur padat berpeluang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan menjadi daerah lintas perdsgangan antar pulau dan negara. Kepopuleran potensi perairan Berau menjadikan Berau salah satu lokasi yang masuk di dalam Sulu Sulawesi Mmine Ecoregion (SShE). SSME ini adalah bentuk kejasama pengelolaan antara Malaysia, Philipine dan Indonesia yang telah disepakati dan ditandatangani pada tanggal 13 Februari 2004, dan pada tahun 2007 telah dideklarasi inisiasi 6 negara (Malaysia, Philipina, Indonesia, Papua New Guinea, Solomon dan Timor Leste) untuk mengembangkan pengelolaan coral reef secara bersama, insiatif ini dikenal dengan Coral Triangle Initiaiive dan dalam waktu dekat akan dilanjutkan dengan penandatanganan kerjasamanya (I) Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau kecil di Kabupaten Berau sebanyak 39. Dalam KKL Berau terdapat 3 1 pulau yang tersebar di bagian utara dan selatan KKL. Selain itu juga terdapat beberapa gosong dan atol. Pulau-pulau tersebut tersebar pada 4 kecamatan pesisir, yaitu di Kecamatan Pulau Derawan dan Marahm dibagian utara, dan di Kecamatan Batu Putih dan Biduk-biduk di bagian selatan. Dari 31 pulau tersebut yang berpenghuni hanya 4 pulau, yaitu Pulau Derawan, Maratua, Kaniungan Besar dan B a l i p . Luas masing-masing pulau ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Nama dan luas pulau-pulau kecil dalam KKL Berau I 1 I (2) Topogmfi Bentang daratan Kabupaten Berau didominasi oleh topografi selang ketinggian 100 - 500 m (42,39%). Setelah itu, 26,45% merupakan bentang daratan dengan selang ketinggian 25 - - 100 m. Sisanya terbagi sebagai daerah dengan selang ketinggian antara 8 25 m (8,23 %), dan selang ketinggian 0 - 7 m (3,75 %). Dengan konfigurasi ketinggian bentang daratan Kabupaten Berau didominasi oleh tingkat kemiringan > 4% yang mencapai 51,39% luas daratan. Selang kemiringan berikutnya yang cukup dominan adalah 15 - 40% (2932% dari luas daratan) dan 2 - 5% (1425%). Dengan demikian daerah yang datar (0 - 2% terutama di kawasan pesisir, hanya 4,8 % dari luas daratan Kabupaten Berau. Kondisi topograf~ secara m u m datar (di daerah pesisir), landai sampi bergelombang (wilayah dataran rendah <I00 meter) dan berbukit @egunungan). Daerah dengan ketinggian di atas 1000 m hanya sedikit di wilayah perbukitan dan gunung. Puncak tertinggi adalah gunung Maritam (2487 m). (3) I k h Kondisi iklim di KKL Berau terdiri atas musim hujan dan m u s h kemarau. Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober hingga Mei dengan hari hujan ratarata 15 sampai 20 hari perbulan dan curah hujan terbesar tejadi pada akhir atau awal musim hujan. Musim kemarau berlangsung pada hulan Juli hingga September dengan curah hujan terendah pada bulan Juli. Suhu udara rata-rata berkisar antara 24,8"C- 27,9"C. Suhu udara minimum berkisar antara 19°C23,2"C sedangkan suhu udara m a k s i i m berkisar antara 32°C - 35,6"C. Suhu udara harian rata-rata tidak menunjukkan fluktuasi yang signitikan antara siang dan malam hari. Perbedaan suhu udara maksimum dengan minimum berkisar antara 10°C - 12°C. Berdasarkan klasifikasi Koppen, KKL Berau termasuk tipe iklim alpha, sedangkan menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson kawasan termasuk golongan i k l i A, yaitu hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang tejadi bulan kering. Curah hujan harian di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,6 sampai 21,8 mm dengan jumlah hari hujan antara 4 sampai 28 hari. 4.1.2 Parameter oseanografi Kondisi oseanografi di KKL Berau dipengaruhi oleh d i i i k a a l i Sungai Berau dan dinamika laut lepas Selat Makasar. Beberapa parameter oseanografi yang berpengaruh pada perairan KKL Berau adalah: suhu air laut, salinitas air laut, khlorofil-a, kondisi arus laut, dan kedalaman perairan. 4.1.2.1 Suhu air laut Kisaran suhu permukaan air laut berkisar antara 29,5"C sampai 30,5"C untuk kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau dan berkisar antara 29,5"C sampai 30°C untuk kawasan yang berhadapan dengan laut lepas. Kisaran suhu rata-rata pada dasar perairan untuk kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau berkisar antara 27,5"C sampai 29°C dengan kedalaman perairan 5-20 m dan untuk kawasan yang berhadapan dengan laut lepas berkisar 21°C - 28°C dengan kedalaman 100-200 m. Hasil analisis overlay data suhu permukaan laut berdasarkan data Citra NOAA-AVHRR selama satu tahun, yaitu dari bulan Januari-Desember 2006, disajikan pada Gambar 9. .,............ u I.,." ..,...s n . 1. I.< I In,..... *. 1.4.5 N .m.. urn...a. m.un l...,." I.,.I " ...", K.'.", .. ..s b., P.U: t CII.N01A+YYIR I.nu.ri-D...rnb.r200~ l.X.~*.n.nJ..."n ~ ~ ~ r o - ~ ~ . . n rol c. s n ~ ~ ~ 7.h"" 2001. s*.,., 2000 I. Ob..,"., L.P."O." I I I Gambar 9 Rata-rata sebaran suhu permukaan laut KKL Berau 4.1.2.2 Salinitas air laut Salinitas pada kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau berkisar antara 3 2 3 sampai 33 ppt dan pada kawasan yang berdekatan dengan laut lepas mempunyai salinitas 33,5 ppt. Salinitas pada kedalaman 100 meter untuk kawasan yang berhadapan dengan sungai Berau adalah 33,5 ppt dan pada kawasan yang berhadapan dengan laut lepas berkisar antara 34 sampai 34,5 ppt. 4.1.23 Khlorofil-a Data sebaran khlorofil-a dianalisis berdasarkan citra Terra-MODIS dari bulan Januari-Desember 2006. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan KKL Berau, sebagai pendekatan dalam mengetahui distribusi waktu keberadaan dan daerah konsentrasi ikan. Citra sebaran khlorofil di perairan KKL Berau menunjukkan kondisi yang relatif stabil dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2006, angin musim tidak memberikan pengaruh yang nyata pada sebaran dan konsentrasi khlorofil-a (Gambar 13). Konsentrasi khlorofil-a di KKL Berau berada pada kisaran antara <0,566 - > 1,065 mg/m3. Konsentrasi khlorofilu umumnya tinggi pada perairan di dekat daratan, terutama pada daerah-daerah muara yang mempunyai tingkat sedimentasi cukup tinggi. Tigginya konsentrasi khlorofil-a ini tejadi karena loading nutrien yang cukup tinggi oleh adanya aliran run-offdari daratan yang masuk ke laut. Hasil analisis overlay data sebaran khlorofil- a berdasarkan data Citra Terra-MODIS selama satu tahun, yaitu dari bulan Januari-Desember 2006, disajikan pada Gambar 10. 4.1.2.4 Kondisi arus laut Kondisi iklim pada KKL Berau sangat dipengaruhi oleb kondisi iklim di Samudra Pasifik. Angin musim di daerah ini berlangsung sebagai berikut : - Bulan Januari sld bulan Maret berlangsung musim utara. - Bulan April s/d bulan Mei berlangsung musim pancaroba. - Bulan Juni d d bulan Agustus berlangsung musim selatan. - Bulan September sld bulan Desember berlangsung lagi musim pancaroba. Secara umum iklim akan dipengarubi oleh musim barat dan musim timur. Faktor oseanografi dipengaruhi pergerakan arus secara musiman dan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia yang melewati Selat Makassar. 8::;:s: "O ,. '. A/..* 1-0 &.,ma um.tr.m..n I... .mu N U " I."", r.n,nr. Gambar 10 Rata-rata sebaran khlorofil-a KKL Berau Penelitian tentang Arlindo telah dilakukan dengan menggunakan kapal Baruna Jaya I selama musim timur pada bulan Agustus - September 1993 (South East Monsoon) dan musim barat pada bulan Januari - Maret 1994 (North West Monsoon), dan expedisi Baruna Jaya IV bulan November - Desember 1996 dan Februari 1998. Informasi yang didapat dari penelitian ini digunakan untuk menginvestigasi komposisi dan percampuran massa air di perairan laut Indonesia (Illahude dan Gordon 1996 yang diacu dalam Wiryawan 2005). Arlindo yang membawa massa air dari Pasifik melalui Sangihe Ridge (1350 m), yang terletak di Kepulauan Sangir Talaud 40 LU, 1260 BT ke Selat Makasar melewati Laut Sulawesi sebelah Timur KKL Berau terhambat oleh Dewakang Sill sekitar kepulauan di Sulawesi Selatan dengan kedalaman 680 m. Perjalanan massa air yang melalui Laut Sulawesi dan Selat Makasar diperkirakan sebesar 9.3 Sv (Sdev = 2,5 Sv), yang hampir sama dengan massa air yang melewati rute lain di kawasan timur perairan Indonesia (Gordon et al. 1999 yang diacu dalam Wiryawan 2005). Massa air dasar di Laut Sulawesi pada kedalaman 4.500 m mempunyai potensial temperatur 3,34 OC, salinitas 34,59 psu dengan kandungan oksigen 0,15 mV1 (Gordon et al. 2003 dalam Wiryawan 2005). 4.1.2.5 Kedalaman perairao Kedalaman perairan di KKL Berau berkisar antara 0-1000 meter. Gambar 11 menyajikan peta kedalaman laut di KKL Berau. Gambar 11 Kedalaman laut di perairan KKL Berau Gambar 12 Citra NOAA-AVHRR penyebaran suhu bulan Januari-Desember 2006 - -.--3 -.ll-9 -5 an.*.rr* Gambar 13 Citra TERRA-MODIS penyebaran klorofil bulan Januari-Desember 2006 4 n . r . l 4.13 Kondiii ekosistem Kondisi ekosistem sangat berpengaruh pada keliipahan ikan, karena dalam ekosistem tersebut terdapat habitat sebagai tempat hidup ikan. Ekosistem utama di KKL Berau ada tiga, yaitu: ekosistem mangrove, ekosistem tenmbu karang, dan ekosistem padang lamun. 4.13.1 Ekosistem mangrove Menurut Saenger et a!. (1983) yang disebut dengan sumberdaya mangrove adalah semua jenis pohon, vegetasi tennasuk semak belukar yang tumbuh di habitat mangrove, jenis biota yang berasosiasi, serta proses yang berperan penting dalarn menjaga keberadaan ekosistem mangrove, seperti erosi dan sedimentasi. Dalam ekosistem pesisir dan laut, hutan mangrove memiliki arti penting karena mempunyai fungsi ekologis, sosial clan ekonomi. Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai tempt pemijahan ikan dan udang, pelindung pantai dari abrasi akibat anu dan gelombang dan penyuplai nutrient bagi lingkungan. Secara sosial ekonomi, mangrove dimanfaatkan kayu untuk nmah tangga dan industri, penyedia ikan bagi manusia. Secara estetika, hutan mangrove mempunyai panorama yang indah dengan potensi keanekaragarnan hayati yang tinggi, sehingga patut untuk dijadikan kawasan konservasi dan ekowisata Di Indonesia terdapat sekitar 3,5 juta ha mangrove yang menempati daerah pasang surut. Habitat mangrove terbaik terdapat di sepanjang pantai yang terliidung dengan gerakan ombak yang minimal dan muaramuara sungai. Mangrove yang ditemukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil KKL Berau sebanyak 26 jenis. Hutan mangrove menyebar merata di KKL Berau mulai dari bagian utara di Tanjung Batu, Delta Berau, sampai ke selatan di Biduk-biduk. Selain itu hutan mangrove juga ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Rabu-mbu, Semama dan Maratua di bagian utara KKL, dan di Pulau Buaya-buaya di bagian selatan KKL. Secara keseluruhan luas mangrove di KKL Berau sebesar 80.277 ha, terdiri dari mangrove sejati (bakau, api-api) 49.888 ha dan mangrove tidak sejati (nipah, nibung) 30.389 h a Nipah khususnya mendominasi di sepanjang Sungai Berau, sedangkan bakau dan api-api di Delta Berau dan di sepanjang pantai. Hasil citra Landsat tahun 2000 menunjukkan luasan mangrove di Pulau Panjang adalah 417,38 ha dengan kondisi yang masih baik. Selain hutan mangrove, di Pulau Panjang terdapat vegetasi pantai seluas 148,04 dengan kondisi sedang. Di Pulau Semama terdapat hutan mangrove seluas 77,15 ha dengan kondisi cukup baik. Di Pulau Maratua terdapat hutan mangrove seluas 369 ha dengan kondisi baik, vegetasi pantai dengan kondisi sedang, hutan kaput dengan seluas 2.065,72 ha dengan kondisi cukup baik dan kebun seluas 1 6 6 3 ha. Di Pulau Derawan vegetasi yang ada hanya vegetasi pantai seperti kelapa dan tanaman lainnya seluas 18,33 ha. Di Pulau Sangalaki hanya terdapat vegetasi pantai seluas 10,62 ha dengan kondisi cukup baik. Di Pulau Kakaban terdapat hutan kaput seluas 695 ha dengan kondisi yang masih baik. Di pulau-pulau lainnya s e p d Pulau Sambit, Blambangan, Mataha, Bilangbiilangan, Balikukup, Manirnbora, Kaniungan Besar dan Kaniungan Kecil, vegetasi yang ada hanya vegetasi pantai. 4.13.2 Ekosistem terumbu karang Terumbu karang di KKL Berau tersebar iuas pada seluruh pulau dan gosong yang ada di bagian utara dan selatan KKL. Gosong-gosong yang ada di bagian utara KKL Berau adalah Gosong Mangkalasa, Gosong Masimbung, Gosong Buliulin, Gosong P i Gosong Tababiiga, Gosong Litang, Gosong Muaras dan Gosong Malalungun. Sedangkan gosong yang ada di bagian selatan adalah Gosong BesarISapitan, Gosong Dangalahan dan Gosong Paninsinan. Tipe t m b u karang di KKL Berau terdiri dari karang tepi, karang penghalang dan atol. Bebempa at01 ada yang telah terbentuk menjadi pulau dan ada yang terbentuk menjadi danau air asin At01 yang ada di KKL Berau hanya ada dibagian utara yaitu Pulau Kakaban, F'ulau Maratua dan Gosong Muaras. Luas atol Kakaban adalah 19 km2,Atol Maratua 690 km2,Atol Muaras 288 km2. Penutupan karang di ekosistem terumbu karang berkisar antara 20-50%. Dari hasil 2 kali survei diketahui bahwa rata-rata tutupan karang hidup di daerah utara sebesar 22,78 %, sedangkan di daerah selatan sebesar 27,85 %. Sementara untuk tutupan karang keras diketahui untuk daerah utara sebesar 45,65 %, sedangkan di selatan sebesar 35,05 %. Data persen penutupan karang dari hasil survei dengan Manta Tow dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Tabel 7 Komposisi penutupan karang di perairan utara KKL Berau Lokasi Persen Penutupan Karang (%) Karang Hidup Kamng Keras Pulau Panjang 34,88 24,25 Pulau Derawan 27.78 17,41 41;62 20,88 Pulau Semama 42,SO 26,75 Pulau Sangalaki 33,96 27,12 Pulau Kakaban 37,W 26,43 PulauMaratua Sumber: Survei manta tow 2003 (Wiawan et al. 2005) Tabel 8 Komposisi penutupan karang di pemiran selatan KKL Berau Lokasi Persen Penutupan Karang (%) Karang Hidup Karang Kern 27,73 864 30,O 56,03 40,O 46,80 34,62 24,62 63,03 35,91 4032 17,61 48,96 39,63 41,41 26,41 Pulau Kaniungan Kecil Pulau Kaniungan Besar Pulau Sambit Pulau Belambangan Pulau Mataha Pulau Bilangbilangan Karang Besar Utara Karang Besar Selatanl Pulau B a l i i p Sumber Survei manta tow 2003 (Wiryawan et al. 2005) 4.133 Ekosistern padang hmun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan dii untuk hidup terbenarn di dalam laut. Lamun hidup di perairan dangkal pada substrat pasir, lumpw, puing lamun atau campuran ketiganya pada pulau utama dan rataan terumbu pulau karang. Secara ekologis memiliki h g s i penting bagi wilayah pesisir, yaitu: ( 1 ) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme, misalnya penyu, (3) menstabillcan dasar yang lunak, (4) tempat berliidung organisme dari predator, (5) tempat pembesaran beberapa spesies ikan, (6) peredam arus, (7) tudung pelindung sinar panas matahari bagi penghuninya. Parameter lingkungan utama yang mempengaruhi pertumbuhan lamun adalah keemhan dengan kedalaman kurang dari 10 meter, kisaran temperatur optimum 2830°C, saliitas optimum 35 psu, substrat campuran lumpur dan fine mud, serta kecepatan arus optimal sekitar 0,s ddetik. Padang lamun (seagrass-meadows)atau hamparan lamun ditemukan tersebar di seluruh KKL Berau dengan kondisi yang berbeda, dengan rata-rata luas tutupan kurang dari 10 % sampai 80 %. Luas tutupan padang lamun yang mdah ( 4 0 %) dapat dijumpai pada daerah-daerah yang banyak mendapat gangguan, seperti terbuka pada surut terendah, sedangkan yang mempunyai luas tutupan tinggi (20 % - 80 %) terdapat pada daerah yang selalu tergenang dan terlindung (Wiryawan et al. 2005). Ekosistem padang lamun secara ekologi dan ekonomi sangat penting, namun keberadaanya terancam oleh gangguan dan kegiatan manusia Sampai saat ini upaya restorasi dan konservasi lamun belum banyak dilakukan, padahal keanekmagarnan hayati wilayab pesisir sangat tergantung pada stabilitas ekosistem lamun. Ikan yang terdapat di ekosistem lamun di KKL Berau terdapat 85 jenis dari 34 famili. Survei pada Juli 2003 yang dilakukan oleh Wawan Kiswara (P20 LIPI) dan tim TNC (Wiiawan et al. 2005), menemukan 8 spesies lamun yang ada di KKL Berau yaitu: Halodule univervis, H. pinifolia, Cyamodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Enhatus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovata dan Halophila ovalis. Penyebaran Padang Lamun di KKL Berau dapat ditemukan di sebagian besar Pulau-pulau Kecil di Utara dan Selatan KKL. Padang lamun di Pulau Panjang dapat ditemukan di sekeliliig Pulau Panjang. Spesies yang ditemukan sebanyak 7 spesies yaitu; Enhalus acoroidea, Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Cyamodocea rotudara, Syringodium isoetifolium, dan Halodule pinifolia, dengan jenis yang dominan adalah HaloduZe uninervis dan Halodule pinifolia. Penutupan padang lamun di Pulau Panjang berkisar antara 5 sampai 40 %. Di Pulau Derawan terdapat 6 spesies lamun yang dapat di temukan di sekeliliig pulau, yaitu; Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Cyamodocea rotund&a, &)ringodium isoetifolium, dan Halodule pinifolia, dengan jenis dominan Thalasia hemprichii dan Halophilaovalis. Penutupan padang lamun di Pulau Derawan berkisar antara < 5 % sampai 50 %. Padang lamun di Pulau Semama dapat ditemukan di sekelilii pulau dengan penutupan hampir rata sekitar 10 %. Spesies yang dapat ditemukan adalah Enhalus acroides, Thalasia hemprichii, Cyamodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, dan Halophila ovalis, dengan spesies dominan Cyamodoea rotundata dan Halophila ovalis. Padang Lamun di Pulau Sangalaki terdapat 5 spesies yang terdiri dari Thalasia hemprichii, Cyamodocea rotundata, Halophila ovalis, Enhalus acroides, dan Halodule uninervis, dengan spesies dominan Halophila ovalis. Penutupan padang lamun di Pulau Sangalaki berkisar antara 10 sampai 20°?, sedangkan padang lamun di Pulau Kakaban dapat ditemukan di sebelah barat pulau yang mempunyai pantai relatif landai dengan penutupan hampir rata, sekitar 5%. Spesies yang di temukan adalah Halophila ovalis dan Halodule uninervis. Padang lamun di Pulau Maratua dapat ditemukan di Teluk Pea, Payung payung, Bohe Bukut, dan Tanjung Bawa Penutupan padang lamun di Pulau Maratua berkisar antara 5 sampai 80 %. Spesies yang ditemukan adalah Halodule univervis, H. pinifolia, Cyamodocea rotwtdata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, ThaZassia hemprichii, Halophila ovata dan Halophila ovalis. Padang lamun pada d a b selatan hanya ditemukan pada pulau Mataha, Bilangbilangan, Belambangan, Balikukup, Manimbora, Buaya-buaya, Kaniungan Kecil dan Kaniungan Besar, sedangkan pulau Sambit tidak ditemukan habitat padang lamun. 4.1.4 Kondisi sosial budaya masyarakat Perkampungan dan pemukiman masyarakat nelayan di dalam dan sekitar KKL Berau tersebar di 25 Kampung pada 8 Kecamatan. Jumlah KK dan penduduk dari seluruh perkampungan nelayan sekitar 5.464 KK dan 23.239 jiwa Penduduk terbanyak di Tanjung Batu sebanyak 2.188 jiwa. Kepadatan penduduk tertinggi di Pulau Derawan dan Payung-payung masing-masing 99 dan 83 orang per l a d (Tabel 9). Sesuai dengan kondisi masyarakat pesisir pada umumnya, mata penatharim utarna sebagian besar penduduk adalah nelayan dan petambak. Kondisi kampung yang terletak dekat pantai dan ditunjang dengan keberadam sumberdaya perikanan yang masih relatif baik, menjadikan masyarakat menggantungkan nasibnya di laut. Di beberapa kampung, bertani merupakan rnata pencaharian sampingan penduduk. Tabel 9 Nama kecamatan, kampung dan jumlah penduduk di KKL Berau. Perkampungan nelayan dalam KKL Berau dapat dibagi kedalam 3 kategori, yaitu: perkampungan pesisir, perkampungan pulau kecil dan perkampungan muara. Sesuai dengan pola pergerakan masyarakat nelayan yang dinamis, perkampungan nelayan di daerah ini dalam l i i tahun mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini disebabkan antara lain oleh migrasi yang tin& arus informasi dan komunikasi yang terbuka, serta akses transportasi yang relatif semakin mudah. Penduduk yang mendiami perkampungan nelayan umumnya masyarakat suku Bajau, Sulu, Bugis, Jawa, Mandar, Makassar, Buton, Madura, Manado, T i o r , Banjar, Berau dan Lombok Walaupun terdapat keragaman suku, namun kehidupan sosial di seluruh pemukiman secara umum berlangsung baik. Penduduk sesama suku dan penduduk antar suku hidup berdampingan tanpa tejadi k o d i i sosial. Pembauran dari suku yang ada dapat dilihat dari terjadimya perkawinan antar suku, kebiasaan sehari-hari dan penggunaan bahasa. Dalam pergaulan sehari-hari masyarakat menggunakan carnpuran bahasa Indonesia, Bajau, Bugis clan Berau. Penduduk sebagian be= (90%) m e ~ p a k a npenganut agama Islam. Peran agama Islam dalam kehidupan masyarakat nelayan sangat be=, bahkan keinginan masyarakat untuk bisa melaksanakan ibadah haji merupakan faktor penting bagi kehidupan bermasyarakat. Pengembangan pendidikan dasar merupakan sektor yang sangat penting di daerah ini. Pemerintah Kabupaten Berau telah membangun sekolah tingkat dasar serta kelengkapannya di seluruh kampung. Beberapa perkampungan nelayan yang terletak di muara sungai belum memiki fasilitas pendidikan sejenis. Tingkat kepesertaan anak usia sekolah tingkat dasar yang mengikuti jenjang pendidikan cukup tinggi, namun tidak terlalu banyak yang dapat melanjutkan ke tingkat selanjutnya meski di beberapa ibukota kecamatan telah tersedia Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Lembaga-lembaga formal yang terdapat di perkampungan nelayan adalah Lembaga Pemerintahan Kampung (Kepala Kampung, Sekretaris Kampung, Kepala Urusan, dan Ketua RT), Badan Perwakilan Kampung, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK dan Karang Taruna. Selain itu juga terdapat kelompok arisan, pengajian dan selawatan. Beberapa pengurus organisasi massa dan partai politik juga telah berdiri di sebagian besar perkampungan nelayan. Mekanisme pengambilan keputusan yang berlaku di sebagian besar perkampungan nelayan adalah dengan terlebii dahulu menyelesaikannya melalui Ketua RT untuk selanjutnya diselesaikan oleh Kepala Kampung. Jika hal tersebut belum dapat diselesaikan, maka keputusan akan diserahkan kepada instansi terkait lainnya Pemilik modal, tokoh agama dan tokoh adat memiliki kedudukan yang dihonnati dalam masyarakat. Beberapa tokoh muda yang berpendidikan juga menempati posisi yang penting di masyarakat Sebagian besar bangunan nunah penduduk berbentuk panggung yang terbuat dari bahan kayu dan hanya beberapa yang mempakan bangunan semi permanen. Sumber air rninum dan atau air t a m bagi masyarakat didapatkan dari sumur galian, air hujan, sumber mata air, air sungai clan suplai dari PAM. 4.2 Kegiatan Perilcanan Tangkap Kegiatan perilcanan tangkap merupakan kegiatan utama bagi penduduk yang menetap di pesisir, muara sungai dan pulau kecil dalam KKL Berau. Umumnya nelayan menjual hasil tangkapan kepada pengumpul dan kemudian langsung dikirim ke Malaysia, Surabaya dan beberapa kota luat propinsi dan kabupaten. Penangkapan sumberdaya kelautan yang dimanfaatkan oleh nelayan dalam KKL Berau dapat dibagi kedalam 3 kategori, yaitu area pesisir dan muara sungai, paparan terumbu karang dan laut dalam. Area penangkapan pada tenunbu karang ditentukan bedasarkan atas penilaian keadaan terurnbu karang di suatu lokasi. Lokasi yang dipili terutama adalah lokasi memiliki tenunbu karang yang cukup luas dan bagus, serta merupakan tempat perliidungan dan bertelur ikan atau udang. Selain itu nelayan juga menyatakan bahwa di lokasi-lokasi tersebut relatif terlindung dari pengaruh angin temtarna saat musim utara, serta kondisi perairannya cenderung jernih. Jenis alat penangkapan ikan 4.2.1 Jenis dan jumlah alat tangkap yang ada di perairan KKL Berau menurut survei bersama antara D i Kelautan Perikanan Kab. Berau dengan WWF dan TNC pada bulan Februari 2005 sampai dengan bulan Juni 2005 disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Jenis dan jumlah alat tangkap bulan Februari - Juni 2005 No Alat Tangkap 1 Pancing/tonda (kedo-kedo) Pancing ladung (rinta) Panah ikan F'ukat I jaring: gill netlpukat Pukat c h i n Jaring udang / Rengge gondrong Jerat udangl Perangkap Bagan apung (kapavpelampw) Bubu Jumlab Jenis Ikan 63 Demersal& pelagis Demersal & pelagis Demersal Demersal & pelagis Pelagis Demersal Pelagis Demersal Pelagis & Demersal Mini trawl Demersal Tabel 10 lanjutan No AhtTangkap Jnmlah Jenis Iknn 12 Trawl 36 Demersal 13 Hampanglsero 0 Demersal 14 Alat laimya (penyambang, potas, kompresor, bom ikan dll) 110 Demersal Total AM Tangkap - 787 - Sumber: Program Bersama WWF, TNC,DKP Kabupaten Berau (2007) Jenis dan jumlah alat tangkap menurut survei bersama pada bulan Juli 2005 sampai dengan Februari 2006 disajikan dalam Tabel 11. - Tabel 11 Jenis clan jumlah alat tangkap bulan Juli 2005 Februari 2006 No Alat Tan~kap Jnmlah Jeais Iknn - 1 Pancing tonda (kedo-kedo) 135 Pelagis 2 Pancing ladung (rinta) 279 Demersal & pelagis 3 Jaring: gill nett'pukat 236 Demersal & pelagis 4 Pukat cincin 21 Pelagis 5 Jaring udang/Rengge gondrong 152 Demersal 6 Jerat udangl perangkap 18 Demersal 7 mP Apung 47 Pelagis 8 Bubu 29 Demersal 9 Rawaillongline 55 Demersal& Pelagis 10 Mini trawl 113 Demersal 11 Trawl 17 Demersal 269 Demersal 12 Alat laimya (penyambang, potas, Kompresor, bom ikan, dll) Total AM Tangkq 1371 Sumber: Program Bersama WWF, TNC, DKP Kabupaten Berau (2007) Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tejadi peningkatan jumlah alat tangkap hampir dua kali lipat hanya dalam waktu kurang dari 1 tahun, yaitu selama bulan Juli 2005-Februari 2006. Hal ini menunjukkan bahwa upaya penangkapan di perairan KKL Berau mengalami peningkatan yang tajam dan hal ini dapat sangat membahayakan bagi kelestarian sumberdaya ikan di KKL Berau. Berikut ini diuraikan bentuk-bentuk kegiatan dan alat penangkapan ikan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dalam KKL. Gambar alat-alat penangkapan ikan disajikan pada Lampiran 5. (1) Pancing tonda (kedo-kedo) Pancing merupakanjenis alat tangkap paling banyak digunakan dengan teknik dan jenis yang berbeda. Dua jenis pancing yang digunakan di KKL Berau adalah pancing tonda dan pancing ladung. Pancing tonda adalah jenis pancing yang pengoperasiannya dengan ditarik perahu kecil dengan mesin temple atau perahu layar. Pengoperasiannya dilakukan pada siang hari. Komponen dari pancing tonda adalah: 1) tali utama, bahan umumnya tali plastik dengan panjang 50-100 m, 2) kilikili (swivel),3) tali kawat, 4) mata pancing (hook), bisa tunggal atau ganda, 5) umpan tiruan. Sasaran utama alat ini adalah jenis ikan pelagis seperti tenggiri, tongkol dan tuna. Selain jenis ikan komoditas di atas, beberapa kelompok nelayan melakukan kegiatan pancing ikan hiu. Penangkapan ikan hiu dianggap cukup menguntungkan - karena harga satu kilogram sirip berkisar Rp 80.000 Rp 150.000 tergantung ukwan dan jenisnya Penjualan produk ini terutama ditujukan ke Surabaya dan Tarakan. - Hasil tangkapan ikan hidup tiap nelayan per hari berkisar 1 3 kg, ikan karang lainnya 5 - 10 kg serta ikan tongkol dan sejenisnya 10 - 30 kg. Untuk hasil tangkapan ikan hiu paling tidak 1 ekor setiap minggunya Apabila dibandiigkan sepuluh tahun yang laly hasil tangkapan ikan hidup berkisar 20 kg, ikan karang lainnya 50 kg serta ikan tongkol dan sejenisnya 50 kg. Ikan hiu sepuluh tahun yang lalu setiap nelayan dapat memancing lebii dari 1 ekor setiap minggunya. Kegiatan memancing dilakukan oleh k a m laki-laki dengan anggota 1 orang. (2) Panciag ladung (rinta) Pancing ladung, atau sering juga disebut dengan 'pancing ulur' atau 'pancing labuh', adalah jenis pancing yang dioperasikan dengan diam di tempat. Komponen dari pancing ladung adalah: 1) tali pancing (line), 2) mata pancing (hook), dan 3) pemberat (sinkrs). Lokasi pemancingan umumnya di karang-karang, perairan dangkal, rumponlromping. Sasaran utama menangkap dengan alat ini adalah ikan hidup seperti sepxti napoleon, kerapu dan sunu. Harga penjualan kedua jenis ikan ini cukup tin@ dengan permintaan cukup besar. Sejak tahun 1987 penangkapan jenis ikan hidup sangat tinggi seiring dengan harga dan permintaan yang menguntungkan. Penampung di tingkat lokal sebagian besar memasarkan hasil penjualannya dalam bentuk hidup untuk pasaran ekspor dengan negara tujuan Malaysia, Hongkong dan beberapa kota di luar pmpinsi. (3) Panah ikan Panah ikan adalah jenis alat tangkap yang dioperasikan dengan mengejar dan menembak ikan target dengan menggunakan paaah. Ikan target biasanya adalah jenisjenis ikan yang bendwan cukup besar, seperti hiu, pari, gurita dll. (4) Jaring Jaring merupakan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan, terutama jenis ikan karang. Jaring digunakan pada perairan yang berkedalaman 1 - 10 meter. Sesuai dengan jenis dan penggunaannya, jaring atau pukat terdiri dari beberapa jenis, seperti jaring h a n g (gillnet), pukat pantai (beach seine) dan pukat tarik (purse seine). Jarring insang adalah alat tangkap yang bexbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris atas dan ris bawah. Besar mata jaring bewariasi disesuaikan dengan sasaran yang akanditangkap. Jenis ikan yang ditangkap dengan menggunakan jaringlpukat terutama ikan putih, belanak, batonang dan sejenisnya. Kegiatan menjaring dilakukan oleh laki-laki ini dengan jumlah 2 - 3 orang. Hasil tangkapan ikan tiap nelayan setiap harinya hanya berkisar 20 kilogram. Hasil ini jauh menurun diband'igkan 10 tahun ldu yang mencapai 50 sampai 100 kilogram. Kondisi ini semakin dipersulit dengan semakin jauhnya ares penangkapan dan semakin lamanya waktu kegiatan penangkapan. (5)Pukat cincin (DogoVdankh seine) Alat ini disebut pukat cincin karena dilengkapi dengan cincii dimana tali cincin (purse line) dimasukkan kedalamnya Adanya cincin dan tali ini menyebabkan jaring yang semula tidak berkantong, akan membentuk kantong pada tiap akhir operasi penangkapan. Kegiatan penangkapan pukat cincin ini dilakukan dari sebuah perahu bermotor dan ditarik dengan mengepung suatu daerah perairan. Penangkapan dengan pukat cincin merupakan usaha yang sifamya aktif, karena men& kawanan ikan. Opemi penangkapan dilakukan di malam hati, narnun tanpa menggunakan lampu Sasaran pukat cincin adalah ikan pelagis yang bergerombol. Mat tangkap dog01 terdii dari jaring yang panjang dengan kantong menggunakan alat untuk menyeret dan menjaring ikan atau udang. Hasil tangkapan tiap nelayan dengan alat ini dalam satu hari berkisar 1 - 30 kg. Kegiatan penangkapan dilakukan oleh k a w laki-laki dengan anggota 1 - 2 orang. Sepuluh tahun yang lalu hasil tangkapan dengan dogol setiap harinya tidak kurang dari 30 kg. (6) Jaring ndanglrengge gondrong (trummel net) Jaring gondrong me~pakanjaring yang terdiri dari tiga lapis baik menetap atau hanyut yang ditarik menurut arusJkapaI atau ditarik salah satu sisinya Lapisan jaring tersebut akan menyebabkan ikanhdang tersangkut pada jaring. Produk utarna yang ditangkap dengan alat ini adalah udang dengan harga jual - bewariasi Rp 8.000 95.000kg menurut ukuran dan jenis. Penjualan udang terutama ditujukan kepada perusahaan pembekuan PT.Mina Nusa Ikatama di Pisang-pisangan dan memenuhi pasar lokal. Hasil tangkapan tiap nelayan dengan alat ini dalam satu hari berkisar 1 - 5 kg. Kegiatan penangkapan dilakukan oleh kaum laki-laki dengan anggota 1 - 2 orang. Sepuluh tahun yang lalu hasil tangkapan udang dengan jaring - gondrong setiap harinya berkisar 10 50 kg. (7) Bagan apung (bout operated lzjl net) Mempakan modifikasi dari bagan tancap. Komponen dari bagan adalah jaring bagan, nunah bagan, serok, dan lampu. Pada bagan apung rumah bagan didirikan di atas perahu. Penggunaan alat tangkap bagan perahu terbatas pada bebe.rapa nelayan di daerah selatan perairan KKL. Kegiatan penangkapan menggunakan lampu yang dioperasikan oleh satu perahu. Ikan yang ditangkap adalah jenis pelagis kecil. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki dengan anggota 7 orang. (8) Bubu (boaompot) Usaha penangkapan menggunakan bubu dioperasikan pada dae.rah-daerah sekitar terurnbu karang dengan membuat kamuflase di sekitat lokasi penangkapan. Sasaran utamanya adalah menangkap ikan karang. Pengangkatan bubu dilakukan setiap 2 hari. Penangkapan ikan menggunakan bubu sebagai alat tangkap dilakukan oleh kaum laki-laki. (10) Rnwai (long line) Teknik penangkapan dengan mwai dasar ditempatkan pada atau dekat dasar peraim. Alat ini terdiri dari tali utama yang cukup panjang, serta tali cabang dengan jarak tertentu atau berdekatan. Produk yang ditangkap dengan menggunakan rawai dasar terutama adalah jenis ikan hiu dan ikan kerapu. Kegiatan penangkapan dilakukan oleh kaum laki-laki dengan anggota 1 - 2 orang. (11) Mini trawl Kegiatan penangkapan dengan trawl sangat banyak jurnlahnya dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir selatan perairan KKL. Jenis jaring yang digunakan adalah jaring yang ditarik, terdiri dari kantong berbentuk kerncut, tertutup ke arah ujung oleh kantong dan melebar ke arah depan dengan adanya sayap. Alat ini ditarik oleh satu kapal dan dipakai di dasar air. Kegiatan penangkapan dilakukan sepanjang tahun. Produk yang ditangkap adalah udang dan ikan campuran. Penjualan udang terutama ditujukan kepada perusahaan pembekum PT. M i Nusa Ikatama di Pisangpisangan dan memenuhi pasar lokal. Ikan campuran setelah diolah juga dijual ke pasar lokal. Hasil tangkapan tiap nelayan untuk satu hari m g k a p a n berkisar 1 - 15 kg. Kegiatan ini dioperasikan oleh kaum laki-laki dengan tenaga kerja beranggotakan 1 - 2 orang. DaIam kurun waktu 10 tahun terakhir, harnpir semua nelayan pengguna mini trawl mengeluh dengan semakin kurangnya hasil tangkapan yang mereka peroleh. Sebagai perbandingan hasil tangkapan udang dalam jangka waktu yang sama didapatkan hasil28 - 40 kg. (12) Hampanglsero/beIPt/kelongltogo(barrier,fence, weir) Penangkapan ikan dengan teknik belatlkelong merupakan jenis perangkap ikan berbahan kayu dan atau jaring yang ditempatkan pada bagian pesisir. Ikan hasil a demersal yang diambil saat air surut. Sedangkan togo biasanya tangkapan b e ~ p ikan digunakan di bagian tepi sepanjang sungai hingga ke muara sungai. Togo dioperasikan saat air pasang dan diambil hasilnya saat air tenang. Terdapat dua jenis togo yaitu untuk menangkap udang dan menangkap ikan. Seluruh kegiatan penangkapan dengan teknik ini dilakukan oleh kaum-laki-laki. Bahan perangkap yang diguoakan bmpa patok kayu dan jaring. Hasil penangkapan belat dm kelong dilakukan saat air surut. Kegiatan ini merupakan teknik penaugkapan dengan metode. Jenis produk yang ditangkap merupakan ikan campuran. (13) Menyelam (compressor hookah) Beberapa nelayan juga melakukan penangkapan dengan teknik menyelam dengan menggunakan alat bantu kompressor hookah. Teknik penangkapan ini menggunakan perahu motor yang dilengkapi dengan kompresor (hookah) serta selang yang panjangnya mencapai 200 - 300 meter. Jenis ikan yang ditangkap umumnya lobster, ikan kerapu/sunu, lola mutiara, dan lain-lain. Dari penangkapan lobster memberikan pendapatan yang cukup besar. Saat ini untuk satu kilogram lobster dengan ukuran clan jenis tertentu dijual dengan harga berkisar antara Rp 70.000 - Rp 150.000. Saat melakukan penyelaman, para penyelam juga mengambil teripang, ikan kerapu dan mu,sertajenis lainnya. (14) Penangkapan dengan bahan peledak (bhting) Beberapa pihak masih menggunakan alat peledak untuk menangkap ikan. Untuk data kongkrit dan jumlah serta aktifitas penggunaan alat ini tidak tersedia dengan baik. Namun berdasarkan informasi dari masyarakat dan petugas PPL Perikanan, diietahui masih ada beberapa kelompok yang menggunakan teknik penangkapan ini. Sebaran spasial beberapa jenis alat tangkap disajikan pada Gambar 14-17. 4.2.2 Nelayan Nelayan &lam melakukan penangkapan sumberdaya kelautan berlangsung selama 12 bulan setiap tahunnya Aktivitas di laut bagi masyarakat sangat tergantung kepada kondisi musim dan angin. Berdasarkan kondisi dam dan kelimpahan sumberdaya kelautan, waktu yang p a l i i menguntungkan yakni saat musim angin utara (September hingga Maret tahun berikutnya). Hasil penangkapan yang paling tinggi yakni pada bulan Maret dan September setiap tahunnya. Umumnya waktu kegiatan penangkapan dilakukan pagi hari mulai pukul 05.00-17.00 dan sore hari mulai pukul 18.00-05.00 WIT I Legenda: I Sumber Pew Tahun 2005 2. ObsaNasi Lapangar I lnzet Lokasi Penelitiin I /v mtn M m . kec-mn I". Ben" I unorov. Sumber Peta: Tanun 2005 2. Obrervari LspanQsn lnzet Lokasi Penelitin Gambar 15 Sebaran pukat clan pukat cincin Cora Daormh Conyobaron T r a w l dmn Y l n I T m w l I Mint trawl Trawl N ~ a 1 . sAdm. k * c a m a U n Kab. B*nu Pulau Karang Manprove 1. Propram Berrama Tahun 2005 KKL Befa 2. Observasi Lapanpan I L lnret Lokasi Penelitian I I I Gambar 16 Sebaran trawl, dan mini trawl _t Gambar 17 Sebaran rengge dm jerat udmg 4.23 Metode penangkapan ikan Meliputi metode penangkapan ikan, fishing base, fishing ground, waktu tempuh dari fishing base, persiapan, musim penangkapan, kearih lokal &lam upaya penangkapan ikan. Kemampuan dan pengetahuan nelayan dalam mengelola atau memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan .relatif maju. Hal ini selain karena kemajuan dan keinginan nelayan kampung tersebut juga infonnasi tambahan dari pihak dari luar kampung seperti NTB, Jawa, Sulawesi clan sekitar Kaliantan bahkan Malaysia. Pengetahuan yang d i i i l i i oleh kaum laki-laki diantaranya menangkap ikan dengan pancing, bubu, bekarang dan menanjuk, pukat, mendaring, mini trawl, tambak, mendari, kompresor &n jaring. Sedangkan kaum perempuan antara lain memiliii pengetahuan untuk memasak, mendaring, tambak &n bekarang. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya di la& tidak dikenal hukum atau aturan adat. Beberapa perkampungan yang dahulu memili ahvan dan kesepakatan &lam pengelolaan perikanan, saat ini sudah tidak ada lagi. 4.2.4 Hasil tangkapan ikan Kegiatan penangkapan dilakukan pa& daerah penangkapan di lautlpantai dan perairan umum yang dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan armada perahu, motor tempel dan kapal motor. Sampai saat ini usaha penangkapan nelayan telah menunjukkan banyak kemajuan seiring dengan kegiatan motorisasi perahulkapal nelayan yang meliputi daerah penangkapan kecamatan Pulau Derawan, Talisayan, Biduk-Bid& Sambaliung dan Gunung Tabur. Jenis ikan yang tertangkap di perairan Kabupaten Berau lebii dari 33 jenis, meliputi jenis ikan pelagis, dan ikan demersal. Dari beberapa jenis ikan tersebut terdapat ikan-ikan dengan nilai ekonomis tinggi, baik di pasaran domestik maupun ekspor antara lain bawal, kerapu, kepiting, teripang, lobster, udang dan lain-lain. Khusus komoditi udang mempunyai nilai komersil yang relatif stabil dibandiig komoditi lain yang diekspor dalam bentuk hidup dengan negara tujuan Jepang, Taiwan, Hongkong, Singapura dan lain-lain. Jumlah hasil tangkapan ikan pelagis di Perairan KKL Berau dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil tangkapan ikan pelagis di perairan KKL Berau Jenismhun La~ang Alu-alu Selar Tai Trmbang Lemuru Golok parang Terubuk Kembung Tenggiri Cakalang Tongkol Ekor Kuning 2001 109.3 243.5 . 138.4 111.1 134.5 8.4 6.9 18.5 441.2 111.7 0 0 129.4 2002 138.5 316.5 258.4 135.3 192.7 16.2 7.4 17.8 528.9 221.6 135.3 416.4 110.8 2003 318.9 132.1 339.2 464.7 186.7 20.3 9.2 20.5 471.1 313.5 178.3 523.3 150.7 2004 366 126.7 437.4 663.8 149.9 25.5 18 25 577.3 361.2 98.3 536.7 191.1 2005 TOTAL 379.4 1,312.10 217 1,035.80 432.4 1,605.80 578.4 1953.30 155.7 819.50 33.5 103.90 36.3 77.80 24.9 106.70 464.6 2,483.10 414.9 1,422.90 123.6 535.50 573 2,049.40 203.6 785.60 Sumber : Statistik Perikanan Kab. Berau (2005) Berdasarkan data hasil tangkapan perikanan ikan pelagis dari tahun 20012005 dapat dilihat bahwa ikan kuwe dan ikan kembung menunjukkanjumlah hasil tangkapan yang selalu dominan dari tahun ke tahun, namun ada tren produksi yang semakin menwn. Sedangkan ikan tongkol justru menunjukkan produksi yang semakin meningkat dengan kurva pertumbuhan yang cukup tajam. Sehingga dalam ha1 ini peneliti menganggap bahwa ikan tongkol merupakan ikan pelagis penting yang perlu diietahui dan diinasi kesesuaian wilayah penangkapannya. Gambar 18 menggambarkan tren produksi perikanan tangkap ikan pelagis di perairan KKL Berau antara tahun 2001-2005. Kelompok ikan laimya yang banyak ditangkap di perairan KKL Berau adalah ikan-ikan karang yang termasuk dalam kelompok ikan demersal. Jumlah hasil tangkapan ikan demersal di Peraimn KKL Berau dapat dilihat pada Tabel 13. 0 -Kembung i~ +Tenggiri 2001 2002 2003 2004 2005 Gambar 18 Grafk hasil tangkapan ikan pelagis di perairan KKL Berau Tabel 13 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan KKL Berau Jenis 2001 2002 2003 Kerapu 469.5 523.3 517.1 Kuwe 579.8 551.2 514.3 Biji Nangka 190.2 281.1 316.3 Kakap 529.8 434.9 404.8 153.6 335.2 291.9 Bawal Hitam Bawal Putih 401.4 249.2 336 Japuh 22.2 19.5 17.2 Merah 372.7 404.6 260.7 Bambangan Rajungan 8.6 7.4 9.3 Kepiting 139.2 223.8 200.9 Udang Berong 3.9 8 10 Udang Widu 21.9 48.2 68 Udang Putih 942 937.3 810.7 Udang Dog01 716.7 697.6 688.1 udang ~ a & 379.8 637.8 709.2 Rata-rata 4,351.50 4,807.90 4,640.20 Sumber : Statistik Perilcanan Kab. Berau (2005) 2004 2005 TOTAL 474.7 481.9 316.4 534.4 325.2 473.7 18.3 331.4 431.9 323.3 357.6 480.1 515.4 514.1 26 347.5 2,416.50 2,450.50 1,461.60 2,384.00 1,621.30 1,974.40 103.20 1,716.90 21.7 218.4 25.1 123.4 780.2 722.4 671.9 5,037.20 26.4 73.40 241.7 1,024.00 30.3 77.30 107.6 369.10 687.4 4,157.60 651 3.475.80 700.5 3i099.20 5,117.50 4,790.86 Data hasil perikanan tangkap ikan demersal menunjukkan bahwa kerapu dan kakap merupakan jenis yang dominan penting, walaupun ada kecenderungan tren semakin menurun dari tahun ke tahun. Gambar 19 Grafkhasil tangkapan ikan demersal di perairan KKL Berau 4.2.5 Sebaran spasial daerah penangkapan ikan Sebaran daerah penangkapan ikan untuk bebeiapa kelompok ikan, baik ikan ekonomis penting rnaupun ikan yang termasuk jenis langka dan dilindungi dapat dilihat pada gambar 20-22. I Pat. Dmanh Panyab=nn Lumbm-Iumba dan Hlu I Legendr: % 0 Dwvno HI" Lumb.4umb. Y..U 1 nu* v ~unlop..dun*~s y T"niop.trun~lU. N ~ a t a *dm. m kecsmatmn Kab. Bmnu PuIau Kmnna Kannp Lmutmhp Sumber Pet.: 1. Propram Bersama KKL Bern Tahun 2005 2. Observasi Lapangan lnzet Lokasi Penelitin I I Gambar 20 Sebaran keberadaan lumba-lumba dan hiu I 1. Prcgram Bemama Tahun 2005 2. Observssi Lapangan - 8 o 1 KKL B e 8 162432 Kllomete lnzet Lokasi Penelitin Gambar 21 Sebaran daerah penangkapan biota yang dilindungi .. . Legend.: *In Crmpur IranK*npu IranMenh hnPutih hntonpkol Kmnng /vBatas Bdm. k r . & n u I Kab. Benu I Pulau U n n g I K.nna LauLshp Sumber Pets: 1. Prcgram Bermma KKL Be Tahvn 2005 2. Observasl Lapangan I - lo Gambar 22 Sebaran daerah penangkapan ikan ekonomis penting 0 10 Kilometers I 5 PEMBAHASAN 5.1 Zonasi Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap Zonasi sangat penting untuk diterapkan &lam kawasan konservasi unhrk menjamin perimbangan pemanfaatan dan daya dukung kawasan, serta untuk menghindari konflik &lam pemanfaatan kawasan. Zonasi diterapkan di KKL dengan tujuan untuk: (1) Memberikan perlindungan terhadap ekosistem yang penting atau kritis dalam proses proses ekologi (2) Mengatasi konilii pemanfaatan sumberdaya untuk menjamin kegiatan ekonomi berkelanjutan. (3) Menjamin kualitas alam atau budaya dengan mengakomodasi pemanfaatan yang bertanggung jawab. (4) Menjamin kawasan yang nrsak untuk p u l i kembali afau direhabilitasi. Zonasi mendefmisikan apa yang boleh dan apa yang dilarang pa& zona-zona yang berbeda, sesuai dengan pengelolaan sumberdaya alam, pengelolaan jasa lingkungan (sumberdaya budaya), pemanfaatan oleh pengguna (masyarakat dan wisata), akses perhubungan, pengembangan taman laut, pemeliiaraan, dan operasional. Melalui pengelolaan zonasi, pembatasan-pembatasan pemanhtan yang diijinkan dan pengembangan kawasan konservasi dibangun. Zona-zona menunjukkan dimana berbagai strategi untuk pengelolaan dan pemanfsatan yang sesuai untuk mencapai tujuan pengelolaan KKL di masa datang. Analisis zona kesesuaian wilayah perikanan tangkap dilakukan untuk spesies tertentu yang dominan sebagai spesies yang bernilai ekonomis penting. Berdasarkan analisis terhadap hasil tangkapan ikan, &pat diketahui bahwa spesies ekonomis penting yang dominan adalah kelompok ikan pelagis dan ikan demersal. Zonasi kesesuaian dilakukan dengan melakukan overlay berbagai parameter kesesuaian untuk masing-masing kelompok ikan yang tersebut di atas. Bobot diberikan untuk mendapatkan nilai spasial yang maksiial dan minimal sesuai dengan pengkategoriannya. Dari hasil analisis tumpang susun (overlay) dari keempat parameter tersebut dipemleh peta kesesuaian wilayah penangkapan untuk kelompok ikan pelagis dan demersal yang disajikan dalam Gambar 23 dan 24. 5.1.1 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis Berdasarkan hasil overlay parameter suhu, khlorofil, dinitas, dan kedalaman perairan diketahui bahwa daerah yang sesuai untuk penangkapan ikan pelagis adalah perairan di luar m u m sungai Sungai Berau dan di sekitar Kamng Besar. Perairan di wilayah ini merupakan perairan yang subur dengan kandungan khlomfil- a yang tinggi. Perairan di antara P. Kakaban dan P. Maratua, serta perairan di sekitar Karang Gosongan juga mempakan perairan yang sangat sesuai untuk ikan pelagis. Namun perairan ini mempakan daerah ruaya bagi beberapa jenis biota yang dilindungi seperti paus, lumba-lumba, hiu, dan penyu (delineasi garis wama bim), s e h i a wilayah tersebut sebaiknya dijadikan sebagai zona inti diiana tidak diijinkan adanya penangkapan (no toke zone). 5.13 Kesesoairn wilayab penangkapan ikan dememl Selain parameter suhy konsentrasi khlorofil, dan kedalaman pemiran, kesesuaian wilayah penangkapan ilcan demersal mempe~imbangkanjuga paramater kondiii dasar perairan dan pentupan kamng, karena ikan demersal hidup di dasar perairan sehingga ekosistem dasar perairan me~pi3kan habitat yang sangat menentukan keberadaan ikan demersal. Wilayah perairan yang sangat sesuai untuk penangkapan ikan demersal adalah perairan di muam Sungai Beray perairan karang bagian selatan yaitu di antara Karang Besar dan P. Manimbora, serta perairan di sekitar P. Bilang-bilangan. Kondisi perairan disini umumnya dangkal dengan ekosistem karang yang relatif masih bagus sehingga ikan kamng banyak ditemukan. Perairan di sekitar P. Panjang juga merupakan wilayah yang sangat sesuai bagi penangkapan ikan demersal. Di perairan ini banyak ditemukan jenis ikan demersal seperti kerapu dan ikan merah. Namun karena di perairan tersebut ditemukan hiu dan duyung, maka perairan tersebut sebaiiya tidak dijadikan zona penangkapan ikan. Cat. K a a a . ~ . h n Wllmyah Camaa.kapan I k a a P a l a m b ... ILau Legend.: OI 8.np.1 ...ud ".I ffl.k...U.l K.b. B.," P U I ~ UK a n n g K.r.g I W.ngro.* N B a 1 . s Adm. kocamamn 8umb.r Pam: 1 ProQram Bersama KKL B e n u , Tshun 2 0 0 5 , a k a h 1 5 0 0 000 2 Pel. Kedalaman Jawatan Hidro-oaeanografl T N I A L . Tahun 2007. Skaia 1 200 000 3 Observatl Lapanpan .+. - 40 o S 10 Kllometar. lnzet L o k a r i Penelltian Gb. 23 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis di KKL Berau Gb. 24 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan demersal di KKL Berau 5.2 Hirarki Pemilihan Alat Tangkap Ramab Lingkungan Arimoto (1999) menyatakan bahwa teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang sedikit mungkii berdampak negatif terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat bempa kerusakan dasar perairan (benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya tehadap polusi. Dampak lain adalah menurunnya biodiversity, tertangkapnya bycatch serta tertangkapnya ikan-ikan muda. Monintja (2000) menyatakan bahwa seuua teknis suatu alat tangkap ikan dikatakan nunah lingkungan apabila memenuhi kriteria: (I) mempunyai selektivitas yang tinggi, (2) tidak m e ~ s a khabitat terumbu karang, (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi, (4) tidak membahayakan operator (nelayan), (5) hasil sampingan (by-catch) rendah, (6) dampak terhadap biodiversity kecil, (7) tidak menangkap ikan yang dilindungi, (8) hasil tangkapan tidak melebihi jumlah yang boleh dimanfaatkan (TAC), (9) ala! tangkap tersebut menggunakan sedikit bahan bakar, (10) secara hukum alat tersebut legal, (1 1) nilai investasi kecil, (12) hasil produksi baik dengan harga yang kompetitif. Berdasarkan hal-ha1 tersebut di atas, maka dalam menentukan rencana pemilihan alat tangkap beberapa ha1 yang perlu dipertimbangkan adalah: (I) selektivitas alat tangkap, (2) pemanfaatan yang berkelanjutan, (3) legalitas alat tangkap, (4) penerimaan teknologi oleh masyarakat, (5) tidak m e ~ s a khabitat, (6) kemudahan pengoperasian, (7) keamanan nelayan, (8) tidak menimbulkan pencemaran, (9) peluang terjadinya ghostfishing rendah, (10) produksi berkualitas tinggi, (11) produksi tidak membahayakan konsumen, (12) manfaat kegiatan penangkapan terhadap pendapatan nelayan (Arami 2006). Arami (2006) dalam penelitiannya, untuk proses penyeleksian teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan menggunakan metode skoring dalam penilaian kriteria yang mempunyai satuan yang berbeda dengan memberi nilai terendah sampai dengan yang tertinggi. Sedangkan dalam penelitian ini proses pemilihan alat tangkap ramah lingkungan dilakukan dengan analisis hierarki (F'roses Hierarki AnalitikmHA) berdasarkan skoring yang diberikan oleh para tokoh kunci (key person) kegiatan perikanan tangkap di perairan KKL Berau dengan menggunakan skala Saaty. Komponen &lam analisis PHA didasarkan pada tujuan pemilih alat tangkap yang ramah Iiigkungan. Tujuan ini dibangun oleh empat kriteria untuk menentukan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan, yaitu kriteria biologi, teknis, sosial dan tinansial. Kriteria biologi ditunjukkan dengan sifat alat tangkap yang tidak m e w k , sehingga pemanfaatannya berkelanjutan. Kriteria sosial ditinjau &ri penerimaan masyarakat nelayan sebagai pengguna alat tangkap dan legalitas kegiatan penangkapan secara hukum. Kriteria teknis menunjukkan bahwa alat tangkap secara teknis dapat dikembangkan, meliputi enam sub-kriteria yaitu jenis alat tangkap yang tidak menimbulkan dampak pada ekosistem, mudah dioperasikan, aman bagi nelayan, tidak menimbulkan pencemaran, produksi yang berkualitas tinggi dan aman bagi konsumen. Sub-kriteria &lam finansial dipertimbangkan berdasarkan jenis alat tangkap yang menguntungkan bagi nelayan. Berdasarkan hasil olah data dengan menggunakan software Erperf Choice 2000 diperoleh hasil sebagaimana disajikan pada Gambar 25. Menurut pendapat tokoh-tokoh kunci pada sektor kelautan di KKL Berau, dalam menentukan jenis alat tangkap yang ramah Iiigkungan kriteria yang memperoleh prioritas terbesar adalah kriteria biologi dengan pmsentase sebesar 49,2 %. Selanjutnya berhuut-turut adalah kriteria teknis, sosial, dan finansial (Tabel 14). Tabel I4 Matriks prioritas kriteria &lam mencapai tujuan penentuan jenis alat tangkap yang mnah 'iigkungan Kriteria Bobot PrioriCls Biologi 49,2 PI Teknis 27,l PZ Sosial 14,9 P3 Kriteria biologi menjadi prioritas utama karena perlindungan terhadap ekosistem me~pakansyarat terpenting agar sumberdaya KKL Berau tidak rusak. Arami (2006) dalam tesisnya menyatakan bahwa teknologi penangkapan ikan karang berwawasan lingkungan adalah suatu alat tangkap yang memiliki karakteristik tidak memberikan dampak buruk terhadap liigkungan dan tidak berdampak pada kepunahan sumberdaya ikan. Kriteria teknis mempakan prioritas kedua b n a dalam menggunakan alat tangkap juga hams mempertimbangkan kemudahan secara teknis agar alat tangkap dapat dikembangkan. Alat tangkap yang memenuhi kriteria bioiogi dan teknis akan menjadi alat tangkap yang mudah diterima secara sosial oleh masyarakat. Kriteria terakhu menurut pakar dalam memili alat tangkap adalab jenis alat tangkap yang menguntungkan nelayan secara finansial. Alat tangkap yang menguntungkan secara hansial seperti trawl, belum tentu meningkatkan kesejahteraan nelayan karena keuntungan tidak t e d i b u s i secara merata pada semua nelayan. Hanya nelayan pemilik trawl yang akan m e n h a t i keuntungan sedangkan nelayan yang lain jushu akan m a g i b n a sumberdaya yang msak. Berdasarkan penilaian terhadap keempat kriteria tersebut dan sub-subkriteria pada level di bawahnya, diperoleh urutan jenis alat tangkap dari yang dianggap paling ramah lingkungan hiigga yang paling tidak ramah lingkungan. Rangking tersebut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Matriks rangkiig jenis alat tangkap yang ramah lingkungan - Pancing Ladung Pancing Tonda Panah Ikan Jerat Udang Jarine InsandGill - Net Rawai/Long Line Bubu Jarine eondrondRen~ee - .- Alat IainIPotas M i i Trawl Trawl Sumber: Analisis Data Primer 12,4 11,3 10,O 82 7.0 69 P1 69 I7 6.1 P8 4.9 4,6 4.6 PI2 PI3 P14 P2 P3 P4 P5 P6 Pembobotan alat tangkap pada setiap sub-kriteria dilakukan dengan membandingkan karakteristik teknologi alat tangkap tersebut. Rangking dari hasil pembobotan teknologi alat tangkap untuk setiap sub-kriteria disajikan pada Gambar 25. I I Selektivitas alat (L: .250) Pemanfaatan berkelanjutan (L: .750) 0 - SOSLAL (L: .I491 ~egalitasalai tangkap (L: 567) Penerimaan masvarakat (L: .333) tidak h r d a m k k pada ekosistem (L: H I ) Mudah dioperasikan (L: .050) Aman bagi nelayan (L: .073) Tidak menimbulkan pencemaran (L: .201) Produksi berlcualitas tinggi (L: .114) @ Produkfi aman bagi konsumen (L: .121) 0FINANSIAL (L: .088) Menguntungkan (L: 1.000) Gambar 25 Tampilan kriteria dan sub-kriteria dalam penentuan jenis alat tangkap m a h lingkungan pada sojware Expert Choice 2000 52.1 Selektivitas alat tPngkap Selektivitas alat tangkap adalah kemampuan alat tangkap untuk menangkap atau meloloskan ikan. Sifat selektivitas ini sangat dipengaruhi oleh dimensi alat tangkap dan metode penangkapan yang digunakan. Alat yang dapat menangkap ikan secara spesifik sesuai target yang dikehendaki nelayan, sehingga hasil sampingan ikan tangkapan (by catch) dapat ditekan sekecil mungkin Alat tangkap yang memiliki bobot selektivitas tinggi antara lain: pancing ladung, pancing tonda, panah ikan, dan jerat udang. Pancing ladung merupakan alat tangkap yang paling ramah lingkungan. Pancing ladung dan pancing tonda memiliki bobot tertinggi, karena alat ini dapat menangkap ikan sesuai target nelayan. Bila yang tertangkap adalah ikan yang tidak diinginkan atau bahkan ikan yang dilindungi, nelayan dapat melepaskan kembali dalam keadaan hidup. Panah ikan mempunyai selektivitas yang sangat tinggi karena hanya ikan tertentu yang dapat ditangkap dengan alat tangkap panah ikan. Namun perlu aturan yang tegas agar panah ikan tidak digunakan untuk menangkap biota yang dilindungi seperti hiu dan paus. 52.2 Pemanfaatan berkelanjutan Alat tangkap dapat diitakan berkelanjutan jika penggunaan alat tangkap tersebut tidak berdampak pada kepunahan sumberdaya ikan. Untuk itu, alat tangkap diharapkan dapat menangkap ikan pada ukuran yang layak tangkap. Selain itu juga diharapkan alat tidak menangkap ikan yang dilindungi. Alat tangkap yang memiliki bobot tinggi untuk pemanfaatan berkelanjutan antara lain pancing ladung, pancing tonda, panah ikan,dan jaring insang. Pancing ladung, pancing tonda, dan panah ikan merupakan alat tangkap yang berkelanjutan karena &ya tangkapnya terhadap ikan terbatas dan tidak menyebabkan kerusakan pada habitat. Jaring insang akan menjadi alat tangkap berkelanjutan/ramah lingkunganjika ukuran mata jaringnya diatur untuk menangkap ikan yang bemkuran dewasa saja. Alat tangkap yang lain perlu pengaturan yang lebii mendetail dalam penggunaannya karena tidak selektif terhadap ikan hasil tangkapan dan metode penangkapannya dapat memsak habit* contohnya penggunaan bubu. Bubu yang diletakkan diantara terumbu karang ternyata sangat potensial dalam m e ~ s a khabitat terumbu akibat terinjak oleh nelayan selama pemasangan alat. Demikian juga dengan jaring gondrong, pukat cincin, dan trawumini trawl. 5 2 3 Tidnk berdampnk pada ekosistem Sifat kerusakan yang ditimbulkan oleh pengoperasian alat tangkap lebih dipenganihi oleh metode penangkapannya. Alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem umumnya adalah alat yang pengoperasiannya dengan bergerak (ditarik kapal) seperti trawl, mini trawl, rawai, dan bagan apung, karena kapal yang bergerak menyebabkan alat lebih sering menyentuh dan me~usaktemmbu karang. Alat tangkap yang d i m semacam bubu juga berpotensi memsak k a n a diletakkan di dalam temmbu karang, sehingga karang menjadi rusak akibat terinjak-injak. Menurut hasil analisis hierarki, alat tangkap yang perlu dipnoritaskan karena tidak berdampak pada ekosistem antara lain adalah pancing ladung, pancing tonda, panah ikan, jerat udang, jaring gondrong, dan pukat (cincin dan insang). 5.2.4 Kemudnhan pengopenmian Kemudahan pengoperasian alat tangkap diiilai berdasarkan jumlah nelayan yang dibutuhkan untuk mengoperasikan alat tangkap, waktu yang digunakan untuk satu kali setting sampai hauling alat tangkap serta kebutuhan terhadap penggunaan alat bantu. Jenis alat tangkap yang mudah dioperasikan umumnya adalah alat tangkap yang dioperasikan oleh I orang saja, seperti pancing, panah, bubu, jerat udang, dan potas, sementara alat lain seperti bubu dan potas tentu saja tidak berkelanjutanl nunah li~~gkungan karena berpotensi m e ~ ~ ekosistem. ak 5.2.5 Aman bagi nelayan Bahaya yang ditimbulkan oleh alat tangkap dinilai berdasarkan jenis-jenis kecelakaan dan hkuensi tejadiiya kecelakaan d a l m pengoperasian alat tangkap, jenis kecelakaan yang ditimbulkan diklasifikasikan berdasarkan cacat fisik yang ditimbulkan apakah bemifat permanen atau sementara. Dari hasil identifikasi temadap kasus kecelakaan yang dialami nelayan selama mel* kegiatan penangkapan seperti terjadinya gangguan pendengaran pada nelayan serta kecelakaan karena tertusuk oieh sirip ikan hasil tangkapan. Alat tangkap yang aman bagi nelayan berdasar pendapat tokoh kunci adalah jerat udang, pancing tonda, pancing ladung, dan bubu. Alat-alat ini dioperasikan s e c . s e d e b tanpa menggunakan peralatan yang mmit dan dapat dioperasikan oleh perorangan, sehingga diprioritaskan untuk digunakan. 5.2.6 Tidak menimbalkan pencemaran Pencemaran yang ditimbulkan akibat penggunaan alat tangkap biasanya bukan b erasal dari alat tangkap itu sendiri, namun justru b e d dari kapal yang digunakan untuk membawa alat tangkap tersebut, karena buangan/ceceran bahan bakar dari kapal. Kapal-kapal nelayan yang bermesin tua dan mudah menumpahkan minyak merupakan ancaman pencemaran yang cukup berbahaya bagi perairan, sehiigga selain perlu mengatur jenis alat tangkap yang ramah liigkungan juga perlu mengatur jenis kapal yang man bagi lingkungan. Namun selain itu, ada juga alat tangkap yang memang menimbuh pencemaran secara langsung akibat sistem kejanya, seperti penangkapan ikan dengan potassium atau racun sianida. Alat tangkap yang menimbulkan pencemaran lingkungan seperti ini tidak aman bagi liigkungan. 52.7 Prodnksi yang berkualitm tinggi Bobot setiap alat tangkap berdasarkan kriteria produksi dan kualitas tinggi ditentukan dengan menganalisis volume rata-rata setiap alat tangkaphari operasi (kghari operasi) serta melalui uji organoleptik hasil tangkapan tehadap penampakan Wi seperti cacat atau busuk. Alat tangkap yang menghasilkan produk berkualitas tinggi berdasarkan pendapat pakar adalah jenis-jenis alat yang temasuk perangkap, seperti bubu, sero, dan jemt udang. Pancing ton& dan pancing ladung juga menghasilkan pmduk yang berkualii tinggi, bila diiilai dari organoleptiknya, k a n a ikan yang ditangkap masih dapat dipertahankan &lam kondisi tetap hidup. 5.2.8 Aman bagi konsumen Penilaian t e h d a p tingkat keamanan produksi tangkapan terhadap konsumen dinilai dengan mengkaji kernungkinan dam@ buruk yang dapat ditimbulkan oleh setiap alat tangkap, kernungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh hasil tangkapan terhadap konsumen dilakukan dengan mengkaji apakah &lam metode pengoperasian alat tangkap menggunakan bahan-bahan yang dapat berbahaya bagi konsumen. Misalnya dengan penggunaan racun sianida. 5.2.9 Mengnntnngkan bagi nelayan Alat tangkap yang menguntungkan bagi nelayan adalah alat tangkap yang dapat mernberikan hasil lebii besar dibandiigkan biaya produksii. Oleh ksrena itu alat-alat tangkap yang sederhana dan mudah pengoperasiannya biasanya menjadi lebih menguntungkan bagi nelayan perorangan yang tidak m e m i l i modal. 52.10 Penerimaan masyarakat nelayan Tigkat penerimaan masyarakat dinilai bedasarkan jumlah nelayan pengguna, periode waktu (lama) alat tangkap digunakan serta tanggapan masyarakat terhadap alat tangkap yang bersangkutan. 53.11 Legalitas kegiatan penangkapan Kriteria legalitas suatu kegiatan penangkapan diiilai dengan kesesuaian alat tan- mengkaji termasuk metode yang digunakan berdasarkan undang- undang perikanan dan peraturan daerah yang bersangkutan. Pemerintah Daerah Kabupaten Berau hiigga saat ini baru mengeluarkan peraturan tentang penetapan kawasan KKL Berau, yaitu Peratman Bupati Berau No 3 1 tahun 2005 tanggal 27 Desember 2005. Peraturan tersebut belum secara eksplisit mengatur tentang penggunaan alat tangkap. Sehingga semua alat tangkap masih dapat digunakan secara bebas di KKL Berau. 53 Penggunaan Alat Tangkap untuk Mendukung Pengelolaan Wilayah Perikanan Berkelanjutan Dari 14 jenis alat tangkap yang digunakan di KKL Berau, dibuat rangking skor alat mulai dari yang paling ramah hingga yang paling tidak ramah. Tujuh jenis alat tangkap yang termasuk dalam alat tangkap yang teridentifikasi di KKL Berau berdasarkan hasil analisis hierarki alat tangkap yang ramah lingkungan diketahui bahwa alat tangkap yang ramah lingkungan untuk ikan pelagis adalah jenis pancing ladung, pancing tonda, dan rawaillongline. Alat tangkap yang ramah lingkungan untuk ikan demersal adalah jenis pancing ladung, pancing tonda, panah ikan, jaring insang, jerat udang, dan bubu. Beberapa jenis dari alat tangkap yang digunakan di KKL Berau, ternyata bersifat tidak ramah lingkungan, seperti jaring gondronglrengge, bagan apung, pukat cincin, hampanglsero, alat lainlpotas, mini trawl, trawl. Pada Gambar 14-17 telah disajikan sebaran alat tangkap demersal di wilayah perairan KKL Berau. Bila ditumpangsusunkan dengan peta hasil analisis kesesuaian wilayah tangkapan ikan demersal pada gambar 24 terlihat bahwa alat-alat tangkap tersebut tersebar pada wilayah yang sangat sesuai untuk penangkapan ikan demersal. Sementara itu alat tangkap pelagis ternyata lebih banyak digunakan di wilayah yang sangat sesuai untuk ikan demersal. Hal ini mungkin terjadi karena kapal-kapal nelayan yang ada di KKL Berau adalah kapal-kapal bertonase kecil, yang tidak mampu menjangkau daerah yang jauhlperairan yang dalam. Atau dapat diitakan bahwa sebamn alat tangkap, baik untuk ikan pelagis maupun ikan demersal, lebih banyak terkonsentrasi di wilayah yang sesuai untuk penangkapan ikan demersal. Hal ini mengindikasii adanya tekanan yang berat pada wilayah tersebut. Sementara di sisi yang lain, potensi perikanan pelagis yang cukup besar justru tidak banyak dimanfaatkan, akibat adanya keterbatasan sarana -&!wan. Selain itu, berdasarkan peta sebaran penggunaan alat tangkap (Gambar 14- 17) dapat dilihat bahwa penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lmgkungan tersebut bahkan ada di kawasan yang seharuslya menjadi zona inti, k a n a di wilayah tersebut ditemukan jenis-jenis biota yang langka dan dilidungi. Oleh karena itu, untuk mengelola perikanan tangkap di kawasan KKL Berau agar berkelanjutan perlu didukung dengan legalitas hukum dari pemerintah daerah Kabupaten Beray temtama yang terkaii dengan ijin penggunaan alat tangkap. 5.4 Rekomendasi Pengelolaau Wilayah Penangknpan Berkelanjutan Wilayah penangkapan yang sangat s e m i untuk ikan pelagis dan ikan demersal menempati lokasi-lokasi tertentu yang berbeda (Gambar 23 dan Gambar 24). Bila kedua lokasi tersebut ditumpangsusunkan (dioverlay) maka akan diperoleh zonasi kesesuaian wilayah penangkapan sebagaimana disajikan pada Gambar 26. Dalam menyusun rencana zonasi wilayah perikanan tangkap berkelanjutan perlu mempertimbangkan daerah ruaya biota langka dan dilindungi, sehingga kawasan yang mempakan daerah ruaya tersebut didelineasi dan diusukan untuk tidak digunakan sebagai wilayah penangkapan. Pada Gambar 26 daerah tersebut ditandai dengan garis warna bi. Penentuan garis batas maya tersebut dilakukan dengan cara membuat garis buffer dengan jarak 7 mil dari titik koordinat d i i a biota langka/dilindungi tersebut pemah ditemukan. Informasi tempat biota tersebut ditemukan diperoleh dari nelayan setempat dan penelitian-penelitian yang pemah dilakukan di kawasan KKL Berau. Kawasan Konservasi Laut Berau seluas 1.222.988 Ha yang telah ditetapkan dan diatur oleh Peraturn Bupati Berau No 31 tahun 2005 terdapat 14 jenis alat tangkap yang telah beroperasi sejak lama. Tujuh jenis alat tangkap ramah lingkungan mulai dari yang paling ramah lingkungan dari 14jenis alat tangkap yang telah beroperasi berturut-hwut adalah (1) Pancing ladung, (2) pancing tonda, (3) panah ikan, (4) jerat udang, ( 5 ) gillnet, (6) rawai longline, (7) bubu. Namun umumnya alat tangkap ikan demersal maupun pelagis belum diterapkan sesuai dengan wilayah perikanan tangkap untuk ikan pelagis maupun ikan demersal, diiana wilayah tangkapan lebii terkonsentrasi di perairan pesisir di depan sungai Berau. Bedasarkan berbagai kondisi tersebut, maka saran kebijakan yang perlu diperhatikan untuk keberlanjutan wilayah perikanan tangkap adalah: 1) Bagi pengelola untuk segera menetapkan zonasi perikanan berkelanjutan khususnya zona perikanan tangkap berkelanjutan di perairan di muara Sungai Beray di perairan di luar muara Sungai Berau, di s e w Karang Besar, di perairan karang bagian selatan di antara Karang Besar dan P. Maniibora, serta peraim di sekitar P. Bilang-bilangan, 2) Segera memetakan daerah migrasi biota laut langka clan dilindungi, 3) Menetapkan alat tangkap ramah lingkungan dengan peratum daerahlperatwan bupati, 4) Mensosialisasikan wilayah perikanan tangkap dan alat tangkap m a h lingkungan ke masyarakat desa pesisir, 5 ) Mempersiapkan program pengalihan pengguna alat tangkap tidak ramah liigkungan ke alat tangkap m a h liigkungan, 6) Mempersiapkan program pengalihan altematif mata pendwian bagi nelayan pengguna alat tangkap tidak ramah lingkungan, 7) Mempersiapkan program altematif mata pencaharian bagi nelayan khusus untuk musim paceklii. Wa Mcana Zonasi k ikanan Tmgkap I Gb. 26 Rencana zonasi wilayah perikanan tangkap berkelanjutan di KKL Berau 6.1 Kesimpulan Dari hasil bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) Di Kawasaa Konservasi Laut Berau seluas 1.222.988 Ha yang telah ditetapkan dan diatur oleh Peratwan Bupati Berau No 31 tahun 2005 terdapat 14 jenis alat tangkap. Hasil analisa kesesuaian dengan memptimbangkan faktor suh4 khlorofil, salinitas, kedalaman, cover t m b u karang, kondisi dasar perairan menunjukan bahwa wilayah perikanan tangkap yang ideal terletak di perairan di luar muara Sungai Berau dan di sekitar Karang Besar untuk ikan pelagis, dan di perairan di muara Sungai Berau, perairan karang bagian selatan di antara Karang Besar dan P. Manimbora, serta perairan di sekitar P. Bilang-bilangan untuk ikan demersal. Beberapa jenis alat tangkap mulai dari yang paling ramah lingkungan dari 14 jenis alat tangkap yang telah beroperasi bertwut-twut adalah 1) Pancing ladung, 2) pancing tonda, 3) panah ikan, 4) jerat udang, 5) gill net, 6) rawai tuna long line, 7) bubu. Namun umumnya alat tangkap ikan demersal maupun pelagis belum diterapkan sesuai dengan wilayah perikanan tangkap untuk ikan pelagis maupun ikan demersal, dimana wilayah tangkapan lebii terkonsentrasi di perairan pesisir didepan sungai Berau. (2) D i k o m e n d a s i i pengaturan yang diperlukan untuk keberlanjutan di wilayah perikanan tangkap adalah: 1) bagi pengelola untuk segera menetapkan zonasi perikanan berkelanjutan khususnya zona perikanan tangkap berkelanjutan di perairan di muara Sungai Berau, di perairan di luar muara Sungai Berau, di sekitar Karang Besar, di perairan karang bagian selatan di antara Karang Besar dan P. Manirnbom, serta perairan di sekitar P. Bilang-bilangan, 2) Segera memetakan daerah rnigrasi biota laut langka dan diliidungi, 3) Menetapkan alat tangkap ramah liigkungan dengan peraturan daerahlperaturan bupati, 4) Mensosialisasikan wilayah perikanan tangkap dan alat tangkap ramah 'ngkungan ke masyarakat desa pesisir, 5) Mempersiapkan program pengaliihan pengguna alat tangkap tidak ramah lingkungan ke alat tangkap ramah lingkungan, 6) Mempersiapkan program p e n g a l i i altematif mata pencaharian bagi nelayan pengguna alat tangkap tidak ramah liigkungan, 7) Mempersiapkan program altematif mata pencaharian bagi nelayan khusus untuk musim panceklik. 6.2 Sarnn (1) Perlu dilakukan penelitian tentang daya dukung wilayah perikanan tangkap di Kawasan Konsewasi Laut Berau guna mengkaji dan menentukan j d a h setiap alat tangkap ramah lingkungan. (2) Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan wilayah perikanan budidaya dan kesesuaian jenis budidaya di di Kawasan Konsewasi Laut Berau sebagai data dan informasi untuk melengkapi rencana Zonasi Perikanan berkelanjutan sesuai Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Korwwasi Sumberdaya Ran dan Peraturan Menteri No PER 02MEND009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan K o r w ~ a sPerairan i DAFTAR PUSTAKA Alhidayat SA. 2002. Kajian Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Thesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 Hal. Allen G. 2007. Conservation hotspots of biodiversity and endemism for Indo-Pacific coral reef fishes, Aquatic Conservation: Marine And Freshwater Ecosystems. Arami H. 2006. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang dalam Rangka Pengembangan Perikanan Tangkap Bemawasan Lingkungan di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 118 Hal. Arimoto T. 1999. Research and Education System of Fishing Technology in Japan. Proceeding of the 3rd JSPS International Seminar, Sustainable Fishing Technology in Asia Toward The 21st Century. Asikin D. 1971. Synopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp). Jakarta: Lembaga Penelitian Perikanan Laut Departemen Pertanian. Hal 3-27. Bahari R. 1989. Pemn Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat: Jakarta 18-19 Desember 1991. Pusat Penelitian Perikanan dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian clan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 165-180. Barus HR., Badmdin dan Naamin N. 1991. Prosiding Forum U Perikanan: Sukabumi 18-21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 91-105. [BML LAPAN] Bidang MATRA Laut-LAPAN. 1997. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian dan Pengembangan. Pemnafaatan Pengelolaan Data Penginderaan Jauh Satelit LAPAN Tahun Anggamn 1996/1997 tentang Spesifikasi Esthndar Ketelitian SSTdan Pemanfaatanya untuk Pengamatan Pola Arus Laut dan Daerah Potensi Penangkapan Ikan. Yakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal 1-11. Boer M. dan Azis K.A. 1995. Prinsip-prinsip Dasar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Melalui Pendekatan Bio-Ekonorni. Jurnal Rmu-Rmu Perairan dan Perikanan Indonesia (JIPPI).IPB Darmaga. Bogor. Hal 4. Bond CE. 1979. Biology of Fishes. Philadelphia: Sanders Collage Publishings. 514 hal. Burke L., Selig E., Spalding M. (2002),'Reefs at risk in Southeast Asia.', Technical report, World Resources Institute, Washington DC, Dahuri R., Rais J., Ginting SP., Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Pertama. Jakarta : E T Pradnya Paramita. 305 hal. Charles AT. 1994. Suistainable Fishery Management. Blackwell Science Ltd. Oxford. P 911. Close CH dan Hall BG. 2006. A GIS-based protocol for the collection and use of local knowledge in fisheries management planning. Journal of Envirornental Management Vol. 78, Issue 4. Hal 341-352. Collette BB. 1995 Scombridae. Atunes, bacoretas, bonitos, caballas, estorninos, melva, etc. p. 1521-1543. In W. Fischer, F. Krupp, W. Schneider, C. Sommer, K.E. Carpenter and V. Niem (4s.) Guia FA0 para Identification de Especies para lo Fines de la Escii. Pacifico Centro-Oriental. 3 Vols. FAO, Rome. Compagno LJV., Ebert DA. and Smale MJ. 1989 Guide to the sharks and rays of southern Africa. New Holland (Publ.) Ltd., London. 158 p. Dahuri R., Rais J., Giting SP dan Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumbedaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Dermawan, A. 2007. Kajian Pengelolaan Kawasan Konsewasi Laut Yang Menunjang Perikanan Berkelanjutan Pada Era Otonomi Daerah (Kasus Taman Nasional Laut Bunaken dan Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko Sulawesi Utara). Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pasc~sarjana.Institut Pertanian Bogor.Bogor. [DW] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006a. Penyusunan Management Plan Kawasan Konservasi Laut Daerah, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan; Buku II Data dan Analisis. Jakarta. [DW] Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003b. Modul Sistem Insentif Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Direktorat Kelembagaan Internasional. Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005. Rencana Startegis 2005 - 2009. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta [FAO] Food Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO. Food and Agriculture Organization of the United Nations.Rome.Italy. 22 hal. Fauzi A dan Anna S. 2002. Evaluasi status keberlanjutan pembangunan perikanan: Aplikasi Pendekatan Raptish (Studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta). Jumal Pesisir dan Lautan. Federal. 1995. dalam Laporan Kemajuan PT. Norma Widya Karsa, 2003. Penyusunan Strategi Pengembangan Konservasi Laut, Proyek Pengembangan Kawasan Konsewasi Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Ditjen. KP3K-KTNL, J a w . 43 hal. Gordon AL., Fine R.A. 1996. Pathways of water between the Pacific and Indian oceans in the Indonesian seas. Journal of Nafure 379: 146-149, Gubbay. 1995. dalam Laporan Kemajuan PT. Norma Widya Karsa, 2003. Penyusunan Strategi Pengembangan Konservasi Laut, Proyek Pengembangan Kawasan Konsewasi Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Ditjen. W3K-KTNL, Jakarta. 43 hal. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assesment. A Manual of Basic Methods. A Wiley Publication. 223 PP Gunarso W. 1995. Mengenal Kakap Merah Komoditi Ekspor Baru Indonesia. Diktat Kuliah (Tidak Dipublikasikan). Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Hamdan. 2007. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Disertasi (tidak dipublikasikan). Rogram Studi Teknologi Kelautan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hasyim B. 1996. Rapat Persiapan Kegitan Stock Assesment Perikanan di BAPPENAS tanggal 28 November 1996 tentang Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Pengamatan Pola Arus dan Daerah Potensi Penangkapan ikan.[makalah]. [tidak dipublikasikan]. Jakarta: Lembaga Penerbangan Antarakisa Nasional. 10 hal. Heemstra PC., Randall JE. 1993. An annotated and illustrated catalogue of the grouper, rockcod, hind, coral grouper and lyretail species known to date. FA0 species catalogue. Vol. 16, Groupers of the world (Family Serranidae, Subfamily Epinepheliiae) on FAOFisheries Synopsis. No. 125, Vol. 16 : 382. Rome: FA0 Hendriarti N, Winarno B, Sachoemar Sl, Farahidy I. 1985. Pemantauan Daerah Upwelling di Perairan Selatan Jawa-Bali dan Selat Makassar. Di dalam :Gunawan I, Sumargana L, Hendiarti N, Adamsyah G, editor. Jakarta : Badan Pengakajian dan Penngembangan Teknologi. Hal 212-221. Hoeksema B. (2007), Topics in Geobiology. Biogeography, Time, and Place: Distributions, Barrieq and Islands., Springer Netherlands., Chapter 5. Delineation of the IndoMalayan Centre of Maximum Marine Biodiversity: The Coral Triangle Holmes, S. 2006. Geographic Information System (GIS) a Fishery Management Tool. [bibliografi].-:Journal of Geo. Hal 565. Hutagalung HP. 1988. Pengaruh Suhu Air terhadap Kehidupan Organisme Laut. Pewarta Oscana. Voi 3 N0.4. Jakarta Jefferson TA., Leathewood S., Webber MA. 1993. FA0 species identification guide. Marine mammals of the world. Rome, FAO. 1993.320 Judianto. 2001. Pengelolaan perikanan tangkap pelagis melalui aplikasi Sistem lnformasi Gsografis dan moel dinamik (Studi kasus di Perairan Selat Bali). Tesis (Ti& Dipublikasikan). Program Pascasajana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kartasasmita M. 1999. Beberapa Pemikiran Operasional Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Untuk Penangkapan Ikan. Di dalam : Hendriarti N, Wiarno B, Amri K, Lestiana L, Andiastuti R, Saliswan W, editor. Jakarta: Direktomt Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengakajian dan Penerapan Teknologi. Hal 12. Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1. an Introduction to Fisheries Science. FA0 Fisheries Technical Paper No. 118. FAO. Rome. 43 P. Kushardono B. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Di dalam : Trisakti B, Hasyim B, Dewanti R, Hartuti M,Winarso G, editor, Jakarta : Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. Hal 12-18. Laevastu, T. and M.L. Hayes. 1981, Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books. Farnham. 199 p. Lieske E. and Myers R. 1994 Collins Pocket Guide. Coral reef fishes. Indo-Pacific & Caribbean including the Red Sea. Haper Collins Publishers, 400 p. Monintja DR. 1997. Pengembangan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan: Catatan tentang Usaha Penangkapan Cakalang. Bahan P e l a t i h Perencaman Pengembungan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PK-SPL IPB Ditjen Bangda. November-Desember 1997. Bogor. Monintja DR. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Perikanan Tangkap. Pelatihan untuk Pelatih dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. Gelombang II PKSPL-IPB. Bogor, 13-18 November 2000. Monintja DR. dan Yusfiandayani R. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. IPB. Munasinghe M. 2002. Analysing the nexus of sustainable Development and Climate Change: An Overview. Munasinghe Institute for Development (MIND), Srilangka. Nath NA. 1993. Retrieval of Sea Surface Temperature Using NOAA-AVHRR Data for identification of Potential Fishing Zones Dissmination and Validation.[makalah]. Proceeding of International workshop on Apllication of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing Countries; Hyderabad, December, 11-17 1993.India:National Remote Sensing Agency. Hal 2526. Pauly D., Cabanban A., Torres FSBJr. 1996 Fishery biology of 40 trawlcaught telwsts of western Indonesia. p. 135-216. In D. Pauly and P. Martosubroto (eds.) Baseline studies of biodiversi permadi B. 1992. Buku Petunjuk Manual Mengemi Teori dan Aplikasi Model The Analytical Hierercb Process (AHP). Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi Universitas Indonesia. Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung : Penerbit Informatika. 334 hal. Prahasta E. 2004. Sistem Informasi Geografis Tools dan Plug-Ins. Bandung: Penerbit Tnformatika. 450 hal. Prahasta E. 2007. Sistem Informasi Geografis Tutorial Arcview. Bandung: Penerbit Informatika. PT. Norma Widya Karsa. 2003. Penyusunan Strategi Pengembangan Konservasi Laut, Proyek Pengembangan Kawasan Konservasi Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Ditjen. KP3K-KTNL, Jakarta. Purba M. 1991. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi: Interpretasi Data Penginderaan Jarak Jauh 11. Bogor:Institut Pertanian Bogor. 190 hal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 1991. Alat dan Cara Penangkapan Ikan di Indonesia. Jilid I. Puslitbang Perikanan. Jakarta. Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. FT.Gramedia Pustaka Utarna. Jakarta. Hal 18-35. Reilly O., Maritorena JES., Mitchell BG., Siegel DA., Carder KL., Garver SA., Kahru M., Mc Clain C. 1998. Ocean Colour Chlorophyll-a Algorithms for Sea Wifs, OC2 and OC4 : version 4. Di dalam: Hooker SB, Firestone ER editor. Seawifs Poslaunch Technical Report. Volume ke-2 (3). Mary1and:NASA Goddard Space Flight Center. Hal 9-23. Republik Indonesia. 1990. W No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dm Ekosistemnya. Lembaran Negara RI Tahun 1990, No. 49. Sekrehriat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2004. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 118. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2004. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 125. Sekretariat Negara. Jakarta Republi Indonesia. 2007. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wihyah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 84. Sekretariat Negara. Jakarta Republi Indonesia, 2007. PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 134. Sekretariat Negara. Jakarta . Republik Indonesia. 2007. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 14. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia 2009. PERMEN KP No. PER. 16lMENRO08 tentang Perencanaan Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Republi Indonesia 2009. PERMEN KP No. PER. 02/MEN/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Roberts CM., McClean CJ., Veron JEN., Hawkins JP., Allen GR., McAllister DE., Mittermeier CG., Schueler FW., Spalding M., Wells F., Vynne C., Werner TB.2002. Marine biodiversity hotspots and conservation priorities for tropical reefs Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Indentitikasi Ikan I. Bandung: Bina Cipta. 245 hal. Saaty LT. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta Pusat. PT Pustaka Binaman Pressindo. Saenger P., Hegerl, El and Davie JDS. (Eds) (1983) Global status of mangrove ecosystems. The Environmentalist 3 (Supplement): 1-88. Sembiring SN. dan Husbani F. 1999. Kajian Hukaun ah Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia :Menuju Pengembangan Desentralisasi a h Peningkatan P e w Serta maymaknf. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan IndonesiaKEL. Hal 15-16. Sewoyo S. 2001. Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna untuk Pengembangan Potensi Pedesaan. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, Teknologi. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT. Jakarta. Subandar A. 1999. Potensi Teknik Evaluasi Multi Kriteria dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Jumal Shins ah Tehlogi Indonesia Vol. 1 No. 5, ha1 70-80. Subandar A. 2002. Multy Criteria Decision Making Techniques. Hipunan Materi Kuliah PS-SPL IPB. Tidak diterbitkan. 22 hal. Syahdan M. 2005. Hubungan Suhu Permukaan Laut clan Khlorofil-A temadap hasil tangkapan Cakalang (Katsuwom pelamis, Lmaeus) di Perairan Bagian Timur Sulawesi Tenggara. Bogor. 119 Hal. Widodo J. 1999. Aplikasi Teknologi Pengindew Jarak Jauh Untuk Perikanan Indonesia Di &lam : Hendriarti N, Winamo B, Amri K, Lestiana L, Andiastuti R, Saliswan W, editor. Jakarta : Direktorat Teknologi Inventarissi Sumberdaya Alam Badan Pengakajian dan Penerapan Teknologi. Hal 1-2. Wiryawan B., Khazali M., Knight M. 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau Kalimantan T i u r (Status Sumberdaya Pesisir dan Proses Pengembangan KKL ). Program Bersama Keluatan Berau TNC-WWF-Mitra PesisirICRMP I1 USAID. Jakarta. 128 hal. Whitehead PIP. 1990 Clupeidae. p. 208-227. In J.C. Quero, J.C. Hureau, C. Karrer, A. Post and L. Saldanha (eds.) Check-list of the fishes of the eastern tropical Atlantic (CLOFETA). JNICT, Lisbon; SEI, Paris; and UNESCO, Paris. Vol. 1. [WWF] World Wild Fund., TNC [The Natm Conservancy], DKP pinas Kelautan Perikanan] Kabupaten Berau. 2007. Program Bersama Kelautan Berau TNC-WWFMitra PesisirICRMP II USAID. Jakarta [WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. Oxford Univ. Press. New York. Yasuno M., Fukush'ia S., Shiyoyama F., Hasegawa J., and Kasuga S. 1981. Recovery Processes of Benthic Flora and Fauna in Stnmn after Discharge of Slag Containing Cyanide. Verhandl. Intern. Verein. Theoret. Ange. Limnologie. 21: p.1154-1164. LAMPIRAN Lampiran 1. Data hasil tangkapan ikan 5 tahun I I KELOMPOK IKAN DEMERSAL TOTAL 1 4,351.50 1 4,807.90 1 4,640.20 1 5,037.20 1 5,117.50 1 4,790.86 $umber: Dinas Kelautan Perilcanan Kabupaten Berau Tahun 2006 Lampiran 2. Data tokoh kunci sebagai responden expert judg4mnf Lampiran 3. Grafik sensitivitas penentuan alat tangkap ramah lingkungan Lampiran 4: Kuisioner proses hirarki analitik (PHA) 2. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria BIOLOGI I I Sub Kriteria Sub Kriteria PEMANFAATAN SELEKTIVITAS ALAT SELEKTIVITAS ALAT BERKELANJUTAN 1 1 PEMANFAATAN BERKELANJUTAN 3. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria SOSML I i I Sub Kriteria Sub Kriteria LEGALITAS ALAT PENERIMAAN MASYARAKAT TANGKAP I I 1 LEGALITAS ALAT TANGKAP I I 1 PENERIMAAN MASYARAKAT 4. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria FlNANSlAL SubKriteria I L Menguntungkan SubKriteria Menguntungkan 5. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria TEKNlS Sub Kriteria 6. Kuisioner p e r b a n d i n g a n antar alternatif a l a t t a n g k a p pada sub kriteria SELEKTIVITAS ALAT Alternatif A'at Pancing T a n g k a ~ Tonda Pancing 1 Tonda Pancing Ladung Panah Ikan Jaring Insang Pukat Cincin Rengge Gondrong Jerat Udang Panah Ikan Jaring lnsang Pukat Cincin Rengge Gondrong Bagan Jerat Udang I Rawai I Rawai Tuna Bubu I I 1 1 1 I 1 1 A 1 Bubu Alat lain Pancing Ladung 1 Bagan I Alternatif Alat Tangkap Mini Trawl I Sero Trawl I I I Alat lain 7. Kuisioner perbandingan antar alternatif alat tangkap pada sub kriteria PEMBANCUNAN BERKELANJUTAN 8. Kuisioner perbandingan antar alternatif alat tangkap pada sub kriteria TIDAK BERDAMPAK PADA LINCKUNCAN Lampiran 5 Alat-alat penangkapan ikan .-._--.......... :,. 1 Anal. panall 4 .. ___ _ ...=.- : :-- :ul.;i;:;.-.s --------- .- . , Scmllrn ,.L"".-."!= b.S.otam --. scnapm ik: J&&@L R~canlataair l*b*ib GCi pennhrn ring PANAH IKAN ,/ JARINC; INSANG SERO I HAMPANG