Kesesuaian wilayah perairan untuk perikanan tangkap

advertisement
/?J
L. \
k
KESESUAIAN WILAYAH PERAIRAN UNTUK PERIKANAN TANGKAP
BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT ( KKL )
BERAU
AND1 RUSANDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ABSTRACT
ANDl RUSANDI. Study on the suitability of woter areas within Berau Marine
ConservationArea for sustainable capturefnheries.
Supervised by DANIEL R MONLVTJA ond MULYONO S BASKORO
The objectives of this research are : 1)to reveal the suitability of marine
conservation area in Berau for sustainable capture fisheries, 2) to formulate a
policy on the use of environmentalfrend&fishing gear as a part of sustainable
marine management strategv.
This research used the Geographical Information Systemfor analyzing the
suitability offishing ground and Analytical Hierarchy Process for determining
environmentalfriendlyfishinggear.
Sea surfme temperature, chlorophyll, salinity and analysis on bathymetry
indicated that the suitable fishing ground of pelagic fishes located at the of
estuary of Berau river and around Karang Besar.
The waters between Kakaban and Maratua island and around Karang
Gosongan are suitable for pelagic fishing ground. The suitable for demersal
fishing ground are in the estuary of Berm river, in the south part of coral reef
area between K m g Besar and Manimbora island, and in the waters around
Bilangan-bilangan island. The area around Payang island is also suitable one
for fishing ground targeting grouper (kerapu) and red snapper (koknp merah).
However rhe existence of shark and dugong in rhe waters, indicated thai this area
should not be allocated the fishing ground for such fishes. The research also
revealed the existence of 14 fuhing gears in Berau Marine Conservation Area
(MCA). The most environmental friendly fishing gear for pelagic f i h are the
handline (pancing ladung), trolling (pancing tonda), and Longline (rawai), while
for demersal fish are the handline @ancing ladung),trolling (jmncing rondo),
spearfishing @annh ikmt), gillnet oaring insang), lobster trap (jerot udang), and
trap (bubu).
Key words: suitable area, environmental friendly fishing
conservation area. Berau
gear, marine
AND1 RUSANDL Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanau Tangkap
Berkelanjutan di Kawasan Konsewasi Laut @UU)Berau. Dibimbing oleh
DANIEL R MONINTJA dan MULYONO S.BASKORO.
Kawasan Konsemasi laut (KKL) Berau adalah salah satu kawasan
konservasi laut yang terbesar yang telah diinisiasi oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Berau melalui Peraturan Bupati No 31 tahun 2005 tanggal 27
Desember 2005.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan (KSDI) bahwa suatu kawasan kdnservasi laut terdiri
dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya
yang masih dianggap perlu. Zona perikanan berkelanjutan yang dimaksud disini
adalah suatu zona yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan perikanan
budidaya dan perikanan tangkap. Perikanan tangkap hiigga saat ini masih
mempunyai peran penting terutama dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya
ikan yang berkelanjutan oleh masyarakat pesisir.
Di dalam pengelolaan kawasan konservasi laut Berau diperlukan informasi
wilayah-wilayah tangkapan ikan yang berkelanjutan dan tidak mengganggu
wilayah migrasi biota perairan langka dan dilindungi, oleh kaenanya penelitian
ini bertujuan untuk: 1) mengetahui kesesuaian wilayah perairan di Kawasan
Konse~asiLaut Berau untuk wilayah perikanan tangkap, 2) menyusun kebijakan
penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan sebagai bagian dari shategi
pengelolaan wilayah perikanan tangkap secara berkelanjutan.
Untuk mencapai tujuan tersehut, pada penelitian ini digunakan metoda
Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menganalisis kesesuaian wilayah
penangkapan ikan dan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) untuk penentuan
alat tangkap ramah lingkungan.
Dari hasil overlay parameter suhu, khlorofil, salinitas, dan kedalaman
perairan diketahui bahwa daerah yang sesuai untuk penangkapan ikan pelagis
terutama untuk ikan-ikan kernbung, tongkol dan teri berada di luar muara Sungai
Berau dan di sekitar Karang Besar. Perairan di antara P. Kakaban dan P. Maratua,
serta perairan di sekitar Karang Gosongan juga m e ~ p a k a nperairan yang sangat
sesuai untuk ikan-ikan pelagis.
Wilayah perairan yang sangat sesuai untuk penangkapan ikan demersal
temtama ikan-ikan jenis kerapu, kuwe dan kakap adalah di muara Sungai Berau,
perairan karang bagian selatan yaitu di antara Karang Besar dan P. Manimbora,
serta perairan di sekitar P. Bilang-hilangan. Perairan di sekitar P. Panjang juga
m e ~ p a k a nwilayah yang sangat sesuai bagi penangkapan ikan demersal, seperti
kerapu dan ikan merah, namun karena di perairan tersehut juge ada hiu dan
duyung, maka perairan tersebut sebaiknya tidak d i j a d i i zona penangkapan ikan.
Dari 14 jenis alat tangkap yang digunakan di Kawasan Kollse~asiLaut
Berau, dihuat rangking skor alat mulai dari yang paling ramah hiigga yang paling
tidak ramah. Tujuh jenis alat tangkap yang termasuk dalam alat tangkap yang
teridentifikasi di KKL Berau berdasarkan hasil analisis hierarki alat tangkap yang
ramah ligkungan diketahui bahwa alat tangkap yang ramah lingkungan untuk
ikan pelagis adalah jenis pancing ladung, pancing tonda, dan rawaillongline. Alat
tangkap yang ramah lingkungan untuk ikan demersal adalah jenis pancing ladung,
pancing tonda, panah ikan, jaring insang, jerat udang, dan bubu.
Beberapa jenis dari alat tangkap yang digunakan di KKL Berau, temyata bersifat
tidak ramah lingkungan, seperti jaring gondronglrengge, bagan apung, pukat
cinch, hampandsero, alat laidpotas, mini trawl, trawl.
Dari hasil tumpangsusun sebaran alat tangkap dengan peta hasil analisis
kesesuaian untuk wilayah tangkapan ikan demersal maupun wilayah tangkapan
ikan pelagis, banyak ditemukan alat tangkap pelagis yang digunakan di wilayah
yang sangat sesuai untuk ikan demersal. Hal ini mungkin terjadi karena kapalkapal nelayan yang ada di KKL Berau adalah kapal-kapal bertonase kecil, yang
tidak mampu menjangkau daerah yang jauh/pemim yang dalam. Beberapa alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan juga masih ditemukan di wilayah yang
seharusnya menjadi zona inti, oleh karenanya untuk mengelola perikanan tangkap
berkelanjutan di kawasan KKL Berau perlu didukung dengan legalitas hukum dari
pemerintah daerah Kabupaten Berau, terutama yang terkait dengan ijin
penggunaan alat tangkap.
Kata kunci :kawasan konsewasi laut, berau, kesesuaian wilayah, alat
penangkapan ikan ramah lingkungan, perikanan tangkap, ikan
pelagis, ikan demersal
O Hak cipta milik Institut Pertaniaa Bogor, tahun 2009
Hak cipta diiindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbemya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
Pengutipan tidak me~gikankepentingan yang wajar IF'B
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau selumh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KESESUAIAN WILAYAH PERAIRAN UNTUK PERIKANAN TANGKAP
BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT ( KKL )
BERAU
AND1 RUSANDI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pa&
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap
Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau.
Nama Mahasiswa
: AndlRusandi
Nomor M
uk Mahasiswa : C 551040174
Program Studi
: Teknologi Kelautan
:
Disetujui,
7
Prof. Dr. Ir.Danie1 R Monintia
Ketua
Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc
AW33Jta
Program Studi Telcnologi Kelautan
Tanggal Ujian : 29 April 2009
Tanggal Lulus : 2 2 JUL 2009
PRAKATA
Puji Syukur disampaikan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan ksuunia-Nya sehigga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil
penelitian di Kawasan Konservasi Laut (KKL)Berau di Kabupaten Berau Kalimantan T i .
Judul Tesis ini adalah "Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap Berkelanjutan
di Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau", yang disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister %is pada Sub Program Studi Perencanam Pembangunan
Kelautan dan Perikanan, Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku Ketua Komisi dan Bapak Prof. Dr. Ir.
Mulyono S. Baskoro, MSc selaku Anggota Komisi.
2.
Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc, yang telah banyak memberikan arahan, masukan
dan partner diskusi yang pada akhimya berkenan pula menjadi dosen penguji luar komisi
pada sidang pasca sarjana penulis.
3.
Bapak Prof. Ir. Widi A. Pratikto, MSc.,PhD., Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan
dan Perikanan yang pada tahun 2004 sebagai D i k t u r Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (P3K) DKP yang telah berkenan memberikan ijin belajar
4.
Ibu Ir. Ida Kusuma W., Direktur Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K yang pada tahun 2004
sebagai Kepala Bagian Program Ditjen KP3K DKP yang telah memberikan dukungan
untuk sekolah pasca sarjana di IPB
5.
Bapak Ir. Agus Dennawan, MSi., Diiktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen
KP3K yang telah memberikan dukungan terns menerus untuk menyelesaikan p e n d i d i
di pasca sajana di JPB
6.
Mohamad Jen, A.Pi., Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan D i Kelautan dan Perikanan Kabupaten B e r n dan Sonny
TasidjawqSIK., Bio-Monitoring Ofiicer Sekretariat Bersama Bemu yang senantiasa
menjadi partner diskusi sejak tahun 2004 hingga penyelesaian tesis ini baik langsung
mapun lewat telepon dan email.
7.
Rekan-rekan di Sekretariat Bersama (Joint Program) Berau dan rekan-rekan Dinas
Kelautan dan Perilcanan Berau yang telah berkenan berbagi data dan informasi mengenai
KKL Berau
8.
Nirmalasari Idha Wijaya, SPi, MSi yang selalu menjadi teman diskusi dalam
penyelesaian tesis hi, juga teman-teman laimya Yessi Gardenia, SPi.,MSi. dan Ika
Wahyuningrum, SPi,.MSi.
9.
Program COREMAP I1 yang telah memberikan bantuan penelitian melalui program
beasiswa
10.
Khususnya istriku Ria Kodariah, yang senantiam setia menemani, memberikan doa,
semangat dan dorongan, serta anak-anakku yang telah memberikan motivasi dalam
penyelesaian studi hi, juga
kakak, adik-adikku yang telah memberikan doa serta
dukungan yang tak pemah surut.
11.
Rekan-rekan Mahasiswa Program TKL Sub Program Studi PPKP angkatan 200412005
dan angkatan 200512006, dan semua pihak yang tak tersebutkan satu persatu.
Penulis menyadari kesempumaan masih belum dapat tempi dalarn tesis h i sehingga
kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempumaannya. Semoga tesis ini dapat
bermanfaat berbagai pihak khususnya bagi masyarakat pesisu Kabupaten Berau.
Bogor, April 2009
Andi Rusandi
RIWAYAT EIIDI.JP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 Juli 1962 sebagai anak kedua
dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Rubardi Martasasmita (Alm) dan Ibu Hj.
Domirah (Alm). P e n d i d i i S-1 diselesaikan tahun 1987 di Institut Pertanian Bogor Fakuitas
Perikanan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan.
Penulis mulai bekerja di Sub Balai Konsewasi Sumberdaya Alam Pangandaran
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam pada tahun 1990. Selanjutnya
berturut-turut bekerja di Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta, Balai Taman
Nasional Kepulauan Seribu Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan. Pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan
bekerja di Diktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K) Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai Kepala Sub bagian Program Ditjen P3K dan
selanjutnya sebagai Kepala Seksi Konsewasi Kawasan pada Direktorat Konservasi dan
Taman Nasional Laut (Dit. KTNL) D i k t o r a t Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (Ditjen KP3K) dan sejak awal Januari 2009 penulis mendapat tugas menjadi Kepala
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Pontianak yang wilayah kerjanya meliputi
seluruh provinsi dan kabupatenlkota Kalimantan.
Pada tahun 2004 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program
Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Program Studi Teknologi Kelautan.
...
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................
xvi
1 PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Perurnusan Masalah ................................................................................................. 6
..
1.3 Tujuan Penel~tlan.....................................................................................................
.. ................................................................................................... 77
1.4 Manfaat Penel~t~an
1.5 Kerangka Pemikiran ................................................................................................ 7
2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................... 9
2.1 Kawasan Konservasi Laut (KKL) .......................................................................... 9
2.2 Kawasan Konsewasi Laut Berau .......................................................................... 13
2.3 Usaha Perikanan Tangkap ..................................................................................... 16
2.4 Perikanan Tangkap Berkelanjutan........................................................................ 17
2.5 Pemanfaatan Teknologi Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis........24
2.5.1 Peneindraan
. .iauh (INDRAJA) satelit ........................................................ 24
2.5.2 Sistem informasi geogratis (SIG) .............................................................. 25
2.6 Proses H i i AnalitikIPHA (Analytical Hiermchy Process/AHP) ..................... 27
3. METODOLOGI...............................................................................................................
. . ................................................................................. 30
3.1 Lokasi dan Waktu Penel~t~an
30
3.2 Bahan dan Alat ......................................................................................................31
3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................................................
32
Pengumpulan
citra
satelit
...........................................................................
34
3.3.1
3.3.2 Pengumpulan data posisi dan hasil tangkapan .......................................... 34
3.4 Metode Pengolahan Data .......................................................................................34
3.4.1 Pengolahan citra satelit .............................................................................. 34
3.4.2 Pengolahan spasial................................................................................. 34
3.5 Analisis Data.......................................................................................................... 35
3.5.1 Analisis spasial .......................................................................................... 35
3.5.2 Analisis kesesuaian lahan daerah penangkapan ikan ................................38
3.5.3 Stnttegi pengelolaan wilayah perikanan tangkap ...................................... 43
3.5.4 Hierarki penentuan kebijakan penggunaan alat tangkap ........................... 44
4 HASIL PENELITIAN...................................................................................................... 51
4.1 Keadaan Umum ..................................................................................................... 51
4.1.1 Kondisi gwgrafis dan administratif .......................................................... 51
4.1.2 Parameter oseanografi ............................................................................... 54
Suhu air laut ................................................................................... 55
Salinitas air laut ............................................................................. 55
Khlorofil- a ....................................................................................56
Kondisi arus laut ............................................................................ 56
. .Kedalaman perairan ....................................................................... 58
4.1.3 Kondis~ekosistem...................................................................................... 61
4.1.3.1 Ekosistem mangrove...................................................................... 61
4.1.3.2 Ekosistem tenunbu karang ............................................................62
4.1.3.3 Ekosistem padang lamun ............................................................... 63
4.1.4 Kondisi sosial budaya masyarakat............................................................. 66
Kegiatan P e r i i a n Tangkap................................................................................. 68
4.2.1 Jenis alat penangkapan ikan ...................................................................... 69
4.2.2 Nelayan ...................................................................................................... 76
42.3 Metode penangkapan ikan .........................................................................
81
4.2.4 Hasil tangkapan ikan ................................................................................. 81
4.2.5 Sebaran spasial daerah penangkapan ikan ................................................. 84
4.1.2.1
4.122
4.1.2.3
4.1.2.4
4.1.2.5
4.2
5 PEMBAHASAN......................................................................................................... 88
5.1 Zonasi Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap ..........................88
5.1.1 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis ......................................... 89
5.1.2 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan demersal ...................................... 89
5.2 Hierarki Pemilihan ~ l a i ~ & g k&ah
a ~ Lingkungan ......................................... 92
5.2.1 Selektivitas alat tangkap ............................................................................
95
5.2.2 Pemanfaatan berkelanjutan ........................................................................ 96
5.2.3 Tidak berdampak pada ekosistem......................................................... 96
5.2.4 Kemudahan pengoperasian ........................................................................96
5.2.5
Aman bagi nelayan .................................................................................... 97
5.2.6 Tidak menimbulkan pencemaran............................................................... 97
5.2.7 Produksi yang berkualitas tinggi ............................................................... 98
5.2.8 Aman bagi konsumen ................................................................................ 98
5.2.9 Menguntungkan bagi nelayan.................................................................... 98
5.2.10 Penenmaan masyarakat nelayan................................................................ 98
5.2.1 1 Legalitas kegiatan penangkapan ................................................................ 99
5.3 Penggunaan Alat Tangkap untuk Mendukung Pengelolaan Wilayah
Perikanan Berkelanjutan .......................................................................................
99
5.4 Rekomendasi Pengelolaaan Wilayah Penangkapan Berkelanjutan.....................100
6 KESIMPULAN ..............................................................................................................103
6.1 Kesimpulan..........................................................................................................
103
104
6.2 Saran ....................................................................................................................
DAFTm PUSTAKA...........................................................................................................
105
LAMPIRAN....................................................................................................................
1 1
1
Jenis dan sumber data yang dibutuhkan &lam analisis kesesuaian wilayah perairan
untuk perikanan tangkap di Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau Kalimantan
Timur.............................................................................................................................32
.
.
2 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang mengindikasikan keberadaan ikan pelagis
terutama jenis ikan kembung, tongkol dan teri............................................................. 41
3 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang m e n g i n d i i i keberadaan ikan
demersal terutama jenis ikan kerapu, kuwe dan kakap..................................................43
4 Matrik berbanding berpasangan.....................................................................................
48
5 Skor penetapan prioritas &lam PHA ........................................................ 49
6 Nama dan luas pulau-pulau kecil dalam KKL Berau.....................................................
53
7 Komposisi penutupan karang di perairan utara KKL Berau .......................................... 63
8 Komposisi penutupan karang di perairan selatan KKL Berau ....................................... 63
9 Nama kecamatan. kampung dan jumlah penduduk di KKL Berau................................ 66
10 Jenis dan jumlah alat tangkap bulan Februari .
Juni 2005 ............................................. 69
11 Jenis dan jumlah alat tangkap bulan Juli 2005 .Februari 2006..................................... 70
12 Hasil tangkapan ikan pelagis di peraim KKL Berau.................................................... 82
13 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan KKL Berau................................................. 83
14 Matriks prioritas kriteria dalam mencapai tujuan penentuan jenis alat tangkap
yang ramah ligkungan..................................................................................................
93
15 Matriks ranking jenis alat tangkap yang ramah lingkungan........................................... 94
DAFrAR GAMBAR
Halaman
1
Kerangka pemikiran .................................................................................. 8
2
Peta lokasi penelitian
4
Hasil dari analisis diagram Voronoi
..................................................................................................31
6
........................................................................... 36
Tampilan hasil analisis jalur pada sekumpulan titik .................................................... 36
..
Hasil buffer pada unsur ttt~kdan garis ......................................................................... 37
7
Tampilan analisis tumpang susun (overloy)................................................................ 38
8
Diagram h i i i analisis penentuan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan
dan sesuai untuk digunakan di zona perikanan belkelanjutan perairan KKL
Berau...........................................................................................................................
5
50
Rata-rata sebaran suhu permukaan laut KKL Berau .................................................... 55
9
10 Rata-rata sebaran khlorofil- a KKL Berau ................................................................... 57
11 Kedalaman laut di perairan KKL Berau..................................................... 58
12 Citra NOAA-AVHRR penyebaran suhu bulan Januari-Desember 2006......................59
13 Citra TERRA-MODIS penyebaran klorofil bulan Januari-Desember 2006.........
14 Sebaran pancing.........................................................
15
60
................................. 77
. .
Sebaran pukat dan pukat clncln ....................................................................................78
-.--
..
16 Sebaran trawl dan mlnl trawl ........................................................................................
79
17 Sebaran rengge dan jerat udang .................................................................................... 80
18 Grafik hasil tangkapan ikan pelagis di perairan KKL Berau......................................... 83
19 Grafik hasii tangkapan ikan demersal di perairan KKL Berau .....................................84
20 Sebaran keberadaan ikan lumba-lumba dan hiu ............................................................ 85
-~
~
~
~-
~
~~
~
~
~~
21 Sebaran daerah penangkapan biota yang dilindungi
22
~~~~
~
~
~
....................................................86
Sebaran daerah penangkapan ikan ekonomis penting .................................................87
~~-
23
Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis di KKL Berau ................................... 90
24
Kesesuaian wilayah penangkapan ikan demersal di KKL Berau ................................ 91
25
Tampilan kriteria dan sub-kriteria dalam penentuanjenis alat tangkap nunah
Lingkungan pada sofiware expert choice 2000 ..................................................
26
........ 95
:
Rencana zonasi wilayah perikanan tangkap berkelanjutan di KKL Berau ............... 102
Halaman
1
Data hasil tangkapan ikan 5 tahun
.......................................................................
..........................................
Grafik sensitivitas penentuan alat tangkap ramah lingkungan.....................................
112
2 Data tokoh kunci sebagai responden expert judgement
114
3
115
4 Kuesioner proses hierarki analisis (F'H.4)
.............................................................. 116
5 Alatalat penangkapan ikan ..................................................................................
121
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki luas laut lebih besar
dibanding luas daratan. Jumlah pulau di negam ini sebanyak 17.504 pulau dengan
panjang garis pantai 95.181 km. Total luas wilayah perairan laut 5,8 juta km2
yang terdiri dari 3,l juta km2 perairan teritorial dan 2,7 juta km2 Zona Ekonomi
Eksklusif. Luas perairan laut ini mencapai 75 % dari luas teritori Negara Kesatuan
Republik Indonesia (DKP 2005).
Wilayah laut Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa terkenal
memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam. Hasil beberapa pakar
menunjukan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia antara lain 15 spesies
lamun (Hoeksema 2007), 550 spesies reef building corals (Roberts et al. 2002),
45 spesies mangrove (Burke et al. 2002), lebih dari 40 spesies Mwrrom coral
(Hoeksema 2007), 30 spesies marine mammals (Jefferson 1993) dan 2.122 spesies
reef$shes (Allen 2007).
Sumberdaya kelautan merupakan salah satu kekayaan alam yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat, namun pemanfaatan sumberdaya tersebut sampai
saat ini kurang memperhatikan kelestariannya. Akibatnya terjadi penumnan
fungsi, kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada. Dalam menjaga
kelestarian sumberdaya kelautan di Indonesia, diperlukan suatu desain
pengelolaan yang komprehensif. Desain pengeloiaan ini diharapkan dapat
menyatukan beberapa kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodasikan
kebutuhan masyarakat. Desain pengelolaan tersebut adalah menyisihkan lokasilokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan biota laut,
gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi kawasan konservasi laut
(KKL). Melalui KKL diharapkan upaya perlindungan terhadap sistem penyangga
kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, serta
pemanfaatan sumberdaya alam kelautan secara lestari dapat tenvujud, karena di
dalam kawasan konsewasi juga menyediakan daerah penangkapan ikan yang
hams dikelola pemanfaatannya sehingga dapat tejamin kelestariannya.
Daerah penangkapan ikan Cfishing ground) adalah suatu wilayah dimana
ikan-ikan biasa berkumpul dan merupakan target para nelayan untuk menangkap
ikan karena selain lokasi sumberdaya ikan, wilayah tersebut dianggap aman untuk
pengoperasian suatu alat tangkap dan tidak membahayakan bagi nelayan.
Kondisifishing ground sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
faktor lingkungan yang mencakup, suhu, sariitas, upwelling dan adanya
pertemuan arus panas dengan arus dingin. Selain itu jenis substrat dari dasar
perairan akan mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan. Faktor biologi antara
lain berkorelasi dengan kelimpahan plankton pada suatu wilayah tertentu. Ikanikan target yang akan ditangkap jumlahnya masih menguntungkan usaha
penangkapan ikan.
Sumberdaya ikan bersifat dapat pulihldiperbaharui (renewable resources),
karena sumberdaya tersebut memiliki kemampuan regenerasi secara biologis.
Apabila tidak dikelola secara hati-hati dan menyeluruh, kegiatan penangkapan
ikan akan mengarah kepada eksploitasi yang tidak terkontrol dan akan
mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan. Salah satu upaya yang hams
dilakukan adalah pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan secara
seimbang dengan usaha konsewasi sehingga kelestarian dapat terus terjaga
(sustainable). Hal ini sejalan dengan yang telah dicanangkan oleh F A 0 (1995)
dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries yang menyatakan bahwa
'States and users of aquatic ecosystems should minimize waste, catch of nontarget spesies, both fsh and non-fsh spesies, and impacts on associated or
dependent spesies
"
Pengelolaan daerah penangkapan ikan yang berkelanjutan mengacu kepada
Code of Conduct for responsible Fisheries dimana pengelolaan hams melalui
kebijakan, hukum, dan kerangka kelembagaan yang tepat dengan mengadopsi
langkah-langkah untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, langkah-langkah
dimaksud, adalah :
(1) Menghindari penangkapan ikan melebihi potensi lestarinya
(2) Mendukung industri perikanan yang bertanggungjawab
(3) Memperhatikan kepentingan nelayan kecil
(4) Melindungi dan mengkonsewasi keanekaragaman hayati yang terancam
punah
(5) Memfasilitasi pemulihan stok ikan yang sudah mulai kurang
(6) Mengkaji dan memperbaiki dampak negatif akibat aktivitas manusia
(7) Meminimalkan dampak negatif seperti pencemaran limbah, besamya hasil
tangkapan sampingan (by catch) dengan menggunakan alat tangkap yang
selektif, efisien dan ramah lingkungan.
Menurut Sembiring dan Husbani (1999) kawasan konservasi laut memiliki
peran clan arti penting dalam kehidupan, karena memiliki nilai-nilai nyata dan
instrinsik yang tidak terhingga, seperti nilai ekologi, ekonomi, sosial, dan
sebagainya. Kawasan konservasi laut sebagai perwakilan tipe ekosistem dan
keanekaragaman jenis biota laut, keutuhan sumber plasma nutfah, keseimbangan
ekosistem telah memberikan kontribusi yang jelas bagi kehidupan manusia dalam
bentuk kepentingan ekonomi, ekologis, estetika, pendidikan, penelitian, biologi
dan mainan masa depan permawan 2007).
Kabupaten Berau merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi
sumberdaya pesisir dan laut yang tinggi dan beragam di Indonesia, sehingga
masuk dalam Sulrr Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) yang dikelola 3 negara
yakni Indonesia, Malaysia dan Philipine. Bahkan saat ini, Kabupaten Berau
menjadi salah satu lokasi Coral Triangle lnisiafive (CTI) yang akan
dikerjasamakan oleh 6 negara yakni, Indonesia, Malaysia, Philipina, Papua New
Guinea, Solomon Islands dan Timor Leste.
Keanekaragaman hayati laut Berau adalah tertinggi kedua di Indonesia
setelah Raja Ampat dan ketiga di dunia. Hutan mangrove ditemukan di sepanjang
daerah pesisir di KKL Berau sebanyak 26 jenis. Sejumlah pulau-pulau kecil dan
ekosistem padang lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies yang
dilindungi dapat ditemukan seperti penyu, paus, lumba-lumba, duyung dan
beberapa spesies lainnya. Perairan Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki
habitat penyu hijau terbesar di Indonesia. Selain itu, potensi perikanan dan
pariwisatanya masih baik. Namun demikian, di kawasan pesisir dan laut Berau
juga terdapat berbagai permasalahan seperti p e ~ s a k a nterumbu karang, perbuman
telur penyu, penangkapan ikan yang tidak ramah ligkungan, dan lain sebagainya.
Dengan potensi sumberdaya pesisir dan laut yang besar beserta
permasalahannya, wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau perlu dikelola dengan
baik clan tepat. Hal ini guna menjaga kelestarian dan bejalannya fungsi
pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan agar mendukung kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.
Sesuai dengan program pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan)
yang tengah menggalakkan pembentukan KKL di berbagai daerah dengan target
10 juta ha pada tahun 2010, termasuk pembentukan kawasan konservasi laut
Kabupaten Berau (KKL Berau).
KKL Berau ditetapkan melalui Peratumn Bupati Berau No 31 tahun 2005
tanggal 27 Desember 2005. Batas KKL di wilayah laut ditetapkan sejauh 4 mil
yang diukur dari garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar &lam
wilayah Kabupaten Berau, ditambah kawasan lindung mangrove yang telah
tertuang di Peraturan Daerah No. 3 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Berau, sehingga luas KKL Berau hingga ke
kawasan mangrove sebesar 1.222.988 ha.
Secara umum tujuan pembentukan KKL Berau adalah melindungi
keanekaragaman pesisir dan laut, serta menjamin pemanfaatan sumberdaya pesisir
dan laut baik untuk kepentingan perikanan maupun pariwisata bahari dapat
berkelanjutan di Kabupaten Berau. Dalam rangka optimalisasi pengelolaan
kawasan konservasi laut Berau, penerapan zonasi merupakan solusi yang tepat,
namun perlu direncanakan secara matang.
Salah satu teknologi dalam mengkaji zonasi di KKL Berau adalah dengan
penginderaan jauh yang memanfaatkan sensor kelautan pada wahana satelit yang
melintasi wilayah perairan. Menurut Kartasasmita (1999) dan Widodo (1999),
penginderaan jauh satelit (remote sensing satellite) telah menjadi salah satu teknik
yang sering dipakai dalam upaya menggali informasi-informasi dari parameter
osenaografi di perairan, ha1 ini dikarenakan sensor satelit dapat menyapu wilayah
dengan luas (sinoptik) dan memiliki frekuensi lintasan yang sering 2-4 kali sehari
pada satu wilayah, sehingga perolehan data menjadi lebih cepat, runtun waktu
(real time) dan murah. Pemanfaatan data dari citra satelit dengan berbasiskan
tehnik pengolahan citra dapat memberikan kontribusi sangat besar dalam kegiatan
pendugaan zona penangkapan ikan di perairan lapisan atas.
Satelit NOAA menyediakan informasi pembahan suhu permukaan laut
(SPL) dan citra MODIS-AQUA untuk informasi perubahan konsentrasi klorofil-a
pada permukaan yang kemudiaan dapat di analisis dalam bentuk informasi atau
peta dugaan posisi dan zona yang menjadi potensial bagi penangkapan
sumberdaya ikan (Kushardono 2003).
Menurut Hendriarti er al. (1985), Purba (1991) dan Hasyim (1996), SPL
dapat memberikan informasi mengenai fenomena upwelling, POW,peergerakan
massa air dan kesesuaian suhu permukaan yang merupakan indikator penting
keberadaan ikan-ikan tertentu. Sementara nilai konsentarasi klomfil-a diatas 0,2
mg& menunjukkan kehadiran dari kehidupan plankton yang memadai untuk
menopang atau mempertahankan kelangsungan perkembangan perikanan
komersial (Bond 1979).
Pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis (SIG) dalam bidang
pesisir dan lautan sampai saat ini sudah banyak membantu para analis &lam
mengkaji dan mengembangkan informasi bagi kegiatan sektor pesisir dan lautan.
Sebagai contoh, analisis kesesuaian dalam penentuan lokasi yang tepat untuk
budidaya udang, daerah penangkapan ikan, pelabuhan perikanan, kegiatan
monitoring berbagai sumberdaya hayati pesisir (mangrove, lamun, rumput laut,
temmbu karang dan stok ikan karang) dan penataan kawasan pesisir yang
berkelanjutan.
Teknologi SIG yang berbasis sistem komputer dapat membantu analis
mengkombinasikan berbagai data masukan dari citra satelit, pesawat terbang,
instrument akustik maupun hasil survey lapang untuk diolah dalam bentuk model
spasial. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan informasi
yang tepat mengenai zona penangkapan ikan berkelanjutan yang tepat
berdasarkan data biofisik di KKL Berau sehingga dapat disusun strateginya demi
kesesuaian wilayah perairan untuk perikanan tangkap.
1.2 Perurnusan Masalah
Pada satu sisi, kawasan konsewasi laut Berau memiliki potensi sumberdaya
pesisir dan laut yang tinggi, pada sisi lain di kawasan pesisir dan laut ini juga
mempunyai berbagai permasalahan seperti degradasi lingkungan akibat beberapa
aktivitas manusia seperti perusakan terumbu karang, penangkapan ikan yang tidak
ramah lingkungan (iflegal jishing), eksploitasi ikan berlebihan (melebihi daya
dukung), deplesi beberapa biota laut dilindungi seperti penyu, dan lain
sebagainya. Kenyataan ini berdampak pada penurunan populasi ikan dan biota
laut lainnya.
Salah satu program terobosan &lam meminimalkan penurunan
sumberdaya ini adalah pengelolaan Kawasan konsewasi laut Berau dengan sistem
zonasi yang ditaati seluruh stakeholders termasuk masyarakat.
Penunjukan kawasan konservasi laut Berau yang berdasarkan Peraturan
Bupati Berau No 31 tahun 2005, perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan
management plan yang didalamnya terdapat arahan zonasi sesuai dengan
peruntukannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007
tentang Konsewasi Sumberdaya Ikan (KSDI) bahwa suatu kawasan konsewasi
laut terdiri dari Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan, dan
Zona lainnya yang masih dianggap perlu. Zona perikanan berkelanjutan yang
dimaksud disini adalah suatu zona yang diharapkan dapat mengakomodir
kepentingan perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
Penentuan daerah penangkapan ikantzona perikanan tangkap tidak mudah,
oleh karenanya pada penelitian ini perlu kajian kesesuaian wilayah perairan
tersebut untuk perikanan tangkap dengan beberapa pendekatan imagelcitra, dan
data lain yang mendukung analisa kesesuaian daerah penangkapan ikan. Untuk
lebih bermanfaatnya penentuan wilayah perikanan menjadi daerah penangkapan
ikan berkelanjutan, perlu disusun strategi pengelolaan, antara lain mengkaji jenis
alat tangkap yang ramah lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi sebagian mjukan dalam penyusunan management plan KKL Berau
secara lengkap.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
(1) Mengetahui kesesuaian wilayah perairan di kawasan konsewasi laut Berau
untuk daemh penangkapan ikan
(2) Menyusun rekomendasi pengaturan penggunaan alat tangkap yang ramah
lingkungan sebagai bagian dari strategi pengelolaan daerah penangkapan ikan
secara berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini adalah salah satu bahan untuk penyusunan rencana zonasi di
kawasan konsewasi taut Berau yang diwajibkan Peraturan Pemerintah tahun 2007
tentang Konservasi Sumberdaya Ikan maupun Undang-undang No 27 tahun 2007
tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sehingga pemanfaatan
sumberdaya ikan di kawasan konsewasi tersebut dapat lebih tejamin
kelestarianya.
15 Kerangka Pemikiran
Pembangunan
berkelanjutan merupakan
pembangunan
yang
dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengurangi kemampuan
generasi yang akan datang (WCED 1987), sehingga pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang hams mernperhitungkan permasalahan ekologi,
ekonomi dan sosial (Munasinghe 2002).
Dalam
perencanaan
wilayah
perikanan
berkelanjutan sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa kondisi ekologi, sosial budaya dan ekonomi harus dapat
berjalan secara seimbang.
Aspek ekologi yang perlu diperhitungkan dalam
perencanaan adalah daya dukung lingkungan terhadap seluruh aktivitas perikanan
yang hams mempertimbangkan areal Zona Inti (No Take Zone) dan Zona
Pemanfaatan Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan dan Zona lainnya.
Perikanan tangkap berkelanjutan adalah salah satu aktivitas perikanan
berkelanjutan yang dalam perencanaan strategi implementasinya sangat
dipengaruhi kondisi sosial budaya dan ekomomi masyarakat.
Dengan diketahuinya komponen-komponen tersebut di atas, diharapkan
daerah penangkapan ikan dapat terpetakan dengan baik dan dapat menjadi bahan
rujukan penentuan zonasi secara lengkap dalam rangka Perencanaan Pengelolaan
KKL Berau.
I. N
a
i
h
~
p
~
~
a
l
Gambar 1 Kerangka pemikiin
i
~
i
i
d
a
k
~
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kawasan Konservasi Laut (KKL)
Komitmen
Pemerintah
Indonesia
terhadap
lingkungan
khususnya
lingkungan perairan laut, diindikasikan dengan terbitnya berbagai aturan dan
kebijakan, seperti Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya tkan khususnya mandate pasat 1 ayat 1 bahwa konservasi
sumberdaya ikan mempakan upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memeliara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Sehingga
pernerintah sudah mewajibkan bagi seluruh stakeholders untuk melakukan upayaupaya pemanfaatan yang berkelanjutan baik untuk pemanfaatan ekosistem seperti
pengelolaan kawasan konservasi maupun pemanfaatan jenislgenetik seperti
penangkaran dan lain sebagainya.
Dalam PP No 60 Tahun 2007 juga dinyatakan bahwa sumberdaya ikan
adalah potensi semua jenis ikan, sedangkan potensi jenis ikan yang dimaksud PP
tersebut adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan.
Menurut Sembiring dan Husbani (1999) kawasan konservasi laut memiliki
peran sangat penting dalam kehidupan, karena memiliki nilai-nilai nyata dan
instrinsik yang tidak terhingga seperti nilai ekologi, ekonomi, sosial, yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia saat kini maupun saat mendatang. Sementara
Dermawan (2007) menyatakan bahwa kawasan konservasi laut m e ~ p a k a n
wilayah yang terpilih sebagai penvakilan berbagai tipe ekosistem dan
keanekaragaman jenis biota laut, sebagai sumber plasma nutfah, serta sebagai
penyeimbang ekosistem dengan kata lain terjaminnya proses-proses ekologis
sehingga dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi kehidupan manusia.
Kontribusi dan manfaat keberadaan kawasan k o n s e ~ a s ilaut antara lain
dapat menunjang kepentingan ekonomi, ekologis, estetika, pendidikan dan
penelitian, biologi dan jaminan masa depan (Dermawan 2007).
Defrnisi kawasan konsewasi laut (Marine Pmtected Area-MF'A) yang
dihasilkan kongres dunia tentang kawasan lindung ke-4 (World Wilderness
Congress) dan diadopsi oleh IUCN pada tahun 1988, adalah : daerah intertidal
atau subtidal termasuk flora dan fauna, sejarah dan keragaman budaya yang
dilindungi sebagian atau seluruhnya melalui peraturan perundangan (Gubbay
1995 yang diacu dalam PT Norma Widya Karsa 2003). Definisi MPA menurut
fiecutive Order 13158 dalam laporan-PT Norma Widya Karsa tahun 2003, bahwa
MPA adalah "any area of the marine environment that has been reserved by
federal, state, territorial, tribal or local laws or regulations to provide lasting
protection for part or all of the natural and cultural resources therein"
Berbagai bentuk, ukuran dan kamkteristik serta pengelolaan sebuah kawasan
k o n s e ~ a s laut
i (MPA), ha1 ini sangat tergantung dari tujuannya, seperti halnya di
Amerika telah dikembangkan berbagai jenis MPA, seperti : national marine
sanctuaries, fishery management zones, national seashores, national park
national moments, critical habitats, national wildlge refuges, national estuarine
research reserves, state conservation areas, state reserves, ha1 ini untuk
kepentingan tujuan konsewasi seperti konsewasi kawasan (Marine Managed
Area-MMA), konsewasi jenis antara lain konsewasi migratory species.
MPA seluas 18.850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir pertama kali
diperkenalkan pa& tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National
Monument di Florida, dan menjadi perhatian khusus pada The World Congress on
National Park tahun 1962 karena konsep konsewasi yang memadukan wilayah
laut, pesisir dan perairan tawar didaratan.
Dukungan Internasional semakin berkembang dalam mempromosikan MF'A,
ha1 ini munculnya dukungan berbagai LSM seperti WWF Internasional
menyatakan bahwa pengelolaan konsewasi laut menjadi sarana penting karena
mampu menjamin pemulihan kesehatan ekosistem laut yang berimplikasi terhadap
kesuburan wilayah perikanan.
Konsep pengembangan MPA menjadi popular karena di lokasi MPA
dilakukan konsewasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati
laut secara
berkelanjutan yang dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim global
(global climate change), terutama sebagai kontrol pemanfaatan sumberdaya
perikanan.
Empat program pengembangan MPA (Dermawan 2007), yaitu :
(1) Conservution of biodiversify
-
MPAs dapat melindungi dan memperbaiki
keanekaragaman hayati lalut melalui implementasi perencanaan pengelolaan
berbasis ekologi, yakni melalui prioritas daerah untuk konservasi laut, k o n s e ~ a s i
habitat dan konsewasi jenis serta penyusunan kebijakan yang mendukung
pembangunan berkelanjutan
(2) Sustainable Fisheries - MPAs menunjukan cara yang efektif &lam upaya
perlindungan terhadap collaps-nya perikanan, salah satunya dengan
peningkatan rekruihnenl restocking ikan di wilayah kritis. Penerapan ini
sangat sesuai di Asia Tenggara k a n a kondisi perikanannya yang multispecies dan multi-gem
( 3 ) Sustainable Tourism - MPAs dapat memajukan tourism melalui pelibatan
seluruh stakeholders dalam pengelolaan MPA untuk melindungi, memelihara
dm memperbaiki ekosistem laut karena fenomenanya menjadi asset andalan
pariwisata bahari.
(4) Integrated Coastal Management
- MPAs dapat
memberikan percontohan
pengelolaan pesisir terpadu yang melibatkan berbagai stakeholders secara
partisiptic sehingga terhindar dari "buildingblocks"
Keseriusan Pemerintah Indonesia &lam penanganan konsewasi perairan,
terutama perairan laut, diindikasikan dengan keluamya aturan-aturan diantaranya
Undang-undang No 3 1 tahun 2004 tentang Perikanan, yang memandatkan bahwa
konservasi sumberdaya ikan perlu diterapkan sebagai upaya perlindungan,
pelestaria, dun pemanfmtan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dun
genetic untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, t,n kesinambungan dengan
tetap memeliharadan meningkatkan kunlitas nilai dun keanekaragaman
sumberwa ikan ( p a d 1 angka 8 UU No 31 Tahun 2004), dan petunjuk
operasional yang lebih detail dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah
No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang didalamnya
memandatkan (pasal I angka 8) bahwa Kawasan Konsewasi Perairan yang
termasuk Kawasan konservasi laut merupakan kawasan perairan yang dilindungi,
diielola dengan sitem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan
dan lingkungannya secara berkelanjutan
Pendelegasian kewenangan pengelolaan kawasan konservasi laut ke daerah
juga diperbesar peluangnya, yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, temtama pada pasal 18 dijelaskan salah satu kewenangan
~i
daerah di wilayah laut Bdalah eksplorasi, eksploitasi dan k o n s e ~ a sumberdaya
alam di wilayahnya, sehingga sekarang dikenal dengan Kawasan k o n s e ~ a s laut
i
Daerah yang mencirikan bahwa inisiasi pengelolaan diawali dari daerah, namun
pengaturan pengelolaan tetap mengacu kepada peraturan perundangan yang ada.
Pengelolaan kawasan konservasi juga diatur di Undang-undang No 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana
regim pengelolaannya meliputi pesisir pantai sampai kearah laut dan pulau-pulau
kecil, sementara pengaturan detail perencanaan pengelolaannya telah diatur di
PERMEN KP No PER. 16/MEN/2008.
Zona di kawasan konsewasi laut sebagaimana pasal 17 ayat 4 PP No 60
Tahun 2007, terdiri dari Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona
Pemanfaatan serta Zona Lainnya
Zona di Kawasan konservasi laut mempakan suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui pendekatan fungsional sesuai dengan potensi sumber
daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu
kesatuan ekosistem.
Zona inti diperuntukkan bagi:
(1) Perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan;
(2) Penelitian; dan
(3) Pendidikan.
Zona perikanan berkelanjutan dipemntukkan bagi :
(1) Perlindungan habitat dan populasi ikan;
(2) Penangkapan ikan dengan alat dan cam yang ramah lingkungan;
(3) Budidaya ramah lingkungan;
(4) Pariwisata dan rekreasi;
(5) Penelitian dan pengembangan; dan
(6) Pendidikan.
Zona Pemanfaatan dipemtukkan bagi:
(1) Perlindungan habitat dan populasi ikm,
(2) Pariwisata dan rekreasi;
(3) Penelitian dan pengembangan; dan
(4) Pendidikan.
Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan
zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona
tertentu seperti zona perlindungan, zona pemanfaatan tradisional, dan zona
rehabilitasi.
Di zona perikanan berkelanjutan diutamakan peruntukannya untuk kegiatan
perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Penentuan wilayah perikanan
budidaya maupun daerah penangkapan ikan dapat dilakukan dengan pendekatan
analisa citra dan survey secara terpadu.
2 3 Kawasan Konservasi Laut Berau
Kabupaten Berau yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur m e ~ p a k a n
salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup
tinggi dan beragam di Indonesia. Di wilayah pesisir dan laut Kabupaten ini
terdapat terumbu k
g yang luas dengan kondisi cukup baik. Keragaman
terumbu karang Berau tertinggi kedua di Indonesia setelah Raja Ampat Papua dan
yang ketiga di dunia
Hutan mangrove di Kabupaten Berau banyak ditemukan di Delta Berau dan
di sepanjang daerah pesisir. Sejumlah pulau-pulau kecil dan ekosistem padang
lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies yang dilindungi dapat
ditemukan seperti p e n s paus, lumba-lumba, duyung dan beberapa spesies
laimya. Keanekaragaman yang tinggi di Kabupaten Berau ini, menjadikan hampir
seluruh wilayah Berau dijadikan Kawasan Konservasi Laut Berau melalui
Peraturan Bupati berau No 3 1 tahun 2005.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa bahwa jenis-jenis biota
perairan yang dilindungi pemerintah adalah :
Reptilia
( 1 ) Penyu tempayan (Caretta caretta)
(2) Penyu hijau (Chelonia mydas)
(3) Penyu belimbing (Dermochelyscoriacea)
(4) Penyu sisik (Eretmochelysimbricata)
(5) Penyu ridel (Lepidochelysolivaceae)
(6) Penyu pipih (Natator depresa)
Mamalia
( 1 ) Paus biru (Balaenoptera musculus)
(2) Paus bersirip ( B a ~ a e m p t e r a p ~ s a l w )
(3) Paus bongkok (Megaptera novaeangliae)
(4) Paus lemak (Cetacea/semuajenis familia cetacea)
(5) Lumba-lumba air laut (Dolphinidae/semuajenis famila Dolphinidae)
(6) Duyung (Dugong dugon)
(7) Lumba-lumba air laut (Ziphiidael semua jenis familia Ziphiidae)
Pisces
Coelacanth (Latimeria chalumnae)
Anthozoa
Akar bahar, koral hitam (Anthiparesspp/genus Anfhipates)
Molusca
(1) Kima raksasa (Tridocnagigas)
(2) Kima kecil (Tridacna mmima)
(3) Kima sisiWseruling (Tridacnasquamosa)
(4) Kima selatan (Tridacna derata)
(5) Kima kuniaubang (Tridocna crocea)
(6) Kima pasir (Hippopus hippopus)
(7) Kima cina (Hippopusporcellamus)
(8) Kepala kambing (Cussis cornuta)
(9) Triton terompet (Charoniafritonis)
(10) Nautilus berongga (Nautiluspompillus)
( I 1) Troka, susu bundar (Trochus niloticus)
(12) Batu laga/siput hijau (Turbo Marmoratus)
Crustacea
1. Ketam kelapa (Birgus lafro)
2. Ketam tapak kuda (Tachipleus gigas)
Peraimn Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau
terbesar di Indonesia, juga fenomena alam bawah aimya juga berpeluang
dijadikannya pariwisata bahari yang bertaraf intemasional.
Pennasalahan di kawasan pesisir dan laut merupakan
ancaman bagi
kelangsungan KKL Berau. Pennasalahan-pennasalahan tersebut antara lain
perusakan t e m b u karang, penurunan populasi penyu, praktek penangkapan ikan
yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya (Wiryawan el at. 2005).
Kabupaten Berau terdiri dari I3 Kecamatan, yaitu Tanjung Redeb, Gunung
Tabw, Teluk Bayur, Segah, Kelay, Sambaliung, Derawan, Maratua, Tabalar,
Biatan-Lempake, Talisayan, Batu Putih d m Biduk-Biduk. Dari 13 Kecamatan
tersebut, delapan kecamatan merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan
Biduk-biduk, Batu Putih, Talisayan, Biatan-Lempake, Tabalar, Maratua, Derawan
dan Sambaliung. Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Biatan Lempake
merupakan Kecamatan yang baru dibentuk pada tahun 2005.
Di satu sisi Berau mempunyai potensi keanekaragaman hayati pesisir dan
laut, namun di sisi lain permasalahan degradasi pesisir dan laut serta pulau-pulau
kecil di perairan Berau semakin mengkhawatirkan, oleh karenanya pengelolaan
kawasan konse~asilaut Berau perlu segera diprioritaskan untuk ditangani secara
serius sehingga sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat.
Sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah
benvenang untuk mengelola sumberdaya alamnya sendiri, Pemerintah Pusat
melalui Departemen Kelautan dan Perikanan mendorong Pemerintah Daerah
untuk mengembangkan KKL di Berau. Keseriusan Pemerintah Kabupaten Berau
terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir d m laut diwujudkan dengan penunjukan
Kawasan konservasi laut Kabupaten Berau (KKL Berau) melalui Perahlran Bupati
Berau tahun 2005. Batas KKL di wilayah laut ditetapkan sejauh 4 mil yang
diukw dari garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar dalam
wilayah Kabupaten Berau. Luas KKL Berau sebesar 1.222.988. ha. Secara umum
tujuan pembentukan KKL Berau adalah untuk melindungi keanekaragaman laut,
serta menjamin pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pariwisata bahari
berkelanjutan di Kabupaten Berau (Wiryawan et al. 2005).
Pembentukan KKL Berau diharapkan dapat menjadi model dalam
mendesain pokok-pokok pengelolaan konsewasi laut yang berskala daerah, dan
atau regional bahkan nasional karena lintas wilayah administrasi otonomi. Untuk
menghindari berbagai pernasalahan yang berkembang dalam pengelolaan KKL,
baik konflik vertikal (tumpang tindih pemndang-undangan) maupun horizontal
(masalah pemanfaatan dan pengel~laansumberdaya), maka dibutuhkan suatu
kajian yang mendalam terhadap berbagai peraturan perundangan-undangan yang
telah berjalan, perencanan dan desain pengelolan yang baik, kelembagaan yang
&pat bejalan sesuai dengan kebutuhan, serta sistem pendanaan yang mandiri.
Menurut Wiryawan et al. (2005) untuk memudahkan pengelolaan, KKL
Berau diusulkan menjadi 3 kawasan pengelolaan, yaitu bagian utara, tengah dan
selatan. Kawasan pengelolaan bagian utara meliputi wilayah laut, pulau-pulau
kecil, temmbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove di Kecamatan Pulau
Derawan dan Maratua. Kawasan pengelolaan bagian tengah meliputi wilayah laut
dan hutan mangrove Kecamatan Tabalar, Biatan Lempake dan Talisayan.
Kawasan pengelolaan bagian selatan meliputi wilayah laut, pulau-pulau kecil,
temmbu karang, lamun dan hutan mangrove di Kecamatan Batu Putih dan Bidukbiduk.
2.3 Usaha Perikanan Taogkap
Usaha perikanan tangkap adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan
di perairan dalam keadaan tidak di budidayakan dengan maupun tanpa alat
tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung,
mengangkut,
menyimpan,
mendinginkan,
mengolah,
dan
mengawetkan
(Alhidayat 2002).
Kesteven (1973) mengklasifikasikan usaha perikanan tangkap ke dalam tiga
kelompok, yaitu perikanan subsisten, artisanal dan industri. Perikanan tangkap
jenis artisanal dan industri termasuk jenis perikanan yang bersifat komersil.
Pengklasifikasian ini didasarkan pada teknologi yang digunakan, tingkat modal,
tenaga kerja yang digunakan serta kuantitas dan pemasam hasil tangkapan.
Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha pembahan dari suatu
yang dinilai kurang baik menjadi sesuatu yang baik ataupun dari suatu yang sudah
baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses
yang menuju pada suatu kemajuan.
Menurut Bahari (1989), pengembangan usaha perikanan merupakan suatu
proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan
dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi
yang lebii baik.
Pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia perlu diarahkan agar
dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, seperti yang
tergambar dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Berikut syarat-syarat
pengembangan usaha perikanan tangkap:
(1) Meningkatkan kesejahteraan nelayan;
(2) Meningkatkan jumlah produksi dalam rangka penyediaan sumber protein
hewani;
(3) Mendapatkanjenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor;
(4) Menciptakan lapangan keja;
(5) Tidak merusak kelestarian sumber daya ikan.
Usaha pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa datang
memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan iptek, akan mampu mengatasi
keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang rasional untuk
mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan
pengembangan tersebut juga hams mempertimbangkan aspek biologi, teknis,
sosial budaya dan ekonomi (Barus et al. 1991).
2.4 Perikanan TangkPp Berkelanjutan
Pengelolaan berkelanjutan merupakan suatu proses mengoptimalkan
manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yakni dengan cam
menyerasikan aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan daya dukung
sumberdaya alam. Perairan laut bersifat milik bersama, sehingga siapa pun dapat
memanfaatkan sumberdaya hayati yang ada didalamnya.
Perikanan tangkap mempakan kegiatan ekonomi yang mencakup
penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut secara
bebas. Pengembangan usaha perikanan m e ~ p a k a nsuatu proses atau kegiatan
manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus
meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik
(Hamdan 2007).
Menurut Charles (1994), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem
perikanan berkelanjutan yaitu (1) Sistem alami (ikan ekosistem, dan lingkungan
biofisik); (2) Sistem manusia (nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas
perikanan, lingkungan sosiaUekonomi/budaya); dan (3) Sistem manajemen
perikanan (perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan,
pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan).
Laju eksploitasi sumberdaya ikan yang tinggi dan melebihi daya dukungnya
berdampak
langsung
terhadap
keberlanjutan
ketersediaan
sumberdaya,
mempercepat proses kemsakan sumberdaya ikan dan menurunnya permmbuhan
ekonomi jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model
pembangunan di masa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan perikanan berkelanjutan.
Kegiatan perikanan tangkap di kawasan konse~asidipengamhi beberapa
aspek, yakni, (1) aspek biologi, yang berhubungan dengan ketersediaan
sumberdaya ikan, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan jenis
ikan, (2) aspek teknis, yang berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal,
fasilitas penanganan di atas kapal, fasilitas pendaratan, fasilitas penanganan ikan
di darat, (3) aspek sosial, yang berhubungan dengan kelembagaan, ketenagaan
keja serta dampak usaha terhadap nelayan, (4) aspek ekonomi, yang berkaitan
dengan hasil produksi clan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang
berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders (Charles 2001 yang diacu dalam
Hamdan 2007)
Sumberdaya ikan bersifat dapat pulihldiperbaharui (renewable resources),
dimana sumberdaya tersebut memiliki kemampuan regenerasi secara biologis,
namun pengelolaan yang kurang baik akan mengarah kepada eksploitasi yang
tidak terkontrol dan akan mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan. Salah satu
upaya yang harus dilakukan adalah pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang
berkelanjutan atau pemanfaatan sumberdaya ikan yang seimbang dengan
konservasi sehingga kelestarian dapat terus tejaga (sustainable). Hal ini sejalan
dengan yang telah dicanangkan oleh F A 0 (1995) dalam Code of Conduct for
Responsible Fisheries yang menyatakan bahwa "states and users of aquatic
ecosystems should minimize waste, catch of non-target species, both fish and nonfish species, and impacts on associated or dependent species"
Pengelolaan daerah penangkapan ikan yang berkelanjutan mengacu kepada
Code of Conduct for Responsible Fisheries diiana pengelolaan harus melalui
kebijakan, hukum, dan kerangka kelembagaan yang tepat dengan mengadopsi
langkah-langkah untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, langkah-langkah
dimaksud, adalah :
( 1 ) Menghindari penangkapan ikan melebihi potensi lestarinya
(2) Mendukung industri perikanan yang bertanggungjawab
(3) Memperhatikan kepentingan nelayan kecil
(4) Melindungi dan mengkonservasi keanekaragaman hayati yang terancam
punah
(5) Memfasilitasi pemulihan stok ikan yang sudah mulai kurang
(6) Mengkaji dan memperbaiki dampak negatif akibat aktivitas manusia
(7) Meminimalkan dampak negatif seperti pencemaran limbah, besarnya hasil
tangkapan sampingan (by catch) dengan menggunakan alat tangkap yang
selektif, efisien dan ramah lingkungan.
Penangkapan ikan yang berlebihan di suatu daemh penangkapan ikan akan
mengakibatkan menurunnya sumberdaya ikan, menurut Azis et al. (1998) yang
diacu dalam Hamdan (2007), wilayah penangkapan ikan di laut Jawa
diindikasikan telah mengalami ove$shing pada berbagai jenis stok sumberdaya
ikan seperti udang, ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, Beberapa ha1 yang
mempengamhi tejadinya overfishing, yaitu jumpah nelayan, jumlah armada
penangkapan, serta jumlah jumlah dan jenis alat tangkap yang dipakai dalam
perikanan tangkap di suatu wilayah perairan. Penangkapan ikan dengan
menggunakan metode tidak ramah lingkungan akan mempercepat terjadinya
overfishing karena kegiatan penangkapan yang semakin tidak selektif dan
terjadinya kerusakan habitat sebagai akibat dari metoda penangkapan yang
merusak. Namun alat tangkap legal juga tetap akan menyebabkan ovetf7shingjika
penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok
sumberdaya dalam melakukan pemulihan (DKP2003 yang diacu dalam Hamdan
2007).
Menurut Gulland (1983), indiitor tejadinya overJshing ditunjukan dengan
menurunnya ukuran ikan yang ditangkap, dan makin menurunnya catch per unit
e#oH (CPUE). Berkurang jumlah dan komposisi species ikan me~pikkansalah
satu indikator penangkapan ikan yang berlebihan atau juga akibat tekanan
terhadap perairan sehubungan dengan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir
terutama konversi kawasan mangrove menjadi tambak dan sebagainya.
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya ikan yang terbatas kelimpahannya
sesuai daya dukung habitatnya milik bersama dan terkenal karena milik bersama
sehingga rawan terhadap over$shing (Monintja dan Yusfiandayani 2001 yang
diacu dalam Hamdan 2007). Menurut Boer dan Azis (1995) yang diacu dalam
Hamdan (2007), Salah satu tugas pengelola sumberdaya perikanan adalah
menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total AIlowable
Catch (TAC).
Menurut Hamdan (2007) bahwa pemerintah dalam mengelola sumberdaya
ikan dapat menerapkan kebijakan-kebijakan langsung seperti :
(1) Pembatasan alat tangkap (restriction on gears), kebijakan ini semata-mata
untuk melindungi sumbedaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat
merusak (desmtive)
(2) Penutupan musim (closed season), kebijakan ini m e ~ p a k a n pendekatan
pengelolaan sumberdaya ikan yang didasari pada sumberdaya ikan yang
tergantung kepada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu species
saja &lam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Menurut Nikijuluw
(2002) yang diacu dalam Hamdan (2007), penutupan musim ada 2 macam,
yakni :
1) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, sehingga
memberi peluang ikan untuk melakukan pemijahan dan berkembang biak
2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan, karena sumberdaya ikan telah
mengalami degradasi yang diindikasikan hasil tangkapan ikan yang
semakin sedikit, sehingga dengan penutupan ini memberikan peluangpada
ikan untuk memperbaiki populasinya.
(3) Penutupan area (closed area), Kebijakan ini memberikan pengertian
penutupan kegiatan di daerah penangkapan ikan yang dapat bersifat permanen
atau pada kurun waktu tertentu
(4) Kuota penangkapan, kebijakan ini dilakukan dalam rangka pemberian hak
kepada industry atau pelusahan perikanan untuk menangkap atau mengambil
sejumlah ikan tertentu dari perairan. Kuota adalah alokasi jumlah tangkapan
yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada
(5) Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan, bentuk kebijakan ini ditujukan
untuk mempertahankan strukhrr umur yang paling produktif dari stok ikan.
Hal ini dalam rangka member kesempatan pada ikan yang masih muda untuk
tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi
sebelum ikan tersebut tertangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada
komposisi hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yangtertangkap
Pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan menuntut pemanfaatan
yang tidak melebihi ambang batas dari daya replika dan reproduksi sumberdaya
ikan dalam periode tertentu. Oleh karena itu laju pemanfaatan sumberdaya ikan
tidak
boleh
melebihi
dari
ambang
pulih
(potensi
lestari). Tingkat
pemanfaatanlpenangkapan ikan di suatu daerah penangkapan ikan tidak boleh
melebihi 80 % dari nilai potensi hasil tangkapan maksimum yang lestari
(nuurimum sustainable yield-MSY).
Menurut DKP (2003 b), konsep dasar program sistem intensif CCRF,
adalah:
(1) Pemeliharaan dan perlindungan ekosistem perairan
(2) Pengembangan organisasi, manajemen dan kelembagaan
(3) Pengembangan teknologi alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan
(4) Peningkatan pemahaman terhadap penangkapan ikan yang berwawasan
lingkungan
(5) Peningkatan mutu hasil perikanan
(6) Peningkatan keselamatan dan keamanan aktivitas penangkapan ikan
(7) Integrasi perikanan tangkap dengan pengelolaan kawasan pesisir
Menurut Arimoto (1999) yang diacu dalam Hamdan (2007) bahwa teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang sedikit
mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa
kemsakan dasar perairan (benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat
tangkap, kontribusi terhadap polusi, menurunnya keanekaragaman hayati
(biodiversity), tertangkapnya ikan-ikan muda, melimpahnya hasil tangkapan
sampingan (by-catch). Monintja (2000) menjelaskan bahwa w
a teknis alat
tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi criteria : (1)
mempunyai selektivitas yang tinggi, (2) tidak m e ~ s a habitat
k
temmbu karang, (3)
menghasilkan ikan berkualitas tinggi, (4) tidak membahayakan operatorlnelayan,
(5) rendahnya hasil tangkapan sampinganlby-catch, (6) dampak terhadap
biodiversity kecil, (7) tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, (8) hasil
tangkapan tidak melebihi jumlah yang boleh dimanfaatkan/ total allowable catchTAC, (9) alat tangkap tersebut menggunakan sedikit bahan bakar, (10) secara
hukum alat tangkap tersebut legal, (I I) jumlah investasi kecil, (12) hasil produksi
baik dengan harga yang kompetitif
Sebagaimana dijelaskan di sub bab sebelumnya bahwa di kawasan
konservasi laut selain menyediakan wilayah untuk zona inti, juga menyediakan
wilayah untuk perikanan tangkap berkelanjutan.
Daerah penangkapan ikan @hing ground) adalah suatu wilayah dimana
ikan-ikan biasa berkumpul dan m e ~ p a k a ntarget para nelayan untuk menangkap
ikan karena selain lokasi sumberdaya ikan, wilayah tersebut dianggap aman untuk
pengoperasian suatu alat tangkap dan tidak membahayakan bagi nelayan serta
jumlah ikan target yang akan ditangkap dianggap masih menguntungkan secara
ekonomi.
Keberadaan fishing ground sangat dipengaruhi oleh beberapa factor,
diantaranya faktor lingkungan yang mencakup, suhu, salinitas, upwelling dan
s
Selain itu jenis substrat dari
adanya pertemuan arus panas dengan a ~ dingin.
dasar perairan akan mempengamhi keberadaan sumberdaya ikan. Faktor biologi
antara lain berkorelasi dengan kelimpahan plankton pada suatu wilayah tertentu.
Suhu adalah suatu besaran fsika yang menyatakan banyaknya aliran panas
yang terkandung &lam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan,
sangat tergantung pada jumlah panas yang diterima dari sinar matahari. Dengan
demikian suhu permukaan air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah
khatulistiwa (Hutagalung 1988).
Ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau
mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Kelimpahan suatu jenis ikan
pada suatu daerah penangkapan dipengaruhi perubahan suhu tahunan serta
berbagai keadaan laimya (Laevastu dan Hayes 1981 yang diacu dalam Syahdan
2005). Laevastu dan Hayes 1981 yang diacu dalam Syahdan 2005 selanjutnya
menyatakan bahwa suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan;
aktifitas dan
mobilitas gerakan, ruaya, penyebaran dan kelimpahan;
penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan;
masa inkubasi dan
penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan.
Lapisan perairan di permukaan laut tropis umumnya hangat dan variasi
hariannya tinggi. Perairan Indonesia umumnya mempunyai kisaran suhu sekitar
28 - 3 1 OC pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu dimana sering terjadi up
welling, keadaan suhunya dapat menjadi lebih rendah (sekitar 25 OC) yang
disebabkan oleh massa air dingin dari bawah yang berasal dari bagian yang lebih
dalam terangkat ke atas (Wyrtki 1961 yang diacu &lam Syahdan 2005).
Cakalang m e ~ p & a n salah satu ikan pelagis yang memiliki karakteristik
oseanografi yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian
permukaan, sehingga kajian suhu permukaan laut dan klorofil-a akan lebih
relevan untuk menjelaskan secara lebih spesifik lingkungan perairan yang
didiaminya (Nontji 1993; Mam and Lazier 1996 yang diacu dalam Syahdan
2005). Informasi suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh
secara in silu. atau melalui citra satelit.
Gunarso (1985) yang diacu dalam Syahdan (2005) menyatakan bahwa pada
suatu daerah penangkapan cakalang suhu permukaan yang disukai oleh jenis ikan
tersebut biasanya berkisar 16-26 OC, walaupun untuk Indonesia suhu optimum itu
adalah 28-29 OC. Ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu, khususnya pada
waktu makan (Tampubolon 1990 yang diacu dalam Syahdan 2005).
Nontji (1993) yang diacu dalam Syahdan (2005) menyatakan bahwa faktor
yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah adanya peristiwa
up welling yang salah satu pemicunya adalah sistem angin muson ; ha1 ini
berkaitan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh.
2.5 Pemanfaatan Tekoologi Penginderaan Jaub dan Sistem Informasi
Geografis
2.5.1
Penginderaan jaub (INDRAJA) satelit
National Oceanic Atmosperic Administration (NOAA) mempakan program
penginderaanjauh satelit untuk lingkaran kelautan yang dimulai sejak tahun 1960an oleh negara Amerika Serikat yang pads awalnya bernama program television
infared obseravtion satelitre (TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA masih
mengoperasikan V i a satelit dengan seri NOAA-12,14, 15,16 dan 17.
Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833
km di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan
satelit serial NOAA memanfaatkan sensor Advanced Very High Resolution
Radiometer (AVHRR).
Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada
umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap
parameter suhu permukaan laut (SPL) dan wama laut (ocean color).
Untuk
pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran
panjang gelombang 3-14 pm.
Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan
dasar dalam menduga fenornena laut seperti upwelling, &nt
dan pola arus
permukaan yang mempakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya
dengan unsur ham atau subur. Perairan subur mempakan tempat kecenderungan
dari migrasi sumber daya ikan, yang dapat juga dikatakan sebagai DPI. Data SPL
dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kana1 i n h merah
jauh, sebagai contoh SP diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA ataupun
MODIS-AQUA (Kushardono 2003)
Perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin muson memiliki pola massa
air yang berbeda dan bewariasi antara musim yang satu dengan yang lainnya.
Disamping itu perairan Indonesia juga dipengaruhi oleh massa air dari Lautan
Pasifik dan Lautan Hindia. Kedua massa air ini dihubungkan dengan sistem arus
lintas Indonesia (ARLINDO) di beberapa tempat seperti: Selat Makassar, Selat
Sunda dan lain-lain. Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara musim
barat dan musim timur. Pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah
timur perairan Indonesia, sebatiknya ketika musim timur berkembang dengan
sempurna sulai m a s s air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan
Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat, perbedaan
suplai massa air tersebut mengakibatkan tejadiiya pembahan terhadap kondisi
perairan atau tingkat konsenhasi klorofil-a.
Sebaran klorofil-a didalam kolom perairan sangat bergantung dengan
konsentrasi nutrient. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran
banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat juga digunakan
sebagai petunjuk produktivitas suatu perairan. Dengan memanfaatkan dengan
kisaran gelombang cahaya tampak atau antara 0,43-0,58 pm untuk warna sensor
laut, dapat dilakukan pendugaan sebaran spasial klorofil-a di permukaan laut,
sebagai contoh, identifikasi konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh dari pengolahan
citra satelit MODIS-AQUA.
2.5.2 Sitem informasi geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) digolongkan kedalam sistem spasial
dimana pemanfaatan SIG ini dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki oleh
nelayan dengan pengetahuan yang diiiliki oleh ilmuwan perikanan untuk
kegiatan pengolahan perikanan laut di masa mendatang (Close dan Hall 2006).
Pengertian sistem informasi geografis (SIG) jika dihubungkan dengan
kegiatan pengelolaan perikanan adalah suatu analisis informasi dan pengelolaan
data yang berasal dari data tangkapan, sintesis data citra, pengembangan data
perikanan yang sudah ada ataupun analisis terhadap data yang berhubungan
dengan kegiatan perikanan laut dalam menghasilkan keluaran informasi yang
berguna bagi stakeholder perikanan (Holmes 2006).
Pemanfaatan SIG bagi keperluan pengelolaan sumber daya perikanan
dipemntukkkan pada tiga bidang, yaitu: (1) Kegiatan penangkapan, (2) Budidaya
perairan dan (3) Kawasan perlindungan habitat sumber daya perairan. Tujuan
pengelolaan dalam kegiatan pembangunan penangkapan ikan adalah bagaimana
memanfaatkan sumber daya ini secara berkelanjutan dengan adanya dinamika
penawaran (supply) dan permintaan (demand) sebagai dasar data masukan
(Dahuri et al. 1996; Holmes 2006).
Hasil tangkapan tinggi bergantung pada kondisi lingkungan perairan yang
baik sehingga retautmen stok dan pertumbuhan individu dapat meningkat dengan
membimalkan kematian alamiah dari individu itu sendiri. Logika masukan data
pengelolaan seperti ini membutuhkan berbagai informasi yang terkait agar
pengelolaan pembangunan perikanan tangkap yang berkelajutan dapat diwujukan,
salah satunya dengan menyediakan informasi spasial distribusi jenis-jenis sumber
daya perikanan itu sendiri (Dahuri et al. 1996; Holmes 2006).
Data grafis SIG di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial
yaitu: (1) Data raster dan (2) Data vektor.
Data raster menampilkan,
menempatkan dan menyimpan data spasial dengan S t ~ k t u matriks
r
atau pikselpiksel yang membentuk grid.
Data vektor menampilkan, menempatkan dan
menyimpan data-data spasial dengan titik-titik, garis-garis atau kuwa atau poligon
dan atribut-atrihutnya. Struktur data vektor yang sering dipergunakan dalam SIG
adalah suatu cara untuk membandingkan informasi titik, garis ataupun poligon
kedalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan
(Rahasta 2002).
Model data spasial itu sendiri dalam pengertian SIG adalah pandangan atau
persepsi terhadap dunia nyata (real world) yang telah disederhanakan, dimana
kemampuan SIG yang dapat melakukan: (1) Analisis keruangan (spatial analysis)
dan (2) Pemantauan (monitoring) dapat dipergunakan mempercepat dan
mempermudah penataan ruang ataupun pemetaan potensi kebetadaan sumber
daya pada suatu wilayah di permukaan bumi yang sesuai dengan daya dukung
lingkungannya (Prahasta 2002).
Informasi tersaji &lam bentuk tema (thematic layer) dengan cakupan
(coverage) dan atribut data yang disesuaikan dengan aslinya. Tema-tema tersebut
kemudian dengan menggunakan metode tumpang susun (overlay) disajikan ke
dalam bentuk peta yang mengandung berbagai informasi baik keberadaan sumber
daya maupun kondisi lingkungan pendukungnya pada waktu itu (Prahasta 2004).
2.6 Proses Hirarki AnalitikmH.4 (Analytical Hierarchy ProcesdAHP)
Marguire dan Carver (1991) yang diacu dalam Subandar (2002) telah
mengamati kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model
multi kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision).
Kelemahan SIG yang lain adalah keterbatasannya dalam penentuan prosedur
pendukung pengambilan keputusan (Birkin et a/ 1996; Maguire, 1995
Subandar 2002).
Subandar (1999) mengunakan teknik MCDM (Multy Criteria Decision
Making) untuk mengatasi kelemahan SIG dalam pengambilan keputusan. Proses
Hirarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analytical Hierarchy
Process/AHP) mempakan salah satu metode MCDM yang mula-mula
dikembangkan oleh Saaty (1991). dan sangat populer digunakan &lam
perencanaan lahan, temtama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use
allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang
masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang
memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun
tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara
sederhana [Saaty 1991).
Proses Hirarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analytical
Hiermchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty,
seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun
1970-an.
Beberapa keuntungan rnenggunakan PHA sebagai alat analisis adalah
(Saaty 1991):
(1) PHA memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam
persoalan yang tidak terstruktur.
(2) PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persoalan kompleks.
(3) PHA dapat menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam satu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
(4) PHA mencenninkan kecenderungan alami p i k i i untuk memilah-milah
elemenelemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan
mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
( 5 ) PHA memberi suatu skala dalam mengukur hal-ha1 yang tidak tenvujud
untuk mendapatkan prioritas.
(6) PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
(7) PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif.
(8) PHA mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan
memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan
mereka.
(9) PHA tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang
representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
(I0)PHA memungkinkan orang memperhalus detinisi mereka pada suatu
persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan.
Proses Hirarki Analitik (PHA) pada dasamya didisain untuk menangkap
secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan
pennasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada
suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk
membuat suatu model pennasalahan yang tidak mempunyai sbuktur. Analisis ini
biasanya diterapkan untuk memecahkan masatah yang terukur (kuantitatif)
maupun masalah-rnasalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada
situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi
statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif
yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan
pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi
sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam
situasi konflik (Saaty 1991).
Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu
situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponemya;
(ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki; (iii)
memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya
setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan
variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi
hasil pada situasi tersebut (Saaty 1991).
Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hirarki Analitik (PHA) lebih
disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hirarki.
Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa
tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki.
Model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-ttjuan yang
saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta
kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Keputusan yang dilahirkan
dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai
kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang
lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi
sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan
baik oleh model PHA.
3 METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertarna adalah o b s e ~ a s i
lapangan sekaligus mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
rencana penelitian, dan pengumpulan informasi ke berbagai instansi teknis di
lapangan. Tahap kedua mengkaji bahan informasi yang didapat dengan dosen
pembimbing dan kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data lapang pada
lokasi-lokasi sampling. Tahap ketiga adalah pengolahan dan analisis data primer
maupun data citra untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam
penyusunan kebijakan penggunaan alat tangkap dalam mngka pengelolaan
wilayah perikanan tangkap yang berkelanjutan. Setelah tahap ketiga selesai
dilakukan, peneliti masih kembali ke lapangan untuk menyempumakan berbagai
data dan informasi yang berkaitan dengan penelitiamya.
Tahap pertama penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2007 di KKL
Berau, tahap kedua dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sedangkan tahap terakhir
adalah analisis data dan kajian spasial di laboratorium instalansi lingkungan dan
cuaca, pusat pemanfaatan dan pengembangan penginderaan jauh, lembaga
penerbangan dan antariksa nasional (ILC PUSBANGJA LAPAN) Pekayon,
Jakarta Timur. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
(I) Citra satelit NOAA-AVHRR untuk bulan Januari-Desember 2006.
(2) Citra satelit Terra-MODIS untuk bulan Januari-Desember 2006.
(3) Data penangkapan dalam bentukjshing log book dari nelayan.
(4) Peta digital Kabupaten Berau dan sekitarnya.
Alat yang digunakan dalam menunjang penelitian ini adalah :
(I) Komputer dan pencetak (printer).
(2) Perangkat lunak (software) Er-mapper untuk pengolahan citra satelit.
(3) Perangkat lunak (software) SIG Arc-view untuk analisis secara spasial.
(4) Perangkat lunak (software) Expert Choice 2000 untuk analisis proses hierarki.
33 Metode Pengumpulan Data
Data yang dapat menggambarkan status ekologi, sosial budaya dan ekonomi
masyarakat sangat menentukan keberhasilan penentuan wilayah perairan
perikanan tangkap yang berkelanjutan di Kawasan Konsewasi Laut Berau.
Data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (i) data fisik-oseanografi perairan
KKL Berau, (ii) data perikanan tangkap, dan (iii) data persepsi masyarakat di
pesisir KKL Berau mengenai masalah perikanan tangkap. Data primer diperoleh
melalui obsewasi lapangan pada wilayah penelitian dan melalui hasii wawancara
semi terstruktur dengan para pihak (stakeho1ders)yang terkait di wilayah tersebut.
Data sekunder meliputi literatur-literatur penunjang dan data pendukung
lainnya. Data sekunder yang dibutuhkan ditelusuri dari data statistik perikanan,
hasil penelitian terdahuly dan data dari lembaga lain yang terkait dengan
penelitian ini. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk memberikan masukan
ke dalam sistem infomasi geografik, baik itu data spasial maupun data atribut.
Rincian jenis data dan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini
disajikan dalam Tahel 1.
Tabel 1 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan dalam analisis kesesuaian wilayah
perairan untuk perikanan tangkap di Kawasan Konsewasi Laut (KKL)
Berau Kalimantan Timur
I BENTUK 1 SUMBER DATA
NO PARAMETER
A. DATA BIO-FISIK
1.
Hidro-oseanografi, meliputi: I
Citra NOAA-AVHRR
Suhu permukaan laut
Klorofil-a
Citra TERRA-MODIS
Kedalaman
peta
Dishidros TNI AL
2. 1 Ekosistem pesisir, meliputi:
Laporan
Program Bersarna Kelautan
Mangrove
Laporan
Berau
Padang lamun
Laporan
Temmbu karang6. ( Data Perikanan Tnngkap daa Sosial Ekonomi Masyarskat
1. I Perikanan Tangkap,
I
- . meliputi: I
Jenis & Jumlah alat tangkap Statistik
Dinas Kelautan dan
Statistik
Perikanan Kabupaten
Jumlah Nelayan
Statistik
Berau
Hasil Perikanan Tangkap
/
I1
I1
I
Tabel 1 Lanjutan
NO I PARAMETER
2. ( Sosial Budaya, meliputi:
Persepsi tentang KKL
Persepsi tentang alat tangkap
Pemahaman ttg metode
penangkapan
Ekonomi, meliputi:
3.
Mata pencaharian pokok dan
altematif
Kelembagaan (kel.
Nelayan, dll)
-
I BENTUK I SUMBER DATA
I
1
Deskripsi
Deskripsi
Desktipsi
1
Wawancara dengan para
pihaklstakeholder
.
Deskripsi
Wawancara dengan
nelayan
Deskripsi
Dalam menuangkan kerangka pemikiran sebagaimana tertulis di bab
sebelumnya, penulis mencoba menyusun tahapan penelitian yang diawali dengan
penyusunan rencana keja,sebagaimana tahapan penelitian di bawah ini :
I
PENYUSUNAN RENCANA KERJA
I
PENGUMPULAN DATA
e
ANALlSlS ClTRA
ANALlSlS SDI
+
+
SEBARAN IKAN &
ALAT TqNGKAP
ZONASI
I
ANALlSlS
SIG
4
KESESUAIAN WILAYAH PERIKANAN TANGKAP
ANALYTICAL HIERARCHY
PROCESS ( AHP )
4
KEBIJAKAN PENGGUNAAN ALAT TANGKAP UNTUK PERIKANAN
TANGKAP BERKELANJUTAN
Gambar 3 Tahapan penelitian
33.1 Pengnrnpulan citra satelit
Citra yang dikumpulkan berbentuk model data raster berasal dari jenis level
dua yaitu telah terkoreksi baik secara geometric, radiometric dan memiliki
informasi dasar. Citra yang telah diterima oleh antena penerimaan di ILC
PUSBANGJA LAPAN, kemudian dilakukan :
(1) Perekaman data kanal-kanal citra dari satelit NOAA-AVHRR dan Term-
MODIS pada computer induk.
(2) Perubahan (konversi) data kanal-kana1 citra ke dalam bentuk raster.
(3) Pemilihan citra bebas awan, dimaksudkan untuk memilih liputan citra yang
hanya memiliki < 10% tutupan awan pada lokasi penelitian.
(4) Penyimpanan data kanal-kanal citra bebas awan ke dalam CD-ROOM untuk
selanjutnya diolah.
33.2
Pengumpulan data posisi dan basil tangkapan
Data posisi dan hasil tangkapan ikan paling sediiit dua tahun ke belakang.
Jika satu musim penangkapan yang dianalisis, maka data dikumpulkan merupakan
data harian penangkapan per trip bulan operasi selama musim penangkapan. Pada
penelitian ini, data yang dikumpulkan berasal dari aktivitas penangkapan bulan
selama 5 tahun dari tahun 2001 - tahun 2005. Data jumlah alat tangkap diperoleh
dari Sekretariat Bersama dari Februari 2005 hingga Febmari 2006.
3.4 Metode Pengolahan Data
3.4.1 Pengolahan citra satelit
Pengolahan data kanal-kanal citra satelit NOAA-AVHRR dan TERRAMODlS dilakukan dengan metode pengolahan citra berbasiskan komputer
menggunakan perangkat lunak Er-mapper.
3.4.2 Pengolahan spasial
Pengolahan spasial yang berbasiskan SIG ini dimaksudkan untuk
menghasilkan model spasial berbentuk peta yang berisikan berbagai informasi
untuk dipergunakan oleh stakeholder dalam mengkaji sebaran dan pola ruaya ikan
dengan menggunakan perangkat lunak Arc-view.
Adapun tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan dalam kegiatan ini adalah:
(1) Pembuatan even theme, dimaksudkan untuk menyajikan tabel klasifikasi
posisi tangkapan ke bentuk tema lokasi kelas posisi tangkapan ikan dengan
menggunakan fasilitas udd even theme.
(2) Digitasi, dimaksudkan untuk merubah peta yang tadinya berbentuk analog ke
dalam bentuk digital vektor yang memiliki koordinat. Kegiatan ini ditujukan
terhadap peta analog salinitas, kecepatan arus dan peta dasar Berau dengan
menggunakan fasilitas digitize on screen.
(3) Retifikasi citra, dimaksudkan untuk menyesuaikan koordinat citra hasil
olahan digital vektor peta dasar Berau agar nantinya dapat dianalisis dengan
menggunakan fasilitas image analysis.
(4) Pembuatan garis kontur ditujukan kepada semua tema informasi oseanografi
yang telah dimiliki baik yang berasal dari citra dan digital vektor dengan
menggunakan fasilitas add area jenispolyline.
3.5 Analisis Data
3.5.1
Analisis spasial
Analisis spasial dimaksudkan untuk mendapatkan keluaran infonnasi-
infonnasi penting dari berbagai tema sebagai data masukan yang dilakukan
berdasarkan teknik SIC dengan memanfaatkan metode analisis spasial pada Arcview. Adapun analisis-analisis spasial yang dipergunakan adalah:
(I) Diagram Voronoi (Prahasta 2004) ditujukan untuk membangun model spasial
sebaran ikan yang tersaji dalam bentuk poligon area berdasarkan sekumpulan
posisi penangkapan ikan yang tersebar secara acak dengan menggunakan
program tambahan Thiessen Polygon analysis. Berikut ini tampilan hasil dari
analisis diagram Voronoi dalam bentuk poligon dari sejumlah titik-titik yang
tersebar secara acak:
..
..
.
'.. ..,..?'
UNSUR TlTlK
POLYGON
Gambar 4 Hasil dari analisis diagram Voronoi
(2) Analisis jaring (tracking amlysis), dimaksudkan untuk membangun jalur
berbentuk unsur spasial garis yang &pat memperkirakan ruaya ikan
berdasarkan posisi dari kelas tangkapan tinggi dengan memperguankan sub
fasilitas make one polyline points pada program tambahan X-Tools (Prahasta
2004).
Berikut ini contoh tampilan pembentukan jalur suatu objek berdasarkan
analisis jalur (tracking analysis):
UNSUR TlTlK
JALUR (GARIS)
Gambar 5 Tampilan hasil analisis jalur pada sekumpulan titik
(3) Penambahan luasan (buffering area), dimaksudkan untuk menambah luasan
area yang diinginkan dari suatu objek dengan menggunakan fasilitas create
buffer (Prahasta 2004). Pembuatan buffer pada titik-titik potensial tangkapan
dan perkiraan jalur ruaya dengan radius 3 mil, 5 mil dan 7 mil diiaksudkan
untuk membentuk suatu zona potensial penangkapan (ZPPI) yang akan
mempermudah operasi penangkapan jika pada titik-titik tangkapan potensial
dan ruaya yang telah diperkirakan tidak memperoleh hasil tangkapan yang
diinginkan, ha1 ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nath
(1993) yang mengindikasikan masih adanya keberadaan sumberdaya ikan
pada radius 3 mil, 5 mil dan 7 mil di sebelah kiri dan kanan dari area yang
diduga sebagai tempat keberadaan ikan. Gambar berikut ini menjelaskan
bentuk-bentuk hasil buffer pada unsur spasial titik dan garis:
Gambar 6 Hasil buffer pada unsur titik dan garis
(4) Analisis tumpang-susun (overlay annlysis), dimaksudkan untuk mendukung
kegiatan interpretasi secara spasial terhadap hubungan antar tiap tema yang
telah dibuat (Prahasta 2004). Overlay pada penelitian ini dilakukan untuk
menghubungkan antar tema poligon model daerah sebaran ikan dengan tiap
tema kontur parameter oseanografi sehingga dapat diietahui informasi
oseanografi apa saja yang mendukung terjadinya penyebaran ikan di lokasi
penelitian teresebut.
Secara matematis analisis tumpang susun diberikan sebagai suatu fungsi
...
(Prahasta 2004) yaitu:
i
.
=.
.f
i :
,
.
>:,I
.....................................................................
(1)
atau secara teknis persamaan fungsi ini dapat dibuat sebagai sebuah
penjumlahan dari beberapa tema (F'rahasta 2004):
V = 7 . - .,...- :,; ...................................................................... (2)
-'I
dengan:
YCfl dan Y = Sebagai sebuah produk peta yang berisikan berbagai informasi
'
.
..
I
= tema
pertama atau dasar
-
= tema kedua
= tema ke-i
secara tampilan ditunjukkan pada gambar berikut ini:
Gambar 7 Tampilan analisis tumpang-susun (overlay)
(5) Interpretasi (Interpretation), merupakan nilai analisis yang dilakukan secara
visual atau kenampakan atas unsur-unsur spasial yang telah dibuat agar dapat
diketahui informasi-informasi yang berguna bagi stakeholder seperti: arah
ruaya (migrasi) ikan, sebaran (dishibusi) ikan dan kisaran-kisaran parameter
oseanografi yang telah diperoleh dari pengolahan data yaitu: SPL, konsentrasi
klorofil-a, salinitas dan kedalaman pada daerah ruaya (migrasi) dan sebaran
(distribusi) ikan itu sendiri.
3.5.2
Analisis kesesuaian lahan daerah penangkapan ikan
Analisis kesesuaian lahan daerah tangkapan ikan dilakukan untuk spesies
tertentu yang dominan sebagai spesies yang bernilai ekonomis penting. Untuk
menentukan spesies yang bernilai ekonomis penting dilihat berdasarkan data hasil
tangkapan ikan selama lima tahun, dari tahun 2001-2005. Berdasarkan hasil
tangkapan, ikan akan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
ikan pelagis dan kelompok ikan demersal. Selanjutnya, ikan yang dominan
sebagai hasil tangkapan dari tiap-tiap kelompok dipilih untuk dilakukan analisis
kesesuaian lahan daerah tangkapan untuk jenis ikan tersebut.
Berikutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan. Analisis dilakukan dalam
4 tahap, yaitu: (i) penyusunan matriks kesesuaian setiap spesies yang dominan,
(ii) pembobotan dan pengharkatan untuk tiap-tiap parameter pada matriks
kesesuaian, (iii) analisis spasial dengan tahapan-tahapan seperti yang diuraikan
pada sub-bab sebelumnya di atas, dan (iv) analisis overlay (tumpang susun), yaitu
proses penampakan coverage, dilakukan untuk menganalisis dan mengidentifikasi
hubungan spasial antarafeaturv-feature dari coverage. Analisis dilakukan dengan
menggunakan software Arc View 3.3.
Pengkategorian kesesuaian wilayah perikanan tangkap untuk kelompok
ikan pelagis dan ikan demersal dilakukan berdasarkan parameter oseanografi yang
mempengaruhi distribusi dan keberadaan ikan, yaitu suhu permukaan laut,
konsentrasi kholofil-a, kedalaman perairan, dan salinitas air laut. Pembobotan
untuk parameter-parameter tersebut diperoleh dari studi literatur tentang tingkah
laku ikan dan penelitian-penelitian sebelumnya tentang wilayah penangkapan
ikan. Sebagian besar informasi tentang tingkah laku ikan, baik ikan demersal
m a w pelagis, diperdehdari websitc www.fishbase.org
.
Suhu mempakan parameter utama dalam mempengaruhi distribusi dan
keberadaan ikan. Setiap jenis ikan mempunyai karakteristik dan penyesuaian
kisaran suhu optimum clan batas toleransi suhu yang berbeda-beda. Laevastu dan
Hayes (1981) menyatakan bahwa suhu perairan sangat mempengamhi
pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobilitas gerakan; ruaya, penyebaran dan
kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan;
masa
inkubasi dan penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan. Cakalang
merupakan salah satu ikan pelagis yang memiliki karakteristik oseanografi yang
lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian permukaan, sehingga
kajian suhu permukaan laut dan klorofil-a akan lebih relevan untuk menjelaskan
secara lebih spesifik lingkungan perairan yang didiaminya (Nontji 1993; Mann
and Lazier 1996 yang diacu dalam Syahdan 2005).
Khorofil menempati posisi kedua setelah suhu, karena tingkat kepentingan
ikan akan nutrien tidak lebih tinggi dari suhu (Judianto 2001). Keberadaan
khlorofil yang berlimpah dapat diidentifikasikan dengan terjadinya up welling dan
thermalfront.
Satinitas air laut mempengaruhi keberadaan ikan karena setiap spesies
ikan mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda pada kondisi salinitas yang
berbeda. Beberapa spesies mempunyai tipe euryhaline dan yang lain mempunyai
tipe stenohaline.
Parameter kedalaman dianggap dapat mempengaruhi keberadaan ikan,
karena ikan mempunyai habitat tertentu yang terletak pada kedalaman perairan
yang berbeda.
Berdasarkan hal-ha1 tersebut di atas, maka parameter yang akan digunakan
dalam kriteria kesesuaian wilayah perairan untuk penangkapan ikan pelagis
adalah suhu, khlomfil, kedalaman, dan salinitas. Sedangkan untuk ikan demersal
kriteria tersebut ditambah parameter penutupan terumbu karang dan jenis substrat
dasar perairan, karena kualitas dasar perairan sangat berpengaruh pada kehidupan
ikan demersal. Pembobotan dm kelas kesesuaian (skoring) dari parameterparameter tersebut di atas untuk kriteria kesesuaian wilayah penangkapan
kelompok ikan pelagis dan ikan demersal disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel 3.
Kelas kesesuaian (skoring) untuk tiap parameter disusun berdasarkan
kebutuhan hidup ikan, baik ikan pelagis maupun ikan demersal. Namun karena
ikan pelagis maupun ikan demersal mempunyai jenis yang sangat banyak, maka
dipilih jenis-jenis ikan tertentu, yang akan dijadikan indikator kebutuhan hidup
bagi masing-masing kelompok ikan. Ikan yang menjadi indikator adalah jenis
ikan yang paling banyak ditangkap di KKL Berau. Untuk ikan pelagis digunakan
3 jenis ikan, yaitu ikan kembung, tongkol, dan teri. Sedangkan untuk ikan
demersal digunakan kerapu, kuwe, dan kakap.
Dari website www.fishbase.org diperoleh informasi bahwa ikan pelagis
seperti madihiang yellowfin twza (Thunnus aibacmes) hidup di kedalaman antara
1-250 m (Collette 1995). Dogtooth tuna (Gymnosarda unicoior) banyak
ditemukan pada kedalaman 10-100 m (Lieske and Myers 1994) dan skipjack tuna
(Katsuwonus pelamis) ditemukan pada kedalaman 0-260 m (Collette 1995). Ikan
tongkol jenis Euthynnus ajinis ditemukan pada kisaran kedalaman 0-200 m
(FA0 Figis 2005). Ikan kembung (RasrreNiger foughnr) umumnya ditemukan
pada kisaran kedalaman 150 m (Riede 2004) dan ikan kembung jenis lain
RasfreNiger brochysoma ditemukan pada kisaran 15-200 m (Pauly and Torres
1996). Ikan teri (Sfolephorus commersonnii) banyak ditemukan pada kedalaman
depth range 0 - 50 m (Whitehead 1988).
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ikan pelagis
umumnya ditemukan pa& kisaran antara 0- >250 m, dan kedalaman rata-rata
untuk menemukan spesies pelagis tersebut di atas adalah pada kisaran 100-250 m.
Kebutuhan akan suhu perairan ikan madidihang yellow j n tuna (Thunnus
albacares) antara 15-31°C (Collette 1995), dogtwth tuna (Gymmsarda unicolor)
pada suhu perairan antara 20-28OC (Lieske and Myers 1994), dan skipjack tuna
(ffitsowonus pelamis) pada suhu perairan 15-30°C (Collette 1995). Ikan tongkol
jenis Euthynnus aflnis ditemukan pada kisaran suhu 18-29°C (Collette 1983)
sedangkan ikan kembung Rastrelliger faughni ditemukan pada perairan dengan
suhu yang tidak kurang dari 17OC, dan ikan kembung RustreNiger brachysoma
ditemukan pada kisaran suhu 20 - 30°C (Riede 2004).
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, bahwa ikan pelagis umumnya
ditemukan antara kisaran suhu 15-3l0C, dan suhu yang sangat sesuai untuk semua
spesies tersebut dia atas adalah pada kisaran 20 - 30°C.
Parameter khlorofil pada kondisi perairan normal (tidak terjadi blooming
plankton), diasumsikan dengan semakin tinggi kandungan khlorofil, semakin
banyak ikan yang ditemukan. Sedangkan rata-rata salinitas di perairan laut
Indonesia antara 31-32 ppt merupakan salinitas yang paling optimum bagi
keberadaan ikan.
Tabel 2 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang mengindikasikan keberadaan
ikan pelagis terutama jenis &an kernbung, tongkol dan teri
Kelas Kesesuaian (Skor)
Total
Tidak
Bobot
Sangat
Sesuai
No. Kriteria
Nilai
sesuai
Sesuai (3)
(2)
(1)
Suhtr
15-20
(15 - >31
20
1 Permukaan Laut
atau
20 - 30
Max
30-3
1
0
150
Konsentrasi
1,0660'566Min
0,066-0,565
15
2 Klorofil-a
1,501
1,065
50
(mg/m3)
p
p
3
Salinitas (ppm)
10
3 1-32
232-33
<3 1- >34
4
Kedalaman (m)
5
>loo-250
0-100
2250
Kelompok spesies demersal hidup pada perairan yang lebih dangkal, yaitu
pada kedalaman 0-100 meter, dimana sinar matahari masih dapat menembus
kolom air sampai ke dasar perairan sehingga benthos masih dapat hidup didasar
perairan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan (1991) menyatakan
bahwa biasanya jenis kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antam 40-50
meter dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30-33 ppt serta suhu antara 532°C. Gunarso (1995) menambahkan bahwa ikan kakap merah yang benikuran
besar antara umur 15-20 tahun, umumnya menghuni perairan mulai dangkal
hingga kedalaman 6&100 meter (Gunarso 1995). Menurut Lieske dan Myers
(1994) kakap merah dari jenis Luljanur argentirnaculattcs hidup pada kedalaman
10-120 m.
Ikan demersal dari jenis kerapu sebagian besar hidup di terumbu karang,
walau kadang-kadang juga ditemukan di estuari atau batuan karang. Kerapu
umumnya berasosiasi dengan dasar yang keras atau berbatu, namun juvenilnya
ditemukan di padang lamun, dan ikan dewasa dari beberapa spesies menyukai
daerah yang berpasir atau berlumpur. Sebagian besar spesies berada pada habitat
yang kedalamannya kurang dari 100 meter, namun beberapa spesies kadangkadang ada di kedalaman 100-200 meter (bahkan sampai 500 meter). Kerapu dari
jenis Epinephelus fuscogu~tatusberasosiasi dengan karang, hidup pada kisaran
kedalaman 1-60 m (Heemstra and Randall 1993). Jenis ikan kuwe Carangoides
rnalabaricus hidup berasosiasi dengan karang pada kisaran kedalaman 20 - 140 m
(Randall 1995).
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpukan bahwa ikan demersal
umumnya ditemukan pada kisaran antara 0->I00 m, dan kedalaman rata-rata
untuk menemukan spesies ikan demersal tersebut di atas adalah pada kisaran 40100 m. Sedangkan kebutuhan akan khlorofil diasumsikan sama dengan ikan
pelagis, yaitu semakin tinggi khlorofil semakin sesuai, karena rantai makanan
yang terbentuk sebagai penyedia pakan bagi ikan demersal juga semakin banyak.
Kebutuhan suhu untuk ikan demersal penting di KKL Berau tidak ditemukan
literatur pendukungnya, sehingga diasumsikan bahwa suhu rata-rata perairan
tropis antara 28-29°C merupakan suhu yang paling optimal bagi kehidupan ikan
demersal.
Ikan demersal seperti kakap merah, kerapu, dan kuwe merupakan jenis
ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang, oleh k a n a itu perairan yang
memiliki ekosistem terumbu karang merupakan perairan yang paling banyak
ditemukan ikan jenis ini. Semakin tinggi penutupan terumbu karang, makin sesuai
bagi kehidupan ikan demersal.
Tabel 3 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang mengindikasikan keberadaan
/ I
Kondisi dasar
peraimn
3.5.3
Strategi pengelolaan wilayah perikanan tangkap
10
Terumbu,
lamun
pasir
Lumpur
Dengan melihat kondisi di daemh penelitian, strategi pengelolaan wilayah
perikanan tangkap yang diperlukan adalah dengan melakukan kontrol terhadap
variabel penangkapan. Dahuri (1999) mengemukakan dua langkah altematif,
yaitu: (1) kontrol langsung, dan (2) substitusi altematif bagi pengurangan tingkat
penangkapan.
(1) Kontrol langsung dilakukan melalui beberapa hal, yaitu:
I) Penetapan kuota volume penangkapan
2) Pengaturan penangkapan berdasarkan waktu tertentu (closed semon)
3) Pengaturan daerah penangkapan (closed area)
4) Pengaturan cara penangkapan melalui kontrol selektifitas dan kekuatan
alat tangkap
5) Pembatasan ukuran ikan yang ditangkap
6) Kontrcl terhadap volume penangkapan, melalui pembatasan jumlah ijin
kapal dan pembatasan volume ikan yang dibawa oleh setiap kapal.
(2) Substitusi altematif
Mencari altematif lain sebagai upaya untuk pengalihan dari cara-cara
penangkapan agar tidak tejadi peningkatan hasil tangkapan, perlu dilakukan
agar sumberdaya ikan tidak semakin deplesi.
3.5.4
Hirarki penentuan kebijakan penggunaan alat tangkap
Alat tangkap yang digunakan di perairan KKL Berau cukup banyak jenisnya
dan mempunyai selektivitas yang beraneka ragam. Dalam penelitian ini akan
dilakukan klasifikasi terhadap berbagai alat tangkap tersebut untuk menentukan
jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai digunakan di zona perikanan
berkelanjutan perairan KKL Berau, agar sumberdaya di KKL Berau tidak
terdegradasi akibat pemanfaatan oleh manusia.
Strategi yang tepat dan sesuai untuk menentukan kebijakan penggunaan alat
tangkap adalah dengan metode Proses Hirarki Analitik (PHA). Penetapan ini
dilakukan untuk mempemleh output strategi yang paling tepat sesuai dengan
penepsi stakeholder dalam mengelola wilayah perikanan tangkap KKL Berau.
Persepsi stakeholder dalam ha1 ini diperoleh dari beberapa responden yang
me~pctkan tokoh kunci dalam pengelolaan perairan KKL Berau. Teknik
pengambilan responden dalam rangka menggali infonnasilpendapat stakeholders
adalah metode expert judgement (Pendapat Pakar). Pakar ditentukan secara
pupsive sampling. Pakar responden bejumlah 12 orang, yang merupakan key
persons (tokoh kunci) yang mewakili kelompok-kelompok stakeholders yang
diperoleh pada saat identifikasi stakeholders. Kelompok stakeholders ini meliputi
setiap unsur yang terkait dengan pengelolaan perairan KKL Berau, yaitu dari
unsur birokrasi, akademisi, nelayan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang peduli pada pengelolaan pesisir.
Menurut (Saaty 1991) bahwa pengambilan keputusan dengan PHA
dilakukan melalui pendekatan sistem. Pendekatan sistem ini berusaha melihat
pennasalahan yang kompleks menjadi persolaan yang sederhana dengan cara
membaginya ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Pemahaman terhadap
situasi dan kondisi sistem membantu untuk melakukan prediksi dalam
pengambilan keputusan.
Langkah paling awal dalam PHA adalah merinci pennasalahan ke dalam
komponen-komponennya (tujuan, kriteria, sub kriteria, dan altematif kegiatan),
kemudian mengatur bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk
hirarki.
Tahapan-tahapan dalam Proses Hirarki Analitik adalah sebagai berikut:
(1) Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem dilakukan dengan cam mernpelajari kriteria alat tangkap
ramah lingkungan yang layak digunakan di uura perikanan tangkap di
kawasan konsewasi dan menentukan jenis alat tangkap yang ramah
lingkungan.
(2) Penyusunan Struktur Hirarki
Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara
menyeluruh dari level puncak sampai ke level dimana dimungkinkan campur
tangan untuk dapat memecahkan persoalan. Dalam penelitian ini dibuat
menjadi 4 (empat) level struktur hirarki, mulai dari level alternatif alat
penangkapan ikan, level subkriteria, level kriteria, dan level tujuan.
Puncak dari hirarki, yang merupakan tujuan akhir, adalah menentukan
jenis alat penangkapan yang ramah lingkungan untuk digunakan di zona
perikanan tangkap kawasan KKL Berau, dari berbagai alat tangkap yang biasa
digunakan nelayan di kawasan tersebut.
Level altematif alat penangkapan ikan adalah jenis-jenis alat tangkap yang
biasa digunakan nelayan di kawasan KKL Berau, meliputi 14 jenis, yaitu:
pancing ladung, pancing tonda, panah ikan, jerat udang, jaring insanglgill net,
rawaillong line, bubu, j a ~ gondronglrengge,
g
bagan apung, pukat cincin,
hampang/sero, alat lainlpotas, mini trawl, dan trawl.
Untuk mencapai tujuan akhir pemilihan alat penangkapan ikan dilakukan
dengan mempertimbangkan kriteria alat tangkap ramah lingkungan yang
dirujuk dari Monintja (2000) dan Arami (2006). Kriteria tersebut
dikelompokkan menjadi 4, yaitu biologi, teknis, sosial, dan finansial. Dari
keempat kriteria tersebut dimodifikasi lagi oleh peneliti menjadi 11
subkriteria.
Kriteria biologi ditunjukkan dengan sifat alat tangkap yang tidak merusak,
sehingga pemanfaatannya berkelanjutan. Kriteria sosial ditinjau dari
penerimaan masyarakat nelayan sebagai pengguna alat tangkap dan legalitas
kegiatan penangkapan secara hukum. Kriteria teknis menunjukkan bahwa alat
tangkap secara teknis dapat dikembangkan, meliputi enam sub-kriteria yaitu
jenis alat tangkap yang tidak menimbulkan dampak pada ekosistem, mudah
dioperasikan, aman bagi nelayan, tidak menimbulkan pencemaran, produksi
yang berkualitas tinggi dan aman bagi konsmen. Sedangkan sub-kriteria
dalam finansial dipertimbangkan berdasarkan jenis alat tangkap yang
menguntungkan bagi nelayan.
(3) Membuat Matriks Perbandingan Berpasangan
Dilakukan untuk menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap
masing-masing kriteriakepentingan yang berada satu tingkat di atasnya.
Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hierarki dilakukan dengan
teknik komparasi berpasangan berdasarkan pendapat dari para pakar atau
bukan, namun memahami permasalahan.
Pada level kriteria, tiap jenis kriteria dibandingkan dengan kriteria yang
lainnya, misalnya kriteria biologi dibandingkan dengan kriteria teknis, kriteria
biologi dibandingkan dengan kriteria sosial, demikian seterusnya hingga
keempat kriteria tersebut habis dibandingkan.
Pada level subkriteria, tiap jenis subkriteria dibandingkan dengan
subkriteria yang lainnya, misalnya subkriteria alat tangkap yang tidak merusak
dibandingkan dengan subkriteria pemanfaatan berkelanjutan, subkriteria alat
tangkap yang tidak merusak dibandingkan dengan subkriteria alat tangkap
yang diterima masyarakat nelayan, demikian seterusnya hingga kesebelas
subkriteria tersebut habis dibandingkan.
Pada level alternatif, tiap satu jenis alat tangkap dibandingkan dengan satu
jenis yang lainnya, untuk masing-masing subsubkriteria dan masing-masing
subkriteria. Kuisioner untuk matriks perbandingan disajikan pada lampiran 4
(4) Menghitung Matriks Pendapat Individu
Dilakukan dengan cara menghiipun semua pertimbangan yang diperlukan
untuk mengembangkan perangkat matriks pada langkah ke 3 menjadi matriks
pendapat individu.
(5) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan
Untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat
individu yang ada. Untuk memadukan matriks pendapat individu yang b e d
dari responden tersebut menjadi vektor pfioritas gabungan, digunakan rata-
rata geomettik (GEOMETRIC MEAN) dengan formulasi sebagai berikut:
RGi = rata-rata geomettik baris ke-i
m = responden (1 -n)
Bi, = vektor prioritas baris ke-i kolom ke-j
(6) Pengolahan Horisontal
Dimana:
Pengolahan horisontal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap
elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama.
(7) Revisi Pendapat
Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai CR (Consisremy Ratio) cukup
tinggi yaitu 0,I dengan mencari Root Mean S p a r e (RMS) dan merevisi
pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar.
Pengumpulan pendapat responden dilakukan dengan menggunakan teknii
Focus Discussion Group (FGD), sedangkan pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan Sofhare Expert Choice version 2000 dan Microsofi Excell 2003.
Dari analisis ini dapat dihasilkan prioritas penggunaan alat tangkap yang
ramah lingkungan unhk spesies-spesies: (i) ikan pelagis dan (ii) ikan demersal.
Tabel 4 Matrik berbandiig berpasangan
Keterangan:
: Subkriteria atau sifat yangdigunakan untuk pembandingan
C
Al, A2, ...,An : Elemen yang akan dibandiigkan, satu tingkat dibawah C.
a12, a13,...,1 : Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi yang mencerminkan
nilai kepentingan Ai terhadap Aj.
Dalam persoalan pengambilan keputusan, konsistensi penting untuk
diperhatikan. Konsistensi ini bertujuan
untuk menilai seberapa besar
kekonsistensian penialain satu variabel dengan faktor yang lain. Jika nilai
konsistensi tinggi, maka penilaian antar variabel sudah baik.
Ratio konsistensi dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Perhitungan akar ciri nilai eigen (eigen value) maksimum dengan rumus :
VA = aij x Vp dengan Va = (V aij)
Dimana : VA adalah vektor antara
VA
VB = - dengan VB = V bi
VP
Dimana : VB adalah nilai eigen
- Perhitungan indeks konsistensi (Cl), dengan rumus :
CI =
h a k r -n
n- 1
- Perhitungan rasio konsistensi (CR), dengan rumus :
Penjelasan nilai skor yang digunakan untuk menetapkan prioritas antara 1-9
sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Skor penetapan prioritas &lam PHA
I1
Intensitas
pentingnya
-
1
.
I
I
I
I
1 Kedua elemen sama
pentingnya
Elemen vane satu sedikit lebih
penting ketimbang elemen
yang lainnya
Elemen yang satu sangat
penting ketimbang elemen
yang lainnya
Elemen yang satu jelas lebih
oentinp: ketimbang
- elemen
yang lainnya
I Elemen yang satu sedikit lebih
penting ketimbang elemen
yang lainnya
-
- . -
I1
Penjelasan
I
Dua elemen menyumbangkan
I sama besar sifat tersebut
I1
1 Pengalaman dan
sedkit menyokong satu elemen
atas elemen lainnya
Pengalaman dan pertimbangan
5
menyokong satu elemen atas
elemen lainnya
Satu elemen dengan kuat
7
disokong dan dominasi terlihat
( dalam p&tek
1 Bukti yang menyokong elemen
9
yang satu atas yang lain
memiliki tingkat penegasan
tertinggi yang mungkin
menguatkan
Kompromi diperlukan diantara
Nilai
diantara
dua
2,4,6,8
pertimbangan yang berdekatan dua pertimbangan
Sumber: Saaty (199 1)
-
Stmktur hirarki berbagai subkriteria dalam mencapai tujuan penentuan
jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai untuk digunakan di zona
perikanan berkelanjutan perairan KKL Berau &pat dilihat dalam Gambar 8.
Level 1:
Level 2:
BIOLOGIS
Level 3:
Level 4:
Gambar 8 Diagram hirarki analisis penentuan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai untuk digunakan di zona perilcanan
berkelanjutan perairan KKL Berau
4 HASIL PENELITIAN
4.1
Keadaan umum
4.1.1 Kondisi geografis d m administratif
Kabupaten Berau me~pftkan salah satu dari 13 kabupatenkota di
Kalimantan Timur. Luas wilayahnya 3.426.070 ha dengan luas laut sekitar
1.222.988 ha. Batas Kabupaten Berau:
sebelah barat berbalasan dengan Kabupaten Bulungan
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bulungan
Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kutai T i u r
Secara administratif, Kabupaten Berau terdii atas 13 kecamatan, yaitu
Tanjung Redeb, Gunung Tabur, Teluk Bayur, Segah, Kelay, Sambaliung,
Derawan, Maratua, Tabalar, Biatan-Lempake, Talisayan, Batu Putih dan BidukBiduk. Delapan kecamatan terakhir merupakan kecamatan yang memiliki wilayah
psisir dan laut. Khusus Kecamatan Maratua me~pt3kankecamatan yang terletak
di laut. Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Biatan-Lempake me~upakan
kecamatan yang baru dibentuk pada tahun 2005 (Gambar 2).
KKL Berau terletak antara Karang Pulau Panjang, Tanjung Karangtigau
dengan Karang Baliktaba di utara, menghadap ke Selat Makasar ke arah timur dan
Semenanjung Mangkalihat di sebelah Selatan. Secara geografis lokasinya berada
pada koordinat 02"49' 42.6"- 012' 0.06" Lintang U t a q 117"59'17.16"- 119"2'
50.30" Bujur T i u r . Luas wilayah KKL meliputi seluruh wilayah pesisir dan laut
termasuk kawasan mangrove, yaitu 1.222.988 ha, meliputi 7 kecamatan pesisir di
atas, kecuali Kecamatan Sambaliung ( W i a w a n ef al. 2005).
Terdapat 2 (dua) sungai besar yang mengali ke dalam KKL,yaitu Sungai
Berau dan Sungai Tabalar. Sungai Berau mempakan sungai utama yang mengalir
jauh dari hulu Sungai Segah dan Sungai Kelay, kemudian menyatu di Kota
Tanjung Redeb menuju ke arah laut. Sungai ini mempakan salah satu jalur
transportasi utama dari Kota Tanjung Redeb menuju ke wilayah lain di luar
Kabupaten Berau, termasuk ke pulau-pulau seperti Derawan, Sangalaki, Kakaban
dan Maratua. Tingkat kekemhan Sungai Berau sangat tinggi, sehiigga pada
bulan-bulan tertentu sedimen dari sungai ini terlihat hampir sampai ke karang
Pulau Derawan.
Kabupaten Berau menempati posisi geografis yang strategis b e d
ditengah belahan utara Kalimantan Timur. Kawasan pesisimya yang menghadap
ke Selat Makasar m e ~ p a k a njalur pelayaran domestik dan internasional yang
termasuk jalur padat berpeluang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan menjadi
daerah lintas perdsgangan antar pulau dan negara.
Kepopuleran potensi perairan Berau menjadikan Berau salah satu lokasi
yang masuk di dalam Sulu Sulawesi Mmine Ecoregion (SShE). SSME ini adalah
bentuk kejasama pengelolaan antara Malaysia, Philipine dan Indonesia yang telah
disepakati dan ditandatangani pada tanggal 13 Februari 2004, dan pada tahun
2007 telah dideklarasi inisiasi 6 negara (Malaysia, Philipina, Indonesia, Papua
New Guinea, Solomon dan Timor Leste) untuk mengembangkan pengelolaan
coral reef secara bersama, insiatif ini dikenal dengan Coral Triangle Initiaiive dan
dalam waktu dekat akan dilanjutkan dengan penandatanganan kerjasamanya
(I) Pulau-pulau Kecil
Pulau-pulau kecil di Kabupaten Berau sebanyak 39. Dalam KKL Berau
terdapat 3 1 pulau yang tersebar di bagian utara dan selatan KKL. Selain itu juga
terdapat beberapa gosong dan atol. Pulau-pulau tersebut tersebar pada 4
kecamatan pesisir, yaitu di Kecamatan Pulau Derawan dan Marahm dibagian
utara, dan di Kecamatan Batu Putih dan Biduk-biduk di bagian selatan.
Dari 31 pulau tersebut yang berpenghuni hanya 4 pulau, yaitu Pulau
Derawan, Maratua, Kaniungan Besar dan B a l i p . Luas masing-masing pulau
ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Nama dan luas pulau-pulau kecil dalam KKL Berau
I
1
I
(2) Topogmfi
Bentang daratan Kabupaten Berau didominasi oleh topografi selang
ketinggian 100 - 500 m (42,39%). Setelah itu, 26,45% merupakan bentang daratan
dengan selang ketinggian 25
-
-
100 m. Sisanya terbagi sebagai daerah dengan
selang ketinggian antara 8 25 m (8,23 %), dan selang ketinggian 0 - 7 m (3,75
%).
Dengan konfigurasi ketinggian bentang daratan Kabupaten Berau
didominasi oleh tingkat kemiringan > 4% yang mencapai 51,39% luas daratan.
Selang kemiringan berikutnya yang cukup dominan adalah 15 - 40% (2932% dari
luas daratan) dan 2 - 5% (1425%). Dengan demikian daerah yang datar (0 - 2%
terutama di kawasan pesisir, hanya 4,8 % dari luas daratan Kabupaten Berau.
Kondisi topograf~ secara m u m datar (di daerah pesisir), landai sampi
bergelombang (wilayah dataran rendah <I00 meter) dan berbukit @egunungan).
Daerah dengan ketinggian di atas 1000 m hanya sedikit di wilayah perbukitan dan
gunung. Puncak tertinggi adalah gunung Maritam (2487 m).
(3) I k h
Kondisi iklim di KKL Berau terdiri atas musim hujan dan m u s h kemarau.
Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober hingga Mei dengan hari hujan ratarata 15 sampai 20 hari perbulan dan curah hujan terbesar tejadi pada akhir atau
awal musim hujan. Musim kemarau berlangsung pada hulan Juli hingga
September dengan curah hujan terendah pada bulan Juli. Suhu udara rata-rata
berkisar antara 24,8"C- 27,9"C. Suhu udara minimum berkisar antara 19°C23,2"C sedangkan suhu udara m a k s i i m berkisar antara 32°C - 35,6"C. Suhu
udara harian rata-rata tidak menunjukkan fluktuasi yang signitikan antara siang
dan malam hari. Perbedaan suhu udara maksimum dengan minimum berkisar
antara 10°C - 12°C.
Berdasarkan klasifikasi Koppen, KKL Berau termasuk tipe iklim alpha,
sedangkan menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson kawasan termasuk
golongan i k l i A, yaitu hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang tejadi
bulan kering. Curah hujan harian di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,6
sampai 21,8 mm dengan jumlah hari hujan antara 4 sampai 28 hari.
4.1.2 Parameter oseanografi
Kondisi oseanografi di KKL Berau dipengaruhi oleh d i i i k a a l i
Sungai Berau dan dinamika laut lepas Selat Makasar. Beberapa parameter
oseanografi yang berpengaruh pada perairan KKL Berau adalah: suhu air laut,
salinitas air laut, khlorofil-a, kondisi arus laut, dan kedalaman perairan.
4.1.2.1 Suhu air laut
Kisaran suhu permukaan air laut berkisar antara 29,5"C sampai 30,5"C
untuk kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau dan berkisar antara 29,5"C
sampai 30°C untuk kawasan yang berhadapan dengan laut lepas. Kisaran suhu
rata-rata pada dasar perairan untuk kawasan yang berhadapan dengan Sungai
Berau berkisar antara 27,5"C sampai 29°C dengan kedalaman perairan 5-20 m
dan untuk kawasan yang berhadapan dengan laut lepas berkisar 21°C
- 28°C
dengan kedalaman 100-200 m.
Hasil analisis overlay data suhu permukaan laut berdasarkan data Citra
NOAA-AVHRR selama satu tahun, yaitu dari bulan Januari-Desember 2006,
disajikan pada Gambar 9.
.,............
u
I.,."
..,...s
n
.
1.
I.<
I
In,.....
*.
1.4.5
N .m..
urn...a.
m.un
l...,."
I.,.I
"
...",
K.'.",
..
..s
b.,
P.U:
t CII.N01A+YYIR
I.nu.ri-D...rnb.r200~
l.X.~*.n.nJ..."n
~ ~ ~ r o - ~ ~ . . n rol c. s n ~ ~ ~
7.h"" 2001. s*.,.,
2000
I. Ob..,".,
L.P."O."
I
I
I
Gambar 9 Rata-rata sebaran suhu permukaan laut KKL Berau
4.1.2.2 Salinitas air laut
Salinitas pada kawasan yang berhadapan dengan Sungai Berau berkisar
antara 3 2 3 sampai 33 ppt dan pada kawasan yang berdekatan dengan laut lepas
mempunyai salinitas 33,5 ppt.
Salinitas pada kedalaman 100 meter untuk kawasan yang berhadapan
dengan sungai Berau adalah 33,5 ppt dan pada kawasan yang berhadapan dengan
laut lepas berkisar antara 34 sampai 34,5 ppt.
4.1.23 Khlorofil-a
Data sebaran khlorofil-a dianalisis berdasarkan citra Terra-MODIS dari
bulan Januari-Desember 2006. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
kesuburan perairan KKL Berau, sebagai pendekatan dalam mengetahui distribusi
waktu keberadaan dan daerah konsentrasi ikan.
Citra sebaran khlorofil di perairan KKL Berau menunjukkan kondisi yang
relatif stabil dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2006, angin
musim tidak memberikan pengaruh yang nyata pada sebaran dan konsentrasi
khlorofil-a (Gambar 13). Konsentrasi khlorofil-a di KKL Berau berada pada
kisaran antara <0,566 - > 1,065 mg/m3.
Konsentrasi khlorofilu umumnya tinggi pada perairan di dekat daratan,
terutama pada daerah-daerah muara yang mempunyai tingkat sedimentasi cukup
tinggi. Tigginya konsentrasi khlorofil-a ini tejadi karena loading nutrien yang
cukup tinggi oleh adanya aliran run-offdari daratan yang masuk ke laut.
Hasil analisis overlay data sebaran khlorofil- a berdasarkan data Citra
Terra-MODIS selama satu tahun, yaitu dari bulan Januari-Desember 2006,
disajikan pada Gambar 10.
4.1.2.4 Kondisi arus laut
Kondisi iklim pada KKL Berau sangat dipengaruhi oleb kondisi iklim di
Samudra Pasifik. Angin musim di daerah ini berlangsung sebagai berikut :
- Bulan Januari sld bulan Maret berlangsung musim utara.
-
Bulan April s/d bulan Mei berlangsung musim pancaroba.
-
Bulan Juni d d bulan Agustus berlangsung musim selatan.
-
Bulan September sld bulan Desember berlangsung lagi musim pancaroba.
Secara umum iklim akan dipengarubi oleh musim barat dan musim timur.
Faktor oseanografi dipengaruhi pergerakan arus secara musiman dan Arus Lintas
Indonesia (Arlindo) dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia yang melewati
Selat Makassar.
8::;:s:
"O
,. '.
A/..*
1-0
&.,ma
um.tr.m..n
I...
.mu
N U " I."",
r.n,nr.
Gambar 10 Rata-rata sebaran khlorofil-a KKL Berau
Penelitian tentang Arlindo telah dilakukan dengan menggunakan kapal
Baruna Jaya I selama musim timur pada bulan Agustus - September 1993 (South
East Monsoon) dan musim barat pada bulan Januari - Maret 1994 (North West
Monsoon), dan expedisi Baruna Jaya IV bulan November - Desember 1996 dan
Februari 1998. Informasi yang didapat dari penelitian ini digunakan untuk
menginvestigasi komposisi dan percampuran massa air di perairan laut Indonesia
(Illahude dan Gordon 1996 yang diacu dalam Wiryawan 2005).
Arlindo yang membawa massa air dari Pasifik melalui Sangihe Ridge
(1350 m), yang terletak di Kepulauan Sangir Talaud 40 LU, 1260 BT ke Selat
Makasar melewati Laut Sulawesi sebelah Timur KKL Berau terhambat oleh
Dewakang Sill sekitar kepulauan di Sulawesi Selatan dengan kedalaman 680 m.
Perjalanan massa air yang melalui Laut Sulawesi dan Selat Makasar diperkirakan
sebesar 9.3 Sv (Sdev = 2,5 Sv), yang hampir sama dengan massa air yang
melewati rute lain di kawasan timur perairan Indonesia (Gordon et al. 1999 yang
diacu dalam Wiryawan 2005). Massa air dasar di Laut Sulawesi pada kedalaman
4.500 m mempunyai potensial temperatur 3,34 OC, salinitas 34,59 psu dengan
kandungan oksigen 0,15 mV1 (Gordon et al. 2003 dalam Wiryawan 2005).
4.1.2.5 Kedalaman perairao
Kedalaman perairan di KKL Berau berkisar antara 0-1000 meter. Gambar
11 menyajikan peta kedalaman laut di KKL Berau.
Gambar 11 Kedalaman laut di perairan KKL Berau
Gambar 12 Citra NOAA-AVHRR penyebaran suhu bulan Januari-Desember 2006
-
-.--3
-.ll-9
-5
an.*.rr*
Gambar 13 Citra TERRA-MODIS penyebaran klorofil bulan Januari-Desember 2006
4
n
.
r
.
l
4.13 Kondiii ekosistem
Kondisi ekosistem sangat berpengaruh pada keliipahan ikan, karena dalam
ekosistem tersebut terdapat habitat sebagai tempat hidup ikan. Ekosistem utama di
KKL Berau ada tiga, yaitu: ekosistem mangrove, ekosistem tenmbu karang, dan
ekosistem padang lamun.
4.13.1 Ekosistem mangrove
Menurut Saenger et a!. (1983) yang disebut dengan sumberdaya mangrove
adalah semua jenis pohon, vegetasi tennasuk semak belukar yang tumbuh di habitat
mangrove, jenis biota yang berasosiasi, serta proses yang berperan penting dalarn
menjaga keberadaan ekosistem mangrove, seperti erosi dan sedimentasi.
Dalam ekosistem pesisir dan laut, hutan mangrove memiliki arti penting
karena mempunyai fungsi ekologis, sosial clan ekonomi. Secara ekologis mangrove
berfungsi sebagai tempt pemijahan ikan dan udang, pelindung pantai dari abrasi
akibat anu dan gelombang dan penyuplai nutrient bagi lingkungan. Secara sosial
ekonomi, mangrove dimanfaatkan kayu untuk nmah tangga dan industri, penyedia
ikan bagi manusia. Secara estetika, hutan mangrove mempunyai panorama yang
indah dengan potensi keanekaragarnan hayati yang tinggi, sehingga patut untuk
dijadikan kawasan konservasi dan ekowisata Di Indonesia terdapat sekitar 3,5 juta ha
mangrove yang menempati daerah pasang surut. Habitat mangrove terbaik terdapat di
sepanjang pantai yang terliidung dengan gerakan ombak yang minimal dan muaramuara sungai. Mangrove yang ditemukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
KKL Berau sebanyak 26 jenis.
Hutan mangrove menyebar merata di KKL Berau mulai dari bagian utara di
Tanjung Batu, Delta Berau, sampai ke selatan di Biduk-biduk. Selain itu hutan
mangrove juga ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Rabu-mbu,
Semama dan Maratua di bagian utara KKL, dan di Pulau Buaya-buaya di bagian
selatan KKL.
Secara keseluruhan luas mangrove di KKL Berau sebesar 80.277 ha, terdiri
dari mangrove sejati (bakau, api-api) 49.888 ha dan mangrove tidak sejati (nipah,
nibung) 30.389 h a Nipah khususnya mendominasi di sepanjang Sungai Berau,
sedangkan bakau dan api-api di Delta Berau dan di sepanjang pantai.
Hasil citra Landsat tahun 2000 menunjukkan luasan mangrove di Pulau
Panjang adalah 417,38 ha dengan kondisi yang masih baik. Selain hutan mangrove, di
Pulau Panjang terdapat vegetasi pantai seluas 148,04 dengan kondisi sedang. Di
Pulau Semama terdapat hutan mangrove seluas 77,15 ha dengan kondisi cukup baik.
Di Pulau Maratua terdapat hutan mangrove seluas 369 ha dengan kondisi baik,
vegetasi pantai dengan kondisi sedang, hutan kaput dengan seluas 2.065,72 ha
dengan kondisi cukup baik dan kebun seluas 1 6 6 3 ha.
Di Pulau Derawan vegetasi yang ada hanya vegetasi pantai seperti kelapa dan
tanaman lainnya seluas 18,33 ha. Di Pulau Sangalaki hanya terdapat vegetasi pantai
seluas 10,62 ha dengan kondisi cukup baik. Di Pulau Kakaban terdapat hutan kaput
seluas 695 ha dengan kondisi yang masih baik. Di pulau-pulau lainnya s e p d Pulau
Sambit, Blambangan, Mataha, Bilangbiilangan, Balikukup, Manirnbora, Kaniungan
Besar dan Kaniungan Kecil, vegetasi yang ada hanya vegetasi pantai.
4.13.2 Ekosistem terumbu karang
Terumbu karang di KKL Berau tersebar iuas pada seluruh pulau dan gosong
yang ada di bagian utara dan selatan KKL. Gosong-gosong yang ada di bagian utara
KKL Berau adalah Gosong Mangkalasa, Gosong Masimbung, Gosong Buliulin,
Gosong P
i Gosong Tababiiga, Gosong Litang, Gosong Muaras dan Gosong
Malalungun. Sedangkan gosong yang ada di bagian selatan adalah Gosong
BesarISapitan, Gosong Dangalahan dan Gosong Paninsinan.
Tipe t m b u karang di KKL Berau terdiri dari karang tepi, karang
penghalang dan atol. Bebempa at01 ada yang telah terbentuk menjadi pulau dan ada
yang terbentuk menjadi danau air asin At01 yang ada di KKL Berau hanya ada
dibagian utara yaitu Pulau Kakaban, F'ulau Maratua dan Gosong Muaras. Luas atol
Kakaban adalah 19 km2,Atol Maratua 690 km2,Atol Muaras 288 km2.
Penutupan karang di ekosistem terumbu karang berkisar antara 20-50%. Dari
hasil 2 kali survei diketahui bahwa rata-rata tutupan karang hidup di daerah utara
sebesar 22,78 %, sedangkan di daerah selatan sebesar 27,85 %. Sementara untuk
tutupan karang keras diketahui untuk daerah utara sebesar 45,65 %, sedangkan di
selatan sebesar 35,05 %. Data persen penutupan karang dari hasil survei dengan
Manta Tow dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.
Tabel 7 Komposisi penutupan karang di perairan utara KKL Berau
Lokasi
Persen Penutupan Karang (%)
Karang Hidup
Kamng Keras
Pulau Panjang
34,88
24,25
Pulau Derawan
27.78
17,41
41;62
20,88
Pulau Semama
42,SO
26,75
Pulau Sangalaki
33,96
27,12
Pulau Kakaban
37,W
26,43
PulauMaratua
Sumber: Survei manta tow 2003 (Wiawan et al. 2005)
Tabel 8 Komposisi penutupan karang di pemiran selatan KKL Berau
Lokasi
Persen Penutupan Karang (%)
Karang Hidup
Karang Kern
27,73
864
30,O
56,03
40,O
46,80
34,62
24,62
63,03
35,91
4032
17,61
48,96
39,63
41,41
26,41
Pulau Kaniungan Kecil
Pulau Kaniungan Besar
Pulau Sambit
Pulau Belambangan
Pulau Mataha
Pulau Bilangbilangan
Karang Besar Utara
Karang Besar Selatanl
Pulau B a l i i p
Sumber Survei manta tow 2003 (Wiryawan et al. 2005)
4.133 Ekosistern padang hmun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan dii untuk hidup terbenarn di dalam laut. Lamun hidup di perairan
dangkal pada substrat pasir, lumpw, puing lamun atau campuran ketiganya pada
pulau utama dan rataan terumbu pulau karang. Secara ekologis memiliki h g s i
penting bagi wilayah pesisir, yaitu: ( 1 ) sumber utama produktivitas primer, (2)
sumber makanan bagi organisme, misalnya penyu, (3) menstabillcan dasar yang
lunak, (4) tempat berliidung organisme dari predator, (5) tempat pembesaran
beberapa spesies ikan, (6) peredam arus, (7) tudung pelindung sinar panas matahari
bagi penghuninya.
Parameter lingkungan utama yang mempengaruhi pertumbuhan lamun adalah
keemhan dengan kedalaman kurang dari 10 meter, kisaran temperatur optimum 2830°C, saliitas optimum 35 psu, substrat campuran lumpur dan fine mud, serta
kecepatan arus optimal sekitar 0,s ddetik.
Padang lamun (seagrass-meadows)atau hamparan lamun ditemukan tersebar
di seluruh KKL Berau dengan kondisi yang berbeda, dengan rata-rata luas tutupan
kurang dari 10 % sampai 80 %. Luas tutupan padang lamun yang mdah ( 4 0 %)
dapat dijumpai pada daerah-daerah yang banyak mendapat gangguan, seperti terbuka
pada surut terendah, sedangkan yang mempunyai luas tutupan tinggi (20 % - 80 %)
terdapat pada daerah yang selalu tergenang dan terlindung (Wiryawan et al. 2005).
Ekosistem padang lamun secara ekologi dan ekonomi sangat penting, namun
keberadaanya terancam oleh gangguan dan kegiatan manusia Sampai saat ini upaya
restorasi dan konservasi lamun belum banyak dilakukan, padahal keanekmagarnan
hayati wilayab pesisir sangat tergantung pada stabilitas ekosistem lamun.
Ikan yang terdapat di ekosistem lamun di KKL Berau terdapat 85 jenis dari 34
famili. Survei pada Juli 2003 yang dilakukan oleh Wawan Kiswara (P20 LIPI) dan
tim TNC (Wiiawan et al. 2005), menemukan 8 spesies lamun yang ada di KKL
Berau yaitu: Halodule univervis, H. pinifolia, Cyamodocea rotundata, Syringodium
isoetifolium, Enhatus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovata dan
Halophila ovalis.
Penyebaran Padang Lamun di KKL Berau dapat ditemukan di sebagian besar
Pulau-pulau Kecil di Utara dan Selatan KKL. Padang lamun di Pulau Panjang dapat
ditemukan di sekeliliig Pulau Panjang. Spesies yang ditemukan sebanyak 7 spesies
yaitu; Enhalus acoroidea, Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis,
Cyamodocea rotudara, Syringodium isoetifolium, dan Halodule pinifolia, dengan
jenis yang dominan adalah HaloduZe uninervis dan Halodule pinifolia. Penutupan
padang lamun di Pulau Panjang berkisar antara 5 sampai 40 %.
Di Pulau Derawan terdapat 6 spesies lamun yang dapat di temukan di
sekeliliig pulau, yaitu; Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis,
Cyamodocea rotund&a, &)ringodium isoetifolium, dan Halodule pinifolia, dengan
jenis dominan Thalasia hemprichii dan Halophilaovalis. Penutupan padang lamun di
Pulau Derawan berkisar antara < 5 % sampai 50 %.
Padang lamun di Pulau Semama dapat ditemukan di sekelilii pulau dengan
penutupan hampir rata sekitar 10 %. Spesies yang dapat ditemukan adalah Enhalus
acroides, Thalasia hemprichii, Cyamodocea rotundata, Syringodium isoetifolium,
dan Halophila ovalis, dengan spesies dominan Cyamodoea rotundata dan Halophila
ovalis.
Padang Lamun di Pulau Sangalaki terdapat 5 spesies yang terdiri dari
Thalasia hemprichii, Cyamodocea rotundata, Halophila ovalis, Enhalus acroides,
dan Halodule uninervis, dengan spesies dominan Halophila ovalis.
Penutupan padang lamun di Pulau Sangalaki berkisar antara 10 sampai 20°?,
sedangkan padang lamun di Pulau Kakaban dapat ditemukan di sebelah barat pulau
yang mempunyai pantai relatif landai dengan penutupan hampir rata, sekitar 5%.
Spesies yang di temukan adalah Halophila ovalis dan Halodule uninervis.
Padang lamun di Pulau Maratua dapat ditemukan di Teluk Pea, Payung
payung, Bohe Bukut, dan Tanjung Bawa Penutupan padang lamun di Pulau Maratua
berkisar antara 5 sampai 80 %. Spesies yang ditemukan adalah Halodule univervis, H.
pinifolia, Cyamodocea rotwtdata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides,
ThaZassia hemprichii, Halophila ovata dan Halophila ovalis.
Padang lamun pada d a b selatan hanya ditemukan pada pulau Mataha,
Bilangbilangan, Belambangan, Balikukup, Manimbora, Buaya-buaya, Kaniungan
Kecil dan Kaniungan Besar, sedangkan pulau Sambit tidak ditemukan habitat padang
lamun.
4.1.4
Kondisi sosial budaya masyarakat
Perkampungan dan pemukiman masyarakat nelayan di dalam dan sekitar KKL
Berau tersebar di 25 Kampung pada 8 Kecamatan. Jumlah KK dan penduduk dari
seluruh perkampungan nelayan sekitar 5.464 KK dan 23.239 jiwa Penduduk
terbanyak di Tanjung Batu sebanyak 2.188 jiwa. Kepadatan penduduk tertinggi di
Pulau Derawan dan Payung-payung masing-masing 99 dan 83 orang per l a d (Tabel
9).
Sesuai dengan kondisi masyarakat pesisir pada umumnya, mata penatharim
utarna sebagian besar penduduk adalah nelayan dan petambak. Kondisi kampung
yang terletak dekat pantai dan ditunjang dengan keberadam sumberdaya perikanan
yang masih relatif baik, menjadikan masyarakat menggantungkan nasibnya di laut. Di
beberapa kampung, bertani merupakan rnata pencaharian sampingan penduduk.
Tabel 9 Nama kecamatan, kampung dan jumlah penduduk di KKL Berau.
Perkampungan nelayan dalam KKL Berau dapat dibagi kedalam 3 kategori,
yaitu: perkampungan pesisir, perkampungan pulau kecil dan perkampungan muara.
Sesuai dengan pola pergerakan masyarakat nelayan yang dinamis, perkampungan
nelayan di daerah ini dalam
l i i
tahun mengalami perubahan dan perkembangan
yang cukup pesat. Hal ini disebabkan antara lain oleh migrasi yang tin&
arus
informasi dan komunikasi yang terbuka, serta akses transportasi yang relatif semakin
mudah.
Penduduk yang mendiami perkampungan nelayan umumnya masyarakat suku
Bajau, Sulu, Bugis, Jawa, Mandar, Makassar, Buton, Madura, Manado, T i o r ,
Banjar, Berau dan Lombok
Walaupun terdapat keragaman suku, namun kehidupan sosial di seluruh
pemukiman secara umum berlangsung baik. Penduduk sesama suku dan penduduk
antar suku hidup berdampingan tanpa tejadi k o d i i sosial. Pembauran dari suku
yang ada dapat dilihat dari terjadimya perkawinan antar suku, kebiasaan sehari-hari
dan penggunaan bahasa. Dalam pergaulan sehari-hari masyarakat menggunakan
carnpuran bahasa Indonesia, Bajau, Bugis clan Berau.
Penduduk sebagian be=
(90%) m e ~ p a k a npenganut agama Islam. Peran
agama Islam dalam kehidupan masyarakat nelayan sangat be=, bahkan keinginan
masyarakat untuk bisa melaksanakan ibadah haji merupakan faktor penting bagi
kehidupan bermasyarakat.
Pengembangan pendidikan dasar merupakan sektor yang sangat penting di
daerah ini. Pemerintah Kabupaten Berau telah membangun sekolah tingkat dasar serta
kelengkapannya di seluruh kampung. Beberapa perkampungan nelayan yang terletak
di muara sungai belum memiki fasilitas pendidikan sejenis. Tingkat kepesertaan anak
usia sekolah tingkat dasar yang mengikuti jenjang pendidikan cukup tinggi, namun
tidak terlalu banyak yang dapat melanjutkan ke tingkat selanjutnya meski di beberapa
ibukota kecamatan telah tersedia Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Atas.
Lembaga-lembaga formal yang terdapat di perkampungan nelayan adalah
Lembaga Pemerintahan Kampung (Kepala Kampung, Sekretaris Kampung, Kepala
Urusan, dan Ketua RT), Badan Perwakilan Kampung, Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat, PKK dan Karang Taruna. Selain itu juga terdapat kelompok arisan,
pengajian dan selawatan. Beberapa pengurus organisasi massa dan partai politik juga
telah berdiri di sebagian besar perkampungan nelayan.
Mekanisme pengambilan keputusan yang berlaku di sebagian besar
perkampungan nelayan adalah dengan terlebii dahulu menyelesaikannya melalui
Ketua RT untuk selanjutnya diselesaikan oleh Kepala Kampung. Jika hal tersebut
belum dapat diselesaikan, maka keputusan akan diserahkan kepada instansi terkait
lainnya Pemilik modal, tokoh agama dan tokoh adat memiliki kedudukan yang
dihonnati dalam masyarakat. Beberapa tokoh muda yang berpendidikan juga
menempati posisi yang penting di masyarakat
Sebagian besar bangunan nunah penduduk berbentuk panggung yang terbuat
dari bahan kayu dan hanya beberapa yang mempakan bangunan semi permanen.
Sumber air rninum dan atau air t a m bagi masyarakat didapatkan dari sumur galian,
air hujan, sumber mata air, air sungai clan suplai dari PAM.
4.2 Kegiatan Perilcanan Tangkap
Kegiatan perilcanan tangkap merupakan kegiatan utama bagi penduduk yang
menetap di pesisir, muara sungai dan pulau kecil dalam KKL Berau. Umumnya
nelayan menjual hasil tangkapan kepada pengumpul dan kemudian langsung dikirim
ke Malaysia, Surabaya dan beberapa kota luat propinsi dan kabupaten.
Penangkapan sumberdaya kelautan yang dimanfaatkan oleh nelayan dalam
KKL Berau dapat dibagi kedalam 3 kategori, yaitu area pesisir dan muara sungai,
paparan terumbu karang dan laut dalam. Area penangkapan pada tenunbu karang
ditentukan bedasarkan atas penilaian keadaan terurnbu karang di suatu lokasi. Lokasi
yang dipili terutama adalah lokasi memiliki tenunbu karang yang cukup luas dan
bagus, serta merupakan tempat perliidungan dan bertelur ikan atau udang. Selain itu
nelayan juga menyatakan bahwa di lokasi-lokasi tersebut relatif terlindung dari
pengaruh angin temtarna saat musim utara, serta kondisi perairannya cenderung
jernih.
Jenis alat penangkapan ikan
4.2.1
Jenis dan jumlah alat tangkap yang ada di perairan KKL Berau menurut survei
bersama antara D i Kelautan Perikanan Kab. Berau dengan WWF dan TNC pada
bulan Februari 2005 sampai dengan bulan Juni 2005 disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Jenis dan jumlah alat tangkap bulan Februari - Juni 2005
No
Alat Tangkap
1
Pancing/tonda (kedo-kedo)
Pancing ladung (rinta)
Panah ikan
F'ukat I jaring: gill netlpukat
Pukat c h i n
Jaring udang / Rengge
gondrong
Jerat udangl Perangkap
Bagan apung
(kapavpelampw)
Bubu
Jumlab
Jenis Ikan
63
Demersal& pelagis
Demersal & pelagis
Demersal
Demersal & pelagis
Pelagis
Demersal
Pelagis
Demersal
Pelagis & Demersal
Mini trawl
Demersal
Tabel 10 lanjutan
No
AhtTangkap
Jnmlah
Jenis Iknn
12
Trawl
36
Demersal
13
Hampanglsero
0
Demersal
14
Alat laimya (penyambang,
potas, kompresor, bom ikan
dll)
110
Demersal
Total AM Tangkap
-
787
-
Sumber: Program Bersama WWF, TNC,DKP Kabupaten Berau (2007)
Jenis dan jumlah alat tangkap menurut survei bersama pada bulan Juli 2005
sampai dengan Februari 2006 disajikan dalam Tabel 11.
-
Tabel 11 Jenis clan jumlah alat tangkap bulan Juli 2005 Februari 2006
No
Alat Tan~kap
Jnmlah
Jeais Iknn
-
1
Pancing tonda (kedo-kedo)
135
Pelagis
2
Pancing ladung (rinta)
279
Demersal & pelagis
3
Jaring: gill nett'pukat
236
Demersal & pelagis
4
Pukat cincin
21
Pelagis
5
Jaring udang/Rengge
gondrong
152
Demersal
6
Jerat udangl perangkap
18
Demersal
7
mP Apung
47
Pelagis
8
Bubu
29
Demersal
9
Rawaillongline
55
Demersal& Pelagis
10
Mini trawl
113
Demersal
11
Trawl
17
Demersal
269
Demersal
12
Alat laimya (penyambang,
potas, Kompresor, bom ikan,
dll)
Total AM Tangkq
1371
Sumber: Program Bersama WWF, TNC, DKP Kabupaten Berau (2007)
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa tejadi peningkatan
jumlah alat tangkap hampir dua kali lipat hanya dalam waktu kurang dari 1 tahun,
yaitu selama bulan Juli 2005-Februari 2006. Hal ini menunjukkan bahwa upaya
penangkapan di perairan KKL Berau mengalami peningkatan yang tajam dan hal ini
dapat sangat membahayakan bagi kelestarian sumberdaya ikan di KKL Berau.
Berikut ini diuraikan bentuk-bentuk kegiatan dan alat penangkapan ikan
dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dalam KKL. Gambar alat-alat penangkapan
ikan disajikan pada Lampiran 5.
(1) Pancing tonda (kedo-kedo)
Pancing merupakanjenis alat tangkap paling banyak digunakan dengan teknik
dan jenis yang berbeda. Dua jenis pancing yang digunakan di
KKL Berau adalah
pancing tonda dan pancing ladung. Pancing tonda adalah jenis pancing yang
pengoperasiannya dengan ditarik perahu kecil dengan mesin temple atau perahu
layar. Pengoperasiannya dilakukan pada siang hari. Komponen dari pancing tonda
adalah: 1) tali utama, bahan umumnya tali plastik dengan panjang 50-100 m, 2) kilikili (swivel),3) tali kawat, 4) mata pancing (hook), bisa tunggal atau ganda, 5) umpan
tiruan.
Sasaran utama alat ini adalah jenis ikan pelagis seperti tenggiri, tongkol dan
tuna. Selain jenis ikan komoditas di atas, beberapa kelompok nelayan melakukan
kegiatan pancing ikan hiu. Penangkapan ikan hiu dianggap cukup menguntungkan
-
karena harga satu kilogram sirip berkisar Rp 80.000 Rp 150.000 tergantung ukwan
dan jenisnya Penjualan produk ini terutama ditujukan ke Surabaya dan Tarakan.
-
Hasil tangkapan ikan hidup tiap nelayan per hari berkisar 1 3 kg, ikan karang
lainnya 5 - 10 kg serta ikan tongkol dan sejenisnya 10 - 30 kg. Untuk hasil tangkapan
ikan hiu paling tidak 1 ekor setiap minggunya Apabila dibandiigkan sepuluh tahun
yang laly hasil tangkapan ikan hidup berkisar 20 kg, ikan karang lainnya 50 kg serta
ikan tongkol dan sejenisnya 50 kg. Ikan hiu sepuluh tahun yang lalu setiap nelayan
dapat memancing lebii dari 1 ekor setiap minggunya. Kegiatan memancing dilakukan
oleh k a m laki-laki dengan anggota 1 orang.
(2) Panciag ladung (rinta)
Pancing ladung, atau sering juga disebut dengan 'pancing ulur' atau 'pancing
labuh', adalah jenis pancing yang dioperasikan dengan diam di tempat. Komponen
dari pancing ladung adalah: 1) tali pancing (line), 2) mata pancing (hook), dan 3)
pemberat (sinkrs).
Lokasi pemancingan umumnya di karang-karang, perairan dangkal,
rumponlromping. Sasaran utama menangkap dengan alat ini adalah ikan hidup seperti
sepxti napoleon, kerapu dan sunu. Harga penjualan kedua jenis ikan ini cukup tin@
dengan permintaan cukup besar. Sejak tahun 1987 penangkapan jenis ikan hidup
sangat tinggi seiring dengan harga dan permintaan yang menguntungkan.
Penampung di tingkat lokal sebagian besar memasarkan hasil penjualannya
dalam bentuk hidup untuk pasaran ekspor dengan negara tujuan Malaysia, Hongkong
dan beberapa kota di luar pmpinsi.
(3) Panah ikan
Panah ikan adalah jenis alat tangkap yang dioperasikan dengan mengejar dan
menembak ikan target dengan menggunakan paaah. Ikan target biasanya adalah jenisjenis ikan yang bendwan cukup besar, seperti hiu, pari, gurita dll.
(4) Jaring
Jaring merupakan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk
menangkap ikan, terutama jenis ikan karang. Jaring digunakan pada perairan yang
berkedalaman 1
-
10 meter. Sesuai dengan jenis dan penggunaannya, jaring atau
pukat terdiri dari beberapa jenis, seperti jaring h a n g (gillnet), pukat pantai (beach
seine) dan pukat tarik (purse seine). Jarring insang adalah alat tangkap yang
bexbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris
atas dan ris bawah. Besar mata jaring bewariasi disesuaikan dengan sasaran yang
akanditangkap.
Jenis ikan yang ditangkap dengan menggunakan jaringlpukat terutama ikan
putih, belanak, batonang dan sejenisnya. Kegiatan menjaring dilakukan oleh laki-laki
ini dengan jumlah 2 - 3 orang.
Hasil tangkapan ikan tiap nelayan setiap harinya hanya berkisar 20 kilogram.
Hasil ini jauh menurun diband'igkan 10 tahun ldu yang mencapai 50 sampai 100
kilogram. Kondisi ini semakin dipersulit dengan semakin jauhnya ares penangkapan
dan semakin lamanya waktu kegiatan penangkapan.
(5)Pukat cincin (DogoVdankh seine)
Alat ini disebut pukat cincin karena dilengkapi dengan cincii dimana tali
cincin (purse line) dimasukkan kedalamnya Adanya cincin dan tali ini menyebabkan
jaring yang semula tidak berkantong, akan membentuk kantong pada tiap akhir
operasi penangkapan. Kegiatan penangkapan pukat cincin ini dilakukan dari sebuah
perahu bermotor dan ditarik dengan mengepung suatu daerah perairan. Penangkapan
dengan pukat cincin merupakan usaha yang sifamya aktif, karena men&
kawanan
ikan. Opemi penangkapan dilakukan di malam hati, narnun tanpa menggunakan
lampu Sasaran pukat cincin adalah ikan pelagis yang bergerombol.
Mat tangkap dog01 terdii dari jaring yang panjang dengan kantong
menggunakan alat untuk menyeret dan menjaring ikan atau udang. Hasil tangkapan
tiap nelayan dengan alat ini dalam satu hari berkisar 1 - 30 kg. Kegiatan penangkapan
dilakukan oleh k a w laki-laki dengan anggota 1 - 2 orang. Sepuluh tahun yang lalu
hasil tangkapan dengan dogol setiap harinya tidak kurang dari 30 kg.
(6) Jaring ndanglrengge gondrong (trummel net)
Jaring gondrong me~pakanjaring yang terdiri dari tiga lapis baik menetap
atau hanyut yang ditarik menurut arusJkapaI atau ditarik salah satu sisinya Lapisan
jaring tersebut akan menyebabkan ikanhdang tersangkut pada jaring.
Produk utarna yang ditangkap dengan alat ini adalah udang dengan harga jual
-
bewariasi Rp 8.000 95.000kg menurut ukuran dan jenis. Penjualan udang terutama
ditujukan kepada perusahaan pembekuan PT.Mina Nusa Ikatama di Pisang-pisangan
dan memenuhi pasar lokal. Hasil tangkapan tiap nelayan dengan alat ini dalam satu
hari berkisar 1 - 5 kg. Kegiatan penangkapan dilakukan oleh kaum laki-laki dengan
anggota 1 - 2 orang. Sepuluh tahun yang lalu hasil tangkapan udang dengan jaring
-
gondrong setiap harinya berkisar 10 50 kg.
(7) Bagan apung (bout operated lzjl net)
Mempakan modifikasi dari bagan tancap. Komponen dari bagan adalah jaring
bagan, nunah bagan, serok, dan lampu. Pada bagan apung rumah bagan didirikan di
atas perahu. Penggunaan alat tangkap bagan perahu terbatas pada bebe.rapa nelayan di
daerah selatan perairan KKL. Kegiatan penangkapan menggunakan lampu yang
dioperasikan oleh satu perahu. Ikan yang ditangkap adalah jenis pelagis kecil.
Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki dengan anggota 7 orang.
(8) Bubu (boaompot)
Usaha penangkapan menggunakan bubu dioperasikan pada dae.rah-daerah
sekitar terurnbu karang dengan membuat kamuflase di sekitat lokasi penangkapan.
Sasaran utamanya adalah menangkap ikan karang. Pengangkatan bubu dilakukan
setiap 2 hari. Penangkapan ikan menggunakan bubu sebagai alat tangkap dilakukan
oleh kaum laki-laki.
(10) Rnwai (long line)
Teknik penangkapan dengan mwai dasar ditempatkan pada atau dekat dasar
peraim. Alat ini terdiri dari tali utama yang cukup panjang, serta tali cabang dengan
jarak tertentu atau berdekatan.
Produk yang ditangkap dengan menggunakan rawai dasar terutama adalah
jenis ikan hiu dan ikan kerapu. Kegiatan penangkapan dilakukan oleh kaum laki-laki
dengan anggota 1 - 2 orang.
(11) Mini trawl
Kegiatan penangkapan dengan trawl sangat banyak jurnlahnya dilakukan oleh
nelayan di sepanjang pesisir selatan perairan KKL. Jenis jaring yang digunakan
adalah jaring yang ditarik, terdiri dari kantong berbentuk kerncut, tertutup ke arah
ujung oleh kantong dan melebar ke arah depan dengan adanya sayap. Alat ini ditarik
oleh satu kapal dan dipakai di dasar air. Kegiatan penangkapan dilakukan sepanjang
tahun. Produk yang ditangkap adalah udang dan ikan campuran. Penjualan udang
terutama ditujukan kepada perusahaan pembekum PT. M i Nusa Ikatama di Pisangpisangan dan memenuhi pasar lokal. Ikan campuran setelah diolah juga dijual ke
pasar lokal.
Hasil tangkapan tiap nelayan untuk satu hari m g k a p a n berkisar 1 - 15 kg.
Kegiatan ini dioperasikan oleh kaum laki-laki dengan tenaga kerja beranggotakan 1 -
2 orang. DaIam kurun waktu 10 tahun terakhir, harnpir semua nelayan pengguna mini
trawl mengeluh dengan semakin kurangnya hasil tangkapan yang mereka peroleh.
Sebagai perbandingan hasil tangkapan udang dalam jangka waktu yang sama
didapatkan hasil28 - 40 kg.
(12) Hampanglsero/beIPt/kelongltogo(barrier,fence, weir)
Penangkapan ikan dengan teknik belatlkelong merupakan jenis perangkap
ikan berbahan kayu dan atau jaring yang ditempatkan pada bagian pesisir. Ikan hasil
a demersal yang diambil saat air surut. Sedangkan togo biasanya
tangkapan b e ~ p ikan
digunakan di bagian tepi sepanjang sungai hingga ke muara sungai.
Togo dioperasikan saat air pasang dan diambil hasilnya saat air tenang.
Terdapat dua jenis togo yaitu untuk menangkap udang dan menangkap ikan. Seluruh
kegiatan penangkapan dengan teknik ini dilakukan oleh kaum-laki-laki. Bahan
perangkap yang diguoakan bmpa patok kayu dan jaring. Hasil penangkapan belat
dm kelong dilakukan saat air surut. Kegiatan ini merupakan teknik penaugkapan
dengan metode. Jenis produk yang ditangkap merupakan ikan campuran.
(13) Menyelam (compressor hookah)
Beberapa nelayan juga melakukan penangkapan dengan teknik menyelam
dengan menggunakan alat bantu kompressor hookah. Teknik penangkapan ini
menggunakan perahu motor yang dilengkapi dengan kompresor (hookah) serta selang
yang panjangnya mencapai 200 - 300 meter.
Jenis ikan yang ditangkap umumnya lobster, ikan kerapu/sunu, lola mutiara,
dan lain-lain. Dari penangkapan lobster memberikan pendapatan yang cukup besar.
Saat ini untuk satu kilogram lobster dengan ukuran clan jenis tertentu dijual dengan
harga berkisar antara Rp 70.000 - Rp 150.000. Saat melakukan penyelaman, para
penyelam juga mengambil teripang, ikan kerapu dan mu,sertajenis lainnya.
(14) Penangkapan dengan bahan peledak (bhting)
Beberapa pihak masih menggunakan alat peledak untuk menangkap ikan.
Untuk data kongkrit dan jumlah serta aktifitas penggunaan alat ini tidak tersedia
dengan baik. Namun berdasarkan informasi dari masyarakat dan petugas PPL
Perikanan, diietahui masih ada beberapa kelompok yang menggunakan teknik
penangkapan ini. Sebaran spasial beberapa jenis alat tangkap disajikan pada Gambar
14-17.
4.2.2 Nelayan
Nelayan &lam melakukan penangkapan sumberdaya kelautan berlangsung
selama 12 bulan setiap tahunnya Aktivitas di laut bagi masyarakat sangat tergantung
kepada kondisi musim dan angin. Berdasarkan kondisi dam dan kelimpahan
sumberdaya kelautan, waktu yang p a l i i menguntungkan yakni saat musim angin
utara (September hingga Maret tahun berikutnya). Hasil penangkapan yang paling
tinggi yakni pada bulan Maret dan September setiap tahunnya. Umumnya waktu
kegiatan penangkapan dilakukan pagi hari mulai pukul 05.00-17.00 dan sore hari
mulai pukul 18.00-05.00 WIT
I
Legenda:
I
Sumber Pew
Tahun 2005
2. ObsaNasi Lapangar
I
lnzet Lokasi Penelitiin
I
/v mtn M m . kec-mn
I".
Ben"
I
unorov.
Sumber Peta:
Tanun 2005
2. Obrervari LspanQsn
lnzet Lokasi Penelitin
Gambar 15 Sebaran pukat clan pukat cincin
Cora Daormh Conyobaron
T r a w l dmn Y l n I T m w l
I
Mint trawl
Trawl
N ~ a 1 . sAdm. k * c a m a U n
Kab. B*nu
Pulau Karang
Manprove
1. Propram Berrama
Tahun 2005
KKL Befa
2. Observasi Lapanpan
I
L
lnret Lokasi Penelitian
I
I
I
Gambar 16 Sebaran trawl, dan mini trawl
_t
Gambar 17 Sebaran rengge dm jerat udmg
4.23
Metode penangkapan ikan
Meliputi metode penangkapan ikan, fishing base, fishing ground, waktu
tempuh dari fishing base, persiapan, musim penangkapan, kearih lokal &lam
upaya penangkapan ikan.
Kemampuan
dan
pengetahuan
nelayan
dalam
mengelola
atau
memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan .relatif maju. Hal ini selain
karena kemajuan dan keinginan nelayan kampung tersebut juga infonnasi
tambahan dari pihak dari luar kampung seperti NTB, Jawa, Sulawesi clan sekitar
Kaliantan bahkan Malaysia.
Pengetahuan yang d i i i l i i oleh kaum laki-laki diantaranya menangkap
ikan dengan pancing, bubu, bekarang dan menanjuk, pukat, mendaring, mini
trawl, tambak, mendari, kompresor &n jaring. Sedangkan kaum perempuan
antara lain memiliii pengetahuan untuk memasak, mendaring, tambak &n
bekarang.
Dalam pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya di la& tidak dikenal
hukum atau aturan adat. Beberapa perkampungan yang dahulu memili ahvan
dan kesepakatan &lam pengelolaan perikanan, saat ini sudah tidak ada lagi.
4.2.4
Hasil tangkapan ikan
Kegiatan penangkapan dilakukan pa& daerah penangkapan di lautlpantai
dan perairan umum yang dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan armada
perahu, motor tempel dan kapal motor.
Sampai saat ini usaha penangkapan nelayan telah menunjukkan banyak
kemajuan seiring dengan kegiatan motorisasi perahulkapal nelayan yang meliputi
daerah penangkapan kecamatan Pulau Derawan, Talisayan, Biduk-Bid&
Sambaliung dan Gunung Tabur.
Jenis ikan yang tertangkap di perairan Kabupaten Berau lebii dari 33
jenis, meliputi jenis ikan pelagis, dan ikan demersal. Dari beberapa jenis ikan
tersebut terdapat ikan-ikan dengan nilai ekonomis tinggi, baik di pasaran domestik
maupun ekspor antara lain bawal, kerapu, kepiting, teripang, lobster, udang dan
lain-lain. Khusus komoditi udang mempunyai nilai komersil yang relatif stabil
dibandiig
komoditi lain yang diekspor dalam bentuk hidup dengan negara tujuan
Jepang, Taiwan, Hongkong, Singapura dan lain-lain.
Jumlah hasil tangkapan ikan pelagis di Perairan KKL Berau dapat dilihat
pada Tabel 12.
Tabel 12 Hasil tangkapan ikan pelagis di perairan KKL Berau
Jenismhun
La~ang
Alu-alu
Selar
Tai
Trmbang
Lemuru
Golok parang
Terubuk
Kembung
Tenggiri
Cakalang
Tongkol
Ekor Kuning
2001
109.3
243.5 .
138.4
111.1
134.5
8.4
6.9
18.5
441.2
111.7
0
0
129.4
2002
138.5
316.5
258.4
135.3
192.7
16.2
7.4
17.8
528.9
221.6
135.3
416.4
110.8
2003
318.9
132.1
339.2
464.7
186.7
20.3
9.2
20.5
471.1
313.5
178.3
523.3
150.7
2004
366
126.7
437.4
663.8
149.9
25.5
18
25
577.3
361.2
98.3
536.7
191.1
2005
TOTAL
379.4 1,312.10
217 1,035.80
432.4 1,605.80
578.4 1953.30
155.7
819.50
33.5
103.90
36.3
77.80
24.9
106.70
464.6 2,483.10
414.9 1,422.90
123.6
535.50
573 2,049.40
203.6
785.60
Sumber : Statistik Perikanan Kab. Berau (2005)
Berdasarkan data hasil tangkapan perikanan ikan pelagis dari tahun 20012005 dapat dilihat bahwa ikan kuwe dan ikan kembung menunjukkanjumlah hasil
tangkapan yang selalu dominan dari tahun ke tahun, namun ada tren produksi
yang semakin menwn. Sedangkan ikan tongkol justru menunjukkan produksi
yang semakin meningkat dengan kurva pertumbuhan yang cukup tajam. Sehingga
dalam ha1 ini peneliti menganggap bahwa ikan tongkol merupakan ikan pelagis
penting yang perlu diietahui dan diinasi kesesuaian wilayah penangkapannya.
Gambar 18 menggambarkan tren produksi perikanan tangkap ikan pelagis
di perairan KKL Berau antara tahun 2001-2005.
Kelompok ikan laimya yang banyak ditangkap di perairan KKL Berau
adalah ikan-ikan karang yang termasuk dalam kelompok ikan demersal. Jumlah
hasil tangkapan ikan demersal di Peraimn KKL Berau dapat dilihat pada Tabel 13.
0
-Kembung
i~
+Tenggiri
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 18 Grafk hasil tangkapan ikan pelagis di perairan KKL Berau
Tabel 13 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan KKL Berau
Jenis
2001
2002
2003
Kerapu
469.5
523.3
517.1
Kuwe
579.8
551.2
514.3
Biji Nangka
190.2
281.1
316.3
Kakap
529.8
434.9
404.8
153.6
335.2
291.9
Bawal Hitam
Bawal Putih
401.4
249.2
336
Japuh
22.2
19.5
17.2
Merah
372.7
404.6
260.7
Bambangan
Rajungan
8.6
7.4
9.3
Kepiting
139.2
223.8
200.9
Udang Berong
3.9
8
10
Udang Widu
21.9
48.2
68
Udang Putih
942
937.3
810.7
Udang Dog01
716.7
697.6
688.1
udang ~ a &
379.8
637.8
709.2
Rata-rata
4,351.50 4,807.90 4,640.20
Sumber : Statistik Perilcanan Kab. Berau (2005)
2004
2005
TOTAL
474.7
481.9
316.4
534.4
325.2
473.7
18.3
331.4
431.9
323.3
357.6
480.1
515.4
514.1
26
347.5
2,416.50
2,450.50
1,461.60
2,384.00
1,621.30
1,974.40
103.20
1,716.90
21.7
218.4
25.1
123.4
780.2
722.4
671.9
5,037.20
26.4
73.40
241.7
1,024.00
30.3
77.30
107.6
369.10
687.4
4,157.60
651
3.475.80
700.5
3i099.20
5,117.50 4,790.86
Data hasil perikanan tangkap ikan demersal menunjukkan bahwa kerapu
dan kakap merupakan jenis yang dominan penting, walaupun ada kecenderungan
tren semakin menurun dari tahun ke tahun.
Gambar 19 Grafkhasil tangkapan ikan demersal di perairan KKL Berau
4.2.5 Sebaran spasial daerah penangkapan ikan
Sebaran daerah penangkapan ikan untuk bebeiapa kelompok ikan, baik
ikan ekonomis penting rnaupun ikan yang termasuk jenis langka dan dilindungi
dapat dilihat pada gambar 20-22.
I
Pat. Dmanh Panyab=nn
Lumbm-Iumba dan Hlu
I
Legendr:
%
0
Dwvno
HI"
Lumb.4umb.
Y..U
1 nu*
v
~unlop..dun*~s
y T"niop.trun~lU.
N ~ a t a *dm.
m
kecsmatmn
Kab. Bmnu
PuIau Kmnna
Kannp
Lmutmhp
Sumber Pet.:
1. Propram Bersama KKL Bern
Tahun 2005
2. Observasi Lapangan
lnzet Lokasi Penelitin
I
I
Gambar 20 Sebaran keberadaan lumba-lumba dan hiu
I
1. Prcgram Bemama
Tahun 2005
2. Observssi Lapangan
-
8
o
1
KKL B e
8 162432 Kllomete
lnzet Lokasi Penelitin
Gambar 21 Sebaran daerah penangkapan biota yang dilindungi
..
.
Legend.:
*In Crmpur
IranK*npu
IranMenh
hnPutih
hntonpkol
Kmnng
/vBatas Bdm. k r . & n u
I
Kab. Benu
I
Pulau U n n g
I
K.nna
LauLshp
Sumber Pets:
1. Prcgram Bermma KKL Be
Tahvn 2005
2. Observasl Lapangan
I
-
lo
Gambar 22 Sebaran daerah penangkapan ikan ekonomis penting
0
10 Kilometers
I
5 PEMBAHASAN
5.1 Zonasi Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap
Zonasi sangat penting untuk diterapkan &lam kawasan konservasi unhrk
menjamin perimbangan pemanfaatan dan daya dukung kawasan, serta untuk
menghindari konflik &lam pemanfaatan kawasan. Zonasi diterapkan di KKL dengan
tujuan untuk:
(1) Memberikan perlindungan terhadap ekosistem yang penting atau kritis dalam
proses proses ekologi
(2) Mengatasi konilii pemanfaatan sumberdaya untuk menjamin kegiatan ekonomi
berkelanjutan.
(3) Menjamin kualitas alam atau budaya dengan mengakomodasi pemanfaatan yang
bertanggung jawab.
(4) Menjamin kawasan yang nrsak untuk p u l i kembali afau direhabilitasi.
Zonasi mendefmisikan apa yang boleh dan apa yang dilarang pa& zona-zona
yang berbeda, sesuai dengan pengelolaan sumberdaya alam, pengelolaan jasa
lingkungan (sumberdaya budaya), pemanfaatan oleh pengguna (masyarakat dan
wisata), akses perhubungan, pengembangan taman laut, pemeliiaraan, dan
operasional. Melalui pengelolaan zonasi, pembatasan-pembatasan pemanhtan yang
diijinkan dan pengembangan kawasan konservasi dibangun. Zona-zona menunjukkan
dimana berbagai strategi untuk pengelolaan dan pemanfsatan yang sesuai untuk
mencapai tujuan pengelolaan KKL di masa datang.
Analisis zona kesesuaian wilayah perikanan tangkap dilakukan untuk spesies
tertentu yang dominan sebagai spesies yang bernilai ekonomis penting. Berdasarkan
analisis terhadap hasil tangkapan ikan, &pat diketahui bahwa spesies ekonomis
penting yang dominan adalah kelompok ikan pelagis dan ikan demersal. Zonasi
kesesuaian dilakukan dengan melakukan overlay berbagai parameter kesesuaian
untuk masing-masing kelompok ikan yang tersebut di atas. Bobot diberikan untuk
mendapatkan nilai spasial yang maksiial dan minimal sesuai dengan
pengkategoriannya.
Dari hasil analisis tumpang susun (overlay) dari keempat parameter tersebut
dipemleh peta kesesuaian wilayah penangkapan untuk kelompok ikan pelagis dan
demersal yang disajikan dalam Gambar 23 dan 24.
5.1.1 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis
Berdasarkan hasil overlay parameter suhu, khlorofil, dinitas, dan kedalaman
perairan diketahui bahwa daerah yang sesuai untuk penangkapan ikan pelagis adalah
perairan di luar m u m sungai Sungai Berau dan di sekitar Kamng Besar. Perairan di
wilayah ini merupakan perairan yang subur dengan kandungan khlomfil- a yang
tinggi.
Perairan di antara P. Kakaban dan P. Maratua, serta perairan di sekitar
Karang Gosongan juga mempakan perairan yang sangat sesuai untuk ikan pelagis.
Namun perairan ini mempakan daerah ruaya bagi beberapa jenis biota yang
dilindungi seperti paus, lumba-lumba, hiu, dan penyu (delineasi garis wama bim),
s e h i a wilayah tersebut sebaiknya dijadikan sebagai zona inti diiana tidak
diijinkan adanya penangkapan (no toke zone).
5.13 Kesesoairn wilayab penangkapan ikan dememl
Selain parameter suhy konsentrasi khlorofil, dan kedalaman pemiran,
kesesuaian wilayah penangkapan ilcan demersal mempe~imbangkanjuga paramater
kondiii dasar perairan dan pentupan kamng, karena ikan demersal hidup di dasar
perairan sehingga ekosistem dasar perairan me~pi3kan habitat yang sangat
menentukan keberadaan ikan demersal.
Wilayah perairan yang sangat sesuai untuk penangkapan ikan demersal
adalah perairan di muam Sungai Beray perairan karang bagian selatan yaitu di antara
Karang Besar dan P. Manimbora, serta perairan di sekitar P. Bilang-bilangan.
Kondisi perairan disini umumnya dangkal dengan ekosistem karang yang relatif
masih bagus sehingga ikan kamng banyak ditemukan.
Perairan di sekitar P. Panjang juga merupakan wilayah yang sangat sesuai
bagi penangkapan ikan demersal. Di perairan ini banyak ditemukan jenis ikan
demersal seperti kerapu dan ikan merah. Namun karena di perairan tersebut
ditemukan hiu dan duyung, maka perairan tersebut sebaiiya tidak dijadikan zona
penangkapan ikan.
Cat. K a a a . ~ . h n Wllmyah
Camaa.kapan I k a a P a l a m b
...
ILau
Legend.:
OI 8.np.1
...ud
".I
ffl.k...U.l
K.b.
B.,"
P U I ~ UK a n n g
K.r.g
I
W.ngro.*
N B a 1 . s Adm. kocamamn
8umb.r
Pam:
1 ProQram Bersama KKL B e n u ,
Tshun 2 0 0 5 , a k a h 1 5 0 0 000
2 Pel. Kedalaman Jawatan
Hidro-oaeanografl T N I A L .
Tahun 2007. Skaia 1 200 000
3 Observatl Lapanpan
.+.
-
40
o
S
10 Kllometar.
lnzet L o k a r i Penelltian
Gb. 23 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis di KKL Berau
Gb. 24 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan demersal di KKL Berau
5.2 Hirarki Pemilihan Alat Tangkap Ramab Lingkungan
Arimoto (1999) menyatakan bahwa teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan adalah suatu alat tangkap yang sedikit mungkii berdampak negatif
terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat bempa kerusakan dasar perairan
(benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya
tehadap polusi. Dampak lain adalah menurunnya biodiversity, tertangkapnya bycatch serta tertangkapnya ikan-ikan muda.
Monintja (2000) menyatakan bahwa seuua teknis suatu alat tangkap ikan
dikatakan nunah lingkungan apabila memenuhi kriteria: (I) mempunyai selektivitas
yang tinggi, (2) tidak m e ~ s a khabitat terumbu karang, (3) menghasilkan ikan
berkualitas tinggi, (4) tidak membahayakan operator (nelayan), (5) hasil sampingan
(by-catch) rendah, (6) dampak terhadap biodiversity kecil, (7) tidak menangkap ikan
yang dilindungi, (8) hasil tangkapan tidak melebihi jumlah yang boleh dimanfaatkan
(TAC), (9) ala! tangkap tersebut menggunakan sedikit bahan bakar, (10) secara
hukum alat tersebut legal, (1 1) nilai investasi kecil, (12) hasil produksi baik dengan
harga yang kompetitif.
Berdasarkan hal-ha1 tersebut di atas, maka dalam menentukan rencana
pemilihan alat tangkap beberapa ha1 yang perlu dipertimbangkan adalah: (I)
selektivitas alat tangkap, (2) pemanfaatan yang berkelanjutan, (3) legalitas alat
tangkap, (4) penerimaan teknologi oleh masyarakat, (5) tidak m e ~ s a khabitat, (6)
kemudahan pengoperasian, (7) keamanan nelayan, (8) tidak menimbulkan
pencemaran, (9) peluang terjadinya ghostfishing rendah, (10) produksi berkualitas
tinggi, (11) produksi tidak membahayakan konsumen, (12) manfaat kegiatan
penangkapan terhadap pendapatan nelayan (Arami 2006).
Arami (2006) dalam penelitiannya, untuk proses penyeleksian teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan menggunakan metode skoring dalam penilaian
kriteria yang mempunyai satuan yang berbeda dengan memberi nilai terendah sampai
dengan yang tertinggi. Sedangkan dalam penelitian ini proses pemilihan alat tangkap
ramah lingkungan dilakukan dengan analisis hierarki (F'roses Hierarki AnalitikmHA)
berdasarkan skoring yang diberikan oleh para tokoh kunci (key person) kegiatan
perikanan tangkap di perairan KKL Berau dengan menggunakan skala Saaty.
Komponen &lam analisis PHA didasarkan pada tujuan pemilih alat
tangkap yang ramah Iiigkungan. Tujuan ini dibangun oleh empat kriteria untuk
menentukan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan, yaitu kriteria biologi, teknis,
sosial dan tinansial. Kriteria biologi ditunjukkan dengan sifat alat tangkap yang tidak
m e w k , sehingga pemanfaatannya berkelanjutan. Kriteria sosial ditinjau &ri
penerimaan masyarakat nelayan sebagai pengguna alat tangkap dan legalitas kegiatan
penangkapan secara hukum. Kriteria teknis menunjukkan bahwa alat tangkap secara
teknis dapat dikembangkan, meliputi enam sub-kriteria yaitu jenis alat tangkap yang
tidak menimbulkan dampak pada ekosistem, mudah dioperasikan, aman bagi
nelayan, tidak menimbulkan pencemaran, produksi yang berkualitas tinggi dan aman
bagi konsumen. Sub-kriteria &lam finansial dipertimbangkan berdasarkan jenis alat
tangkap yang menguntungkan bagi nelayan. Berdasarkan hasil olah data dengan
menggunakan software Erperf Choice 2000 diperoleh hasil sebagaimana disajikan
pada Gambar 25.
Menurut pendapat tokoh-tokoh kunci pada sektor kelautan di KKL Berau,
dalam menentukan jenis alat tangkap yang ramah Iiigkungan kriteria yang
memperoleh prioritas terbesar adalah kriteria biologi dengan pmsentase sebesar 49,2
%. Selanjutnya berhuut-turut adalah kriteria teknis, sosial, dan finansial (Tabel 14).
Tabel I4 Matriks prioritas kriteria &lam mencapai tujuan penentuan jenis alat
tangkap yang mnah 'iigkungan
Kriteria
Bobot
PrioriCls
Biologi
49,2
PI
Teknis
27,l
PZ
Sosial
14,9
P3
Kriteria biologi menjadi prioritas utama karena perlindungan terhadap
ekosistem me~pakansyarat terpenting agar sumberdaya KKL Berau tidak rusak.
Arami (2006) dalam tesisnya menyatakan bahwa teknologi penangkapan ikan karang
berwawasan lingkungan adalah suatu alat tangkap yang memiliki karakteristik tidak
memberikan dampak buruk terhadap liigkungan dan tidak berdampak pada
kepunahan sumberdaya ikan. Kriteria teknis mempakan prioritas kedua b n a dalam
menggunakan alat tangkap juga hams mempertimbangkan kemudahan secara teknis
agar alat tangkap dapat dikembangkan. Alat tangkap yang memenuhi kriteria bioiogi
dan teknis akan menjadi alat tangkap yang mudah diterima secara sosial oleh
masyarakat. Kriteria terakhu menurut pakar dalam memili alat tangkap adalab jenis
alat tangkap yang menguntungkan nelayan secara finansial. Alat tangkap yang
menguntungkan secara hansial seperti trawl, belum tentu meningkatkan
kesejahteraan nelayan karena keuntungan tidak t e d i b u s i secara merata pada
semua nelayan. Hanya nelayan pemilik trawl yang akan m e n h a t i keuntungan
sedangkan nelayan yang lain jushu akan m a g i b n a sumberdaya yang msak.
Berdasarkan penilaian terhadap keempat kriteria tersebut dan sub-subkriteria pada level di bawahnya, diperoleh urutan jenis alat tangkap dari yang
dianggap paling ramah lingkungan hiigga yang paling tidak ramah lingkungan.
Rangking tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Matriks rangkiig jenis alat tangkap yang ramah lingkungan
-
Pancing Ladung
Pancing Tonda
Panah Ikan
Jerat Udang
Jarine InsandGill
- Net
Rawai/Long Line
Bubu
Jarine eondrondRen~ee
-
.-
Alat IainIPotas
M i i Trawl
Trawl
Sumber: Analisis Data Primer
12,4
11,3
10,O
82
7.0
69
P1
69
I7
6.1
P8
4.9
4,6
4.6
PI2
PI3
P14
P2
P3
P4
P5
P6
Pembobotan alat tangkap pada setiap sub-kriteria dilakukan dengan
membandingkan karakteristik teknologi alat tangkap tersebut. Rangking dari hasil
pembobotan teknologi alat tangkap untuk setiap sub-kriteria disajikan pada Gambar
25.
I
I
Selektivitas alat (L: .250)
Pemanfaatan berkelanjutan (L: .750)
0
- SOSLAL (L: .I491
~egalitasalai tangkap (L: 567)
Penerimaan masvarakat (L: .333)
tidak h r d a m k k pada ekosistem (L: H I )
Mudah dioperasikan (L: .050)
Aman bagi nelayan (L: .073)
Tidak menimbulkan pencemaran (L: .201)
Produksi berlcualitas tinggi (L: .114)
@ Produkfi aman bagi konsumen (L: .121)
0FINANSIAL (L: .088)
Menguntungkan (L: 1.000)
Gambar 25 Tampilan kriteria dan sub-kriteria dalam penentuan jenis alat
tangkap m a h lingkungan pada sojware Expert Choice 2000
52.1 Selektivitas alat tPngkap
Selektivitas alat tangkap adalah kemampuan alat tangkap untuk menangkap
atau meloloskan ikan. Sifat selektivitas ini sangat dipengaruhi oleh dimensi alat
tangkap dan metode penangkapan yang digunakan. Alat yang dapat menangkap ikan
secara spesifik sesuai target yang dikehendaki nelayan, sehingga hasil sampingan
ikan tangkapan (by catch) dapat ditekan sekecil mungkin
Alat tangkap yang memiliki bobot selektivitas tinggi antara lain: pancing
ladung, pancing tonda, panah ikan, dan jerat udang. Pancing ladung merupakan alat
tangkap yang paling ramah lingkungan. Pancing ladung dan pancing tonda memiliki
bobot tertinggi, karena alat ini dapat menangkap ikan sesuai target nelayan. Bila
yang tertangkap adalah ikan yang tidak diinginkan atau bahkan ikan yang dilindungi,
nelayan dapat melepaskan kembali dalam keadaan hidup.
Panah ikan mempunyai selektivitas yang sangat tinggi karena hanya ikan
tertentu yang dapat ditangkap dengan alat tangkap panah ikan. Namun perlu aturan
yang tegas agar panah ikan tidak digunakan untuk menangkap biota yang dilindungi
seperti hiu dan paus.
52.2 Pemanfaatan berkelanjutan
Alat tangkap dapat diitakan berkelanjutan jika penggunaan alat tangkap
tersebut tidak berdampak pada kepunahan sumberdaya ikan. Untuk itu, alat tangkap
diharapkan dapat menangkap ikan pada ukuran yang layak tangkap. Selain itu juga
diharapkan alat tidak menangkap ikan yang dilindungi. Alat tangkap yang memiliki
bobot tinggi untuk pemanfaatan berkelanjutan antara lain pancing ladung, pancing
tonda, panah ikan,dan jaring insang.
Pancing ladung, pancing tonda, dan panah ikan merupakan alat tangkap yang
berkelanjutan karena &ya tangkapnya terhadap ikan terbatas dan tidak menyebabkan
kerusakan pada habitat. Jaring insang akan menjadi alat tangkap berkelanjutan/ramah
lingkunganjika ukuran mata jaringnya diatur untuk menangkap ikan yang bemkuran
dewasa saja. Alat tangkap yang lain perlu pengaturan yang lebii mendetail dalam
penggunaannya karena tidak selektif terhadap ikan hasil tangkapan dan metode
penangkapannya dapat memsak habit*
contohnya penggunaan bubu. Bubu yang
diletakkan diantara terumbu karang ternyata sangat potensial dalam m e ~ s a khabitat
terumbu akibat terinjak oleh nelayan selama pemasangan alat. Demikian juga dengan
jaring gondrong, pukat cincin, dan trawumini trawl.
5 2 3 Tidnk berdampnk pada ekosistem
Sifat kerusakan yang ditimbulkan oleh pengoperasian alat tangkap lebih
dipenganihi oleh metode penangkapannya. Alat tangkap yang bersifat merusak
ekosistem umumnya adalah alat yang pengoperasiannya dengan bergerak (ditarik
kapal) seperti trawl, mini trawl, rawai, dan bagan apung, karena kapal yang bergerak
menyebabkan alat lebih sering menyentuh dan me~usaktemmbu karang. Alat
tangkap yang d i m semacam bubu juga berpotensi memsak k a n a diletakkan di
dalam temmbu karang, sehingga karang menjadi rusak akibat terinjak-injak.
Menurut hasil analisis hierarki, alat tangkap yang perlu dipnoritaskan karena
tidak berdampak pada ekosistem antara lain adalah pancing ladung, pancing tonda,
panah ikan, jerat udang, jaring gondrong, dan pukat (cincin dan insang).
5.2.4
Kemudnhan pengopenmian
Kemudahan pengoperasian alat tangkap diiilai berdasarkan jumlah nelayan
yang dibutuhkan untuk mengoperasikan alat tangkap, waktu yang digunakan untuk
satu kali setting sampai hauling alat tangkap serta kebutuhan terhadap penggunaan
alat bantu.
Jenis alat tangkap yang mudah dioperasikan umumnya adalah alat tangkap
yang dioperasikan oleh I orang saja, seperti pancing, panah, bubu, jerat udang, dan
potas, sementara alat lain seperti bubu dan potas tentu saja tidak berkelanjutanl
nunah li~~gkungan
karena berpotensi m e ~ ~ ekosistem.
ak
5.2.5
Aman bagi nelayan
Bahaya yang ditimbulkan oleh alat tangkap dinilai berdasarkan jenis-jenis
kecelakaan dan hkuensi tejadiiya kecelakaan d a l m pengoperasian alat
tangkap, jenis kecelakaan yang ditimbulkan diklasifikasikan berdasarkan cacat fisik
yang ditimbulkan apakah bemifat permanen atau sementara. Dari hasil
identifikasi temadap kasus kecelakaan yang dialami nelayan selama mel*
kegiatan penangkapan seperti terjadinya gangguan pendengaran pada nelayan serta
kecelakaan karena tertusuk oieh sirip ikan hasil tangkapan.
Alat tangkap yang aman bagi nelayan berdasar pendapat tokoh kunci adalah
jerat udang, pancing tonda, pancing ladung, dan bubu. Alat-alat ini dioperasikan
s e c . s e d e b tanpa menggunakan peralatan yang mmit dan dapat dioperasikan
oleh perorangan, sehingga diprioritaskan untuk digunakan.
5.2.6
Tidak menimbalkan pencemaran
Pencemaran yang ditimbulkan akibat penggunaan alat tangkap biasanya
bukan b erasal dari alat tangkap itu sendiri, namun justru b e d dari kapal yang
digunakan untuk membawa alat tangkap tersebut, karena buangan/ceceran bahan
bakar dari kapal. Kapal-kapal nelayan yang bermesin tua dan mudah menumpahkan
minyak merupakan ancaman pencemaran yang cukup berbahaya bagi perairan,
sehiigga selain perlu mengatur jenis alat tangkap yang ramah liigkungan juga perlu
mengatur jenis kapal yang man bagi lingkungan.
Namun selain itu, ada juga alat tangkap yang memang menimbuh
pencemaran secara langsung akibat sistem kejanya, seperti penangkapan ikan
dengan potassium atau racun sianida. Alat tangkap yang menimbulkan pencemaran
lingkungan seperti ini tidak aman bagi liigkungan.
52.7
Prodnksi yang berkualitm tinggi
Bobot setiap alat tangkap berdasarkan kriteria produksi dan kualitas tinggi
ditentukan dengan menganalisis volume rata-rata setiap alat tangkaphari operasi
(kghari operasi) serta melalui uji organoleptik hasil tangkapan
tehadap
penampakan Wi seperti cacat atau busuk.
Alat tangkap yang menghasilkan produk berkualitas tinggi berdasarkan
pendapat pakar adalah jenis-jenis alat yang temasuk perangkap, seperti bubu, sero,
dan jemt udang. Pancing ton& dan pancing ladung juga menghasilkan pmduk yang
berkualii tinggi, bila diiilai dari organoleptiknya, k a n a ikan yang ditangkap
masih dapat dipertahankan &lam kondisi tetap hidup.
5.2.8
Aman bagi konsumen
Penilaian t e h d a p tingkat keamanan produksi tangkapan terhadap
konsumen dinilai dengan mengkaji kernungkinan dam@
buruk yang dapat
ditimbulkan oleh setiap alat tangkap, kernungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh
hasil tangkapan terhadap konsumen dilakukan dengan mengkaji apakah &lam
metode pengoperasian alat tangkap menggunakan bahan-bahan yang dapat
berbahaya bagi konsumen. Misalnya dengan penggunaan racun sianida.
5.2.9 Mengnntnngkan bagi nelayan
Alat tangkap yang menguntungkan bagi nelayan adalah alat tangkap yang
dapat mernberikan hasil lebii besar dibandiigkan biaya produksii. Oleh ksrena itu
alat-alat tangkap yang sederhana dan mudah pengoperasiannya biasanya menjadi
lebih menguntungkan bagi nelayan perorangan yang tidak m e m i l i modal.
52.10 Penerimaan masyarakat nelayan
Tigkat penerimaan masyarakat dinilai bedasarkan jumlah nelayan
pengguna, periode waktu (lama) alat tangkap digunakan serta tanggapan masyarakat
terhadap alat tangkap yang bersangkutan.
53.11 Legalitas kegiatan penangkapan
Kriteria legalitas suatu kegiatan penangkapan diiilai dengan
kesesuaian alat tan-
mengkaji
termasuk metode yang digunakan berdasarkan undang-
undang perikanan dan peraturan daerah yang bersangkutan.
Pemerintah Daerah Kabupaten Berau hiigga saat ini baru mengeluarkan
peraturan tentang penetapan kawasan KKL Berau, yaitu Peratman Bupati Berau No
3 1 tahun 2005 tanggal 27 Desember 2005.
Peraturan tersebut belum secara eksplisit mengatur tentang penggunaan alat
tangkap. Sehingga semua alat tangkap masih dapat digunakan secara bebas di KKL
Berau.
53 Penggunaan Alat Tangkap untuk Mendukung Pengelolaan Wilayah
Perikanan Berkelanjutan
Dari 14 jenis alat tangkap yang digunakan di KKL Berau, dibuat rangking
skor alat mulai dari yang paling ramah hingga yang paling tidak ramah. Tujuh jenis
alat tangkap yang termasuk dalam alat tangkap yang teridentifikasi di KKL Berau
berdasarkan hasil analisis hierarki alat tangkap yang ramah lingkungan diketahui
bahwa alat tangkap yang ramah lingkungan untuk ikan pelagis adalah jenis pancing
ladung, pancing tonda, dan rawaillongline. Alat tangkap yang ramah lingkungan
untuk ikan demersal adalah jenis pancing ladung, pancing tonda, panah ikan, jaring
insang, jerat udang, dan bubu.
Beberapa jenis dari alat tangkap yang digunakan di KKL Berau, ternyata
bersifat tidak ramah lingkungan, seperti jaring gondronglrengge, bagan apung, pukat
cincin, hampanglsero, alat lainlpotas, mini trawl, trawl.
Pada Gambar 14-17 telah disajikan sebaran alat tangkap demersal di wilayah
perairan KKL Berau. Bila ditumpangsusunkan dengan peta hasil analisis kesesuaian
wilayah tangkapan ikan demersal pada gambar 24 terlihat bahwa alat-alat tangkap
tersebut tersebar pada wilayah yang sangat sesuai untuk penangkapan ikan demersal.
Sementara itu alat tangkap pelagis ternyata lebih banyak digunakan di wilayah yang
sangat sesuai untuk ikan demersal. Hal ini mungkin terjadi karena kapal-kapal
nelayan yang ada di KKL Berau adalah kapal-kapal bertonase kecil, yang tidak
mampu menjangkau daerah yang jauhlperairan yang dalam.
Atau dapat diitakan bahwa sebamn alat tangkap, baik untuk ikan pelagis
maupun ikan demersal, lebih banyak terkonsentrasi di wilayah yang sesuai untuk
penangkapan ikan demersal. Hal ini mengindikasii adanya tekanan yang berat
pada wilayah tersebut. Sementara di sisi yang lain, potensi perikanan pelagis yang
cukup besar justru tidak banyak dimanfaatkan, akibat adanya keterbatasan sarana
-&!wan.
Selain itu, berdasarkan peta sebaran penggunaan alat tangkap (Gambar 14-
17) dapat dilihat bahwa penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lmgkungan
tersebut bahkan ada di kawasan yang seharuslya menjadi zona inti, k a n a di
wilayah tersebut ditemukan jenis-jenis biota yang langka dan dilidungi.
Oleh karena itu, untuk mengelola perikanan tangkap di kawasan KKL Berau
agar berkelanjutan perlu didukung dengan legalitas hukum dari pemerintah daerah
Kabupaten Beray temtama yang terkaii dengan ijin penggunaan alat tangkap.
5.4 Rekomendasi Pengelolaau Wilayah Penangknpan Berkelanjutan
Wilayah penangkapan yang sangat s e m i untuk ikan pelagis dan ikan
demersal menempati lokasi-lokasi tertentu yang berbeda (Gambar 23 dan Gambar
24). Bila kedua lokasi tersebut ditumpangsusunkan (dioverlay) maka akan diperoleh
zonasi kesesuaian wilayah penangkapan sebagaimana disajikan pada Gambar 26.
Dalam menyusun rencana zonasi wilayah perikanan tangkap berkelanjutan
perlu mempertimbangkan daerah ruaya biota langka dan dilindungi, sehingga
kawasan yang mempakan daerah ruaya tersebut didelineasi dan diusukan untuk
tidak digunakan sebagai wilayah penangkapan. Pada Gambar 26 daerah tersebut
ditandai dengan garis warna bi. Penentuan garis batas maya tersebut dilakukan
dengan cara membuat garis buffer dengan jarak 7 mil dari titik koordinat d i i a
biota langka/dilindungi tersebut pemah ditemukan. Informasi tempat biota tersebut
ditemukan diperoleh dari nelayan setempat dan penelitian-penelitian yang pemah
dilakukan di kawasan KKL Berau.
Kawasan Konservasi Laut Berau seluas 1.222.988 Ha yang telah ditetapkan
dan diatur oleh Peraturn Bupati Berau No 31 tahun 2005 terdapat 14 jenis alat
tangkap yang
telah beroperasi sejak lama. Tujuh jenis alat tangkap ramah
lingkungan mulai dari yang paling ramah lingkungan dari 14jenis alat tangkap yang
telah beroperasi berturut-hwut adalah (1) Pancing ladung, (2) pancing tonda, (3)
panah ikan, (4) jerat udang, ( 5 ) gillnet, (6) rawai longline, (7) bubu. Namun
umumnya alat tangkap ikan demersal maupun pelagis belum diterapkan sesuai
dengan wilayah perikanan tangkap untuk ikan pelagis maupun ikan demersal, diiana
wilayah tangkapan lebii terkonsentrasi di perairan pesisir di depan sungai Berau.
Bedasarkan berbagai kondisi tersebut, maka saran kebijakan yang perlu
diperhatikan untuk keberlanjutan wilayah perikanan tangkap adalah:
1) Bagi pengelola untuk segera menetapkan zonasi perikanan berkelanjutan
khususnya zona perikanan tangkap berkelanjutan di perairan di muara Sungai
Beray di perairan di luar muara Sungai Berau, di s
e
w Karang Besar, di
perairan karang bagian selatan di antara Karang Besar dan P. Maniibora, serta
peraim di sekitar P. Bilang-bilangan,
2) Segera memetakan daerah migrasi biota laut langka clan dilindungi,
3) Menetapkan alat tangkap ramah lingkungan dengan peratum daerahlperatwan
bupati,
4) Mensosialisasikan wilayah perikanan tangkap dan alat tangkap m a h lingkungan
ke masyarakat desa pesisir,
5 ) Mempersiapkan program pengalihan pengguna alat tangkap tidak ramah
liigkungan ke alat tangkap m a h liigkungan,
6) Mempersiapkan program pengalihan altematif mata pendwian bagi nelayan
pengguna alat tangkap tidak ramah lingkungan,
7) Mempersiapkan program altematif mata pencaharian bagi nelayan khusus untuk
musim paceklii.
Wa Mcana Zonasi k ikanan Tmgkap
I
Gb. 26 Rencana zonasi wilayah perikanan tangkap berkelanjutan di KKL Berau
6.1 Kesimpulan
Dari hasil bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
(1) Di Kawasaa Konservasi Laut Berau seluas 1.222.988 Ha yang telah ditetapkan
dan diatur oleh Peratwan Bupati Berau No 31 tahun 2005 terdapat 14 jenis alat
tangkap.
Hasil analisa kesesuaian dengan memptimbangkan faktor suh4
khlorofil, salinitas, kedalaman, cover t m b u karang, kondisi dasar perairan
menunjukan bahwa wilayah perikanan tangkap yang ideal terletak di perairan di
luar muara Sungai Berau dan di sekitar Karang Besar untuk ikan pelagis, dan di
perairan di muara Sungai Berau, perairan karang bagian selatan di antara Karang
Besar dan P. Manimbora, serta perairan di sekitar P. Bilang-bilangan untuk ikan
demersal.
Beberapa jenis alat tangkap mulai dari yang paling ramah lingkungan dari
14 jenis alat tangkap yang telah beroperasi bertwut-twut adalah 1) Pancing
ladung, 2) pancing tonda, 3) panah ikan, 4) jerat udang, 5) gill net, 6) rawai tuna
long line, 7) bubu. Namun umumnya alat tangkap ikan demersal maupun pelagis
belum diterapkan sesuai dengan wilayah perikanan tangkap untuk ikan pelagis
maupun ikan demersal, dimana wilayah tangkapan lebii terkonsentrasi di perairan
pesisir didepan sungai Berau.
(2) D i k o m e n d a s i i pengaturan yang diperlukan untuk keberlanjutan di wilayah
perikanan tangkap adalah: 1) bagi pengelola untuk segera menetapkan zonasi
perikanan berkelanjutan khususnya zona perikanan tangkap berkelanjutan di
perairan di muara Sungai Berau, di perairan di luar muara Sungai Berau, di
sekitar Karang Besar, di perairan karang bagian selatan di antara Karang Besar
dan P. Manirnbom, serta perairan di sekitar P. Bilang-bilangan, 2) Segera
memetakan daerah rnigrasi biota laut langka dan diliidungi, 3) Menetapkan alat
tangkap ramah liigkungan dengan peraturan daerahlperaturan bupati, 4)
Mensosialisasikan wilayah perikanan tangkap dan alat tangkap ramah 'ngkungan
ke masyarakat desa pesisir, 5) Mempersiapkan program pengaliihan pengguna alat
tangkap tidak ramah lingkungan ke alat tangkap ramah lingkungan, 6)
Mempersiapkan program p e n g a l i i altematif mata pencaharian bagi nelayan
pengguna alat tangkap tidak ramah liigkungan, 7) Mempersiapkan program
altematif mata pencaharian bagi nelayan khusus untuk musim panceklik.
6.2
Sarnn
(1) Perlu dilakukan penelitian tentang daya dukung wilayah perikanan tangkap di
Kawasan Konsewasi Laut Berau guna mengkaji dan menentukan j d a h setiap
alat tangkap ramah lingkungan.
(2) Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan wilayah perikanan budidaya dan
kesesuaian jenis budidaya di di Kawasan Konsewasi Laut Berau sebagai data dan
informasi untuk melengkapi rencana Zonasi Perikanan berkelanjutan sesuai
Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Korwwasi Sumberdaya Ran
dan Peraturan Menteri No PER 02MEND009 tentang Tata Cara Penetapan
Kawasan K o r w ~ a sPerairan
i
DAFTAR PUSTAKA
Alhidayat SA. 2002. Kajian Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kabupaten Kotabaru
Kalimantan Selatan. Thesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 77 Hal.
Allen G. 2007. Conservation hotspots of biodiversity and endemism for Indo-Pacific coral
reef fishes, Aquatic Conservation: Marine And Freshwater Ecosystems.
Arami H. 2006. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang dalam Rangka Pengembangan
Perikanan Tangkap Bemawasan Lingkungan di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi
Tenggara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 118 Hal.
Arimoto T. 1999. Research and Education System of Fishing Technology in Japan.
Proceeding of the 3rd JSPS International Seminar, Sustainable Fishing Technology in
Asia Toward The 21st Century.
Asikin D. 1971. Synopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp). Jakarta: Lembaga
Penelitian Perikanan Laut Departemen Pertanian. Hal 3-27.
Bahari R. 1989. Pemn Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap.
Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat: Jakarta 18-19 Desember 1991. Pusat
Penelitian Perikanan dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian clan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal 165-180.
Barus HR., Badmdin dan Naamin N. 1991. Prosiding Forum U Perikanan: Sukabumi 18-21
Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Jakarta. Hal 91-105.
[BML LAPAN] Bidang MATRA Laut-LAPAN. 1997. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian
dan Pengembangan. Pemnafaatan Pengelolaan Data Penginderaan Jauh Satelit
LAPAN Tahun Anggamn 1996/1997 tentang Spesifikasi Esthndar Ketelitian SSTdan
Pemanfaatanya untuk Pengamatan Pola Arus Laut dan Daerah Potensi Penangkapan
Ikan. Yakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal 1-11.
Boer M. dan Azis K.A. 1995. Prinsip-prinsip Dasar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Melalui Pendekatan Bio-Ekonorni. Jurnal Rmu-Rmu Perairan dan Perikanan
Indonesia (JIPPI).IPB Darmaga. Bogor. Hal 4.
Bond CE. 1979. Biology of Fishes. Philadelphia: Sanders Collage Publishings. 514 hal.
Burke L., Selig E., Spalding M. (2002),'Reefs at risk in Southeast Asia.', Technical report,
World Resources Institute, Washington DC,
Dahuri R., Rais J., Ginting SP., Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Pertama. Jakarta : E
T Pradnya Paramita. 305 hal.
Charles AT. 1994. Suistainable Fishery Management. Blackwell Science Ltd. Oxford. P 911.
Close CH dan Hall BG. 2006. A GIS-based protocol for the collection and use of local
knowledge in fisheries management planning. Journal of Envirornental Management
Vol. 78, Issue 4. Hal 341-352.
Collette BB. 1995 Scombridae. Atunes, bacoretas, bonitos, caballas, estorninos, melva, etc. p.
1521-1543. In W. Fischer, F. Krupp, W. Schneider, C. Sommer, K.E. Carpenter and
V. Niem (4s.) Guia FA0 para Identification de Especies para lo Fines de la Escii.
Pacifico Centro-Oriental. 3 Vols. FAO, Rome.
Compagno LJV., Ebert DA. and Smale MJ. 1989 Guide to the sharks and rays of southern
Africa. New Holland (Publ.) Ltd., London. 158 p.
Dahuri R., Rais J., Giting SP dan Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumbedaya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dermawan, A. 2007. Kajian Pengelolaan Kawasan Konsewasi Laut Yang Menunjang
Perikanan Berkelanjutan Pada Era Otonomi Daerah (Kasus Taman Nasional Laut
Bunaken dan Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko Sulawesi Utara). Tesis (Tidak
Dipublikasikan). Program Pasc~sarjana.Institut Pertanian Bogor.Bogor.
[DW] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006a. Penyusunan Management Plan
Kawasan Konservasi Laut Daerah, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan; Buku II
Data dan Analisis. Jakarta.
[DW] Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003b. Modul Sistem Insentif Implementasi
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Direktorat Kelembagaan
Internasional. Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan
Pemasaran. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005. Rencana Startegis 2005 - 2009.
Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jenderal
Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta
[FAO] Food Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries.
FAO. Food and Agriculture Organization of the United Nations.Rome.Italy. 22 hal.
Fauzi A dan Anna S. 2002. Evaluasi status keberlanjutan pembangunan perikanan: Aplikasi
Pendekatan Raptish (Studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta). Jumal Pesisir dan
Lautan.
Federal. 1995. dalam Laporan Kemajuan PT. Norma Widya Karsa, 2003. Penyusunan
Strategi Pengembangan Konservasi Laut, Proyek Pengembangan Kawasan
Konsewasi Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Ditjen. KP3K-KTNL, J a w .
43 hal.
Gordon AL., Fine R.A. 1996. Pathways of water between the Pacific and Indian oceans in the
Indonesian seas. Journal of Nafure 379: 146-149,
Gubbay. 1995. dalam Laporan Kemajuan PT. Norma Widya Karsa, 2003. Penyusunan
Strategi Pengembangan Konservasi Laut, Proyek Pengembangan Kawasan
Konsewasi Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Ditjen. W3K-KTNL, Jakarta.
43 hal.
Gulland JA. 1983. Fish Stock Assesment. A Manual of Basic Methods. A Wiley Publication.
223 PP
Gunarso W. 1995. Mengenal Kakap Merah Komoditi Ekspor Baru Indonesia. Diktat Kuliah
(Tidak Dipublikasikan). Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Hamdan. 2007. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di
Kabupaten Indramayu. Disertasi (tidak dipublikasikan). Rogram Studi Teknologi
Kelautan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hasyim B. 1996. Rapat Persiapan Kegitan Stock Assesment Perikanan di BAPPENAS
tanggal 28 November 1996 tentang Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk
Pengamatan Pola Arus dan Daerah Potensi Penangkapan ikan.[makalah]. [tidak
dipublikasikan]. Jakarta: Lembaga Penerbangan Antarakisa Nasional. 10 hal.
Heemstra PC., Randall JE. 1993. An annotated and illustrated catalogue of the grouper,
rockcod, hind, coral grouper and lyretail species known to date. FA0 species
catalogue. Vol. 16, Groupers of the world (Family Serranidae, Subfamily
Epinepheliiae) on FAOFisheries Synopsis. No. 125, Vol. 16 : 382. Rome: FA0
Hendriarti N, Winarno B, Sachoemar Sl, Farahidy I. 1985. Pemantauan Daerah Upwelling di
Perairan Selatan Jawa-Bali dan Selat Makassar. Di dalam :Gunawan I, Sumargana L,
Hendiarti N, Adamsyah G, editor. Jakarta : Badan Pengakajian dan Penngembangan
Teknologi. Hal 212-221.
Hoeksema B. (2007), Topics in Geobiology. Biogeography, Time, and Place: Distributions,
Barrieq and Islands., Springer Netherlands., Chapter 5. Delineation of the IndoMalayan Centre of Maximum Marine Biodiversity: The Coral Triangle
Holmes, S. 2006. Geographic Information System (GIS) a Fishery Management Tool.
[bibliografi].-:Journal of Geo. Hal 565.
Hutagalung HP. 1988. Pengaruh Suhu Air terhadap Kehidupan Organisme Laut. Pewarta
Oscana. Voi 3 N0.4. Jakarta
Jefferson TA., Leathewood S., Webber MA. 1993. FA0 species identification guide. Marine
mammals of the world. Rome, FAO. 1993.320
Judianto. 2001. Pengelolaan perikanan tangkap pelagis melalui aplikasi Sistem lnformasi
Gsografis dan moel dinamik (Studi kasus di Perairan Selat Bali). Tesis (Ti&
Dipublikasikan). Program Pascasajana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kartasasmita M. 1999. Beberapa Pemikiran Operasional Aplikasi Teknologi Penginderaan
Jauh Untuk Penangkapan Ikan. Di dalam : Hendriarti N, Wiarno B, Amri K,
Lestiana L, Andiastuti R, Saliswan W, editor. Jakarta: Direktomt Teknologi
Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengakajian dan Penerapan Teknologi. Hal 12.
Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1. an Introduction to Fisheries
Science. FA0 Fisheries Technical Paper No. 118. FAO. Rome. 43 P.
Kushardono B. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Di dalam : Trisakti B, Hasyim B, Dewanti R, Hartuti M,Winarso G, editor,
Jakarta : Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. Hal 12-18.
Laevastu, T. and M.L. Hayes. 1981, Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News
Books. Farnham. 199 p.
Lieske E. and Myers R. 1994 Collins Pocket Guide. Coral reef fishes. Indo-Pacific &
Caribbean including the Red Sea. Haper Collins Publishers, 400 p.
Monintja DR. 1997. Pengembangan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan: Catatan tentang
Usaha Penangkapan Cakalang. Bahan P e l a t i h Perencaman Pengembungan dan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PK-SPL IPB Ditjen Bangda.
November-Desember 1997. Bogor.
Monintja DR. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Perikanan Tangkap.
Pelatihan untuk Pelatih dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu.
Gelombang II PKSPL-IPB. Bogor, 13-18 November 2000.
Monintja DR. dan Yusfiandayani R. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Dalam Bidang
Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. IPB.
Munasinghe M. 2002. Analysing the nexus of sustainable Development and Climate Change:
An Overview. Munasinghe Institute for Development (MIND), Srilangka.
Nath NA. 1993. Retrieval of Sea Surface Temperature Using NOAA-AVHRR Data for
identification of Potential Fishing Zones Dissmination and Validation.[makalah].
Proceeding of International workshop on Apllication of Satellite Remote Sensing for
Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing Countries;
Hyderabad, December, 11-17 1993.India:National Remote Sensing Agency. Hal 2526.
Pauly D., Cabanban A., Torres FSBJr. 1996 Fishery biology of 40 trawlcaught telwsts of
western Indonesia. p. 135-216. In D. Pauly and P. Martosubroto (eds.) Baseline
studies of biodiversi
permadi B. 1992. Buku Petunjuk Manual Mengemi Teori dan Aplikasi Model The Analytical
Hierercb Process (AHP). Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi Universitas
Indonesia.
Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung : Penerbit
Informatika. 334 hal.
Prahasta E. 2004. Sistem Informasi Geografis Tools dan Plug-Ins. Bandung: Penerbit
Tnformatika. 450 hal.
Prahasta E. 2007. Sistem Informasi Geografis Tutorial Arcview. Bandung: Penerbit
Informatika.
PT. Norma Widya Karsa. 2003. Penyusunan Strategi Pengembangan Konservasi Laut,
Proyek Pengembangan Kawasan Konservasi Laut. Departemen Kelautan dan
Perikanan, Ditjen. KP3K-KTNL, Jakarta.
Purba M. 1991. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi: Interpretasi Data Penginderaan Jarak
Jauh 11. Bogor:Institut Pertanian Bogor. 190 hal.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 1991. Alat dan Cara Penangkapan Ikan di
Indonesia. Jilid I. Puslitbang Perikanan. Jakarta.
Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. FT.Gramedia Pustaka Utarna.
Jakarta. Hal 18-35.
Reilly O., Maritorena JES., Mitchell BG., Siegel DA., Carder KL., Garver SA., Kahru M.,
Mc Clain C. 1998. Ocean Colour Chlorophyll-a Algorithms for Sea Wifs, OC2 and
OC4 : version 4. Di dalam: Hooker SB, Firestone ER editor. Seawifs Poslaunch
Technical Report. Volume ke-2 (3). Mary1and:NASA Goddard Space Flight Center.
Hal 9-23.
Republik Indonesia. 1990. W No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dm Ekosistemnya. Lembaran Negara RI Tahun 1990, No. 49. Sekrehriat
Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2004. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lembaran Negara RI
Tahun 2004, No. 118. Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2004. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Lembaran
Negara RI Tahun 2004, No. 125. Sekretariat Negara. Jakarta
Republi Indonesia. 2007. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wihyah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 84. Sekretariat Negara.
Jakarta
Republi Indonesia, 2007. PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
Lembaran Negara RI Tahun 2007, No. 134. Sekretariat Negara. Jakarta
.
Republik Indonesia. 2007. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 14. Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia 2009. PERMEN KP No. PER. 16lMENRO08 tentang Perencanaan
Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta
Republi Indonesia 2009. PERMEN KP No. PER. 02/MEN/2009 Tentang Tata Cara
Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Roberts CM., McClean CJ., Veron JEN., Hawkins JP., Allen GR., McAllister DE.,
Mittermeier CG., Schueler FW., Spalding M., Wells F., Vynne C., Werner TB.2002.
Marine biodiversity hotspots and conservation priorities for tropical reefs
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Indentitikasi Ikan I. Bandung: Bina Cipta. 245 hal.
Saaty LT. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta Pusat. PT Pustaka
Binaman Pressindo.
Saenger P., Hegerl, El and Davie JDS. (Eds) (1983) Global status of mangrove
ecosystems. The Environmentalist 3 (Supplement): 1-88.
Sembiring SN. dan Husbani F. 1999. Kajian Hukaun ah Kebijakan Pengelolaan Kawasan
Konservasi di Indonesia :Menuju Pengembangan Desentralisasi a h Peningkatan
P e w Serta maymaknf. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan
IndonesiaKEL. Hal 15-16.
Sewoyo S. 2001. Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna untuk Pengembangan Potensi
Pedesaan. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumberdaya
Manusia, Teknologi. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah,
BPPT. Jakarta.
Subandar A. 1999. Potensi Teknik Evaluasi Multi Kriteria dalam Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan Hidup. Jumal Shins ah Tehlogi Indonesia Vol. 1 No. 5, ha1
70-80.
Subandar A. 2002. Multy Criteria Decision Making Techniques. Hipunan Materi Kuliah
PS-SPL IPB. Tidak diterbitkan. 22 hal.
Syahdan M. 2005. Hubungan Suhu Permukaan Laut clan Khlorofil-A temadap hasil
tangkapan Cakalang (Katsuwom pelamis, Lmaeus) di Perairan Bagian Timur
Sulawesi Tenggara. Bogor. 119 Hal.
Widodo J. 1999. Aplikasi Teknologi Pengindew Jarak Jauh Untuk Perikanan Indonesia Di
&lam : Hendriarti N, Winamo B, Amri K, Lestiana L, Andiastuti R, Saliswan W,
editor. Jakarta : Direktorat Teknologi Inventarissi Sumberdaya Alam Badan
Pengakajian dan Penerapan Teknologi. Hal 1-2.
Wiryawan B., Khazali M., Knight M. 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau
Kalimantan T i u r (Status Sumberdaya Pesisir dan Proses Pengembangan KKL ).
Program Bersama Keluatan Berau TNC-WWF-Mitra PesisirICRMP I1 USAID.
Jakarta. 128 hal.
Whitehead PIP. 1990 Clupeidae. p. 208-227. In J.C. Quero, J.C. Hureau, C. Karrer, A. Post
and L. Saldanha (eds.) Check-list of the fishes of the eastern tropical Atlantic
(CLOFETA). JNICT, Lisbon; SEI, Paris; and UNESCO, Paris. Vol. 1.
[WWF] World Wild Fund., TNC [The Natm Conservancy], DKP pinas Kelautan
Perikanan] Kabupaten Berau. 2007. Program Bersama Kelautan Berau TNC-WWFMitra PesisirICRMP II USAID. Jakarta
[WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future.
Oxford Univ. Press. New York.
Yasuno M., Fukush'ia S., Shiyoyama F., Hasegawa J., and Kasuga S. 1981. Recovery
Processes of Benthic Flora and Fauna in Stnmn after Discharge of Slag Containing
Cyanide. Verhandl. Intern. Verein. Theoret. Ange. Limnologie. 21: p.1154-1164.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data hasil tangkapan ikan 5 tahun
I
I
KELOMPOK IKAN DEMERSAL
TOTAL
1 4,351.50 1 4,807.90 1 4,640.20 1 5,037.20 1 5,117.50 1
4,790.86
$umber: Dinas Kelautan Perilcanan Kabupaten Berau Tahun 2006
Lampiran 2. Data tokoh kunci sebagai responden expert judg4mnf
Lampiran 3. Grafik sensitivitas penentuan alat tangkap ramah lingkungan
Lampiran 4: Kuisioner proses hirarki analitik (PHA)
2. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria BIOLOGI
I
I
Sub Kriteria
Sub Kriteria
PEMANFAATAN
SELEKTIVITAS ALAT
SELEKTIVITAS ALAT
BERKELANJUTAN
1
1
PEMANFAATAN BERKELANJUTAN
3. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria SOSML
I
i
I
Sub Kriteria
Sub Kriteria
LEGALITAS ALAT
PENERIMAAN MASYARAKAT
TANGKAP
I
I
1
LEGALITAS ALAT TANGKAP
I
I
1
PENERIMAAN MASYARAKAT
4. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria FlNANSlAL
SubKriteria
I
L
Menguntungkan
SubKriteria
Menguntungkan
5. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria TEKNlS
Sub Kriteria
6. Kuisioner p e r b a n d i n g a n antar alternatif a l a t t a n g k a p pada sub kriteria SELEKTIVITAS ALAT
Alternatif
A'at
Pancing
T a n g k a ~ Tonda
Pancing
1
Tonda
Pancing
Ladung
Panah
Ikan
Jaring
Insang
Pukat
Cincin
Rengge
Gondrong
Jerat
Udang
Panah
Ikan
Jaring
lnsang
Pukat
Cincin
Rengge
Gondrong
Bagan
Jerat
Udang
I
Rawai
I
Rawai
Tuna
Bubu
I
I
1
1
1
I
1
1
A
1
Bubu
Alat lain
Pancing
Ladung
1
Bagan
I
Alternatif Alat Tangkap
Mini
Trawl
I
Sero
Trawl
I
I
I
Alat
lain
7. Kuisioner perbandingan antar alternatif alat tangkap pada sub kriteria PEMBANCUNAN BERKELANJUTAN
8. Kuisioner perbandingan antar alternatif alat tangkap pada sub kriteria TIDAK BERDAMPAK PADA LINCKUNCAN
Lampiran 5 Alat-alat penangkapan ikan
.-._--..........
:,.
1
Anal. panall
4
..
___
_
...=.-
:
:--
:ul.;i;:;.-.s
---------
.-
.
,
Scmllrn
,.L"".-."!=
b.S.otam
--.
scnapm ik:
J&&@L
R~canlataair
l*b*ib
GCi pennhrn ring
PANAH IKAN
,/
JARINC; INSANG
SERO I HAMPANG
Download