UPAYA MEWUJUDKAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL BERBASIS POTENSI LOKAL Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi Khusus Volume 15 Oktober 2009 Oleh: Nanang Martono (Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto email: [email protected]) Abstrak Sebagai upaya meningkatkan daya saing peserta didik di sekolah menengah, pemerintah mendirikan tipe sekolah baru. Tipe sekolah tersebut dinamakan sebagai Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Kemunculan SBI merupakan sebuah upaya positif karena dapat meningkatkan daya saing peserta didik di tingkat internasional dalam proses globalisasi. Namun, di sisi lain, SBI dapat dipandang sebagai sebuah proses pengasingan (alienasi) peserta didik terhadap kondisi riil yang berada di sekitarnya. Fungsi lembaga pendidikan sebagai sarana untuk mentransfer nilai serta norma sosial antargenerasi menjadi terabaikan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan praktik SBI dari perspektif sosiologi serta strategi untuk mewujudkan SBI yang berbasis potensi lokal. Secara praktis, ada dua unsur dasar yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah, yaitu metode dan substansi. Melalui metode guru diharuskan menggunakan sumber daya yang ada di sekitar sekolah sebagai media pembelajaran. Unsur substansi lebih menekankan pada isi atau materi pembelajaran. Guru harus mengaitkan materi pembelajaran dengan kondisi riil, baik kondisi alam maupun sosial yang dekat dengan kehidupan peserta didik sehari-hari. Selain itu, pengembangan SBI berbasis potensi lokal juga perlu dilakukan dengan membangun budaya sekolah berbasis nilai-nilai lokal. pelaksanaan SBI harus mampu memanfaatkan potensi lokal yang ada di sekitar sekolah, sehingga peserta didik peka terhadap kondisi alam dan sosial di sekitarnya. Kata kunci: SBI, potensi lokal, metode, substansi pelajaran, budaya sekolah. PENDAHULUAN Globalisasi yang melanda dunia membawa berbagai konsekuensi logis bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Aspek politik, sosial, budaya dan ekonomi menjadi imbas munculnya makhluk bernama globalisasi ini. Dunia pendidikan pun tidak mau kalah. Sebagai upaya mewujudkan keterandalan kualitas pendidikan nasional, lembaga pendidikan pun diharuskan untuk menyesuaikan diri seiring datangnya kekuatan besar globalisasi. Globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah proses penyeragaman seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Seluruh negara di dunia seolah-olah disatukan oleh sebuah prosesi yang bersifat global ini. Batas antarnegara pun seolah telah dihapus, semua orang dari semua negara bebas berinteraksi, bahkan bebas menembus batas geografis antarnegara. Mobilitas individu pun menjadi tinggi, bukan lagi dari desa ke kota, bukan antarprovinsi, bahkan mobilitas antarnegara sangat mudah dilakukan. Lebih dari itu, globalisasi telah menghapus perbedaan ras dan etnis. Upaya untuk menyesuaikan kondisi yang serba global tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara tersebut dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup atau dengan mengubah sistem sosial. Mengubah gaya hidup dilakukan dengan melakukan imitasi atau identifikasi seorang individu atau kelompok sosial dengan yang lain. Teoritikus Poskolonial, Fanon (Sutrisno dan Putranto, 2008) menyebut proses ini dengan istilah “mimikri”, yaitu sebuah proses peniruan identitas oleh kelompok (masyarakat) terjajah dengan identitas kelompok penjajah. Sebagai gambaran, nanti akan muncul seorang bersuku Jawa tetapi bergaya hidup ala Amerika. Proses globalisasi ini menjadi lebih menarik ketika sudah merambah dalam sistem pendidikan. Substansi pendidikan nasional hampir selalu diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan pasar global di tingkat internasional. Indikator kualitas pendidikan, bahkan juga diarahkan untuk menyesuaikan kondisi global. Salah satu indikasinya adalah pengukuran HDI (Human Development Index), hampir selalu digunakan untuk mengukur kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) suatu negara. Globalisasi kemudian identik dengan westernisasi, negara barat sebagai kiblat kemajuan, seolah-olah negara timur yang ingin maju harus mengadopsi inovasi yang dihasilkan negara barat. Permasalahan yang muncul sekarang adalah bila globalisasi dimaknai sebagai proses peng-global-an seluruh aspek kehidupan, lalu di manakah potensi ataupun kekayaan lokal akan dikembangkan? Bila seluruh komponen dalam sistem pendidikan dalam konteks yang khusus diarahkan untuk berorientasi pada nilai-nilai global, mekanisme seperti apa 2 yang efektif untuk mengembangkan dan melestarikan potensi lokal melalui lembaga pendidikan ini? Untuk mencapai apa yang dinamakan sebagai “kemajuan” dalam praktik pendidikan maka muncullah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Sekolah yang menyandang gelar RSBI ini nantinya akan berubah statusnya menjadi SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Konsep “Berstandar Internasional” mengisyaratkan sebuah sistem pendidikan yang menggunakan standar (atau bahkan berkiblat) pada sistem pendidikan di tingkat internasional. Sistem ini meliputi bahasa pengantar, substansi mata pelajaran, sarana dan prasarana dan sebagainya. Tipe SBI dalam jangka panjang akan diterapkan di seluruh lembaga sekolah di Indonesia untuk meningkatkan standar kualitas peserta didik yang nantinya berdampak pula pada peningkatan kualitas pendidikan nasional. Kemunculan RSBI (dan SBI) ini bukanlah tanpa membawa masalah sosial. Secara sosiologis, munculnya sebuah sistem dalam masyarakat akan membawa dua dampak, yaitu dampak positif dan negatif. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan sebuah pemahaman mengenai dampak SBI secara sosiologis yang dikaitkan dengan wacana pengembangan potensi lokal melalui SBI. Apabila dikaitkan dengan permasalahan sebelumnya, maka tulisan ini mengambil dua permasalahan. Pertama, bagaimana praktik SBI dilihat melalui perspektif sosiologis. Kedua, bagaimana peran yang dapat dilakukan oleh SBI dalam upaya mengembangkan potensi lokal. Hal ini sangat penting untuk dikaji mengingat salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai mekanisme untuk mentransfer nilai-nilai dan norma antargenerasi. Nilai dan norma ini lebih sempit dimaknai sebagai nilai-nilai dan norma budaya lokal. Kemudian, bagaimana mewujudkan SBI yang berbasis pada potensi lokal agar kearifan lokal tidak tercerabut dari identitas kita sebagai Bangsa Indonesia? 3 KAJIAN TEORI 1. SBI dalam Perspektif Sosiologis Perspektif menurut Meighan (1981) merupakan “frame of reference, a series or working rules by which a person is able to make sense of complex and puzzling phenomena”. Bagi sosiolog, fenomena merupakan kehidupan sosial dan diadopsi sebagai bagian dari sikap ataupun penilaian terhadap kehidupan sosial. Perspektif sosiologi memfokuskan pembahasan pada dua aspek. Pertama, melihat masyarakat sebagai gambaran mengenai keistimewaan struktur yang muncul, berkembang secara terus menerus dan mengalami perubahan sebagai konsekuensi tindakan manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain. Kedua, melihat hubungan antara penjelasan “akademis” tentang kehidupan sosial dan formulasi kebijakan yang dapat digunakan secara langsung dalam kegiatan anggota masyarakat setiap hari (Meighan, 1981). Sosiologi dalam konteks pendekatan makro, memiliki dua perspektif utama, yaitu perspektif fungsional dan perspektif konflik. Secara umum, analis fungsional, melihat fungsi serta konstribusi yang positif lembaga pendidikan dalam memelihara atau mempertahankan keberlangsungan sistem sosial. Durkheim sebagai salah satu penganut pandangan ini melihat hubungan antara sistem (praktik) pendidikan dengan integrasi serta solidaritas sosial. Durkheim melihat fungsi utama pendidikan adalah mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Durkheim berargumen bahwa: Society can survive only if there exists among its members a sufficient degree of homogeneity; education perpectuates and reinforces this homogeneity by fixing in the child form the beginning the essential similarities which collective life demands (Durkheim dalam Haralambos dan Holborn, 2004). Pada masyarakat praindustri, pembagian kerja tidak dilakukan secara spesifik. Pembagian kerja biasanya terjadi antara orang tua dan anaknya tanpa memerlukan pendidikan formal. Pada masyarakat industri, solidaritas sosial didasarkan pada saling 4 ketergantungan yang sangat tinggi terhadap individu yang memiliki keterampilan khusus (Haralambos dan Horlborn, 2004). Fungsi pendidikan dalam hal ini adalah menyiapkan individu untuk menduduki peran-peran tertentu dalam kehidupan masyarakat. Analis fungsional, Parson, menegaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi untuk mentransmisikan nilai-nilai universal. Nilai-nilai ini lebih khusus adalah nilai yang disosialisasikan kepada individu yang bersifat universal, bukan partikular (Haralambos dan Horlborn, 2004). Nilai universal misalnya adalah kerja sama, saling menghargai, kejujuran, sportifitas dan sebagainya. Perspektif konflik mempunyai pandangan yang berbeda dalam menjelaskan praktik pendidikan. Jika perspektif fungsional melihat dari fungsi pendidikan maka perspektif konflik melihat bahwa praktik pendidikan justru menyebabkan munculnya konflik dalam masyarakat (Karabel dan Halsey, 1977). Konflik ini lebih disebabkan oleh perbedaan kedudukan setiap individu dalam masyarakat. Marx menjelaskan posisi individu dalam sebuah dikotomi, yaitu individu yang berkuasa (superordinat) dan individu yang dikuasai (subordinat) (Johnson, 1990). Lembaga pendidikan menurut perspektif konflik dianggap turut menyumbang terjadinya ketidaksetaraan (inequality) sosial di dalam masyarakat. ketidaksetaraan ini lebih disebabkan perbedaan status sosial yang menyebabkan perbedaan kemampuan sekelompok individu untuk mengakses fasilitas pendidikan (Haralambos dan Horlborn, 2004; Henslin, 2006). Akibat prosesi ini, fasilitas pendidikan hanya mampu menampung sekelompok individu yang memiliki sumber daya yang lebih, dalam hal ini adalah materi (uang). Perspektif konflik lebih lanjut menjelaskan, lembaga pendidikan pada akhirnya juga menjalankan fungsi reproduksi sosial (Fakih, 2001). Masyarakat dari golongan tidak mampu, pada akhirnya juga akan memproduksi individu yang tidak mampu pula. 5 2. SBI: Definisi dan Karakteristiknya Konsep “standar” dalam rumusan SBI mengindikasikan adanya sejumlah aturan baku yang harus dijalankan oleh setiap sekolah yang menyandang predikat ini. Aturan baku ini meliputi seluruh komponen dalam proses pembelajaran di sekolah. SBI merupakan sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional (Haryana, 2008a). Selain definisi tersebut, penyelenggaraan SBI juga harus memperhatikan beberapa aspek. Pertama, pendidikan bertaraf internasional yang bermutu (berkualitas) adalah pendidikan yang mampu mencapai standar mutu nasional dan internasional. Kedua, pendidikan bertaraf internasional yang efisien adalah pendidikan yang menghasilkan standar mutu lulusan optimal (berstandar nasional internasional) dengan pembiayaan yang minimal. Ketiga, pendidikan dan bertaraf internasional juga harus relevan, yaitu bahwa penyelenggaraan pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, orang tua, masyarakat, kondisi lingkungan, kondisi sekolah dan kemampuan pemerintah daerahnya (kabupaten/kota dan provinsi). Keempat, pendidikan bertaraf internasional harus memiliki daya saing yang tinggi dalam hal hasil-hasil pendidikan (output dan outcomes), proses dan input sekolah baik secara nasional maupun internasional (Haryana, 2008b). Oleh karena itu, bagi sekolah yang akan melakukan adaptasi ataupun adopsi, perlu mencari mitra internasional, misalnya sekolah-sekolah dari negara-negara anggota OECD yaitu: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Luxemburg, Meksiko, Nederland, New Zeland, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slovakia, Spanyol, 6 Swedia, Switzerland, Turki, Amerika Serikat dan negara maju lainnya seperti Chili, Estonia, Israel, Rusia, Slovenia, Singapura dan Hongkong yang mutunya telah diakui secara internasional. SBI dapat juga bermitra dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional seperti misalnya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO dan sebagainya (Haryana, 2008a). Proses pembelajaran, penilaian dan penyelenggaraan SBI harus bercirikan pada beberapa standar internasional. Pertama, properubahan yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery. Kedua, SBI harus menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan, seperti student centered; reflective learning; active learning; enjoyble dan joyful learning; cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang telah memiliki standar internasional. Ketiga, SBI menerapkan proses pembelajaran berbasis Teknologi dan Informasi Komputer (TIK) pada semua mata pelajaran. Keempat, proses pembelajaran menggunakan Bahasa Inggris khususnya mata pelajaran sains, matematika dan teknologi. Kelima, proses penilaian dengan menggunakan model-model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Keenam, SBI dalam penyelenggaraannnya harus bercirikan utama kepada standar manajemen internasional yaitu mengimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000 dan menjalin hubungan dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri (Haryana, 2008a). 7 PEMBAHASAN 1. SBI: Sekolah Bertarif Internasional yang Mengancam Potensi Lokal SBI memang memiliki konsep yang bagus, yang nantinya diharapkan mampu meningkatkan kualitas peserta didik. Upaya pemerintah ini harus mendapat dukungan dari semua pihak. Akan tetapi, proses penyelenggaraan RSBI (dan SBI) masih berkutat pada masalah akses pembiayaan (dana), mengingat segala komponen penyelenggaraan SBI memerlukan biaya yang sangat tinggi. Pemerintah sampai saat ini belum menggratiskan biaya pendidikan bagi sekolah bertipe SBI. Hal ini bisa berdampak buruk bagi wajah institusi pendidikan nasional. “SBI adalah sekolah mahal”, inilah citra yang terbentuk dalam benak sebagian anggota masyarakat saat ini, sehingga setiap sekolah akan berlomba-lomba menyelenggarakan sekolah berstandar internasional. Fenomena ini hampir sama dengan persaingan sekolah dalam status akreditasi, sekolah berjuang untuk dapat mencapai status akreditasi A dengan harapan dapat menaikkan posisi tawar sekolah kepada peserta didik yang akan masuk ke sekolah tersebut. Sekolah dengan status akreditasi A, dapat dengan leluasa menaikkan biaya masuk dan sekolah ini nantinya dapat naik menjadi RSBI dan SBI. SBI kemudian beralih menjadi Sekolah Bertarif Internasional. SBI meskipun menerapkan prinsip merit sistem namun tetap saja kesempatan individu dari kelas bawah menjadi sempit. Guru dan peserta didik di SBI juga memperoleh status istimewa. Bila ini yang terjadi, ada kemungkinan SBI hanya menjadi simbol status bagi segelintir orang. Lembaga pendidikan justru menjadi sebuah mekanisme yang dapat memicu terjadinya ketidaksetaraan (inequality) sosial dalam masyarakat. Sekolah dalam proses ini kemudian digunakan sebagai mekanisme seleksi sosial yang melebarkan terjadinya ketidaksetaraan sosial. Konsep seleksi sosial dijelaskan oleh Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2008) untuk menunjuk sebuah proses ketika sekolah hanya dapat dinikmati oleh sekelompok individu saja yaitu individu dari golongan atas. 8 Individu dari kelas bawah mustahil dapat menikmati sekolah ini karena tingginya biaya yang dibutuhkan untuk masuk SBI. Selain itu, sekolah dalam hal ini juga digunakan sebagai mekanisme reproduksi sosial. Individu kelas atas pada akhirnya akan menghasilkan individu yang yang menempati kelas atas, dan sebaliknya. Selanjutnya, sekolah juga digunakan sebagai alat seleksi yang eksklusif, hanya orang tertentu saja yang dapat masuk sekolah dan itupun harus melewati berbagai proses atau mekanisme (Haryatmoko, 2008). Masalah kedua yang muncul dengan adanya tipe SBI ini adalah ancaman terjadinya mengikisan potensi lokal. Acuan yang digunakan SBI cukup beragam, dalam arti sekolah yang bertipe SBI bebas mengacu pada standar pendidikan negara yang diinginkan. Standar acuan ini di satu sisi merupakan sebuah peluang agar sistem penyelenggaraan proses pendidikan dapat menyamai sistem pendidikan internasional. Di sisi yang lain, standar acuan ini bisa menjadi ancaman terkikisnya nilai-nilai (identitas) Bangsa Indonesia. Secara spesifik, muatan materi pelajaran di SBI justru berkiblat pada negara yang menjadi acuan. Standar internasional juga berpotensi mengubah ideologi atau cara pandang peserta didik. Hal ini misalnya dapat dilihat pada mata pelajaran IPS (terutama Sosiologi). Sosiologi merupakan salah satu mata pelajaran yang syarat dengan materi yang bersifat ideologis, yang mampu mengubah cara pandang peserta didik dalam melihat fenomena sosial di sekitarnya. Fenomena yang cukup tragis, tengah dialami peserta didik kita. Mereka merasa bangga ketika pandai berbahasa asing, namun mereka justru menggunakan Bahasa Indonesia yang kacau. Ujian TOEFL, hampir di semua lembaga pendidikan tinggi menjadi salah satu syarat kelulusan, namun mengapa ujian Bahasa Indonesia tidak menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa? SBI di sisi lain merupakan sebuah mekanisme yang menjadi peluang berkembangnya potensi lokal. Peluang ini dapat dijelaskan bahwa potensi lokal dapat 9 dikembangkan (dipromosikan) di tingkat internasional melalui institusi pendidikan ini. Dengan kata lain, strategi yang harus dibangun adalah bagaimana menyosialisasikan potensi lokal di tingkat internasional melalui SBI ini? 2. Mewujudkan SBI berbasis Potensi Lokal Pada dasarnya, ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan. Kedua aspek tersebut adalah aspek metode dan substansi. Aspek metode berupaya menjawab “bagaimana substansi atau materi pembelajaran ditransmisikan kepada peserta didik?”. Komponen penting dalam aspek ini adalah media pembelajaran ataupun alat bantu proses pembelajaran. Sekolah yang termasuk kategori SBI adalah sekolah yang dinilai “mampu”, baik dari sisi fisik, maupun SDM-nya. Hal ini tentunya menjadi peluang sekaligus tantangan bagi SDM di SBI untuk mengaktualisasikan kemampuannya memanfaatkan sumber daya lokal dalam proses pembelajarannya. Seorang peserta didik dalam praktiknya jangan sampai mempelajari sesuatu yang berada jauh dari kehidupan kesehariannya namun hal-hal yang sifatnya dekat dengan dirinya justru tidak pernah dibahas dalam kegiatan di sekolahnya. Apabila meminjam istilah Marx (Johnson, 1990), ia menyebutnya fenomena ini sebagai “proses alienasi”, pengasingan peserta didik dengan sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya. Jangan sampai peserta didik belajar tentang bunga Raflesia, namun bunga Anggrek yang ada di halaman sekolah tidak pernah dipelajari; jangan sampai peserta didik belajar mendeskripsikan dinginnya suasana di pegunungan, sedangkan ia setiap hari bergelut dengan panasnya suasana pantai. Uraian tersebut menyiratkan sebuah konsekuensi, bahkan keharusan bagi SDM (terutama guru) untuk selalu memanfaatkan media pembelajaran yang sangat dekat dengan peserta didik. Keharusan ini mutlak diperlukan agar peserta didik tidak teralienasi dari kehidupan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Realitas sosial bagi Freire (2002) merupakan objek dalam proses pembelajaran. Realitas sosial ini bukan 10 hanya realitas dalam kehidupan sosial di masyarakat melainkan termasuk juga realitas dalam kehidupan alam. Seorang guru Fisika di pedesaan dapat menjelaskan konsep “kecepatan” menggunakan contoh kasus kecepatan sebuah Andong (kendaraan yang ditarik kuda) atau becak misalnya. Hal ini lebih bijak daripada memberikan contoh kecepatan pesawat, karena Andong dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari peserta didik yang tinggal di wilayah pedesaan. Aspek kedua adalah aspek substansi mata pelajaran. Substansi ini meliputi isi atau materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Sama halnya dengan aspek pertama, aspek kedua ini juga mengharuskan guru untuk memanfaatkan potensi lokal atau memasukkan potensi lokal dalam materi pembelajaran di SBI. Materi ini bukanlah monopoli mata pelajaran muatan lokal, melainkan dalam semua mata pelajaran yang diberikan. Contoh kasus sederhana adalah dalam mata pelajaran Bahasa Inggris (dan bahasa asing lainnya), guru di Kabupaten Banyumas memberikan tugas menyusun karangan singkat dalam Bahasa Inggris mengenai “proses pembuatan tempe mendoan” (makanan khas Banyumas –Jawa Tengah). Jika peserta didik tidak tahu proses pembuatan tempe mendoan maka ia diwajibkan untuk bertanya kepada orang yang lebih tahu. Pada proses ini, kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik digunakan secara bersamaan dalam satu tugas. Contoh ini sangat sesuai bagi sekolah-sekolah di wilayah Banyumas. Peserta didik juga dapat diberi tugas untuk mendeskripsikan prosesi upacara adat di daerahnya. Peserta didik di SMK harus mampu mengembangkan teknologi sederhana yang berbasis pada kebutuhan masyarakat lokal di daerahnya. Komponen muatan lokal juga harus dimasukkan di SBI dan muatan lokal ini sebaiknya tidak didasarkan pada wilayah administratif tempat sekolah tersebut berada. Hal ini dikarenakan muatan lokal merupakan program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah yang perlu diajarkan kepada siswa. Isi 11 dalam pengertian tersebut adalah bahan pelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan muatan lokal, sedangkan media penyampaian merupakan metode dan sarana yang digunakan dalam penyampaian isi muatan lokal (Sofa, 2008). Muatan lokal harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Hasil pengamatan penulis di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat misalnya, tepatnya di Kecamatan Cimanggu dan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap, meskipun masyarakat setempat menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari, namun sekolah di kedua kecamatan tersebut justru mengajarkan Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal karena Kabupaten Cilacap masuk dalam wilayah administratif provinsi Jawa Tengah. Apabila hal ini yang terjadi, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana peran lembaga pendidikan dalam melakukan transmisi budaya dan mempertahankan kebudayaan lokal antargenerasi? Di mana peserta didik akan belajar Bahasa Sunda jika di sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya justru hanya mengajarkan Bahasa Jawa? Mengapa mereka harus belajar Bahasa Jawa jika setiap hari mereka menggunakan Bahasa Sunda? Apakah muatan lokal hanya sekedar formalitas saja? Muatan lokal tidak hanya menyangkut masalah letak administrasi, namun juga harus berdasarkan pada kebutuhan dan kondisi yang terjadi pada masyarakat di sekitar sekolah. Fungsi lembaga pendidikan sebagai sarana transfer nilai serta norma sosial antargenerasi, juga dapat diwujudkan dengan membangun suasana (atau budaya sekolah) yang berbasis nilai-nilai lokal. Nilai tersebut misalnya adalah mengucap salam dan berdoa bersama sebelum memulai pelajaran, budaya bersalaman, gotong royong, peserta didik dan guru diharuskan mengenakan pakaian daerah pada hari tertentu dan sebagainya. Menurut Deal dan Peterson (dalam Baedowi, 2008), budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian dan simbolsimbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak 12 dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas. Budaya sekolah merupakan atmosfer akademik yang berlangsung di sekolah, yang merupakan hasil interaksi di antara anggota kelompok (sekolah). Budaya sekolah bukan suatu entitas statis maka proses pembentukan norma, nilai, dan tradisi sekolah akan terus berlangsung melalui interaksi dan refleksi terhadap kehidupan dan dunia secara umum (Finnan dalam Baedowi, 2008). Dengan demikian, budaya sekolah juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana transfer nilai-nilai budaya lokal di lembaga sekolah. Beberapa strategi tersebut diharapkan mampu mempertahankan nilai-nilai lokal daerah di SBI. Bagaimanapun juga, meskipun sekolah menyandang status SBI, namun SBI masih memiliki tugas, peran ataupun tanggung jawab untuk melestarikan potensi lokal di daerahnya. Kualitas peserta didik tidak hanya dilihat dari aspek penguasaan IPTEK, namun juga dilihat dari wawasan atau kearifan lokal yang dikuasai peserta didik. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Secara sosiologis, SBI memiliki fungsi positf sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Namun di sisi yang lain, SBI dapat memicu terjadinya ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat. SBI adalah lembaga pendidikan yang lebih bersifat eksklusif daripada inklusif. SBI hanya dapat dinikmati oleh individu dari kelas atas saja, sedangkan individu kelas bawah memiliki kesempatan yang terbatas. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan SBI yang berbasis potensi lokal. Strategi tersebut dilakukan melalui tiga unsur, yaitu metode, substansi dan budaya sekolah. Metode pembelajaran harus memanfaatkan potensi lokal sebagai media pembelajaran. Substansi merujuk pada materi pembelajaran yang harus dikaitkan dengan potensi lokal tempat sekolah itu berada. Materi ini bukan hanya untuk 13 mata pelajaran muatan lokal, namun untuk semua mata pelajaran. SDM di SBI dituntut untuk lebih kreatif dalam memanfaatkan seluruh potensi lokal tersebut. Strategi terakhir yaitu melalui pengembangan budaya sekolah yang berbasis budaya lokal. Budaya lokal di sini secara lebih sempit dimaknai sebagai nilai serta norma yang berlaku di daerah tempat sekolah berada. 2. Saran Konsep SBI memiliki sisi positif sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Namun demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar potensi lokal tetap termanifestasikan dalam proses pembelajaran di SBI ini, yaitu: 1. Aspek pemerataan kesempatan dalam SBI harus mendapat perhatian. Hal ini dimaksudkan agar SBI tidak beraifat eksklusif, namun semua individu dari berbagai kelas sosial dapat menikmati fasilitas ini. 2. Keberadaan SBI jangan sampai sekedar simbol status bagi pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya, seperti guru, orang tua serta peserta didik. Aspek pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan juga harus diperhatikan. 3. SDM di SBI harus mampu memanfaatkan potensi lokal yang ada di sekitar sekolah, sehingga peserta didik peka terhadap kondisi alam dan sosial di sekitarnya. 4. Harus ada beberapa batasan mengenai konsep “standar internasional”, artinya tidak semua komponen proses pembelajaran menggunakan standar internasional, sehingga identitas asli masyarakat tidak terkikis. DAFTAR PUSTAKA Baedowi, Akhmad. 2008. UN dan Budaya Sekolah, dalam www.mediaindonesia.com/12 Mei 2008, diakses tanggal 14 Februari 2009 Fakih, Mansour. 2001. Pendidikan Popular: Menuju Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Insist Press. 14 Haralambos dan Holborn. 2004. Sociology: Themes and Perspectives Sixth Edition. Harper Collins Publisher, London Haryana. 2008a. Konsep dan Karakteristik Esensial SBI. situs: http://forumrsbi.net/index.php?PHPSESSID=f8308a599358069ea081d4967355e85a&page=6, diakses tanggal 27 Juli 2009. Haryana. 2008b. Konsep SBI pada jenjang pendidikan SMP. situs: http://forumrsbi.net/index.php?page=7, diakses tanggal 27 Juli 2009 Haryatmoko. 2008. Sekolah: Untuk Semua atau Alat Seleksi Sosial? Reproduksi Kesenjangan Sosial Lewat Sekolah Perspektif Pierre Bourdieu. Situs: http://sosiologi.fisipol.ugm.ac.id/handoutseminar/haryatmoko.doc. diakses tanggal 1 September 2009 Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid 2. Erlangga, Jakarta (diterjemahkan oleh Kamanto Sunarto dari Essential of Sociology: a Downto-earth Approach 6th Edition) Johnson, Doyle Paul 1990, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I, Gramedia, Jakarta (terjemahan oleh Robert M.Z. Lawang dari Sociolgycal Theory Classical and Contemporary Perspectives) Karabel, Jerome dan A.H. Halsey. 1977, Power and Ideology in Education, Oxford University Press, New York. Meighan, Roland. 1981. Sociology Of Educating. Holt Education, New York. Paulo Freire. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (diterjemahkan oleh Fuad dari The Politics of Education: Culture, Power and Liberation). Sofa, Pakde. 2008. Fungsi dan Kedudukan Muatan Lokal dalam Kurkulum. Situs: http://massofa.wordpress.com/2008/07/29/fungsi-dan-kedudukan-muatan-lokaldalam-kurkulum/, diakses tanggal 7 September 2009 Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed.). 2008. Hemeneutika Pascakolonial: Soal Identitas, Kanisius, Yogyakarta. 15