genealogi ilmu komunikasi di indonesia

advertisement
1
PROPAGANDA, KUASA, DAN PENGETAHUAN:
GENEALOGI ILMU KOMUNIKASI DI INDONESIA,
(SUATU PENELUSURAN AWAL) 1
Ignatius Haryanto
ABSTRACT
This article discusses the origin and genealogy of Communication Studies in
Indonesian universities. The writer argues that the origin of communication studies
in Indonesian has American bias in the development of this discipline, and then
creates a mono-paradigm in teaching and research activities since 1960s. This monoparadigm is a result from a modernization paradigm, adopted by New Order
officials, with some collaboration from prominent social scientists, including
Communication scholars, to create social engineering toward the society. Most of
Indonesian communication scholars in the 1960 through the 1980s were graduates
from American universities which were the pioneer of Communication studies,
rooted in propaganda and political communication type of researches.
By using Christopher Simpson’s work, this article discusses the historico-political
context of the knowledge production among ‘American communication theories’,
that indirectly influence Indonesian communication scholars in adopting the
modernization or developmental paradigm for Indonesian context. Some criticism
then left out from the dominant paradigm, especially when the 1965 incident in
Indonesia created a situation where Indonesian social scientists were prohibited to
learn and use Marxist paradigm.
Pengantar
Perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia dan berbagai kegiatan penerapannya
sangat berkembang dalam satu dasawarsa terakhir ini. Ada beberapa indikasi yang bisa
1
Tulisan ini awalnya merupakan paper yang disampaikan dalam forum Diskusi Bulan Purnama, Jaringan
Kerja Budaya, pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam perkembangannya tulisan ini diperluas dan mendapat
komentar dari sejumlah pihak. Penulis berhutang budi untuk komentar awal yang diberikan oleh Herry
Priyono, Dedy Nur Hidayat, Hilmar Farid, dan Eduard Lukman. Semua data dan perspektif yang
dihadirkan dalam tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.
2
ditunjuk untuk melihat perkembangan tersebut. Pertama, adalah makin banyaknya
dibuka program-program pendidikan komunikasi (terutama dalam ilmu terapannya) yang
diselenggarakan baik oleh perguruan tinggi (lihat Apendix dari tulisan ini), mulai dari
program sarjana, diploma, hingga kelas extention ataupun kelembagaan pendidikan non
perguruan tinggi lain yang menawarkan program-program komunikasi terapan ini.
Kedua, hasil lebih lanjut dari berbagai program ini adalah tentu saja, semakin banyak
lulusan-lulusan berbagai program tadi yang memiliki latar belakang pendidikan
komunikasi. Ketiga, hampir seluruh instansi pemerintah, perusahaan bisnis dan berbagai
kelembagaan lain yang berurusan dengan publik, pastilah memiliki suatu departemen
yang diberi nama Hubungan Masyarakat (Humas) / Public Relations, ataupun
kelembagaan konsultan Humas. Keempat, salah satu hasil lain dari program terapan ilmu
komunikasi adalah bidang periklanan atau advertising yang juga menunjukkan
perkembangan yang sangat pesat dalam dua decade belakangan ini.
Tak ada yang salah dengan fenomena yang telah disebutkan di atas, karena
bagaimanapun juga perkembangan yang terjadi di Indonesia juga bukan merupakan hal
yang istimewa jika dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi di belahan dunia
lain, terutama negara yang sudah termasuk dalam sebutan negara Industri (ataukah negara
industri advanced ataupun negara industri baru), apalagi dengan kemajuan teknologi
informasi telah membuat berbagai rangkaian hubungan antar manusia atau lembaga kini
menjadi makin kompleks, sehingga ada kebutuhan untuk sebagian pihak untuk
mengadakan suatu kelembagaan khusus yang berurusan dengan masalah komunikasi –
terutama – dengan pihak luar.
Yang hendak ditulis di sini adalah suatu kritik atas pemahaman ataupun
perkembangan ilmu dominan yang terjadi dalam pengajaran ilmu komunikasi di
Indonesia, yang sebenarnya merupakan bagian dari kritik lebih luas terhadap
perkembangan ilmu social di Indonesia, yang menunjukkan kemandegan atas cara
berpikir yang telah diterapkan sekian lama, lewat suatu cara yang spesifik dalam
pelanggengan suatu mashab tertentu yang diyakini untuk diajarkan, dan diterapkan, tanpa
ada suatu dimensi kritik epistemology atas perkembangan ilmu itu sendiri.
Tesis utama yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa perkembangan ilmu
komunikasi di Indonesia yang terutama diajarkan oleh universitas-universitas dominan di
3
Indonesia, lebih membela suatu paradigma tunggal, atau katakanlah lebih membela
paradigma yang lebih pragmatis, cenderung positivistic, mengabaikan konteks
perkembangan ilmu dalam wilayah dimana ia berkembang, serta tak pernah
mempertanyakan keabsahan asumsi-asumsi yang terletak di balik penggunaan paradigma
dominan dalam perkembangan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.
Dengan menyebut ‘paradigma tunggal’, posisi binner adalah paradigma plural,
dimana ada berbagai mashab lain yang dikenal dalam ilmu komunikasi atau ilmu lain
yang kini sering berinteraksi secara metodologis dengan ilmu-ilmu komunikasi. Dengan
membela posisi paradigma yang plural, maka tulisan ini pun hendak membela suatu
pendekatan interaksi antar bidang ilmu yang untuk sebagian pihak masih dianggap suatu
tabu. 2
Tulisan ini barulah sekedar tulisan awal untuk melacak akar-akar perkembangan
ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama sangat berorientasi pada perkembangan ilmu
komunikasi di Amerika, terutama dalam kacamata paradigma positivistic, berakar pada
mashab Chicago School, dan juga dengan pendekatan yang sangat pragmatis, dengan
asumsi-asumsi yang sudah diterima begitu saja dan cenderung menggunakan statistik
untuk peneguhan tesis yang sudah dipegang awalnya. Dari sini secara tidak langsung
hendak mencoba menjawab mengapa terjadi kemandekan dalam perkembangan ilmu
komunikasi, sebagai bagian dari ilmu-ilmu social lainnya di Indonesia.
Tulisan ini pula hendak melacak bagaimana ilmu komunikasi di Amerika sendiri
berkembang menjadi suatu disiplin yang lebih mapan terutama pada tahun 1950-an atau
decade awal setelah selesainya perang dunia II. Hal tentang perang dunia II di sini
disinggung karena ini terutama berkait dengan fakta bahwa sejumlah ahli ilmu
komunikasi Amerika – yang teorinya dipergunakan oleh para mahasiswa dan sarjana
ilmu komunikasi tanpa daya kritis, dan dianggap sebagai the founding fathers of
communication science -
2
punya andil besar dalam penerapan dan pengembangan
Inilah bentuk pertanyaan yang paling ditakuti oleh para mahasiswa komunikasi tingkat akhir kala ia
menyiapkan skripsi: “Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa skripsi ini adalah skripsi komunikasi?”
Persoalannya di sini bukanlah bagaimana ilmu komunikasi bisa menerima bidang kajian tertentu atau topik
bahasan tertentu masuk dalam ruang lingkupnya, namun persoalannya lebih menjadi “siapa yang
mendefinisikan ‘ilmu komunikasi’ di sini, dalam paradigma apa ilmu komunikasi didefinisikan dan dalam
batas mana pula ilmu komunikasi ditentukan”.
4
metode-metode ilmu komunikasi untuk membela kepentingan Amerika dalam perang
yang terjadi sejak masa perang dunia II hingga masa perang dingin tahun 1960-an. 3
Dari pelacakan sejarah awal di Amerika, diharapkan tulisan ini bisa memberikan
sedikit gambaran, bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia tak bisa juga
dilepaskan dari perkembangan kepentingan ekonomi dan politik Amerika terhadap
negara dunia ketiga seperti Indonesia – terutama yang jaman Sukarno dikenal dengan
nasionalisme dunia ketiga dengan mendirikan gerakan non blok dengan negara-negara
Asia dan Afrika – dan perkembangan posisi ilmu komunikasi di Indonesia saat ini tak
juga bisa dilepaskan dari perkembangan pendekatan developmentalis yang dianut para
penyusun kebijakan social pada masa awal orde baru, terutama dengan menggandeng
ilmu social, khususnya ilmu komunikasi dalam kekuasaan birokrasi negara.
Filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche, dalam salah satu gagasannya menyebut
tentang istilah genealogi, sebagai suatu penyingkapan kedok nafsu-nafsu, kebutuhankebutuhan, ketakutan-ketakutan, dan harapan-harapan yang terungkap dalam sebuah
pandangan tertentu mengenai dunia 4. Pandangan Nietzsche ini relevan dengan topik
yang dibahas, karena tulisan ini hendak membuka selubung yang selama ini ditutuptutupi berupa kepentingan politik yang dibalut dengan legitimasi ilmiah di satu sisi, atau
juga dipergunakannya kepentingan politik untuk memberikan legitimasi ilmiah.
Atau lebih lanjut juga mengatakan bahwa pengetahuan bekerja sebagai instrumen
kekuasaan. Ini berarti bahwa kehendak untuk mengetahui sesuatu tergantung pada
kehendak untuk menguasai. Jadi, tujuan pengetahuan bukanlah untuk menangkap
kebenaran absolute pada dirinya, melainkan untuk menundukkan sesuatu. Dengan
pengetahuan kita menciptakan tatanan, merumuskan konsep-konsep, memasang skemaskema pada kenyataan yang sebenarnya senantiasa berubah-ubah 5.
Tulisan ini hendak dimulai dengan pelacakan perkembangan ilmu komunikasi di
Amerika – yang dibedakan dengan perkembangan ilmu komunikasi di Eropa Barat 6 dan
juga perkembangan ilmu komunikasi di Amerika Latin ataupun India yang memiliki ciri
3
Christopher Simpson, Science of Coercion: Mass Communication Research and Psycological Warfare
1945-1960, Oxford University Press, 1994.
4
Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004, h.268.
5
Hardiman (2004) h.273.
6
Lihat Jay G. Blumler, “Mass Communication Research in Europe: Some Origins and Prospects”, in
Michael Burgoon (ed.) Communication Year Book 5, 1982, h.145-156.
5
perkembangan khas – terutama dengan bertumpu pada pengembangan metode
propaganda sebagai hasil penting dari dua perang dunia (1914-1918 dan 1939-1945)
dengan dua tokoh utama Harold Lasswell dan Walter Lippman. Kemudian tulisan ini
berlanjut pada perkembangan metode perang psikologis (psychological warfare) yang
digunakan para ahli komunikasi Amerika yang bekerja pada 6 kelembagaan perang
Amerika untuk membela kepentingan ekonomi dan politik Amerika 7. Kemudian setelah
itu tulisan ini menyoroti sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia dengan
terutama menyoroti bagaimana dekatnya hubungan para sarjana ilmu komunikasi di
Indonesia dengan ilmu komunikasi asal Amerika
8
, serta menunjuk pada luasnya
pengaruh ‘mashab Amerika’ ini dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia 9. Di
bagian akhir tulisan ini, akan sedikit dipaparkan bagaimana propaganda dilakukan di
7
Seorang sarjana komunikasi kritis asal Belanda, Cees Hamelink, bahkan menyebut bahwa “perkembangan
penelitian komunikasi bukanlah hasil perkembangan ilmiah, tapi hasil dari perkembangan kapitalisme
Amerika Utara. Dikutip dari Everett Rogers, “The Empirical and The Critical School of Communication
Research”, dalam Michael Burgoon, Communication Yearbook 5, 1982. lihat h.135. Penggunaan lebih
lanjut dari perang psikologis yang dikembangkan pada masa perang tersebut kini pada masa modern
banyak diterapkan dalam kepentingan-kepentingan bisnis, misalnya dengan strategi pemasaran atau strategi
periklanan yang dilakukan untuk menjual suatu produk tertentu. Lihat James E. Combs & Dan Nimmo,
Propaganda Baru: Kediktatoran Perundingan dalam Politik Masa Kini, (terj.), Bandung: Rosdakarya,
1994 (judul aslinya: New Propaganda: The Dictatorship of Palaver in Contemporary Politics)
8
Lihat Ronny Adhikarya, Knowledge Transfer and Usage in Communication Studies: The US-ASEAN
case, Singapore: Asian Mass Communication Research and Information Centre, 1983
9
Tentu saja istilah ‘mashab Amerika’ ini jauh dari tepat untuk digunakan, tapi sekedar untuk memberikan
pengertian yang lebih mudah dengan mengacu pada tradisi perkembangan ilmu komunikasi yang
cenderung positivistic yang berkembang di Amerika terutama yang berakar pada ‘bapak-bapak pendiri ilmu
komunikasi’ seperti Wilbur Schramm (1907-1987), lalu Ithiel de Sola Pool, Harold Lasswell dan lain-lain.
Ini sekedar membedakan dengan tradisi Eropa yang lebih berkutat dengan persoalan-persoalan konteks
dimana ilmu komunikasi itu berkembang, kaitannya dengan perkembangan masyarakat dan lain-lain.
Secara khusus tentang perkembangan ‘mashab kritis’ di Amerika – dengan tokoh intelektual Amerika juga
– lihat pada karya-karya seperti Noam Chomsky, Robert W. McChesney, intelektual Canada, Dallas W
Smyte, deretan tokoh ini bisa dilihat lebih jauh pada Vincent Mosco, The Political Economy of
Communication, London: Sage, 1994. Di Indonesia, karya McChesney pernah diterjemahkan yang berasal
dari tulisan pamfletnya yang berjudul Konglomerasi Media dan Ancaman Terhadap Demokrasi (Corporate
Media and The Threat to Democracy), Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 1998. Sekian nama yang
disebut di sini, boleh jadi sangat tidak popular dibandingkan dengan nama ‘para pendiri ilmu komunikasi’
atau para ilmuwan komunikasi ‘mainstream’ tersebut. Khusus tentang perkembangan aliran ekonomi
politik dalam menelaah media, selain karya Vincent Mosco yang sangat komprehensif, juga bisa lihat
antologi 2 volume yang dikumpulkan oleh Peter Golding & Graham Murdock, keduanya pengajar di
Loughborough University, UK, The Political Economy of the Media, Chentelham: Edward Elgar
Publishing Ltd., 1997. Dalam antologi ini ada nama-nama sarjana seperti Nicholas Garnham, Oscar Gandy,
Ben Bagdikian, Edward S. Herman, Herbert I. Schiller, Thomas Guback, Jeremy Tunstall, Cees Hamelink,
Armand Mattelart, untuk menyebut sebagian ahli media yang berada di luar jalur ‘komunikasi mainstream’.
Lihat juga buku yang diedit oleh John A. Lent, A Different Road Taken: Profiles in Critical
Communication, Boulder: Westview Press, 1995. Dalam buku tersebut, Lent memaparkan profil dan
pemikiran dari lima orang sarjana Komunikasi bermashab kritis, yaitu: Dallas W. Smythe, George Gerbner,
Herbert I. Schiller, James D. Halloran dan Kaarle Nordenstreng.
6
Indonesia oleh kelompok yang menginginkan kejatuhan Sukarno pada tahun 1965/66
dengan menjalankan proyek kudeta sembari melempar berbagai tudingan ke pihak-pihak
lain. Bagian ini hendak menunjuk pada penerapan metode propaganda terutama dari
kepentingan ilmu komunikasi Amerika dalam proses transisi politik tahun 1965/66
tersebut. 10.
Ilmu Komunikasi dan Paradigma Developmentalisme Orde Baru
Dalam sebuah buku panduan untuk memilih perguruan tinggi bagi para lulusan
Sekolah Menengah Umum, ilmu komunikasi didefinisikan sebagai berikut:
“Merupakan pengetahuan tentang komunikasi di dalam masyarakat
mulai dari munculnya informasi di dalam masyarakat mulai dari munculnya
informasi di dalam masyarakat sampai dengan penerimaan informasi di
masyarakat. Pengetahuan tentang komunikasi tersebut meliputi lembaga
komunikasi (pers, suratkabar, televisi, radio) beserta dengan fungsi dan
pengolahan dan pengelolaannya, proses komunikasi yang terjadi dalam
masyarakat. Jurusan ini dapat dibagi dalam beberapa jenis keahlian khusus:
jurnalistik, hubungan masyarakat (public relation), dan bidang penerangan, di
samping beberapa program baru muncul di komunikasi seperti periklanan dan
penyiaran. Kurikulum pendidikan komunikasi meliputi: pengantar dan sejarah
komunikasi, proses dan efek publisistik/pers/radio/film, hubungan masyarakat,
pendapat umum, grafika dan penerbitan. 11
Itulah definisi umum atas ilmu komunikasi, namun begitu, definisi sebenarnya
mengandung problematika sendiri, karena di dalamnya ada pengandaian yang diterima
begitu saja bahwa proses pengiriman informasi tak mengandung suatu yang ambigu dan
bisa ditafsirkan secara berbeda baik oleh si pengirim pesan dan penerima pesan. Definisi
umum seperti itu juga menghindarkan unsur ideologis dari proses pengiriman pesan yang
seringkali ada di bawah bayang-bayang ideologi tertentu.
10
Bagian ini belum bisa banyak memberikan kesimpulan kecuali sekedar memaparkan beberapa fakta
bahwa pengaruh Amerika sangat kuat dalam proses pembentukan citra tentang kelompok yang kemudian
dikorbankan, dan di sini sekali lagi memperteguh dugaan bahwa CIA punya peran besar dalam proses
menjatuhkan presiden Sukarno pada pertengahan 1960-an tersebut lewat berbagai agennya yang bekerja di
Indonesia. Bagian ini harusnya dielaborasi tersendiri secara lebih luas. Namun untuk saat ini penulis masih
belum sanggup mengelaborasinya sendiri dalam keterbatasan waktu dan tempat.
11
Sri Indrayati (et. al), Panduan Memilih Perguruan Tinggi 2007, Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo,
2007, h.66-67.
7
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka Heru Nugroho, seorang pengajar dari
Universitas Gadjah Mada pernah menuliskan kritiknya terhadap dunia perguruan tinggi di
Indonesia secara umum:
“Fakta menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia cenderung
lebih menjadi arena permainan politik bagi Negara, pasar dan sivitas akademika
daripada sebuah wilayah yang memiliki otoritas akademik. Terjadinya otonomi
kampus sebetulnya sekedar mengubah dominasi dari tirani Negara menuju
cengkraman pasar.” 12
Apa yang dituliskan oleh Heru Nugroho bukanlah omong kosong. Walaupun
dalam tulisan itu Heru tak menampilkan dengan sangat gamblang bagaimana wajah
“arena permainan politik bagi Negara, pasar dan sivitas akademika” itu terjadi dengan
sedemikian brutal, namun sejumlah modus, sejumlah pola dan fenomena yang selama ini
berada di dalam tembok-tembok tebal universitas mulai terkuakkan.
Dalam tulisan tersebut, Heru Nugroho menggambarkan fenomena tentang kondisi
pendidikan tinggi pada masa Orde Baru yang “merupakan salah satu contoh bagaimana
campur tangan Negara terhadap system pendidikan tinggi nasional sangat dominan”
13
hingga fenomena bagaimana era sejumlah perguruan tinggi beralih status menjadi BHMN
(Badan Hukum Milik Negara), yang ia komentari sebagai :
Perguruan tinggi BHMN menjadi “Toko Kelontong” yang menjual apa
saja, mulai dari komoditi jarum untuk menjahit hingga sepeda motor, bahkan
mobil. Atau dengan istilah lain, dapat dikatakan telah berkembang
“McDonaldisasi Pendidikan Tinggi” karena perguruan tersebut memiliki banyak
outlet di manapun, menyediakan pendidikan cepat saji, dapat dibeli dimana saja
dan kapan saja. McDonaldisasi Pendidikan tinggi ini memiliki empat prinsip,
yaitu kuantifikasi, efisiensi, keterprediksian, dan teknologisasi.” 14
Bagaimana kita merefleksikan apa yang telah dikatakan oleh Heru Nugroho ini
dalam konteks pembicaraan tentang ilmu Komunikasi di Indonesia. Dapat dikatakan
12
Heru Nugroho, “Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi: Universitas Sebagai Arena Perebutan Kekuasaan”,
dalam Vedi R. Hadiz & Daniel Dhakidae (eds) Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Equinox,
2006, h.159.
13
Nugroho (2006:160)
14
Nugroho (2006:179)
8
kesimpulannya adalah sama dan sebangun, dan bahkan tak salah juga jika dikatakan di
sini bahwa ilmu komunikasi di Indonesia menjadi salah satu yang paling depan ada
dalam kondisi “McDonaldisasi Pendidikan Tinggi”, mengingat fakta bahwa dalam waktu
singkat jurusan Ilmu komunikasi menjamur hadir di berbagai perguruan tinggi, dalam
universitas-universitas baru, bahkan naiknya posisi dari sejumlah Sekolah Tinggi,
lembaga kursus untuk kemudian menghadirkan jurusan ini seturut dengan adanya
“permintaan pasar yang tinggi” untuk itu.
Namun kita akan sedikit mundur untuk melihat bagaimana kondisi yang terjadi
pada saat awal Ilmu komunikasi berkembang di Indonesia, yang awal mulanya adalah
bagian dari Publisistik, atau pengetahuan yang lebih mencakup masalah jurnalistik, atau
penerbitan atau publikasi missal, dan bergeser menjadi ilmu komunikasi. Namun
kemunculan ilmu komunikasi ini sendiri bukan sesuatu yang lepas konteks begitu saja,
karena di dalamnya ada paradigma dominant yang berdiri di belakangnya, dan
paradigman dominant itu adalah paradigma developmentalisme (pembangunan-isme)
yang memang merupakan bagian dari ideology Negara Orde Baru yang dikembangkan
guna menyukseskan program-program pemerintah untuk mendapatkan stabilitas
ekonomi, pengendalian jumlah penduduk lewat program Keluarga Berencana, rekayasa
social (social engineering) kepada masyarakat dengan berbagai program pembangunan,
hingga akhirnya paradigma ini pulalah yang mencoba menutupi lubang-lubang hitam
dalam pembangunan ala Orde Baru hingga akhirnya menuju akhir dalam keterpurukan
ekonomi, dan ditandai dengan jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenan setelah
memerintah lebih dari 32 tahun.
Bagaimana pun juga ilmu komunikasi di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari
perkembangan ilmu social secara umum, yang juga terjerat dengan perkembangan yang
lebih positivitik pada awalnya, masuk dalam jerat rencana Negara Orde Baru dalam
rekayasa social, serta menutup adanya paradigma yang berbeda dalam perkembangannya.
Dalam perkembangannya sendiri, Developmentalisme sebagai ideology pada akhirnya
harus menyerah kalah pada system ekonomi pasar yang didorong kencang oleh
paradigma Neoliberalisme sehingga dasar-dasar yang telah dibuat oleh program-program
pembangunan diruntuhkan, menuju pada ekonomi pertarungan bebas (free fight
9
competition) dan kembali menggunakan ilmu komunikasi sebagai basis rekayasa social
yang sama pula.
Dalam kaitan antara Orde Baru dan orientasi ilmu social di Indonesia Ariel
Heryanto menyebutkan bahwa
“Di banyak Negara colonial dan pascakolonial seperti Indonesia, ilmu
social menjadi semacam alat bagi Negara untuk membantu proyek-proyek kerja
yang disponsori Negara dan memberikan pembenaran politik terhadap baik
rasionalitas maupun praktek kerja proyek-proyek itu.“ 15
Kondisi ini dikontraskan dengan kondisi di sejumlah Negara liberal, dimana ilmu
social berperan lebih sebagai kritik social terhadap status quo. Dan salah satu ideology
yang paling menonjol dari kondisi Orde Baru dan perkembangan ilmu sosialnya adalah
ideology Pembangunan (‘Pembangunanisme’, dalam istilah Heryanto), yang secara lugas
digambarkan oleh Heryanto sebagai “teknokratisme dengan logat militer Jawa” 16.
Ada tiga konsep kunci yang termaktub dari gambaran Ariel tersebut;
teknokratisme, militer dan Jawa. Heryanto mengelaborasi ketiga konsep itu dengan
menyebutkan teknokratisme sebagai penggarapan atas alam dan realitas dunia yang
tersedia bagi manusia yang mensyaratkan adanya jasa ahli, ilmu dan teknologi, dimana
semuanya bekerja secara sekuler, menurut hukum dan kaidah yang bersifat universal dan
netral dalam dirinya sendiri.
17
Logat militer dan Jawa yang mewarnai teknokratisme
Indonesia tak lain dari merujuk pada paham “fasisme yang secara fragmentaris dapat
dijumpai dalam sikap dan ideology Orde Baru” 18
Dengan membaca kembali jurnal-jurnal lama atau laporan karya ilmiah yang
diterbitkan antara tahun 1970-80an, kita akan melihat betapa dominannya cara pandang
tentang komunikasi pembangunan yang merupakan turunan dari pengertian modernisasi
15
Ariel Heryanto, “Kiblat dan Beban Ideologis Ilmu Sosial Indonesia”, dalam Hadiz & Dhakidae (2006:69)
Heryanto (2006:72)
17
Heryanto (2006:72)
18
Heryanto (2006:73) Sebagai perbandingan lihat juga Hanneman Samuel, The Development of Sociology
in Indonesia: The Production of Knowledge, State Formation, and Economic Change, tesis doctor dari
Swinburne University of Technology, 1999 (tidak diterbitkan), juga lihat Ignas Kleden, “Social Science in
Indonesia: Action and Reflection in the Southeast Asian Perspective”, dalam Nico Schulte Nordholt &
Leontine Visser (eds.) Social Science in Southeast Asia: From Particularism to Universalism, Amsterdam:
VU University Press, 1995.
16
10
yang diterapkan di Indonesia, dengan focus terutama adalah bagaimana menggiatkan
masyarakat lewat kegiatan-kegiatan komunikasi pembangunan terutama lewat programprogram pemerintah, dan mengukur bagaimana efektivitas program tersebut dijalankan
oleh pemerintah. Banyak riset yang dilakukan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UI pada
tahun-tahun tersebut adalah riset yang didanai oleh pemerintah. Inilah beberapa contoh
riset yang pernah dilakukan pada decade 1970-80an tersebut:
1. Kerjasama dengan Proyek Pedesaan UI dengan topik masalah, pemecahan
masalah pembangunan desa seperti misalnya peranan pemuka masyarakat desa
dalam pembangunan, masalah penyebaran informasi KB, KUD, BIMAS.
2. Kerjasama dengan Departemen Penerangan RI tentang pengaruh TV, penonton
TV, pendengar radio, pengaruh film, Pusat Penerangan Masyarakat di daerahdaerah.
3. Kerjasama dengan BKKBN, dengan menerbitkan buku panduan untuk siaran KB
melalui radio, TV dan media lainnya. 19
Sementara itu dari Litbang Deppen, ada sejumlah penelitian yang telah dihasilkan
pada decade yang sama yaitu: penelitian tentang efektivitas media tradisional, penelitian
tentang pengaruh social budaya dari siaran televisi dan radio lewat SKSD, penelitian
tentang pengaruh perfilman di daerah pedesaan, penelitian tentang interaksi antara pers
dan decision makers, dan sebagainya.
20
19
Lihat Harsono Suwardi, “Pengantar Dari Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Massa, FIS-UI”, dalam
Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa Universitas Indonesia, terbitan dalam rangka 20 tahun
Pendidikan Ilmu Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1981. hal.7. Dari
buku yang sama juga lihat “Hasil-hasil Penelitian yang Dilakukan oleh Departemen Komunikasi Massa
selama 10 tahun Terakhir (1970-1980), h.178-227, dimana dalam daftar tersebut tercakup penelitian seperti
“Penelitian Komunikasi Pedesaan di Indonesia”, “Pola Siaran TVRI: Suatu Studi Sosial Budaya dan
Bahasa di Jakarta, Tangerang, Cirebon, Yogyakarta dan Surabaya”, “Peranan Media Massa di Daerah
Perbatasan”, “Efektivitas RRI dan Radio Pemerintah Daerah Sebagai Transformer Informasi
Pembangunan”, “Strategi Komunikasi Film untuk Pembangunan Desa”, dan lain-lain.
20
Lihat F. Rachmadi, “Pendidikan dan penelitian Komunikasi Massa: sebuah tinjauan dari sudut kacamata
pemakai hasil”, dalam Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa UI, 1981 hal.70. Jika diperiksa
lebih lanjut hasil karya tulis (skripsi) yang dibuat antara tahun 1963-1979 sebagaimana tercantum dalam
buku yang sama, maka ada jumlah yang cukup signifikan untuk menunjuk bahwa studi tentang propaganda
banyak mendapat sambutan dari kalangan mahasiswa komunikasi kala itu walau menunjuk periodisasi
waktu yang berbeda-beda (jaman Jepang, jaman Demokrasi Terpimpin).
11
Paradgima modernisasi atau juga developmentalisme yang dominan kala itu
mendasarkan pada tesis utama bahwa masyarakat dari masyarakat yang kurang maju
(Negara berkembang) harus dibangun motivasinya untuk bisa menjadi maju, untuk itu
diperlukan sejumlah rekayasa social yang dilakukan, kalau perlu dengan memanfaatkan
semaksimal mungkin teknologi komunikasi yang ada, untuk bisa mengontrol masyarakat,
untuk bisa mengelola respon dari pesan pembangunan yang telah dikemas. 21
Hal paling penting dalam pendekatan ini adalah adanya efektivitas pengiriman
pesan, apakah dengan menggunakan jalur pengiriman pesan satu langkah ataupun dua
langkah (two-step-flow communication). Pengirim pesan berharap pesan yang telah
dikirimnya akan diterima persis oleh penerimanya. Ambiguitas dari isi pesan itu sendiri
tak pernah dipersoalkan.
Oleh karena itu buku-buku teks dominant yang jadi pendasaran atas pemikiran
tersebut bersumber pada karya seperti Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society
(1958); lalu juga karya seperti David McClelland, The Achieving Society (1961), karya
Lucien Pye, Communication and Political Development (1963), Everett Rogers & F.
Floyd Shoemaker, Communication of Innovations (1964) dan juga karya Wilbur
Schramm, Mass Media in National Development (1964).
Masalah yang muncul dengan paradigma tunggal yang berkembang dominant saat
itu adalah tiadanya kesempatan dari ilmu ini melakukan refleksi atas perkembangan yang
ada, dan munculnya paradigma dominant menutup kemungkinan adanya paradigma
alternative atau paradigma yang lebih kritis sifatnya. Banyak asumsi yang dikembangkan
dalam pendekatan berparadigma tunggal sudah diterima begitu saja (taken for granted)
tanpa mempertimbangkan evaluasi atas paradigma tersebut, dan pula memperhitungkan
konteks historis pemikiran yang melatarinya.
21
Bahasan lebih jauh atas masalah ini silakan lihat Benny Subianto, Pengaruh Teori-teori Modernisasi
dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: Yayasan SPES, 1991. Bandingkan
misalnya dengan tulisan-tulisan Alwi Dahlan, “Communication Research for Policy-makers and Planners:
some preliminary observations”, dalam Sarath Amunugama (ed.) Communication Research in Asia, AMIC,
1982; juga “Perkembangan Dunia Komunikasi Dasawarsa Sembilanpuluhan”, Buletin Komunikasi CTC no.
21, April 1991, dan juga “Revolusi Informasi dan Perilaku Komunikasi”, paper untuk Seminar Revolusi
Informasi dalam Perspektif Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 21-22 Januari 1991, serta juga
“Expanding the Role of Media in Environmental Protection”, Media Asia vol. 21, no.3, 1994. Lihat juga
pidato pengukuhan Alwi Dahlan sebagai guru besar ilmu Komunikasi, FISIP UI, pada tanggal 5 Juli 1997,
“Pemerataan Informasi, Komunikasi, dan Pembangunan”. Pembahasan lebih kritis atas pendekatan
developmentalisme di Negara-negara berkembang bisa melihat Uma Kothari (ed.) A Radical History of
Development Studies: Individuals, Institutions, and Ideologies, London & New York: Zed Books, 2005.
12
Membuka Selubung Ideologis: Sumbangan Christopher Simpson dalam memahami
konteks perkembangan studi komunikasi di Amerika
Sebelum masuk dalam pembahasan lebih jauh terhadap Lasswell, Lippman dan
model teori Propaganda, ada baiknya sedikit mengulas suatu buku yang sangat relevan
dalam topik bahasan ini, yaitu buku yang ditulis oleh Christopher Simpson, yang berjudul
Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960
(Oxford University Press, 1994).
Buku ini membedah secara tajam bagaimana keterkaitan para ahli ilmu
komunikasi di Amerika (termasuk di dalamnya sejumlah anggota peneliti dari Institut fur
Sozialforschung, seperti Herbert Marcuse
22
dan Leo Lowental yang bermigrasi ke
Amerika ketika para sarjana ‘critical school’ ini terpaksa pergi dari Jerman ketika mulai
dalam kekuasaan Hitler.) dengan penggunaan perang psikologis yang dikembangkan
mereka pada masa antara tahun 1945 dan 1960, dan kalangan militer Amerika punya
kepentingan besar dalam perkembangan metode atau paradigma tertentu dalam studi
komunikasi dan mereka ini juga yang punya kuasa untuk menentukan ‘apakah studi
komunikasi’ itu, tentunya dengan paradigma yang mereka anggap ‘objektif’, mencari
‘kebenaran ilmiah’. Pengembangan pendekatan ini pun didukung dengan besarnya
bantuan dana yang diberikan untuk proyek-proyek penelitian yang berkait dengan soal
ini.
Perang psikologis di sini diartikan sebagai “serangkaian strategi dan taktik yang
didisain untuk mencapai tujuan ideologis, politis dan militer dari organisasi yang
membiayainya lewat eksploitasi atribut-atribut social dan psikologis, serta system
komunikasi masyarakat yang dibidik”. Atau dengan kata lain, perang psikologis juga bisa
diartikan sebagai “aplikasi pendekatan komunikasi massa dalam konflik-konflik social,
22
Belakangan Marcuse keluar dari grup ini karena adanya perbedaan pendapat antaranya dengan Harold
Laswell dalam masalah menanggapi perkembangan politik masa perang dingin. Lihat Simpson (1994) h.29.
13
dimana ia memfokuskan pada penggabungan antara penggunaan kekerasan atau bentuk
komunikasi konvensional lain untuk mencapai kepentingan politik dan militer” 23
Untuk kalangan militer Amerika, ‘komunikasi’ dimengerti tidak lebih dari suatu
bentuk transmisi pesan dimana pesannya bisa berupa apa saja untuk mencapai tujuan
ideologis, politis dan membela kepentingan militer.
24
Tidak Cuma itu, agen-agen
keamanan Amerika juga melihat propaganda dan perang psikologis sebagai “alat untuk
memperluas pengaruh pemerintah Amerika di wilayah-wilayah lain yang kemudian bisa
dikuasai oleh tentara-tentara Amerika, dengan biaya yang murah”.
25
Sebagai suatu
contoh dikemukakan bahwa radio CIA di negara-negara Eropa Timur telah menjadi
“sarana yang paling murah, aman, dan efektif bagi kepentingan politik luar negeri
Amerika”.
Dan
menurut
Simpson,
perkembangan
metode
perang
psikologis
dan
pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu komunikasi di Amerika saat itu harus dilihat
dalam kaitannya dengan konteks politik dan ekonomi antara tahun 1940 hingga 1950-an,
dimana tujuan utama dari operasi perang psikologis tersebut adalah “untuk membuat
frustasi ambisi dari negara-negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam,
yang memiliki gerakan massa yang radikal, serta memiliki problem-problem besar seperti
masalah kemiskinan, ketergantungan, dan korupsi yang hebat”
26
Dari sisi keuangan, hal ini juga menjadi jelas, bahwa antara tahun 1945 hingga
1960, badan-badan seperti Departemen Pertahanan Amerika, kemudian US Information
Agency, dan CIA memberikan banyak dana untuk proyek-proyek penelitian komunikasi.
Pada tahun 1950-an saja diumumkan bahwa budget untuk penelitian tersebut mencapai $
1 milyar per tahun, dan di antara dana itu antara $ 7 hingga $ 13 juta disisihkan untuk
universitas, untuk kelompok-kelompok think thank, khususnya untuk bidang-bidang:
komunikasi yang erat kaitannya dengan psikologi social, studi-studi efek komunikasi,
studi antropologi dari system komunikasi negara-negara luar, studi tentang pemirsa
(audience) di negara-negara luar, dan juga survey-survey opini publik di negara luar.
23
27
Simpson (1994) h.11
Simpson (1994) h.6.
25
ibid.
26
Simpson (1994) h.7
27
Simpson (1994) h.9 Di sini kita pun akan ingat dengan beberapa karya yang punya pengaruh besar dalam
perkembangan ilmu social di Indonesia, terutama dengan menggunakan pendekatan developmentalis,
24
14
Bidang ini semua adalah bidang-bidang yang kini mendominasi pengajaran ilmu
komunikasi di Indonesia dan hampir semua berasal dari latar belakang kondisi perang
tersebut.
Sebagai bagian dari ilmu-ilmu social, ilmu komunikasi memang punya peran
penting dalam kebijakan politik luar negeri Amerika, seperti yang dikemukakan oleh
salah satu tokoh penting dalam ilmu komunikasi Amerika, Ithiel de Sola Pool, bahwa
“partisipasi aktif dari para sarjana social dalam politik luar negeri Amerika adalah karena
mereka adalah birokrat-birokrat atau elite penentu kebijakan di masa mendatang, dan
satu-satunya harapan untuk pemerintahan yang humanis (humane government) di masa
mendatang adalah dengan penggunaan ilmu-ilmu social secara meluas oleh pemerintah.”
28
Dengan membaca buku ini maka terbukalah tabir gelap yang selama ini banyak
dilupakan banyak sarjana komunikasi di Indonesia, yaitu membuka selubung hubungan
antara pengetahuan dan kuasa, atau membuka selubung asumsi-asumsi berbagai
pendekatan ilmu komunikasi yang diajarkan di Indonesia, tanpa memeriksa bagaimana
konteks kehadiran dan perkembangan ilmu tersebut secara kritis.
29
Ilmu dan metode
komunikasi asal Amerika yang berkembang di Indonesia diterima begitu saja (taken for
granted) dan dibayangkan bisa diterapkan dalam konteks di Indonesia sebagaimana hal
itu bisa diterapkan di Amerika. 30
Buku ini disusun terutama dengan menggunakan bahan dasar dari dokumendokumen yang telah di-declassified untuk menggali bagaimana hubungan antara para ahli
ilmu komunikasi Amerika dan kepentingan militer pada saat itu. Suatu catatan kecil di
sini misalnya bahwa proyek-proyek penelitian yang dilakukan oleh Wilbur Schramm
masih ada dalam kategori classified, dan yang agak mengherankan di sini adalah
keterlibatan Wilbur Schramm dalam berbagai proyek rahasia militer ini tak pernah
seperti Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society (1958), atau juga karya Wilbur Schramm (1954)
Process and Effect of Mass Communication atau juga Mass Media and National Development (1964) Atau
juga karya seperti Samuel Huntington (1967) Political Order in a Changing Societies. Tesis-tesis dasar dari
karya-karya ini menjadi fondasi dari bangunan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.
28
Simpson (1994) h.8
29
Hal ini mungkin mirip dengan kasus Indonesia pada masa penjajahan Belanda, ketika sejumlah pejabat
yang hendak dipekerjakan di Netherland East Indies, harus masuk dulu dalam sekolah Indologi untuk
memperkuat pengetahuan mereka tentang tanah jajahan.
30
Inilah prinsip ‘objektivitas’ dan ‘bebas nilai’ dari para sarjana yang percaya akan tesis ini, bahwa suatu
metode yang ‘objektif’ bisa diterapkan dimana dan kapan saja, dan karena itu ia memperoleh legitimasi
sebagai suatu ilmu.
15
disebut – paling tidak dalam catatan kaki – pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia,
walaupun dalam terjemahan profil Schramm di jurnal ISKI pernah disebutkan secara
sepintas bahwa Schramm punya keterkaitan dengan CIA dan kelembagaan militer
Amerika lainnya.
31
Lasswell, Lippman & Teori Propaganda: Cikal bakal studi komunikasi di Amerika
Diktum Lasswell akan selalu diingat oleh mereka yang pernah sedikit belajar ilmu
politik atau ilmu komunikasi – karena sesungguhnya Harold Lasswell adalah ilmuwan
politik-; “Who says what, to whom, to which channel and with what effect”. Inilah
dictum yang akan selalu diingat sebagai suatu model teori komunikasi yang linier, yang
ia temukan dari hasil pengamatan dan praktek yang ia lakukan sepanjang masa perang
dunia pertama dan kedua. Pada tahun 1926, Harold Lasswell menulis disertasinya yang
berjudul “Propaganda Technique in the World War” yang menyebutkan sejumlah
program propaganda yang bervariasi mulai dari konsep sebagai strategi komunikasi
31
Di salah satu jurnal Audentia yang dikelola oleh ISKI Jawa Barat pernah ada terjemahan artikel biografi
Schramm ini. Di situ pun disinggung bagaimana keterkaitan Schramm dengan proyek-proyek perang dunia
II, namun tak pernah ada respon apapun terhadap artikel tersebut dan khususnya yang menyangkut fakta
tersebut. Suatu karya lain yang dibuat oleh Everett M. Rogers, (A History of Communication Study: A
Biographical Approach, New York: Free Press, 1994) dalam bagian tentang Wilbur Schramm juga
menyinggung bagaimana Schramm punya hubungan dengan kelembagaan-kelembagaan dinas rahasia dan
pertahanan Amerika tersebut. Lihat bab 1”Wilbur Schramm and the Founding of the Communication
Study” h.1-32. Salah satu karya Schramm yang menjadi klasik dan masih dianggap mewakili paradigma
utama dalam ilmu komunikasi adalah karya kolektifnya bersama Fred S. Siebert dan Theodore Peterson
yaitu Four Theories of the Press, yang aslinya diterbitkan pada tahun 1952, dan diIndonesiakan sejak tahun
1986. Pandangan klasik terhadap tipologi system pers di dunia ini dengan sederhana dikategorikan para
penulisnya sebagai: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers tanggungjawab social, dan teori pers
Soviet Komunis. Schramm menulis bagian tentang pers Soviet Komunis. Berbagai kritik terhadap teori ini
sudah dikemukakan banyak ahli di Barat, tapi anehnya seringkali kritik ini tidak dijadikan tolak berpikir
para penulis yang mengutip masalah ini di Indonesia, padahal ada kecurigaan besar bahwa penulisan buku
ini merupakan bias Amerika dalam menilai kawan/lawannya dalam kondisi perang dingin. Selain itu, teori
Pers Komunis Soviet sudah harus dibuang jauh-jauh karena kondisi ini sejak akhir tahun 1980-an telah
banyak berubah. Karenanya penggunaan teori ini di masa mendatang lebih akan masuk sebagai Sejarah saja
ketimbang suatu Ilmu yang cukup relevan dalam memotret perkembangan yang jauh lebih kompleks hari
ini.
16
politik, psikologi audiens, dan manipulasi symbol yang diambil dari teknis propaganda
yang dilakukan oleh Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika.
Sebenarnya kata propaganda sendiri merupakan istilah yang netral. Kata yang
berasal dari bahasa Latin “to sow” yang secara etymology berarti: “menyebarluaskan atau
mengusulkan suatu ide” (to disseminate or propagate an idea). Namun dalam
perkembangannya kata ini berubah dan mengandung konotasi negatif yaitu pesan
propaganda dianggap tidak jujur, manipulatif, dan juga mencuci otak
32
. Pada
perkembangan awal ilmu komunikasi, propaganda menjadi topik yang paling penting
dibahas pada masa itu, namun anehnya setelah tahun 1940-an, analisis propaganda ini
menghilang dari khasanah ilmu-ilmu social di Amerika. Sebagai penggantinya muncullah
istilah seperti komunikasi massa (mass communication) atau penelitian komunikasi
(communication research), menggantikan istilah propaganda atau opini publik untuk
menjelaskan pekerjaan peneliti komunikasi. 33
Lasswell sendiri memberikan definisi atas propaganda sebagai “manajemen dari
tingkah laku kolektif dengan cara memanipulasi sejumlah symbol signifikan”. Untuknya
definisi ini tidak mengandung nilai baik atau buruk, dan penilaiannya sangat bergantung
pada sudut pandang orang yang menggunakannya. Sementara itu ahli lain (Petty &
Cacioppo 1981) menyebut propaganda sebagai usaha “untuk mengubah pandangan orang
lain sesuai yang diinginkan seseorang atau juga dengan merusak pandangan yang
bertentangan dengannya”. Dalam pengertian ilmu komunikasi, baik propaganda maupun
persuasi adalah kegiatan komunikasi yang memiliki tujuan tertentu (intentional
communication), dimana si sumber menghendaki ada perilaku yang berubah dari orang
lain untuk kepentingan si sumber, tapi belum tentu menguntungkan kepada orang yang
dipengaruhi tersebut. Jadi propaganda lebih menunjuk pada kegiatan komunikasi yang
satu arah, sementara persuasi lebih merupakan kegiatan komunikasi interpersonal (antar
individu), dan untuk itu mengandalkan adanya tatap muka berhadap-hadapan secara
langsung. Dengan demikian sebenarnya propaganda adalah persuasi yang dilakukan
secara massal. 34
32
Everett Rogers, A History of Communication Study: A Biographical Approach, New York: Free Press,
1994, bab “Harold Lasswell and Propaganda Analyis” hal.210-211
33
Rogers (1994:212) dengan mengutip Delia (1987)
34
Rogers, h.214
17
Lasswell juga terlibat dalam proyek perang dunia II dengan melakukan analisa isi
terhadap pesan-pesan propaganda yang dilakukan oleh pihak sekutu. Dengan analisa
tersebut Lasswell bermaksud hendak meningkatkan kemampuan dan metodologi
propaganda yang dilakukan pada masa itu. Dengan kata lain, Lasswell tak cuma
menganalisa propaganda tapi ia juga menciptakan propaganda lain, menghasilkan para
murid
yang
ahli
propaganda
untuk
membantu
pemerintah
mengembangkan propaganda dan program intelejen dari pemerintah.
Amerika
dalam
35
Sementara itu tokoh lain yang mengembangkan metode propaganda adalah
Walter Lippman, yang juga membuat fondasi awal teori propaganda dari bukunya yang
kemudian menjadi teks book untuk berbagai universitas beberapa decade kemudian,
Public Opinion (1922)
36
dan The Phantom Public (1925). Lippman menulis kedua
bukunya berdasarkan pengalamannya sebagai kepala penulis dan editor untuk leaflet bagi
kepentingan unit propaganda Amerika.
37
Lippman dalam bukunya mengambil contoh apa yang dilakukan oleh tentara
Perancis dalam perang melawan Inggris pada masa PD I, yaitu Perancis tiap minggu
mengumumkan penghitungannya atas jumlah korban yang jatuh di pihak Jerman, dan tiap
minggu jumlahnya bertambah dalam skala ratusan ribu; 300.000, 400.000, 500.000 dan
seterusnya. Tentu saja ini merupakan disinformasi yang dilakukan oleh Perancis dan
menurut Lippman, hal ini merupakan bagian dari propaganda.
Lippman mengemukakan tesisnya soal propaganda ini: “Bila sekelompok orang
dapat menahan khalayak untuk mendapatkan akses mereka terhadap berita, dan bisa
memunculkan berita tentang peristiwa yang mereka kehendaki, pastilah di situ ada
propaganda”. Lebih lanjut ia mengatakan: “Untuk menghasilkan suatu propaganda,
haruslah ada hambatan antara publik dengan peristiwa yang terjadi”
38
Rogers kemudian
mengomentari, bahwa semasa perang terjadi, pengelola propaganda dari pemerintah
menjadi pengatur lalulintas berita tentang peristiwa-peristiwa penting, dan untuk
Lippman propaganda kemudian dimengerti sebagai situasi dimana arus komunikasi
menjadi terbatas dan ada sekelompok orang yang berkeinginan untuk mendistorsi berita.
35
Rogers, h.224
Buku ini akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1996 oleh Yayasan Obor Indonesia,
dengan judul Opini Publik.
37
Lihat Simpson (1994) h.16-30.
38
Rogers, h.236
36
18
Buat Lippman komunikasi massa adalah sumber utama dari krisis dunia modern
dan komunikasi adalah instrumen yang diperlukan untuk mengelola apapun secara elitis.
Menurutnya lagi, ilmu-ilmu social menawarkan alat yang bisa membuat administrasi
struktur social macam apapun yang tidak stabil menjadi lebih rasional dan efektif.
Lippman percaya bahwa, propaganda adalah satu alat untuk melakukan mobilisasi massa
yang lebih murah daripada terjadinya kekerasan, penyogokan atau cara-cara kontrol
lainnya. Dalam artikel lainnya pada tahun 1933, Lasswell pun menambahkan
preposisinya, bahwa Pengelolaan masalah social dan politik yang baik
seringkali
tergantung pada koordinasi yang rapi antara penggunaan propaganda dan penggunaan
paksaan, penggunaan jalan kekerasan atau damai, iming-iming ekonomi, negosiasi
diplomatis dan teknik-teknik lainnya. 39
Perkembangan Ilmu Komunikasi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia
Salah satu indicator tentang perkembangan suatu ilmu, bisa dilihat dari banyaknya
institusi pendidikan yang menyelenggarkan program studi komunikasi dalam fakultas /
universitasnya. Dari situ kita akan bisa melihat adanya peningkatan jumlah institusi
pendidikan yang menyelenggarakan program ilmu komunikasi secara sangat signifikan.
Dalam perhitungan hingga tahun 1990 saja, tercatat ada 22 institusi pendidikan yang
menyelenggarakan program pendidikan ilmu komunikasi. Bandingkan dengan kondisi
tahun 1950-an dimana hanya 5 institusi saja yang menjadi penyelenggaranya.
40
Sebagian
besar perguruan tinggi penyelenggara pendidikan ilmu komunikasi adalah seperti daftar
di bawah ini:
Daftar Institusi Pendidikan yang memiliki pendidikan jurnalistik / komunikasi sampai
dengan tahun 1990
39
Simpson (1994) h.18
Lihat Ina Mariani Suparto, “Mass Communication and Journalism Education in Indonesia”, dalam
Crispin C. Maslog, Communication Education in Asia: Status and Trends in India, Indonesia, Malaysia,
Nepal, Philippines and Thailand, Press Foundation of Asia, 1990, hal. 37. Sebagai catatan, walaupun
Suparto mengatakan ada 22 institusi yang menyelenggarakan pendidikan jurnalistik dan komunikasi,
namun dalam kenyataannya, Suparto hanya menyuguhkan 12 institusi pendidikan yang ditampilkan datadatanya dalam aneka tabel disampaikan.
40
19
No
1
2
3
4
5
6
Nama Institusi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Prof. Dr. Moestopo
Universitas Hasanudin
Universitas Negeri Solo
Universitas Airlangga
Sekolah Tinggi Ilmu
Komunikasi Semarang
7
Institut Pertanian Bogor
8
Sekolah Tinggi Ilmu
Kewartawanan Jakarta
9
Universitas Diponegoro
10
Universitas Gajah Mada
11
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
12
Universitas Indonesia
Sumber: (Suparto 1990)
Kota
Medan
Jakarta
Ujung Pandang
(nama sebelum
Makassar)
Provinsi
Sumatera Utara
DKI Jakarta
Sulawesi
Selatan
Keterangan
Negeri
Swasta
Negeri
Solo
Surabaya
Semarang
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Tengah
Negeri
Negeri
Swasta
Bogor
Jakarta
Jawa Barat
DKI Jakarta
Negeri
Swasta
Semarang
Yogyakarta
Jakarta
Jawa Tengah
DIYogyakarta
DKI Jakarta
Negeri
Negeri
Swasta
Jakarta
DKI Jakarta
Negeri
Di Indonesia kemunculan jurusan komunikasi berawal dari perkembangan jurusan
jurnalistik atau publisistik yang tercatat dimulai sejak tahun 1953 ketika didirikannya
STP (Sekolah Tinggi Publisistik) yang kini bernama IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik), dan lima tahun kemudian Jurusan Publistik dibuka di Universitas Gadjah Mada
(kini bernama Jurusan Ilmu Komunikasi, di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik).
Sementara itu di Jakarta lewat keputusan presiden tahun 1959 didirikanlah Fakultas
Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, dimana ada jurusan Publisistik.
Angkatan pertama dari sekolah ini kebanyakan adalah para wartawan, lalu juga dari
ABRI (termasuk intel, Puspen dan Tentara Pelajar), departemen-departemen seperti
Penerangan dan Luar Negeri, Ikatan Pers Mahasiswa, percetakan dan penerbitan.41
Sementara itu di Bandung, pada tanggal 18 September 1960 didirikan Fakultas Publisistik
41
Ina Mariani Suparto, “Mass Communication and Journalism Education in Indonesia”, in Crispin C.
Maslog, Communication Education in Asia: Status and Trends in India, Indonesia, Malaysia, Nepal,
Philippines and Thailand, Press Foundation of Asia & Communication Assistance Foundation, the
Netherlands, 1990, h.37. Data tentang mahasiswa publisistik bisa dilihat pada tulisan R. Djajusman,
“Sepuluh Tahun Publisistik: Suatu Pengaliran Kesan dan Kenangan”, dalam Publisistik Masa Kini, Jakarta,
1969. Djajusman pada saat itu adalah bekas ketua jurusan Publisistik, dan bekas ketua Lembaga Research
Publisistik.Lihat juga pidato Sukarno pada pembukaan jurusan Publisistik, Fakultas Hukum dan Ilmu
Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, tanggal 12 Desember 1959 (Deppen 1959).
20
Universitas Padjadjaran, yang saat itu diketuai langsung oleh Rektor Unpad, Prof. Iwa
Kusumah Sumantri
42
. Di Jakarta pada tahun 1956 juga didirikan Akademi Penerangan
dan sementara itu di Ujung Pandang, pada tahun 1961 berdiri jurusan Publisistik, pada
Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Hasanuddin. 43
Untuk perkembangan terkini dari puluhan universitas yang menyelenggarakan
pendidikan ilmu komunikasi, silakan lihat pada daftar yang disusun pada appendix tulisan
ini.
Namun sayang sekali tak ada rujukan yang bisa menjelaskan bagaimana
persebaran ilmu komunikasi ini terjadi sehingga kemudian memunculkan berbagai
fakultas atau jurusan ilmu komunikasi di berbagai wilayah di Indonesia
44
. Juga tak bisa
dirujuk data resmi yang bisa menunjuk pada pertumbuhan jumlah lulusan jurusan
komunikasi ini dalam beberapa tahun terakhir ini. Tetapi lebih dari soal jumlah lulusan
komunikasi, yang lebih menarik adalah menelusuri bagaimana persebaran ilmu ini
terjadi, dan mengapa terjadi persebaran yang demikian cepat. Apa hal yang membuat ada
‘kebutuhan’ jurusan dan lulusan ilmu komunikasi dalam waktu yang dekat ini? Adakah
ini berkaitan dengan tumbuhnya industri media baik secara nasional ataupun global,
kemudian industri periklanan, dan industri kehumasan yang berkembang membutuhkan
banyak tenaga kerja untuk bidang kerja ini. Apakah ini merupakan perkembangan dari
ilusi soal masyarakat informasi yang pernah diramalkan pada tahun 1980an oleh para
tokoh seperti Alvin Toffler dan John Naisbitt misalnya?
Kalau saja secara spekulatif dibayangkan bahwa pergeseran pers politik menjadi
pers industri terjadi sejak pertengahan tahun 1980-an sebagaimana disinyalir oleh Daniel
Dhakidae
45
, maka kita bayangkan pula bahwa kebutuhan akan adanya lulusan-lulusan
ilmu komunikasi ini juga meningkat sejak pertengahan tahun 1980-an tersebut. Di sini
tak bisa pula diingkari pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan Orde Baru yang
42
Oemi Abdurrachman, “Lembaga Pendidikan Publisistik sebagai Fakultas Penuh di Universitas Negeri
Padjadjaran”, dalam Publisistik Masa Kini, Jakarta, 1969. Oemi saat itu menjabat sebagai Dekan Fakultas
Publisistik Unpad, dan buku ini merupakan peringatan 10 tahun berdirinya Jurusan Publisistik di UI.
43
Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998 (cet ke4), h.2. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1988.
44
Misalnya saja jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan telah belasan tahun
memiliki jurusan ini dan setidaknya ada dua orang guru besar dari Unhas yang dikenal secara nasional,
yaitu Prof. Abdul Muis dan Prof. Anwar Arifin.
45
Lihat tesisnya, The State, the Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of
Indonesian News Industry, Cornell University, 1991.
21
membuat industrialisasi bergema di berbagai sector kehidupan, termasuk sector industri
komunikasi ini.
Tentang Istilah Publisistik, Jurnalistik, dan Ilmu Komunikasi
Penamaan ‘publisistik’ pada awal dimulainya jurusan ini menunjukkan pengaruh
yang dibawa dari kosa kata Belanda, sebagai masyarakat bekas jajahan Belanda, untuk
menunjuk pada studi tentang kemampuan teknis untuk pencarian dan penulisan berita.
Kosa kata dalam bahasa Jerman pun menggunakan kata yang sama. Kemudian padaan
kata ‘publisistik’ adalah ‘jurnalistik’, yang lebih dikenal dalam kosa kata Inggris, dan
kemudian memang jurusan ini lebih banyak berkembang di universitas-universitas di
Amerika, karena di sana pulalah industri jurnalistik berkembang dengan pesat, dan
didukung pula oleh pendirikan berbagai sekolah jurnalistik, sejumlah guru besar sebagai
para pengajar, munculnya sejumlah jurnal, penghargaan jurnalistik serta prasarana lain
yang mendukung perkembangan jurnalistik.
Menurut Ina R. Mariani Suparto, istilah ‘jurnalistik’ menjadi lebih populer
kemudian, karena istilah ini banyak digunakan di Amerika Serikat, Negara yang punya
pengaruh besar terhadap pendidikan jurnalistik di Indonesia. “Hal ini bisa dijelaskan
dengan merujuk pada fakta bahwa pada decade yang sama, sejumlah wartawan dan dua
pengajar dari universitas dikirim ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studinya” 46.
Lebih lanjut dikatakan bahwa “Ketika mereka (wartawan dan staf pengajar
tersebut –IH) kembali, mereka mentransfer semua pengetahuannya yang mereka dapat di
Amerika, dan menggunakan buku-buku teks dari Amerika. Bertahun-tahun kemudian,
perkembangan pendidikan jurnalisme di Amerika, perlahan-lahan bergeser menuju ruang
lingkup yang lebih luas, yaitu ilmu komunikasi. Di Indonesia, trend ini juga terjadi pada
tahun 1980-an dimana hampir semua jurusan jurnalistik mengubah namanya menjadi
jurusan komunikasi massa” 47.
46
47
Suparto 1990, hal.38.
Ibid.
22
Perubahan penamaan jurusan publisistik menjadi ‘jurusan komunikasi’ pada
dekade 1980-an menunjuk pada evolusi lebih lanjut dari studi ini yang mengarah pada
perkembangan yang pararel di Amerika di mana sejak tahun 1950-60an studi ilmu
komunikasi mulai dianggap suatu disiplin ilmu sendiri, dengan hadirnya berbagai jurusan
ilmu komunikasi di universitas-universitas di Amerika, diangkatnya sejumlah guru besar
komunikasi, terbitnya puluhan buku teks komunikasi, diterbitkannya berbagai jurnal,
serta asosiasi sarjana komunikasi yang membuat ilmu ini dianggap suatu ilmu yang
mandiri.
Mengenai perubahan orientasi dan nama jurusan atau departemen ini, Djajusman
memberikan penjelasan bahwa Publisistik atau Journalism agak mengesankan lebih
sebagai craftsmanship (ilmu pertukangan) ketimbang sebagai disiplin ilmu, kemudian
dalam perkembangannya, disadari oleh para pengajar bahwa ilmu tersebut tidaklah
memadai. Sementara itu di Jerman ada perkembangan rumpun ilmu yang cukup luas
yang meliputi pengetahuan-pengetahuan umum soal kenegaraan seperti hukum, ekonomi
dll. “Pendeknya apa saja yang dapat disebarkan kepada masyarakat yaitu Publisistik
sebagai suatu Staatswissenchaft tetapi kemudian diperkhusus lagi menajdi ilmu yang
disebarkan kepada masyarakat hanya melalui mass media”. Sementara itu dalam
perkembangan di Amerika, “mengingat kepentingan dunia industrinya, di samping
journalism,
merekahkan
dan
meluncurkan
pandangan-pandangan
ini
menjadi
pengetahuan tentang proses komunikasi massa di mana studi intensitas pemasaran
ditingkatkan sedemikian rupa, sehingga massa sebagai pengunjah konsumsi terakhir
senantiasa dapat merupakan massa yang secara terus menerus dapat diaktivir oleh
kegiatan tadi.”
48
Yang menarik, pengubahan nama jurusan Komunikasi ini dilakukan lewat suatu
Keputusan Presiden, yaitu Keppres nomor 107/1982, dan Keppres itu menurut Anwar
Arifin, “membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia,
termasuk ilmu komunikasi”.
48
49
Sebelumnya beberapa kampus ada yang masih
Djajusman (1969) hal.12-13
Arifin (1998) hal.1. Di sini akan muncul pertanyaan kritis, mengapa urusan nama jurusan saja harus
diatur oleh Negara, dan atas dasar apa penyeragaman nama tersebut dilakukan. Tapi tentu saja dengan
mengenai karakter Negara Orde Baru di Indonesia ini, hal-hal yang seragam lebih merupakan pilihan
daripada hal-hal yang plural sifatnya.
49
23
menggunakan nama Jurusan Publisistik dan ada yang kemudian menggunakan nama
Jurusan Komunikasi Massa.
Di luar pendidikan formal di sejumlah kampus, beberapa kalangan juga
mendirikan sejumlah pendidikan non formal, misalnya apa yang disebut sebagai
Akademi Kewartawanan. Jurnalis generasi pertama Indonesia seperti Parada Harahap
misalnya mendirikan Akademi Jurnalistik di Jakarta pada tahun 1949, pada tahun 1963
misalnya juga didirikan Akademi Jurnalistik Dr. A. Rivai oleh para wartawan yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Sayang Akademi Dr. Rivai ini hanya
bertahan selama dua tahun, untuk kemudian dibubarkan, berkaitan dengan terjadinya
peristiwa G 30 S pada tahun 1965, dan menghasilkan penutupan Partai Komunis, serta
segala lembaga atau organisasi yang berafiliasi padanya.
50
Kalau saat ini kita mengeksplorasi lebih jauh, maka akan muncul sejumlah
pertanyaan dalam benak kita, berkaitannya dengan penggunaan sejumlah nama para
wartawan generasi awal sebagai nama perguruan tinggi atau akademi. Mengapa misalnya
kelompok PKI mengambil nama Dr. A. Rivai? Sementara itu Dr. Soetomo dipergunakan
sebagai nama sebuah universitas di Surabaya dan juga nama Lembaga Pers buatan
Dewan Pers di Jakarta? Mengapa pula nama lain seperti Tirto Adhisoeryo tak dipakai?
Kita bisa menyusuri sejarah atas nama-nama tersebut, dan kita akan melihat peran
dari mereka masing-masing dalam sejarah pers di Indonesia. Ahmat Adam, guru besar
ilmu sejarah di Universitas Malaya, dalam bukunya menyebutkan bahwa dua orang
pioneer jurnalis di kepulauan Nusantara ini, yaitu Abdul Rivai dan Tirto Adhisoerjo. 51
Perkembangan ilmu komunikasi ini tentu saja kembali menunjuk pada fakta yang
ditunjukkan oleh Christopher Simpson di depan, bahwa perkembangan ilmu komunikasi
pada masa setelah Perang Dunia disokong sepenuhnya oleh berbagai kelembagaan militer
50
Akademi wartawan Dr. A. Rivai ini didirikan serentak dengan Akademi Teknik Ir. Anwari, dan Akademi
Sastra Multatuli pada tahun 1963. Keterangan Amarzan Ismail Hamid, atau Amarzan Loebis, Jakarta, 25
September 2005. Amarzan adalah seorang penyair terbesar dalam era LEKRA (Lembaga Kebudayaan
Rakyat), yang juga pernah bekerja untuk Harian Rakyat, karena ia memiliki kedekatan khusus dengan
Njoto, pemimpin redaksi Harian Rakyat tersebut. Amarzan sempat pernah menjadi asisten dosen untuk
Akademi Sastra Multatuli tersebut. Keterangan lebih jauh tentang Amarzan lihat pada Keith Foulcher,
Social Commitment in Literature and Arts: The Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965,
Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1986.
51
Lihat Ahmat Adam, The Vernacular press and the Emergence of National Consciousness, Ithaca: Cornell
University, 1995. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Hasta Mitra dan
KITLV. Penulis (IH) diminta untuk menulis kata pengantar bagi edisi terjemahan Bahasa Indonesianya.
24
Amerika yang memberikan banyak dana untuk pengembangan studi dan penelitian
komunikasi dalam rangka Amerika mengenali karakter berbagai negara dan bangsa lain
di luar Amerika, namun hal ini tak lepas dari usaha Amerika untuk menghegemoni dunia,
dan menjaga posisi Amerika dalam konteks dunia. 52
Simpson menyebut bahwa dengan adanya program perang urat syarat yang
dilancarkan Amerika telah mendorong penelitian ilmu komunikasi menjadi suatu bidang
yang khas, memberikan pengaruh kuat kepada para pemimpin dan akan pula menentukan
dari paradigma komunikasi yang saling berebut pengaruh, yang mana yang akan lebih
diberi dana, mana yang akan lebih dikembangkan dan dirangsang untuk maju. Memang
negara tidak secara langsung menentukan apa yang bisa atau tidak bisa dikatakan oleh
seorang sarjana, tapi Negara melakukan pengaruh yang signifikan untuk menyeleksi
siapa yang otoritatif (memiliki otoritas) dalam bidang tersebut.
53
Stuart Hall, tokoh penting dalam perkembangan Cultural Studies di Inggris
misalnya pernah mengritik dengan tajam paradigma penelitian komunikasi di Amerika
yang ia anggap sangat bertumpu pada pemikiran behavioralistik, dan cenderung
mengabaikan adanya pluralitas yang ada dalam masyarakat.
54
Kritik atas perkembangan Ilmu Komunikasi di Amerika
Hall di situ menggambarkan adanya tiga fase dalam studi media yang terjadi
antara tahun 1920-an hingga tahun 1980-an. Hall mengajukan terobosan terutama pada
fase kedua (antara tahun 1940-1960an) menuju ke fase tiga (antara 1960-1980an). Pada
fase kedua, Hall menyebutkan tentang dominannya pengaruh pendekatan sosiologis ala
52
Isu penting yang harus disebut di sini adalah masalah National Security yang dirasakan oleh pemerintah
Amerika yang kemudian berimplikasi juga pada pengembangan ilmu social di Amerika. Ada perbedaan
pandangan di antara para ahli menyangkut soal ini, terutama berkaitan dengan munculnya studi-studi
kawasan yang gencar dibuat di Amerika. Hal yang sangat menarik ini dibahas dalam suatu edisi khusus
terbitan Bulletin of Concerned Asian Scholars vol.29 no.1, January-Maret 1997 yang bertemakan: “Asia,
Asian Studies and the National Security State: A Symposium”. Terima kasih kepada Hilmar Farid yang
menunjukkan edisi ini kepada penulis.
53
Simpson (1994) hal.3.
54
Stuart Hall “The Rediscovery of ‘Ideology’: The Return of the ‘Repressed’ in Media Studies”, dalam
M.B. Gurevitch, T. Curran & J. Woollacott, Culture, Society and Media, London: Methuen, 1982.
25
Amerika dengan pendekatan behavioralistiknya, sementara fase ketiga, digambarkan oleh
Hall tentang kemunculan paradigma-paradigma yang lebih kritis sifatnya.
55
Hall menggambarkan adanya pergeseran paradigma ini bukan dengan merujuk
pada adanya perbedaan metodologis ataupunya prosedur penelitian antara fase dua dan
tiga, tetapi Hall lebih merujuk perbedaan antara keduanya dengan adanya perbedaan
orientasi politik dan ideologi. Pendeknya, kategori ideologi adalah kunci atas pembedaan
ini. Dalam perpektif behavioralistik, ideologi ini ditekan untuk tidak muncul ke
permukaan, sementara dalam pendekatan kritis, ideologi dikembalikan sebagai kategori
sentral yang menghubungkan media dan masyarakat.
Pada fase pertama yang ditunjuk Hall (antara tahun1920-1940an) penelitian
media terutama merujuk pada karya-karya para peneliti dari Frankfurt School dan
sejumlah pemikir Inggris yang mengawali pemikiran Cultural Studies. Kedua kelompok
ini punya pandangan yang agak sama dalam melihat media, sebagai entitas yang
memiliki kekuatan demikian besar, dan memiliki kekuatan memaksa, yang seluruhnya
dianggap memiliki dampak yang negatif terhadap kebudayaan massa.
Pada fase kedua, pendekatan sosiologi behavioralistik dari Amerika sangatlah
dominan, dan pada gilirannya, ia mempertanyakan seluruh asumsi yang dibangun oleh
para pemikir fase pertama. Akhirnya, pada fase kedua ini, media dilihat sebagai suatu
yang tidak problematis di dalam masyarakat. Jika media telah menampilkan keragaman
isi seperti keragaman yang ada dalam masyarakat, maka media dianggap telah
menampilkan masyarakat di dalamnya. Tak ada yang ditekan atau dikesampingkan dalam
kondisi demikian. Peringatan yang diberikan oleh kelompok Frankfurt School tentang
kemungkinan potensi manipulatif dari media, diabaikan oleh kelompok ini, dan
menggantikannya
dengan
ide
‘pluralisme’,
bahkan
sejumlah
kelompok
telah
mengumumkan kondisi ‘berakhirnya ideologi’ (the end of ideology).
Sebagai kelanjutan pemikiran dari pemikiran behavioralistik ini, maka para
teoritisi dari fase kedua ini mengembangkan pemikiran soal ‘deviance’ (perilaku
menyimpang) yang mempersoalkan mereka-mereka yang berada di luar jalur konsensus
yang telah ditetapkan antara mereka yang ‘normal’ dan ‘yang diterima’. Namun
penjelasan atas apa yang deviant tidak menyentuh pada kelompok masyarakat berkulit
55
Turner (1996:184-5)
26
hitam, orang-orang miskin, ataupun para demonstrator. Mereka yang dianggap
menyimpang hanyalah merujuk pada kelompok yang berada di luar jalur konsensus yang
telah ditetapkan. Jadi mereka terbentuk karena adanya kesepakatan yang dibentuk dalam
masyarakat, bukan sebagai sesuatu yang menyejarah hadir dalam masyarakat. 56
“Bias Amerika” dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia dan ilmuwan
komunikasi di Asia Tenggara
Sekarang kita akan menyoroti secara khusus buku yang ditulis oleh Ronny
Adhikarya, seorang doctor komunikasi asal indonesia yang meraih Master dari Cornell
University dan PhD dari Stanford University. Mungkin Adhikarya, sampai saat ini baru
satu-satunya orang yang mencoba menelusuri persoalan transfer pengetahuan komunikasi
dari paradigma komunikasi dominan di Amerika dengan para sarjana komunikasi asal
negara-negara ASEAN.
Studinya ini ia terbitkan pada tahun 1983 57, dan inilah beberapa point kesimpulan
hasil penelitiannya:
-
Adhikarya menyebutkan walaupun ada peningkatan tajam dari kehadiran para
sarjana dari ASEAN ke universitas Amerika, namun para professor di Amerika
tidak cukup berusaha untuk mengaitkan apa yang mereka ajarkan untuk
menghubungkan dengan apa yang terjadi di negara dunia ketiga (h.2) dan para
professor tersebut memiliki pandangan yang lebih Amerika-etnosentris dan lebih
tertarik dengan fenomena yang berkembang dalam media komersial Amerika dan
isu-isu teknologi canggih dalam komunikasi
56
Turner (1996:186) Kritik lain misalnya lihat Rohan Samarajiwa, “The Murky beginnings of the
communication and development field: Voice of America and ‘the passing of traditional society’”, dalam
Neville Jayaweera & Sarath Amunugama (eds.) Rethinking Development Communication.
57
Knowledge Transfer and Usage in Communication Studies: the US-ASEAN case, Singapore: Asian Mass
Communication Research and Information Centre(AMIC), 1983.
27
-
ketergantungan para sarjana komunikasi ASEAN dengan Amerika karena lebih
banyak orang mendapatkan pendidikan komunikasi di Amerika dan juga karena
tidak tersedianya bahan yang cukup dari karya non-Amerika. Bahkan untuk isu
soal komunikasi pembangunan sekalipun, lebih banyak buku atau artikel jurnal
ditulis oleh sarjana asal Amerika ketimbang oleh sarjana dari negara dunia ketiga.
-
Tak adanya pendekatan kritis dalam pengajaran ilmu komunikasi 58– sebagaimana
berkembang misalnya di Amerika Latin – dikarenakan universitas di amerika
banyak yang tidak mengajarkan masalah itu, dan lebih menggunakan pendekatan
mainstream.
-
Adhikarya pun menyebut sejumlah universitas di Eropa yang dianggap bagus
dalam memberikan pemahaman atas pendekatan kritis dalam studi komunikasi:
Universitas Leicester di Inggris, Universtias Tampere di Finland, University of
Frankfurt di Jerman dan tidak ada sarjana ASEAN yang pernah sekolah di sana
-
59
Problem dengan knowledge transfer (note: Adhikarya menulis bahwa
“ketergantungan besar terhadap pengetahuan komunikasi Amerika di antara para
sarjana ASEAN bukanlah merupakan hal yang sistemik dibuat oleh para sarjana
Amerika tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, politik dan budaya
dari negara-negara ASEAN tersebut” (h.5) dari US-ASEAN ini adalah lebih
dominannya paradigma ‘empirical school’ dalam pengembangan ilmu di ASEAN
58
Lihat lagi pembagian yang dilakukan Rogers (1982) antara pendekatan empiris dan pendekatan kritis di
atas.
59
Di antara para sarjana ilmu komunikasi di Indonesia, setidaknya ada 2 nama yang dikenal sebagai
‘lulusan Jerman’ yaitu Astrid Soesanto dan Bachtiar Aly (kini keduanya anggota parlemen). Yang perlu
diberi catatan di sini adalah, ‘lulusan Jerman’ sekalipun bukanlah jaminan bahwa karya yang dihasilkannya
akrab dengan pemikiran kritis yang dimulai dari tradisi neo-Marxis. Astrid Soesanto yang pada tahun 1980an aktif menulis buku lebih menunjukkan pendekatan pada sosiologi yang agak konservatif, dan cenderung
lebih menjadi birokrat, sementara Bachtiar Aly yang menulis disertasi soal sejarah media massa di
Indonesia juga tidak cukup kenal dengan tradisi kritis tersebut. Disertasi Aly ini berjudul Geschichte und
Gegenwart der Kommunikationssysteme in Indonesien, eine Untersuchung zur publizistischen Entwicklung,
Peter Lang: Frankfurt am Main, 1984. Ruang waktu yang dibahas oleh Aly di sini adalah antara tahun
1596-1983. Tesis ini dikomentari oleh Daniel Dhakidae (1991:14) sebagai “It sets itself an impossible task
for a communication’s study with the impossible term of, 1596-1983… Despite, or rather because of, its
author’s statement that it takes a historical-descriptive metode, it is more a repository of loosely connected
events and figures seen in a highly electic way, a hodgepodge of variety of ways of seeing – journalistic,
political, cultural and legal – looking into a vast array of communications media such as newspapers,
radios, televisions, films, shadow plays, literature, music, all treated in one big stroke”
28
yang akan mengabdi pada kepentingan status quo negara ataupun untuk
kepentingan industri media komersial (h.7).
Karya Adhikarya walaupun punya sumbangan untuk memahami bagaimana
pengaruh ilmu komunikasi Amerika terhadap sarjana komunikasi di ASEAN (dan
Indonesia juga) tidak cukup menggambarkan bagaimana proses itu berjalan, mengapa
Amerika pada kesempatan pertama lebih dipilih ketimbang misalnya Eropa, padahal jika
lihat sejarahnya sejumlah negara di ASEAN lebih memiliki kedekatan historis dengan
Eropa, sebagai bekas jajahan Eropa (Inggris dan Belanda), ketimbang misalnya Amerika
(mungkin hanya Filipina yang bisa dimasukkan dalam kategori ini). Mengapa ini terjadi?
Mengapa perjumpaan dengan Amerika lebih dianggap bisa berkembang, ketimbang
dengan negara-negara Eropa Barat? Apakah sentimen anti kolonial menjadi salah satu
jawaban berpalingnya para sarjana ASEAN dari negara Eropa Barat ke Amerika?
Artinya oleh Adhikarya, keterkaitan sarjana ASEAN dengan universitas di
Amerika lebih dianggap sebagai suatu yang ‘taken for granted’ dan tak perlu
dipersoalkan lagi, sementara justru sebagaimana ditunjukkan pada bagian awal tulisan
ini, justru perkembangan studi komunikasi di Amerika ini bukan tanpa persoalan.
Juga ketika Adhikarya menyebut tentang dominasi pendekatan empiris dalam
pemahaman studi komunikasi oleh para sarjana ASEAN, tidak dielaborasi lebih jauh,
mengapa pendekatan lain di luar empiris jadi penting? Apakah pendekatan non-empiris
lalu bisa lebih menjelaskan fenonema yang banyak diabaikan oleh para professor
Amerika tadi? Atau bagaimana sesungguhnya posisi dua pendekatan besar ini untuk
mengerti konteks yang berkembang untuk negara-negara dunia ketiga seperti ASEAN
(atau juga bisa disebut sebagai negara industri baru, kalau istilah ‘negara dunia ketiga’
dianggap ketinggalan jaman)
Harusnya Adhikarya bisa mengelaborasi lebih jauh dimana pentingnya
pendekatan lain non-empiris dengan memperhatikan dimensi bahwa struktur masyarakat
yang ada di ASEAN (ataupun Indonesia) adalah struktur masyarakat yang berbeda, lalu
proses formasi social masyarakat paska kolonial di Indonesia juga berbeda, dan
perkembangan kapitalisme (yang tak terhindarkan) juga menghasilkan pola yang berbeda,
29
dan hasilnya suatu kapitalisme yang crony, yang predator, juga akan menambah penting
perlunya kajian lain yang lebih komprehensif daripada sekedar menyebut “perlunya
pendekatan lain di luar tradisi empiris”. 60
Khusus bicara tentang ilmuwan komunikasi di Indonesia, memang sebagian besar
mereka yang menempuh studi lanjut di luar negeri (paling tidak hingga paruh pertama
decade 1990-an) memilih Amerika Serikat sebagai tujuan utama studinya. Memang tak
ada data yang cukup memadai untuk menunjukkan hal ini, namun dari apa yang terlihat
dalam formasi para pengajar di jurusan ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia hingga
periode tersebut, dugaan tersebut terbukti, dengan pengecualian pada beberapa orang
saja.
Artinya lalu perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia telah menunjukkan
paradigma yang tunggal, dengan menonjolkan maksud pembangunan, modernisasi
sebagai paradigma utama, dimana lalu komunikasi menjadi salah satu bagian dari proses
rekayasa social masyarakat dalam program-program pembangunan pemerintah, tanpa ada
suara yang cukup keras memunculkan kritik atas pendekatan yang demikian.
Kosongnya tradisi Marxisme dalam ilmu Komunikasi di Indonesia
Hilangnya tradisi Marxisme dalam ilmu-ilmu social dan juga dalam ilmu
komunikasi bisa diduga sebagai salah satu akibat mandeknya perkembangan ilmu
komunikasi di Indonesia. Hilangnya tradisi Marxis ini tentu saja berkait erat dengan
regulasi yang dilakukan Negara untuk membatasi percakapan akademis menyangkut
pemikiran yang mengambil pokok pada filsuf Karl Marx. Regulasi dilakukan lewat Tap
60
Pada decade 80-an perkembangan ilmu social masih banyak dipengaruhi oleh dua paradigma besar yang
saling berhadap-hadapan, yaitu pendekatan modernis (developmentalis) dan pendekatan dependensi. Tanpa
harus terjebak pada dikotomi tajam kedua pendekatan ini, kajian-kajian mikro dalam komunikasi bisa juga
menunjukkan bahwa ada proses yang tak seimbang dari produksi dan distribusi produk industri komunikasi
di dunia ini. Kita akan ingat gagasan besar yang dikemukakan oleh Komisi MacBride dari UNESCO pada
tahun 1974 yang menulis risalah soal tata komunikasi dan informasi dunia baru. Tapi kemudian sarjana lain
seperti misalnya Ronald V Bettig, salah satu generasi baru dari tradisi kritis ilmuwan komunikasi di
Amerika menulis kajiannya soal industri copyright di dunia yang juga dengan jelas menunjukkan bahwa
ada struktur yang tak adil dalam dunia ini dan menempatkan negara dunia ketiga dalam posisi yang terus
kalah dengan negara industri maju. Lihat Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual
Property, Boulder: Westview Press, 1996.
30
MPRS no 25/1966 yang kemudian sempat kembali ramai ketika Presiden Abdurrachman
Wahid mengusulkan agar Tap tersebut cabut. Namun reaksi yang muncul justru adalah
pengerasan penolakan terhadap Tap tersebut.
Implikasi dari hilangnya tradisi Marxis tersebut memberikan kontribusi
kemandekan bagi ilmu social, sehingga paradigma dominan, yaitu paradigma
modernisasi atau developmentalis menguasai penuh cara berpikir sebagian besar para
pengajar di kampus-kampus jurusan komunikasi.
Setidaknya dari pengalaman penulis ketika studi di Universitas Indonesia, nama
Marx sesekali disebut dalam ruang kuliah, tapi lebih merupakan informasi singkat atau
cenderung misleading, atau disebut sebagai materi yang kira-kira harus dihindari untuk
dibahas lebih jauh. Padahal tradisi Marxis sendiri sudah makan ratusan tahun telah
banyak mengritik pendekatan awal Marx dan dalam derivasinya – terutama dari para
pemikir dari Eropa Barat, mulai dari Jerman, Inggris, Perancis atau Italia – sudah
memunculkan
berbagai
perdebatan
menarik
yang
punya
implikasi
terhadap
perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri. 61
Hilangnya tradisi Marxis ini pun secara luas bisa dilihat dari reaksi yang muncul
ketika Presiden Wahid melontarkan ide pencabutan Tap MPRS 25/1966 tersebut.
Sejumlah respon yang muncul kala itu adalah sebentuk pengertian tentang Marxisme
yang dibekukan atau direduksi menjadi dictum: Marxisme = Leninisme = Komunisme.
Pembekuan pengertian tersebut mengejutkan karena menunjukkan betapa tertinggalnya
wacana yang berkembang dalam ilmu-ilmu social di Indonesia dan saat ini tak ada
kelompok yang cukup serius mengkaji pengembangan ilmu ini.
Dalam buku acuan utama yang dipergunakan oleh para mahasiswa jurusan ilmu
komunikasi di beberapa tempat yaitu Theories of Human Communication karya Stephen
Littlejohn
61
62
, disebutkan beberapa paradigma teori yang punya pengaruh terhadap ilmu
Misalnya saja perdebatan penting soal industri kebudayaan yang dikemukakan oleh Horkheimer dan
Adorno mendapat kritik tajam oleh para sarjana lain, terutama yang berkait dengan persoalan imperialisme
budaya yang terjadi lewat industri kebudayaan. Topik ini menjadi penting karena merupakan salah satu isu
sentral ketika membahas soal komunikasi internasional ketika bicara perimbangan informasi yagn didapat
oleh negara dunia ketiga, yangkemudian memunculkan gerakan pada tahun 1974 yaitu New International
Information Order dan dibentuknya Komisi Sean MacBride dari UNESCO.
62
Buku ini telah direvisi hingga telah masuk pada edisi ke-7, terbit pada tahun 2002. Entah mengapa buku
ini selalu terus diikuti oleh para pengajar dan mahasiswa komunikasi. Buku ini memang memberikan suatu
pemetaan awal atas perkembangan studi ilmu komunikasi, mulai dari tradisi tahun 1950-an hingga awal
abad 21. Littlejohn memaparkan sejarah ilmu komunikasi, lalu ia membahasnya dalam topic-topik dalam
31
komunikasi dan di antaranya disinggung tentang tradisi neo Marxis dan juga tradisi
British Cultural Studies sebagai beberapa derivasi tradisi Marxis dalam perkembangan di
Eropa Barat 63.
Di Universitas Indonesia, saat penulis menempuh studi antara tahun 1987 hingga
tahun 1994, bagian ini disinggung sepintas selalu dalam satu dua perkuliahan tersebut,
namun tak pernah ada pembahasan yang cukup dalam atas masalah ini. Mungkin
sejumlah kondisi ini yang menjadi latar belakangnya: Pertama, karena pengajar tidak
memahami materi yang diajarkan dalam tradisi itu, Kedua, tidak tersedia suatu contoh
penelitian yang menggunakan pendekatan teori tersebut di Indonesia, Ketiga, tidak
tersedia literatur yang cukup memadai untuk membahas materi tersebut, atau Keempat,
phobi atas Marxisme memang kuat baik di antara staf pengajar maupun para
mahasiswanya.
64
Kondisi hilangnya tradisi Marxis dan juga pembahasan atas masalah kelas dalam
ilmu social di Indonesia, digambarkan oleh Hilmar Farid 65 sebagai:
Orde Baru memastikan bahwa konsep kelas menghilang dari diskursus
politik dan keilmuan dengan menyingkirkan semua intelektual yang mengusung
perspektif semacam itu dan mengganti semua istilah yang lazim mereka gunakan
dengan bermacam istilah baru yang dianggap lebih sesuai oleh rezim. Akibat
represi ini sangat dalam dan mungkin melebihi dari apa yang dibayangkan oleh
para penguasa sendiri. Penulis dan ilmuwan social sudah melakukan kompromi
sejak dalam pikiran, menghindari istilah dan topic sensitive, dan akhirnya
seringkali seperti kehilangan daya untuk menerangkan maksud mereka yang
sesungguhnya.
Farid lebih lanjut
66
mengatakan bahwa justru dalam situasi social yang semakin
kompleks sekarang ini,
teori komunikasi (mulai dari teori system, teori tanda dan bahasa, teori diskursus, teori produksi pesan,
teori proses dan penerimaan pesan, teori interaksionis simbolis, strukturasi, dan konvergensi, kemudian
teori realitas social dan budaya, teori pengalaman dan interpretasi, teori-teori kritis. Pada bagian lain buku
Littlejohn juga dibahas tema-tema yang kontekstual dari teori komunikasi tersebut.
63
Lihat Littlejohn (2002), edisi ke-7, bab 11 khusus tentang “Teori-teori kritis” yang di dalamnya
membahas tentang mashab Frankfurt dan para tokohnya, kemudian membahas para teoritisi poststrukturalis, yang membahas tentang Cultural Studies, Michel Foucault, dan terakhir membahas serba
sepintas tentang teori-teori feminis.
64
Lihat footnote no. 9 di depan dimana saya menyebut sejumlah tokoh pendekatan ekonomi politik
komunikasi muktahir. Nama-nama tersebut banyak terdengar asing di telinga para pengajar atau mahasiswa
komunikasi di Indonesia. Pembahasan atas sejumlah tokoh Marxist ini pun terutama mengandalkan
sumber-sumber kedua ataupun ketiga, dan pula berbahasa Indonesia.
65
“Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia”, dalam Hadiz & Dhakidae (2006) h.188.
32
…analisis kelas justru semakin relevan dan dapat membantu mencari jalan keluar
dari kebuntuan teoritik dan poltik yang dihadapi oleh gerakan demokrasi.
Langkah awal yang penting untuk mengembangkan analisis dan diskursus kelas
adalah membongkar bermacam mitos dan doktrin yang menyertainya.
Bagaimana pun juga tragedy yang terjadi pada bulan Oktober 1965 dan momenmomen panjang sesudahnya menorehkan tonggak penting dalam sejarah ilmu social di
Indonesia, dimana cendikiawan atau intelektual social pada masa itu terutama yang
dilabelkan sebagai kelompok kiri, dibabat habis dan dijebloskan dalam pengasingan. Tak
hanya itu, cendikiawan yang telah keluar dari tahanan tanpa pengadilan pun tak pernah
mendapat kesempatan untuk boleh tampil kembali sebagai pengajar, penulis dalam
bentuk apapun. Dua sumber yang bisa disebut di sini untuk menggambarkan tragisnya
dunia akademis di Indonesia dan phobia atas masalah kelas, atau kelompok kiri.
Yang pertama adalah pengakuan dari Prof. James Dananjaya, seorang antropolog
senior dari Universitas Indonesia yang pernah menulis soal sejarah perkembangan studi
antropologi di Indonesia. Dananjaya
67
menulis demikian:
Peristiwa G 30 S pada 1965 juga menggoncangkan jurusan Antropologi
Unstrat, 68 karena ada beberapa tenaga inti senior yang tersangkut sehingga
diamankan oleh Negara dan dikeluarkan dari universitas. (garis miring sesuai
aslinya –IH)
Sumber kedua yang bisa dirujuk di sini adalah karya Daniel Dhakidae
69
, yang
dalam salah satu bagian tulisannya membahas secara khusus tentang majalah ilmiah
Prisma, yang sempat mengalami kesulitan dengan pemerintah Orde Baru karena memuat
sejumlah tulisan dari intelektual kiri eks pulau Buru, dan juga sejumlah tokoh kiri lain
yang membahas masalah Indonesia
66
70
. Sejumlah penulis yang sempat mengalami
Farid (2006) h.196.
James Danandjaja, “Antropologi”, dalam Manasse Malo (ed.) Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial di
Indonesia Sampai Dekade ’80-an, Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia
dan Rajawali Pers, 1989, h.319.
68
Maksudnya adalah Universitas Sam Ratulangi di Manado, Sulawesi Utara.
69
Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
70
Lihat Dhakidae (2003) h.493-499.
67
33
masalah kala itu adalah Boejoeng Saleh (yang menggunakan nama samaran S.I.
Poeradisastra), lalu Hersri Setiawan Joebar Ajoeb.
Sementara itu tanpa harus menjadi fanatik dengan Marx, sejumlah negara dunia
ketiga lain seperti India dan negara-negara Amerika Latin lain memiliki sejumlah kritik
keras terhadap pendekatan ilmu komunikasi dominan ala Amerika ini. Tradisi sebagai
masyarakat post-kolonial dieksplorasi betul oleh para sarjananya untuk menaruh posisi
mereka dalam suatu dunia baru paska perang dunia II. Bahkan sejumlah sarjana India
misalnya menjadi sangat kritis terhadap perkembangan ilmu social di Barat dan
menyelenggarakan kelompok studi yang membahas secara serius dalam persoalan
penulisan sejarah dari dalam 71
Dengan memeriksa berbagai karya penelitian para dosen komunikasi di indonesia,
ataupun kajian yang muncul di berbagai jurnal antara tahun 1970-an hingga 1990-an
terlihat betapa kosongnya pendekatan Marxis ini dalam kajian ilmu komunikasi di
Indonesia.
72
Penutup
“Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus menciptakan
pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya
menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu
sama lain. Kita tidak bisa membayangkan suatu ketika pengetahuan tidak
lagi tergantung pada kekuasaan. Mustahil menyelenggarakan kekuasaan
tanpa pengetahuan, sebagaimana halnya mustahil pengetahuan tak
mengandung kekuasaan.” 73
71
Yang saya maksud di sini adalah kelompok Sub-Altern Studies yang dipelopori oleh Ranajit Guha,
Gayatri Spivak lalu Dipesh Chakravarty dan lain-lain. Tiap tahun kelompok ini menerbitkan buku khusus
kajian baru atas sejarah India dari versi ‘orang dalam’.
72
Saya memeriksa setidaknya beberapa jurnal bernama Publisistik (madjalah ilmiah bidang komunikasi
massa, diterbitkan oleh Lembaga Pulibsistik, Fakultas Ilmu Sosial UI) pada tahun 1970-an, lalu jurnal ISKI
(Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) dan juga jurnal Audentia (diterbitkan oleh ISKI Jawa Barat),
keduanya terbit pada decade 1990-an. Juga saya melihat 2 buku penerbitan ulang tahun jurusan Ilmu
Komunikasi, FIS UI pada tahun 1969 dan 1981.
73
Tulisan ini merupakan pendapat Michel Foucault dalam buku Power/Knowledge: Selected Interviews
and Other Writings 1972-1977, New York: Pantheon Books, 1980, sebagaimana dikutip oleh George Junus
Aditjondro, “Pengetahuan-pengetahuan Lokal yang Tertindas”, Jurnal Kalam no.1, 1994.
34
Hubungan resiprokal antara kuasa dan pengetahuan sebagaimana dilansir
Foucault tersebut menjelaskan banyak hal tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam
perkembangan ilmu Komunikasi di Indonesia. Ada kepentingan kekuasaan yang hendak
mencari legitimasi dari pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan sendiri memiliki
dimensi kekuasaan yang akan bisa dipakai kekuasaan manapun.
Bagaimana pun juga hubungan kuasa dan pengetahuan pada akhirnya membuat
perkembangan ilmu jadi tersendat, karena pada saat yang sama, pengetahuan tak diberi
ruang bebas untuk bergerak, apalagi ketika ada pandangan yang mengharamkan
munculnya paradigma yang mendapat inspirasi dari kelompok-kelompok Marxist.
Kondisi ini menghasilkan ketimpangan dalam perkembangan ilmu, dan menghasilkan
kebuntuan dalam melihat persoalan-persoalan yang makin kompleks.
Sifat refleksi dari ilmu menjadi jalan di tempat, dan pada akhirnya tak membuat
perkembangan yang menarik bagi para peneliti dan banyak mahasiswa lalu masuk dalam
studi komunikasi karena melihat hiruk pikuk dan riuh rendah dari kedekatan ilmu
komunikasi dengan dunia terapan, dunia industri yang memang memikat. Namun sikap
untuk skeptis, tidak menerima begitu saja perkembangan yang ada, dan secara kritis
memeriksa banyak argumentasi yang melatari suatu pandangan, jarang diotak-atik.
Sekali lagi tulisan ini barulah pengantar untuk memasuki wilayah baru dalam
mengenali genealogi perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Dan setidaknya
tulisan ini hendak mencoba mengungkit-ungkit legitimasi ilmu komunikasi yang
berkembang di Indonesia yang sering diterima tanpa melakukan kritik terhadap kontekskonteks yang mengikuti perkembangan pengetahuan itu sendiri. Masih perlu ada
penelitian lain yang lebih serius untuk memeriksa karya-karya para tokoh komunikasi
Indonesia awal dan mempertimbangkan dalam keterkaitan dengan kerangka yang telah
ditawarkan ini. Penelitian lain yang menarik untuk dikembangkan adalah apakah ada
pergeseran paradigma pendidikan ilmu komunikasi pada saat sekarang? Apapun
jawabannya akan menarik untuk ditelaah lebih lanjut. (*)
35
*) Ignatius Haryanto adalah peneliti media dan Direktur Eksekutif
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan di Jakarta. Lulus dari jurusan Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Sempat melanjutkan studi ke Southeast Asian Studies, National University
of Singapore, dan menyelesaikan magister filsafat di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara. Telah menulis 15 buku, dan puluhan tulisan di media
massa, serta beberapa jurnal ilmiah. Komentar untuk tulisan ini bisa
dikirim ke alamat email penulis: [email protected]
36
Appendix 1 : Daftar Universitas dan Jurusan Ilmu Komunikasi di Seluruh Indonesia
(diolah dari sumber Sri Indrayati (et. al), Panduan Memilih Perguruan Tinggi 2007,
Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2007
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Nama Universitas
Universitas Iskandarmuda
Banda Aceh (Unida)
Institut Agama Islam Negeri
Sumatera Utara *
Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Padangsidimpuan
(STAIN Padangsidimpuan) *
Universitas Darma Agung
(UDA) **
Universtas Islam Sumatera
Utara (UISU)
Universitas Medan Area
(UMA) **
Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara (UMSU) *
Universitas Sumatera Utara
Institut Agama Islam Negeri
Imam Bonjol ***
Universitas Eka Sakti Padang
Institut Agama Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin *
Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Curup (STAIN Curup)
Universitas Bengkulu
Universitas Muhammadiyah
Bengkulu *
Universitas Bina Darma (UBD)
Universitas Muhammadiyah
Palembang *
Institut Agama Islam Negeri
Raden Intan *
Universitas Lampung (Unila)
Universitas Muhammadiyah
Metro
Universitas Tulang Bawang
Universitas Terbuka
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah (UIN Syarif
Hidayatullah) *
Universitas Tirtayasa (Untirta)
Institut Agama Islam Negeri
Sunan Gunung Djati *
Institut Pertanian Bogor #
Lokasi Kota
Banda Aceh
Status
Swasta
Medan
Lokasi Propinsi
Nanggroe Aceh
Darussalam
Sumatera Utara
Tapanuli Selatan
Sumatera Utara
Negeri
Medan
Sumatera Utara
Swasta
Medan
Sumatera Utara
Swasta
Medan
Sumatera Utara
Swasta
Medan
Sumatera Utara
Swasta
Medan
Padang
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Negeri
Negeri
Padang
Telanaipura
Sumatera Barat
Jambi
Swasta
Negeri
Rejang Lebong
Bengkulu
Negeri
Bengkulu
Bengkulu
Bengkulu
Bengkulu
Negeri
Negeri
Palembang
Palembang
Sumatera Selatan
Sumatera Selatan
Swasta
Swasta
Bandar Lampung
Lampung
Negeri
Bandar Lampung
Lampung Tengah
Lampung
Lampung
Negeri
Swasta
Bandar Lampung
Ciputat, Tangerang
Ciputat, Tangerang
Lampung
Banten
Banten
Swasta
Negeri
Negeri
Cilegon, Serang
Bandung
Banten
Jawa Barat
Negeri
Negeri
Bogor
Jawa Barat
Negeri
Negeri
37
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Cirebon *
Sekolah Tinggi Penyuluhan
Pertanian Bogor (STTP Bogor)
##
Universitas Ibnu Khaldun
(UIKA) *
Universitas Islam 45 (Unisma)
Universitas Islam Bandung
(Unisba) ###
Universitas Islam Nusantara
(Uninus)
Universitas Langlangbuana
(Unla)
Universitas Padjajaran (Unpad)
+
Universitas Pasundan (Unpas)
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik +
Sekolah Tinggi Manajemen
Prasetiya Mulya ++
Universitas 17 Agustus 1945
(Untag)
Universitas Bina Nusantara
(Ubinus)
Universitas Budi Luhur
Unversitas Budi Mulia
Universitas Bung Karno
Universitas Ibnu Chaldun
Jakarta (UIC)
Universitas Indonesia +++
Universitas Indonusa Esa
Unggul (UIEU) *#
Universitas Islam Attahiriryah
(UIA) *
Universitas Islam Azzahra
(UNIA) *
Universitas Kristen Indonesia
(UKI)
Universitas Mercu Buana
(UMB)
Universitas Muhammadiyah
Prof. Dr. Hamka (Uhamka)
Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ)
Universitas Nasional (Unas)
Universitas Negeri Jakarta
(UNJ)
Universitas Paramadina (UPM)
Universitas Pembangunan
Cirebon
Jawa Barat
Negeri
Bogor
Jawa Barat
Bogor
Jawa Barat
Kedinasan dari
Departemen
Pertanian RI
Swasta
Bekasi
Bandung
Jawa Barat
Jawa Barat
Swasta
Swasta
Bandung
Jawa Barat
Swasta
Bandung
Jawa Barat
Swasta
Jatinangor,
Sumedang
Bandung
Lenteng Agung
Jawa Barat
Negeri
Jawa Barat
DKI Jakarta
Swasta
Swasta
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Utara
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Barat
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Selatan
Jakarta Pusat
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
DKI Jakarta
DKI Jakarta
DKI Jakarta
DKI Jakarta
Swasta
Swasta
Swasta
Swasta
Depok
Jakarta Barat
DKI Jakarta
DKI Jakarta
Negeri
Swasta
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Timur
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Barat
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
DKI Jakarta
DKI Jakarta
Swasta
Negeri
Jakarta Selatan
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
DKI Jakarta
Swasta
Swasta
38
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
Nasional Veteran Jakarta (UPN
Veteran Jakarta)
Universitas Prof Dr. Moestopo
(Beragama) UPDM
Universitas Sahid Jakarta
(Usahid) *##
Universitas Satya Negara
Indonesia (USNI)
Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Walisongo *
Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Jawa Tengah *
Universitas Diponegoro
(Undip)
Universitas Sebelas Maret
(UNS)
Universitas Slamet Riyadi
Universitas Veteran Bangun
Nusantara
Universitas Atma Jaya
Yogyakarta (UAJY)
Universitas Gadjah Mada
Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga *
Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY) ###
Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Yogyakarta –
UPN Veteran Yogyakarta
Institut Agama Islam Negeri
Sunan Ampel (IAIN Sunan
Ampel) *
Institut Agama Islam Nurul
Jadid (IAI Nurul Jadid) *
Institut Agama Islam Ibrahimy
(IAII) *
Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Jember *
Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya (Untag Surabaya)
Universitas Airlangga
Universitas Bhayangkara
Surabaya (Ubhara Surya)
Universitas Dr. Soetomo
(Unitomo)
Universitas Kristen Petra
Universitas Merdeka Malang
(Unmer Malang)
Universitas Merdeka Madiun
(Unmer Madiun)
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
Swasta
Jakarta Selatan
DKI Jakarta
Swasta
Semarang
Jawa Tengah
Negeri
Sukoharjo
Jawa Tengah
Negeri
Semarang
Jawa Tengah
Negeri
Solo
Jawa Tengah
Negeri
Solo
Sukoharjo
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Swasta
Swasta
Yogyakarta
DI Yogyakarta
Swasta
Yogyakarta
Yogyakarta
DI Yogyakarta
DI Yogyakarta
Negeri
Negeri
Yogyakarta
DI Yogyakarta
Swasta
Yogyakarta
DI Yogyakarta
Swasta
Surabaya
Jawa Timur
Negeri
Probolinggo
Jawa Timur
Negeri
Situbondo
Jawa Timur
Swasta
Jember
Jawa Timur
Negeri
Surabaya
Jawa Timur
Swasta
Surabaya
Surabaya
Jawa Timur
Jawa Timur
Negeri
Swasta
Surabaya
Jawa Timur
Swasta
Surabaya
Malang
Jawa Timur
Jawa Timur
Swasta
Swasta
Madiun
Jawa Timur
Swasta
39
80
Malang
Jawa Timur
Swasta
Ponorogo
Jawa Timur
Swasta
Sidoarjo
Jawa Timur
Swasta
Banjarmasin
Negeri
Makassar
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Selatan
Sulawesi Selatan
Makassar
Sulawesi Selatan
Negeri
87
Universitas Muhammadiyah
Malang (UMM)
Universitas Muhammadiyah
Ponorogo *###
Universitas Muhammadiyah
Sidoarjo
Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Antasari *
Universitas Islam Kalimantan
Moch. Arsjad Al-Banjari *
Institut Agama Islam Negeri
Alauddin (IAIN Alauddin) *
Universitas Hasanuddin
(Unhas) *##
Universitas Haluoleo (Unhalu)
Kendari
Negeri
88
89
90
Universitas Sam Ratulangi
Universitas Dwijendra
Universitas 45 Mataram
Manado
Denpasar
Mataram
Sulawesi
Tenggara
Sulawesi Utara
Bali
Nusa Tenggara
Barat
81
82
83
84
85
86
Banjarmasin
Swasta
Swasta
Negeri
Swasta
Swasta
CATATAN:
* = di bawah Program Studi Dakwah
** = Dalam Universitas ini ada tiga jurusan: Ilmu Jurnalistik, Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Hubungan Masyarakat.
*** = Program S1/reguler dan Program D2/reguler
# = jurusannya bernama “Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian”, sementara itu untuk Program
S2/reguler dalam Ilmu-ilmu Pertanian ada jurusan “Ilmu Penyuluhan Pembangunan” dan
“Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan”, sementara itu untuk Program S3/Reguler
ada program “Ilmu Penyuluhan Pembangunan”.
## = seluruh jurusan di sini ada program studi pertanian dengan D3/regular dalam bidang
penyuluhan; pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan.
### = ada jurusan Ilmu Komunikasi untuk S1/Reguler dan juga di Jurusan Ushuluddin juga ada
program Komunikasi dan Penyiaran Islam untuk S1/Reguler
+ = merupakan fakultas
++ = Di bawah Program Studi Bisnis S1 Reguler dengan jurusan “Marketing and
Communication”
+++ = di UI ada program S1/Reguler, lalu juga S1/Ekstensi untuk jurusan Ilmu Komunikasi, lalu
ada D3/Reguler jurusan Hubungan Masyarakat, kemudian ada Program Pascasarjana S2 dan S3
untuk Ilmu Komunikasi
*# = Ada S1/Reguler lalu juga ada program D3 Reguler
*## = Program S1 Reguler dan program Pascasarjana ada S2
*### = hanya program D3
40
Akhir Januari – awal Maret 2001
Revisi 2 : September 2005
Revisi 3 : Februari 2008
Igh/sejarahilmukomunikasi/mydoc/tulisanhari/02032001
Download