Kajian Dampak Kebisingan

advertisement
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Suara dan Kebisingan
2.1.1. Pengertian Suara atau Bunyi
Suara atau bunyi didefinisikan sebagai getaran yang ditransmisikan
melalui suatu medium elastis (misalnya udara) yang kemudian diterima dan
dipersepsi oleh telinga manusia. Suara atau bunyi juga merupakan bentuk
gelombang getaran suara yang merambat sebagai gelombang longitudinal dalam
medium padat, cair dan gas (Achmadi 1994). Bunyi mempunyai dua aspek yang
menimbulkan ketulian pada pendengaran manusia, yaitu frekuensi dan
intensitas. Adapun yang dimaksud frekuensi adalah banyaknya getaran perdetik
(cps = cycle per second atau hertz). Pendengaran manusia berada pada kisaran
bunyi antara 20-20.000 Hz, sedangkan kisaran frekuensi pembicaraan adalah
275-2.500 Hz (Peterson 1997 dalam Santosa 1992). Bunyi yang berada di bawah
20 Hz disebut infrasound, sedangkan bunyi yang berada diatas 20.000 Hz
disebut ultrasound. Intensitas adalah variasi tekanan dari suatu bunyi dengan
satuan yang dinyatakan dalam desibel (dB). Makin besar intensitas bunyi, makin
keras pula bunyi itu terdengar.
Terdapat 4 kondisi fisis yang dibutuhkan agar suara dapat terdengar oleh
manusia (Pearce 2002) antara lain:
1) Ada tidaknya medium elastis yang memiliki inersia sehingga memungkinkan
energi suara dapat merambat atau berpropagasi, dan medium tersebut
mungkin berbentuk gas (udara), cairan atau padat.
2) Getaran ini berlanjut dari satu titik ke titik yang lain di dalam ruang (virtual) di
sekitar sumber suara atau dapat disebutkan bahwa getaran akan mengalami
propagasi dengan kecepatan tertentu.
3) Getaran yang dirambatkan melalui medium elastis tersebut kemudian tiba
dan ditangkap oleh daun telinga (pina). Rambatan energi getaran ini di dalam
telinga manusia mengalami proses yang cukup rumit sampai manusia disebut
mendengar suara.
a. Rambatan pada telinga bagian luar: energi gangguan dalam medium
udara yang ditangkap oleh pina dirambatkan melalui liang telinga
menuju genderang telinga.
10
b. Rambatan pada telinga bagian tengah: pada bagian ini energi getaran
menyebabkan
genderang
telinga
bergetar
yang
selanjutnya
menggetarkan tulang-tulang telinga.
c. Rambatan pada telinga bagian dalam: tulang pelana yang melekat
pada oval window di cochlea merambatkan energi getaran ke cairan
yang berada di dalam cochlea tersebut. Di dalam cochlea terdapat
pula basilar membrane yang berfungsi sebagai penganalisa amplitudo
dan frekuensi dari energi getaran. Di bagian telinga dalam ini pula
energi getaran yang telah mengalami proses analisa amplitudo dan
getaran
tersebut
dirubah
menjadi
pulsa-pulsa
listrik
yang
mengandung semua informasi akustik dari sumber getar yang diambil
oleh syaraf pendengaran yang menghubungkan bagian cochlea
dengan otak. Tanggapan yang dilakukan oleh otak merupakan proses
mendengar yang dilakukan oleh manusia.
Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa semua bagian-bagian telinga
yang merambatkan energi getaran tersebut mempunyai kesesuaian impedansi
sedemikian sehingga energi getaran dari telinga bagian luar sampai ke telinga
bagian dalam tidak mengalami penyusutan energi.
Menurut Sumitra (1997), suara merupakan energi mekanika yang
fluktuasinya dalam bentuk suara yang masuk ke dalam alat pendengaran dari
mulai auditory canals, masuk ke dalam telinga tengah lewat assicles, kemudian
masuk melalui oval window membrane dan melewati cairan di telinga dalam
(cochlea), yang selanjutnya diterima oleh reseptor organon corti, kemudian
dengan system yang sangat komplek dari sel-sel rambut pada membrana
basilaris ditransfer dalam bentuk impuls-impuls saraf diteruskan ke otak. Telah
dijelaskan sebalumnya bahwa manusia memiliki toleransi terhadap suara yang
diterima.
Dinamika lingkungan hidup adalah salah satu faktor yang berpengaruh
pada tingkah laku manusia yang sering tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu,
dinamika lingkungan, secara khusus yang menghasilkan suara, berpotensi
menimbulkan kebisingan. Satu diantara sumber kebisingan adalah mesin-mesin
modern yang digunakan berbagai industri yang menghasilkan suara atau bunyi
pada saat beroperasi. Penggunaan mesin-mesin modern tersebut untuk
meningkatkan produktivitas, dan memenuhi kebutuhan pasar. Disamping
penggunaan mesin-mesin modern, kinerja para karyawan perlu diperhatikan.
11
2.1.2. Pengertian Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak diinginkan, mengganggu,
mempunyai sumber dan menjalar melalui media perantara (Hadjar 1971;
Lipscomb 1978). Lebih lanjut Canter seperti dikutip Mukono (1985) menyatakan
bising sebagai bunyi yang tidak diinginkan, sedangkan menurut Chanlet bising
adalah bunyi yang terjadi pada saat dan tempat atau keadaan yang tidak sesuai.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-15/MEN/1999,
kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari
alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bising
merupakan kumpulan nada dengan bermacam-macam intensitas dan suara
tersebut tidak dikehendaki sehingga terasa mengganggu ketentraman. Bising
dengan intensitas di atas 85 dB dapat menimbulkan ketulian. Hal ini telah
dibuktikan dari beberapa penelitian.
Pada upaya pencegahan dampak negatif kebisingan terkait dengan
kesehatan lingkungan, pendekatan epidemiologi dapat digunakan untuk
meminimalkan dampak negatif kebisingan. Epidemiologi kebisingan dilakukan
untuk menyajikan data tentang kebisingan menurut lokasi pada suatu daerah,
menurut perjalanan waktu, tingkat dan jenis kebisingan, daerah yang terkena
kebisingan, jenis sumber bising, keluhan masyarakat tentang kebisingan, dan
jumlah masyarakat yang menderita gangguan terkait dengan kebisingan.
Pendekatan serupa juga dapat dilakukan di perusahaan-perusahaan dan/atau
pabrik-pabrik yang potensial menimbulkan kebisingan. Guna lebih memahami
mekanisme pemajanan bising pada manusia, maka beberapa fakktor yang
berpengaruh pada suara yang tidak dikehendaki tersebut perlu diketahui. Faktorfaktor tersebut diantaranya sumber bising, tingkat bising, dan kemungkinan
keluhan yang muncul pada masyarakat dan/atau karyawan.
Sumber bising adalah lokasi dan/atau benda yang merupakan asal suara
yang tidak dikehendaki. Guna memaksimalkan pemantauan terhadap efektivitas
pengendalian kebisingan, maka sumber bising pada suatu daerah administrasi
tertentu hendaknya dicatat dan dilaporkan jumlahnya berdasarkan jenis sumber
bising tersebut. Kondisi tersebut menggambarkan jumlah sumber bising total di
wilayah tersebut dan jumlah dari masing-masing jenis sumber tersebut. Hal yang
sama juga perlu dilakukan pada berbagai perusahaan yang ada pada suatu
wilayah administratif (Departemen Kesehatan RI 1995). Sumber bising yang
12
dijadikan target pemantauan dapat dibagi menjadi sumber bising menurut lokasi
dan waktu. Mekanisme tersebut apabila diterapkan pada upaya pemantauan
kebisingan suatu perusahaan, maka lokasi bising difokuskan pada ruanganruangan yang di dalamnya terdapat mesin-mesin dan/atau peralatan lain yang
potensial menimbulkan kebisingan, sedangkan sumber bising berdasarkan waktu
adalah jam kerja yang digunakan untuk mengoperasikan peralatan yang
potensial menimbulkan kebisingan.
Disamping sumber bising, pemantauan kebisingan juga dilakukan pada
tingkat kebisingan, baik pada sumber bising dalam bentuk lokasi maupun pada
sumber bising dalam bentuk waktu. Pengukuran tingkat kebisingan dapat
dilakukan dengan pendekatan titik sampel pengamatan apabila luasan areal
yang akan dipantau relatif luas. Pendekatan titik pengamatan pada pengukuran
tingkat kebisingan relatif jarang digunakan bila dilakukan pada areal pabrik.
Sama halnya dengan sumber bising, pengukuran tingkat kebisingan juga dapat
dilakukan berdasarkan lokasi dan waktu. Pengukuran tingkat kebisingan pada
suatu perusahaan, khususnya pada areal operasional akan memberikan
gambaran upaya penangelolaan kebisingan terkait dengan program K3.
pemantauan efektifitas penanggelolaan kebisingan pada perusahaan tidak saja
pada sumber dan tingkat kebisingan tetapi juga terhadap kemungkinan keluhan
yang dialami oleh para karyawan selama bekerja pada perusahaan tersebut. Hal
ini perlu dilakukan untuk mengetahui besarnya komitmen perusahaan untuk
memberikan penghargaan sebagai hak yang harus diberikan pada para
karyawan.
Faktor yang berpengaruh pada tingkat kebisingan, selanjutnya akan
berpengaruh pada jenis kebisingan yang dihasilkan. Menurut Rahman (1990),
jenis-jenis kebisingan yang sering dijumpai menurut sifat suaranya antara lain:
1) Kebisingan kontinyu yaitu kebisingan dimana fluktuasi dari intensitasnya tidak
lebih dari 6 dB dan tidak terputus-putus. Kebisingan ini dibedakan menjadi
dua yaitu:
a)
Wide spectrum adalah kebisingan dengan spektrum frekuensi
yang luas, seperti suara kipas angin, suara mesin tenun.
b)
Narrow spectrum adalah kebisingan dengan spektrum sempit
seperti suara sirine, generator, gergaji sirkuler.
13
2) Kebisingan yang terputus-putus (intermittent) adalah kebisingan yang
berlangsung secara tidak terus menerus, misalnya: lalu lintas kendaraan
bermotor, kereta api, kapal terbang.
3) Kebisingan impulsif sesaat (impulsive noise) adalah kebisingan dengan
intensitas yang agak cepat berubah, misalnya: pukulan palu, tembakan
meriam, ledakan bom.
4) Kebisingan impulsif yang berulang, sebagai contoh adalah kebisingan yang
ditimbulkan oleh mesin tempa pada pemancangan tiang beton.
2.2.
Anatomi dan Fisiologi Indra Pendengaran Manusia
2.2.1. Anatomi Telinga
Telinga adalah salah satu organ vital manusia yang berfungsi sebagai
organ pendengaran. Berdasarkan fungsi dan sensitivitas organ pendengaran,
maka berbagai upaya secara langsung perlu dilakukan untuk meminimalkan
pengaruh suara dengan intensitas yang melebihi batas ambang. Organ
pendengaran tersebut dapat berfungsi dengan baik karena adanya saraf kranial
kedelapan atau nervus auditorius. Telinga, secara anatomi terbagi menjadi
beberapa bagian diantaranya telinga luar, telinga tengah, dan rongga telinga
dalam (Pearce 2002).
Telinga luar adalah bagian telinga yang terdiri atas aurikel atau pinna
yang berfungsi membantu mengumpulkan gelombang suara, dan meatus
auditorius externa yang menjorok kedalam menjauhi pinna dan berfungsi untuk
menghantarkan getaran suara menuju membrana timpani. Liang tersebut
memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm dan sepertiga bagian luarnya tersusun atas
tulang rawan, sementara dua pertiga bagiannya tersusun atas tulang. Bagian
tulang rawan ditutupi kulit dengan jaringan ikat bawah kulit lengkap dengan folikel
rambut, gl. sebacea dan gl. ceruminosa, sedangkan bagian tulang ditutupi oleh
kulit yang tipis dan langsung melekat pada periosteum (Pearce 2002).
Telinga tengah atau rongga timpani adalah bilik kecil yang mengandung
udara dan terletak di sebelah dalam membran timpani atau gendang telinga.
rongga udara tersebut berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan udara
dalam atmosfir sehingga cidera akibat tidak seimbangnya tekanan udara dapat
dihindari. Berdasarkan susunannya, rongga telinga tengah tersusun atas
rangkaian tulang-tulang pendengaran yang berfungsi untuk mengalirkan getaran
suara dari gendang telinga menuju rongga telinga dalam. Secara anatomis,
14
telinga tengah terdiri atas beberapa bagian diantaranya sebagai berikut
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1995):
1) Gendang telinga (membran tympanical) adalah bagian telinga tengah yang
terdiri atas pars tensa dan pars flacida. Pars tensa mempunyai tiga lapisan
yaitu lapisan epitel luar, lapisan jaringan ikat, dan lapisan epitel dalam,
sedangkan pars flacida hanya terdiri atas dua lapisan tanpa jaringan ikat.
2) Ruang telinga tengah (cavitas tympanical) adalah bagian telinga tengah yang
terletak antara telinga luar dan telinga dalam, dan merupakan bangunan
berbentuk kotak yang tipis memanjang dari atas ke bawah yang dilengkapi
dengan enam dinding. Di dalam ruang telinga tengah terdapat 3 buah tulang
pendengaran yaitu malleus, incus, dan stapes. Ketiga tulang pendengaran
tersebut saling berhubungan dengan persendian dan menghubungkan
gendang telinga dengan jendela lonjong pada telinga dalam.
3) Tuba auditiva.
4) Anrum mastoideum dan cellulae mastoidea.
Rongga telinga dalam adalah bagian telinga yang berada pada bagian os
petrosum tulang temporalis yang tersusun atas berbagai rongga yang
menyerupai saluran-saluran dalam tulang temporalis. Saluran-saluran membran
ini mengandung cairan dan ujung-ujung akhir saraf pendengaran atau
keseimbangan. Gambaran umum telinga dan bagian-bagiannya sebagaimana
disajikan pada Gambar 3.
15
Gambar 3.
Irisan telinga dan bagian-bagian yang berfungsi sebagai
alat pendengar (Pearce 2002)
2.2.2. Fisiologi Telinga
Telinga manusia dapat menangkap getaran suara antara 20-20.000 Hz
dengan nada rendah yang diterima oleh organon corti pada membrana basilaris
pada bagian basal kokhlea, sedangkan untuk nada tinggi pada apex kokhlea.
Intensitas suara yang dapat didengar manusia adalah dengan kisaran 0-140 dB
(batas ambang sakit).Telinga sebagai indra pendengaran berfungsi ketika suara
yang ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara,
bergerak melalui rongga telinga luar yang menyebabkan membrana timpani
bergetar. Getaran-getaran tersebut selanjutnya diteruskan menuju inkus dan
stapes melalui malleus yang terkait pada membran timpani. Getaran-getaran
tersebut selanjutnya juga timbul pada setiap tulang yang ada, sehingga tulangtulang tersebut memperbesar getaran, yang kemudian disalurkan melalui
fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran-getaran perilimfe dialihkan melalui
membran menuju endolimfe dalam saluran kokhlea, dan rangsangan tersebut
terus ada hingga mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ corti, untuk
selanjutnya diantarkan menuju otak oleh nervus auditorius (Pearce 2002).
16
Suara yang berhasil ditangkap oleh indra pendengaran, baik tidaknya
proses penerimaan, dan respon manusia terhadap suara tersebut sangat
bergantung pada keberadaan organ-organ yang ada pada telinga sebagai indra
pendengaran manusia. Secara fisiologis, telinga dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu bagian yang berfungsi sebagai alat penghantar (conducting apparatus) dan
bagian
yang
berfungsi
sebagai
alat
penerima
(perceiving
apparatus)
(Departemen Kesehatan RI 1995). Bagian telinga yang berfungsi sebagai alat
penghantar gelombang bunyi terdiri atas daun telinga, liang telinga luar gendang
telinga, tulang-tulang pendengaran, ruang telinga tengah, tuba auditiva, dan
jendela lonjong. Bagian-bagian tersebut sangat vital sehingga kerusakan pada
bagian-bagian tersebut dapat menyebabkan ketulian pada manusia. Disamping
adanya bagian telinga yang berfungsi sebagai penghantar gelombang suara,
telinga juga memiliki bagian yang berfungsi sebagai alat penerima gelombang
suara yang dikenal dengan perceiving apparatus.
Perceiving apparatus terdiri atas kokhlea dengan organ corti, ganglion
spirale,
n.
cochlearis.
Kerusakan
pada
bagian-bagian
tersebut
akan
mengakibatkan tuli indera saraf (sensori-neuraral hearing loss, SNHL) atau
perceptive hearing loss. Mekanisme kerja bagian ini adalah menyambaikan
gelombang yang diterima pada perilimfe pada scalamedia selanjutnya diteruskan
ke helicotrema, scala tympani dan menggerakkan foramen rotundum untuk
membuang getaran tersebut ke telinga tengah. Akibat gelombang pada peri dan
endolympha ini maka terjadi pula gelombang yang sama pada membrana basalis
yang mengakibatkan cel rambut pada organon corti menyapu membrana tectoria
sampai membengkok dan terjadi loncatan potensial listrik yang diteruskan
sebagai rangsangan saraf ke otak untuk diolah dan disadari (Departemen
Kesehatan RI 1995).
2.3.
Pemajanan Suara Bising di Lingkungan
Risiko yang mungkin akan muncul pada manusia adalah bentuk umpan
balik dari bahan dan/atau benda yang memiliki peluang mengubah sebagian
dan/atau keseluruhan sistem manusia. Bahan dan/atau benda tersebut
mengalami mekanisme yang disebut dengan pemajanan dari sumbernya ke
lingkungan. Pemajanan dapat diartikan sebagai perkiraan derajat atau jumlah
kontak yang menggambarkan hubungan interaksi antara manusia secara individu
maupun kelompok dengan komponen lingkungan yang mengandung health risk
17
(Dinas Kesehatan Propinsi Dati I Jawa Barat 1997). Oleh karena itu, pemajanan
menggambarkan jumlah komponen lingkungan yang memiliki potensi dampak
yang diterima atau kontak dengan tubuh dan selanjutnya memberikan dampak
yang bervariasi tergantung pada panjangnya jalur paparan dan kesiapan individu
atau lingkungan untuk menerimanya.
Pada dasarnya komponen lingkungan yang disebut memiliki potensi
dampak kesehatan adalah komponen lingkungan yang di dalamnya mengandung
berbagai agents penyakit yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok fisik,
mikroba maupun bahan kimia beracun. Oleh sebab itu, untuk menggambarkan
jumlah kontak dan potensi dampak perlu diperhatikan beberapa diantaranya jenis
agents dan perkiraan jumlah yang diperkirakan kontak dengan manusia (Dinas
Kesehatan Propinsi Dati I Jawa Barat 1997).
Jenis agents yang dimaksud adalah ada tidaknya komponen lingkungan
(yang merupakan wahana penyakit) yang hendak dikenakan pengukuran untuk
mengetahui besaran potensi dampak. Berdasarkan jenis agents terkait dengan
pemajanan terbagi menjadi tiga kelompok, diantaranya sebagai berikut:
1) Kelompok mikroba dalam bentuk virus, bakteri, parasit dan jamur. Masingmasing jenis perlu dipelajari lebih lanjut tentang potensi dampaknya dan
kinetiknya.
2) Kelompok bahan kimia. Klasifikasi bahan kimia relatif sangat luas. Oleh
karena itu, untuk memudahkan mempelajari jalur pemajanan masing-masing
bahan kimia perlu dilakukan upaya untuk membatasi jenis bahan kimia yang
akan diamati dengan menggunakan material safety data sheet MSDS) atau
desk reference bahan kimia yang bersangkutan.
3) Kelompok fisik. Beberapa jenis bahan yang termasuk kelompok ini
diantaranya radiasi, elektromagnetik, kebisingan dan bahan lainnya. Untuk
mempelajari lebih lanjut maka perlu dilakukan pengamatan tentang
karakterisitik dan kinetik dari bahan-bahan yang akan diamati.
Disamping jenis agents, perkiraan jumlah yang diperkirakan kontak dengan
manusia adalah komponen penting pada upaya pendugaan risiko yang
ditimbulkannya.
Pada upaya perkiraan jumlah yang diperkirakan kontak dengan manusia,
terlebih dahulu perlu dipahami konsep dan pengertian exposure dan dosis.
Kedua konsep tersebut sangat berbeda. Dosis adalah ukuran yang hanya bisa
dikenakan
pada
bahan-bahan
yang
terukur
dan
biasanya
digunakan
18
dilaboratorium, sedangkan di lapangan hanya merupakan perkiraan saja. Oleh
karena itu, pemajanan digunakan untuk memperkirakan jumlah kontak
(penggambaran interaksi) yang terbagi menjadi tiga kelompok (Dinas Kesehatan
Propinsi Dati I Jawa Barat 1997), diantaranya sebagai berikut:
1)
Perkiraan jumlah pemajanan eksternal secara umum adalah konsentrasi
bahan dalam media bahan tertentu, sebagai contoh kandungan CO2, SO2
atau Pb dalam udara, dan merkuri dalam bulu bebek. Tahap selanjutnya
adalah memperkirakan jumlah masyarakat exposed yang ada, dengan
memperhatikan ada tidaknya riwayat kontak dengan bahan-bahan
tersebut.
2)
Perkiraan jumlah pemajanan internal sederhana (intake). Perkiraan yang
dimaksud terkait dengan jumlah konsentrasi bahan dalam bahan/media
transmisi tertentu dan perkiraan pada jumlah kontak tersebut. Perkiraan
jumlah pemajanan internal sederhana dapat dilakukan dengan mudah
apabila kandungan bahan dalam media telah diketahui dengan pasti.
3)
Perkiraan uptake (jumlah yang diarbsorpsi oleh tubuh) adalah perkiraan
pemajanan melalui media udara dengan teknis yang lebih akurat dengan
rumus Uptake = (inhaled - exhaled) x volume x t (Dinas Kesehatan
Propinsi Dati I Jawa Barat 1997).
Peterson (1977) dalam Santosa (1992) menyatakan, bunyi memiliki
beberapa karakteristik diantaranya pitch (tinggi nada), timbre (warna bunyi) dan
loudness (kenyaringan). Berdasarkan karakteristik tersebut, parameter utama
yang penting dalam kaitannya dengan gangguan kebisingan adalah frekuensi
dan amplitudo. Frekuensi dinyatakan sebagai julah getaran tiap detik (hertz),
sedangkan aplitudo menggambarkan besarnya kuantitas/intensitas bunyi yang
dinyatakan dalam satuan desible (dB).
Pada umumnya kebisingan muncul sebagai bagian baru yang terbentuk
dari campuran sejumlah gelombang sederhana yang memiliki frekuensi
bervariasi (Suma’mur 1992). Kuantitas atau amplitudo bunyi selalu dinyatakan
dalam suatu tingkat (level). Peterson (1977) dalam Santosa (1992) menyatakan,
tingkatan (level) tersebut dapat ditentukan dengan melakukan pengukuran pada
tekanan bunyi (sound pressure meter) dan tingkatan bunyi (sound power level).
Adam et al. (1960) dalam Santosa (1992) menyatakan, sifat-sifat kebisingan
yang penting diantaranya adalah radiasi intensitas kebisingan, frekuensi,
kebisingan dan distribusinya dalam ruangan. Oleh karena itu, desain ruangan
19
dan upaya pengendalian kebisingan dengan menggunakan alat pelindung telinga
adalah upaya efektif untuk meminimalkan dampak kebisingan pada lingkungan
pabrik.
2.4.
Kebisingan dan Kesehatan Masyarakat
Kesehatan masyarakat didefinisikan oleh Winslow pada tahun 1920
diantaranya bahwa kesehatan masyarakat adalah ilmu dan kiat (art) untuk
mencegah penyakit, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan
kesehatan dan efisiensi masyarakat melalui usaha masyarakat yang terorganisir
untuk sanitasi lingkungan, pengendalian penyakit menular, pendidikan higiene
perseorangan, dan membangun mekanisme sosial sehingga setiap instan dapat
menikmati standar kehidupan yang cukup baik untuk memelihara kesehatan
manusia pada khususnya, dan kesehatan masyarakat pada umumnya pada
tempat hidup yang memadai.
Beberapa kalangan (orang) menyadari bahwa penyakit ditimbulkan oleh
berbagai faktor, antara lain adalah prilaku masyarakat itu sendiri. Norma dan
budaya, dijelaskan juga menentukan gaya hidup masyarakat akan menciptakan
keadaan lingkungan yang sesuai dengannya dan menimbulkan penyakit yang
sesuai dengan gaya hidupnya. Dengan demikian untuk mencapai standar
kesehatan tertentu, tidak cukup hanya pencegahan berbagai jenis penyakit
secara perorangan melainkan juga melihat dan mengelola masyarakat sebagai
satu kesatuan bersama lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, kesehatan erat
sekali hubungannya dengan suberdaya sosial ekonomi dan tidak hanya
bergantung pada fasilitas kesehatan semata. Berdasarkan pertimbangan
tersebut maka muncullah ilmu kesehatan masyarakat sebagai satu bidang yang
lebih luas lagi daripada ilmu kedokteran pencegahan (Slamet 2002).
Menurut Slamet (2002), istilah kesehatan itu sendiri di dalam Undangundang Nomor 9 Tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan, Bab I pasal 2
didefinisikan: yang dimaksud dengan kesehatan dalam undang-undang ini ialah
keadaan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental), dan sosial dan bukan
hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Istilah
kesehatan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan Bab I pasal 1, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari
badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara
sosial ekonomi (Slamet 2002).
20
Berdasarkan uraian tersebut, kesehatan para karyawan memiliki korelasi
positif terhadap kinerja selama melaksanakan kegiatan produksi. Hal ini
berdasarkan pertimbangan bahwa tenaga kerja merupakan salah satu aspek
yang perlu diperhatikan pada proses produksi. Gangguan kesehatan pada para
pekerja, secara langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh pada
proses produksi. Penurunan tingkat pendengaran merupakan salah satu
gangguan kesehatan yang potensial diserita para karyawan terkait dengan
kemungkinan
munculnya
suara
bising
selama
proses
produksi.
Upaya
perlindungan terhadap para karyawan telah dilakukan diantaranya dengan
dikeluarkannya kebijakan perlindungan kerja melalui program K3, termasuk
didalamnya mengatur perlindungan dari kebisingan. Pada akhirnya, komitmen
perusahaan pada upaya perlindungan dan/atau upaya minimalisasi dampak
kebisingan
akan
mempengaruhi
produkstivitas
perusahaan
selama
melaksanakan proses produksi.
2.4.1. Kebisingan dan Regulasi
Industri adalah salah satu sektor pembangunan yang dapat dijadikan
sebagai sumber pendapatan daerah. Kebutuhan masyarakat yang semakin
meningkat dan beragam, berpeluang untuk meningkatkan permintaan pasar
terhadap berbagai bentuk barang dan jasa. Berbagai upaya dilakukan oleh
perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan kualitas yang dikehendaki
oleh pasar. Seiring dengan berkembangnya teknologi, khususnya munculnya
mesin-mesin
modern,
memberikan
kemudahan
pada
perusahaan
untuk
mencapai target produksi yang telah ditetapkan.
Tercapainya terget produksi memberikan dampak positif dalam bentuk
peningkatan pendapatan perusahaan, terpenuhinya kebutuhan masyarakat, dan
secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan para karyawan. Namun
demikian, penggunaan mesin-mesin modern juga berpotensi menimbulkan
dampak negatif dalam bentuk pencemaran lingkungan. Salah satu pencemaran
lingkungan yang muncul dari digunakannya mesin-mesin modern pada proses
produksi adalah kebisingan. Kebisingan, apabila tidak dikendalikan dengan baik
akan berdampak negatif pada kesehatan lingkungan, khususnya kesehatan di
lingkungan kerja.
Satu dari beberapa dampak negatif yang muncul sebagai bentuk interaksi
antara kebisingan dan objek yang terkena dampak adalah penurunan tingkat
21
pendengaran. Penurunan tingkat pendengaran merupakan permasalahan serius
yang dialami oleh masyarakat, khususnya para karyawan pada suatu
perusahaan yang memiliki sumber kebisingan. Menurut Elefterion (2001),
dampak kebisingan secara umum pada tingkat pendengaran para karyawan
adalah permasalahan yang terus mendapat perhatian dari para ahli. Lebih lanjut
dijelaskan, dampak kebisingan pada penurunan tingkat pendengaran telah
dilakukan pada tahun 1996 dan 1999 di Cyprus yang menunjukkan adanya
pengaruh nyata antara kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran sebesar
27,8% (7,7% karyawan mengalami penurunan tingkat pendengaran yang sangat
serius) atau lebih dari 200 para karyawan pada 90 industri. Guna mengantisipasi
pengaruh yang lebih serius, maka penyusunan kebijakan atau regulasi yang
mengatur tingkat minimal frekuensi yang dapat ditoleransi pada berbagai industri
telah dilakukan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, ambang batas yang
diperbolehkan adalah 80/90 dBA selama 8 jam kerja.
Elefterion (2001) menyatakan, kebisingan merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran pada aktivitas industri,
namun masih sangat sedikit penentu kebijakan yang memprioritaskan kebisingan
sebagai permasalahan serius. Komitmen yang kuat antara pemberi kerja dan
para pekerja untuk secara bersama-sama meminimalkan dampak kebisingan
merupakan faktor penentu keberhasilan upaya pengendalian kebisingan pada
lingkungan kerja. Guna memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan
kerja, termasuk perlindungan para karyawan dari kebisingan, Pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan program keselamatan dan kesehatan kerja
yang dikenal dengan program K3. Program tersebut juga disertai dengan
beberapa regulasi untuk memberikan kepastian hukum pada implementasi
program K3.
Satu
perlindungan
diantara
upaya
pendengaran
pelaksanaan
untuk
program
meminimalkan
K3
dampak
adalah
program
negatif
akibat
kebisingan di tempat kerja bagi para karyawan. Berdasarkan program
perlindungan pendengaran, semua lokasi kerja yang bising harus dirancang dan
dibangun berdasarkan program perlindungan pendengaran (HCP) perusahaan.
Sasaran HCP diantaranya penataan yang efektif, pemantauan lingkungan
(survey kebisingan), pemantauan administrasi dan teknik rekayasa, perlindungan
telinga, pendidikan dan latihan, pengawasan dan supervisi, dan pemeriksaan
adiometri. Program perlindungan pendengaran ini harus di dukung oleh
22
manajemen puncak dari perusahaan dan program atau ketentuan tertulis yang
menetapkan tujuan kegiatan, tanggungjawab perusahaan dan beberapa
ketentuan lainnya. Perusahaan juga berkewajiban untuk mensosialisasikan
program tersebut pada para karyawan (Departemen Kesehatan RI 1995).
Keputusan perusahaan untuk menggunakan alat pelindung telinga
merupakan
keselamatan
satu
bentuk
kerja
kepedulian
karyawan
untuk
perusahaan
meminimalkan
pada
kesehatan
dampak
dan
kebisingan.
Berdasarkan tipenya, alat pelindung telinga terbagi atas tipe sumbat telinga (ear
plug) dan sungkup telinga (ear muff). Sumbat telinga adalah segumpal bahan
lembut yang dirancang tepat dengan bentuk liang telinga sehingga dapat
menyumbat telinga tanpa kebocoran, sedangkan sungkup telinga adalah
sepasang sungkup (cup) yang dihubungkan oleh suatu bando (headband)
sehingga dapat menutupi seluruh telinga dan mencegah masukknya bunyi
(bising) (Departemen Kesehatan RI 1995).
2.4.2. Kebisingan dan Risiko pada Pendengaran Manusia
Pada dasarnya, pengaruh bising pada jasmani para pekerja dapat dibagi
menjadi dua golongan (Soemanegara 1975) diantaranya sebagai berikut:
1)
Tidak mempengaruhi indera pendengaran tetapi memberikan pengaruh
berupa keluhan-keluhan samar-samar dan tidak jelas berwujud penyakit
(not ill defined);
2)
Berpengaruh nyata pada indera pendengaran, baik bersifat sementara
dan/atau permanen, yang selanjutnya terbagi menjadi beberapa bagian
diantaranya sebagai berikut:
a).
Acoustic trauma terjadi pada adanya proses luka (perlukaan)
insidentil yang merusak sebagian dan/atau seluruh alat-alat
pendengaran yang disebabkan oleh letupan senjata api, ledakanledakan atau suara dasyat lainnya;
b).
Occupational deafness yaitu hilangnya sebagian dan/atau seluruh
pendengaran seseorang yang bersifat permanen pada salah satu
satu dan/atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising atau
suara gaduh yang terus menerus di lingkungan kerja.
Medical Advisory Committee di Wisconsin, USA menentukan bahwa kehilangan
pendengaran yang disebabkan karena berada pada daerah bising dapat
23
dianggap permanen apabila seseorang masih kurang daya pendengarannya
setelah 6 bulan dipindahkan dari suasan bising ke suasana sepi (Santosa 1992).
Ganggguan pendengaran yang mungkin terjadi bergantung pada
beberapa faktor yang mempengaruhi kebisingan. Menurut Widyapura (1991),
tingkat kebisingan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sebagai berikut:
1)
Sumber bising. Kuat lemahnya bunyi tidak selalu menentukan apakah
bunyi tersebut merupakan bising atau tidak, tetapi hal ini lebih banyak
ditentukan oleh perasaan dan persepsi seseorang. Dengan demikian
bunyi yang sama dapat merupakan bising bagi seseorang tetapi belum
tentu merupakan bising bagi orang lain.
2)
Jarak dengan sumber bising. Semakin jauh sumber bunyi semakin kecil
tingkat kebisingannya.
3)
Suhu udara. Jika suhu udara tinggi maka kecepatan rambat bunyi yang
sampai ke telinga akan melambat sehingga bunyi terdengar lemah.
4)
Arah dan kecepatan angin. Bunyi akan diterima lebih lama dan lebih
keras oleh orang yang berada pada down stream (searah dengan angin)
dibandingkan dengan bunyi yang diterima oleh orang yang berada pada
arah yang berlawanan dengan arah mata angin, karena getaran bunyi
dari sumber bunyi dihambat oleh angin.
5)
Kelembaban udara. Semakin lembab udara, suara yang didengar
semakin jelas, tetapi pengaruhnya terhadap kebisingan di dalam ruangan
tidak besar.
6)
Penghalang/barier. Dinding-dinding dapat merupakan penghalang bagi
transmisi suara dalam ruangan. Dengan adanya penghalang maka
transmisi suara akan dihambat atau diserap sehingga suara yang
dihasilkan akan berkurang. Jarak antara penghalang dan sumber
menentukan besar kecilnya suara yang dihasilkan. Letak penghalang
yang baik adalah di dekat sumber dan yang paling buruk adalah di
tengah-tengah antara sumber dan pendengaran.
Pendapat serupa dikemukakan oleh Samudro dan Prasetyo (2001) menyatakan,
dalam pengendalian kebisingan diperlukan pemahaman terhadap karakteristik
sumber-sumber getaran dan kebisingan yang ditimbulkan.
Kebisingan suara masih harus dilakukan pembobotan lagi mengingat
telinga manusia tidak memberikan reaksi yang sama pada semua frekuensi.
Telinga manusia kurang memberikan reaksi pada frekuensi rendah dan frekuensi
24
tinggi dibandingkan dengan frekuensi suara yang biasa digunakan untuk
berbicara. Untuk itu perlu dilakukan pembobotan yaitu dengan slaka “A-weighted
sound level” dan hasilnya disebut sebagai desibel dB (A). Adapun faktor penentu
kualitas bunyi diantaranya adalah:
1)
Frekuensi, yang dinyatakan dalam satuan getaran perdetik atau disebut
Hertz yaitu jumlah dari gelombang-gelombang yang sampai di telinga
setiap detiknya;
2)
Intensitas, yaitu arus energi persatuan luas, biasanya dinyatakan dalam
suatu logaritma yang disebut desibel (dB) dengan memperbandingkannya
dengan kekuatan dasar sebesar 0,0002 dyne/cm² yaitu kekuatan dari bunyi
dengan frekuensi 1000 Hertz yang tepat dapat didengar oleh telinga
normal.
Pemajanan terhadap bising yang berlebihan dapat menimbulkan keadaan
stress, dan lebih lanjut lagi menyebabkan gangguan fisik dan psikologis.
Pemajanan yang terus menerus terhadap suara yang sangat bising dapat
merusak sel-sel rambut getar yang terletak di bagian cochlea (rumah siput)
telinga bagian dalam. Bagian yang berbentuk saluran melingkar dan berisi cairan
ini berfungsi untuk merubah enersi suara menjadi rangsangan saraf-saraf
pendengaran dan disalurkan ke bagian tertentu dari otak untuk kemudian
didengar dan diinterpretasikan.
Bising yang cukup keras, diatas sekitar 70 dB, dapat menyebabkan
kegelisahan (nervousness), kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit
lambung dan masalah peredaran darah (Doelle 1993). Selanjutnya dikatakannya
pula bahwa bising yang sangat keras, di atas 85 dB dapat menyebabkan
kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang pada umumnya, bila
berlebihan dan berkepanjangan dapat menimbulkan masalah seperti kelainan
jantung, tekanan darah tinggi, dan luka perut.
Grandjean (1988) menyatakan bahwa tekanan fisiologis yang ditimbulkan
oleh pengaruh bising dalam ruang kerja meliputi:
a.
Meningkatnya tekanan darah
b.
Mempercepat detak jantung
c.
Penyempitan pembuluh darah pada kulit
d.
Meningkatnya metabolisme
e.
Melambatnya fungsi organ pencerna makanan
f.
Ketegangan otot meningkat
25
Kebisingan mempunyai pengaruh pada kesehatan masyarakat pada
umumnya, dan kesehatan manusia secara khusus kesehatan para pekerja.
Suratmo (1988) menyatakan kebisingan mempunyai pengaruh terhadap
kesehatan masyarakat, kenyamanan hidup masyarakat, prilaku hewan ternak,
satwa liar dan/atau ekosistem alam.
Download