BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiologi Pendengaran Manusia Proses mendengar diawali dengan gelombang suara yang ditangkap oleh daun telinga yang kemudian melalui udara atau hantaran tulang mencapai membran tympani hingga bergetar dan diteruskan ke koklea. Selanjutnya getaran diteruskan melalui membran Reissner mendorong endolimfe yang menyebabkan membrane basilaris dan membrane tektoria bergerak relatif dan menimbulkan defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga membuka kanal ion dan terjadi pemasukan ion bermuatan listrik. Membran basilaris yang terletak di dekat telinga tengah lebih pendek dan kaku akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Getaran yang bernada tinggi pada perilymph scala vestibule akan melintasi membran vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Nada rendah akan menggetarkan bagian membran basilaris di daerah apex. Kemudian terjadi proses depolarisasi sel rambut yang melepas neurotransmitter ke dalam sinapsis dan akhirnya terjadi potensial aksi pada saraf auditorius dilanjutkan ke nucleus auditorius. Impuls dijalarkan melalui saraf otak yakni statoacustikus atau nervus ke VIII setelah proses sensori atau sensasi auditif kemudian menuju ke medulla oblongata lalu ke colliculus persepsi auditif, inferior otak tengah, thalamus hingga mencapai kortek pendengaran di lobus temporalis pada area 39-40 untuk diinterpretasikan (Astari, 2014). 8 9 2.2 Gangguan Pendengaran 2.2.1 Definisi Gangguan Pendengaran Idealnya, telinga manusia dalam hanya mampu menangkap suara dengan intensitas 85 dBA dan dengan frekuensi 20-20.000 Hz. Seseorang termasuk kategori pendengaran normal bila mampu mendengar suara dengan intensitas ≤25 dBA. Kebisingan sangat identik sebagai pemicu utama gangguan pendengaran. Perubahan pada tingkat pendengaran berakibat pada kesulitan melakukan aktivitas secara normal, terutama dalam hal memahami percakapan. Hal ini terjadi karena peningkatan ambang dengar dari batas nilai normal (0-25 dBA) pada salah satu telinga atau keduanya. Peningkatan ambang dengar dikategorikan ke dalam derajat ketulian yang dibagi menjadi tuli ringan, tuli sedang, tuli sedang berat, tuli berat dan tuli sangat berat (Buchari, 2007). Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Peningkatan Ambang Pendengaran Klasifikasi Normal Tuli ringan Tuli sedang Tuli sedang berat Tuli berat Tuli sangat berat Ambang Pendengaran 0-25 dBA 26-40 dBA 41-55 dBA 56-70 dBA 71-90 dBA Lebih dari 90 dBA 2.2.2 Jenis-jenis Gangguan Pendengaran Gangguan yang ditimbulkan akibat bising menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian yang bersifat progresif atau yang awalnya sementara dapat berubah secara bertahap menjadi tuli menetap bila pekerja sering terpajan bising. Menurut Hernomo (1998) dalam buku seri kebisingan karya Marji (2013) mengkategorikan tiga jenis utama gangguan pendengaran, antara lain gangguan pendengaran konduksi, sensorineural (perseptif) dan gangguan pendengaran campuran (Marji, 2013). 10 1. Conductive Hearing Loss Tipe gangguan pendengaran ini terjadi akibat lesi di bagian hantaran mulai dari meatus akustikus sampai ke basis stapes. Kondisi ini dikaitkan dengan permasalahan secara mekanikal pada telinga luar atau telinga tengah. Adapun penyebab kemungkinan masalah tersebut diantaranya cairan telinga yang masuk ke dalam metus akustikus eksternus sehingga secret ototitis eksterna, pus dan furuncel pecah. Adanya serumen atau benda asing yang mengeras atau menyumbat, munculnya polip dan granulasi, terjadi stenose (penyempitan) atresia, kerusakan membran timpani karena suara ledakan maupun benturan. Tuba eustachius yang tertutup akibat discharge karena telinga tengah menyesuaikan diri dengan tekanan atmosfir. Selain itu, tulang-tulang pendengaran mengalami dislokasi akibat ledakan atau pukulan di kepala yang menyebabkan terbatasnya pergerakan tulang-tulang tersebut. 2. Sensorineural Hearing Loss Gangguan pendengaran terjadi akibat lesi di bagian penerimaan mulai dari koklea sampai ke otak. Jenis ketulian ini terjadi karena disfungsi dari sistem telinga dalam yang ditandai dengan kerusakan pada cilia (rambut) organ korti koklea yang berfungsi menghantarkan suara ke sistem saraf. Penyebab tuli sensorineural diantaranya toksin dari obat amminoglikosida (streptomisin, kanamycin), salisilat, kininr, sitostatika serta dari penyakit ginjal dan hepar, penyakit sistemik berupa diabetes mellitus, hipoteriodiea, multiple sclerosis, penyakit infeksi berupa virus (mobile, rubella, parotitis, meningitis. Degenerasi-akustik neurinoma, penyakit darah seperti anemia, leukemia, hipertensi dan akustik neurinoma. 11 3. Mixed Hearing Loss Ketulian ini berupa gabungan dari conductive hearing loss dan sensorineural hearing loss yang ditandai dengan kondisi penderita yang mengalami permasalahan di bagian telinga luar atau tengah seperti infeksius dan rambut pengantar suara ke saraf yang bermasalah akibat pajanan bising yang berlebihan (Akbar, 2012). 2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Dengar Seseorang yang terpajan kebisingan tingkat tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama dapat memicu penurunan pendengaran atau ketulian. Banyak faktor risiko yang berpengaruh terhadap derajat atau tingkat keparahan penurunan pendengaran atau ketulian, antara lain intensitas kebisingan, lama pajanan bising, masa kerja, kepekaan individu yang meliputi umur, konsumsi obat-obatan ototoksik dan kepatuhan penggunaan alat pelindung telinga. 1. Intensitas Kebisingan Tingkat intensitas kebisingan yang melebihi nilai ambang batas akan menyebabkan gangguan pendengaran yang serius dan bersifat akumulatif sehingga bila terpapar kebisingan dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Telinga manusia mempunyai ambang dengar terendah 0,00002 N/m2 dan tertinggi adalah 200 N/m2. Untuk mempermudah penggunaannya maka digunakan skala logaritma yang disebut decibel (dB), sehingga peningkatan tiga decibel pada tingkat suara sudah merupakan penggandaan dari intensitas kebisingan. Sedangkan untuk memperhitungkan sensitifitas telinga manusia yang berbeda untuk frekuensi yang berbeda, maka kekuatan atau intensitas kebisingan diukur dalam satuan dBA (Work n.d. 2008). Di lingkungan industri, umumnya kebisingan dapat berasal dari 12 lebih satu sumber suara. Mengingat perhitungan intensitas bunyi dalam bentuk desibel logaritmik, maka bunyi secara kumulatif bukan penjumlahan aljabar. Efek kebisingan gabungan dapat dihitung dengan berpedoman pada tabel berikut ini (Pusat Pengembangan Keselamatan Kerja dan Hiperkes, 2006). Tabel 2.32 Intensitas Kebisingan Gabungan Perbedaan Intensitas Bunyi dalam Penambahan pada Intensitas yang dB Lebih Tinggi 0 atau 1 3 2 atau 3 2 4 sampai 9 1 10 atau lebih 0 Catatan: Jika 2 sumber bunyi 90 dan 93 dB maka kebisingan kumulatif adalah 93+2 = 95 dB. 2. Lama Pajanan Bising Untuk mengetahui tingkat bahaya suatu kebisingan selain memperhatikan faktor intensitas kebisingan, indikator lain yang juga berperan penting terhadap penentuan bahaya kebisingan adalah durasi pajanan bising. Time-weighted Average (TWA) dalam hal ini digunakan pada waktu kerja 8 jam. Dasar pertimbangan dari TWA ini untuk menilai efek kebisingan yang diterima sebanding dengan lama pekerja terpajan bising (Work n.d. 2008). Besaran pajanan bising yang diterima diukur dengan perhitungan L equivalent yaitu jumlah rata-rata pajanan bising yang diterima pekerja selama waktu kerja tertentu dalam satuan dBA. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus (Akbar, 2012): 13 Keterangan: T = Total waktu t1,2,n = waktu pada tingkat kebisingan tertentu L1,2,n = Tingkat kebisingan selama periode waktu tertentu Sedangkan untuk mengetahui persentase tingkat bising yang diterima pekerja selama bekerja dengan mengurangi daya reduksi alat pelindung telinga yakni NRR (Noise Reduction Rate) dapat merujuk pada data spec product dan menggunakan rumus (Akbar, 2012): Leq – NRR Kemudian besar dosis pajanan efektif dalam decibel ini dikonversikan ke dalam bentuk persentase (%) dengan menggunakan rumus berikut ini yang selanjutkan dikalikan 100% untuk melihat persentase dosis pajanan bising yang diterima pekerja (Akbar, 2012). D = 85 + 10 log(f) 3. Umur Pekerja Faktor umur menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran yang harus diperhatikan walau sebagai faktor perancu (confounding). Pertambahan usia memberi kontribusi terhadap perubahan fisiologi pendengaran. Hal ini dikarenakan membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk gendang telinga menjadi kurang fleksibel, kekakuan pada tulang-tulang kecil di telinga bagian tengah dan kerusakan sel-sel rambut pada telinga bagian dalam dan koklea. Penurunan persepsi terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan membedakan bunyi disebut Presbycusis. Kondisi ini diasumsikan dapat menyebabkan kenaikan 14 ambang dengar 0,5 dB setiap tahun yang dimulai dari usia 40 tahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa pertambahan usia menyebabkan terjadinya penurunan sensitivitas pendengaran (Akbar, 2012). 4. Tingkat Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Marji, 2013). Pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi pengetahuan pekerja dalam melakukan upaya pencegahan bahaya bising di tempat kerja (Akbar, 2012). 5. Masa Kerja Pekerja yang terpajan bising dengan masa kerja 5 tahun atau lebih berisiko mengalami penurunan pendengaran, namun tidak menutup kemungkinan hal ini juga dapat terjadi bila pekerja terpajan bising dengan intensitas sangat tinggi dengan waktu pajanan melebihi standar yang diperbolehkan per harinya (Primadona, 2012). 6. Penggunaan Obat-obatan Ototoksik Menurut Soetirto (1997) dalam penelitian Primadona (2012) menyatakan bahwa pengobatan yang bersifat racun pada telinga (ototoksik) dan dikonsumsi lebih dari 14 hari yang pada umumnya adalah jenis antibiotik aminoglikosid seperti neomisin, streptomisin, kanamisin, garamisin, kina, asetosal dan obat sejenis lainnya secara tidak langsung mempengaruhi penurunan pendengaran pada pekerja. Hal ini dikarenakan akumulasi zat kimia yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap komponen akustik dan melemahkan saraf pendengaran di organ korti (Primadona, 2012). 7. Riwayat Penyakit Telinga 15 Kerentanan individu terhadap penurunan fungsi pendengaran tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal seperti infeksi telinga yang diderita sebelum bekerja di area kerja yang bising. Penyakit telinga yang dimaksud adalah Otitis Media yaitu peradangan telinga bagian tengah akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemopilus influence, atau Staphylococcus aerus. Menurut Corwin (2000) dalam Akbar (2012), infeksi telinga terjadi karena adanya penimbunan sekresi yang tercemar dialirkan dari tuba eustakhius ke telinga tengah dapat menyebabkan infeksi telinga tengah dan bila terjadi berulang-ulang dapat membentuk jaringan parut di gendang telinga dan terjadi gangguan pendengaran secara permanen. Selain kasus di atas, suara berdenging yang dirasakan pekerja atau dikenal dengan istilah tinnitus dapat timbul karena penimbunan kotoran telinga, presbiakusis, kelebihan aspirin dan infeksi telinga. 8. Merokok Merokok dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya kejadian penurunan pendengaran karena efek nikotin dan karbonmonoksida yang dapat meningkatkan viskositas darah dan oksigenasi. Nikotin dapat merusak sel saraf karena bersifat ototoksik dan karbonmonoksida dapat menyebabkan iskemia yang dapat mengganggu suplai oksigen ke organ korti sehingga merusak peredaran darah pada koklea. Hal ini menunjukkan bahwa pajanan rokok dapat menjadi faktor etiologis luka pada koklea (Mohammadi, 2010). 9. Pemakaian Alat Pelindung Telinga (APT) Faktor lain yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi penurunan pendengaran akibat pajanan bising adalah pemakaian APT. Pekerja yang memakai APT di area 16 kerja yang bising dapat mengurangi pajanan yang diterima dan mencegah terjadinya penurunan pendengaran akibat bising dengan asumsi pekerja secara disiplin memakai APT dengan benar. Efektivitas suatu alat pelindung telinga dapat dilihat dari Noise Reduction Rate (NRR). Untuk earplug NRR produknya adalah 22 dBA. Sedangkan untuk earmuff, NRR produknya adalah 26 dBA. Berikut ini adalah perhitungan dengan rumus NRR (Akbar, 2012). NRR = 50% (NRR produk – 7) Adapun jenis-jenis alat pelindung telinga yang umumnya digunakan di perusahaan antara lain sebagai berikut. a. Sumbat telinga (earplugs/insert/device/aural insert protector) Cara penggunaan sumbat telinga ini yaitu dengan memasukkannya ke dalam liang telinga sampai tertutup rapat sehingga menghalangi suara mencapai membran timpani dan alat ini mampu mengurangi bising sampai dengan 30 dB. Berdasarkan cara pemakaiannya, earplugs dibedakan menjadi jenis sumbat telinga yang hanya menyumbat ke dalam telinga luar (semi insert type) dan sumbat telinga yang menutupi seluruh telinga luar (insert type). Sedangkan menurut cara penggunaannya, sumbat telinga memiliki beberapa tipe, diantaranya disposable (formable type) yaitu sumbat telinga sekali pakai yang terbuat dari kapas dan malam serta non-disposable ear plug yaitu sumbat telinga yang terbuat dari karet atau plastik yang dicetak untuk digunakan pada jangka waktu yang lama (Akbar 2012). b. Tutup telinga (earmuff/insert device/aural insert protector) 17 Jenis APT ini dapat menutupi seluruh telinga eksternal dan mampu meredam bising sebesar 40-50 dB. c. Helmet (enclosure) Jenis APT ini berbentuk penutup kepala secara keseluruhan sekaligus sebagai pelindung telinga. APT ini digunakan untuk mengurangi bising maksimal 35 dBA pada frekuensi 250 Hz dan 50 dBA pada frekuensi yang lebih tinggi (Pujiriani, 2008). Tabel 2.3 Pedoman dalam Pemilihan dan Pemakaian APT Tingkat Bising (dBA) Pemakaian APT Pemilihan APT <85 Tidak Wajib Bebas memilih 85-89 Optional Bebas memilih 90-94 Wajib Bebas memilih 95-99 Wajib Pilihan terbatas >100 Wajib Pilihan sangat terbatas Sumber: (Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2006) Gambar 2.1 Jenis-jenis Alat Pelindung Telinga Sumber: (AFE Group General Industry and Safety 2010) 2.4 Pemeriksaan Pendengaran Pemeriksaan pendengaran diklasifikasikan menjadi tes kualitatif, semikuantitatif dan kuantitatif. Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang masing-masing jenis tes pendengaran. 18 a. Tes Kualitatif Pemeriksaan secara kualitatif menggunakan tes penala (garpu tala) yang terdiri dari lima set dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz dan 2048 Hz. Berikut ini adalah jenis-jenis dari tes penala. Rinne yaitu jenis tes yang membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran tulang pada satu telinga. Hasil tes diberi tanda positif (+) dan negative (-). Weber yaitu jenis tes yang membandingkan hantaran telinga kanan dan telinga kiri. Hasil tes ditunjukkan dengan laterisasi. Schwabach yaitu jenis tes yang membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Tes Bing (Tes Oklusi) merupakan tes pendengaran untuk pemeriksaan tuli saraf. Tes Stenger, digunakan untuk pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-pura tuli). b. Tes Semikuantitatif Pemeriksaan yang bersifat semikuantitatif ini dinamakan tes berbisik yang digunakan untuk menentukan derajat ketulian secara kasar. Adapun syarat yang harus diperhatikan yaitu ruangan cukup tenang, tidak terjadi gema dengan panjang minimal 6 meter. c. Tes Kuantitatif Pengukuran daya pendengaran manusia secara kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan audiometer. Pengukuran dengan menggunakan teknik audiometer 19 mengacu pada nilai ambang pendengaran dan bila ada perbedaan ambang pendengaran > 10 dB, maka perbedaan ini disebut gap. Pada umumnya, program pemeliharaan pendengaran di perusahaan dilakukan dengan audiometer (audiometric screening). Tes audiometri harus dilakukan setiap setahun sekali yang memiliki tujuan sebagai berikut. - Mengetahui keadaan pendengaran calon pekerja. - Mengetahui secara dini gangguan pendengaran (hearing loss) yang diderita oleh pekerja dan untuk mencegah agar gangguan pendengaran tidak menjadi lebih parah. - Menunjukkan kepada pimpinan perusahaan dan pekerja tentang pentingnya penggunaan alat pelindung telinga. - Mengidentifikasi pekerja yang sensitif terhadap efek kebisingan. Tes audiometri idealnya berupa nada murni (pure tone), air conduction, pemeriksaan ambang pendengaran (hearing threshold examination) dan minimum tes ini dilakukan pada frekuensi-frekuensi 500, 1000, 2000, 3000, 4000 dan 6000 Hz. Adapun persyaratan yang diperlukan untuk pemeriksaan audiometri yaitu: - Tempat pemeriksaan harus sunyi (sound treated/sound proof room). Untuk memperoleh a pure-tone-air-conduction audiogram dengan menggunakan sebuah manual audiometer. - Audiometer yang digunakan terlebih dahulu harus dikalibrasi (sensitive audiometer) dan dipelihara dengan baik. 20 - Pemeriksaan harus dilakukan oleh seorang yang telah memperoleh sertifikat (certified operator) atau yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang teknik pemeriksaan audiometri. Sebelum melakukan tes audiometri, ada beberapa informasi yang harus dikumpulkan dari calon pasien yang akan diperiksa. Proses pengumpulan informasi ini disebut aural history, yakni meliputi riwayat kesehatan pendengaran individu dan keluarga, kondisi kebisingan yang memapari, kondisi pengendalian bising yang telah dilakukan dan data diri. Tujuannya adalah untuk membantu dalam tahap analisis hasil pemeriksaan (Akbar, 2012). Berikut ini adalah penjelasan mengenai derajat pendengaran atau ambang pendengaran manusia menurut ISO (Akbar 2012). - 0-25 dB = normal - 26-40 dB = tuli ringan - 41-60 dB = tuli sedang - 61-90 dB = tuli berat - >91 dB = tuli sangat berat Pengukuran ambang dengar menggunakan alat yang disebut dengan audiogram. Paparan kebisingan mempengaruhi kedua telinga dan biasanya menyebabkan penurunan pendengaran pada 3000, 4000 dan 6000 Hz, tetapi tidak berpengaruh pada frekuensi rendah. Pada formulir audiogram, untuk mendeteksi kejadian NIHL dapat dilihat dari hasil tes audiometri pada frekuensi 3000 sampai dengan 6000 Hz. Terjadinya penurunan pendengaran pada frekuensi 4000 Hz secara signifikan dan membentuk sudut lancip karena perbedaan daya dengar dengan 21 frekuensi lain, sehingga kondisi ini disebut dengan NIHL. Kategori normal pendengaran bila berada pada titik 20 dB. Sedangkan jika ambang dengar seseorang berada di antara 41 sampai dengan 60 dB, maka seseorang tersebut dapat dikatakan mengalami gangguan pendengaran sedang (Alberta, 2014). Gambar 2.4.2 Sensorineural Hearing Loss Audiogram Sumber: (United State Department of Labor 2002) 2.5 Bising 2.5.1 Definisi Bising Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa pengertian bising sangat subyektif yang tergantung pada persepsi individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Secara audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni dan berbagai frekuensi. Menurut World Health Organization (WHO), kebisingan umumnya didefinisikan sebagai suara tanpa kualitas music yang 22 menyenangkan atau sebagai suara yang tidak diinginkan. Sementara itu, Kepmenkes 1405 Tahun 2002 menyatakan bahwa kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu atau membahayakan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2002). Sedangkan Permenaker No. 13 Tahun 2011 mengartikan kebisingan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. 2.5.2 Jenis-jenis Kebisingan Menurut Suma’mur dalam buku Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES), kebisingan berdasarkan sifatnya dikategorikan menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut (Suma’mur, 2009). 1. Kebisingan menetap berkelanjutan (kontinyu) tanpa putus-putus dengan spektrum frekuensi luas (steady state, wide band noise), misalnya bising mesin, kipas angin dan dapur pijar. 2. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler dan katup gas. 3. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise), misalnya bising lalu lintas suara pesawat di bandara. 4. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti bising pukulan palu, tembakan meriam dan ledakan. 5. Kebisingan impulsif berulang, seperti bising mesin tempa di perusaan atau tempaan tiang pancang bangunan. 23 Dari beberapa jenis kebisingan tersebut, bising yang dianggap lebih sering menyebabkan kerusakan pada pendengaran adalah kebisingan yang bersifat kontinyu, terutama yang memiliki spektrum frekuensi luas dan intensitas yang tinggi. 2.5.3 Pengukuran Kebisingan 1. Sound Level Meter Sound Level Meter (SLM) adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan, yang terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit “attenuator” dan beberapa alat lainnya. Alat ini mengukur kebisingan antara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz yang dibuat berdasarkan American National Standard Institute (ANSI) tahun 1997 dan dilengkapi dengan alat pengukur tiga macam frekuensi yaitu A, B dan C. Jaringan frekuensi A mendekati frekuensi karakteristik respon telinga untuk suara rendah yaitu di bawah 55 dB. Jaringan frekuensi B dimaksudkan mendekati reaksi telinga dengan batas kisaran 55 sampai 85 dB. Sedangkan jaringan frekuensi C digunakan untuk reaksi telingan dengan batas di atas 85 dB. Terdapat tiga jenis sound level meter yaitu type 0 untuk standar laboratorium, type 1 untuk presisi dan type 2 untuk tujuan umum. 2. Noise Dosimeter Alat ini digunakan menilai tingkat pajanan pekerja pada tiap shiftnya karena umumnya pekerja tidak menetap pada satu shift, maka alat ini dapat mengkur shift 8, 10, 12 atau berapa pun lama jam kerja. Prinsip kerja noise dosimeter adalah untuk mengukur dan menyimpan level kebisingan selama waktu pajanan dan menghitung dosis kumulatif sebagai persentase dosis pada personal dengan 24 memperhatikan exchenge rate (misalnya 3, 4 dan 5), criterion level 8 jam (80,85 dan 90 dBA) dan jarak pengukuran kebisingan (80 sampai 130 dBA). Aplikasi dari dosimeter ini yaitu dengan dipasang pada sabuk pinggang dan sebuah microphone kecil dipasang dekat telinga. Skala logaritma digunakan untuk mengukur decibel dengan asumsi setiap penambahan 3 desibel berarti intensitas suara berlipat dua. Sebagai contoh, peningkatan dari 90 dB ke 93 dB berarti suaranya akan dua kali lebih keras daripada 90 dB. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan kecil pada desibel berarti terjadi peningkatan besar pada kerasnya suara dan berdampak pada semakin parahnya kerusakan telinga. 3. Octave Band Analyzer Alat ini merupakan tipe SLM yang secara khusus digunakan untuk mengukur level kebisingan yang ditemukan dalam frekuensi band, yaitu frekuensi menengah dari 31.5, 63, 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, 8000, 16000, 31500 Hz. Informasi frekuensi analyser yang diperoleh setelah dilakukan pengukuran akan digunakan dalam mengestimasi tingkat kebisingan dan menentukan kapan harus menggunakan alat proteksi bising. 2.5.4 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan Suatu hal yang penting untuk menetapkan suatu standar atau NAB pada level tertentu mengingat kebisingan dapat menimbulkan respon yang berbeda individu yang satu dengan yang lain. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di tempat kerja sebesar 85 dBA untuk pajanan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Berikut ini adalah tabel NAB pajanan kebisingan di tempat kerja. Berikut ini adalah tabel NAB pajanan kebisingan di tempat kerja yang 25 diizinkan berdasarkan Permenaker No. 13 Tahun 2011 (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2011). Tabel 2.5 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan Intensitas Kebisingan (dBA) 24 80 16 82 8 85 Jam 4 88 2 91 1 94 30 97 15 100 7,5 103 Menit 3,75 106 1,88 109 0,94 112 28,12 115 14,06 118 7,03 121 3,52 124 Detik 1,76 127 0,88 130 0,44 133 0,22 136 0,11 139 Catatan: Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB(A) walau sesaat. Satuan Waktu 2.6 Waktu Pajanan per Hari Pengaruh Kebisingan Pada Kesehatan Manusia 1. Gangguan Auditori Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising dapat sembuh setelah istirahat selama 1-2 jam. Bila terpapar bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama sekitar 10-15 tahun akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi total organ Corti. Terjadinya proses ini belum dapat dipastikan, tetapi diduga karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam kurun waktu yang lama sehingga mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan 26 degenartif pada struktur sel-sel rambut organ Corti. Gambaran kondisi ini umumnya ditandai dengan penurunan frekuensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas antara 3000-6000 Hz dan kerusakan Corti untuk reseptor bunyi yan terberat terjadi pada frekuensi 4000 Hz (4 K notch). Proses ini terbilang lambat dan tersembunyi sehingga tahap awal kerap tidak disadari oleh para pekerja. Kondisi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan audiometri. Bising dengan intensitas tinggi bila berlangsung dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan penurunan pendengaran hingga ke frekuensi percakapan yakni 500-2000 Hz. Pada kondisi ini pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaaran di sekitarnya (Bashiruddin, 2009). Ketulian bersifat progresif karena pekerja yang ditempatkan pada area kerja yang terpapar kebisingan secara terus-menerus, maka daya dengar yang awalnya mengalami penurunan sementara berangsur-angsur dapat mengalami kehilangan pendengaran secara menetap. a. Trauma Akustik Tipe gangguan pendengaran ini terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh kebisingan yang sangat ekstrem dan dalam jangka waktu pendek. Diagnosis trauma akustik terbilang mudah karenan penderita dapat mendeskripsikan langsung penyebab gangguan pendengaran yang dirasakan. Gangguan pendengaran ini bersifat akut dan dapat sembuh dengan cepat secara parsial atau sempurna (Roestam, 2004). b. Gangguan Pendengaran Sementara (Temporary Threshold Shift) Kebisingan dapat menyebabkan kenaikan nilai ambang pendengaran yang bersifat reversibel. Gangguan ini disebabkan oleh paparan bising dalam waktu singkat namun dengan intensitas sangat tinggi, misalnya karena mendengar 27 suara tembakan dan telinga terasa berdenging (tinnitus). Kenaikan ambang pendengaran sementara secara perlahan-lahan akan kembali seperti semula. Mula-mula kenaikan ini terjadi pada frekuensi 4000 Hz dan pada gambaran audiogram tampak acoustic notch, tetapi bila paparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama karena sensivitas dari masing-masing individu tidak sama. Pendengaran biasanya akan kembali normal bila beristirahat di luar lingkungan bising. c. Gangguan Pendengaran Permanen (Permanent Threshold Shift) Jenis kehilangan pendengaran permanen tidak dapat disembuhkan (irreversible). Kerusakan telinga ini disebabkan oleh pajanan bising dalam jangka waktu lama yang biasa terjadi pada frekuensi 4000 Hz. atau dapat juga disebabkan oleh pajanan bising tingkat tinggi dalam waktu singkat. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah rentang waktu 3,5 sampai 20 tahun sejak terjadi pemaparan. Penderita biasanya baru menyadari bahwa pendengarannya mengalami penurunan setelah dilakukan pemeriksaan audiogram. 2. Gangguan Non Auditori a. Gangguan Fisiologis Bising yang ditimbulkan di tempat kerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan pekerja salah satunya gangguan fisiologi berupa telinga berdengung (tinnitus), peningkatan tekanan darah, percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal, vasokonstriksi pembuluh darah, penurunan peristaltik usus 28 serta peningkatan ketegangan otot. Efek fisiologi disebabkan oleh peningkatan rangsangan saraf otonom, yang merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap keadaan bahaya secara spontan. b. Gangguan Psikologis Selain itu, kebisingan juga dapat menyebabkan gangguan psikologi berupa stress tambahan bila mendengar bunyi yang tidak diinginkan atau yang mengganggu sehingga dapat menimbulkan perasaan tidak menyenangkan, sulit tidur, emosional, gangguan komunikasi serta gangguan konsentrasi yang dapat berkontribusi membahayakan keselamatan pekerja dan dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan penyakit psikosomatik. c. Gangguan Komunikasi Gangguan pendengaran juga dapat mempengaruhi komunikasi karena pembicaraan dilakukan dengan cara berteriak sehingga dapat mengganggu proses kerja dan berpotensi menimbulkan kesalahan (Wibowo, 2012). 2.7 Noise Induced Hearing Loss (NIHL) NIHL merupakan salah satu penyakit akibat kerja tertinggi di sektor industri. Gejala muncul setelah bekerja pada area kerja dengan pajanan kebisingan yang cukup tinggi dalam beberapa tahun. Karakteristik NIHL menurut The American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM) antara lain sebagai berikut (Kirchner et al. 2012). a. NIHL termasuk dalam gangguan pendengaran sensorineural, yang mempengaruhi sel rambut koklea pada telinga bagian tengah. b. Gangguan pendengaran umumnya bersifat ireversibel dan hampir selalu bilateral 29 c. Kondisi ini jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing loss). Derajat ketulian berkisar antara 40 sampai dengan 75 dB d. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz. e. NIHL ini muncul secara bertahap dengan pemaparan yang sering dan berkelanjutan. Kejadian NIHL tidak bisa diketahui secara kasat mata karena penurunan pendengaran terjadi pada frekuensi tinggi yang biasanya terjadi pada frekuensi 4000 Hz, sehingga tidak telihat adanya gangguan dalam berkomunikasi. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekeuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat maksimal dalam waktu 10 sampai 15 tahun. Ahli Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) dalam melakukan penegakkan diagnosis NIHL terlebih dahulu harus melakukan anamnesis dengan teliti, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan audiologik.