IMPLIKASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TERHADAP HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT – DAERAH Oleh: Suryanto 3 Abstract The Implementation of decentralization policy in Indonesia has been entering the second stage of governance reform, i.e. since the enactment of Law No. 32 and 33 of 2004. Undoubtedly, the whole stakeholders expect that the execution of regional autonomy would be much more rewarding in this period compared to the previous one (1999-2004). Highlight on two dimensions of decentralization are particularly required, those are, administrative decentralization and fiscal decentralization. This paper attempts to describe the implication of decentralization policy on the financial relationship between central and local government. The following crucial points are going to be discussed in this paper: future framework of decentralization and new structure of local government, stages of the implementation of regional autonomy, reform regarding central-local government relation, and internal-external implication of financial relationship between central and local government. Keywords: desentralisasi, otonomi daerah, hubungan keuangan Pusat-Daerah. Pendahuluan Salah satu wacana menarik yang menjadi perhatian publik setelah terbitnya UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 adalah perihal penataan hubungan Pusat–Daerah. Dikatakan demikian karena implikasi implementasi undang-undang sebelum lahirnya UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, yakni UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, menunjukkan maraknya konflik hubungan Pusat–Daerah dalam konteks penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Problematika konflik Pusat–Daerah tersebut mencakup berbagai aspek penyelenggaraan kepemerintahan daerah, baik kewenangan, kelembagaan, keuangan, sumber daya aparatur, dan sebagainya. Fenomena disharmoni hubungan Pusat–Daerah semakin bertambah parah sebagai akibat ketidakmampuan aparatur pemerintah daerah menafsirkan substansi undang-undang dan peraturan pelaksana undang-undang yang berlaku. Kendatipun demikian kita sepakat 3 Suryanto, S.Sos.,M.Si, adalah Peneliti Muda pada Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah – Lembaga Administrasi Negara (PKKOD-LAN) Jakarta, dan Dosen STIA-LAN Jakarta untuk Mata Kuliah Pemerintahan Daerah dan Perbandingan Pemerintahan Daerah. 23 bahwa mis-intepretasi tersebut bukanlah kesalahan aparatur pemerintah daerah semata, tetapi juga karena ketidakjelasan hal-hal yang diatur (substansi) peraturan perundangan itu sendiri. Menurut Bagir Banan, salah satu sumber dari kesemrawutan pengaturan otonomi daerah adalah peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Pasal 18 UUD 1945 (sebelum diamandemen tahun 2000) yang terlalu umum serta fungsi Penjelasan UUD 1945 tidak jelas dasar hukumnya, karena biasanya UUD satu negara tidak mencantumkan penjelasan. Karenanya, amendemen UUD 1945 merupakan langkah yang ”revolusioner dan dianggap perlu dalam menata sistem pemerintahan Indonesia di era globalisasi dan modernisasi pranata-pranata politik di Indonesia. Substansi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 telah disesuaikan dengan hasil amandemen UUD 1945, baik amandemen I, II, III dan IV, sehingga diharapkan dapat mengarahkan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah secara lebih baik. Desentralisasi dan Struktur Pemerintahan Masa Depan Perubahan-perubahan yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai negara menyangkut bentuk reformasi hubungan Pusat–Daerah mulai dari yang bersifat sentralisasi, regionalisasi, provinsionalisasi dan lokalisasi. Meskipun demikian pada dasarnya kecenderungan perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara adalah mengarah pada desentralisasi dan otonomi daerah (Shah, 1998 dalam Alisyahbana, 1999: 2). Implikasi dan kecenderungan perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang terjadi pada akhir-akhir ini adalah adanya pergeseran dari yeng sentralistik ke pemerintahan yang desentralistik, dan pada saat yang bersamaan juga dipengaruhi oleh globalisasi. Peran Pemerintah Pusat dalam hal ini akan berubah dari sistem yang bersifat managerial authority ke peran kepemimpinan (leadership role) dalam pemerintahan yang terdiri dari berbagai pemerintahan daeah. Budaya pemerintahan juga akan mengalami perubahan dengan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut (Shah, 1998 dalam Alisyahbana, 1999: 2): a. Dari pola pemerintahan birokratik ke model pemerintahan yang melibatkan partisipasi masyarakat (partisipatif); b. Dari command and control kepada pola baru yang mementingkan akuntabilitas terhadap hasil-hasil yang dicapai; c. Dari yang secara internal dituntut menjadi kompetitif dan inovatif; d. Dari yang bersifat tertutup menjadi terbuka; e. Dari yang tidak mentolerir resiko menjadi terbuka terhadap resiko keberhasilan / kegagalan. Struktur pemerintahan masa mendatang yang sesuai visi abad ke-21 jika dibandingkan dengan yang ada dan berlaku saat ini adalah sebagaimana tabel berikut: 24 Tabel 1 Perbandingan Struktur Pemerintahan Abad ke-20 dan abad ke-21 Pemerintahan Abad ke-20 Unitary Centralized Center manages Bureaucratic Command and control Internally depends Closed and show Intolerance of risk Sumber: Shah, 1998: 2 Pemerintahan Abad ke-21 Federal/cofederal (decentralized) Globalized and localized Center leads Participatory Responsive and accountable Competitive Open and quick Freedom to fail/succeed Pilihan atas reformasi pengaturan hubungan Pusat–Daerah dapat sangat bervariasi dan tergantung pada karakteristik pemerintahan daerah di berbagai negara. Bentuk desentralisasi sangat dipengaruhi oleh: ukuran negara, tingkat perbedaan antar daerah (etnis, geografis, budaya), ideologi politik, tradisi-tradisi daerah serta pengaruh asing. Bentuk-bentuk sistem desentralisasi antara lain: a. Sistem Federal, dimana negara-negara bagian memiliki hak dan kekuasaan yang dijamin oleh konstitusi, seperti di Amerika Serikat. b. Sistem Kesatuan, dengan otonomi terbatas maupun dengan otonomi luas dimana pemerintah daerah merupakan hasil ciptaan pemerintah pusat. c. Sistem Paralel, yaitu sistem pemerintahan daerah yang paralel dengan administrasi dekonsentrasi. d. Sistem Integrasi antara Dekonsentrasi dan Desentralisasi, dimana Kepala Daerah juga merupakan wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut sistem-sistem desentralisasi di atas dijumpai kerancuan wewenang di antara tingkat pemerintahan. Sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan kebijakan dan kebutuhan masingmasing negara. Reformasi hubungan Pusat–Daerah yang ahir-akhir ini menjadi kecenderungan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah desentralisasi politik, administrasi dan fiskal dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. 1. Desentralisasi Politik Desentralisasi politik (demokrasi) berasumsi bahwa sistem-sistem yang secara politik terdesentralisasi melembagakan proporsi fungsi politik yang besar pada level daerah dari pada pusat. Pada konteks ini, Crook dan Sverrisson (2001: 2) mencatat bahwa desentralisasi sesungguhnya mengenai distribusi kekuasaan dan resources baik pada level yang berbeda dan teritorial dari suatu negara dan di antara kepentingan yang berbeda dalam hubungan mereka kepada elit yang berkuasa. Manor (1997: 8) juga berpendapat bahwa desentralisasi politik disusun sebagai alat untuk mempertajam demokrasi atau membuka sistem yang tertutup, untuk memberikan ruang gerak bagi kelompok-kelompok kepentingan guna mengorganisasi, berkompetisi dan membuka diri mereka sendiri. 25 Desentralisasi politik atau demokrasi adalah penting untuk membawa pemerintah dekat dengan masyarakat. Bank Dunia (1995: 2) menyatakan bahwa desentralisasi sumbersumber dan kewajiban tanpa reformasi di bidang politik/demokrasi akan tidak lengkap atau tidak kondusif bagi hasil-hasil sosial yang efektif. Karakteristik desentralisasi politik atau demokrasi bervariasi. Litvack dkk (2000: 6, dikutip dari Schneider 2003:13) menegaskan bahwa cara yang paling baik untuk menyimpulkan fungsi-fungsi politik mungkin dalam hal representasi yang merefer kepada cara institusi politik memetakan kepentingan rakyat yang bervariasi ke dalam keputusan politik. Sama halnya Berger (1983, dikutip dari Schneider, 2003) menyatakan bahwa untuk mempunyai dampak kepada kebijakan, kepentingan dalam masyarakat harus dimobilisasi, diorganisir dan diartikulasikan melalui institusi yang membawa kepentingan tersebut kepada negara. Secara lebih luas, Manor (1997: 8) mempertahankan bahwa bentuk-bentuk dari desentralisasi politik termasuk kasus-kasus dimana orang-orang di dalam insitusi atau otoritas tertentu dipilih melalui pemilu. Hal ini termasuk juga kesepakatan yang tidak konvesional dimana LSM (Lembaga swadaya masyarakat) secara resmi diberikan kekuasan menentukan kekuasan di DPR. Manor (1997: 8) menegaskan bahwa desentralisasi politik juga meliputi usaha dimana masyarakat pada level lokal mempunyai beberapa pengaruh melalui pembentukan komite-komite lokal yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat. Bukti-bukti empirik dari praktek desentralisasi politik menunjukan bahwa proses demokrasi dapat memicu responsitas yang lebih besar dari pemerintah pusat untuk medesentralisasikan kekuasaan dengan berbagai macam cara (Scott, 1996: 12, dikutip dari Asia Research Centre, 2001). Sebagai contoh, Padila (1993, diambil dari Asia Research Centre, 2001) menyatakan bahwa kode pemerintahan Philipina tahun 1992, menyediakan devolusi yang luas dari kekuasaan yang tidak akan mungkin dibawah regime Marcos. Pemerintah Hongkong mengadopsi piagam rakyat di Inggris (Cooray, 1993, dikutip dari Asia Research Centre, 2001). Sebagai bentuk desentralisasi politik, Singapura meningkatkan prosedur dan mekanisme komplain. Di Indonesia, tema keterbukaan dan pembuatan kotak pos 5000 (fasilitas tanpa nama dimana rakyat dapat memasukan komplain terhadap aparat pemerintah pada aspek administrasi) pada tahun 1990 dapat di pandang sebagai akibat tekanan yang sama. 2. Desentralisasi Administrasi Rondinelli dan Nellis (1986: 5, dikutip dari UNDP, 1999: 9) mendefinisikan desentralisasi administratif sebagai “transfer tanggung jawab untuk merencanakan, memanajemen, menaikan dan mengalokasikan sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agennya, kepada subordinat atau pemerintah daerah, badan semi otonom, perusahaan, otoritas regional atau fungstional, NGO atau organisasi-organisasi volunter. Menurut Litvack dan Seddon, desentralisasi administratif mencari dan mendistribusikan kembali, tanggung jawab dan urusan finansial untuk penyediaan pelayanan publik diantara tingkatan pemerintahan yang berbeda. 26 Tipe desentralisasi pertama ini banyak diungkapkan dalam berbagai literatur desentralisasi. Asumsi dasarnya adalah sistem yang secara administratif terdesentralisasi menempatkan proporsi otonomi administrasi yang lebih luas di tingkat daerah dibandingkan di tingkat pusat (Schneider, 2003: 11). Schneider terlebih mencatat bahwa jumlah desentralisasi administratif bervariasi secara berlanjut di lintas sistem dari sistem yang secara lebih kecil memberikan otonomi kepada mereka yang lebih memberikan kewenangan yang besar secara administartif. 3. Desentralisasi Fiskal Desentralsasi fiskal adalah transfer kewenangan di area tanggug jawab finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri, ekspansi pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otorisasi unutk meminjam dan memobilisasi sumbersumber pemerintah daerah melalui jaminan peminjaman (Litvac dan Seddon, 1998: 3). Pada dasarnya desentralsasi fiskal, menurut Smoke (2001: 4) berawal dari sebuah teori fiscal federal yang menyatakan bahwa desentralisasi memfokuskan pada memaksimalkan kesejahteraan sosial yang digambarkan dari kombinasi stabilitas ekonomi, alokasi yang efisien dan distribusi yang sama (Musgrave, 1958: 132. dikutip dari Schneider 2003: 10). Selanjutnya, desentralisasi fiskal yang memfokuskan pada stabilitas ekonomi berasumsi bahwa organisasi non sentralistik mengeluarkan dan menyerap proporsi resources yang lebih besar yang akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi (Schneider, 2003: 10). Argumen alokasi ini menyatakan bahwa kesejahteraan dapat diraih melalui desentralisasi sebab masyarakat yang berbeda daerah yurisdiksi dapat memilih pelayanan publik dan pajak yang sangat cocok dengan preferensi mereka (Smoke, 2001: 6). Secara umum framework desentralisasi fiskal dibangun atas dasar asumsi bahwa sistem yang secara fiskal terdesentralisasi menempatkan proporsi sumber-sumber keuangan yang lebih besar pada level lokal dibandingkan pada level pusat (Schneider, 2003: 10). Sumbersumber utama lain dari pendapatan lokal di negara-negara berkembang adalah transfer keuangan antar daerah Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah serta Pengaturan Hubungan Keuangan Pusat–Daerah 1. Pokok-Pokok Penyelenggaraan Kebijakan Otonomi Daerah Reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah serta pengaturan hubungan keuangan pusat–daerah telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang didasarkan pada prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab menurut kedua UU tersebut pada dasarnya diletakkan pada kabupaten dan kota. Satu hal yang paling esensial dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ialah pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah (Presiden) dan pemerintahan daerah. Dalam hal ini, penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan 27 tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan. Sesuai isi pasal 10 ayat (3) UU No. 32/2004, urusan pemerintahan yang tidak menjadi urusan pemerintahan daerah adalah: (a) politik luar negeri, (2) pertahanan, (3) keamanan, (4) yustisi, (5) moneter dan fiskal nasional, dan (6) agama. Ini berarti bidangbidang lain diluar 6 bidang diatas menjadi urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi luas dan nyata. Dalam rangka merealisasi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab ini menuntut pemerintahan daerah yang tanggap, mampu dan mempunyai kinerja yang tahan uji, yang menyangkut pemerintah daerah dan DPRD. Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah memasuki horison baru dalam tata pemerintahan daerah di Indonesia. Hal itu menyangkut kewenangan Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang sepintas lalu lebih luas dibanding dengan kewenangan Pemerintah (Pusat). Tetapi bila dikaji lebih dalam, sebagai konsekuensi negara kesatuan, meskipun secara deklaratoris hanya mengurus 6 (enam) urusan seperti tersebut di atas, bukan berarti Pemerintah melepaskan atau mendelegasikan sepenuhnya urusan lainnya kepada pemerintahan daerah. Pemerintah (Pusat) masih memegang kendali kewenangan tersebut, khususnya di bidang pengawasan dan pengendalian serta pendanaan. Seperti isi rumusan Pasal 10 ayat (5) UU No. 32 tahun 2004 bahwa dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan sebagaimana dirumuskan pada ayat (3), pemerintah dapat: a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah; atau c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan azas tugas pembantuan. Sama seperti semangat UU 22/1999, juga UU No. 32/2004, titik berat otonomi berada pada kabupaten dan kota. Daerah kabupaten dan kota menerima kewenangan terbesar, sedangkan provinsi menerima kewenangan yang lebih bersifat koordinatif, pengawasan dan pembinaan. Satu hal yang baru dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria: a. Eksternalitas, yaitu penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan; 28 b. Akuntabilitas, penanggung jawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. c. Efisiensi, penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang diperoleh. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Menurut Pasal 14 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan urusan yang ada dalam skala kabupaten/kota meliputi: a) perencanaan dan pengendalian pembangunan, b) perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, d) penyediaan sarana dan prasarana umum, e) penanganan bidang kesehatan, f) penyelenggaraan pendidikan, g) penanggulangan masalah sosial, h) pelayanan bidang ketenagakerjaan, i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, j) pengendalian lingkungan hidup, k) pelayanan pertanahan, l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil, m) pelayanan administrasi umum pemerintahan, n) pelayanan administrasi penanaman modal, o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan kepemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, daerah mempunyai hak dan kewajiban daerah yang sekaligus merupakan pedoman yang harus dijalankan oleh setiap penyelenggara pemerintahan daerah, yakni Pemerintah Daerah dan DPRD. Hak-hak daerah antara lain: a) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, b) memilih pimpinan daerah, c) mengelola aparatur daerah, d) mengelola kekayaan daerah, e) memungut pajak daerah dan retribusi daerah, f) mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber data lainnya yang berada di daerah, g) mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah, dan h) mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004). Dalam menyelenggarakan otonomi kepada daerah juga diberi rambu-rambu kewajiban untuk mengimbangi hak seperti tersebut di atas. Rambu-rambu ini dimaksudkan untuk mengurangi ekses seperti yang timbal pada pelaksanaan hak daerah otonom, dalam hal ini DPRD dan Pemerintah Daerah pada kurun waktu 1999-2004 yang lalu. Adapun kewajiban daerah antara lain meliputi: a) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), b) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, c) 29 mengembangkan kehidupan demokrasi, d) mewujudkan keadilan dan pemerataan, e) meningkatkan pelayanan dasar pendidikan, f) menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, g) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, h) mengembangkan sistem jaminan sosial, i) menyusun perencanaan dan tata ruang daerah, j) mengembangkan sumber daya produktif di daerah, k) melestarikan lingkungan hidup, l) mengelola administrasi kependudukan, m) melestarikan nilai sosial budaya, n) membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004). Hak dan kewajiban daerah sebagaimana tersebut di atas dimaksudkan untuk diwujudkan dalam rencana kerja pemerintah daerah dan dijabarkan dalam bentuk APBD yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundangundangan seperti dimaksudkan dalam prinsip “good governance”. 2. Pokok-Pokok Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah UU ini mengatur suatu perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berdasarkan hubungan fungsi, yaitu berupa sistem keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab antar tingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan pada UU tentang Pemerintahan Daerah. UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah meliputi ruang lingkup pengaturan dari: prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintahan di Daerah, sumbersumber pembiayaan fungsi dan tanggung jawab Daerah, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, dan sistem informasi keuangan daerah. a. Prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintahan di Daerah. Dasar-dasar pembiayaan pemerintahan daerah dilakukan menurut hubungan fungsi berdasarkan pembagian urusan pemerintahan, tugas dan tanggung jawab antar tingkat pemerintahan. Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi menjadi beban APBD, sedangkan tugas Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dibiayai dari APBN. Pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan peenrimaan daerah, antara lain sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran, antara lain pembayaran hutang pokok. Struktur APBD menurut PP 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagaimana terdapat pada tabel berikut: 30 Tabel 2 Struktur APBD Komponen Rincian / Deskripsi Pendapatan daerah Meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah Belanja daerah Meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah Pembiayaan daerah Meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Sumber: Pasal 20 PP No 58 Tahun 2005 b. Sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tanggung jawab Daerah. Sumber-sumber penerimaan Daerah untuk melaksanakan asas desentralisasi terdiri dari: a) Pendapatan Asli Daerah, b) Dana Perimbangan, c) Pinjaman Daerah, dan d) Lain-lain penerimaan yang sah. Sumber-sumber PAD terdiri dari: hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan dana perimbangan terdiri dari: bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan sumber daya alam, dana alokasi umum serta dana alokasi khusus merupakan bagian penerimaan daerah yang masuk ke dalam APBD untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka asas desentralisasi. Kesepakatan yang dicapai tetang bagian daerah dari penerimaan sumber daya alam, Pajak Bumi dan Bangunan, dana reboisasi dan bagi hasil Hak Perolehan Atas Tanah dan Bangunan adalah sebagaimana tabel 3 berikut: 31 Tabel 3 Dana Bagi Hasil No. Penerimaan Negara Daerah Pusat 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 90% 10% 2. Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan 80% 20% 3. Pajak Penghasilan (PPh) 20% 80% 4. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) 80% 20% 5. Dana Reboisasi 40% 60% 6. Petambangan Umum 80% 20% 7. Pertambangan Minyak Bumi 15,5% 84,5%* 8. Pertambangan Gas Bumi 69,5% 30,5%* 9. Pertambangan Panas Bumi 80% 20% 10. Perikanan 80% 20% *) setelah dikurangi komponen pajak. Sumber: Marbun, BN, 2005: 175 Adapun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sebesar 90% dibagi sebagai berikut: 16,2 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kaskas daerah propinsi; 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas daerah kabupaten/kota, dan 9% untuk biaya pemungutan. Dari contoh di atas terlihat dengan jelas perincian pembagian atau dana bagi hasil antara Pemerintah dan Daerah. Sepintas lalu angka-angka dana bagi hasil tersebut agak jelas, namun dalam praktik akan sangat ’jlimet’ rumit, ketika dikaitkan dengan sistem komunikasi dan informasi serta dikaitkan dengan disiplin pembukuan keuangan. Sementara itu, dana alokasi umum berfungsi sebagai pemerataan antar Daerah dengan tujuan agar semua Daerah memiliki kemampuan yang relative sama untuk membiayai pengeluaannya dalam pelaksanaan asas desentralisasi. Dana alokasi umum dialokasikan berdasarkan suatu rumus yang memasukkan unsure potensi penerimaan Daerah dan kebutuhan obyektif pengeluaran Daerah, dan dengan memperhatikan 32 kesediaan dana APBN. Jumlah dana alokasi umum ditetapkan minima 26% dari penerimaan dalam negeri netto yang ditetapkan APBN; PNS Daerah. Selanjutnya pada pasal 28 diatur sebagai berikut: 1) kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, 2) setiap kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia, dan 3) kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Dalam memperhitungkan dana alokasi umum untuk propinsi dan kabupaten/kota telah digunakan kriteria potensi daerah dan kebutuhan obyektif daerah. Kriteria daerah diceminkan oleh Pendapatan Asli Daerah dan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, dan penerimaan sumber daya alam atau tingkat pendapatan masyarakat. Kebutuhan obyektif pengeluaran daerah dicerminkan oleh luas daerah, keadaan geografi dan jumlah penduduk. Dari cuplikan perincian Dana Alokasi Umum di atas, dapat dilihat bagaimana kompleksnya rumus dan formula DAU yang bagi rata-rata orang sulit memahami atau mempraktikkannya. Maka adalah cukup beralasan kalau untuk menangani seluk-beluk keuangan daerah ini memerlukan tim yang kapabel dan berani “ngotot” dengan birokrasi di Pusat (Jakarta). Dana perimbangan yang berasal dari dana alokasi khusus berasal dari dana APBN diberikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana APBN. Pembiayaan kebutuhan khusus disyaratkan dana pendamping dari APBD. Kebutuhan khusus yang dimaksud disini adalah: Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus, antara lain kebutuhan yang bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis barang investasi/prasarana baru seperti pembangunan jalan di kawasa terpencil, saluran irigasi primer, dan atau Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Disamping dana APBD dan perimbangan keuangan, Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri atau luar negeri melalui Pusat untuk membiayai sebagian anggarannya yang pengaturannya dilakukan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Daerah dapat juga memperoleh Dana Darurat, yaitu dana yang dialokasikan dari APBN kepada Daerah tersebut untuk keperluan mendesak, misalnya jika terjadi bencana alam dan sebagainya. c. Pembiayaan pelaksanaan asas dekonsentrasi Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsenrasi dilakukan melalui Departemen/LPND yang bersangkutan. Pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan oleh perangkat daerah Propinsi, sedangkan pertanggungjawaban atas pembiayaan 33 pelaksanaan tersebut dilakukan oleh perangkat Daerah Propinsi langsung kepada Departemen/LPND yang bersangkutan. Demikian juga dengan administrasi keuangan, pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan terpisah dari administrasi keuangan pelaksanaan asas desentralisasi. Pemeriksaan pembiayaan asas dekonsentrasi dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan negara. d. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah Ada beberapa asas yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan keuangan daerah, yakni: a) keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat, dan b) pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 4 PP 58/2005). Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan (Pasal 5 ayat 1 PP 58/2005). Pada ayat selanjutnya dinyatakan, ”kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh: a) kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku PPKD, dan b) kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah (Pasal 5 ayat 3 PP 58/2005). Pertanggungjawaban keuangan daerah pada dasarnya adalah pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dalam hal ini dilakukan oleh kepala daerah. Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 6 (enam) bukan setelah tahun anggaran berakhir. Dalam mengelola keuangan daerah, pemerintah daerah wajib menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan. e. Sistem informasi keuangan daerah Dalam rangka akuntabilitas publik Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan daerah yang bisa diakses dan diketahui oleh masyarakat secara terbuka. Data yang dipakai untuk membuat sistem informasi keuangan daerah tersebut berasal dari laporan APBD dari seluruh daerah di Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Tahapan Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia secara konseptual dapat dikaji dari tahapan-tahapan sebagaimana terlihat pada tabel 4 berikut. 34 Tabel 4 Tahapan Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Design of decentralization What, why and where 1. Differ ent forms of decentralization; 2. Ratio nale for decentraliz a-tion. Service Potential Political Fiscal Administrati ve delivery impacts 1. Constituti onal, legal and regulator y framewor k; 2. Participat ion/ civil society 1. Expe nditure assignme nt; 2. Reve nue assignme nt; 3. Tran sfer design 4. Borr owing. 1. Civil sevice 2. Information and monitoring 3. Technical and managerial local capacity 4. Accountabi lity, transparenc y 1. Educaton 2. Health 3. Infrastructur e 4. Social safety needs 5. Irrigation, water supply, sanitation 6. Natural resources management & environment 1. Equity 2. Macro econom ic stability 3. Growth Sumber: Shah, 1998: 12 Tahapan desentralisasi dan otonomi daerah diawali dari pilihan atas bentuk desentralisasi dan adanya kecenderungan struktur pemerintahan di berbagai negara akhirakhir ini mengarah pada pemerintahan yang berorientasi lokal. Desentralisasi yang dianut Indonesia mengandalkan pada sistem Negara Kesatuan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Desentralisasi dan otonomi daerah pada hakikatnya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Pemerintah suatu negara pada dasarnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa, fungsi distribusi yang meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan fungsi stabilitasi yang meliputi pertahanan-keamanan, ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan stabilitasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Kewenangan (baca: urusan pemerintahan) fungsi alokasi yang akan lebih banyak diberikan kepada pemerintah daerah meliputi urusan pemerintahan, kecuali urusan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama. Urusan pemerintahan yang bersifat kebijakan nasional atau lintas sektoral serta pengendaliannya tetap dipegang Pusat, di tingkat regional dan yang bersifat lintas kabupaten/kota dipegang oleh Propinsi. Implikasi pengaturan ini adalah pada penyediaan jasa 35 layanan publik untuk: bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, jaring pengaman sosial, irigasi, sanitasi dan air bersih serta manajemen sumber daya alam dan lingkungan. Implikasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah terhadap Pola Hubungan Keuangan Pusat–Daerah Berdasarkan gambaran di atas, paling tidak terdapat 2 (dua) implikasi penting dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pola hubungan keuangan Pusat–Daerah, yakni implikasi yang bersifat internal dan eksternal. Secara internal, implikasi dimaksud adalah lebih pada kesiapan kelembagaan, SDM dan sistem pengelolaan keuangan daerah itu dilakukan di daerah dalam mewujudkan dayaguna dan hasilguna sebesar-besarnya. Dalam aspek kelembagaan, pengelolaan keuangan di daerah dilakukan oleh satuan kerja (Satker) yang bertugas merencanakan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan pengelolaan keuangan. Satker-satker tersebut berada di bawah pengguna anggaran (PA); satker dipimpin oleh kuasa pengguna anggaran dan dibantu oleh pejabat pengeluaran anggaran belanja (PPAB), pejabat verifikasi, dan anggota PPAB lainnya seperti staf ahli PPAB dan penanggung jawab uang muka kerja (UMK). Selain itu, implikasi lainnya adalah adanya perubahan sistem dan mekanisme pengajuan anggaran baik di dalam instansi maupun ke luar instansi (misalnya pengajuan kepada KPPN, dahulu KPKN). Kesemuanya ini merupakan suatu hal yang dapat dikatakan baru, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius agar pengelolaan keuangan di daerah dapat berjalan lancar. Lebih jauh, pola ini juga akan berpengaruh pada pola hubungan keuangan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Adapun implikasi eksternal adalah bagaimana pola hubungan keuangan Pusat–Daerah tersebut mampu menciptakan kemandirian ekonomi daerah dan mampu memberikan kesempatan berusaha bagi kalangan dunia usaha lokal (temuan KPPOD menyatakan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah justeru menyebabkan high cost economy yang pada akhirnya memberatkan para pelaku uasha di daerah). 1. Desentralisasi dan kemandirian ekonomi daerah Implementasi desentralisasi dan otonomi daerah terkait erat dengan bagaimana masing-masing daerah dapat mengelola perekonomian daerah menjadi lebih makmur dan mandiri. Pengertian mandiri disini adalah daerah tidak tergantung pada Pusat, sehingga Daerah dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada keunggulan komparatif masing-masing daerah. Prinsip ini mengandung arti bahwa perekonomian daerah dilaksanakan atas prinsip efisiensi dan economics of scale. Hubungan interdependensi antar daerah menjadi semakin erat, karena akan terjadi saling ketergantungan antar daerah. Masing-masing daerah akan memproduksi barang dan jasa sesuai potensi ekonomi dan keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing daerah. Kemandirian ekonomi daerah juga harus dilihat dari aspek kemampuan dan keleluasaan daerah dalam melakukan proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan implementasi desentralisasi yang berkaitan dengan UU No 32 dan 33 Tahun 2004, adalah: 36 a. Aspek demokratisasi daerah sebagai prasyarat pelaksanaan transparansi akuntabilitas publik agar proses alokasi sumber-sumber daya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi; b. Aspek kemandirian pembiayaan pembangunan daerah dikaitkan dengan pengaturan perimbangan keuangan Pusat–Daerah. Kelemahan utama dari pengaturan perimbangan keuangan Pusat–Daerah adalah bahwa sistem ini tidak mengandung unsur insentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan kinerja perekonmiannya, kecuali untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam; c. Aspek sumber daya manusia yang belum siap di sebagian besar Daerah Kabupaten/Kota, sementara fokus ekonomi diletakkan pada daerah-daerah tersebut. Hal ini dapat diatasi jika daerah-daerah yang kekurangan SDM terampil dapat menciptakan struktur insentif yang menarik minat SDM yang handal dan terampil tersebut 2. Desentralisasi dan kesempatan dunia usaha Desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah yang sekarang mempunyai wewenang lebih besar untuk dapat menentukan dengan lebih baik bidang-bidang usaha yang mempunyai skala prioritas dalam rangka mensejahterakan rakyat di daerah. Sebagai tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, pemerintah daerah lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, kebijakankebijakan pemerintah dalam bentuk penyediaan sarana-prasarana publik dapat diarahkan pada sektor-sektor yang memang secara nyata dibutuhkan oleh masyarakat di daerah. Di lain pihak, pemberian berbagai insentif bagi dunia usaha dapat diberikan pada sektorsektor atau kegiatan usaha yang menjadi prioritas daerah sesuai dengan potensi dan karakteristik ekonomi daerah. Hal ini pada akhirnya akan mendorong teradinya alokasi sumber daya yang lebih optimal. Bertambahnya wewenang pemerintah daerah juga memungkinkan semakin melebarnya cakupan kerjasama yang dapat dijalin antara dunia usaha dan pemerintah daerah. Dalam hal ini desentralisasi dapat menjalankan fungsinya dalam meredistribusi kesempatan berusaha pada kalangan dunia usaha di daerah. Selama ini dalam sistem pemerintahan yang terpusat, kesempatan beusaha dalam berbagai kasus hanya dinikmai oleh sebagian kecil pelaku ekonomi yang dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi, para pelaku ekonomi di daerah dapat memperoleh kesempatan yang lebih baik dalam berusaha dan menggerakkan roda perekonomian. Dengan kata lain telah terjadi transfer kesempatan berusaha dari Pusat ke Daeah. Cakupan bidang pembangunan yang lebih luas namun dengan wilayah yuridiksi yang lebih sempit akibat desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah melibatkan para pelaku ekonomi skala menengah dan kecil. Kegiatan-kegiatan ekonomi berskala lokal memungkinkan para pelaku usaha kelas menengah yang selama ini kurang berperan, dapat berpartisipasi lebih besar. Dengan demikian, desentralisasi juga memungkinkan terjadinya transfer kesempatan berusaha dari pelaku ekonomi skala besar kepada pelaku usaha skala menengah dan kecil. Pelayanan publik dalam hal perijinan investasi yang didesentralisasikan kepada pemerintah daerah juga memungkinkan proses penanaman modal menjadi lebih cepat 37 sehingga iklim dunia usaha menjadi jauh lebih efisien dan dinamis. Potensi dan karakteristik ekonomi masing-masing daerah dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masing-masing pemerintah daerah untuk menarik minat investor domestik dan investor asing. Penutup Reformasi hubungan Pusat–Daerah yang mendasarkan pada otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya dilihat secara menyeluruh sebagai implikasi dari otonomi dan desentralisasi fiskal. Reformasi hubungan Pusat–Daerah disamping bertujuan untuk mengubah sistem dan mekanisme hubungan Pusat– Daerah, juga harus diakui dengan peningkatan kemampuan manajemen pemerintahan daerah yang didukung oleh perubahan-perubahan mendasar dari aspek kelembagaan, kerangka hukum, dan manajemen sumber daya manusia di setiap tingkatan pemerintahan. Perubahan kelembagaan yang dimaksud disini adalah kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, karena saat ini dikenal beberapa terminologi baru seperti satuan kerja (Satker), pengguna anggaran (PA), kuasa pengguna anggaran (KPA), pejabat pengeluaran anggaran belanja (PPAB) dan sebagainya. Dalam hal peningkatan kemampuan SDM ini nampaknya sangat penting karena pengelolaan keuangan daerah memerlukan kejelian dan ketelitian yang luar biasa agar tidak terjadi kekeliruan dalam pembukuan. Selain itu, tuntutan diberlakukannya sistem akuntansi pemerintahan daerah juga memerlukan dukungan SDM yang memadai. Hal lain yang juga tak kalah pentingnya adalah kemauan dan kemampuan Daerah membangun sistem informasi keuangan daerah, karena hal ini benar-benar diperlukan dalam rangka menjalin hubungan keuangan dengan Pemerintah Pusat. Disamping itu, implementasi desentralisasi dan otonomi daerah menjanjikan segi positif dalam hal kemandirian ekonomi daerah, prospek ekonomi daerah dan kesempatan usaha yang lebih sesuai dengan potensi dan karakteristik yang ada di setiap daerah. Pemberian kewenangan pengelolaan anggaran daerah yang lebih besar diharapkan dapat menciptakan kemandirian ekonomi daerah dan kesempatan berusaha bagi kalangan dunia usaha. 38 Daftar Bacaan Alisjahbana, Armida S., ”Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Platform untuk Masa Depan Ekonomi Indonesia, Bandung, 1999. _____________________., ”Krisis Ekonomi serta Implikasi Fiskal Hubungan Keuangan Pusat Daerah”, Makalah disampaikan pada Seminar Upaya Mengatasi Krisis Ekonomi Indonesia, Bandung, 1999. Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, Yogyakarta, 2004. Dillinger, William and Steven B. Webb, “Decentralization and Fiscal Management in Columbia”, World Bank Staff Paper Hoessein, Bhenyamin dkk., Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota, FISIP UI, Jakarta, 2005. Litvack, Jennie, Junaid Ahmad, Richard Bird, Rethinking Decentralization in Developing Countries, The World Bank, Wshington D.C., 1998. Marbun, BN, Otonomi Daerah 1999-2005: Proses dan Realita, Sinar harapan, Jakarta, 2005. Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002 Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2005. Rondinelli, Denis A., dan John R. Nellis, Assessing Decentralization Policies in Developing Countries: The Case For Cautious Optimism, dalam Development Policy Review, Vol 4 No. 1, 1986. Shah, Anwar, “Balance, Accountability, and Responsiveness: Lessons about Decentralization”, dalam Picciotto, Robert and Eduardo Wiesner, eds. In Evaluation and Development: The Institutional Dimension, New Brunswick, USA and London, UK Transaction Publishers, 1998. ____________, “The Reforms of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economics”, World Bank, Washington DC, 1998. ____________, “Perspective on the Design of Intergovernmental Fiscal Relations”, Country Economics, World Bank, Washington DC, 1991. World Bank Report, 1995. UNDP Annual Report, 1999. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amandemen I-IV). Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 39 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 40