Korelasi antara Asupan Protein dengan Indikator Tinggi Badan terhadap Umur (TB/U) pada Anak Usia 5-6 tahun di Jakarta Joseph Prasetyo, Saptawati Bardosono 1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Gizi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Email: [email protected] Abstrak Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di negara berkembang termasuk Indonesia. Hasil RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi anak balita yang stunting adalah 37,2% dan anak usia 5-12 tahun memiliki prevalensi 30,5%. Banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya stunting, salah satunya nutrisi. Salah satu komponen nutrisi yang penting dipenuhi untuk pertumbuhan anak adalah asupan protein. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik sosiodemografi, indikator TB/U, dan asupan protein serta mengetahui ada tidaknya korelasi antara asupan protein dan intikator TB/U. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan data sekunder dari penelitian primer yang berjudul “The effect of Frisian Flag GUM 456 ((isomaltulose enriched and mineral and vitamin fortified) on cognitive performance parameters in young children (5-6 years old)”. Subjek penelitian yaitu anak usia 5-6 tahun yang berdomisili di Jalan Kimia, Jakarta Pusat. Data asupan protein didapatkan dengan menggunakan instrumen semi-kuantitatif food frequency questionnaire (FFQ) dan data antropometri tinggi badan diukur dengan alat pengukur mikrotoise. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 20% subjek penelitian memiliki persentil TB/U kurang dari 5 (stunted) dan masih terdapat beberapa subjek (8,6%) yang memiliki asupan protein kurang dari AKG. Namun, tidak terdapat korelasi bermakna antara asupan protein dan indikator TB/U (p=0,903). Kata kunci: anak usia 5-6 tahun; indikator TB/U; Jakarta; protein; stunting Correlation Between Protein Intake with Height-for-Age Index of 5-6 Years Old Children in Jakarta Abstract Stunting is one of serious health problems in developing country including Indonesia. Result from RISKESDAS 2013 shows that Indonesia has a prevalence of stunting toddlers 37.2% and prevalence of 5-12 years old stunting children 30.5%. There are many factors contributing to stunting, including nutrition. One of essential nutrients for children growth is protein. The aim of this study is to know subject distribution based on characteristic of sociodemography, height-for-age index, protein intake and corelation between protein intake with height-for-age index of 5-6 years old children in Jakarta. This study uses cross-sectional design of secondary data from primary study with title “The effect of Frisian Flag GUM 456 ((isomaltulose enriched and mineral and vitamin fortified) on cognitive performance parameters in young children (5-6 years old)”. Subject is 5-6 years old children who lives in Jalan Kimia, Jakarta Pusat. Protein intake is measured by semiquantitative instrument food frequency questionnaire (FFQ) and antropometric body height is measured by microtoise. The results show that there are 20% subject who have height-for-age (H/A) index below 5th percentile and 8.6% subject have protein intake less than AKG. Nevertheless, there is no significant correlation between protein intake and height-for-age (H/A) index (p=0.903). Keywords: 5-6 years old children; height-for-age index; Jakart; protein; stunting Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 kognitif anak dan penurunan performa Pendahuluan Stunting merupakan kegagalan pertumbuhan anak dimana anak memiliki tinggi badan dibawah tinggi badan ratarata sesuai usianya. WHO menetapkan kategori stunting adalah anak dengan perbandingan tinggi badan dan usia (TB/U) berada dibawah persentil lima atau CDC dengan Z score -2.1 Secara global terdapat 26.7% anak memiliki tinggi badan dibawah tinggi badan rata-rata seusianya. Pada tahun 2010 terdapat 171 juta anak pra-sekolah memiliki gangguan stunting, dan 95% berasal dari negara berkembang.1 Di negara-negara Asia, prevalensi stunting tahun 2010 28%.1 adalah Hasil RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi anak usia balita yang stunting adalah 37.2% dan anak usia 5-12 tahun memiliki prevalensi 30.5%.2 Jakarta, DI Yogyakarta dan Kalimantan Timur memiliki prevalensi stunting dibawah prevalensi nasional namun masih ada provinsi yang memiliki prevalensi stunting lebih dari 50% yaitu Nusa Tenggara Timur. 2 yang berkembang serius termasuk di negara Indonesia.1,2 Stunting menimbulkan masalah berupa terhambatnya mortalitas meningkat pada anak dengan stunting.3 Walaupun banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya stunting, namun stunting memiliki kaitan erat dengan defisiensi nutrisi. Salah satu komponen nutrisi yang penting dipenuhi untuk pertumbuhan anak adalah asupan protein.3 Protein merupakan salah satu sumber energi mayor disamping karbohidrat dan lemak. Peranan protein yang penting bagi tubuh manusia antara lain sebagai sumber energy, pembentukan dan perbaikan sel dan jaringan, bahan dasar sintesis hormon,enzim, dan antibody, pengatur keseimbangan kadar asam basa dalam sel.4,5 Kebutuhan asupan protein harian untuk anak usia 5-6 tahun yaitu 35 g/hari (AKG 2013).6 Saat ini, belum ada penelitian mengenai korelasi asupan protein terhadap tinggi badan anak. Oleh sebab itu, peneliti ingin mengajukan pertanyaan penelitian yaitu “Adakah korelasi antara asupan protein dan indikator tinggi badan terhadap umur (TB/U) anak usia 5-6 tahun”? Dengan Stunting menjadi salah satu masalah kesehatan anak di sekolah.3 Angka morbiditas dan perkembangan fungsi penelitian ini diharapkan dapat diketahui pentingnya asupan protein anak sehingga dapat mencegah terjadinya stunting dengan pemberian asupan protein yang mencukupi. Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 Tinjauan Teoritis 1 Stunting meningkat sebanyak 1.2% dari tahun 2007. Gagal tumbuh atau stunting merupakan Oleh sebab itu, masalah kesehatan gagal keadaan kegagalan dalam pertumbuhan tumbuh perlu dilihat dan diatasi. Secara linear akibat kondisi kesehatan dan/atau nasional, prevalensi pendek pada anak usia kebutuhan nutrisi yang kurang optimal.7,8 5-12 tahun adalah 30,7% (12,3% sangat Seseorang apabila pendek dan 18,4% pendek). Terdapat perbandingan tinggi badan dengan usia sekiranya 15 provinsi dengan prevalensi nya kurang dari -2SD atau dibawah anak sangat pendek diatas prevalensi persentil lima. nasional tersebut. 1 Pada tahun 2010, terdapat 171 juta anak Stunting dapat disebabkan oleh berbagai usia faktor, yaitu genetik tinggi badan orang dikatakan pra-sekolah stunting.2 stunting yang Diantaranya mengalami ini prevalensi balita pendek 95% tua, pertumbuhan terhambat, malnutrisi, berasal dari negara berkembang. Di Asia, penyakit kronis atau sistemik, dan lain- prevalensi stunting di tahun 2010 sebanyak lain.7 Seorang anak yang memiliki tubuh 28%.2 WHO memprediksi bahwa pada yang pendek biasanya memiliki orang tua tahun akan yang pendek pula. Pada kondisi tersebut, memiliki jumlah kejadian stunting dengan laju pertumbuhan masih normal namun jumlah sama, yaitu 68 juta dan 64 juta berhenti pada tinggi badan yang masih 2020, penduduk. Asia sebanyak Saat dan Afrika 2 pendek. Tubuh yang pendek juga dapat terjadi akibat adanya pertumbuhan yang Di Indonesia, prevalensi anak balita yang terhambat, terutama pada tahun pertama stunting secara nasional adalah 37,2 %. kehidupan dan mendekati akhir pubertas. 7 Dari persentase tersebut, 18% anak sangat Selain itu, malnutrisi juga merupakan pendek dan 19,2 % pendek.1 Prevalensi salah pendek persen menyebabkan gagal tumbuh, yaitu ketika kesehatan intake nutrisi tidak adekuat. 7 Penyakit atau masyarakat kategori berat. Sebanyak 14 infeksi kronis juga sering menyebabkan provinsi di Indonesia termasuk dalam terjadi gagal tumbuh pada anak. Penyebab masalah kesehatan kategori berat. Bila lainnya antara lain kelainan endokrin, prevalensi pendek > 40%, maka dikatakan abnormalitas kromosom, atau kelainan kategori serius dan di Indonesia sebanyak tulang dan kartilago. Kasus stunting 15 provinsi masuk dalam kategori tersebut. berasosiasi dengan daerah dengan kondisi dikatakan yang berkisar sebagai 30-39 masalah satu faktor Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 terpenting yang sosioekonomi rendah serta peningkatan produktivitas ekonomi lebih rendah paparan suatu penyakit dan juga kebiasan sehingga penghasilan cenderung lebih makan yang tidak tepat. 9 rendah, Perkembangan fungsi kognitif terhambat, penurunan performa disekolah, Stunting terjadi dalam rentang masa risiko terjadinya komplikasi obstetrik yang pertumbuhan seorang anak dan dapat meningkat, risiko melahirkan bayi dengan muncul di waktu yang berbeda. Sejak BBLR yang meningkat, risiko terjadi trimester pertama, dapat terjadi kegagalan penyakit pertumbuhan yang mengakibatkan reduksi meningkat, serta peningkatan morbiditas pertumbuhan jaringan tulang dan jaringan dan mortalitas anak usia 5 tahun pertama.11 kronis dikemudian hari lunak.10 Pada trimester ketiga, apabila intake nutrisi tidak adekuat, dapat terjadi Stunting dapat dihindari dengan tindakan pengurangan deposit lemak sedangkan preventif dan intervensi. Intervensi dapat pertumbuhan jaringan tulang umumnya dilakukan pada saat kehamilan yaitu tidak dipengaruhi. 10 suplementasi vitamin A, zink, iodium serta asam folat.8 Suplementasi tersebut harus Pemantauan proses pertumbuhan anak sesuai dengan kebutuhan dan tidak boleh digunakan berlebihan. metode pengukuran Kecukupan nutrisi saat 8 antropometri antara lain tinggi badan kehamilan juga harus terjaga. terhadap badan kelahiran hingga bayi 5 bulan, memberi terhadap umur (BB/U) dan berat badan asupan ASI Eksklusif serta penambahan terhadap tinggi badan (BB/TB). Hasil suplemen vitamin A.12 Pemberian ASI dan pengukuran kemudian didokumentasikan suplementasi di grafik atau tabel terstandarisasi secara diteruskan hingga usia 2 tahun. Beberapa internasional yang berasal dari WHO atau hal CDC. terjadinya umur (TB/U), berat penting mikronutrien yang stunting dapat Saat dapat mencegah adalah dengan mencegah dan menatalaksana penyakit Pada anak, dapat terjadi dampak jangka infeksi, menjaga higienitas pendek maupun jangka panjang akibat penanganan malnutrisi. 8,12 serta stunting. Dampak jangka pendek yaitu risiko timbulnya kecacatan dan penyakit penyerta bahkan risiko kematian. 11 Protein Protein merupakan salah satu bio- Dampak jangka panjang meliputi tinggi makromolekul yang penting peranannya badan yang lebih pendek saat usia dewasa, dalam tubuh manusia. Protein terdapat Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 dalam setiap sel dalam tubuh manusia. Sumber protein dapat berasal dari sereal Protein merupakan komponen terbesar (nasi, gandum) maupun non-sereal (protein kedua setelah air di dalam tubuh. Selain hewani, sayuran). Protein dapat ditemukan itu, Protein merupakan salah satu sumber pada berbagai jenis bahan makanan, antara energi mayor disamping karbohidrat dan lain daging, ikan, telur, kacang-kacangan, lemak.4 Peranan protein yang penting bagi serta produk susu. Buah dan sayuran juga tubuh manusia antara lain sebagai sumber mengandung protein namun dalam jumlah energy, pembentukan dan perbaikan sel yang sedikit. 4 dan jaringan, bahan dasar sintesis hormon,enzim, dan antibodi, pengatur Sebagian besar zat makanan yang keseimbangan kadar asam basa dalam sel.4 mengandung protein dipecahkan menjadi molekul-molekul yang lebih kecil terlebih Beberapa fibrous dahulu sebelum diabsorpsi dari saluran pelindung, pencernaan. Proses metabolisme protein sebagai contoh a dan b-keratin yang dimulai dari proses pencernaan di mulut terdapat pada kulit, rambut, dan kuku. sampai di usus halus, dilanjutkan dengan Sedangkan protein struktural lain ada juga proses metabolisme asam amino.5 Protein yang berfungsi sebagai perekat, seperti diabsorpsi di usus halus dalam bentuk kolagen.5 asam amino kemudian masuk darah. protein, protein berfungsi Protein struktural, sebagai dapat memerankan fungsi sebagai bahan struktural karena Dalam seperti protein keseluruh sel untuk disimpan. Didalam sel memiliki rantai yang panjang dan juga asam amino disimpan dalam bentuk dapat mengalami cross-linking dan lain- protein (dengan menggunakan enzim). lain. Selain itu protein juga dapat berperan Hati merupakan jaringan utama untuk sebagai menyimpan dan mengolah protein. halnya polimer biokatalis untuk lain, reaksi-reaksi darah asam amino disebar kimia dalam sistem makhluk hidup.5 Makromolekul ini mengendalikan jalur Pertama, zat makanan yang mengandung dan waktu metabolisme yang kompleks protein masuk ke dalam mulut dan mengalami untuk menjaga kelangsungan hidup suatu proses pengunyahan. Di dalam mulut protein organisme. Suatu sistem metabolisme akan belum dicerna. Setelah makanan masuk ke terganggu apabila biokatalis yang berperan di dalamnya mengalami kerusakan.5 dalam lambung, enzim pepsin bersama HCl mengubah protein asli menjadi proteosa dan pepton yang masih merupakan derivat protein yang agak besar. Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 Isi lambung (kimus) kemudian akan masuk ke dalam duodenum.5 jaringan-jaringan tubuh asam amino ini akan Di dalam duodenum, sekresi pankreas dan masuk ke sel-sel tubuh (asam amino dalam empedu yang sangat basa menetralkan asam sel) dan sebagiannya lagi tetap didalam hati dalam kimus → pH menjadi alkali (perlu (intra sel) sebagai cadangan protein dalam untuk aktivitas enzim berikutnya). Getah tubuh. Bila tubuh kekurangan protein maka pankreas yang mengandung enzim tripsin & asam amino ini diubah menjadi protein dan kimotripsin mengubah protein asli, proteosa sebaliknya jika tubuh membutuhkan asam dan Getah amino dari dalam tubuh maka protein di pankreas juga mengandung enzim peptidase, rombak kembali menjadi asam amino. Dan yaitu asam amino ini juga berfungsi membentuk pepton menjadi polipeptida. Karboksipeptidase (berfungsi menghidrolisis ikatan peptida terminal Peptida senyawa yang pada ujung karboksil rantai polipeptida pembentukan sel-sel tubuh, senyawa nitrogen lebih & ini merupakan bagian utama dari semu protein, Dipeptidase (berfungsi memecahkan ikatan enzim, dan proses metabolik yang disertakan peptida terminal Asam amino pada ujung pada sintesa dan perpindahan energi. 5 rendah, serta Aminopeptidase N lain yang berfungsi untuk amino bebas rantai polipeptida bebas). Setelah itu, isi duodenum akan masuk ke dalam usus.5 Bila ada kelebihan asam amino dari jumlah Getah usus yang disekresi oleh kelenjar yang digunakan maka asam amino diubah Brunner & Lieberkuhn juga mengandung menjadi enzim aminopeptidase & dipeptidase. Proses tersebut terjadi dalam siklus asam sitrat. Atau hidrolisis peptida akan terus berlanjut sampai diubah mejadi urea. Berikut proses perubahan protein makanan hampir seluruhnya berubah asam amino menjadi asam keto dalam siklus menjadi asam amino penyusunnya. Asam sitrat. amino kemudian akan di absorpsi oleh mukosa atau dihasilkan dari proses katabolisme protein usus halus dan masuk ke dalam sirkulasi dalam hati, dibawa oleh darah kedalam darah. 5 5 asam keton. Proses perubahan Asam amino yang dibuat dalam hati jaringan untuk digunakan. Proses anabolisme dan katabolisme terjadi dalam hati dan Asam amino dalam darah di bawa ke hati jaringan. Asam amino yang terdapat dalam menjadi asam amino dalam hati (ekstra sel), darah berasal dari tiga sumber yaitu: absorbsi kemudian asam amino tersebut ada yang di melalui simpan dalam hati (intra sel) dan sebagian protein dalam sel, dan hasil anabolisme asam dibawa oleh darah ke jaringan-jaringan tubuh. amino dalam sel. dinding usus, hasil katabolisme Asam amino yang dibawa ke hati dikatakan ekstra sel karena sebagian asam amino dalam hati ini kemudian akan dibawa sebagian keluar dari sel atau menuju ke seluruh jaringan tubuh yang membutuhkan.5 Setelah masuk ke Kebutuhan protein manusia sehari-hari dihitung dalam satuan gram per hari berdasarkan kilogram berat badan ideal.14 Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 Berat badan ideal dapat dihitung sumber utama pengahasil energi. Jika berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tinggi dalam makanan yang kita makan kurang badan. Berikut perkiraan kebutuhan mengandung kurang mengandung energi asupan protein berdasarkan usia dan jenis maka tubuh akan mengambil protein lebih kelamin berdasarkan AKG 2013. (Lihat banyak untuk menjadi energi. Ini berarti Tabel 1.1) protein dalam tubuh akan semakin berkurang. Penyakit yang terjadi karena Kekurangan protein hampir selalu disertai kekurangan energy dan protein ini biasa dengan kekurangan energi.13 Hubungan disebut dengan penyakit Kurang Energi antara kekurangan protein dan energi dapat Protein (KEP).4 tejadi karena protein merupakan salah satu Tabel 1.1 Angka kecukupan gizi protein (AKG 2013) Bayi/Anak Protein Pria (thn) Protein Wanita Protein (g) (g) (thn) (g) 0-6 bln 12 10-12 56 10-12 60 7-11 bn 18 13-15 72 13-15 69 1-3 thn 26 16-18 66 16-18 59 5-6 thn 35 19-29 62 19-29 56 7-9 thn 49 30-49 65 30-49 57 50-64 65 50-64 57 65-80 62 65-80 56 80 + 60 80 + 12 Penyakit ini ditemukan pada anak-anak penyakit terjadi pada anak-anak antara usia atau ibu hamil. Penyakit KEP ini juga 2-5 tahun, ketika mereka berhenti minum dapat menyerang orang dewasa. Misalnya ASI dan menerima makanan tambahan pada orang yang mengalami kelaparan yang kurang mengandung protein atau dalam waktu yang lama atau menderita tidak sama sekali.4 penyakit kronis. Namun pada umumnya Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan yaitu dengan metode cross sectional untuk melihat ada tidaknya korelasi antara asupan protein dengan indikator tinggi badan terhadap umur (TB/U) pada anak usia 5-6 tahun di Jakarta. Penelitian ini dilakukan menggunakan data sekunder dari penelitian primer yang berjudul “The effect of Frisian Flag GUM 456 ((isomaltulose enriched and mineral and vitamin fortified) on cognitive performance parameters in young children (5-6 years old)”. yang diperoleh dianalisis menggunakan Uji Pearson sebab data yang diteliti merupakan data kategori numerik dari hipotesis korelatif. Uji Pearson dapat digunakan apabila memenuhi dua syarat yaitu distribusi data harus normal serta memiliki varians sama. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan uji Pearson, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas pada hasil pengukuran dengan memakai Kolmogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk serta uji varians dengan uji Levene statistic. Namun hasilnya tidak memenuhi dua syarat tersebut, maka uji statistik yang Populasi penelitian ini adalah anak usia 56 tahun yang berdomisili di Jalan Kimia, Jakarta Pusat yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian primer. Sampel yang digunakan Data merupakan data digunakan adalah Pengolahan data uji dilakukan Spearman. dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 11.5 for Windows. yang memenuhi kelengkapan mengenai tinggi badan, usia, jenis kelamin, dan jumlah asupan protein harian. Jumlah sampel yang digunakan yaitu 70 data anak. Hasil Sebelum dilakukan uji korelasi asupan protein dan indikator TB/U, dilakukan beberapa uji deskriptif untuk mengetahui sebaran subjek penelitian berdasarkan Pendataan dari hasil skrining meliputi data karakteristik sosio-demografi keluarga, pola asupan protein, dan indikator TB/U. Sebaran protein, dengan menggunakan instrumen subjek penelitian berdasarkan karakteristik semi-kuantitatif sosiodemografi dapat dilihat pada Tabel questionnaire food (FFQ), frequency serta data sosiodemografi, 4.1. antropometri berat badan dan tinggi badan yang diukur dengan standar sesuai dengan pedoman dan pemeriksaan Riskesdas 2007 Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 asupan Tabel 4.1 Sebaran Subjek Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi (n=70) Variabel n % o Laki-laki 32 45,7 o Perempuan 38 54,3 o < Rp. 1.290.000,- 41 59,6 o 29 41,4 Rerata tinggi badan subjek adalah 111,8 ± 6,4. Berdasarkan persentil TB/U, penelitian ini mendapatkan median sebesar 16,5 dengan nilai terendah 1 dan nilai Jenis Kelamin tertinggi 93. Didapatkan 20% subjek penelitian memiliki persentil TB/U kurang dari 5 (stunted). Pendapatan Keluarga Rp. 1.290.000,- Karakteristik sebaran subjek penelitian berdasarkan asupan protein dapat dilihat pada Tabel 4.3. Subjek pada penelitian ini memiliki median umur 6,1 tahun dengan usia termuda 4,9 tahun dan tertua 6,9 tahun. Tabel 4.3 Sebaran Subjek Berdasarkan Karakteristik Asupan Protein (n=70) Subjek yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari subjek berjenis kelamin Variabel laki-laki. Hampir 60% subjek memiliki Asupan Protein (g/hari) pendapatan dibawah upah minimum provinsi DKI Jakarta. n % o <35 6 8,6 o 64 91,4 Karakteristik sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik indikator TB/U dapat dilihat pada Tabel 4.2. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini memiliki rerata asupan protein harian Tabel 4.2 Sebaran Subjek Berdasarkan sebesar 62,9 ± 20,17 g, jauh lebih tinggi Karakteristik Indikator TB/U (n=70) dari angka kecukupan asupan protein Variabel n Indikator % >90% anak yang sudah memiliki asupan TB/U protein sesuai dengan AKG 2013. Namun (Persentil) o <5 14 20 o 56 80 5 untuk anak usia 5-6 tahun. Terdapat lebih demikian, masih terdapat beberapa subjek (8,6%) yang memiliki asupan protein kurang. Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 4.2 Hasil Uji Korelasi Asupan Protein dan Indikator TB/U Tabel 4.5 Hubungan Kecukupan Asupan Protein dengan Status Gizi Berdasarkan TB/U Penelitian ini menggunakan uji Spearman untuk mengetahui korelasi asupan protein dan indikator TB/U. Hal ini dikarenakan uji normalitas terhadap Kolmogorov-Smirnov variabel asupan (p=0,195) namun variabel indikator TB/U menunjukkan sebaran data yang tidak normal (p=0,000). Berikut hasil uji Spearman sebagai uji hipotesis untuk melihat korelasi asupan protein dan TB/U ≥ persentil persentil 5 5 Asupan 2 4 6 52 64 56 70 Protein < 35 g Asupan 12 Protein ≥ 35 g Jumlah 14 indikator TB/U (Lihat Tabel 4.4) Jumlah (stunted) protein menunjukkan sebaran data yang normal TB/U < Tabel 4.4 Korelasi Asupan Protein dan Berdasarkan hasil dari Tabel 4.5, dari 64 Indikator TB/U orang yang mendapatkan asupan protein Uji Spearman TB/U Asupan Protein cukup, 18,8% mengalami stunted, r 0,015 sedangkan dari 6 orang yang memiliki p 0,903 asupan protein kurang, 33,3% mengalami n 70 stunted. Namun demikian, secara statistik tidak ditemukan perbedaan yang bermakna Tabel 4.4 menunjukkan bahwa tidak (p=0,592). terdapat korelasi bermakna antara asupan protein dan indikator TB/U (p=0,903). Oleh sebab itu, peneliti melakukan uji Pembahasan berikutnya yaitu uji chi square untuk melihat hubungan asupan protein dengan status gizi berdasarkan indikator TB/U secara proporsional. Uji ini menggunakan 2 variabel kategorik-kategorik seperti yang terdapat dalam Tabel 4.5. Dari hasil sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosiodemografi menunjukkan bahwa subjek berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada subjek berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014, jumlah Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 anak Indonesia 5-9 Minimum Regional DKI Jakarta tahun laki-laki 2011.17 Tidak ditemukan data mengenai adalah 11.8 juta anak dan anak perempuan persentase penduduk yang mendapat upah berjumlah 11.2 juta anak sehingga rasio dibawah UMR di DKI Jakarta tahun 2011. tahun dengan yang jenis berusia kelamin jenis kelamin anak usia 5-9 tahun di Indonesia adalah 105, artinya Bila melihat keadaan sosioekonomi di diantara 100 perempuan terdapat 105 laki- Jakarta berdasarkan Badan Pusat Statistik, laki.15 Profil distribusi pendapatannya sebesar 16.96% Kesehatan DKI Jakarta tahun 2012, jumlah yaitu terjadi ketimpangan sedang. Artinya, anak laki-laki dalam kelompok umur 5-9 40% penduduk berpendapatan rendah tahun anak menerima pendapatan antara 12-17% dari anak total pendapatan masyarakat.18 Untuk, sehingga rasio jenis kelamin anak usia 5-9 golongan penduduk lainnya di Jakarta, tahun di DKI Jakarta adalah 106, artinya sebanyak diantara 100 perempuan terdapat 106 laki- berpendapatan Berdasarkan adalah sedangkan yang data sebesar dari 407.307 perempuan 383.938 16 laki. 40% persen penduduk menengah menerima pendapatan 35,37% sedangkan 20% persen penduduk berpendapatan atas menguasai Dari data kependudukan Badan Pusat 47,67%. 18 Statistik dan data dari Profil Kesehatan DKI Jakarta, dapat disimpulkan bahwa Berdasarkan karakteristik indikator TB/U, perbandingan anak laki-laki usia 5-6 tahun didapatkan hasil sebanyak 20% subjek lebih besar dibandingkan anak perempuan berada usia 5-6 tahun. Oleh sebab itu, sebaran sebanyak 20% subjek mengalami stunting. subjek penelitian berdasarkan indikator Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi jenis kelamin kurang sesuai dengan data anak usia 5-12 tahun yang stunting adalah kependudukan 30.7% (12.3% sangat pendek dan 18.4% nasional dan data dibawah persentil 5, artinya pendek.1 Oleh sebab itu, hasil yang didapat kependudukan di DKI Jakarta. tersebut berada dibawah angka Nasional. Berdasarkan hasil dari Tabel 4.1, ditemukan sebanyak 60% subjek memiliki Walaupun persentase yang didapatkan pendapatan Rp masih berada dibawah persentase nasional, 1.290.000,-. Hal tersebut menunjukkan namun angka tersebut masih terbilang bahwa sebagian besar subjek memiliki besar. Menurut klasifikasi status malnutrisi pendapatan dari WHO masuk dalam kriteria medium keluarga keluarga dibawah dibawah Upah Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 severity stunting, yaitu diantara 20-29%. makanan dan minuman yang diolah oleh 2 Persentase stunting sebesar 20% yang seorang pengrajin makanan di tempat penelitian ini berjualan dan atau disajikan dalam bentuk menunjukkan bahwa stunting menjadi makanan siap saji untuk dijual secara masalah kesehatan anak yang serius.1 Hal umum yang berlokasi selain di jasa boga, tersebut rumah makan/restoran dan hotel.19 didapatkan pada dikarenakan stunting dapat menyebabkan banyak dampak negatif. Dampak dari stunting meliputi risiko Jajanan favorit anak meliputi sate sosis, cacat, produktivitas ekonomi yang lebih mie bakso, pempek, cimol, tempe goreng, rendah, terhambatnya fungsi kognitif, burger, ayam goreng, minuman es dan penurunan performa sekolah, peningkatan sebagainya. Jajanan tersebut dipilih karena komplikasi obstetrik, risiko melahirkan harganya bayi BBLR, risiko terjadinya penyakit penyajiannya juga cepat. Kandungan gizi kronis serta peningkatan morbiditas dan dari jajanan tersebut tidak lengkap dan mortalitas anak. 4 murah, rasanya enak dan bahkan mengandung tinggi lemak, tinggi gula, tinggi garam serta tinggi protein.20,21 Hasil sebaran subjek berdasarkan Kandungan gizi yang tidak lengkap dan karakteristik asupan protein, didapatkan berlebihan tersebut dapat menyebabkan bahwa sebanyak 90% subjek memiliki kurangnya asupan zat-zat nutrisi lain yang asupan protein yang sesuai dengan angka dibutuhkan tubuh dan berlebihnya asupan kecukupan protein usia 5-6 tahun yaitu zat nutrisi seperti lemak, karbohidrat serta sebesar 35 gram/hari. Selain itu, rerata protein. Makanan jajanan berkontribusi asupan protein harian yang didapatkan secara signifikan terhadap intake harian jauh lebih tinggi yaitu sebesar 62,9 ± 20,17 protein yaitu umunya melebihi 50% dari gram/hari. Hal ini sejalan dengan rata-rata Angka Kecukupan Gizi harian.21 Namun, konsumsi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut protein perkapita sehari penduduk DKI Jakarta, yaitu sebesar 62,02 mengenai hubungan makanan jajanan gram/hari. dengan kecukupan asupan protein harian anak usai 5-6 tahun. Dinilai dari segi sosioekonomi, anak di usia prasekolah memiliki kebiasaan untuk Berdasarkan mengkonsumsi dilakukan, makanan jajanan di uji tidak korelasi yang ditemukan telah adanya sekolah maupun di lingkungan sekitar korelasi bermakna antara asupan protein rumah. harian dengan indikator TB/U (p>0,05). Makanan jajanan merupakan Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 Hal ini sejalan dengan suatu penelitian juga bermanfaat dalam meningkatkan dengan uji chi square yang menyimpulkan penyerapan kalsium dari usus.25 tidak terdapat hubungan antara asupan protein dengan status gizi balita indikator TB/U. Dari penelitian tersebut didapatkan 97% memiliki asupan protein baik. Oleh karena itu, dalam penelitian tersebut juga dikatakan asupan protein tak memberi kontribusi terhadap malnutrisi.22 Namun dalam penelitian lain didapatkan hubungan positif antara asupan protein dengan status balita.23 Dari gizi penelitian lain menggunakan uji Fischer terhadap variabel asupan protein dengan status gizi menurut indikator TB/U didapatkan nilai p=0,037 sehingga disimpulkan terdapat perbedaan bermakna antara kecukupan asupan protein dengan status gizi.24 Oleh sebab itu, hubungan antara asupan protein terhadap indikator TB/U masih belum jelas. Suatu penelitian mengemukakan bahwa tinggi badan berasosiasi secara positif dengan intake protein hewani. Konsentrasi serum IGF juga berasosiasi secara signifikan dengan asupan protein hewani tersebut. Serum IGF metabolisme berguna dalam tulang sehingga menimbulkan efek multiplikasi sel dan maturasi sel. menyimpulkan (protein kadar Penelitian bahwa hewani) serum asupan dapat IGF, tersebut protein meningkatkan sehingga dapat mencetuskan pertumbuhan linear anak. Dengan demikian, kebutuhan asupan protein pada anak harus tetap terpenuhi untuk pertumbuhan yang optimal.26 Namun, hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa stunting tidak hanya Penelitian ini mengharapkan protein dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan tinggi badan anak. Asupan protein berguna dalam menyediakan asam amino bagi formasi matriks tulang, massa otot dan kekuatan otot serta mendukung produksi IGF-1. Secara langsung, protein menempati 50% dari volume tulang dan 1/3 dari massa tulang. Suplai protein yang mencukupi diperlukan untuk proses remodeling matriks tulang agar tulang dapat tumbuh dan berkembang. Protein disebabkan oleh kurangnya asupan protein harian namun akibat beragam faktor (multifaktorial). Faktor-faktor tersebut meliputi genetik tinggi badan orang tua, terhambatnya makronutrien pertumbuhan, dan mikronutrien asupan lain, keberadaan penyakit kronik atau penyakit sistemik, kelainan endoktrin, abnormalitas kromosom serta kelainan tulang dan kartilago.7, 25 Asupan nutrisi yang memiliki hubungan paling kuat terhadap tinggi badan anak yaitu asupan zat besi, zinc, Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 dan vitamin A.4,10 Salah satu penyakit penelitian ini memiliki rerata asupan kronis yang sering menyebabkan stunting protein harian sebesar 62,9 ± 20,17 g. pada anak yaitu infeksi saluran pencernaan Masih terdapat beberapa subjek (8,6%) dan napas pada awal tahun kehidupan. 7,13 yang memiliki asupan protein kurang. Tidak terdapat korelasi bermakna antara Selain itu, stunting merupakan suatu kelainan yang kronik. Stunting dapat terjadi akibat hambatan asupan protein dan indikator TB/U (p=0,903). pertumbuhan mulai dari masa janin hingga masa awal kehidupan (2-5 tahun). Anak yang Saran memiliki BBLR rendah dan defisiensi Perlu nutrisi memenuhi selama resiko yang 9 stunting. dikandungan lebih besar memiliki mengalami Oleh karena itu, diperlukan dilakukan edukasi kecukupan pentingnya asupan protein untuk mencegah terjadinya stunting. Selain itu, perlu dilakukan penelitian yang suatu metode lain yang dapat mengetahui menilai faktor-faktor nutrisi lain yang dan menilai asupan protein jangka panjang dapat mempengaruhi pertumbuhan anak. anak Untuk karena metode questionnaire (FFQ) hanya dapat penelitian yang menggunakan instrumen gambaran asupan protein yang dapat mengetahui asupan protein mengetahui food frequency dalam jangka pendek. jangka kedepannya, panjang perlu untuk dilakukan mendapatkan korelasi yang lebih akurat antara asupan protein dengan stunting. Kesimpulan Subjek penelitian memiliki median umur 6,1 tahun dengan usia termuda 4,9 tahun Referensi dan tertua 6,9 tahun. Subjek yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari 1. Riset Kesehatan Dasar. Status gizi: anak balita dan anak umur 5-18 tahun. Badan subjek berjenis kelamin laki-laki. Hampir Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 60% subjek memiliki pendapatan dibawah upah minimum provinsi DKI Jakarta. Kemenkes RI; 2013. 2. Onis MD, Blossner M, Borghi E. Prevalence and trends of stunting among Rerata tinggi badan subjek adalah 111,8 ± pre-school children, 1990-2020. Public 6,4. Didapatkan 20% subjek penelitian Health Nutrition. 2012 Jan; 15(1): 142-8. memiliki persentil TB/U kurang dari 5 (stunted). Subjek yang terlibat dalam 3. Dewey KG, Begum K. Long-term consequences of stunting in early life. Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 4. 5. Maternal & Child Nutrition Journal 2011; interventions. Pediatrics 2011; 128:e1418- 3:5-18 27 Mahan LK, Escott-Stump S. Krause’s 14. Gibson RS. Principles of nutritional food & nutrition therapy. 12th ed. Canada: assessment. 2nd ed. New York: Oxford Saunders; 2008. University Press; 2005. p 46-60. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. th Harpers illustrated biochemistry. 27 ed. Philadelphia: McGraw-Hill Company; 2006 6. 7. Pokja AKG. Penyempurnaan kecukupan 16. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. 17. Perkembangan Upah Minimum gizi untuk orang indonesia. Pokja AKG; Regional/Provinsi di Seluruh Indonesia 2012 [internet]. Badan Pusat Statistik [cited Nelson textbook of pediatrics.17 th ed. 2014 Mei 17]. Available from: www.bps.go.id The United Nations Children’s Fund. 18. Widodo N. Pertumbuhan ekonomi Jakarta Child hunger and stunting [Internet]. berkualitas, kelompok kelas menengah UNICEF [cited 2014 Feb 17]. Available menggeliat from: Statistik [cited 2014 Mei 17]. Available http://www.unicef.org/progressforchildren from: www.jakarta.bps.go.id /2007n6/index_41505.htm 9. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2013 Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2012 Philadelphia: Saunders; 2004 8. 15. Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta. [internet]. Badan Pusat 19. Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Martorell R, Young MF. Patterns of Makanan Jajanan. Jakarta: Kementerian stunting and wasting: potential Kesehatan RI; 2003 explanatory factors. American Society for Nutrition 2012; 3:227-33 10. Branca F, Ferrari 20. Nasution SSD. Hubungan konsumsi makanan jajanan anak sekolah terhadap M. Impact of total asupan energi dan protein [skripsi] micronutrient deficiencies on growth: the Medan: Universitas Sumatera Utara; 2010 stunting syndrome. Ann Nutr Metab 21. ,Steyn NP, McHiza Z, Hill J, Davids YD, 2002;46:8-17. 11. Dewey KG, Venter I, Hinrichsen E, et al. Nutritional Begum K. Long-Term contribution of street foods to the diet of Consequences of Stunting in Early Life. people in developing countries: a Maternal & Child Nutrition Journal 2011; systematic review. Public Health Nutr 3:5-18 2014;17(6):1363-74 12. Pando R, Yablonski GG, Philip M. 22. Muchlis N, Hadju V, Jafar N. Hubungan Nutrition and catch-up growth. JPGN asupan energi dan protein dengan status 2010; 51: 129-30 gizi 13. Lutter CK, Bernadette ME, Daelmans, Onis M, Monica T, Kothari, et al. Undernutrition, poor feeding practice, and low coverage of key nutrition balita di kelurahanTamamaung [skripsi]. Makasar: Universitas Hasanudin; 2011 23. Regar E, kecukupan Sekartini asupan R. Hubungan energi dan makronutrien dengan status gizi anak usia Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014 5-7 tahun di kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012. eJKI;1(3);181185 24. Dewi, L,. M,. 2012. Kontribusi kondisi ekonomi keluarga terhadap status gizi (BB/TB Skor Z) pada anak usia 3-5 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Sambongpari, Kecamatan Tasikmalaya Mangkubumi, Tahun 2012 Kota [skripsi]. Tasikmalaya: Ilmu Kesehatan Peminatan Gizi Universitas Siliwangi. Korelasi antara..., Joseph Prasetyo, FK UI, 2014