Secara umum, kerusakan hepar karena obat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hati merupakan salah satu organ tubuh yang besar dan merupakan pusat
metabolisme tubuh manusia. Organ ini memiliki fungsi yang kompleks di antaranya
mempunyai peranan dalam memetabolisme karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
obat-obatan (Ganong, 2008). Pada proses metabolisme, obat akan diproses melalui hati
sehingga enzim hati akan melakukan perubahan (biotransformasi) kemudian obat
menjadi dapat lebih larut dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin atau empedu
(Depkes RI, 2003).
Gangguan fungsi hati masih menjadi masalah kesehatan besar di negara maju
maupun di negara berkembang. Indonesia merupakan negara dalam peringkat endemik
tinggi mengenai penyakit hati (Depkes RI, 2007). Angka kejadian kerusakan hati sangat
tinggi, dimulai dari kerusakan yang tidak tetap namun dapat berlangsung lama. Salah
satu penyebab kerusakan hati adalah obat-obatan (Depkes RI, 2007). Di Amerika
Serikat sendiri ada sekitar 2000 kasus gagal hati akut yang terjadi setiap tahunnya dan
lebih dari 50% disebabkan oleh obat. Obat yang dikatakan hepatotoksik adalah obat
yang dapat menginduksi kerusakan hati atau biasanya disebut drug induced liver injury
(Sonderup, 2006). Obat penginduksi kerusakan hati semakin diakui sebagai penyebab
terjadinya penyakit hati akut dan kronis.
Sekitar 1000 sampai 3000 kasus obat ditarik dari pasaran dikarenakan hepatotoksik
(Department of Health and Human Services Food and Drug Administration, 2009).
Hepatotoksisitas merupakan komplikasi potensi obat yang paling sering dijumpai dalam
resep, hal ini mungkin dikarenakan peran hati dalam memetabolisme obat (Aithal &
Day, 1999). Obat-obat yang dapat menyebabkan keparahan pada pasien gangguan
fungsi hati seperti sirosis hati, hepatitis hati adalah bentazepam, methotrexate,
ebrotinide. Danaxole merupakan obat yang dapat menyebabkan kanker hati (Lucena et
al., 2008). Menurut Pauls dan Senior (2012) obat-obat seperti estrogen, androgen,
chorpromazine, asam klavulanat, dan piroxicam dapat menyebabkan kolestatis. Obat
lain seperti amiodaron dapat menyebabkan perlemakan hati. Sebuah penelitian di
Perancis menunjukkan sekitar 13,9 kasus/100.000 populasi kejadian DILI (Drug Induce
Liver Injury). Dalam sebuah penelitian akibat DILI, 4 dari 34 (11,8%) pasien dirawat di
rumah sakit, dan dua orang (5,9%) meninggal (Reuben, 2010). Sebanyak 14% kasus
DILI menyebabkan transplatasi hati bahkan kematian di Singapore (Wai, 2006). Tahun
2012 terdapat penelitian di salah satu rumah sakit Tasikmalaya yang menunjukan
bahwa 96% pasien dengan gangguan fungsi hati masih banyak yang diberikan obat
penginduksi penyakit hati diantaranya ranitidin, sefriakson, dan parasetamol (Cinthya,
2012).
Penelitian di RSUD Dr. Moewardi mengenai obat penginduksi penyakit hati masih
belum ada. Untuk itu diperlukan observasi lebih lanjut mengenai penggunaan obatobatan penginduksi penyakit hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati di RSUD Dr
Moewardi Surakarta.
B. Perumusan Masalah
Bagaimana penggunaan obat-obatan penginduksi penyakit hati pada pasien
dengan gangguan fungsi hati ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan obatobatan
penginduksi penyakit hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Hepar
2.1.1.Anatomi, Fisiologi, dan Histologi
Hepar merupakan kelenjar yang beratnya sekitar 1,4 kg pada dewasa. Hepar
terletak inferior dari diafragma, menempati sebagian besar ruang hipokondrium
kanan dan sebagian regio epigastrikum dalam kavitas abdominopelvikum. Hepar
dibagi oleh ligamen falsiformis menjadi 2 lobus utama, yaitu lobus dekstra dan
sinistra. Pada lobus dekstra terdapat lobus kuadratus di bagian inferior serta lobus
kaudatus di bagian posterior (Tortora dan Derrickson, 2012).
Hepar adalah organ yang sangat penting untuk mengatur metabolisme tubuh.
Fungsi hepar bagi sistem pencernaan di antaranya adalah sekresi garam empedu
yang membantu mencerna dan mendigesti lemak. Fungsi lain hepar yaitu,
memetabolisme nutrisi setelah diabsorbsi oleh traktus digestivus; detoksifikasi
tubuh; mensintesis plasma protein; menyimpan glikogen, lipid, besi, dan vitamin;
mengaktivasi vitamin D; mengeleminasi bakteri dan mendegradasi eritrosit tua;
mensekresi hormon trombopoietin, hepsidin, dan insulin-like growth factor;
memproduksi protein inflamasi fase akut; dan mengekskresi kolesterol serta bilirubin
(Sherwood, 2010).
Hepar mensintesis juga memproses substansi-substansi yang kemudian
disalurkan ke organ tubuh lain. Oleh karena itu, disiplin biokimia tergantung oleh
reaksi metabolik yang terjadi di hepar. Hepar berfungsi sebagai organ penyimpanan
vitamin, dengan kuantitas terbanyak adalah vitamin A, D, dan B12. Selain itu, hepar
juga menyimpan besi dalam bentuk feritin dan mensintesis substansi-substansi yang
diperlukan dalam proses pembekuan darah. Hepar memiliki kemampuan
detoksifikasi obat dan hormon, termasuk sulfonamid, penisilin, ampisilin,
eritromisin, tiroksin, dan hormon steroid (Guyton dan Hall,
2006).
Unit fungsional hepar adalah hepatosit, yang berbentuk polihedral besar,
dengan enam atau lebih permukaan, dan berdiameter 20-30 µm. Hepatosit memiliki
inti sferis besar dengan nukleolus. Sel-sel tersebut sering memiliki dua atau lebih
nukleolus dan sekitar 50% darinya bersifat polipoid, dengan 2,4,8, atau melebihi
jumlah kromosom diploid normal. Inti polipoid ditandai dengan ukuran yang lebih
besar, yang proporsional dengan sifat ploidnya. Permukaan setiap hepatosit
berkontak dengaan dinding sinusoid melalui celah Disse dan dengan permukaan
hepatosit lain. Di tempat dua hepatosit berkontak terbentuk suatu celah tubular di
antara kedua sel ini yang disebut kanalikulus biliaris (Mescher, 2011).
Dari kanalikuli, empedu dialirkan ke duktulus empedu dan duktus empedu.
Duktus empedu bergabung dan membentuk duktus hepatikus dekstra dan sinistra dan
bergabung keluar dari hepar dalam duktus hepatikus komunis. Sinusoid adalah
kapiler yang sangat permeabel, menerima darah teroksigenasi dari cabang-cabang
arteri hepatika dan darah mengandung nutrisi dari vena porta hepatika. Pada sinusoid
juga terdapat sel Kupfer yang mendestruksi eritrosit dan leukosit tua, bakteri, dan
benda asing lainnya (Tortora dan Derrickson, 2012). Berbagai zat dan obat yang
berpotensi toksik dapat dinonaktifkan melalui oksidasi, metilasi, atau konjugasi.
Enzim yang berpartisipasi dalam proses ini terutama berada pada Retikulum
Endoplasma (RE) halus hepatosit. Pada keadaan tertentu, obat yang dinonaktifkan
dalam hepar dapat menginduksi penambahan RE halus dalam hepatosit sehingga
kapasitas detoksifikasi hepar meningkat (Mescher, 2011).
Dalam tabel 1 menurut Navarro (2006), beberapa obat dapat menyebabkan
kerusakan pada hati seperti hepatoseluller, kolestasis ataupun gabungan dari hepatitis
dan kolestasis.
2.1.2.Hepatotoksisitas Akibat Obat (Drug-Induced Hepatotoxicity)
Hepar adalah pusat metabolisme setiap substansi asing yang masuk ke dalam tubuh.
Kebanyakan obat dan xenobiotik bersifat lipofilik sehingga mampu melewati
membran sel usus. Obat diubah menjadi bentuk yang lebih hidrofilik oleh proses
biokimia di dalam hepar, menjadikannya produk larut air yang akan diekskresikan
lewat urin ataupun empedu. Proses biotransformasi ini meliputi reaksi oksidatif,
secara primer oleh sistem enzim cytochrome P-450 (CYP450) (Lee, 2003).
Biotransformasi obat di hepar meliputi reaksi Fase I dan Fase II. Fase I meliputi jalur
oksidatif, reduktif, hidroksilasi, dan demetilasi. Fase ini secara primer dilakukan oleh
sistem enzim CYP450 yang berlokasi di retikulum endoplasma hepar (Singh et al.,
2011). Amoksisilin dimetabolisme oleh CYP2C19 yang merupakan subfamily atau
isoform dari CYP450 (Preissner et al., 2012). Sebagai hasil biotransformasi Fase I,
terbentuk molekul reaktif yang mungkin lebih toksik dibandingkan parent molecule.
Jika molekul reaktif ini tidak dimetabolisme lebih lanjut pada Fase II, molekul ini
akan menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA sel (Liska, 1998). Fase
II biotransformasi obat di hepar meliputi reaksi konjugasi bahan kimia dengan
molekul hidrofilik, seperti glukuronida, sulfat, atau asam amino. Reaksi konjugasi
ini akan membentuk metabolit larut air sehingga obat dapat diekskresi. Reaksi lain
yang juga terjadi yaitu konjugasi secara kovalen antara toksik dengan glutation oleh
glutation-S-transferase (Singh et al., 2011).
Biotransformasi obat dapat diinduksi atau diinhibisi dengan berbagai macam
makanan atau obat yang dikonsumsi, umur, jenis kelamin, genetik, dan gaya hidup.
Ketika tubuh terpapar oleh xenobiotik dosis tinggi, enzim-enzim yang terlibat dalam
proses biotransformasi obat Fase I dan II akan terinduksi, sehingga proses menjadi
lebih cepat. Inhibisi proses biotransformasi obat terjadi jika ada kompetisi antara dua
senyawa atau lebih yang dibiotransformasi pada satu enzim yang sama. Selain itu,
peningkatan kadar toksik
yang tinggi dapat juga menyebabkan inhibisi
biotransformasi karena sistem tidak mampu bekerja (Liska, 1998). Lebih dari 900
obat-obatan, racun, dan herbal telah dilaporkan menjadi penyebab kerusakan hepar.
Terdapat bermacam-macam jenis kerusakan hepar karena obat, misalnya acute-dose
dependent liver damage,infiltrasi lemak akut, cholestatic jaundice, granuloma hepar,
hepatitis kronik aktif, sirosis hepar, tumor hepar, dan lain-lain (Pandit et al., 2012).
Hepatotoksisitas adalah kerusakan hepar karena bahan kimia. Agen tertentu jika
dikonsumsi dalam dosis berlebihan, kadang-kadang juga dalam dosis terapeutik,
mungkin merusak hepar. Bahan kimia yang dapat menyebabkan kerusakan hepar
disebut hepatotoksin. Hepatotoksin sering menyebabkan kerusakan yang subklinis,
yaitu hanya bermanifestasi pada hasil enzim hepar yang abnormal (Pandit et al.,
2012).
Efek samping kerusakan hepar oleh obat dapat dikatakan predictable dengan tingkat
insidensi tinggi atau unpredictable dengan tingkat insidensi rendah. Obat dengan
insidensi tinggi misalnya parasetamol, yang memberikan efek dalam beberapa hari
dan menyebabkan hepatotoksisitas secara langsung atau dari metabolitnya. Obat
dengan insidensi rendah dapat muncul dalam jangka waktu sedang (1-8 minggu),
misalnya fenitoin, atau jangka waktu panjang (1 tahun), misalnya isoniazid
(Kaplowitz, 2004).
Secara umum, kerusakan hepar karena obat diklasifikasikan menjadi
a. hepatotoksisitas intrinsik
b. hepatotoksisitas idiosinkratik.
Hepatotoksisitas intrinsik tergantung dengan dosis obat dan dapat terjadi jika dosis
diberikan melebihi batas aman, sedangkan hepatotoksisitas idiosinkratik terjadi tanpa
ketergantungan yang jelas terhadap dosis obat dan insidennya cenderung tidak
terduga. Hepatotoksisitas idiosinkratik dibagi menjadi alergik dan non-alergik.
Alergik ditandai dengan adanya gejala dan tanda yang signifikan terhadap reaksi
imun, termasuk demam, reaksi kulit, eosinofilia, pembentukan autoantibodi, dan
adanya paparan berulang (Russmann et al., 2009).
2.1.3 Patogenesis Hepatotoksisitas
Patogenesis hepatotoksisitas karena obat biasanya melibatkan partisipasi metabolit
obat yang akan mengaktifkan sistem imun ataupun secara langsung merusak
biokimia sel. Kedua mekanisme perusakan akan berujung pada kematian sel yang
dapat bermanifestasi menjadi hepatitis. Metabolit obat dapat bersifat elektrofilik atau
radikal bebas yang akan menginduksi berbagai macam reaksi kimia, seperti deplesi
glutation terreduksi; berikatan secara kovalen dengan protein, lipid, atau asam
nukleat; atau menginduksi peroksidasi lipid. Konsekuensi dari proses-proses tersebut
bersifat
langsung
kepada
organel-organel
seperti
mitokondria,
retikulum
endoplasma, sitoskeleton, mikrotubulus, ataupun nukleus. Proses ini juga dapat
memengaruhi sel secara tidak langsung melalui aktivasi dan inhibisi sinyal kinase,
faktor transkripsi, dan profil ekspresi gen. Stres intraselular akan terjadi dan
menyebabkan kematian sel karena pengerutan sel dan pemisahan nuklear (apoptosis)
ataupun pembengkakan dan lisis (nekrosis). Kematian hepatosit adalah target utama
proses ini. Namun, kerusakan juga dapat terjadi pada sel endotelial sinusoid dan
epitel duktus empedu (Kaplowitz, 2004).
2.1.4 Manifestasi Klinis, Diagnosis, Komplikasi
Adanya gejala anoreksia nonspesifik, mual, rasa gatal dan kelelahan sampai ikterus
yang jelas pada pemakaian obat atau suplemen diet, baik yang diresepkan ataupun tidak,
harus meningkatkan kecurigaan terhadap hepatotoksisitas akibat obat. Diagnosis
hepatotoksisitas akibat obat berdasarkan International Consensus Criteria :
1.
Waktu antara mulai minum obat sampai gejala reaksi nyata muncul umumnya 5-90
hari.
2.
Reaksi sesudah penghentian obat berupa penurunan enzim hati paling tidak 50%
dari konsentrasi di atas batas normal terjadi dalam 8 hari.
3.
Penyebab lain gangguan fungsi hati harus disingkirkan dengan pemeriksaan teliti
termasuk infeksi hepatitis karena virus, bakteri, alkohol, hepatitis autoimun,
penyakit traktus biliaris, dan gangguan hemodinamik
4.
Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama, setidaknya
kenaikan dua kali lipat kadar enzim hati.
Gambaran klinis hepatotoksisitas akibat obat yang paling mudah dikenali adalah
kerusakan hepatoseluler akut dan kolestasis. Kerusakan hepatoseluler akut sering
berkaitan dengan gejala badan lemas, nyeri perut, dan ikterus. Kadar alanin
aminotransferase meningkat tajam dengan peningkatan minimal kadar alkali fosfatase.
Kombinasi ikterus, gangguan fungsi hati (ditandai dengan meningkatnya prothrombin
time[PT ] atau activated partial thromboplastin time [APTT ]) serta ensefalopati
mengindikasi gangguan fungsi hati berat. Perkembangan gejala-gejala di atas kurang
dari 26 minggu merupakan ciri khas gangguan fungsi hati akut pada pasien tanpa
sirosis sebelumnya. Sindrom hepatoseluler akut mempunyai prognosis buruk bila tidak
dilakukan transplantasi hati. Penyakit kolestasis hati ditandai dengan ikterus dan gatalgatal, dengan kadar alkali fosfatase meningkat tajam di awal. Penyembuhan umumnya
sempurna tetapi membutuhkan waktu beberapa minggu atau bulan.Transplantasi hati
mungkin diperlukan pada beberapa pasien dengan gagal hati akut.
2.1.5 Contoh Mekanisme Obat Hepatotoksik
Parasetamol sebagai analgetik dan toksisitasnya
Parasetamol bekerja dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin. Prostaglandin
adalah suatu senyawa dalam tubuh yang merupakan mediator nyeri dan inflamasi. Enzim
cyclooxygenase (COX) merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan
prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin tidak akan terbentuk apabila enzim
cyclooxygenase dihambat, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri (Zullies,2010).
Parasetamol memiliki keunggulan dibanding obat golongan NSAID lainnya, yaitu relatif
lebih aman terhadap lambung. Hal tersebut dikarenakan selain enzim COX-1 dan COX-2
yang mengkatalisis perubahan prostaglandin, terdapat enzim COX-3 yang banyak terdapat
di
otak dan sistem syaraf pusat. Parasetamol lebih spesifik menghambat
enzim COX-3 yang terdapat di otak, sehingga menghambat prostaglandin
yang dapat mempengaruhi termostat di hipotalamus. Kerja parasetamol
dalam menghambat COX-3 ini dapat menurunkan demam, selain itu
bekerja sebagai analgesik karena penghambatan prostaglandin dapat
menurunkan ambang rasa nyeri. Kerja parasetamol yang spesifik pada
COX-3 dan tidak menghambat COX-2, membuat efek parasetamol sebagai
anti radang kecil di jaringan. Tidak terhambatnya COX-1 oleh parasetamol
juga memperkecil efek samping pada lambung karena tidak mempengaruhi
produksi prostaglandin jaringan yang dibutuhkan untuk melindungi
mukosa lambung (Zullies, 2010).
Parasetamol bila dikonsumsi secara oral akan cepat diabsorbsi dan
dialirkan oleh darah menuju hepar. Parasetamol di dalam hepar dioksidasi
oleh bentuk iso CYP450 menjadi metabolit reaktifnya yang disebut Nasetilp-benzokuinonimina (NAPQI). Proses tersebut dinamakan aktivasi
metabolik. NAPQI merupakan senyawa yang reaktif dan akan mengasilasi
makromolekul selular esensial sehingga dapat menyebabkan toksisitas.
Bila parasetamol digunakan dalam dosis teurapeutik, kadar glutation yang
terdapat dalam tubuh cukup untuk mendetoksifikasi NAPQI. Glutation
mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat secara kovalen radikal
bebas NAPQI dan menghasilkan konjugat asam merkapturat yang
kemudian akan dieksresikan melalui urin (Zullies, 2010). Jika parasetamol digunakan
dalam dosis tinggi, kadar NAPQI akan melebihi kemampuan
glutation untuk mendetoksifikasi NAPQI dan menyebabkan kerusakan
intraseluler diikuti nekrosis hepar (Cairns, 2008). Metabolit NAPQI
merupakan metabolit hepatotoksik dengan mekanisme pengikatan kovalen
protein dalam hepar dan menyebabkan stress oksidatif (Nelson, 1995).
Sehingga dengan adanya peningkatan metabolit NAPQI, kerusakan hepar
mudah terjadi. Antidotum untuk keracunan parasetamol adalah dengan
memberikan N-asetilsistein. Senyawa tersebut adalah derivat asetil asam
amino esensial sistein yang berfungsi sebagai sumber alternatif gugus thiol
(-SH) (Cairns, 2008). N-asetilsistein bekerja sebagai subtitusi glutation
dalam mendetoksifikasi metabolit aktif atau toksik, contohnya NAPQI.
Pemberian asetilsistein akan lebih bermanfaat bila diberikan segera setelah
terjadi keracunan jika memungkinkan (Priyanto, 2010).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dienstag JL. Toxic and Drug-Induced Hepatitis. Dalam: Kasper D et al (eds). Harrison’s
Principles of Internal
Ganong,W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Gibson, James L et al 2006, “Organizations (Behavior, Structure, Processes),” Twelfth
Edition, McGrow Hill.
Koolman, J,.Rohm., K.H., 1995, Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Wanandi SI,
penerjemah; Jakarta: Hipokrates. Terjemahan dari: Color Atlas of Biochemistry.
Martin, D.W., Mayes, P.A., Rodwell, V.W., 1984, Biokimia, Dharma A, Kurniawan AS;
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Review of Biochemistry.
Medicine, Volume II, 17 ed, New York, McGraw-Hill, 2008, 1949-1955.
Mehta N. Drug-Induced Hepatotoxicity. Available from URL : www.
Emedicine.medscape.com/article/169814
Navarro VJ, Senior JR. Review article : Current Concepts Drug-Related Hepatotoxicity.
New Engl J Med 2006;
overview. April, 26, 2010.
Download