PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP INTENSITAS NYERI REUMATOID ARTRITIS PADA LANSIA DI UNIT REHABILITASI SOSIAL WENING WARDOYO UNGARAN Muhammad Fajrin Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran JL. Gedongsongo-Candirejo, Ungaran, Kab. Semarang [email protected] ABSTRAK Rematoid artritis adalah suatu bentuk penyakit sendi yang sering dijumpai, meliputi bermacam-macam kelainan dengan penyebab yang berbeda. Reumatoid artritis merupakan salah satu penyebab nyeri sendi, khususnya sendi-sendi kecil di daerah pergelangan tangan dan jari-jari. Nyeri di sendi yang terkena dipaparkan oleh gerakan, merupakan manifestasi tersering Arthritis Rheumatoid. Salah satu penatalaksanaan nyeri yang dianggap efektif adalah dengan terapi tertawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansi di unit rehabilitasi sosial wening wardoyo ungaran. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian eksperimen semu (Quasi Eksperiment Design) menggunakan rancanganpretest posttest dengan kelompok kontrol (Pretest-Posttest with Control Group). Populasi dalam penelitian ini sebanyak 96 lansia dengan jumlah sampel sebanyak 30 lansia dimana 15 lansia kelompok intervensi dan 15 lansia kelompok kontrol. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling sedangkan alat pengukuran intensitas nyeri reumatoid artritis menggunakan Visual analog scale (VAS) dimana sebuah garis lurus yang memiliki panjang 10cm/100mm dengan ujung kiri 0 artinya sangat ringan nyeri dan ujung kanan 10 artinya nyeri sangat berat. Analisa data menggunakan uji t-test independent untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia. Rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum dan sesudah diberikan tearapi tertawa yaitu 4,53 dan setelah diberikan terapi tertawa mengalami penurunan menjadi 3,13, dan dihasilkan p-value 0,000 < (0,05), ini menunjukkan bahwa ada perbedaan secara bermakna intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa. Disarankan pada tenaga kesehatan khususnya bidang keperawatan untuk mengambil intervensi yang lebih efektif lagi dalam menangani nyeri rheumatoid arthritis dengan terapi tertawa dimana didapatkan rata-rata penurunan nyeri sebelum diberikan terapi tertawa sebesar 4,53, dan sesudah perlakuan menjadi 3,13. Kata kunci: reumatoid artritis, nyeri, terapi tertawa ABSTRACT Rheumatoid arthritis is a form of joint disorder is often found, covering a various disorder with different causes. Rheumatoid arthritis is one of the causes of joints pain, especially the small joints in the wrist and fingers. A joint pain affected by the movement, is the most common manifestation of rheumatoid arthritis. One of the effective pain management is laughter therapy. This study aims to find the influence of laughter therapy toward rheumatoid arthritis pain intensity in the elderly at Wening Wardoyo Social Rehabilitation Unit Ungaran. The research design used in this study was quasi-experimental with pretest-posttest with control group design. The population in this study was 96 elderly with the samples were 30 elderly in which 15 elderly for intervention group and 15 elderly for control group. Data sampling used purposive sampling technique while the instrument of rheumatoid arthritis pain intensity used Visual Analog Scale (VAS) in which a straight line that has 10 cm/100 mm long with left-end of 0 that indicated very mild pain and right-end of 10 that means very severe pain. Data analysis used independent t-test to find the influence of laughter therapy toward rheumatoid arthritis pain intensity in the elderly. The average value of pain intensity in elderly with rheumatoid arthritis on the before laughter therapy provided is 4.53 and after therapy decreased to 3.13, and obtained the p-value of 0.000 < (0.05), this indicates that there is a significant difference in rheumatoid arthritis pain intensity in the elderly between before and after laughter therapy provided. It is recommended for the health workers, especially of nursing to take more effective interventions in dealing with the rheumatoid arthritis pain. With laughter therapy which found an average decrease in pain before being given therapy laugh at 4.53, and after treatment to 3.13. Keywords : Reumatoid artritis, Pain, Laughter therapy PENDAHULUAN Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anakanak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat dieamalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semoa orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Dimasa ini orang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011). Stanley dan Berae (2007) dalam Azizah (2011), mendifinisikan lansia berdasarkan karakteristik sosial masarakat yang menganggap bahwa orang telah tua jika menunjukan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit, dan hilangnya gigi. Dalam peran masyarakat tidak bisa lagi melaksanakan fungsi peran orang dewasa, seperti pria yang tidak lagi terikat dalam kegiatan ekonomi produktif dan wanita tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kriteria simbolik seseorang dianggap tua ketika cucu pertamanya lahir. Dalam kepulauan pasifik, seseorang dianggap tua ketika ia berfungsi sebagai kepala dari garis keturunan keluarganya Adapun pengelompokan usia menurut Setyonegoro dalam Azizah (2011), lanjut usia dikelompokan menjadi usia dewasa muda (elderly adulhood), 18 atau 29-25 tahun, usia dewasa penuh (midle years) atau maturitas,25-60 tahun atau 65 tahun, lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang dibagi lagi dengan 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), lebih dari 80 (very old) Menurut tradisi, usia tua sudah dianggap sebagai tahap kehidupan dimana lebih banyak terjadi penurunan dari pada peningkatan. Kebanyakan dari lansia dengan penurunan fungsi rata-rata mengalami penyakit salah satunya adalah penyakit pada persendian yang disertai nyeri (Indriana, 2012). Suatu bentuk penyakit sendi yang sering dijumpai pada lansia adalah reumatoid artritis, dimana penyakit ini meliputi bermacammacam kelainan dengan penyebab yang berbeda (Robbins, 2007) dalam (Rosyidi, 2013). Rematoid Artritis juga diartikan sebagai suatu penyakit jaringan penyambung sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial dari sendi diartroidial (Rosyidi, 2013). Etiologi Rheumatoid Artritis masih belum diketahui, kemungkinan Rheumatoid Artritis merupakan manifestasi respon terhadap suatau agen infeksisosa pada penjamu yang secara genetis rentan telah diperkirakan. Karena distribusi Rheumatoid Artritis yang telah mendunia, organisme tersangka yang telah dihipotesisikan terdapat diamana-mana. Sejumlah agen penyebab telah diperkirakan, yaitu Mycoplasma, virus epitein barr, sitomegalovirus, parvorius dan virus rubella, tetapi bukti yang meyakinkan apakah agen tersebut atau agen infeksiosa lain menyebabkan Rheumatoid Artritis belum ada (Harruson, 2000 dalam Rosyidi, 2013). Menurut Arthritis Foundation 2006, jumlah penderita arthritis atau gangguan sendi kronis lain di Amerika Serikat terus meningkat. Pada tahun 1990 terdapat 38 juta penderita dari sebelumnya 35 juta pada tahun 1985. Data tahun 1998 memperlihatkan hampir 43 juta atau 1 dari 6 orang di Amerika menderita gangguan sendi, dan pada tahun 2005 jumlah penderita arthritis sudah mencapai 66 juta atau hampir 1 dari 3 orang menderita gangguan sendi. Sebanyak 42,7 juta diantaranya telah terdiagnosis sebagai athritis dan 23,2 juta sisanya dalah penderita dengan keluhan nyeri sendi kronis. Sedangkan prevalensi rematik di Indonesia menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Zeng QY mencapai 23,6% samapai 31,3% . Sedangkan berdasarkan pengelompokan umur, diperoleh bahwa prevalensi penderita reumatoid artritis kelompok umur 15-24 tahun adalah yang paling kecil sebesar 8,0% sedangkan prevalensi penderita reumatoid artritis yang paling banyak terdapat pada kelompok umur lebih dari 65 tahun ke atas sebesar 63%. Terlihat kecenderungan bahwa prevalensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Nainggolan, 2009) . Reumatoid artritis merupakan salah satu penyebab nyeri sendi, khususnya sendi-sendi kecil di daerah pergelangan tangan dan jarijari. Keluhan kaku, nyeri dan bengkak akibat penyakit rematik dapat berlangsung terus-menerus dan semakin lama semakin berat tetapi ada kalanyahanya berlangsung selama beberapa hari dan kemudian sembuh dengan pengobatan. Namun demikian, kebanyakan penyakit reumatoid artritis berlangsung kronis, yaitu sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan sendi secara menetap. Keluhan kaku dan nyeri sendi pada penyakit rematik adakalanya disertai oleh perasaan mudah lelah (Nainggolan, 2009). Nyeri sering diilusikan sebagai suatu keadaan yang berbahaya atau tidak berbahaya seperti sentuhan ringan. Nyeri akan dirasakan apabila reseptor-reseptor nyeri spesifik teraktivasi. Nyeri dapat dijelaskan secara subyektif dan obyektif berdasarkan lama atau durasi, kecepatan sensasi dan letak (Trisnowiyanto, 2012). Awal mula nyeri mungkin terasa disekitar sendi dengan lokasi tidak jelas. Nyeri di sendi yang terkena dipaparkan oleh gerakan, merupakan manifestasi tersering Arthritis Rheumatoid. Secara klinis, peradangan sinovium menyebabkan nyeri tekan, pembengkakan, dan keterbatasan gerak. Pada pemeriksaaan sendi, terutama sendi besar misalnya lutut, teraba hangat tapi jarang terjadi eritmia. Nyeri utama berasal dari kapsul sendi, yang banayak dipersarafi oleh serat nyeridan sangat peka terhadap rangsangan atau distensi (Rosyidi, 2013) Tidak ada cara yang tepat untuk menjelaskan seberapa berat nyeri seseorang. Tidak ada test yg dapat mengukur intesitas nyeri, tidak ada alat imaging ataupun alat penunjang dapat menggambarkan nyeri, tidak ada alat imaging ataupun alat penunjang dan dapat menggambarkan nyeri, dan tidak ada alat yang dapat menentukan lokasi nyeri dengan tepat. Akan tetapi intensitas nyeri bisa diketahui dengan cara meminta individu untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal. Misal; tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, nyeri berat hambat atau sangat nyeri, atau dengan membuat skala nyeri yang sebelumnya yang bersifat kualitatif menjadi bersifat kuantitatif dengan menggunakan skala 0-10 yang bermakna 0=tidak nyeri dan 10=nyeri sangat hebat (Judha, Sudarti dan Fauziah, 2012). Salah satu penatalaksanaan nyeri yang dianggap efektif adalah dengan terapi tertawa. Terapi tertawa adalah suatu terapi untuk mencapai kegembiraan didalam hati yang dikeluarkan melalui mulut dalam bentuk suara tawa, senyuman yang menghias wajah, suara hati yang lepas dan bergembira, peredaran darah yang lancar sehingga bisa mencegah penyakit, memelihara kesehatan, serta menghilangkan stres (Robinson,1990; Dahl dan O’Neal,1993 dalam Setyoadi dan Kushariyadi, 2011). Menurut Setyawan (2012) mengatakan bahwa tawa melepaskan dua neuropeptide yaitu endorphin dan encephalin. Keduanya zat penenang yang merupakan agen penghilang rasa sakit yang secara alami di hasilkan oleh tubuh. Kemampuan tawa meredakan ketegangan otot dan menenangkan sistem saraf simpatetik, juga membantu mengendalikan rasa sakit seperti halnya peningkatan sirkulasi. Dengan demikian, tawa berdampak ganda sebagai penghilang rasa sakit dalam kondisi radang sendi, radang tulang belakang,yang berguna bagi kesehatan dan sebagainya (Setyawan, 2012). Hal ini dengan tepat dipaparkan oleh artikel (New England Journal of Medicine, Desember 1976 dalam Setyawan 2012) dimana ia mencatat bahwa sepuluh menit tertawa mempunyai efek analgesik selama dua jam berdasarkan pengalaman peribadinya sebagai penderita radang tulang belakang parah. Cogan dan rekanrekannya (Jurnal of Behavioural Medicine 1987 dalam Setyawan 2012) memperlihatkan berdasarkan eksperimen klinis bahwa tingkat kenyamanan subjek meningkat setelah melakukan latihan tawa. Hipotesis fisiologis juga menyatakan bahwa tertawa melepaskan hormon endorfin kedalam sirkulasi sehingga tubuh menjadi lebih nyaman dan rileks. Hormon endorfin disebut juga sebagai morfin tubuh yang menimbulkan efek sensasi nyaman dan sehat (Potter, 2005 dalam Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Saat tertawa, tidak hanya hormon endorfin saja yang keluar tetapi banyak hormon positif lainya yang muncul. Keluarnya hormon positif ini akan menyebabkan lancarnya peredaran darah dalam tubuh sehingga fungsi organ berjalan dengan normal. (Simon 1990 dalam Setyoadi & Kushariyadi 2011), menunjukan bahwa tertawa dapat mengurangi persepsi individu lansia tentang kesehatan dan moral, berkaitan dengan proses penuaan yang lancar (Setyoadi & Kushariyadi 2011). Adapun manfaat terapi tertawa terhadap kesehatan lainya yaitu membantu seseorang untuk lebih percaya diri, anti stres, memperkuat sistem kekebalan tubuh, mencegah depresi, dan tertawa juga sebagai pendekatan holistik (Setyawan, 2012). Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 18 desember 2013 di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran dengan melakukan pendekatan kognitif dengan mengukur intensitas nyeri pada lansia rematik. Dari 96 jumlah keseluruhan lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran diambil secara acak lansia yang mengalami penyakit rematik sebanyak 20 lansia sebagai sampel untuk pengukuran intensitas nyeri. Instrumen yang digunakan untuk mengukur rasa nyeri secara subyektif adalah VAS (visual analog scale), yaitu dengan cara bertanya kepada pasien mengenai derajat nyeri yang diwakili dengan angka 0 (tidak ada nyeri) sampai 10 (nyeri sangat hebat). dari 20 lansia yang diambil sebagai sampel, diantaranya yang mengalami nyeri sangat ringan dengan skor (0,5-1,9) terdiri dari 2 lansia, nyeri ringan dengan skor (2,02,9) terdiri dari 4 orang lansia, nyeri sedang dengan skor (3,0-4,9) terdiri dari 6 orang lansia, nyeri kuat dengan skor (5,0-6,9) terdiri dari 5 orang lansia, nyeri sangat kuat dengan skor (7,0-9,9) terdiri dari 2 orang lansia dan nyeri berat/nyeri tak tertahankan dengan skor (10) teriri dari 1 orang. Dari hasil pengukuran tersebut lansia yg terbanyak mengalami nyeri rematik pada skor (3,0-4,9) yaitu nyeri sedang. Sejauh ini penanganan nyeri yang sudah dilakukan terhadap pasien di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo hanya dengan menggunakan obat anti nyeri dan tekhnik rileksasi, belum ada pengajaran tentang cara menangani nyeri pada lansia dengan terapi tertawa. Padahal menurut teori terapi tertawa merupakan salah satu cara alternatif untuk menghasilkan analgesik alami yang sangat bermanfaat untuk menurunkan nyeri pada persendian maupun bagian tulang lainnya (Setyawan, 2012), sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran, Kabupaten Semarang. METODE Jenis penelitian ini adalah penlitian eksperimen atau percobaan yaitu bertujuan untuk mengetahui gejala atau pengaruh yang timbul, sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu atau eksperimen tersebut (Notoatmodjo, 2010). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian eksperimen semu (Quasi Eksperiment Design) menggunakan rancangan pretest posttest dengan kelompok kontrol (Pretest-Posttest with Control Group). Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel independen (terapi Tertawa) dan variabel dependen (Intensitas nyeri reumatoid artritis). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan ketentuan mengambil jumlah sampel menurut teori Roscoe dalam buku Research Methods For Busines (1982) dalam Sugiyono (2012) memberikan saransaran tentang ukuran sampel untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok ekperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel masing-masing kelompok menurut teori Roscoe adalah 10 sampai dengan 20 orang Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu peneliti melakukan uji kesetaraan dengan ttest independent dan uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel kecil (≤50) dengan ketentuan keyakinan yang dipakai adalah 95% dan nilai kemaknaan α = 0,05. Jika hasil uji signifikan (p value > 0,05 maka distribusi data normal. Hasil uji kesetaraan data dengan membandingkan hasil pengukuran pretes pada masingmasing kelompok dengan uji statistik t-test independent. Berdasarkan uji ttest independen, didapatkan nilai t hitung sebesar 0,349 dengan p-value 0,730. Terlihat bahwa p-value 0,730> (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan secara bermakna intensitas nyeri reumatoid artritis sebelum diberikan perlakuan antara kelompok intervensi dan kontro. Sedangkan Hasil uji Shapiro Wilk dengan program pengolahan data SPSS Versi 12.0 menunjukkan data pengukuran pretest pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi didapatkan hasil p-value 0,053 dan pada kelompok kontrol p-value 0,324, sedangkan postest pada kelompok intervensi didapatkan hasil p-value 0,843 dan kelompok kontrol p-value 0,357. dari hasil pengukuran pretest dan posttest pada masingmasing kelompok sebelum dan setelah diberikan perlakuan mempunyai nilai p-value > (α = 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil penelitian ini mempunyai distribusi data normal. Oleh karena data yang diperoleh berdistribusi normal. Untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia di Unit Rehabilitasi Wening Wardoyo Ungaran pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol menggunakan uji statistik t-test independent (Sugiyono, 2010). HASIL PENELITIAN Analisis pengaruh terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia di unit rehabilitasi sosial wening wardoyo ungaran yang diambil sampel sejumlah 30 lansia telah dipilih yang mengalami reumatoid artritis sebagai responden dalam penelitian, dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis. Responden dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 15 lansia kelompok intervensi yang diberikan terapi tertawa dan 15 lansia kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi. Hasil dari penelitian dapat dilihat berikut ini: A. Analisis Univariat 1. Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis Sebelum Diberikan Terapi Tertawa pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis Sebelum Diberikan Terapi Tertawa pada Kelompok Intervensi dan Kontrol pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran, 2014 Intervensi Intensitas Nyeri Kontrol Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Nyeri sangat Ringan 0 0,0 0 0.0 Nyeri Ringan 1 6,7 1 6,7 Nyeri Sedang 7 46,7 8 53,3 Nyeri Kuat 5 33,3 5 33,3 Nyeri Sangat Kuat 2 13,3 1 6,7 Jumlah 15 100 15 100 Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa sebelum diberikan terapi tertawa, intensitas nyeri reumatoid artritis lansia kelompok intervensi, sebagian besar dalam kategori sedang, yaitu sejumlah 7 orang (46,7%), dan sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar dalam kategori nyeri sedang, yaitu sejumlah 8 lansia (53,3%). 2. Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis Sesudah Diberikan Terapi Tertawa pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis Sesudah Diberikan Terapi Tertawa pada Kelompok Intervensi dan Kontrol pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran, 2014 Intervensi Intensitas Nyeri Kontrol Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) Nyeri Sangat Ringan 4 26,7 0 0,0 Nyeri Ringan 3 20,0 3 20,0 Nyeri Sedang 6 40,0 6 40,0 Nyeri Kuat 2 13,3 6 40,0 Nyeri Sangat Kuat 0 0,0 0 0,0 Jumlah 15 100 15 100 Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa sesudah diberikan terapi tertawa, intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia kelompok intervensi, lebih banyak dalam kategori nyeri sedang, yaitu sejumlah 6 orang (40,0%), sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar dalam kategori nyeri sedang dan nyeri kuat, yaitu masing-masing sejumlah 6 lansia (53,3%). Dan penagruh yang paling besar setelah diberikan terapi tertawa yaitu pada kelompok intervensi yang semulanya tidak ada yg mengalami nyeri ringan menjadi ada yang mengalami nyeri sangat ringan sejumlah 4 lansia yang mulanya mengalami nyeri sangat ringan 0 lansia. Dan pada kelompok intervensi cenderung tidak ada perbedaan. B. Analisis Bivariat Analisis ini digunakan untuk menganalisis pengaruh terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran. Untuk menganalisis pengaruh ini, dilakukan uji t-test independen dan uji t-test dependen karena data yang diperoleh berdistribusi normal dengan p-value untuk pretest kontrol dan intervensi masing-masing sebesar 0,053 dan 0,324, dan untuk posttest kontrol dan intervensi masing-masing sebesar 0,843 dan 0,357, dimana keempat pvalue tersebut lebih besar dari α (0,05). 1. Uji Kesetaraan Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis Sebelum Diberikan Perlakuan antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Hasil penelitian dikatakan setara atau homogen apabila tidak ada perbedaan secara bermakna antara intensitas nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum perlakuan (p > 0,05). Tabel 5.3 Uji Kesetaraan Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis Sebelum Diberikan Perlakuanantara Kelompok Intervensi dan Kontrol pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran, 2014 Variabel Kelompok N Mean SD T p-value Intensitas Nyeri Intervensi 15 4,53 1,68 0,349 0,730 Kontrol 15 4,33 1,45 Berdasarkan Tabel5.3, dapat diketahui bahwa sebelum diberikan perlakuan, rata-rata skor intensitas nyeri reumatoid artritis lansia kelompok intervensise besar 4,53, sedangkan pada kelompok kontrol tidak jauh berbeda yaitu sebesar 4,33. Berdasarkan uji t, didapatkan nilai t hitung sebesar 0,349 dengan pvalue 0,730. Terlihat bahwa p-value 0,730> (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan secara bermakna intensitas nyeri reumatoid artritis sebelum diberikan perlakuan antara kelompok intervensi dan kontro pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial WeningWardoyoUngaran.Ini menunjukkan bahwa kedua kelompok dapat dinyatakan setara atau homogen sebelum dilakukan perlakuan. 2. Perbedaan Intensitas Nyeri Rheumatoid Artritis Lansia Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Tertawa pada Kelompok Intervensi Tabel 5.4 Perbedaan Tingkat Nyeri Rheumatoid Artritis Lansia Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Tertawa pada Kelompok Intervensi pada Lansia di Unit Rehabilitasi Wening Wardoyo Ungaran, 2014 Variabel Perlakuan N Mean SD T p-value Intensitas Nyeri Sebelum 15 4,53 1,68 10,195 0,00 Sesudah 15 3,13 1,62 Berdasarkan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa pada kelompok intervensi, rata-rata skor intensitas nyeri rheumatoid artritis pada lansia sebelum diberikan terapi tertawa sebesar 4.53, kemudian skor nyeri berkurang menjadi 3,13 sesudah diberikan terapi tertawa. Berdasarkan uji t, diperoleh nilai t hitung sebesar 10,195 dengan p-value sebesar 0,00. Terlihat bahwa p-value 0,00 < (0,05), ini menunjukkan bahwa ada perbedaan secara bermakna tingkat nyeri rheumatoid artritis lansia sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa pada kelompok intervensi di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran. 3. Perbedaan Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis Lansia Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Kelompok Kontrol Tabel 5.5 Perbedaan Intensitas Nyeri Rheumatoid Artritis Lansia Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Kelompok Kontrol pada Lansia di Unit Rehabilitasi Wening Wardoyo Ungaran, 2014 Variabel Perlakuan N Mean SD T p-value Intensitas Nyeri Sebelum 15 4,33 1,45 0,431 0,673 Sesudah 15 4,30 1,43 Berdasarkan Tabel 5.5, dapat diketahui bahwa pada kelompok kontrol yang tidak diberi terapi, rata-rata skor intensitasnya rheumatoid artritis pada lansia sebelum perlakuan sebesar 4,33, kemudian berubah menjadi 4,30 sesudah perlakuan. Berdasarkan uji t, diperoleh nilai t hitung sebesar 0,1431 dengan p-value sebesar 0,673. Terlihat bahwa p-value 0,673 > (0,05), ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat nyeri rheumatoid artritis lansia sebelum dan sesuda perlakuan pada kelompok kontrol di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran. 4. Pengaruh Pemberian Terapi Tertawa terhadap Intensitas Nyeri Reumatoid Artritis pada Lansia Untuk menguji pengaruh ini, dilakukan uji perbedaan intensitas nyeri rheumatoid sesudah diberikan terapi tertawa antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Jika terdapat perbedaan diantara kelompok intervensi dan kontrol setelah terapi(p-value < 0,05), maka ada pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap intensitas nyeri rheumatoid pada lansia, begitupun sebaliknya. Tabel 5.6 Perngaruh Intensitas Nyeri Rheumatoid Lansia Sesudah Diberikan Terapi Tertawa antara Kelompok Intervensi dan Kontrol di Unit Rehabilitasi Wening Wardoyo Ungaran, 2014 Variabel Kelompok N Mean SD T p-value Intensitas Nyeri Intervensi 15 3,13 1,62 -2,090 0,046 Kontrol 15 4,30 1,43 BerdasarkanTabel 5.6, diketahui bahwa rata-rata skor intensitas nyeri rheumatoid pada lansia sesudah diberikan terapi tertawa pada kelompok intervensi sebesar 3,13, skor ini lebih rendah jika dibandingkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi sebesar 4,30. Berdasarkan uji t, didapatkan nilai t hitung = -2,090 dengan p-value sebesar 0,046. Karena p-value 0,046 < (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan secara bermakna intensitas nyeri rheumatoid artritis pada lansia sesudah diberikan terapi tertawa antara kelompok intervensi dan kontrol di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran. Ini juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap intensitas nyeri rheumatoid artritis pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran. PEMBAHSAN A. Analisis Univariat 1. Gambaran intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum diberikan perlakuan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Berdasarkan hasil penelitian terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis sebelum diberikan terapi tertawa pada kelompok intervensi dengan responden yang berjumlah 15 orang didapatkan rata-rata intensitas nyeri 4,53 (Nyeri Sedang). Sedangkan responden kelompok kontrol yang berjumlah 15 responden yang tidak diberikan perlakuan rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis adalah 4,33 (nyeri sedang). 2. Gambaran intensitas nyeri reumatoid artritis sesudah diberikan perlakuan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Berdasarkan hasil penelitian intensitas nyeri reumatoid artritis sesudah diberikan terapi tertawa pada kelompok intervensi dengan rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis adalah 3,13. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan memiliki rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis sebesar 4,30. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan intensitas nyeri reumatoid artritis pada kelompok intervensi yaitu kelompok yang diberikan terapi tertawa, dimana sesudah diberikan terapi tertawa didapatkan rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis sebesar 3,13 yang sebelumnya didapatkan hasil rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis sebesar 4,53. Sedangkan pada kelompok kontrol yang hanya diperkenankan melihat terapi tidak memiliki perbedaan yang signifikan yaitu pada awal penelitian didapatkan rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis sebesar 4,33, dan pada akhir penelitian sebesar 4,30. B. Analisa Bivariat 1. Perbedaan intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa pada kelompok intervensi di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Pada kelompok intervensi rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum diberikan terapi tertawa sebesar 4,53 dan setelah diberikan terapi tertawa intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia mengalami penurunan menjadi 3,13. berdasarkan hasi uji t-test dependent didapatkan bahwa p-value 0,000 (α=0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian terapi tertawa berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungran Kabupaten Semarang. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan cara pemberian terapi tertawa selam 10 menit dalam sehari yaitu pada sore hari jam 16.00 WIB yang diberikan selama dua hari pada lansia yang mengalami nyeri reumatoid di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Setelah diberikan terapi tertawa 10 menit dalam sehari selama dua hari, kelompok intervensi mengalami penurunan intensitas nyeri reumatoid artritis. Dan ada perbedaan intensitas nyeri reumatoid artritis antara sebelum dan sesudah pemberian terapi tertawa pada lansia yang mengalami reumatoid artritis di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. 2. Perbedaan intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Pada kelompok kontrol rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum perlakuan 4,33 sedangkan sesudah perlakuan menjadi 4,30. Hasil uji t-tes dependent didapatkan bahwa p-value 0,673 (α=0,05) yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia kelompok kontrol pada akhir penelitian di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Kelompok kontrol yaitu kelompok yang mengalami nyeri reumatoid artrtritsi namun tidak diberikan terapi tertawa hanya diperkenankan untuk melihat kegiatan terapi tertawa. 3. Pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia kelompok intervensi di Unit Rehabilitasi sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang setelah diberikan terapi tertawa sebesar 3,13. Sedangkan ratarata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia kelompok kontrol di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungran Kabupaten Semarang setelah perlakuan sebesar 4,30. Ini menunjukkan bahwa setelah pemberian terapi tertawa, intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia kelompok intervensi mengalami penurunan dibandingkan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan. Hasil uji t-test independent didapatkan bahwa p value sebesar 0,046 (α=0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pemberian terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungran Kabupaten Semarang. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan cara pemberian terapi tertawa pada lansia selama 10 menit dalam sehari yaitu pada sore hari jam 16.00 WIB yang dilakukan selama 2 hari di Unit Rehabilitasi Sosial Wening wardoyo Ungaran. Setelah diberikan terapi tertawa selama 2 hari, kelompok intervensi mengalami penurunan intensitas nyeri reumatoid artritis. Dan ada perbedaan intensitas nyeri reumatoid pada lansia antara sebelum dan setelah diberikan terapi tertawa di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran. Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahanperubahan pada diri manusia (Azizah, 2011). Seiring bertambahnya usia juga akan terjadi proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jariangan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (constantindes, 1994; Darmojo,2004 dalam Azizah, 2011). Hal ini juga akan memicu datangnya penyakit muskuloskeletal pada lansia salah satunya yaitu reumatoid artritis dan tidak sedikit efek yang ditimbulkan adalah rasa nyeri bahkan sampai nyeri yg sangat berat sampai susah dikendalikan oleh penderitanya. Akan tetapi Meskipun demikian, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi resiko penurunan kemampuan fisik dan kesehatan di usia senja. Salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan terapi tertawa selama 10 menit saja dalam sehari yang sangat efektif untuk membantu menurunkan intensitas nyeri reumatoid artritis terutama pada lanisia. KEPUSTAKAAN Azizah, Lilik Ma’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Edisi pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu Hendry. (2010). Populasi dan Sampel. From http://teorionline.wordpress. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 4,53, sesudah perlakuan menjadi 3,13 2. Rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum perlakuan pada kelompok kontrol sebesar 4,33, sesudah perlakuan menjadi 4,30 3. Ada perbedaan yang signifikan rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa pada kelompok intervensi dengan nilai p-value 0,000 (α = 0,05). 4. Tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok kontrol dengan nilai p-value 0,673 (α = 0,05). 5. Ada pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap intensitas nyeri reumatoid artritis pada lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran dengan nilai p-value 0,046 (α = 0,05). com/2010/01/24/populasidan-sampel/comment-page4/ Indriana, Yeniar. (2012). Gerontologi & Progeria. Cetakan pertama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Juda, Mohamad, dkk.(2012). Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri Persalinan. Edisi pertama. Yogyakarta : Nuha Medika Rosyidi, Kholid. (2013). Muskuloskeletal. Jakarta : Trans Info Medika. Perpustakaan Nasional Nainggolan, Olwin. (2009). Manajemen Kedokteran Indonesia. Volume: 12. Nomor:12. From https://www.google.com/sear ch?q=Prevalensi+dan+l%29 eterminanPenyakit+Remati +di+Indonesia Setyawan, Toni. (2012). Terapi Sehat Dengan Tertawa, Jakarta : Platinum. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. Rev.Cetakan Pertama. Jakarta : Rineka Cipta Rachmawati, Regina Maria, dkk (2006). Nyeri Musculoskeletal Dan Fungsional Fisik. Vol.25 No.4. Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti. Grogol Jakarta. From http://www.google.com/searc h?q=Nyeri+musculoskeletal +dan+hubungannya+dengan kemampuan+fungsional+fisik +pada+lanjut+usia&ie Setyoadi & Kushariyadi. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta : Salemba Medika Sugiyono. (2012). Stastitika Untuk Penelitian. Cetakan Ke-21. Bandung : Alfabeta. Trisnowiyanto, Bambang. (2012). Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi & Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika Yurisa, Wella. (2008). Etika Penelitian Kesehatan. Faculty of Medicine. University of Riau Pekanbaru from https://www.google.com/sear ch?q= etika+dalam+penelitian&ie