BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya (Depkes, 2009). Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan, peningkatan kondisi sosial ekonomi, semakin majunya pelayanan kesehatan, dan peningkatan pengawasan terhadap penyakit infeksi menyebabkan semakin meningkatnya umur harapan hidup seseorang (Nugroho, 2008). Hal tersebut menyebabkan jumlah penduduk yang berusia lanjut cenderung meningkat dan bertambah lebih cepat . Pertumbuhan penduduk lansia di dunia menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 menyebutkan bahwa dalam empat dekade berikutnya, proporsi orang berusia 60 ke atas diperkirakan meningkat dari 10% menjadi 22%. Peningkatan jumlah lansia akan terjadi di negara seluruh dunia termasuk negaranegara Asia Tenggara, proporsi lansia diperkirakan akan meningkat menjadi 12% pada tahun 2025, dan lebih dari 20% pada tahun 2050 (WHO, 2012). Persentase lansia di Indonesia akan mencapai 11,34 persen atau tercatat 28,8 juta jiwa pada tahun 2020 dan diperkirakan akan mencapai 273,65 juta jiwa pada tahun 2025 dengan angka harapan hidup diperkirakan mencapai 73,7 tahun (BPS, 2008). Menurut hasil Susenas tahun 2009 menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan propinsi yang mempunyai jumlah lansia terbanyak jika dibandingkan 1 2 dengan propinsi lain Indonesia yaitu sebesar 14,02%. Usia harapan hidup penduduk Yogyakarta terus meningkat hingga mencapai 73,48 tahun pada tahun 2011 (BPS, 2012). Usia harapan hidup yang meningkat tidak selalu disertai dengan status kesehatan yang senantiasa baik. Berbagai masalah fisik, psikologik, dan sosial akan muncul akibat proses degeratif yang timbul seiring dengan menuanya seseorang (Dewi, 2009). Salah satu perubahan kondisi fisik karena menua adalah pada sistem muskuloskeletal yaitu gangguan pada persendian yang merupakan penyakit yang sering dijumpai yang sangat erat hubungannya dengan proses menua dengan gejala utama nyeri (Steglitz, 1954 cit Dewi et al., 2009). World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 20%, penduduk dunia terserang penyakit nyeri sendi. Dari studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 provinsi tahun 2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita oleh lansia adalah nyeri sendi yaitu sebanyak 69,39%, setelah itu hipertensi, anemia, dan katarak (Komnas Lansia, 2010). Gangguan persendian pada umumnya memberikan gejala berupa nyeri yang dapat mengganggu penderita, sehingga penderita tidak dapat bekerja atau beraktivitas dengan nyaman (Martono, 2009). Oleh karena itu, nyeri sendi merupakan salah satu alasan lansia untuk mencari pengobatan. Perilaku dalam mencari pengobatan dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu dan faktor luar atau lingkungan (Notoatmojo, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Ketis (2011), 3 menyebutkan bahwa perilaku penduduk lansia dalam mengatasi masalah kesehatan, sebagian besar memilih untuk melakukan pengobatan sendiri. Pengobatan sendiri adalah pemilihan dan penggunaan obat tanpa resep atas inisiatif sendiri untuk mengobati penyakit atau gejala yang dirasakan (Gutema, 2011). Menurut badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) (2004), alasan melakukan pengobatan sendiri adalah karena merasa kondisi yang dirasakan belum memerlukan pemeriksaan ke tenaga kesehatan, atau karena memang mereka tidak mempunyai kesempatan atau tidak ada pilihan lain. Selain itu, alasan melakukan pengobatan sendiri karena cara ini dianggap lebih murah dan lebih praktis. Hasil penelitian Peng, et. al. (2010) menyebutkan bahwa status ekonomi menjadi faktor utama seseorang melakukan pengobatan sendiri. Selain itu tingkat pendidikan seseorang juga berpengaruh pada perilaku pengobatan sendiri (Afolabi, 2008 & Kristina, 2008). Verma et. al. (2010) dan Shveta et. al. (2012) menyebutkan bahwa iklan mempengaruhi seseorang dalam melakukan bahwa prevalensi pengobatan sendiri. Di negara berkembang telah mendokumentasikan pengobatan sendiri dengan obat sebanyak 40,7 - 81,8% (Ehigiator et al., 2010). Di Amerika Serikat, penduduk yang melakukan pengobatan sendiri mencapai lebih dari 50% (Jain et al., 2010). Menurut hasil Susenas tahun 2009, BPS mencatat bahwa terdapat 66% orang sakit di Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri (BPS, 2012). Pola yang sama juga terjadi pada penduduk lansia, untuk mengatasi nyeri sendi, sebanyak 71 persen lansia cenderung 4 langsung mengkonsumsi obat – obatan pereda nyeri yang dijual bebas (Zuljasri, 2005 cit Buton, 2012). Saat ini obat yang digunakan dalam pengobatan sendiri tidak hanya obat modern, tetapi juga obat herbal atau jamu (Partha et al., 2002). Menurut Komnas Lansia (2010), lansia yang melakukan pengobatan sendiri sebanyak 60,47 persen menggunakan jenis obat modern, 27,63 persen menggunakan jenis obat campuran, dan sebanyak 10,87 persen menggunakan obat tradisional. Obat modern yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri sendi oleh lansia adalah obat golongan non steroid anti inflammation drug (NSAID) (Rachmawati, 2006). Penggunaaan NSAID sebagai pereda nyeri sendi pada lansia sudah tepat digunakan dan dapat bekerja dengan baik dalam mengatasi nyeri sendi pada lansia (Hartono, 2012). Pengobatan sendiri apabila dilakukan secara benar akan memberikan beberapa keuntungan seperti aman, mengurangi gejala, biaya relatif lebih murah, hemat waktu dan kepuasan karena ikut berperan aktif dalam pengambilan keputusan terapi (Holt, 1986 cit Supardi, 2005). Saat ini pengobatan sendiri yang benar dan sesuai aturan di masyarakat masih rendah (Supardi, 2005). Oleh karena hal itu, pengobatan sendiri juga menimbulkan beberapa kerugian jika tidak didasari pengetahuan yang cukup dalam penggunaan obat seperti terjadinya keracunan, resistensi obat, reaksi alergi, adiksi, dan juga yang terpenting adalah tertundanya pemberian pengobatan yang tepat (Tan, 2010). Masalah yang dapat ditemui didalam pelaksanaan pengobatan sendiri, yaitu beberapa obat yang dikonsumsi dinyatakan dapat digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit sehingga manfaat obat menjadi tidak spesifik, 5 petunjuk penggunaan obat yang tidak jelas, dan masyarakaat yang tidak tahu tentang tata cara penggunaan obat (Sartono, 1996 cit Supardi, 2005). Pengobatan sendiri pada lansia harus diperhatikan, karena lansia merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah pemberian obat, pemberian dan penggunaan obat yang tidak tepat pada lansia akan meningkatkan resiko efek samping (Lelo, 2004). Masalah yang mungkin timbul saat lansia melakukan pengobatan sendiri adalah mengkonsumsi berbagai macam obat (polifarmasi) untuk satu keluhan, sehingga pengobatan sendiri menjadi sangat boros dan meningkatkan efek samping atau ketoksikan obat. Sebagai gambaran, pernah dilaporkan oleh Kenny (1979) , angka kejadian ketoksikan obat meningkat sampai 7 kali lipat pada penderita lansia bila dibandingkan dengan penderita dewasa (Donatus, 1999). Penggunaan NSAID yang tidak efektif menyebabkan efek samping yang serius seperti erosi pada lambung, gangguan saluran pencernaan, kerusakan pada ginjal sampai perdarahan lambung (Hartono, 2012). Efek samping juga dapat terjadi pada sistem tubuh yang lain sebagai akibat sudah menurunnya fungsi ginjal, hati dan sistem lainnya (Rachmawati, 2006). Efek samping tersebut akan menurunkan derajat kesehatan lansia yang nantinya akan berakibat pada turunnya kualitas hidup lansia. Di Kelurahan Mertelu yang terletak di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul terdapat 13 orang dari 16 lansia yang mengalami keluhan nyeri sendi, dan 9 diantaranya melakukan pengobatan sendiri untuk mengatasi nyeri tersebut. Kelurahan Mertelu merupakan daerah pedesaan yang terletak di 6 pegunungan yang sulit untuk menjangkau fasilitas kesehatan. Menurut Komnas Lansia tahun 2010, pengobatan sendiri yang dilakukan lansia yang tinggal di pedesaan cenderung tinggi yaitu sebesar 58,01 persen. Berdasar alasan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh faktor ekonomi, tingkat pendidikan dan iklan terhadap keputusan pemilihan pengobatan sendiri oleh lansia dalam mengatasi nyeri sendi di Kelurahan Mertelu, Gedangsari, Gunungkidul. B. Rumusan masalah Bagaimana pengaruh faktor ekonomi, tingkat pendidikan dan iklan terhadap keputusan pemilihan pengobatan sendiri untuk nyeri sendi oleh lansia di Kelurahan Mertelu, Gedangsari, Gunungkidul? C. Tujuan penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengaruh faktor ekonomi, tingkat pendidikan dan iklan terhadap keputusan pemilihan pengobatan sendiri oleh lansia dalam mengatasi nyeri sendi di Kelurahan Mertelu, Gedangsari, Gunungkidul. 2. Tujuan khusus Mengetahui gambaran perilaku pemilihan pengobatan sendiri pada lansia yang mempunyai penyakit nyeri sendi di Kelurahan Mertelu, Gedangsari, Gunungkidul. 7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu kesehatan dan keperawatan khususnya keperawatan gerontik. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Institusi Pendidikan Dapat dijadikan sebagai bahan dan referensi untuk melakukan penelitianpenelitian selanjutnya b. Bagi Masyarakat Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pengobatan sendiri, sehingga nantinya dapat lebih berhati hati dalam melakukan pengobatn sendiri. c. Bagi perawat dan tim kesehatan lain Dapat melakukan peningkatan upaya promosi kesehatan khususnya penyuluhan kesehatan tentang pengobatan sendiri dan penyakit sendi. E. Keaslian penelitian Penelitian tentang “Pengaruh Faktor Ekonomi, Tingkat Pendidikan dan Iklan Terhadap Keputusan Pemilihan Pengobatan Sendiri untuk Nyeri Sendi oleh Lansia di Kelurahan Mertelu, Gedangsari, Gunungkidul” belum pernah dilakukan. Adapun penelitian sejenis yang pernah dilakukan antara lain: 1. Kristina (2008), dengan judul “ Perilaku Pengobatan Sendiri yang Rasional Pada Masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman” 8 Penelitian tersebut merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Responden penelitian adalah ibu-ibu yang bukan tenaga kesehatan, yang menggunakan obat dari warung atau apotek dalam upaya pengobatan diri sendiri untuk keluhan demam, sakit kepala, pilek, dalam kurun waktu 1 bulan terakhir dari saat survey. Pengambilan sampel dengan menggunakan tehnik yaitu purposive sampling. Cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan paling berpengaruh terhadap perilaku pengobatan sendiri yang rasional. Persamaannya terletak pada variabel pengobatan sendiri dan cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Perbedaan dari penelitian adalah metode penelitian dan lokasi penelitian. 2. Pusvita (2008), dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Keluarga Dalam Pengobatan Sendiri (SelfMedication) Di Kabupaten Sleman, DIY” Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Tehnik pengambilan sampel secara cluster sampling 2 tahap. Hasil dari penelitian ini adalah faktor umur, pendidikan, pekerjaan, persepsi sehat sakit, pengetahuan penyakit dan pengetahuan self medication tidak mempengaruhi tindakan pengobatan sendiri, sedangkan status ekonomi adalah faktor yang paling dominan pada tindakan pengobatan sendiri. Persamaannya terletak pada variabel pengobatan sendiri dan cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Perbedaan dari lokasi penelitian dan subjek penelitian. 9 3. Notosiswoyo (2005), dengan judul “Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan Pilek Pada Masyarakat Di Desa Ciwalen, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat”. Penelitian ini menggunakan rancangan studi kualitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam. Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa masyarakat melakukan pengobatan sendiri dengan alasan sakit ringan, hemat biaya, dan hemat waktu, serta sifatnya sementara, yaitu penanggulangan pertama sebelum berobat ke puskesmas. Persamaannya terletak pada variabel pengobatan sendiri. Perbedaan dari penelitian adalah metode penelitian, cara pengambilan data dan lokasi penelitian. Penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah jenis penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectoinal, pengambilan sampel dengan metode propotional random sampling. Sampel yang akan diambil adalah lansia di dusun Mertelu, Gedangsari, Gunungkidul yang melakukan pengobatan sendiri untuk mengatasi nyeri sendi, cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.