MAKALAH PEMBANGUNAN 1 Contemporary Models of Development and Underdevelopment Tim penyusun: Adlan syahmi Annisa caesara hidayati Amat budi santoso Kahfi maulana Febri Model kontemporer pembangunan dan keterbelakangan Dalam bab ini kelompok kami akan mengkaji beberapa contoh model ekonomi pembangunan baru yang paling berpengaruh. Dalam banyak hal, model-model ini menunjukan bahwa kesuksesan pembangunan sulit dicapai, karena pembangunan menghadapi berbagai hambatan yang tidak sepenuhnya dapat diperkirakan sebelumnya. Namun demikian, pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini saja akan membantu memperbaiki perumusan strategi pembangunan, dan model-model baru tersebut telah mempengaruhi kebijakan pembangunan dan cara-cara penyaluran bantuan internasional. Kami akan memulai pembahasan dengan model pertumbuhan endogen, yang menawarkan perspektif alternative di samping teori pertumbuhan neoklasik yang telah dibahas sebelumnya. TEORI PERTUMBUHAN BARU: PERTUMBUHAN ENDOGEN Kinerja teori neoklasik yang tidak memuaskan dalam menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang telah menyebabkan kekecewaan yang meluas terhadap teori pertumbuhan tradisional. Bahkan menurut teori tradisional, tidak terdapat karateristik intristik dari perekonomian yang menyebabkannya tumbuh dalam jangka panjang. Sebaliknya, literature tersebut malah membahas proses dinamis yang membuat rasio modal-tenaga kerja mendekati tingkat keseimbangan jangka panjang. Jika tidak ada “guncangan” eksternal atau perubahan teknologi, yang tidak dijelaskan dalam model neoklasik, semua perekonomian akan menuju kepada pertumbuhan nol. Oleh akrena itu, peningkatan GNI per kapita dianggap merupakan fenomena sementara saja, yang bersumber dari perubahan teknologi atau proses penyeimbangan jangka pendek selama perekonomian mendekati ekuilibrium jangka panjangnya. Teori pertumbuhan baru memberikan kerangka untuk menganalisis pertumbuhan terus-menerus dalam pendapatan nasional yang ditentukan dalam sistem bukan oleh kekuatan eksternal yang dimana berlawanan dengan teori neo klasik yang dimana mengatakan bahwa sebagian besar sumber pertumbuhan ekonomi merupakan factor eksogen atau proses yang sama sekali independen dari kemajuan teknologi. Seddangkan pada teori pertumbuhan baru model-model ini menganggap bahwa pertumbuhan GNI merupakan konsekuen alamiah dari equilibrium jangka panjang. Dan karena dalam teori ini teknologi masih berperan penting maka perubahan eksogen tidak diperlukan lagu ntuk menjelaskan pertumbuhan jangka panjang. KRITIK TERHADAP TEORI PERTUMBUHAN BARU Kelemahan penting dari teori pertumbuhan baru adalah bahwa teori ini tetap tergantung pada sejumlah asumsi neoklasik yangs erring tidak cocok dengan perekonomian negara berkembang. Misalnya, terdapat sector-sektor produksi yang simetris atau bahkan semuanya simetris. Hal ini tidak memberikan peluang kepada realokasi tenaga kerja dan modal antar sector yang mengalami ransformasi selama terjadinya proses perubahan struktur. Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang sering terhambat oleh inefisiensi yang timbul karena infrastruktur yang jlek, tidak memadainya struktur kelembagaan, serta pasar modal dan pasar barang yang tidaksempurna. Karena teori pertumbuhan endogen mengabaikan factor-faktor yang sangat berpengaruh ini, penerapannya dalam studi pembangunan ekonomi menjadi terbatas, terutama ketika melibatkan perbandingan antar negara. Contohnya, teori yang ada gagal menjelaskan rendahnya penggunaan kapasita pabrik di negara-negara berpendapatan rendah di mana terdapat kelangkaan modal. KETERBELAKANGAN SEBAGAI AKIBAT KEGAGALAN KOORDINASI Kegagalan koordinasi adalah sebuah kondisi di mana ketidakkemampuan berbagai lembaga (agents) untuk mengkoordinasikan perilaku/tindakannya (pilihannya) akan memberikan hasil (equilibrium) yang mengakibatkan semua lembaga tersebut berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada situasi alternatifnya yang juga merupakan sebuah equilibrium. Ketika terjadi komplementaritas, suatu tindakan yang diambil olej sebuah perusahaan, pekerja, organisasi atau pemerintah akan mendorong lembaga lain untuk melakukan hal yang sama. Contoh komplementaritas yang penting adalah keberadaan berbagai perusahaan yang menggunakan keterampilan khusus dan ketersediaan para pekerja yang menguasai keterampilan tersebut. Perusahaan tidak akan memasuki pasar atau berdiri di suatu daerah jika para pekerja tidak mempunyai keterampilan yang dibutuhkan, namun sebaliknya para pekerja pun tidak akan mempelajari keterampilan tersebut jika menyebabkan pereknomian terjebak dalam equilibrium yang buruk, yaitu pada tingkat pendapatan rata-rata yang rendah atau pada tingkat pertumbuhan yang rendah, atau juga dengan penduduk yang berada dalam konndisi yang sangat miskin. Dalam banyak hal, adanya komplementaritas menciptakan masalah klasik, “ayam dan telur”: mana yang lebih dulu? Oleh karena itu kebijakan pemerintah sangat penting dalam memberikan arahan terhadap koordinasi ini. EQUILIBRIA JAMAK: PENDEKATAN DIAGRAMATIS Umumnya, model ini dapat digambarkan dengan grafik fungsi Sberbentuk dan garis 45 º. equilibria adalah: – Stabil saat fungsi melintasi garis º 45 dari atas – Tidak stabil ketika fungsi melintasi garis º 45 dari bawah Starting Economic Development: The Big Push Sebuah model yang menunjukan bagaimana kegagalan pasar dapat menimbulkan kebutuhan akan perekonomian yang terencana dan juga kebutuhan akan berbagai macam upaya yang dicetuskan oleh kebijakan publik, agar proses pembangunan ekonomi yang panjang dapat berjalan atau di percepat. Model Grafis The Big Push Asumsi The Big Push 1. Faktor produksi Kita asumsikan hanya terdapat 1 macam faktor produksi (tenaga kerja) 2. Pembayaran faktor produksi Pasar tenaga kerja mempunyai 2 sektor, sektor modern dan tradisional. Sebagai fakta konvensional, perbedaan upah ditemukan di Negara berkembang, alasannya kompensasi dari kurangnya pemanfaatan jenis-jenis pekerjaan, seperti yang terdapat disebuah pabrik modern. 3. Teknologi Kita mengasumsikan bahwa terdapat N jenis produk, dan N merupakan jumlah yang besar. Dalam sektor tradisional, seorang pekerja menghasilkan satu unit output yang disebut produksi skala hasil konstan, sedangkan terdapat skala hasil yang meningkat dengan cara yang sederhana. Asumsikan bahwa tidak ada produk yang dapat dihasilkan kecuali dipekerjakan sejumlah minimum pekerja, katakanlah sejumlah F, dan jumlah ini merupakan biaya tetap. 4. Permintaan domestik Kita mengasumsikan bahwa setiap barang menerima bagian konsumsi dari pendapatan nasional dalam jumlah konstan dan sama besarnya. 5. Penawaran dan permintaan internasional Kita asumsikan bahwa perekonomian tertutup, hal ini bertujuan untuk membuat model lebih mudah dikembangkan. Kesimpulannya perdagangan dapat terjadi jika terdapat manfaat dengan adanya pasar domestik. 6. Struktur pasar. Kita mengasumsikan persaingan sempurna dalam sektor tradisional. Ini berarti terdapat kebebasan untuk memasuki industri ini dan tidak terdapat laba ekonomis Kondisi terciptanya multiple equilibria Dengan enam asumsi tadi kita dapat memilah-milah kasus yang akan memerlukan big push. Untuk memulainya, andaikan bahwa kita mempunyai perekonomian tradisional tanpa produksi modern dipasar manapun. Produsen potensial dengan teknologi modern akan mempertimbangkan keuntungan untuk memasuki pasar. Dengan biaya tetap dalam jumlah tertentu, hal ini tergantung dari seberapa efisienkah sektor modern disbanding sektor tradisional dan seberapa tinggikah upah yang ada di sektor modern dibandingkan dengan upah yang berlaku disektor tradisional Kasus yang Memerlukan The Big Push 1. Efek internasional Prinsipnya bagian dari laba merupakan sasaran dari redistribusi pendapatan sehingga setiap orang diuntungkan, bukan hanya beberapa orang yang tidak dirugikan 2. Efek urbanisasi Jika industri tradisional berada di pedesaan dan industri manufaktur berada di perkotaan, Permintaan para penduduk kota mungkin lebih terkonsentraasi pada barang-barang manufaktur. Maka di perlukan big push bagi urbanisasi untuk mencapai industrialisasi 3. Efek infrastruktur Titik kritisnya adalah ketika sebauh sektor melakukan industrialisasi, sektor tersebut meningkatkan ukuran pasar bagi pengguna jasa infrastruktur sektor lain, dan dengan demikian membuat penyediaan jasa-jasa lebih menguntungkan. Namun huga terdapat kemungkinan bahwa industrialisasi yang efisien tidak terjadi, meskipun infrastruktur lain masih ada. 4. Efek pelatihan Terdapat kekurangan investasi dalam fasilitas pelatihan karena para wirausahawan tahu bahwa para pekerja yang mereka latih dengan mudah dibajak dengan iming-iming gaji yang lebih tinggi oleh peseaing yang tidak perlu membayar biaya pelatihan. Mengapa masalah kegagalan koordinasi tidak dapat diselesaikan oleh super-enterprenuer? 1. Kemungkinan kegagalan pasar modal Bagaimana mungkin sebuah lembaga mendapatkan seluruh modal yang dibutuhkan untuk berperan sebagai super entrepreneur? Meskipun diatas kertas hal ini dimungkinkan secara logistic, bagaimana caranya meyakinkan para pemodal untuk berinvestasi kedalam proyek ini 2. Biaya kelembagaan Biaya yang dikeluarkan untuk pemantauan manajer dan agen lain dan juga terdapat baiaya perancangan pelaksanaan rencana dan perancangan untuk memastikan para pekerja mematuhi perintah atasannya. 3. Kegagalan komunikasi 4. Pengetahuan ada batasnya Meskipun kita menetapkan bahwa seluruh perekonomian mempunyai akses terhadap teknolohi modern, hal ini tidak berarti bahwa seorang individu dapat memperoleh pengetahuan yang cukup untuk melakukan industrilialisas. THE HAUSMANN-RODRIK-VELASCO GROWTH DIAGNOSTICS FRAMEWORK Ricardo Hausmann, Dani Rodrik, dan Andreas Velasco (HRV) mengusulkan suatu kerangka kerja dalam bentuk pohon keputusan (decision tree) untuk mendiagnosa pertumbuhan dalam rangka mengatasi kendala-kendala yang sebagian besar dialami negara-negara dalam pertumbuhan ekonominya. Dalam kerangka kerjanya, HRV memberikan tahapan yang harus dilakukan dalam kasus umum dimana negara-negara berkembang mengalami suatu tingkat investasi swasta dan enterpreneurship yang relatif rendah, seperti terlihat pada gambar berikut: Tahap pertama, analisisnya membagi negara-negara dengan masalahutamarendahnyatingkatpengembalian (low return of economic activity) dan yang memiliki masalah biaya modal tinggi (high cost of finance). Pengembalian yang rendahuntuk investor mengacu pada fakta bahwa secara intrinsik terdapat pengembalian sosial yang rendah (low social return) untuk aktivitas ekonomi. Selain itu, pengembalian yang rendah mungkin juga disebabkan oleh apa yang dinamakan dengan “low appropriability”, yang berarti keterbatasan kemampuan investor untuk memperoleh hasil yang memadaidariinvestasinya. Selanjutnya, disebabkan oleh pengembaliansosial salah satu dari yang tiga rendah faktor mungkin berikut.Pertama, faktorgeografi yang miskin (poor geography) sepertihama daerah tropis, pegunungan dan hambatan fisik lainnya, jarak ke pasar dunia, dan status tanpa akses ke laut. Faktor-faktor tersebut akan membatasi kemampuan negara-negara dengan pendapatan rendah untuk memulai dan mempertahankan pembangunan ekonomi. Oleh karenanya, ketika kendala-kendala ini lebih menonjol, kebijakan pembangunan mula-mula harus menfokuskan pada strategi untuk mengatasinya. Kedua, sumberdaya manusia yang rendah (low human capital) – keahlian, pendidikan dan kesehatan pekerja – yang saling melengkapi dengan faktor lain dalam produksi, mempengaruhi pengembalian aktivitas ekonomi. Misalnya, jika pengembalian ekonomi lebih dipengaruhi oleh kekurangan melek huruf dan angka, maka hal ini yang dijadikanprioritaskebijakanpembangunan. Ketiga, setiapnegaraberkembang harus menyediakan infrastruktur vital yang dibutuhkan untuk mencapai dan mempertahankan perekonomian modern, diawali dengan struktur fisik dasar seperti jalan, jembatan, rel kereta api, pelabuhan, telekomunikasi dan utilitas lainnya. Dengan infrastruktur yang buruk, aktivitas ekonomi dengan pengembalian yang tinggi terbukti tidak lagi menguntungkan. Di beberapa negara, ketidakcukupan dan ketidakseimbangan infrastruktur merupakan faktor utama yang menghalangi percepatan pertumbuhan, dan dalam kasus semacam ini, kebijakan difokuskan pada pemberian doronganinvestasidanpertumbuhan. Tetapi masalah yang terjadi mungkin tidak terkait dengan “low social return”, tetapi adalah dengan “low appropriability”, yang berarti bahwa investor tidak dapat memperoleh hasil yang layak dari investasinya. “Low appropriability” ini dapat disebabkan oleh kegagalan pemerintah (government failures) atau kegagalan pasar (market failures). Dalam diagram HRV, kegagalan pemerintah dibagi antara resiko mikro (micro risks) dan resiko makro (macro risks). Resiko mikro mengacu pada kelemahan kelembagaan seperti kekurangan hak milik, korupsi pemerintah dan pajak yang tinggi. Artinya, pengembalian aktivitas ekonomi mungkin cukup tinggi, tetapi kaum elite mengambil bagian yang lebih besar dibandingkan investor dan menyebabkan investasi menjadi tidak menarik. “Appropriability” mungkin juga dibatasi oleh resiko makro – kegagalan pemerintah untuk memberikan stabilitas keuangan, moneterdanfiskal. Masalah “low appropriability” mungkin juga disebabkan oleh kegagalan pasar (market failures).Kegagalan pasar ini mencakup masalah eksternalitas informasi (masalah self-discovery) maupun eksternalitaskordinasi (masalahkordinasi). Namun, dalam kasus lain, masalah utama mungkin bukan terkait dengan tingkat pengembalian yang rendah, tetapi lebih disebabkan biaya modal yang tinggi. Disini masalahnya mungkin karena keuangan internasional yang buruk – ketidakcukupan akses terhadap sumber-sumber modal luar negeri, atau masalah keuangan lokal yang buruk, yang mengacu pada rendahnya ketersediaan dana yang dapat dipinjam melalui pasar keuangan domestik yang disebabkan rendahnya tabungan domestik atau fungsi intermediasi keuangan yang buruk atau sistem perbankan yang terlalu diregulasi sehingga tidak mampunya/maunya saluran keuangan untuk membiayai aktivitas ekonomi yang memilikipengembalian yang tinggi. KESIMPULAN Poin penting bukanlah pada pemikiran bahwa orang tetap melakukan hal-hal yang tidak efisien.Poin yang lebih dalam dan jauh adalah orang-orang tetap melakukanhal-hal yang tidak efisien karena melakukan hal tersebut adalah rasional, dan akan tetap rasional selama orang lain juga tetap melakukan hal-hal yang tidak efisien tersebut. Tujuan dari teori ekonomika pembangunan tidak hanya memahami underdevelopmenttetapi juga untuk merangcang kebijakan yang efektif untuk memulihkannya. Analisis masalah kegagalan kordinasi dalam chapter ini menawarkan sejumlah pelajaran penting yang menyeluruh untuk pembuatan kebijakan namun analisis tersebut bukanlah pelajaran sederhana dengan penyerapan yang mudah dan bahkan bagaikan pedang bermata dua. Di satu pihak, analisis yang menunjukkan terjadinya kegagalan pasar, adalah terutama yang mempengaruhi prospek pembangunan ekonomi, adalah lebih luas dan lebih dalam dari yang telah dipahami sebelumnya. Tidak seperti kecilnya deadweight triangle losses yang disajikan dalam analisi ekonomi konvesional tentang monopoli, eksternalitas polusi, dan kegagalan pasar yang lain, masalah kegagalan kordinasi dapat menimbulkan efek yang lebih jauh jangkauannya dan sebagai konsekuensinya lebih mahal. Hal ini menimbulkan besarnya manfaat potensial atas peran aktif pemerintah dalam konteks multiple equilibria. Singkatnya, kontribusi dari teori-teori baru mengenai pembangunan yang ditinjau dalam chapter ini berisi pengertian yang lebih baik mengenai penyebab dan efek dari poverty traps, melalui pemahaman mengenai peran pemerintah dan konstrain dalam efektifitas peran tersebut. Studi Kasus MEMAHAMI KEAJAIBAN PEMBANGUNAN: CINA Sejak tahun 1978 hingga 2004, perekonomian Cina tumbuh dengan tingkat rata-rata 9 persen per tahun. Hal ini merupakan pencapaian yang luar biasa bagi sebuah perekonomian sepanjang sejarah mengingat jumlah populasinya yang sangat besar. Pendapatan per kapita Cina pada tahun 2004 adalah lima kali pendapatan per kapitanya pada tahun 1978. Ledakan pertumbuhan ekonomi dapat memicu inflasi ini diperkirakan akan terjadi pada tahun 2004 dan pemerintah telah berusaha untuk memperlambat pertumbuhan ekonominya tersebut ke tingkat 9 persen, tiga kali tingkat dipertimbangkan pertumbuhan berdasarkan ekonomi standar negara sebagian lainnya besar yang negara berpendapatan rendah. Cina juga telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dengan sangat dramatis di seluruh dunia. Data resmi yang dikeluarkan oleh pejabat Cina menunjukkan adanya penurunan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan secara sensasional, yaitu dari 260 juta pada tahun 1978 menjadi 42 juta pada tahun 1998. Penelitian independen yang dilakukan oleh World Bank memperkirakan jumlah penduduk miskin di Cina telah menurun dari sekitar 303 juta pada tahun 1987 menjadi 213 juta pada tahun 1998. Apa pun ukuran perkiraan yang digunakan, penurunan tingkat kemiskinan yang dialami oleh Cina jauh lebih cepat dan lebih besar dari yang dialami oleh negara mana pun di dunia. Kesuksesan memiliki berbagai sumber, dan semua teori pertumbuhan tradisional utama maupun teori- teori pertumbuhan baru saling berlomba untuk menjadikan kasus yang dialami oleh Cina sebagai studi yang paling penting saat ini. Cina dipuji sebagai contoh keberhasilan dalam menerapkan ekonomi pasar, perdagangan, dan globalisasi. Tidak diragukan lagi bahwa ekspor produk manufaktur merupakan kunci bagi pertumbuhan yang dialami oleh Cina. Selain itu, Cina juga telah mengadopsi kebijakan-kebijakan industri yang aktif, yang telah mendorong ekspor produk-produk yang membutuhkan keterampilan dan teknologi yang terus meningkat dan semua ini dimulai pada periode pertumbuhan yang pesat sekitar tahun 1980, hampir sepuluh tahun sebelum liberalisasi perdagangan dilakukan oleh Cina. Selain itu, sebagian besar pertumbuhan yang dialami oleh Cina pada tahun 1980-an dan 1990-an berasal dari pembangunan kota-kota pinggiran (rural township) dan perusahaan-perusahaan yang berlokasi di pedesaan, yang memiliki karakteristik quasi-cooperative. Privatisasi perusahaan milik negara jarang terjadi dibandingkan dengan di negara berkembang lainnya (di sebagian negara, privatisasi berhasil dilakukan, tetapi di negara lainnya, privatisasi tidak lain merupakan pencurian aset negara). Sementara itu negara- negara di Afrika, Amerika Latin dan kawasan lainnya yang telah sedikit mengikuti sistem pasar bebas tidak berjalan selancar Cina. Bersamaan dengan pengakuan kalangan akademis yang mengacu pada kasus Cina sebagai kebijakan pembangunan yang paling difavoritkan, seandainya pembangunan di Cina memiliki performa yang buruk, semua orang (dan tanpa diragukan lagi) akan menemukan alasan yang sama mengapa teori mereka, termasuk teori pasar bebas, dapat memprediksi kegagalan tersebut. Terdapat banyak penjelasan khusus mengenai kesuksesan yang dialami oleh Cina dan sebagian besar di antaranya sesuai dengan kenyataan, tetapi kesuksesan yang dramatis tersebut merupakan hasil dari penggabungan kesuksesan di beberapa bidang. Pada akhir tahun 1980-an, pusat pertumbuhan regional beralih ke Cina, ketika para investor mulai melakukan investasinya ke Cina dalam jumlah yang sangat besar karena tertarik dengan pasar yang memiliki konsumen lebih dari 1 miliar. Para investor tersebut menyadari bahwa Cina menawarkan tenaga kerja murah berketerampilan tinggi dan memiliki etos kerja yang luar biasa dengan tingkat upah yang rendah. Setelah jumlah investasi mulai semakin besar, manfaat aglomerasi dari aktivitas ekonomi yang terkonsentrasi mulai diperoleh. Semakin banyak produsen yang berlokasi di Cina, semakin besar manfaat dari meningkatnya jurnlah pemasok yang beroperasi di sana. Pada tingkat ini, investasi mulai memberikan hasil daIam jurnlah kumulatif. Sementara itu, ketika upah mulai naik, perusahaan akan memindahkan produksinya jauh ke barat, atau para rnigran dari wilayah barat akan pindah ke pusat industri yang baru. Terdapat berbagai perdebatan mengenai apakah pertumbuhan yang cepat di negara Asia Timur lainnya merupakan hasil dari akurnulasi modal atau peningkatan produktivitas. Alwyn Young, Paul Krugman, dan lainnya telah menyimpulkan bahwa pertumbuhan yang dialami Korea Selatan dan Macari Asia lainnya lebih karena negara-negara itu melakukan investasi besar-besaran dalam aset modal seperti mesin dan pabrik daripada meningkatkan efisiensi pekerja. Namun pada kasus Cina, Zuliu H'u dan Mohsin Khan menyimpulkan bahwa peningkatan produktivitas menyumbang lebih dari 42 persen pertumbuhan Cina selama periode 1979-1994 dan pad a awal tahun 1990-an produktivitas telah mengambil alih peran investasi sebagai sumber terbesar perturnbuhan. Ini dianggap sebagai hal yang mengejutkan karena begitu besarnya investasi modal yang telah dilakukan di Cina. Namun di lain pihak, ketika pertumbuhan yang sangat cepat di kawasan yang dekat dengan Hong Kong mulai terjadi pada akhir tahun 1970-an, jelaslah bahwa terdapat aliran dana investasi dalam volume yang besar dari Hong Kong (yang masih menjadi koloni Inggris) yang memiliki modal yang melirnpah ke Cina yang miskin akan modal. Jika di negara berkembang maupun negara yang tengah mengalami transisi lainnya perusahaan milik negara (BUMN) dijual cepat kepada investor swasta, maka di Cina perusahaan negara tetap dipertahankan untuk periode yang lebih panjang. untuk pertama kalinya selama hampir dua dekade reformasi, yaitu dari akhir tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1990- an, pada tingkat lokal, perusahaan di kota kecil dan pedesaan (township and village enterprises=TVE), mulai mendapat dukungan dari pemerintah. TVE-TVE tersebut menyumbangkan bagian yang cukup besar atas pertumbuhan output industri di Cina. TVE memainkan peran yang unik dalam mendorong pertumbuhan dan menyebarkan manfaat pembangunan ke daerah-daerah pedesaan. Perlu diperhatikan bahwa reformasi pada awalnya ditujukan pada sektor pertanian di daerah pedesaan di mana sebagian besar kaum miskin tinggal, dan tingkat kemiskinan akan turun jika pendapatan meningkat. Sejak akhir tahun 1980-an, aktivitas perdagangan telah beralih ke industri, dan tingkat kemiskinan mulai menurun. Secara keseluruhan, Cina telah mengubah cara pandang kita mengenai pembangunan. Hal itu meyakinkan kita bahwa keajaiban Asia Tirnur bukan merupakan sebuah keberuntungan akibat faktor-faktor lokal.Hal ini juga memberi kita kepercayaan diri yang lebih besar untuk mengatakan bahwa dimungkinkan". "pembangunan Di lain pihak, yang riil terdapat masih sangat hal yang membatasi kemampuan negara berkembang lainnya untuk menyaingi kesuksesan yang dialami Cina. Negara berkembang lainnya itu tidak hanya berbeda secara geografis, demografi, institusi, dan daya tarik bagi investor asing. tetapi juga pada investasi yang banyak lari ke Cina sehingga tetap tidak mampu bersaing dengan Cina dimana Cina telah berhasil mengombinasikan upah yang rendah dan keahlian serta keterampilan yang tinggi. Sumber: Todaro MP dan Smith SC 11th Edition, “Economic Development.” Pearson Addison Wesley.