Investasi Mubyarto Kompas: 26 Juli 2002 HARIAN Kompas (29/6/2002) membuat Tajuk Rencana pesimistik, Betapa Kita Ini Bukan Lagi Negara Tujuan Investasi. Tajuk ini patut diduga ditulis oleh sarjana ekonomi beraliran Neoklasik yang amat percaya pada rumus matematika yang dibuat JM Keynes yaitu Y=C+I+G. Pendapatan Nasional merupakan penjumlahan dari konsumsi masyarakat, investasi para pengusaha, dan pengeluaran pemerintah. Penulis tajuk yang amat percaya pada teori makroekonomi Keynes ini, tidak menyadari besarnya kemungkinan kemelesetan jika teori yang demikian diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia. Pertama, C tidak sepenuhnya terdiri atas barang-barang konsumsi sekali habis, tetapi seperti halnya sepeda motor, saprodi pertanian, atau bahan-bahan bangunan rumah yang dikategorikan sebagai barangjpe barang konsumsi, sebenarnya merupakan barang-barang investasi yang Mubyarto memproduksi barang-barang lain. Kedua, Menurut teori Keynes, investasi hanya dapat dilakukan oleh pengusaha besar yang memperoleh kredit investasi dari bank formal. Bank-bank formal membagi kredit yang disalurkan menjadi kredit konsumsi seperti kredit untuk membeli sepeda motor, dan kredit investasi untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin pabrik. Ketiga, G, pengeluaran pemerintah, lebih banyak diberi bobot sebagai pengeluaran konsumsi pemerintah. Padahal di luar pengeluaran rutin untuk gaji pegawai, banyak sekali pengeluaran pembangunan yang harus masuk kategori investasi, seperti pengeluaran untuk pembangunan jembatan. Kesalahan fatal dari teori makroekonomi Keynes ini tercermin dari kesimpulan tajuk itu yang berbunyi: Dari sisi ekonomi, tidak bisa dimungkiri kita membutuhkan investasi itu. Selama tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi kita sepenuhnya hanya ditopang oleh belanja masyarakat. Selain tidak berjangka panjang, pertumbuhan seperti itu tidak bisa menjawab soal kebutuhan pembukaan lapangan kerja yang memadai. Dari kutipan tajuk itu jelas, yang dianggap dapat mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang untuk membuka lapangan kerja hanya pengeluaran investasi, sebagaimana dilakukan para investor. Maka ketika kepala BKPM melaporkan anjloknya angka persetujuan investasi asing (PMA) maupun PMDN, habislah harapan kita untuk tumbuh. Mengapa kita tidak bertanya lebih lanjut terhadap teka-teki anjloknya investasi asing yang tidak diikuti pertumbuhan ekonomi negatif. Jika mereka cukup cerdas, tentu harus menyimpulkan, "dalam tiga tahun terakhir tidak ada hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan investasi". Mengapa para ekonom makro Neoklasik tidak pernah berpikir bahwa ekonomi rakyat, di luar pengusaha besar yang mengandalkan investasi dari kredit bank, dapat secara riil mengadakan investasi yang meski nilainya kecil-kecil dari dana sendiri, tetapi bila dijumlahkan bisa menjadi besar sekali. Jika saja mereka mau turun ke lapangan melihat kegiatan pembangunan perumahan rakyat di mana-mana, yang memberi lapangan kerja luar biasa, maka tidak mungkin mereka menyimpulkan ekonomi Indonesia kini masih dalam keadaan krisis. Ada laporan peningkatan penjualan sepeda motor "amat besar" selama 2001, dan sepeda motor ini sebagian besar untuk mendukung perkembangan armada ojek di desa-desa karena perkembangan permintaan jasa transpor. Seorang pengusaha menolak dan memprotes pernyataan pejabat pemerintah bahwa ekonomi Indonesia sudah melewati krisis karena ekonomi sudah tumbuh tiga persen hingga empat persen per tahun, dengan menunjuk angka investasi yang tetap rendah dan ekspor yang menurun. Ekonom lain menganggap, pertumbuhan ekonomi tiga persen hingga empat persen adalah terlalu rendah untuk menyerap tenaga kerja, dan yang dibutuhkan adalah pertumbuhan ekonomi enam persen hingga tujuh persen seperti sebelum krisis. *** JIKA kita kembali ke Tajuk Rencana Kompas yang mengeluhkan negara kita bukan lagi negara tujuan investasi, maka dapat kita tunjukkan kekeliruan amat nyata dari teori makroekonomi Neoklasik itu, yang sepertinya beranggapan, warga negara-negara berkembang tidak pernah mampu berinvestasi. Dianggap, investor hanya para pemilik modal (kapitalis) dari negara-negara kaya/maju yang kerjanya mencari-cari "wanita cantik" dimanapun untuk "dipacari". Maka Tajuk Rencana juga menganjurkan Indonesia "mempercantik diri" agar menarik kapitalis-kapitalis asing datang dan berinvestasi di Indonesia. Saya amat tidak sependapat pada sikap/pandangan demikian, yang jika dikembangkan lebih lanjut berarti apapun (at any cost) harus dilakukan untuk merangsang modal asing (kita harus berlomba-lomba mempercantik diri). Sikap dan pandangan inilah yang mendasari undangan kita pada dokter ekonomi IMF yang dianggap memegang kunci pada kepercayaan investor internasional untuk berinvestasi di Indonesia. Ada seorang pakar ekonomi asing yang tentu saja beraliran Neoklasik Amerika menyatakan, the only way for Indonesian economic recovery is mass capital inflow. Wah, saya tentu saja amat tidak setuju, dan waktu itu karena dalam forum ilmiah, "fatwa" itu saya sanggah habis-habisan. Tentang ekspor yang menurun sebagai pertanda ekonomi yang masih dalam krisis pun mengandung kelemahan mendasar yang menganggap ekonomi domestik tidak ada. Jika komoditi yang biasanya diekspor lalu dialihkan pada permintaan yang meningkat di dalam negeri, terbukti dengan pertumbuhan ekonomi yang naik, apakah kesimpulan masih adanya krisis ekonomi itu tidak keliru? *** TULISAN ini dimaksudkan untuk mengingatkan kekeliruan cara berpikir para ekonom (pengamat ekonomi), yang karena tidak pernah turun ke lapangan untuk memahami ekonomi rakyat Indonesia, tetapi lebih banyak berpikir secara buku teks (makro ekonomi Neoklasik Amerika), maka diagnosa mereka pun keliru. Adalah Joseph Stiglitz penerima Nobel Ekonomi 2001 yang sedang memberontak terhadap rekan-rekannya di IMF (The Rebel Within, 2001; Globalization and Its Discontens, 2002), yang mengatakan sebagai berikut: Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising governments trying to establish a new market economy especially since typical American style textbook relies so heavily on a particular intellectual tradition, the Neoclassical model (J. Stiglitz, The Rebel Within, 2001) Meski para ekonom Neoklasik terutama pengkritik pemerintah masih terus menasihati pemerintah untuk mengambil kebijakan-kebijakan mengundang investor asing melalui liberalisasi aliran modal lebih jauh, saya berbeda pendapat. Pada hemat saya, pemerintah sekarang harus lebih percaya diri, percaya bahwa ekonomi rakyat Indonesia yang telah menunjukkan ketahanan ekonomi luar biasa selama krismon (bukan krisis ekonomi) dapat diandalkan untuk pemulihan ekonomi. Indonesia tidak perlu justru makin tergantung pada modal asing. Sebuah data empirik dari BRI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat membuktikan kekeliruan kesimpulan umum telah terjadinya resesi dan krisis ekonomi serius. Sebaliknya, selama 19972001 pendapatan dan kemakmuran penduduk DIY meningkat secara konsisten sebagaimana ditunjukkan dengan kenaikan penabung di BRI dan nilai tabungan masing-masing 18,5 persen dan 31,2 persen per tahun. Patut dicatat, kenaikan nilai tabungan 65,7 persen dan penabung 21,2 persen tahun 1997-1998 (puncak krismon) yang menunjukkan penduduk pedesaan DIY telah menikmati atau diuntungkan oleh krismon karena harga-harga hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan, mengalami peningkatan nilai tukar. Demikian data-data mikro dari lapangan yang tidak pernah dilihat dan dianalisis para ekonom makro (Neoklasik), menunjukkan betapa keliru kesimpulan telah hancurnya ekonomi Indonesia. Ekonomi rakyat Indonesia tidak pernah mengalami krisis meski pernah kaget, sehingga tidak memerlukan pemulihan. Kesan masih adanya "krisis ekonomi" sengaja diciptakan dan dibesar-besarkan oleh ekskonglomerat dan pembelanya yang ingin melepaskan diri dari kewajiban membayar utang pada bank-bank pemerintah. Masyarakat dan pers, hendaknya waspada dalam hal ini. Mubyarto Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada