Konten 1505j - Perpustakaan BAPPENAS

advertisement
ISU-ISU TEORITIK EKONOMI PANCASILA*
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila
UGM
(1) Pendahuluan
Rekan Profesor (Madya) Sadono Sukirno dari UM (University of Malaya) pada seminar terbatas di
PUSTEP tanggal 2 April 2004 memprihatinkan kurang mendalamnya kuliah-kuliah ilmu ekonomi di
perguruan-perguruan tinggi Indonesia. Jika di UM ada 5 departemen tentang ilmu ekonomi (1) fEkonomi
Statistika, (2) Ekonomi Publik, (3) Ekonomi Terapan, (4) Ekonomi Analitik, dan (5) Pembangunan
Perdesaan, maka di Indonesia hanya ada satu jurusan, yaitu Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan,
disamping Manajemen dan Akuntansi, seperti halnya di Malaysia. Di semua sub-department of
economics ini, kuliah-kuliah ekonomi mikro, makro, dan pembangunan diberikan 3 tahun penuh (6
semester), sehingga dapat diajarkan secara induktif-empirik dengan contoh-contoh nyata dari Malaysia
sendiri.
Akibat dari kurang mendalamnya pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia ini sangat serius. Sarjanasarjana ekonomi Indonesia tidak cukup memahami masalah-masalah ekonomi Indonesia sendiri dan
tidak terlatih menggunakan teori-teori ekonomi mikro dan makro untuk menganalisis masalah-masalah
ekonomi Indonesia.
[*] Disampaikan dalam Seminar Bulanan Ke-15, PUSTEP-UGM, 6 April 2004.
(2) Teori Ekonomi Dualistik
Fenomena ke-2 yang membedakan ekonomi Indonesia dari ekonomi Malaysia adalah sangat kuatnya
dualisme ekonomi Indonesia, seperti ketika diamati J.H Boeke tahun 1910, dan dimantapkan dalam
pidato pengukuhan guru besar tahun 1930. Tentang tidak cocoknya teori-teori ekonomi Barat bagi kondisi
nyata ekonomi Indonesia ini pernah kami tegaskan dalam pidato pengukuhan Guru Besar kami tahun
1979, sebagai berikut:
(1)
Teori Ekonomi Neoklasik yang terbentuk di dunia Barat satu abad yang lalu hanya relevan
untuk menganalisis sebagian kecil perekonomian kita, dan tidak relevan bagi sebagian besar
yang lain.
(2)
Teori Ekonomi Neoklasik (Barat) ini telah tidak begitu berkembang sebagai ilmu di Indonesia
tetapi lebih kelihatan berkembang sebagai seni.
Kini, 25 tahun kemudian, “hipotesis” tersebut bertambah kuat dan sejak krismon 1997-1998 menjadi
semakin kuat lagi dengan membesarnya peranan sektor ekonomi informal (tabel 1).
(3) Ukuran Pendapatan Per Kapita
Bersama rekan Daniel Bromley dari University of Wisconsin dalam tulisan bersama A Development
Alternatif for Indonesia, kami menyatakan bahwa:
...growth in per capita national income is a most deficient indicator of national progress
and of full social and economic development (Mubyarto & Bromley, 2002: 46)
Kesimpulan ini penting jika dihadapkan pada kesimpulan umum pakar-pakar ekonomi arus utama akhirakhir ini, bahwa sejak krismon pendapatan per kapita Indonesia telah turun dari USD 1200 menjadi USD
700, dan kini masih belum kembali ke angka sebelum krisis tahun 1997. Kesimpulan ini jelas
menyesatkan dan bertentangan dengan kenaikan kesejahteraan penduduk Propinsi DIY selama 1997 –
2003 sebagaimana ditunjukkan dengan kenaikan nilai tabungan dan jumlah penabung di Bank BRI
Propinsi DIY (tabel 2). Salah satu kesalahan prinsipiil adalah menjadikan angka pertumbuhan ekonomi
(economic frowth rate) sebagai ukuran tunggal yang dianggap sudah benar dan “mewakili”.
(4) Pengangguran dan Kemiskinan
Jika Parpol-parpol dalam Kampanye Pemilu 2004 mengritik pemerintah yang tidak mampu mengatasi
pengangguran 40 juta tenaga kerja Indonesia, maka nampak jelas bahwa Parpol-parpol tersebut
memang tidak memahami masalah hakiki ekonomi Indonesia. Karena para penganggur yang mendaftar
tidak pernah ditanya tentang kehidupannya (miskin atau tidak), maka bagi ekonom Indonesia, tidak
seperti di negara industri maju, masalah pengangguran seharusnya tidak merupakan masalah paling
utama. Yang benar, kemiskinan adalah masalah yang lebih penting ketimbang masalah pengangguran.
Penganggur belum tentu miskin, sedangkan penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan
pasti miskin, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang , papan, pendidikan dan
kesehatannya.
Demikian lebih tidak benar lagi jika pakar-pakar ekonomi menyatakan bahwa hanya melalui pertumbuhan
ekonomi tinggi pengangguran dapat diatasi. Menteri Keuangan baru-baru ini menyatakan hal yang sama
yaitu bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak otomatis memecahkan masalah pengangguran dan
kemiskinan. Kedua masalah yang disebut terakhir hanya dapat diatasi melalui kebijakan khusus yang
bersasaran pada penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Inilah yang dikeluhkan
Prof. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, yang merasakan kemandulan ilmu
ekonomi (Neoklasik) untuk menganalisis masalah-masalah kelaparan (dan kemiskinan) yang melanda
negaranya tahun 1974, yang mengakibatkan 1,5 juta orang meninggal.
(5) Konsumsi vs Investasi
Topik ekonomi makro yang juga keliru diterapkan adalah persamaan Y=C+I+G dengan anggapan dasar
bahwa C adalah “buruk” dan tidak produktif, sedang I, yang hanya dapat dilakukan perusahaanperusahaan besar adalah “baik”, produktif, dan mampu menciptakan kesempatan kerja. Pakar ekonomi
konvensional tidak pernah mau mengakui bahwa ekonomi rakyat mampu ber-investasi, bahkan dengan
menggunakan modal sendiri atau dapat memperoleh modal melalui (rumah-rumah) pegadaian. Dalam
pada itu perbankan atas arahan BI juga membuat kekeliruan dengan selalu menggolongkan kredit
kendaraan bermotor sebagai kredit konsumsi, padahal bagi ekonomi rakyat kendaraan bermotor
dimanfaatkan sebagai “alat produksi” yang berarti merupakan pengeluaran investasi.
Di Kota Bangun Kabupaten Kutai Kartanegara, penduduk yang bermodal membeli 60 Kijang baru,
semuanya untuk dijadikan taksi, mengangkut penumpang “bisnis” dari Balikpapan, Samarinda, dan Kota
Bangun P-P. Dengan menyadari ini kiranya Bank Indonesia dan pakar-pakar ekonomi perlu mengkaji
ulang berbagai konsep ekonomi konvensional yang termuat mapan di buku-buku teks Barat, tetapi tidak
cocok diterapkan pada kenyataan-kenyataan ekonomi rakyat Indonesia yang masih bersifat informal
(Mubyarto, 2003: 6).
(6) Kelemahan Teori Ekonomi Neoklasik
Meskipun tidak semua teori ekonomi Neoklasik keliru dan tidak relevan untuk menganalisis masalahmasalah ekonomi Indonesia, namun ada 3 kelemahan mendasar yang harus diperbaiki jika teori ini
diharapkan dapat diterapkan di Indonesia. Itulah ekonomi kelembagaan yang memiliki 3 ciri khas, yaitu:
(1) kesadaran adanya peranan nilai dan ideologi dalam penelitian sosial, (2) penelitian bersifat holistik
(menyeluruh) dan interdisipliner, dan (3) bersifat evolusioner yaitu berciri historikal dan dinamis.[1]
[1] Soderbaum, Peter, Ethics, Ideological Comitment and Social Change, dalam Alan Lewis & Karl – Erik Warneryd (eds), Ethics
and Economic Affairs, Routledge 1994.
Perekonomian Indonesia yang pernah dijajah 350 tahun disamping bersifat dualistik juga bersifat
“menolak”, dan berusaha “melawan” kekuatan ekonomi dan modal asing yang lama mencengkeramnya.
Maka ekonomi Indonesia adalah anti penjajahan (anti-kolonialisme, anti- imperialisme, dan antiliberalisme) termasuk terhadap kekuatan modal kuat di dalam negeri sendiri yang mulai menancapkan
kukunya selama (ekonomi ) Orde Baru 1966-1997 yang liberal.
Ekonomi Pancasila adalah ekonomi kelembagaan karena mendasarkan pada nilai dan ideologi Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 45. Pembukaan UUD 45 berisi tekad bangsa Indonesia
untuk merdeka dan bebas dari kekuatan asing, dan melalui kebebasan itu seluruh warga bangsa dapat
dicerdaskan dan ditingkatkan kesejahterannya.
Jika buku-buku teks teori ekonomi (Neoklasik) menyatakan bahwa teori ekonomi sama dengan teori
harga (price theory), maka jelas bahwa teori ekonomi tidak dapat dipakai untuk menganalisis peristiwaperistiwa ekonomi di luar pasar. Artinya jika sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat/bangsa Indonesia
diselenggarakan secara informal, maka pisau analisis yang tepat bukanlah teori harga atau teori ekonomi
pasar tetapi teori ekonomi kelembagaan.
(7) Penutup
Kriteria untuk mengukur manfaat dan relevansi ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial lain di Indonesia adalah
ketepatan ilmu-ilmu sosial tersebut jika dipakai untuk menganalisis masalah rendahnya kesejahteraan
rata-rata orang Indonesia. Jika dolaporkan bahwa gaji rata-rata pegawai negeri di Indonesia termasuk
dosen-dosen PTN hanya 1/20 kali rekan-rekannya di Malaysia, maka ilmu ekonomi harus mampu
menyarankan kebijakan ekonomi yang dapat menaikkan kemakmuran atau kesejahteraan rata-rata
bangsa Indonesia.
Bahwa kebanyakan pakar ekonomi Indonesia masih lebih percaya pada kemampuan pakar-pakar
ekonomi asing misalnya dengan mengundang pakar-pakar ekonomi IMF, hanya memperkuat kesimpulan
umum bahwa rasa percaya diri pakar-pakar ekonomi kita memang rendah, dan ini pada gilirannya
disebabkan kurang seriusnya pengajaran ekonomi di perguruan-perguruan tinggi kita. Untuk itulah
diperlukan pengajaran ilmu ekonomi yang dikembangkan berdasar ajaran-ajaran ekonomi kelembagaan
Indonesia, dengan sejauh mungkin memanfaatkan pendekatan-pendekatan induktif-empirik yang
dilakukan sendiri oleh dosen-dosen Indonesia.
Yogyakarta, 6 April 2004
BACAAN
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Susenas tahun 1997-1998
Balairung, Jurnal Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, edisi 37/Th XVIII/2004
Harris, John, Janet Hunter, and Colin M. Lewis (Ed), 1995, The New Institutional Economics and Third
World Development, London, Routledge
Kanwil Bank Rakyat Indonesia, Jawa Tengah-DIY, 2001-2004
Keynes, John Maynard, 1936, The General Theory of Employment, Interest, and Money, London,
Macmillan & Co
Mubyarto, 1982, Moral Ekonomi Pancasila, Jakarta, Yayasan Idayu
__________, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta, BPFE
__________, 2003, Ekonomi Pancasila : Landasan Pikir dan Misi Pendirian Pusat Studi Ekonomi
Pancasila, Yogyakarta, BPFE
__________, 2004, Ekonomi Pancasila : Renungan Satu Tahun PUSTEP-UGM, Yogyakarta, Aditya
Media
__________, 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Yogyakarta, Aditya Media
__________, (Ed), 2004, Kutai Barat Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Aditya Media
__________, 2004, Gagasan Besar Ekonomi dan Kemajuan Kemanusiaan : Antara Ilmuwan dan
Seniman, pidato pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada 19 Mei 1979, Aditya Media,
akan terbit
Mubyarto, dan Daniel W, Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah
Mada University Press
Oliver, J.M., 1973, The Principles of Teaching Economics, London, Heinemann Educational Books
PUSTEP-UGM, 2003-2004, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Pancasila Jilid I-III, Yogyakarta,
PUSTEP-UGM
Soderbaum, Peter, Ethics, Ideological Comitment and Social Change, dalam Alan Lewis & Karl-Erik
Warneryd (eds), Ethics and Economic Affairs, Routledge, 1994
Download