memasarkan ekonomi Pancasila, tapi Sri Eddy Swasono cenderung memilih nama ekonomi koperasi yang mana sektor pertanian dan industrialisasi pertanian menjadi pilihan strategis karena bertumpu pada rakyat. Menurut Mubyarto, Ekonomi Pancasila berbeda dengan Sistim Ekonomi Kapitalis maupun Komunis (Marxist) karena dijiwai oleh ideologi Pancasila, yaitu sistim ekonomi berdasarkan azas kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional dengan ciri: 1) Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral ; 2) Penciptaan keadaan pemerataan sosial (egalitarianism) sesuai azas kemanusiaan ; 3) Prioritas pada penciptaan perekonomian nasional yang tangguh ; 4) Koperasi merupakan soko guru perekonomian, dan bentuk paling konkrit dari usaha bersama; 5) Imbangan antara perencanaan nasional dan desentralisasi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial. Meskipun mendapat pujian beberapa pihak, tetapi Ekonomi Pancasila sering dinilai tidak jelas dan belum layak jual. Mubyarto sering kurang mendapat dukungan dua aktor yang berkait erat dengan dunia ekonomi. Pertama, dari para pelaku ekonomi, dan kedua dari para ahli ekonomi itu sendiri. Secara substansi ada kritik menurut tiga kriteria, yaitu konsistensi, koherensi, dan korespondensi. Konsistensi berarti "berdiri bersama" artinya "sesuai", "harmoni", atau "hubungan logis". Koherensi berarti "lekat satu dengan lainnya". Korespondensi artinya "bersama" dan "menjawab". Jadi korespondensi ialah samanya teori dengan praktik, murni dengan terapan. Pelaku ekonomi yang sering kesal dengan ekonomi Pancasila karena “sistem ekonomi kapitalis yang memihak konglomerat pun harus dianggap sebagai ekonomi kerakyatan, karena konglomerat adalah juga rakyat” ditentang Mubyarto. Ada upaya mengedepankan kesejahteraan rakyat yang lebih bermakna pada kesejahteraan para petani, nelayan, buruh dan kaum papa; berupa “sistem ekonomi yang memihak kepada kepentingan sebagian besar rakyat secara adil, manusiawi dan demokratis”. Ini karena menurut Mubyarto, ekonomi Pancasila memiliki dasar sila ketiga dan kelima, dan UUD 1945 terutama pasal 33. Ekonomi Pancasila adalah ulasan normatif, karena lebih dilandasi pada etika padahal dalam kondisi Pareto optimal, tak pernah dipersoalkan siapakah pemilik nilai kepuasan (utilitas), apakah rakyat atau konglomerat. Ilmu ekonomi sering dikatakan sebagai ilmu yang bebas nilai. Disinilah muncul ketidak konsistenan ekonomi Pancasila dengan ilmu ekonomi. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA Bila Ekonomi Pancasila diartikan sebagai upaya pendistribusian kembali asset, maka berarti sumber daya awal (initial endowment)nya yang semula timpang dapat disamakan dengan rekayasa dengan meminjam diagram Edgeworth Box yang ada di pelajaran ekonomi mikro dasar. Misalnya landreform dilakukan, dengan memindahkan utility ke tengah, tapi ketimpangan dapat saja terjadi kembali karena "apa yang saya mau" belum tentu sama dengan "apa yang saya mampu". Ini karena kualitas SDM penerima pembagian asset ini sebetulnya tidak memadai. Ada studi yang menemukan bahwa para pemenang lotre akan jatuh miskin kembali dalam 3 tahun, karena meskipun kaya, tetapi mentalnya tetap saja orang miskin, selalu mengharapkan subsidi dan keberuntungan tanpa kerja keras. Penerima jatah landreform adalah para pemenang lotre itu. Inilah yang menyebabkan banyak orang lebih mempercayai pemberdayaan rakyat melalui pelatihan, pendidikan, pembentukan microentrepreneurship, microfinance, selain integrasinya dengan pelaku bisnis besar. Di FEUI sendiri sedang dibentuk UKM Center yang mencoba menterjemahkan makna ekonomi Pancasila ini secara lebih aplikatif, terutama karena FEUI sendiri sering dicap beraliran ”neoliberal” (sebutan politis di media masa) yang berorientasi hanya pada yang makro dan usaha besar saja. Dengan adanya keinginan mengubah nama FEUI menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, dan adanya keinginan membangun citra kepedulian FEUI pada sikecil dan mikro, yang mana bisnis menjadi lebih berperan termasuk bisnis usaha mikro, kecil dan menengah, maka UKM Center FEUI dihadirkan. Bila Ekonomi Pancasila diterjemahkan dalam bentuk pemberian subsidi, maka kupasan teori ekonomi baku mengatakan akan selalu terjadi kemubaziran (dead weight loss) karena perekonomian menjadi tidak efisien. Bila Ekonomi Pancasila berupa affirmative action seperti New Economic Policy (NEP) di Malaysia untuk mengutamakan kaum pribumi, maka ekses negatif diperkirakan akan ikut menyertainya. Dari temuan Adam, Canvendish dan Yoshihira ( Gomez & Jomo, 1997, 25), maka implementasi NEP dinilai menghalangi pertumbuhan karena terjadi perkoncoan, pendistribusian kesempatan rente kepada perusahaan yang dikontrol para politisi dan pensiunan birokrat, partai yang berkoalisi dengan kaum penguasa, wiraswasta yang berkolusi dengan politisi penguasa, munculnya "mentalitas subsidi" di tingkat terbawah (grass root) yang akan memberikan dukungan kepada patron politiknya, money politics, yang mengaburkan perbedaan antara kekuatan bisnis dan politik. Transparansinya terutama dalam implementasi kebijakan publik akan menjadi pertanyaan. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA Keterasingan Ekonomi Pancasila bila dilihat dari konsistensi, koherensi dan korespondensinya dengan ilmu ekonomi mungkin muncul karena Mubyarto pernah mengatakan keberatannya dengan istilah ekonomi itu sendiri. “Ekonomi” bermakna “mengatur rumah tangga” sehingga mengajari orang menjadi individualistik, yaitu mengajari mengelola dan mengatur kekayaan pribadi agar semakin besar (tanpa batas) dengan mengabaikan dampak sosial. Mubyarto mengusulkan istilah sosionomi yang adalah ilmu yang mengatur dan mengelola kehidupan manusia yang hidup bersama. Ini pun tak memadai karena sosionomi masih berisi kata oikos yang artinya rumah tangga, yang dalam kondisi dunia saat ini interpretasinya juga dianggap terlalu sempit (Mubyarto dalam ’Reformasi sistem ekonomi, dari kapitalisme menuju ekonomi kerakyatan’, 1999). Tampaknya pencarian Mubyarto belum selesai sampai beliau berpulang. Kini, tugas kitalah untuk terus mencari jabaran makna dan realisasi Ekonomi Pancasila yang lebih pas dan layak jual. DIDIK J RACHBINI Demokrasi Sosial Mendapati pelaksanaan sistem perekonomian kita kini, Prof. Didik J. Rachbini dalam bukunya, ’politik ekonomi baru; menuju demokrasi ekonomi’, mengajukan reformasi berfikir melalui transformasi cara berfikir kolektif dalam membangun sistem ekonomi (politik) baru, yaitu Demokrasi Sosial. Mengapa? Karena ekonom ini berfikir bahwa kita tidak bisa lagi meneruskan cara berpikir dengan pola Orde Liberal, yang terbukti melahirkan bentuk Kapitalisme Primitif—seperti terlihat gamblang dari sistem ekonomi pada saat ini. Wujud dari Demokrasi Sosial ini cukup berkembang di negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Denmark, Finlandia dan sebagainya. Sejarah pertumbuhan ekonomi ekonomi negara-negara ini cukup moderat tetapi lebih merata, adil dan yang penting berwajah manusiawi. Meski ada masalah legitimasi, modal politik yang dimiliki hanya lembaga perwakilan dan permusyawaratan yang ada sekarang. Rancangan Ketetapan tentang ‘Politik Ekonomi Baru’ merupakan denyut kecil di tengah massa anggota MPR dan puluhan ribu masaa demonstran. Konstruksi pemikiran dari rantap tersebut mengacu pada upaya untuk mesosok ekonomi politik berwajah demokrasi sosial. Dan sesungguhnya, pemikian Hatta secara anatomis merupakan tipe genetika pemikiran Demokrasi Sosial yang sama sekali tidak mematikan institusi dan mekanisme pasar. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA Rachbini mengajukan reformasi berfikir kolektif dalam membangun sistem ekonomi politik baru, yaitu Demokrasi Sosial, yang lebih berwajah manusiawi. Ini diajukan, karena ia merasa kita harus meninggalkan cara berfikir dengan pola Orde Liberal yang terbukti melahirkan Kapitalisme Primitif. Di Indonesia, Kapitalisme Primitif lahir dari persetubuhan tiga institusi dasar, yang distorsif. Yakni: a. institusi kebijakan ekonomi, yang kental dengan nuansa pemikiran yang sangat liberal. Sehingga lupa bahwa di luar institusi pasar juga penting di bangun institusi social dan budaya masyarakat itu sendiri. b. institusi kekuasaan yang otoriter dan korup, sehingga memanfaatkan segala bentuk instrumen hukum dan peraturan untuk memperkaya sekelompok orang dan menutup akses masyarakat luas. c. institusi masyarakat dan parlemen, yang lemah. Yang hanya menjadi boneka dari kekuasaan. Konstruksi dari alur politik ekonomi baru ini adalah substansi demokrasi ekonomi, seperti tercantum dalam 4 (empat) unsur pokok dari suatu politik ekonomi. Substansi pertama: “politik regulasi ekonomi yang adil dan penciptaan lingkungan usaha yang sehat”. Substansi pertama yang bersifat mendasarnya adalah faktor pengusaha dan lingkungannya. Politik ekonomi baru ini menolak pola konglomerasi, tetapi tidak anti besar. Sebab sosok konglomerasi tersebut adalah anak perkawinan antara kekuasaan dan segelintir kelompok kepentingan dengan cara perburuan rente ekonomi, monopoli dan sebagainya. Visi ke depannya adalah struktur “belah ketupat”, dimana pengusaha di lapisan tengah sangat kuat dan besar jumlahnya dengan saling keterkaitan bersama pengusaha kecil dan besar. Bukan bentuk piramida terbalik seperti sekarang, dimana pengusaha besar konglomerat sedikit jumlahnya berada di puncak dan pengusaha kecil dan marjinal banyak di bawah. Sementara itu, lapisan piramida tengahnya kosong atau keropos. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA Substansi kedua: “politik pertanahan dan sumberdaya alam”. Pengelolaan pertanahan dan sumber daya alam secara adil dan dengan akses yang terbuka bagi publik. – terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi. Masalah tanah merupakan modal produksi utama bagi pengusaha di sektor manapun (pertanian, industri, jasa dan sebagainya). Politik pertanian dan politik industri akan menjadi lebih adil jika aspek dasar dalam pengelolaan pertanahan dan sumberdaya alam bersifat adil pula. Substansi ketiga: “politik ketenagakerjaan”, yakni demokratisasi bagi kesejahteraan pekerja hampir otomatis menjadi kunci bagi kesejahteraan masyarakat luas. Apalagi Indonesia menuju masyarakat industri sehingga pekerja di industri, jasa dan industri, jasa dan industri pertanian dan perkebunan makin besar porsinya. Berpihak pada kesejahteraan pekerja adalah berpihak pada mayoritas rakyat. Substansi keempat: “politik keuangan dan perbankan”, yaitu akses terhadap sumberdaya yang harus terbuka luas bagi pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan mereformasi perbankan agar tidak menjadi kasir konglomerat dan pengusaha besar. Karena pada sisi lainnya, usaha kecil dan menengah yang jumlahnya besar kehilangan akses terhadap perbankan dan sumber dana produktif lainnya. Keempat substansi tersebut, bisa dikatakan juga sebagai elemen pokok dalam Politik Ekonomi Baru: Demokrasi Sosial, dengan empat unsur, yakni: a. Pelaku usaha, aturan yang jujur dan pasar yang efisien. b. Akses yang terbuka dan adil terhadap pertanahan dan sumberdaya alam c. Demokratisasi untuk kesejahteraan pekerja d. Institusi keuangan yang demokratis dan terbuka aksesnya untuk masyarakat luas. ANGGITO ABIMANYU Menuju Ekonomi Indonesia Baru Beranjak dari prinsip dasar pembangunan yaitu dari masyarakat untuk masyarakat, dengan sendirinya akan diketahui bagaimana ekonomi Indonesia dibangun dan seperti apa pembangunan ekonomi tersebut dijalankan. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA