pertanian lanjutan, secara keinambungan dan dengan harga yang stabil, sehingga sektor industri dapat menjadi kuat karena didukung oleh sektor pertanian yang maju, efisien dan tangguh. (5) Dengan pembangunan pertanian dapat dilakukan proses produksi dengan lebih efisien dengan penggunaan teknologi dan ketrampilan-ketrampilan baru di sektor pertanian. Sebagian tenaga kerja di sektor pertanian dapat bergeser ke sektor industri. Hal ini berarti tambahan penawaran tenaga kerja bagi sektor di pasar tenaga kerja. Dengan tersedianya tenaga kerja yang cukup maka industri dapat berproduksi dengan upah dan gaji yang relatif murah namun dalam batas kewajiban, dan ini berarti industri dapat melaksanakan efisien. Kedudukan sektor pertanian yang relatif kurang penting dalam sektor pertanian sejalan dengan perkembangan ekonomi. Namun sektor pertanian tetap sebagai basis perekonomian, karena sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangan dan bahan mentah bagi industri. Di negara-negara komoditi-komoditi pertanian yang telah diolah menjadi industri, tidak saja terbatas bagi kebutuhan pasar dalam negeri tetapi terus berkembang menjadi komoditi ekspor. Komoditi ekspor bukan hanya komodoti pertanian yang telah diolah itu sendiri tetapi juga berupa faktor-faktor produksi pertanian seperti bibit unggul, pupuk, pestisida dan bahan-bahan kimia serta mesin dan peralatan pertanian selain bahan mentah dan bahan baku industri. Bagi Indonesia, sektor pertanian masih tetap penting sekalipun pilihan mengharuskan jatuh pada sektor industri sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth). Hal itu disebabkan oleh persaingan yang sangat ketat dalam perdagangan internasional, mengharuskan komoditi pertanian diolah terlebih dahulu dalam industri-industri (angroindustry) sebelum diekspor. Untuk itu perlu dikaji bagaimana negara-negara maju menggunakan teknologi pertanian untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian mereka. Namun, masalahnya dapatkah proses transformasi yang telah terjadi di negaranegara maju itu ditetapkan. Dalam hal ini, harus dilihat keadaan yang bersifat mendasar antara kondisi di negara-negara maju tersebut dengan kondisi yang terdapat di negara-negara maju tersebut ketika diproses transformasi terjadi, lahan pertanian masih bisa diperluas (diekstensifikasi) dan pertumbuha penduduknya relatif masih bisa dikendalikan. Di samping pembangunan pertanian, industrialisasi Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA dilakukan sehingga perkembangan angkatan kerja dapat ditampung di sektor industri. Di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Bali yang padat penduduknya, tersedianya lahan pertanian sangat terbatas bahkan semakin berkurang karena pertumbuhan permukiman dan perkembangan industri. Penerapan teknologi pertanian di daerah yang lahannya terbatas adalah dengan sistem intensifikasi yang dengan program Bimas (bimbingan massal) dan Inmas (intensifikasi masalah). Di samping itu dilakukan pemindahan petani dari pulau Jawa dan Bali ke daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Bali melalui program transmigrasi, di samping untuk meningkatkan pembangunan pertanian di luar pulau Jawa dan Bali. MASALAH KETERBELAKANGAN INDUSTRIALISASI DI INDONESIA Dari jumlah penduduk Indonesia termasuk negara sedang berkembang terbesar ketiga setelah India dan Cina. Namun diluar dari segi industrialisasi Indonesia dapat dikatakan baru mulai. Salah satu indikator dari tingkat industrialisasi adalah sumbangan sektor industri dalam GDP (Groos Domestic Product). Dari ukuran ini sektor industri di Indonesia sangat ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara utama di Asia. Dua ukuran lain adalah besarnya nilai tambah yang dihasilkan sektor industri dan nilai tambah perkapita. Dari segi ukuran mutlak sektor industri di Indonesia masih sangat kecil, bahkan kalah dengan negara-negara kecil seperti Singapura, Hongkong dan Taiwan. Secara perkapita nilai tambah sektor industri di Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia. Indikator lain tingkat industrialisasi adalah produksi listrik perkapita dan prosentase produksi listrik yang digunakan oleh sektor industri. Di Indonesia produksi listrik perkapita sangat rendah, dan dari tingkat yang rendah ini hanya sebagian kecil yang digunakan oleh konsumen industri. Keadaan sektor industri selama tahun 1950-an dan 1960-an pada umumnya tidak menggembirakan karena iklim politik pada waktu itu yang tidak menentu. Kebijakan perindustrian selama awal tahun 1960-an mencerminkan filsafat proteksionalisme dan etatisme yang ekstrim, dengan akibat kemacetan poduksi. Sehingga sektor industri praktis tidak berkembang (stagnasi). Selain itu juga disebabkan karena kelangkaan modal dan tenaga kerja ahli yang memadahi. Perkembangan sektor industri mengalami kemajuan yang cukup mengesankan pada masa PJP I, hal ini dapat dilihat dari jumlah unit usaha, tenaga Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA kerja yang diserap, nilai keluaran yang dihasilkan, sumbangan devisa dan kontribusi pembentukan PDB, serta pertumbuhannya sampai terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. KEBIJAKAN INDUSTRIALISASI Pemerintah Orde Baru melakukan perubahan-perubahan besar dalam kebijakan perindustrian. Keadaan semakin baik dengan berhasilnya kebijakan stabilitas di tingkat makro dan dilaksanakannya kebijakan diberbagai bidang, Ada tiga aspek kebijakan ekonomi Orde Baru yang mebumbuhkan iklim lebih baik bagi pertumbuhan sektor industri ketiga aspek tersebut adalah: 1. Dirombaknya sistem devisa. Sehingga transaksi luar negeri menjadi lebih bebas dab lebih sederhana. 2. Gikuranginya fasilitas-fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi perusahaan negara, dan kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor swasta bersama-sama dengan sektor BUMN. 3. Diberlakukannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA). Sebagai akibat kebijakan ini, Indonesia membuka kemungkinan pertumbuhan industri dengan landasan yang luas. Sehingga pada tahun 1970 industri-industri utama sektor modern meningkat dengan pesat. Akibatnya sektor industri dalam GDP meningkat dari 9% menjadi 12% pada tahun 1977, yang dibarengi dengan menurunnya sektor pertanian dalam GDP. Dalam implementasinya ada empat argumentasi basis teori yang melandasi suatu kebijakan industrialisasi, yaitu: a. Keunggulan kompraratif Negara-negara yang menganut basis teori keunggulan komparatif (comparative advantage) akan mengembangkan sub sektor atau jenis-jenis industri yang memiliki keunggulan komparatif baginya. b. Keterkaitan industrial Negara-negara yang bertolak dari keterkaitan industrial (industrial linkage) akan lebih mengutamakan pengembangan bidang-bidang industri yang paling Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA luas mengait perkembangan bidang-bidang kegiatan atau sektor-sektor ekonomi lain. c. Penciptaan kesempatan kerja Negara yang industrialisasinya dilandasi argumentasi penciptaan lapangan kerja (employment creator) niscaya akan lebih memprioritaskan pengembangan industri-industri yang paling banyak tenaga kerja. Jenis industri yang dimajukan bertumpu pada industri-industri padat karya dan industri-industri kecil. d. Loncatan teknologi Negara-negara yang menganut argumentasi loncatan tekhnologi (tekhnologi jump) percaya bahwa industri-industri yang menggunakan tekhnologi tinggi (hitech) akan memberikan nilai tambah yang sangat best, diiringi dengan kemajuan bagi tekbologi bagi industri-industri dan sektor lain. Masing-masing teori diatas memiliki kelebihan dan kekurangan. Teori keunggulan komparatif kelebihannya dalam hal efisien alokasi sumber daya demean mengembangkan industri-industri yang secara komparatif unggul. Sumber daya ekonomi akan teralokasi ke penggunaan yang paling mens.’.untungkan kelebihannya terletak pada pendekatannya yang menyadarkan pada sisi produk yang memiliki keunggulan komparatif boleh jadi barang yang kurang diminati konsumen, sehingga meskipun efisien diproduksi. Mungkin sulit dipasarkan. Teori keterkaitan industrial sangat peduli akan kemungkinan-kemungkinan berkembangnya sektor lain, yaitu terletak pada keterkaitannya kedepan (forward linkage). Maupun keterkaitan kebelakang (backward linkage). Sektor industrial diharapkan bisa berperan sebagai motor penggerak perkembangan sektor lain. Kelemahan teori ini kurang memperlihatkan pertimbangan efisiensi. Industri yang dikembangkan memiliki kaitan luas. Sehingga diprioritaskan, dan boleh jadi merupakan industri-industri yang memerlukan modal besar atau menyerap banyak devisa, atau industri yang tidak memiliki keunggulan komparatif. Teori penciptaan kesempatan kerja unggul karena titik tolaknya yang sangat manusiawi. Dengan menempatkan manusia sebagai subyek (bukan objek) pembangunan. Teori ini sangat populis dan cocok bagi negara-negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk dalam jumlah besar. Namun industri-industri yang dikembangkan berdasarkan penciptaan kesempatan kerja, mungkin saja industriindustri yang tidak memiliki kaitan luas dengan sektor-sektor lain. Sehingga tidak dapat berperan sebagai sektor yang memimpin (leading sector). Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA Teori loncatan tekhnologi merupakan pandangan bare dalam jajaran teori industrialisasi. Kekuatan teori ini terletak pada optimisme tekhnologi, bahwa pengembangan industri berteknologi tinggi akan memacu kemajuan teknologi di sektor-sektor lain. Kelemahannya teori ini ”tidak perlu biaya”, tidak menghiraukan masalah ketersediaan modal, sehingga potensial boros devisa. Selain itu, teori ini juga kurang peduli akan kesiapan kultur masyarakat dalam menghadapi loncatan teknologi yang dikembangkan. KEPUSTAKAAN Abimanyu, Anggito. Ekonomi Indonesia Baru: Kajian dan Alternatif Solusi Menuju Pemulihan. Elek Media Komputindo. Jakarta. 2000. Rachbini, Didik J. Politik Ekonomi Baru menuju Demokrasi Ekonomi. Cetakan Pertama, Grasindo, Jakarta, 2001. Rintuh, Cornelis. Perekonomian Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan pertama, Liberty, Yogyakarta, 1995. Subandi. 2005. sistem Ekonomi Indonesia. Edisi pertama. Alfabeta Bandung. Suroso, P.C, dkk. Perekonomian Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa. Cetakan keempat. Gramedia. Jakarta, 1997. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Feni Fasta, SE, M.Si SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA