BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME A. KONDISI UMUM Upaya penanganan separatisme di Aceh telah menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Penandatanganan nota kesepahaman Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 merupakan babak baru bagi penyelesaian separatisme di Aceh yang telah berlangsung hampir 29 tahun. Itikad baik Pemerintah dan GAM dalam menyelesaikan masalah Aceh telah meredam konflik bersenjata dengan diserahkannya sejumlah persenjataan milik GAM dan penarikan seluruh pasukan non organik TNI dan Polri yang difasilitasi oleh Aceh Monitoring Mission (AMM). Selanjutnya proses penyelesaian separatisme telah disepakati dalam kerangka NKRI melalui repatriasi mantan anggota GAM dan penyusunan peraturan perundangan sistem pemerintahan daerah Aceh. Meskipun organisasi GAM belum dibubarkan, namun pimpinan GAM tidak akan menghalangi para mantan anggotanya untuk berkiprah di pemerintahan seperti menjadi anggota TNI, Polri, Pegawai Negeri Sipil ataupun berkiprah dalam partai politik baik dalam skala nasional maupun lokal. Untuk keperluan tersebut, GAM membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) dengan tujuan untuk membantu para mantan anggotanya untuk mendapatkan hak dasar seperti hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh perlakuan yang sama dengan masyarakat yang lainnya, atau hak kebebasan berpolitik. Kemudian pada tahun 2006, diharapkan kegiatan separatisme semakin tereduksi dengan ditetapkannya Undang-Undang Pemerintah Aceh yang baru sesuai dengan kesepakatan Helsinki. Situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Papua cenderung mengalami degradasi terkait dengan suhu politik yang semakin meningkat. Kondisi tersebut telah berdampak pada meningkatnya aktivitas gerakan separatis meskipun bukan aktivitas bersenjata. Dalam skala lokal, organisasi Papua Merdeka (OPM) memanfaatkan event penolakan pemekaran wilayah sebagai wahana untuk meningkatkan dukungan masyarakat bagi perjuangan memperoleh kemerdekaan Papua. Penghembusan isue bahwa pemekaran wilayah merupakan bentuk pengingkaran Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, cukup efektif menciptakan situasi berpotensi konflik baik horisontal maupun vertikal, sehingga muncul wacana untuk mengembalikan otonomi khusus Papua ke pemerintah pusat. Dalam skala nasional, buku Een Daad van Vrije Keuzz De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van zelfbeschikkingsrecht karya Prof. P.J. Drooglever warga negara Belanda, seringkali dijadikan referensi untuk mempermasalahkan proses integrasi Papua dengan NKRI. Di samping itu, dalam rangka menciptakan opini publik khususnya di dunia pendidikan, OPM telah berhasil menyusupkan atlas Papua merdeka ke dalam buku pelajaran sekolah tingkat dasar dan menengah yang telah beredar di sebagian wilayah Propinsi Jawa Timur dan Banten. Sedangkan dalam skala internasional, propaganda OPM di luar negeri mulai memberikan hasil dengan semakin santernya pemberitaan dan upaya beberapa anggota Kongres Amerika Serikat untuk meninjau kembali proses integrasi Papua ke NKRI dalam Rancangan Undang-Undang 2601. Pada tahun 2006, kegiatan separatisme di Papua diperkirakan tidak jauh berbeda dengan tahun 2005. Berbagai upaya mendiskreditkan posisi Indonesia yang dilakukan oleh kelompok separatis, diperkirakan masih akan terus berlangsung. Aktivitas seperti mencari suaka politik, mempermasalahkan pelanggaran HAM, isu pemekaran wilayah, eksploitasi sumber daya alam, atau proses pemilihan kepala daerah dianggap masih efektif untuk meningkatkan dukungan asing bagi lepasnya Papua dari NKRI. Upaya penanganan separatisme di Papua secara komprehensif terus dilakukan melalui kontradiplomasi terhadap upaya-upaya internasionalisasi proses integrasi Papua ke NKRI. Namun demikian kondisi sosial masyarakat dan masih kuatnya dukungan sebagian kelompok masyarakat terhadap perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) perlu diwaspadai dengan baik. Pengakuan negara asing meskipun tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan masih sebatas wacana, merupakan benih kesulitan di masa yang akan datang apabila upaya-upaya diplomasi luar negeri tidak dilakukan secara intensif. Oleh karena itu, langkah rekonsiliasi dengan OPM masih membutuhkan waktu untuk mencapai keberhasilannya. Dengan demikian, langkah preventif untuk mencegah semakin mengakarnya gerakan OPM lebih tepat jika diarahkan melalui cara mengambil hati masyarakat Papua dengan membangun Papua secara berkeadilan. Meskipun berbagai langkah kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi separatisme di Aceh dan Papua telah diupayakan secara maksimal, tetapi beberapa tantangan dan hambatan masih akan dihadapi pada tahun 2007. Proses repatriasi mantan anggota GAM memungkinkan terjadinya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, sehingga akan mengganggu kesepahaman Helsinki. Di samping itu, langkah politik GAM melakukan kerjasama ekonomi dengan negara asing seperti kerjasama resmi pelayaran dengan pemerintah Malaysia memerlukan pencermatan lebih mendalam agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Sementara itu, kontradiplomasi untuk menghambat laju internasionalisasi Papua memerlukan langkah simultan dengan membangun Papua secara berkeadilan. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi dalam pembangunan nasional tahun 2007 adalah bagaimana melaksanakan butir-butir kesepahaman Helsinki secara baik dan meredam opini internasional atas integrasi Papua dalam NKRI, secara terus menerus menurunkan kekuatan dan perlawanan OPM. B. SASARAN PEMBANGUNAN TAHUN 2007 Sasaran pokok yang akan dicapai dalam upaya pencegahan dan penanggulangan separatisme di Indonesia pada tahun 2007 adalah sebagai berikut : 1. Normalisasi kehidupan masyarakat Aceh sejalan dengan upaya damai yang telah dilaksanakan 2. Meningkatnya pemahaman dan kebanggaan masyarakat Aceh terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Menurunnya kekuatan OPM dan melemahnya dukungan simpatisan OPM di dalam dan luar negeri 4. Terdeteksi dan dapat dicegahnya potensi separatisme II.4 - 2 C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN 2007 Arah kebijakan yang akan ditempuh dalam rangka mencegah dan menanggulangi gerakan separatisme pada tahun 2007 adalah sebagai berikut: 1. Penguatan koordinasi dan kerjasama diantara lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan separtisme. 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh melalui perbaikan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi dan politik tanpa diskriminasi. 3. Melaksanakan pendidikan politik dan bela negara secara formal, informal, dialogis, serta melalui media massa dalam rangka meningkatkan rasa saling percaya dan menumbuhkan kecintaan terhadap NKRI. 4. Meningkatkan upaya diplomasi luar negeri dalam rangka kontra diplomasi OPM di dalam dan di luar negeri. 5. Mengefektifkan upaya deteksi secara dini (early warning system) dan pencegahan awal potensi konflik dan separatisme. II.4 - 3