PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS BERWAWASAN GENDER: PERSPEKTIF KONSEP MANAJEMEN DIRI Oleh: Abd. Muis Said. Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar Abstract: In the proses of gender-viewed English learning, the scopes of self– management concept of educator and learners consisting of their being, their own life purpose, and their position in life must be accomadated in all learning phases. To support the success of the effort maximally, it must be supported by approaches that can be integrated by self–management concept in gender-viewed English learning namely individual approach, community approach, mixed approach, and educational approach. Dalam proses pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender, ruang lingkup konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik yang terdiri atas eksistensinya sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan harus terakomodir dalam setiap tahapan pembelajaran. Agar upaya tersebut dapat berhasil maksimal, maka upaya tersebut harus didukung oleh pendekatan yang dapat terintegrasi dengan konsep manajemen diri dalam pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender yaitu pendekatan individualistis, pendekatan kelompok, pendekatan campuran, serta pendekatan edukatif. Kata Kunci: Pembelajaran Bahasa Inggris Berwawasan Gender, Konsep Manajemen Diri I. PENDAHULUAN Pembelajaran bahasa Inggris merupakan sebuah proses yang kompleks dengan melibatkan berbagai komponen pembelajaran termasuk pendidik dan peserta didik. Dalam proses tersebut, pendidik dan peserta didik dalam interaksi keduanya dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris masing-masing memiliki konsep manajemen diri dalam memahami diri mereka sendiri serta dalam memahami orang lain di sekitarnya. Menyikapi apa yang dimaksud dengan konsep manajemen diri tersebut, Omisakin and Ncama dalam salah satu jurnal internasionalnya yang berjudul “Self, Self-Care, and Self-Management Concept: Implication for Self Management Education” menyatakan bahwa konsep manajemen diri memberikan gambaran tentang eksistensi seseorang sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan. Ketiga kerangka dari konsep manajemen diri tersebut membantu seseorang dalam memposisikan diri dalam interaksi social, mempromosikan penerimaan dirinya pada suatu situasi sosial, membuka diri bagi orang lain, serta membantu pemahaman diri seseorang yang berimplikasi pada manajemen diri yang dimiliknya.1 Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender, bisa dipahami bahwa apabila pembelajaran bahasa Inggris yang berlangsung mampu mengakomodir sisi gender yang adil dan egaliter maka akan muncul konsep manajemen diri yang positif. Sebaliknya, apabila pembelajaran bahasa Inggris yang berlangsung kurang mengakomodir sisi gender yang adil dan egaliter maka akan muncul konsep manajemen diri yang negatif. Dampak negatif dari pembelajaran bahasa Inggris yang tidak berwawasan gender bukan hanya berimplikasi pada konsep manajemen diri pada peserta didik perempuan yang secara umum biasa menjadi korban ketidakadilan gender dalam berbagai konteks sosial tapi juga bagi konsep manajemen diri pada peserta didik laki-laki. Bagi peserta didik perempuan, mereka cenderung akan bersikap apatis sementara peserta didik laki-laki cenderung akan bersikap superior karena hanya justifikasi atas superioritas mereka atas nama gender dari proses pembelajaran bahasa Inggris yang berlangsung. Sebagai suatu refleksi seorang individu atas eksistensi dirinya sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan, konsep manajemen diri menarik untuk dijadikan sebagai suatu obyek formal dalam melihat pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender sebagai obyek materialnya. II. PEMBAHASAN A. Pembelajaran Bahasa Inggris Berwawasan Gender Pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender merupakan sebuah pola pembelajaran yang tidak bisa dipisahkan dari teori-teori belajar yang ada yang terdiri atas teori belajar behavioristik, humanistik, serta kognitif. Dalam kaitannya dengan bagaimanana indivudualisasi peserta didik dalam pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender, Redja Mudyaharjo merinci sebagai berikut: 1. Teori belajar behavioristik: Perlakukan individual didasarkan pada tugas, ganjaran, dan disiplin 2. Teori belajar humanistik: Perlakuan individual didasarkan pada kebutuhan dan individualitas /kepribadian 3. Teori belajar kognitif: Perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan peserta didik 2 1 Folorunso Dipo Omisakin and Busisiwe Putity Ncama, “Self, Self-Care, and SelfManagement Concept: Implication for Self Management Education”, Educational Research Vol.II December 2011, dalam http://www.interesjournals.org. 3 April 2016 Dalam implementasinya, ketiga teori belajar tersebut memiliki implikasi yahg luar biasa terhadap pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender. Dalam teori belajar behavioristik yang mendasarkan perlakuan individual pada tugas, ganjaran, dan disiplin, pola pemberiannya harus dilakukan dengan betul-betul mempertimbangkan sisi keadilan gender seperti memberikan tugas yang betul-betul proporsional terhadap peserta didik laki-laki dan perempuan. Meminta peserta didik laki-laki dalam kegiatan pembelajaran yang sifatnya maskulin seperti berlari, memanjat, dan semacamnya harus proporsional termasuk dalam pemberian ganjaran dan ukuran kedisiplinan bagi keduanya. Demikian pula sebaliknya, pada tugas pembelajaran yang membutuhkan keterampilan yang sifatnya feminin seperti merangkai bunga, mewarnai gambar, maka ganjaran dan ukuran kedisiplinan juga harus proporsional. Tapi pada kegiatan pembelajaran yang bersifat gender umum, maka keduanya bisa disandingkan pada titik permulaan dan akhir yang sama seperti dalam menulis, membaca, dan semacamnya. Dalam teori belajar humanistik yang mendasarkan perlakuan individu terhadap kebutuhan dan individualitas /kepribadian, pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dapat diwujudkan dengan memberikan materi-materi bahasa Inggris sesuai dengan kebutuhan dan individualitas peserta didik. Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa pendidik perlu mengeksplorasi lebih jauh mminat peserta didik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan komponen pembelajaran bahasa Inggris seperti tujuan pembelajaran, aktivitas pembelajaran, peran pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran, materi ajar dan media dalam pembelajaran, dan semacamnya. Dalam teori belajar kognitif yang mendasarkan perlakuan individu terhadap tingkat perkembagan peserta didik, pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender perlu melihat perkembangan anak dari sisi maskulin dan feminisnya. Penulis melihat bahwa jenis kelamin peserta didik yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, dalam fakta sosio-psikisnya, ternyata belum cukup menjadi benang merah penentu sisi maskulin dan feminin di antara keduanya karena faktanya ada peserta didik yang berjenis kelamin laki-laki secara fisik tapi memiliki sisi feminin secara kejiwaan sebaliknya ada peserta didik yang berjenis kelamin perempuan secara fisik tapi memiliki sisi maskulin secara kejiwaan. Dari sisi materinya, pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dapat membagi kata benda (noun) menjadi empat bagian yaitu: 1. Masculine gender (jenis kelamin laki-laki) seperti father, brother, uncle, son, postman, dan semacamnya. 2 Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h. 14 Feminine gender (jenis kelamin perempuan) seperti mother, sister, aunt, daughter, postwomen, dan semacamnya. Common gender (jenis kelamin umum) seperti teacher, soldier, student, lion, dan semacamnya. Neuter gender (tidak memiliki jenis kelamin) seperti library, book, water, sky, dan semacamnya. 3 2. 3. 4. Keempat kategori gender dari materi pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender tersebut masih bisa dikembangkan lebih lanjut bukan hanya dari sisi materinya seperti melihat materi pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dari bagian-bagian bahasa yang biasa dikenal dengan parts of speech seperti verb, adjective, preposition, dam semacamnya yang tentunya juga tidak bisa dipisahkan dari karakter gender yang melingkupinya, tapi juga dari sisi komponen pembelajaran bahasa Inggris yang lainnya seperti tujuan pembelajaran, aktivitas pembelajaran, peran pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran, materi ajar dan media dalam pembelajaran, dan semacamnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa terjadinya bias gender sehinggan mengakibatkan kesenjangan gender antara peserta didik laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran, termasuk pembelajaran bahasa Inggris tentunya, biasanya terjadi begitu saja dalam sebuah sistem pembelajaran yang mekanistis tanpa disadari khususnya oleh pendidik sebagai pion terdepan dalam eksekusi pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Menyikapi hal tersebut, Ida Siti Herawati dalam Bambang Santoso menggambarkan beberapa tindakan pendidik yang tanpa disadari telah menciptakan kesenjangan gender yaitu: 1. Pada waktu memberi motivasi belajar di awal pelajaran, pendidik kurang memperhatikan kebiasaan peserta didik perempuan di mana peserta didik perempuan biasanya kurang dapat menyampaikan pendapat atau mendominasi pembicaraan, sehingga aktivitas di awal pelajaran di dominasi oleh peserta didik laki-laki. 2. Dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan membuka pelajaran beberapa kali ditujukan pada peserta didik tertentu saja yang mendominasi kelas yaitu peserta didik laki-laki. 3. Sapaan/teguran pada peserta didik perempuan dan laki-laki mengarah pada pembedaan stereotipe sering dilakukan pendidik. 4. Sikap malu yang ditunjukkan oleh peserta didik perempuan sering diabaikan oleh pendidik, sehingga peserta didik perempuan kurang berkembang rasa percaya dirinya. 3 Agus Darmawansyah, 2009), h. 3 Grammar and Vocabulary, (Kediri: Wahana English Meeting, 5. Pertanyaan tentang dunia teknik diajukan kepada peserta didik laki-laki, sedang peserta didik perempuan lebih banyak diberi pertanyaan pada seputar aktivitas domestik. 6. Jenis penguatan dengan kata ‘manis’ lebih mendominasi “reinforcement” kepada peserta didik perempuan, sedang kata ‘bagus’ (yang berarti ganteng) diberikan kepada peserta didik laki-laki. 7. Pemberian teguran seperti: peserta didik perempuan kok pentalitan seperti peserta didik laki-laki, peserta didik laki-laki harus dapat menjadi pemimpin sering diucapkan oleh pendidik. 8. Peraga berupa gambar suasana rumah selalu dikaitkan dengan perempuan, sedang suasana pabrik, kantor selalu dikaitkan dengan laki-laki. 9. Dalam pandangan pendidik masih terlihat adanya pengaruh pandangan dikotomi bahwa perempuan tidak berbakat untuk matematika, teknik. Sedang laki-laki cocok untuk menjadi perawat, sekretaris dan penari. 10. Dalam pembagian peran yang diberikan pendidik dalam sandiwara kelas, peserta didik laki-laki mendapatkan peran pemimpin, kepala kantor, pelindung, tentara, polisi, sedang peserta didik perempuan mendapat peran ibu rumah tangga, tukang masak, perawat, pendidik, ‘pembantu’ 11. Pendidik cenderung mengarahkan gambar bunga kepada peserta didik perempuan, dan gambar robot, pistol, perang pada peserta didik laki-laki.4 Menurut penulis, apa yang digambarkan oleh Ida Siti Herawati dalam Bambang Santoso tersebut ada benarnya tapi suatu hal yang perlu digarisbawahi bahwa gender bukan berkaitan dengan jenis kelamin tapi lebih mengarah pada fungsi dan peran-peran sosial yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan sisi maskulin dan femininnya. Oleh karena itu, peran-peran sosial yang ada harus terbagi secara proporsional di antara keduanya dengan selalu fokus dalam melihat sisi maskulin dan feminin tersebut. B. Konsep Manajemen Diri Pendidik dan Peserta Pembelajaran Bahasa Inggris Berwawasan Gender Didik dalam Abuddin Nata dalam menjelaskan fungsi pembelajaran menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan upaya mempengaruhi jiwa peserta didik agar mau melakukan berbagai kegiatan belajar seperti membaca, memahami, menganalisa, membandingkan, menyimpulkan, dan semacamnya dengan motivasi yang tinggi. Dalam melakukan berbagai aktivitas belajar tersebut, peserta didik mempergunakan potensi fitrah yang dimilikinya seperti kecenderungan yang serba ingin tahu, panca 4 Bambang Santoso, “Implementasi Kesetaraan Gender pada Pembelajaran Bahasa Indonesia”, dalam https://bambangsantoso.wordpress.com. 26 Maret 2016 indra, bakat, minat, kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif. 5 Apa yang disampaikan oleh Abuddin Nata tersebut menujukkan bahwa pembelajaran memiliki misi untuk meberikan efek postif pada peserta didik dalam prosesnya. Oleh karena itu, pembelajaran bukan hanya berkutat pada dimensi kognitif intelektualnya tapi harus mengarahkan juga pada sisi psikomotorik keterampilan serta afektif prilakunya yang tentunya dalam proses tersebut sangat kental dengan pola interaksi konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik dengan berbagai dimensinya yang digambarkan oleh Abd. Muis Said dengan mengutip Anzala Azimacs yang menyatakan bahwa pembelajaran bahasa Inggris melibatkan konsep manajemen berupa pihak-pihak yang terlibat didalamnya mampu mengatur pikiran, pemahaman, ucapan dan aksi pada sebuah sistem yang benar. Lebih lanjut, Anzala Azimacs dalam Abd. Muis Said menggambarkan pola interaksi dari pikiran, pemahaman, perkataan dan aksi tersebut sebagai berikut:6 Gambar 1 Konsep Manajemen Diri Yang Terbaik Pemahaman Yang Tepat Perkataan Yang Tepat Pikiran Yang Tepat Aksi Yang Tepat Konsep manajemen diri yang tergambar dalam ola interaksi dari pikiran, pemahaman, perkataan dan aksi menunjukkan adanya sinergi yang baik dimana pikiran, pemahaman, perkataan dan aksi semuanya berada pada posisi yang tepat sehingga pola interaksi ini dikatakan sebagai yang terbaik. 5 Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 80 6 Abd. Muis Said, Self-Management Concept of Foreign Language Lecturers at Intensive Foreign Language Teaching Program at UIN Alauddin Makassar, (Laporan Penelitian pada LP2M UIN Alauddin Makassar Tahun 2015), h. 22-23 Gambar 2 Konsep Manajemen Diri Yang Buruk Pemahaman Yang Tepat PerkataanYang Tepat PikiranYang Tepat Aksi Yang Salah Konsep manajemen diri yang tergambar dalam ola interaksi dari pikiran, pemahaman, dan perkataan Hanya saja, rangkaian sinergi tersebut terputus pada tataran aksi yang menunjukkan posisi yang salah. Oleh karena itu, pola interaksi ini dikatakan sebagai yang buruk. Gambar 3 Konsep Manajemen Diri Yang Terburuk Pemahaman Yang Tepat Perkataan Yang Salah Pemahaman Yang Tepat Aksi Yang Salah Konsep manajemen diri yang tergambar dalam pola interaksi dari pikiran, dan pemahaman. Hanya saja, rangkaian sinergi tersebut terputus pada tataran perkataan dan aksi yang menunjukkan posisi yang salah. Oleh karena itu, pola interaksi ini dikatakan sebagai yang terburuk. Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender, semua pihak-pihak yang terlibat didalamnya baik pendidik ataupun peserta didik harus memiliki sinergi dari pola interaksi dari pikiran, pemahaman, perkataan dan aksi dalam menyikapi rrealitas gender yang ada dalam pembelajaran bahasa Inggris. Merujuk pada ruang lingkup konsep manajemen diri yang terdiri atas eksistensi seseorang sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan, masing-masing individu yang terlibat dalam proses pembelajaran bahasa Inggris akan melihat ketiga ruang lingkup dari konsep manajemen diri tersebut sebagai refleksi atas dirinya sebagai individu dan makhluk sosial dalam pembelajarann bahasa Inggris yang berlangsung. Dalam kaitannya dengan tugas-tugas peserta didik sebagai anak yang berada pada usia sekolah, ada beberapa tugas peserta didik yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam kaitannya dengan konsep manajemen dirinya dan peserta didiknya sebagaimana digambarkan oleh Syamsu Yusuf LN sebagai berikut: 1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan 2. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis 3. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya 4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya 5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, berhitung 6. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari 7. Belajar mengembangkan kata hati 8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi 9. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembagalembaga. 7 Dari berbagai tugas peserta didik sebagai anak yang berada pada usia sekolah tersebut, apabila dihubungkan dengan konsep manajemen diri sebagai obyek formalnya serta pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender sebagai obyek materialnya, maka ada beberapa tugas peserta didik yang sangat identik dengan obyek formal dan obyek material tersebut seperti belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis, belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya, belajar mengembangkan konsep sehari-hari, belajar mengembangkan kata hati, belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi, serta belajar mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga. Dalam tataran implementasi ruang lingkup konsep manajemen diri dalam pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender, ruang lingkup yang pertama yaitu eksistensi seseorang sebagai individu dapat diwujudkan dalam bentuk kemampuan untuk mengelola perbedaan, kemampuan untuk menghubungkan berbagai komponen 7 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2012), h. 69-71 yang berbeda-beda, berpikiran terbuka, dan semacamnya. 8 Adapun pada ruang lingkup yang kedua yaitu tujuan hidup individu dalam hidupnya, teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow bisa menjadi sebuah sudut pandang dalam melihat konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik dalam hidupnya sebagaimana digambarkan oleh Herbert L. Petri sebagai berikut: 1. Motif fisiologis yaitu dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, dan semacamnya 2. Motif pengamanan yaitu dorongan untuk melindungi diri dari berbagai gangguan 3. Motif persaudaraan dan kasih sayang yaitu dorongan untuk membina hubungan baik dengan semua orang dengan jenis kelamin yang sama ataupun yang berbeda 4. Motif harga diri yaitu dorongan untuk mendapatkan pengenalan, pengakuan, penghargaan dari orang lain 5. Motif aktualisasi diri yaitu dorongan untuk mengaktualkan berbagai potensi yang dimilikinya 9 Adapun pada ruang lingkup yang ketiga yaitu posisi seorang individu dalam kehidupan, konsep manajemen diri dalam pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender digambarkan oleh National Research Council sebagai berikut: 1. Menghormati dan memberikan apresisi pada yang orang lain. 2. Mampu untuk bekerja dan berkomunikasi yang baik Bdengan orang lain termasuk dapat menerima ide orang lain 3. Menunjukkan perilaku yang sesuai dengan konteks dengan konsistensi pada norma-norma sosial 4. Menggunakan berbagai kemampuan dan proses yang berorientasi pada penyelesaian konflik 10 Berbagai ruang lingkup dari konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik tersebut bisa menjadi sebuah kerangka teoretis dalam melihat pendekatan pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dalam perspektif konsep manajemen diri. 8 Ilona Boniwell, “The Concept http://www.positivepsychology.org. 2 April 2016 of Eudaimonic Well-Being”, dalam 9 Herbert L. Petri, Motivation: Theory and Research, (California: Wadsworth Publishing Co., 1980), h. 301-313 10 National Research Council, Preventing Mental, Emotional, and Behavioral Disorders Among Young People: Progress and Possibilities.(Washington, DC: The National Academies Press, 2009), h. 29 C. Pendekatan Pembelajaran Bahasa Inggris Berwawasan Gender dalam Perspektif Konsep Manajemen Diri Dalam melihat pendekatan pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dalam perspektif konsep manajemen diri, Nana Syaodih Sukmadinata membagi pendekatan belajar menjadi empat jenis pendekatan yang meliputi pendekatan individualistis,11 pendekatan kelompok,12 pendekatan campuran, 13 serta pendekatan edukatif. 14 Berbagai pendekatan tersebut menarik untuk dicermati dimana hirarki yang dimilikinya searah dengan konsep manajemen diri yang dimulai dari dimensi individu sampai pada dimensi sosialnya. Dalam implemementasinya, pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender merupakan sebuah proses yang sangat kental dengan interaksi antara pendidik dan peserta didik demikian pula interaksi antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya. Dalam proses interaksi tersebut ada proses pengakuan dan penerimaan yang berlangsung secara aktif dan massif antara pendidik dan peserta didik sebagaimana digambarkan oleh Prayitno bahwa pengakuan dan penerimaan antara pendidik dan peserta didik dapat digambarkan bahwa pengakuan dan penerimaaan pendidik atas segala hal yang melekat pada peserta didik harus menjadi dasar perlakuannya demi teraktualisasikannya hakikat manusia melalui pengembangan dimensi kemanusiaanya secara optimal. Kesadaran dan pemahaman pendidik yang bermuara pada penyikapan dan perlakuan terhadap peserta didik akan dirasakan oleh peserta didik yang pada gilirannya menumbuhkan hal yang sejalan pada diri peserta didik terhadap pendidik. 15 11 Pendekatan individualitas adalah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik memiliki berbagai latar belakan yang berbeda-beda seperti kecerdasan, bakat, minat, jenis kelamin, dan semacamnya. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h 152 12 Pendekatan kelompok adalah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa berbagai perbedaan yang ada pada peserta didik bukan untuk dipertentangkan tapi untuk diintegrasikan. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 157 13 Pendekatan campuran adalah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik di samping memiliki latar belakang perrbedaan sebagai seorang individu mereka juga memiliki persamaan sebagai makhluk yang berkelompok. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 159 14 Pendekatan edukatif merupakan pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa efektivitas sebuah pendekatan tergantung pada sejauh mana pendekatan tersebut mampu memberikan efek positif pada peserta didik. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 161 15 Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Jakarta: PT Grasindo, 2009), h. 51 Apa yang digambarkan oleh Prayitno tersebut menarik untuk dicermati mengingat bahwa pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dalam perspektif konsep manajemen diri harus mendudukkan masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya dalam memahami eksistensi dirinya, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam proses pembelajaran yang berlangsung karena sejauhmana apresiasi yang dia berikan pada dirinya dan orang lain di sekitarnya maka demikian pula apresiasi yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya terhadap dirinya. Ilustrasi tersebut menguatkan apa yang disampaikan oleh Nana Syaodih Sukmadinata proses pemnelajaran bukan hanya untuk mengetahui materi yang disampaikan tapi juga ada beberapa pilar belajar yang harus dipahami oleh pendidik dan peserta didik yaitu: 1. 2. 3. 4. Belajar untuk mengetahui (learning to know) Belajar untuk berkarya (learning to do) Belajar untuk hidup bersama (learning to live together) Belajar untuk berkembang utuh (learning to be) 16 Senada dengan apa yang disampaikan oleh Nana Syaodih Sukmadinat, Iskandarwassid dan Dadang Sunendar menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran, dikenal dua tujuan pembelajaran yaitu tujuan insruksional (instructional effect) serta tujuan iringan (nurturant effect). Berbeda dengan tujuan instruksional yang terdapat dalam Garis-Baris Besar Program Pengajaran (GBPP), tujuan iringan diperoleh peserta didik melalui penampilan pendidik, situasi yang diciptakan oleh pendidik dalam pengelolaan pembelajaran, serta kepribadian pendidik. 17 Dalam upaya tersebut, berbagai pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender yang meliputi pendekatan individualistis, pendekatan kelompok, pendekatan campuran, serta pendekatan edukatif menujukkan bahwa realitas gender yang ada dalam pembelajaran bahasa diakomodir secara proporsional mulai dari melihat individu yang dengan segala potensi gender yang dimilikinya baik maskulin ataupun feminin tanpa mengkhususkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam pendekatan individu ini, seorang pendidik harus mengarahkan konsep manajemen dirinya sebagai seorang individu yang tentunya memiliki potensi maskulin ataupun feminine untuk mengidentifikasi potensi tersebut pada peserta didik dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan eksploratif yang ditujukan pada semua peserta didik tanpa terkecuali seperti: Who likes football sport? Who likes flower? 16 17 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 201-203 Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), h. 23 Dari dua pertanyaan ekploratif tersebut yang pertama yaitu “who likes football sport?” merupakan pertanyaan untuk mengidentifikasi potensi maskulin sementara pertanyaan kedua yaitu “who likes flower?” adalah pertanyaan untuk mengidentifikasi potensi feminin. Setelah pendidik mengidentifikasi potensi maskulin dan feminin yang ada pada peserta didiknya, tinggal bagaimana mengarahkan mereka pada pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender secara terpisah sesuai dengan tingkat potensi maskulin dan feminin. Dalam kaitannya dengan pendekatan kelompok yang merupakan pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa berbagai perbedaan yang ada pada peserta didik bukan untuk dipertentangkan tapi untuk diintegrasikan, pendidik setelah mampu mengidentifikasi potensi maskulin dan feminin yang ada pada peserta didiknya, dia perlu membuat sebuah pola interaksi pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender seperti dengan game, role play yang memposisikan peserta didik pada peran yang sesuai dengan potensi maskulin dan feminine yang dimilikinya dan dilakukan secara terintegrasi satu sama lain. Dalam kaitannya dengan pendekatan campuran yang merupakan pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik di samping memiliki latar belakang perbedaan sebagai seorang individu mereka juga memiliki persamaan sebagai makhluk yang berkelompok, pendidik harus mampu melakukan identifikasi persamaan yang ada pada peserta didik sebagai seorang individu dalam sebuah kelompok dan pada saat yang sama juga harus mampu melihat perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka. Hasilnya kemudian diintegrasikan dengan konsep manajemen diri pendidik sebagai individu yang memahami potensi maskulin dan feminin dalam pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender. Pendekatan edukatif sebagai pendekatan yang terakhir yang digambarkan sebagai pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa efektivitas sebuah pendekatan tergantung pada sejauh mana pendekatan tersebut mampu memberikan efek positif pada peserta didik, menutut pendidik untuk dapat melakukan penilaian secara berkelanjutan dalam pembelajaran bahasa Inggris yang berwawasan gender. Dalam pendekatan edukatif, potensi maskulin dan feminin peserta didik dianggap bukan sebagai sesuatu yang statis tapi sebaliknya dianggap sebagai sesuatu yang dinamis sesuai dengan konteks pembelajaran yang berlangsung. Konsekuensinya, penyesuaian-penyesuain perlu terus dilakukan baik oleh pendidik ataupun peserta didik dengan konsep manajemen dirinya. Dalam konteks tersebut, Nana Syaodih Sukmadinata menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan salah satu bentuk interaksi yang didasari oleh adanya penerimaan atau saling mendekatkan diri terhadap hal-hal yang disenangi atau dirasakan menguntungkan. Dalam proses penyesuaian diri ini, yang disesuaikan bisa hal-hal yang ada pada diri individu (autoplastic) hal-hal yang ada pada lingkungan yang diubah sesuai dengan kebutuhan individu (alloplastic), ataupun penyesuaian diri pada diri individu dan lingkungannya sekaligus dan berlangsung secara serempak. 18 Apabila semua pendekatan tersebut telah diaplikasikan secara terstruktur dan proporsional, berbagai ruang lingkup konsep manajemen diri yang terdiri atas eksistensi seseorang sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan, masing-masing individu akan memunculkan konsep manajemen diri yang positif karena adanya apresiasi terhadap realitas gender yang melingkupi pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender tersebut. III. PENUTUP Pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender merupakan sebuah proses yang kompleks yang melibatkan konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik dengan ruang lingkupnya yang terdiri atas eksistensinya sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan. Dalam upaya meningkatkan dimensi positif dari konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender tersebut, berbagai pendekatan harus diaplikasikan secara terstruktur dan proporsional yang terdiri atas pendekatan individualitas yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik memiliki berbagai latar belakan yang berbeda-beda seperti kecerdasan, bakat, minat, jenis kelamin, dan semacamnya, pendekatan kelompok yang bertolak pada asumsi bahwa berbagai perbedaan yang ada pada peserta didik bukan untuk dipertentangkan tapi untuk diintegrasikan, pendekatan campuran yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik di samping memiliki latar belakang perrbedaan sebagai seorang individu mereka juga memiliki persamaan sebagai makhluk yang berkelompok, serta pendekatan edukatif yang bertolak pada asumsi bahwa efektivitas sebuah pendekatan tergantung pada sejauh mana pendekatan tersebut mampu memberikan efek positif pada peserta didik. DAFTAR RUJUKAN Boniwell, Ilona, “The Concept of Eudaimonic http://www.positivepsychology.org. 2 April 2016 Darmawansyah, Agus, Meeting, 2009. Well-Being”, dalam Grammar and Vocabulary, Kediri: Wahana English Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013. 18 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 57-58 LN, Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2012. Mudyaharjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006. Nata, Abuddin, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. National Research Council, Preventing Mental, Emotional, and Behavioral Disorders Among Young People: Progress and Possibilities. Washington, DC: The National Academies Press, 2009. Omisakin, Folorunso Dipo and Busisiwe Putity Ncama, “Self, Self-Care, and SelfManagement Concept: Implication for Self Management Education”, Educational Research Vol.II December 2011, dalam http://www.interesjournals.org. 3 April 2016 Petri, Herbert L., Motivation: Theory and Research, California: Wadsworth Publishing Co., 1980. Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Jakarta: PT Grasindo, 2009. Said, Abd. Muis, Self-Management Concept of Foreign Language Lecturers at Intensive Foreign Language Teaching Program at UIN Alauddin Makassar, Laporan Penelitian pada LP2M UIN Alauddin Makassar Tahun 2015. Santoso, Bambang, “Implementasi Kesetaraan Gender pada Pembelajaran Bahasa Indonesia”, dalam https://bambangsantoso.wordpress.com. 26 Maret 2016 Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Belajar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.