PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

advertisement
PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS BERWAWASAN
GENDER: PERSPEKTIF KONSEP MANAJEMEN DIRI
Oleh: Abd. Muis Said.
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar
Abstract:
In the proses of gender-viewed English learning, the scopes of self–
management concept of educator and learners consisting of their being, their
own life purpose, and their position in life must be accomadated in all
learning phases. To support the success of the effort maximally, it must be
supported by approaches that can be integrated by self–management concept
in gender-viewed English learning namely individual approach, community
approach, mixed approach, and educational approach.
Dalam proses pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender, ruang
lingkup konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik yang terdiri atas
eksistensinya sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam
kehidupan harus terakomodir dalam setiap tahapan pembelajaran. Agar upaya
tersebut dapat berhasil maksimal, maka upaya tersebut harus didukung oleh
pendekatan yang dapat terintegrasi dengan konsep manajemen diri dalam
pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender yaitu pendekatan
individualistis, pendekatan kelompok, pendekatan campuran, serta
pendekatan edukatif.
Kata Kunci: Pembelajaran Bahasa Inggris Berwawasan Gender, Konsep
Manajemen Diri
I.
PENDAHULUAN
Pembelajaran bahasa Inggris merupakan sebuah proses yang kompleks
dengan melibatkan berbagai komponen pembelajaran termasuk pendidik dan peserta
didik. Dalam proses tersebut, pendidik dan peserta didik dalam interaksi keduanya
dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris masing-masing memiliki konsep
manajemen diri dalam memahami diri mereka sendiri serta dalam memahami orang
lain di sekitarnya. Menyikapi apa yang dimaksud dengan konsep manajemen diri
tersebut, Omisakin and Ncama dalam salah satu jurnal internasionalnya yang
berjudul “Self, Self-Care, and Self-Management Concept: Implication for Self
Management Education” menyatakan bahwa konsep manajemen diri memberikan
gambaran tentang eksistensi seseorang sebagai individu, tujuan hidupnya, serta
posisinya dalam kehidupan. Ketiga kerangka dari konsep manajemen diri tersebut
membantu seseorang dalam memposisikan diri dalam interaksi social,
mempromosikan penerimaan dirinya pada suatu situasi sosial, membuka diri bagi
orang lain, serta membantu pemahaman diri seseorang yang berimplikasi pada
manajemen diri yang dimiliknya.1
Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender,
bisa dipahami bahwa apabila pembelajaran bahasa Inggris yang berlangsung mampu
mengakomodir sisi gender yang adil dan egaliter maka akan muncul konsep
manajemen diri yang positif. Sebaliknya, apabila pembelajaran bahasa Inggris yang
berlangsung kurang mengakomodir sisi gender yang adil dan egaliter maka akan
muncul konsep manajemen diri yang negatif. Dampak negatif dari pembelajaran
bahasa Inggris yang tidak berwawasan gender bukan hanya berimplikasi pada
konsep manajemen diri pada peserta didik perempuan yang secara umum biasa
menjadi korban ketidakadilan gender dalam berbagai konteks sosial tapi juga bagi
konsep manajemen diri pada peserta didik laki-laki. Bagi peserta didik perempuan,
mereka cenderung akan bersikap apatis sementara peserta didik laki-laki cenderung
akan bersikap superior karena hanya justifikasi atas superioritas mereka atas nama
gender dari proses pembelajaran bahasa Inggris yang berlangsung.
Sebagai suatu refleksi seorang individu atas eksistensi dirinya sebagai
individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan, konsep manajemen diri
menarik untuk dijadikan sebagai suatu obyek formal dalam melihat pembelajaran
bahasa Inggris berwawasan gender sebagai obyek materialnya.
II. PEMBAHASAN
A. Pembelajaran Bahasa Inggris Berwawasan Gender
Pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender merupakan sebuah pola
pembelajaran yang tidak bisa dipisahkan dari teori-teori belajar yang ada yang terdiri
atas teori belajar behavioristik, humanistik, serta kognitif. Dalam kaitannya dengan
bagaimanana indivudualisasi peserta didik dalam pembelajaran bahasa Inggris
berwawasan gender, Redja Mudyaharjo merinci sebagai berikut:
1. Teori belajar behavioristik: Perlakukan individual didasarkan pada tugas,
ganjaran, dan disiplin
2. Teori belajar humanistik: Perlakuan individual didasarkan pada kebutuhan
dan individualitas /kepribadian
3. Teori belajar kognitif: Perlakuan individual didasarkan pada tingkat
perkembangan peserta didik 2
1
Folorunso Dipo Omisakin and Busisiwe Putity Ncama, “Self, Self-Care, and SelfManagement Concept: Implication for Self Management Education”, Educational Research Vol.II
December 2011, dalam http://www.interesjournals.org. 3 April 2016
Dalam implementasinya, ketiga teori belajar tersebut memiliki implikasi
yahg luar biasa terhadap pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender. Dalam
teori belajar behavioristik yang mendasarkan perlakuan individual pada tugas,
ganjaran, dan disiplin, pola pemberiannya harus dilakukan dengan betul-betul
mempertimbangkan sisi keadilan gender seperti memberikan tugas yang betul-betul
proporsional terhadap peserta didik laki-laki dan perempuan. Meminta peserta didik
laki-laki dalam kegiatan pembelajaran yang sifatnya maskulin seperti berlari,
memanjat, dan semacamnya harus proporsional termasuk dalam pemberian ganjaran
dan ukuran kedisiplinan bagi keduanya. Demikian pula sebaliknya, pada tugas
pembelajaran yang membutuhkan keterampilan yang sifatnya feminin seperti
merangkai bunga, mewarnai gambar, maka ganjaran dan ukuran kedisiplinan juga
harus proporsional. Tapi pada kegiatan pembelajaran yang bersifat gender umum,
maka keduanya bisa disandingkan pada titik permulaan dan akhir yang sama seperti
dalam menulis, membaca, dan semacamnya.
Dalam teori belajar humanistik yang mendasarkan perlakuan individu
terhadap kebutuhan dan individualitas /kepribadian, pembelajaran bahasa Inggris
berwawasan gender dapat diwujudkan dengan memberikan materi-materi bahasa
Inggris sesuai dengan kebutuhan dan individualitas peserta didik. Dalam konteks ini,
penulis melihat bahwa pendidik perlu mengeksplorasi lebih jauh mminat peserta
didik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan komponen pembelajaran bahasa
Inggris seperti tujuan pembelajaran, aktivitas pembelajaran, peran pendidik dan
peserta didik dalam pembelajaran, materi ajar dan media dalam pembelajaran, dan
semacamnya.
Dalam teori belajar kognitif yang mendasarkan perlakuan individu terhadap
tingkat perkembagan peserta didik, pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender
perlu melihat perkembangan anak dari sisi maskulin dan feminisnya. Penulis melihat
bahwa jenis kelamin peserta didik yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, dalam
fakta sosio-psikisnya, ternyata belum cukup menjadi benang merah penentu sisi
maskulin dan feminin di antara keduanya karena faktanya ada peserta didik yang
berjenis kelamin laki-laki secara fisik tapi memiliki sisi feminin secara kejiwaan
sebaliknya ada peserta didik yang berjenis kelamin perempuan secara fisik tapi
memiliki sisi maskulin secara kejiwaan.
Dari sisi materinya, pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dapat
membagi kata benda (noun) menjadi empat bagian yaitu:
1. Masculine gender (jenis kelamin laki-laki) seperti father, brother, uncle,
son, postman, dan semacamnya.
2
Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, (Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2006), h. 14
Feminine gender (jenis kelamin perempuan) seperti mother, sister, aunt,
daughter, postwomen, dan semacamnya.
Common gender (jenis kelamin umum) seperti teacher, soldier, student,
lion, dan semacamnya.
Neuter gender (tidak memiliki jenis kelamin) seperti library, book, water,
sky, dan semacamnya. 3
2.
3.
4.
Keempat kategori gender dari materi pembelajaran bahasa Inggris
berwawasan gender tersebut masih bisa dikembangkan lebih lanjut bukan hanya dari
sisi materinya seperti melihat materi pembelajaran bahasa Inggris berwawasan
gender dari bagian-bagian bahasa yang biasa dikenal dengan parts of speech seperti
verb, adjective, preposition, dam semacamnya yang tentunya juga tidak bisa
dipisahkan dari karakter gender yang melingkupinya, tapi juga dari sisi komponen
pembelajaran bahasa Inggris yang lainnya seperti tujuan pembelajaran, aktivitas
pembelajaran, peran pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran, materi ajar dan
media dalam pembelajaran, dan semacamnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa terjadinya bias gender sehinggan
mengakibatkan kesenjangan gender antara peserta didik laki-laki dan perempuan
dalam pembelajaran, termasuk pembelajaran bahasa Inggris tentunya, biasanya
terjadi begitu saja dalam sebuah sistem pembelajaran yang mekanistis tanpa disadari
khususnya oleh pendidik sebagai pion terdepan dalam eksekusi pembelajaran bahasa
Inggris di kelas. Menyikapi hal tersebut, Ida Siti Herawati dalam Bambang Santoso
menggambarkan beberapa tindakan pendidik yang tanpa disadari telah menciptakan
kesenjangan gender yaitu:
1. Pada waktu memberi motivasi belajar di awal pelajaran, pendidik kurang
memperhatikan kebiasaan peserta didik perempuan di mana peserta didik
perempuan biasanya kurang dapat menyampaikan pendapat atau
mendominasi pembicaraan, sehingga aktivitas di awal pelajaran di dominasi
oleh peserta didik laki-laki.
2. Dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan membuka
pelajaran beberapa kali ditujukan pada peserta didik tertentu saja yang
mendominasi kelas yaitu peserta didik laki-laki.
3. Sapaan/teguran pada peserta didik perempuan dan laki-laki mengarah pada
pembedaan stereotipe sering dilakukan pendidik.
4. Sikap malu yang ditunjukkan oleh peserta didik perempuan sering diabaikan
oleh pendidik, sehingga peserta didik perempuan kurang berkembang rasa
percaya dirinya.
3
Agus Darmawansyah,
2009), h. 3
Grammar and Vocabulary, (Kediri: Wahana English Meeting,
5. Pertanyaan tentang dunia teknik diajukan kepada peserta didik laki-laki,
sedang peserta didik perempuan lebih banyak diberi pertanyaan pada seputar
aktivitas domestik.
6. Jenis penguatan dengan kata ‘manis’ lebih mendominasi “reinforcement”
kepada peserta didik perempuan, sedang kata ‘bagus’ (yang berarti ganteng)
diberikan kepada peserta didik laki-laki.
7. Pemberian teguran seperti: peserta didik perempuan kok pentalitan seperti
peserta didik laki-laki, peserta didik laki-laki harus dapat menjadi pemimpin
sering diucapkan oleh pendidik.
8. Peraga berupa gambar suasana rumah selalu dikaitkan dengan perempuan,
sedang suasana pabrik, kantor selalu dikaitkan dengan laki-laki.
9. Dalam pandangan pendidik masih terlihat adanya pengaruh pandangan
dikotomi bahwa perempuan tidak berbakat untuk matematika, teknik. Sedang
laki-laki cocok untuk menjadi perawat, sekretaris dan penari.
10. Dalam pembagian peran yang diberikan pendidik dalam sandiwara kelas,
peserta didik laki-laki mendapatkan peran pemimpin, kepala kantor,
pelindung, tentara, polisi, sedang peserta didik perempuan mendapat peran
ibu rumah tangga, tukang masak, perawat, pendidik, ‘pembantu’
11. Pendidik cenderung mengarahkan gambar bunga kepada peserta didik
perempuan, dan gambar robot, pistol, perang pada peserta didik laki-laki.4
Menurut penulis, apa yang digambarkan oleh Ida Siti Herawati dalam
Bambang Santoso tersebut ada benarnya tapi suatu hal yang perlu digarisbawahi
bahwa gender bukan berkaitan dengan jenis kelamin tapi lebih mengarah pada fungsi
dan peran-peran sosial yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan sisi maskulin dan
femininnya. Oleh karena itu, peran-peran sosial yang ada harus terbagi secara
proporsional di antara keduanya dengan selalu fokus dalam melihat sisi maskulin
dan feminin tersebut.
B. Konsep Manajemen Diri Pendidik dan Peserta
Pembelajaran Bahasa Inggris Berwawasan Gender
Didik
dalam
Abuddin Nata dalam menjelaskan fungsi pembelajaran menyebutkan bahwa
pembelajaran merupakan upaya mempengaruhi jiwa peserta didik agar mau
melakukan berbagai kegiatan belajar seperti membaca, memahami, menganalisa,
membandingkan, menyimpulkan, dan semacamnya dengan motivasi yang tinggi.
Dalam melakukan berbagai aktivitas belajar tersebut, peserta didik mempergunakan
potensi fitrah yang dimilikinya seperti kecenderungan yang serba ingin tahu, panca
4
Bambang Santoso, “Implementasi Kesetaraan Gender pada Pembelajaran Bahasa
Indonesia”, dalam https://bambangsantoso.wordpress.com. 26 Maret 2016
indra, bakat, minat, kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif. 5 Apa yang
disampaikan oleh Abuddin Nata tersebut menujukkan bahwa pembelajaran memiliki
misi untuk meberikan efek postif pada peserta didik dalam prosesnya. Oleh karena
itu, pembelajaran bukan hanya berkutat pada dimensi kognitif intelektualnya tapi
harus mengarahkan juga pada sisi psikomotorik keterampilan serta afektif prilakunya
yang tentunya dalam proses tersebut sangat kental dengan pola interaksi konsep
manajemen diri pendidik dan peserta didik dengan berbagai dimensinya yang
digambarkan oleh Abd. Muis Said dengan mengutip Anzala Azimacs yang
menyatakan bahwa pembelajaran bahasa Inggris melibatkan konsep manajemen
berupa pihak-pihak yang terlibat didalamnya mampu mengatur pikiran,
pemahaman, ucapan dan aksi pada sebuah sistem yang benar. Lebih lanjut, Anzala
Azimacs dalam Abd. Muis Said menggambarkan pola interaksi dari pikiran,
pemahaman, perkataan dan aksi tersebut sebagai berikut:6
Gambar 1
Konsep Manajemen Diri Yang Terbaik
Pemahaman
Yang Tepat
Perkataan Yang
Tepat
Pikiran Yang
Tepat
Aksi Yang Tepat
Konsep manajemen diri yang tergambar dalam ola interaksi dari pikiran,
pemahaman, perkataan dan aksi menunjukkan adanya sinergi yang baik dimana
pikiran, pemahaman, perkataan dan aksi semuanya berada pada posisi yang tepat
sehingga pola interaksi ini dikatakan sebagai yang terbaik.
5
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009), h. 80
6
Abd. Muis Said, Self-Management Concept of Foreign Language Lecturers at Intensive
Foreign Language Teaching Program at UIN Alauddin Makassar, (Laporan Penelitian pada LP2M
UIN Alauddin Makassar Tahun 2015), h. 22-23
Gambar 2
Konsep Manajemen Diri Yang Buruk
Pemahaman
Yang Tepat
PerkataanYang
Tepat
PikiranYang
Tepat
Aksi Yang Salah
Konsep manajemen diri yang tergambar dalam ola interaksi dari pikiran,
pemahaman, dan perkataan Hanya saja, rangkaian sinergi tersebut terputus pada
tataran aksi yang menunjukkan posisi yang salah. Oleh karena itu, pola interaksi ini
dikatakan sebagai yang buruk.
Gambar 3
Konsep Manajemen Diri Yang Terburuk
Pemahaman
Yang Tepat
Perkataan Yang
Salah
Pemahaman
Yang Tepat
Aksi Yang Salah
Konsep manajemen diri yang tergambar dalam pola interaksi dari pikiran,
dan pemahaman. Hanya saja, rangkaian sinergi tersebut terputus pada tataran
perkataan dan aksi yang menunjukkan posisi yang salah. Oleh karena itu, pola
interaksi ini dikatakan sebagai yang terburuk.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender,
semua pihak-pihak yang terlibat didalamnya baik pendidik ataupun peserta didik
harus memiliki sinergi dari pola interaksi dari pikiran, pemahaman, perkataan dan
aksi dalam menyikapi rrealitas gender yang ada dalam pembelajaran bahasa Inggris.
Merujuk pada ruang lingkup konsep manajemen diri yang terdiri atas eksistensi
seseorang sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan,
masing-masing individu yang terlibat dalam proses pembelajaran bahasa Inggris
akan melihat ketiga ruang lingkup dari konsep manajemen diri tersebut sebagai
refleksi atas dirinya sebagai individu dan makhluk sosial dalam pembelajarann
bahasa Inggris yang berlangsung.
Dalam kaitannya dengan tugas-tugas peserta didik sebagai anak yang berada pada
usia sekolah, ada beberapa tugas peserta didik yang harus diperhatikan oleh
pendidik dalam kaitannya dengan konsep manajemen dirinya dan peserta didiknya
sebagaimana digambarkan oleh Syamsu Yusuf LN sebagai berikut:
1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan
2. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai
makhluk biologis
3. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya
4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya
5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, berhitung
6. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari
7. Belajar mengembangkan kata hati
8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi
9. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembagalembaga. 7
Dari berbagai tugas peserta didik sebagai anak yang berada pada usia sekolah
tersebut, apabila dihubungkan dengan konsep manajemen diri sebagai obyek
formalnya serta pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender sebagai obyek
materialnya, maka ada beberapa tugas peserta didik yang sangat identik dengan
obyek formal dan obyek material tersebut seperti belajar membentuk sikap yang
sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis, belajar memainkan peranan
sesuai dengan jenis kelaminnya, belajar mengembangkan konsep sehari-hari, belajar
mengembangkan kata hati, belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi,
serta belajar mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan
lembaga-lembaga.
Dalam tataran implementasi ruang lingkup konsep manajemen diri dalam
pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender, ruang lingkup yang pertama yaitu
eksistensi seseorang sebagai individu dapat diwujudkan dalam bentuk kemampuan
untuk mengelola perbedaan, kemampuan untuk menghubungkan berbagai komponen
7
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2012), h. 69-71
yang berbeda-beda, berpikiran terbuka, dan semacamnya. 8 Adapun pada ruang
lingkup yang kedua yaitu tujuan hidup individu dalam hidupnya, teori hirarki
kebutuhan Abraham Maslow bisa menjadi sebuah sudut pandang dalam melihat
konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik dalam hidupnya sebagaimana
digambarkan oleh Herbert L. Petri sebagai berikut:
1. Motif fisiologis yaitu dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
jasmaniah seperti makan, minum, dan semacamnya
2. Motif pengamanan yaitu dorongan untuk melindungi diri dari berbagai
gangguan
3. Motif persaudaraan dan kasih sayang yaitu dorongan untuk membina
hubungan baik dengan semua orang dengan jenis kelamin yang sama ataupun
yang berbeda
4. Motif harga diri yaitu dorongan untuk mendapatkan pengenalan, pengakuan,
penghargaan dari orang lain
5. Motif aktualisasi diri yaitu dorongan untuk mengaktualkan berbagai potensi
yang dimilikinya 9
Adapun pada ruang lingkup yang ketiga yaitu posisi seorang individu dalam
kehidupan, konsep manajemen diri dalam pembelajaran bahasa Inggris berwawasan
gender digambarkan oleh National Research Council sebagai berikut:
1. Menghormati dan memberikan apresisi pada yang orang lain.
2. Mampu untuk bekerja dan berkomunikasi yang baik Bdengan orang lain
termasuk dapat menerima ide orang lain
3. Menunjukkan perilaku yang sesuai dengan konteks dengan konsistensi pada
norma-norma sosial
4. Menggunakan berbagai kemampuan dan proses yang berorientasi pada
penyelesaian konflik 10
Berbagai ruang lingkup dari konsep manajemen diri pendidik dan peserta
didik tersebut bisa menjadi sebuah kerangka teoretis dalam melihat pendekatan
pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dalam perspektif konsep
manajemen diri.
8
Ilona
Boniwell,
“The Concept
http://www.positivepsychology.org. 2 April 2016
of
Eudaimonic
Well-Being”,
dalam
9
Herbert L. Petri, Motivation: Theory and Research, (California: Wadsworth Publishing Co.,
1980), h. 301-313
10
National Research Council, Preventing Mental, Emotional, and Behavioral Disorders
Among Young People: Progress and Possibilities.(Washington, DC: The National Academies Press,
2009), h. 29
C. Pendekatan Pembelajaran Bahasa Inggris Berwawasan Gender dalam
Perspektif Konsep Manajemen Diri
Dalam melihat pendekatan pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender
dalam perspektif konsep manajemen diri, Nana Syaodih Sukmadinata membagi
pendekatan belajar menjadi empat jenis pendekatan yang meliputi pendekatan
individualistis,11 pendekatan kelompok,12 pendekatan campuran, 13 serta pendekatan
edukatif. 14 Berbagai pendekatan tersebut menarik untuk dicermati dimana hirarki
yang dimilikinya searah dengan konsep manajemen diri yang dimulai dari dimensi
individu sampai pada dimensi sosialnya.
Dalam implemementasinya, pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender
merupakan sebuah proses yang sangat kental dengan interaksi antara pendidik dan
peserta didik demikian pula interaksi antara peserta didik yang satu dengan peserta
didik yang lainnya. Dalam proses interaksi tersebut ada proses pengakuan dan
penerimaan yang berlangsung secara aktif dan massif antara pendidik dan peserta
didik sebagaimana digambarkan oleh Prayitno bahwa pengakuan dan penerimaan
antara pendidik dan peserta didik dapat digambarkan bahwa pengakuan dan
penerimaaan pendidik atas segala hal yang melekat pada peserta didik harus menjadi
dasar perlakuannya demi teraktualisasikannya hakikat manusia melalui
pengembangan dimensi kemanusiaanya secara optimal. Kesadaran dan pemahaman
pendidik yang bermuara pada penyikapan dan perlakuan terhadap peserta didik akan
dirasakan oleh peserta didik yang pada gilirannya menumbuhkan hal yang sejalan
pada diri peserta didik terhadap pendidik. 15
11
Pendekatan individualitas adalah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta
didik memiliki berbagai latar belakan yang berbeda-beda seperti kecerdasan, bakat, minat, jenis
kelamin, dan semacamnya. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h 152
12
Pendekatan kelompok adalah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa berbagai
perbedaan yang ada pada peserta didik bukan untuk dipertentangkan tapi untuk diintegrasikan. Nana
Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 157
13
Pendekatan campuran adalah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik
di samping memiliki latar belakang perrbedaan sebagai seorang individu mereka juga memiliki
persamaan sebagai makhluk yang berkelompok. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi
Proses Belajar, h. 159
14
Pendekatan edukatif merupakan pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa efektivitas
sebuah pendekatan tergantung pada sejauh mana pendekatan tersebut mampu memberikan efek positif
pada peserta didik. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 161
15
Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Jakarta: PT Grasindo, 2009), h. 51
Apa yang digambarkan oleh Prayitno tersebut menarik untuk dicermati
mengingat bahwa pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender dalam perspektif
konsep manajemen diri harus mendudukkan masing-masing pihak yang terlibat di
dalamnya dalam memahami eksistensi dirinya, tujuan hidupnya, serta posisinya
dalam proses pembelajaran yang berlangsung karena sejauhmana apresiasi yang dia
berikan pada dirinya dan orang lain di sekitarnya maka demikian pula apresiasi yang
diberikan oleh orang-orang di sekitarnya terhadap dirinya. Ilustrasi tersebut
menguatkan apa yang disampaikan oleh Nana Syaodih Sukmadinata proses pemnelajaran
bukan hanya untuk mengetahui materi yang disampaikan tapi juga ada beberapa pilar belajar
yang harus dipahami oleh pendidik dan peserta didik yaitu:
1.
2.
3.
4.
Belajar untuk mengetahui (learning to know)
Belajar untuk berkarya (learning to do)
Belajar untuk hidup bersama (learning to live together)
Belajar untuk berkembang utuh (learning to be) 16
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Nana Syaodih Sukmadinat,
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar menyatakan bahwa dalam proses
pembelajaran, dikenal dua tujuan pembelajaran yaitu tujuan insruksional
(instructional effect) serta tujuan iringan (nurturant effect). Berbeda dengan tujuan
instruksional yang terdapat dalam Garis-Baris Besar Program Pengajaran (GBPP),
tujuan iringan diperoleh peserta didik melalui penampilan pendidik, situasi yang
diciptakan oleh pendidik dalam pengelolaan pembelajaran, serta kepribadian
pendidik. 17
Dalam upaya tersebut, berbagai pendekatan yang dipakai dalam
pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender yang meliputi pendekatan
individualistis, pendekatan kelompok, pendekatan campuran, serta pendekatan
edukatif menujukkan bahwa realitas gender yang ada dalam pembelajaran bahasa
diakomodir secara proporsional mulai dari melihat individu yang dengan segala
potensi gender yang dimilikinya baik maskulin ataupun feminin tanpa
mengkhususkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam pendekatan individu ini, seorang
pendidik harus mengarahkan konsep manajemen dirinya sebagai seorang individu
yang tentunya memiliki potensi maskulin ataupun feminine untuk mengidentifikasi
potensi tersebut pada peserta didik dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
eksploratif yang ditujukan pada semua peserta didik tanpa terkecuali seperti:
 Who likes football sport?
 Who likes flower?
16
17
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 201-203
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2013), h. 23
Dari dua pertanyaan ekploratif tersebut yang pertama yaitu “who likes
football sport?” merupakan pertanyaan untuk mengidentifikasi potensi maskulin
sementara pertanyaan kedua yaitu “who likes flower?” adalah pertanyaan untuk
mengidentifikasi potensi feminin. Setelah pendidik mengidentifikasi potensi
maskulin dan feminin yang ada pada peserta didiknya, tinggal bagaimana
mengarahkan mereka pada pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender secara
terpisah sesuai dengan tingkat potensi maskulin dan feminin.
Dalam kaitannya dengan pendekatan kelompok yang merupakan pendekatan
yang bertolak pada asumsi bahwa berbagai perbedaan yang ada pada peserta didik bukan
untuk dipertentangkan tapi untuk diintegrasikan, pendidik setelah mampu mengidentifikasi
potensi maskulin dan feminin yang ada pada peserta didiknya, dia perlu membuat
sebuah pola interaksi pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender seperti
dengan game, role play yang memposisikan peserta didik pada peran yang sesuai
dengan potensi maskulin dan feminine yang dimilikinya dan dilakukan secara
terintegrasi satu sama lain.
Dalam kaitannya dengan pendekatan campuran yang merupakan pendekatan
yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik di samping memiliki latar belakang
perbedaan sebagai seorang individu mereka juga memiliki persamaan sebagai
makhluk yang berkelompok, pendidik harus mampu melakukan identifikasi
persamaan yang ada pada peserta didik sebagai seorang individu dalam sebuah
kelompok dan pada saat yang sama juga harus mampu melihat perbedaan-perbedaan
yang ada di antara mereka. Hasilnya kemudian diintegrasikan dengan konsep
manajemen diri pendidik sebagai individu yang memahami potensi maskulin dan
feminin dalam pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender.
Pendekatan edukatif sebagai pendekatan yang terakhir yang digambarkan
sebagai pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa efektivitas sebuah pendekatan
tergantung pada sejauh mana pendekatan tersebut mampu memberikan efek positif
pada peserta didik, menutut pendidik untuk dapat melakukan penilaian secara
berkelanjutan dalam pembelajaran bahasa Inggris yang berwawasan gender. Dalam
pendekatan edukatif, potensi maskulin dan feminin peserta didik dianggap bukan
sebagai sesuatu yang statis tapi sebaliknya dianggap sebagai sesuatu yang dinamis
sesuai dengan konteks pembelajaran yang berlangsung. Konsekuensinya,
penyesuaian-penyesuain perlu terus dilakukan baik oleh pendidik ataupun peserta
didik dengan konsep manajemen dirinya. Dalam konteks tersebut, Nana Syaodih
Sukmadinata menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan salah satu bentuk
interaksi yang didasari oleh adanya penerimaan atau saling mendekatkan diri
terhadap hal-hal yang disenangi atau dirasakan menguntungkan. Dalam proses
penyesuaian diri ini, yang disesuaikan bisa hal-hal yang ada pada diri individu
(autoplastic) hal-hal yang ada pada lingkungan yang diubah sesuai dengan
kebutuhan individu (alloplastic), ataupun penyesuaian diri pada diri individu dan
lingkungannya sekaligus dan berlangsung secara serempak. 18
Apabila semua pendekatan tersebut telah diaplikasikan secara terstruktur dan
proporsional, berbagai ruang lingkup konsep manajemen diri yang terdiri atas
eksistensi seseorang sebagai individu, tujuan hidupnya, serta posisinya dalam
kehidupan, masing-masing individu akan memunculkan konsep manajemen diri
yang positif karena adanya apresiasi terhadap realitas gender yang melingkupi
pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender tersebut.
III.
PENUTUP
Pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender merupakan sebuah proses
yang kompleks yang melibatkan konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik
dengan ruang lingkupnya yang terdiri atas eksistensinya sebagai individu, tujuan
hidupnya, serta posisinya dalam kehidupan. Dalam upaya meningkatkan dimensi
positif dari konsep manajemen diri pendidik dan peserta didik dalam proses
pembelajaran bahasa Inggris berwawasan gender tersebut, berbagai pendekatan
harus diaplikasikan secara terstruktur dan proporsional yang terdiri atas pendekatan
individualitas yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik memiliki berbagai latar
belakan yang berbeda-beda seperti kecerdasan, bakat, minat, jenis kelamin, dan
semacamnya, pendekatan kelompok yang bertolak pada asumsi bahwa berbagai
perbedaan yang ada pada peserta didik bukan untuk dipertentangkan tapi untuk
diintegrasikan, pendekatan campuran yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik
di samping memiliki latar belakang perrbedaan sebagai seorang individu mereka
juga memiliki persamaan sebagai makhluk yang berkelompok, serta pendekatan
edukatif yang bertolak pada asumsi bahwa efektivitas sebuah pendekatan tergantung
pada sejauh mana pendekatan tersebut mampu memberikan efek positif pada peserta
didik.
DAFTAR RUJUKAN
Boniwell, Ilona, “The Concept of Eudaimonic
http://www.positivepsychology.org. 2 April 2016
Darmawansyah, Agus,
Meeting, 2009.
Well-Being”,
dalam
Grammar and Vocabulary, Kediri: Wahana English
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2013.
18
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Belajar, h. 57-58
LN, Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 2012.
Mudyaharjo, Redja, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 2006.
Nata, Abuddin, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009.
National Research Council, Preventing Mental, Emotional, and Behavioral
Disorders Among Young People: Progress and Possibilities. Washington,
DC: The National Academies Press, 2009.
Omisakin, Folorunso Dipo and Busisiwe Putity Ncama, “Self, Self-Care, and SelfManagement Concept: Implication for Self Management Education”,
Educational
Research
Vol.II
December
2011,
dalam
http://www.interesjournals.org. 3 April 2016
Petri, Herbert L., Motivation: Theory and Research, California: Wadsworth
Publishing Co., 1980.
Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Jakarta: PT Grasindo, 2009.
Said, Abd. Muis, Self-Management Concept of Foreign Language Lecturers at
Intensive Foreign Language Teaching Program at UIN Alauddin Makassar,
Laporan Penelitian pada LP2M UIN Alauddin Makassar Tahun 2015.
Santoso, Bambang, “Implementasi Kesetaraan Gender pada Pembelajaran Bahasa
Indonesia”, dalam https://bambangsantoso.wordpress.com. 26 Maret 2016
Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Belajar, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2007.
Download