BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses globalisasi tidak dapat dilepaskan dari keterbukaan perekonomian
suatu negara jika dilihat dari bebasnya perdagangan barang serta aliran modal
internasional di dalamnya, namun belum banyak studi mengenai interaksi
perdagangan barang dan aliran modal dalam proses tersebut. Studi-studi
sebelumnya seringkali menempatkan keduanya dalam dua bidang terpisah.
Interaksi perdagangan barang dan aliran modal internasional pada prinsipnya
dapat secara bersama-sama menentukan alokasi modal secara global sekaligus
mengubah pola perdagangan antar negara.
Satu alasan terjadinya pengabaian terhadap perpindahan faktor-faktor
produksi internasional dalam model-model perdagangan karena dalam analisisnya
masih menggunakan teori perdagangan tradisional. Teori klasik bahkan melihat
faktor-faktor produksi internasional yang bersifat tidak dapat bergerak sebagai
alasan dasar dari adanya perdagangan internasional (Springer, 2000). Perbedaan
dalam sumber daya faktor mendorong adanya perdagangan barang. HeckscherOhlin (H-O model)
memprediksi terbukanya perdagangan internasional
meningkatkan permintaan atas produk yang bersifat padat karya (labor intensive)
dan menurunkan permintaan produk yang cenderung bersifat lebih padat modal
(capital intensive) di negara yang memiliki sumber daya tenaga kerja melimpah.
Peningkatkan permintaan atas kapital di sisi lain menjadikan nilai imbal hasil riil
2
atas kapital semakin tinggi di negara-negara yang secara komparatif memiliki
keunggulan memproduksi barang yang bersifat padat modal. Terbukanya
perdagangan internasional di antara kedua negara dengan karakteristik sumber
daya yang berbeda memberikan manfaat yang dinikmati oleh keduanya. Manfaat
tersebut berupa peningkatan utilitas dari konsumsi dan efisiensi dalam
memproduksi dua jenis barang yang berbeda dalam intensitas penggunaan faktor
produksi.
Masuknya aliran modal dalam kerangka model Heckscher-Ohlin pertama
kali dinyatakan oleh Mundell (1957). Model ini memprediksi perdagangan dalam
komoditas bersifat substitusi sempurna dengan pergerakan langsung faktor-faktor
produksi jika sumber daya faktor yang dimiliki antar negara tidak terlalu berbeda.
Sifat dari substitusi sempurna itu diartikan jika keseimbangan harga komoditas
dapat diperoleh melalui mobilitas faktor internasional tanpa adanya perdagangan
barang atau sebaliknya. Keseimbangan harga faktor dapat dihasilkan dari
perdagangan barang tanpa mobilitas faktor jika berbagai halangan dalam
perdagangan ditiadakan. Hal tersebut dapat diartikan dengan sederhana apabila
tidak ada halangan dalam perdagangan, dengan produk marjinal yang sama di
kedua negara, tidak akan ada perpindahan kapital karena harga faktor di kedua
negara adalah sama.
Bertolak belakang dengan prediksi Heckscher-Ohlin-Mundell (H-O-M)
model, beberapa studi empiris menunjukkan bahwa perpindahan faktor dan
perdagangan barang saling melengkapi satu sama lain. Markusen (1983) pertama
kali memberikan pandangan berbeda dan mencoba menentang pendapat adanya
3
hubungan substitusi antara perdagangan barang dan perpindahan faktor produksi.
Model yang dibangun menunjukkan bahwa pencabutan berbagai halangan
perdagangan akan menghasilkan hubungan komplementer dengan pergerakan
faktor. Hal itu berdasarkan fakta karena harga faktor yang digunakan secara
intensif untuk memproduksi barang ekspor akan bernilai relatif tinggi. Karenanya
faktor-faktor produksi tersebut akan berpindah ke industri negara lain yang juga
mempergunakan mereka secara intensif dalam memproduksi barang yang akan
diekspor sehingga terjadi peningkatan dalam perdagangan.
Beberapa hasil kajian teori lanjutan juga mendukung terjadinya hubungan
komplementer. Kondisi yang memungkinkan terjadinya perbedaan dengan model
awal antara lain adanya perbedaan teknologi antar negara, memasukkan pajak
produksi, struktur pasar monopoli, skala ekonomi eksternal atau distorsi di pasar
faktor dan diijinkannya modal asing untuk mendukung pembangunan ekonomi
domestik. Peningkatan penanaman investasi asing langsung dapat mendukung
membesarnya perdagangan internasional pada semua kasus di atas (Goldberg dan
Klein, 1999).
Dua fenomena penting yang berkembang dalam perekonomian global
adalah integrasi perdagangan dan keuangan serta meningkatnya angkatan kerja
atau produktifitas di negara-negara berkembang. Model-model perekonomian
terbuka memprediksi modal mengalir masuk ke negara-negara berkembang,
namun ternyata hal tersebut tidak sesuai dengan fakta (Jin, 2012). Kondisi yang
terjadi kemudian adalah kekuatan dua fenomena tersebut telah mengubah
4
keunggulan komparatif sebuah negara yang pada gilirannya mengubah struktur
perdagangan dan bermuara pada alokasi modal secara global.
Model-model standar untuk perekonomian terbuka merupakan model
pertumbuhan satu barang atau dua barang yang memungkinkan perpindahan aliran
modal antar negara tapi proporsi faktor perdagangan tidak muncul di dalamnya
(Backus dkk., 1992; 1994). Model perdagangan internasional di sisi lain dengan
karakteristik dua sektor, dua negara yang menunjukkan proporsi faktor dalam
perdagangan seringkali mengasumsikan bahwa aliran modal tidak dapat berpindah
antar negara (Beaudry dan Collard, 2006; Ventura, 1997).
Perkembangan studi yang menarik dalam menguji interaksi antara
perdagangan dan aliran modal dengan memungkinkan perpindahan barang dan
kapital dilakukan oleh Jin (2012). Analisisnya mengembangkan kerangka
keseimbangan umum yang mengintegrasikan paradigma proporsi atau intensitas
faktor dalam produk yang diperdagangkan dengan aliran modal yang
memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi. Hasilnya kontradiktif dengan
prediksi ekonomi makro standar. Peningkatan angkatan kerja atau produktifitas
tenaga kerja dalam sebuah negara akan mendorong keluarnya aliran modal.
Kondisi tersebut memungkinkan modal mengalir dari negara berkembang ke
negara maju ketika kedua negara tersebut terintegrasi.
Beberapa studi lainnya juga menempatkan hubungan perdagangan barang
dengan modal sebagai fokus utama antara lain oleh Antras dan Cabalerro (2009).
Mereka menunjukkan jika perdagangan barang dan aliran modal bersifat
komplementer terutama di negara-negara bagian “selatan” yang sedang
5
berkembang dan memiliki lembaga keuangan yang relatif kurang tertata
dibandingkan negara-negara “utara” yang
lebih maju. Proses integrasi
perdagangan yang lebih dalam akan meningkatkan insentif masuknya modal ke
negara-negara bagian utara. Studi oleh Zhang (2012) menunjukkan semakin
besarnya arus modal setelah dimulainya liberalisasi perdagangan terutama di
negara-negara berkembang. Proposisi model dan data empiris menunjukkan
bahwa liberalisasi perdagangan tidak selalu menyebabkan ketidakseimbangan
global.
Sebagian besar hubungan model ekonomi makro dalam perekonomian
terbuka dengan perdagangan antar waktu diukur dengan neraca transaksi berjalan.
Transaksi berjalan suatu negara merupakan selisih kepemilikan penduduk atas
pendapatan (output) dikurangi kepemilikan asing di dalam negeri. Transaksi
berjalan secara teori tidak hanya ekspor dikurang impor tapi juga keuntungan
modal bersih atas aset luar negeri yang ada (Obstfeld dan Rogoff, 1995:1).
Transaksi berjalan juga menunjukkan posisi tabungan nasional dikurangi
investasi domestik. Posisi tabungan yang lebih rendah daripada investasi yang
diharapkan maka pihak asing akan menyeimbangkan keduanya. Pendekatan antar
waktu pada analisis transaksi berjalan melebar pada pendekatan melalui tabungan
swasta dan keputusan investasi serta keputusan pemerintah sebagai hasil dari
kalkulasi penerawangan ke depan berdasarkan pada ekspektasi pertumbuhan
produktifitas di masa datang, permintaan pengeluaran pemerintah, tingkat bunga
riil, dan lainnya.
6
Definisi transaksi berjalan sebagai peningkatan dalam aset luar negeri
bersih sedikit membingungkan jika transaksi berjalan hanya dipikirkan sebagai
penjumlahan atas nilai ekspor bersih sebuah negara untuk barang dan jasa. Sebuah
negara dengan ekspor bersih positif pastilah memperoleh aset luar negeri dalam
nilai yang seimbang karena berhasil menjual ke luar negeri lebih banyak
dibandingkan dengan membeli dari luar. Negara dengan ekspor bersih yang
negatif di sisi lain berarti memiliki pinjaman yang bernilai sama untuk membiayai
defisit dengan luar negeri. Neraca pembayaran mencatat penjualan aset bersih
sebuah negara dalam neraca modal. Karena pembayaran untuk setiap barang dan
jasa diterima dari pihak luar negeri, setiap ekspor bersih dikaitkan dengan nilai
negatif yang sama besarnya dalam neraca modal sehingga total ekspor bersih dan
neraca modal identik sama dengan nol. Karenanya neraca modal yang surplus
dilihat dari tanda negatif dari peningkatan bersih kepemilikan aset luar negeri,
atau sama dengan neraca transaksi berjalan (Obstfeld dan Rogoff, 1996:5).
Penelitian disertasi ini menganalisis pengaruh proporsi intensitas faktor
sebuah negara, yang menentukan pola perdagangan yang bersifat padat karya atau
padat modal, terhadap neraca transaksi berjalan di negara-negara ASEAN+6.
Wilayah ASEAN+6 di sini adalah sepuluh negara anggota ASEAN (kecuali
Myanmar) dan enam negara di Asia Pasifik lainnya, yaitu Australia, Selandia
Baru, Jepang, China, dan Korea. Perekonomian dalam wilayah Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN) telah menjadi bagian dari keajaiban Asia
Timur (Park dkk., 2008).
7
Proporsi faktor yang dimaksud di sini adalah intensitas kapital dalam
bentuk rasio kapital-angkatan kerja yang dimiliki oleh masing-masing negara.
Singapura adalah ekonomi industri baru bersama-sama dengan Hong Kong,
Korea, dan Taipei. Negara ASEAN lainnya yaitu Indonesia, Malaysia, dan
Thailand juga telah bertransformasi dari ekonomi pertanian yang stagnan menuju
ekonomi manufaktur yang dinamis melalui pertumbuhan yang berkelanjutan dan
industrialisasi. Ekonomi ASEAN, khususnya Vietnam juga telah mulai mencapai
pertumbuhan yang relatif cepat secara konsisten.
ASEAN didirikan tahun 1967 oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand,
dan Singapura. Brunei kemudian bergabung tahun 1980an, yang dikenal dengan
ASEAN-6, dan ditambah dengan Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam
(dikenal dengan CMLV) tahun 1990an. Ke sepuluh anggota ASEAN memiliki
perbedaan baik dalam ukuran, tingkat pertumbuhan ekonomi, sumber daya, dan
kemampuan teknologi dan industri (Yue, 2004).
Pada tahun 1992, ASEAN sepakat untuk membentuk ASEAN Free Trade
Area (AFTA) dengan pengurangan tarif mencapai 0% – 5% pada tahun 2002
untuk negara-negara ASEAN-6. Tarif dikurangi sampai nol di tahun 2010 untuk
ASEAN-6 dan CLMV di tahun 2015. ASEAN juga memiliki kesepakatan
liberalisasi jasa dan investasi, serta melakukan perdagangan bebas dengan China,
Jepang, Korea Selatan, dan India sementara masing-masing anggotanya
membentuk perdagangan bebas bilateral dengan sejumlah negara di Asia Pasifik
dan sekitarnya (Shiino, 2012). Hal tersebut menunjukkan betapa terbukanya
8
perekonomian negara-negara ASEAN dengan negara-negara lainnya baik lewat
transaksi perdagangan internasional maupun modal asing.
Negara-negara ASEAN dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah
mengalami pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan dan relatif stabil, seperti
yang terlihat pada Grafik 1.1. Salah satu resep penting tercapainya kestabilan
dalam pertumbuhan ekonomi ini adalah lingkungan ekonomi makro. Negaranegara ASEAN telah menerapkan kebijakan ekonomi makro yang ditandai dengan
nilai tukar yang kompetitif, kebijakan moneter yang hati-hati, defisit sektor publik
yang rendah, dan pasar keuangan yang terbuka. Hal ini telah memungkinkan
negara-negara anggota ASEAN untuk tumbuh, memperluas ekspor mereka ke
dunia dan menjadi tujuan yang menarik bagi investasi asing langsung.
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi ASEAN 2000 – 2014
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook, 2008 dan 2015
Catatan: termasuk dalam ASEAN 5 adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand
Tahun 2014 nilai estimasi
Tingkat pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada tahun 2009. Hal itu
sebagai dampak terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008. Gejolak
9
ekonomi tahun 2008 dipicu oleh inovasi yang cepat dalam produk keuangan
seperti praktek sekuritisasi dan credit default swap. Krisis tersebut berbeda
dengan krisis pada tahun 1997 yang disebabkan oleh kurangnya transparansi dan
kredibilitas pemerintah diperburuk oleh spekulasi properti dan peringkat kredit
yang tidak akurat. Pada kedua kasus, perkembangan krisis menyebar ke benuabenua lain dan dalam waktu singkat menjadi krisis global karena efek menular di
tengah sistem keuangan yang terintegrasi secara global dan penyebaran informasi
yang cepat (Raz dkk., 2012). Selama krisis 2008 beberapa negara ASEAN seperti
Malaysia, Singapura, dan Thailand diseret ke krisis dengan mengalami
pembebanan keuangan besar meskipun sumber krisis disebabkan oleh runtuhnya
lembaga-lembaga keuangan internasional di barat, terutama di Amerika Serikat
dan Inggris.
Grafik 1.2 menunjukkan nilai penanaman modal asing langsung yang
masuk ke negara-negara ASEAN+6. China, Singapura, dan Australia adalah tiga
negara yang menerima penanaman modal asing langsung terbesar di antara negara
ASEAN+6 lainnya. Peningkatan paling menonjol terjadi di China. Penanaman
modal asing lansung yang masuk ke Jepang, India, dan Indonesia relatif sama.
Singapura dan Australia sebagai penerima modal asing terbesar lainnya
merupakan negara maju atau negara industri, sedangkan China juga dikategorikan
sebagai negara industri baru. Myanmar dan Kamboja menempati posisi negara
penerima aliran modal asing terendah diantara negara lainnya. Ada indikasi jika
aliran modal cenderung masuk ke negara-negara yang sudah relatif kaya akan
10
modal, bukan seperti yang diprediksikan teori tradisional jika modal akan
mengalir ke negara-negara berkembang yang relatif langka akan modal.
Grafik 1.2. Penanaman Modal Asing Langsung yang Masuk ke Negara ASEAN+6
Sumber: World Bank, 2016
Ketidakseimbangan
transaksi
berjalan
dapat
disebabkan
oleh
ketidaksesuian antara tabungan dan investasi. Periode besarnya aliran modal
masuk pada umumnya disertai dengan meningkatnya investasi. Aliran modal jika
dipergunakan untuk meningkatkan investasi, dengan asumsi tabungan stabil,
berakibat membesarnya defisit transaksi berjalan. Tabel 1.1 menunjukkan
besarnya nilai transaksi berjalan yang dimiliki negara-negara ASEAN+6 selama
periode 1990 – 2014. Awal tahun 1990an, negara-negara ASEAN terlihat
mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat yang diiringi dengan bertahannya
defisit transaksi berjalan. Kondisi tersebut cenderung berbalik setelah krisis Asia
pada tahun 1997/1998. Selama 1997/1998, defisit menjadi surplus dan itu
11
bertahan selama beberapa tahun dan cukup lama. Pembalikan kondisi transaksi
berjalan menjadi surplus disebabkan oleh terhentinya aliran modal secara tibatiba. Perubahan transaksi berjalan terbesar tampak terjadi di Thailand, Malaysia,
dan Indonesia.
Pola yang muncul tampak tidak konsisten dengan pandangan standar
bahwa perekonomian negara industri seharusnya mengekspor kapital ke negaranegara berkembang. Karena negara sedang berkembang memiliki rasio tenaga
kerja – modal yang tinggi, negara berkembang seharusnya memiliki produktifitas
marjinal kapital yang lebih tinggi dan menarik modal dari negara industri yang
langka tenaga kerja. Jjika negara-negara sedang berkembang mengharapkan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk mengejar ketertinggalan mereka
dari negara industri, maka ada insentif bagi mereka untuk meminjam modal yang
membawa pada defisit transaksi berjalan.
12
Tabel 1.1. Neraca Transaksi Berjalan Negara ASEAN+6 (dalam Milyar USD)
Tahun
Australia
Brunei
Cambodia
China
India
Indonesia
Japan
Korea
Laos
Malaysia
New
Zealand
Philippines
Singapore
Thailand
Vietnam
1990
-15,660
2,531
-0,035
7,441
-3,200
-3,200
44,709
-2,404
-0,078
-0,870
-1,280
-2,695
3,098
-7,281
-0,259
1991
-10,640
2,565
-0,025
9,474
-4,400
-4,400
68,116
-7,605
-0,025
-4,183
-1,029
-1,034
4,851
-7,571
-0,133
1992
-10,362
1,870
-0,025
12,063
-3,100
-3,100
112,394
-2,432
-0,041
-2,167
-1,516
-1,000
5,885
-6,303
-0,008
1993
-9,262
1,313
-0,040
15,358
-2,300
-2,300
131,918
2,026
-0,043
-2,991
-1,494
-3,016
4,175
-6,355
-1,395
1994
-15,767
1,594
-0,095
19,555
-3,000
-3,000
130,543
-4,464
-0,106
-4,520
-1,633
-2,950
11,350
-8,059
-1,872
1995
-18,685
1,595
-0,171
24,897
-6,800
-6,800
110,422
-9,752
-0,124
-8,644
-2,427
-1,980
14,417
-13,582
-2,648
1996
-14,415
1,502
-0,250
31,700
-7,300
-7,300
68,937
-23,831
-0,236
-4,462
-3,292
-3,953
13,879
-14,691
-2,020
1997
-12,096
1,399
0,042
40,361
-3,800
-3,800
95,154
-10,285
-0,185
-5,935
-3,576
-4,351
15,257
-3,021
-1,528
1998
-17,854
0,825
-0,179
31,472
4,000
4,000
115,093
40,057
-0,060
9,529
-1,512
1,546
18,443
14,242
-1,373
1999
-21,777
1,624
-0,176
21,115
5,752
5,752
114,244
21,608
-0,059
12,604
-2,887
-2,875
14,487
12,428
1,177
2000
-15,609
2,998
-0,103
20,431
7,990
7,990
130,651
10,444
-0,183
8,488
-1,770
-2,228
10,158
9,313
0,850
2001
-7,827
2,602
-0,046
17,403
6,900
6,900
86,186
2,700
-0,190
7,287
-0,432
-1,750
12,060
5,101
0,920
2002
-15,721
2,347
-0,104
35,422
7,822
7,822
109,125
4,693
-0,172
7,190
-1,357
-0,282
12,257
4,654
-0,627
2003
-28,968
2,904
-0,166
43,052
8,107
8,107
139,414
11,877
-0,266
13,381
-2,023
0,285
21,899
4,772
-1,931
2004
-41,080
3,325
-0,116
68,941
5,258
5,258
182,049
29,743
-0,426
15,079
-4,649
1,625
20,506
2,759
-1,591
2005
-43,367
4,507
-0,240
132,378
1,595
1,595
170,135
12,655
-0,492
20,694
-8,040
1,986
27,868
-7,642
-0,560
2006
-45,339
5,752
-0,047
231,843
9,542
9,542
174,536
3,569
-0,353
26,188
-7,854
6,963
36,884
2,315
-0,164
2007
-63,509
5,857
-0,166
353,183
6,795
6,795
212,138
11,795
-0,662
29,736
-9,184
8,075
46,749
15,682
-6,992
2008
-51,335
7,056
-0,586
420,569
0,126
0,126
142,599
3,190
-0,978
39,439
-10,353
0,147
27,742
2,157
-10,787
2009
-45,998
4,320
-0,473
243,257
10,628
10,628
145,250
33,593
-1,174
31,420
-2,713
8,444
32,360
21,896
-6,608
2010
-44,629
5,623
-0,441
237,810
5,224
5,224
217,647
28,850
-1,251
27,067
-3,210
7,182
55,943
10,024
-4,276
2011
-44,790
6,075
-1,040
136,097
1,752
1,752
126,471
18,656
-1,247
33,474
-4,699
5,645
62,594
8,887
0,233
2012
-67,827
5,674
-1,233
215,392
-24,377
-24,377
58,683
50,835
-2,607
17,640
-7,011
6,948
50,150
-1,470
9,267
2013
-51,163
3,778
-1,607
148,203
-49,225
-29,109
41,132
81,148
-0,376
11,205
-5,931
11,383
54,083
-5,067
7,745
2014
-44,238
4,749
-1,656
219,677
-27,451
-27,485
24,020
84,373
n.a
14,471
-6,409
10,917
58,771
15,413
9,508
Sumber: World Bank, 2016
13
Sejauh ini penelitian yang berbicara mengenai intensitas kapital dalam
struktur perdagangan suatu negara terhadap aliran modal internasional yang
tergambar dalam neraca transaksi berjalan masih sangat terbatas. Khusus untuk
wilayah ASEAN+6, penelitian disertasi ini mengisi kesenjangan studi empiris
yang selama ini belum ada. Penelitian serupa dilakukan oleh Nedoncelle (2013)
dengan mengambil sampel 34 OECD dari tahun 1988 sampai dengan 2012. Fokus
penelitian juga melihat pengaruh struktur intensitas kapital terhadap neraca
transaksi berjalan dengan menggunakan metode efek tetap. Hasil analisis sesuai
dengan prediksi jika intensitas kapital berpengaruh negatif terhadap neraca
transaksi berjalan di negara-negara OECD.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Peeters (2011) dengan mengambil objek
negara-negara the Gulf Cooperation Council (GCC), yaitu Bahrain, Kuwait,
Oman, Qatar, Saudi Arabia, dan the United Arab Emirates yang menunjukkan jika
negara-negara yang kaya akan minyak tersebut mendapatkan aliran modal asing
yang semakin besar ketika mereka semakin membuka perdagangan internasional.
Tingginya aliran modal internasional tersebut mendorong membesarnya impor
barang dan jasa yang memaksa mereka untuk mengubah jenis produk yang
diperdagangkan. Neraca transaksi berjalan negara-negara tersebut cenderung
menunjukkan defisit dan sulit bagi mereka untuk menyeimbangkannya.
Studi yang dilakukan oleh Moreno (2008) di lima negara ASEAN, yaitu
Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Singapura menunjukkan jika tren
perdagangan barang-barang manufaktur di negara-negara tersebut, terutama
Indonesia dan Malaysia memberikan angka surplus, namun neraca transaksi
14
berjalan tetap defisit selama periode tahun 1990an. Pertumbuhan ekspor tampak
lebih besar dan stabil selama periode defisit neraca transaksi berjalan
dibandingkan dengan yang mereka alami setelah tahun 1996. Pembalikan kondisi
dari defisit
menjadi surplus neraca transaksi berjalan dikatakan tidak
mencerminkan dorongan ekspor yang kuat karena yang terjadi adalah sebaliknya.
Nilai ekspor pada tahun 1998 di hampir semua sampel mengalami kontraksi.
Penurunan pendapatan ekspor produk manufaktur rata-rata antara tahun 1990 –
1995 dan 1999 – 2005 di Indonesia turun dari 13% menjadi 9%, Malaysia turun
dari 20% menjadi 10%, Filipina mengalami penurunan dari 15% menjadi 5%, dan
Thailand turun dari 19% menjadi 11%. Karena itu, aspek lain dari neraca transaksi
berjalan menjadi penting untuk dianalisis. Gambaran umum neraca transaksi
berjalan di lima negara tersebut menunjukkan adanya cerminan perubahan
investasi, terutama dalam pengembangan dan penyediaan mesin industri.
1.2 Rumusan Permasalahan
Gambaran umum kondisi di negara-negara ASEAN+6 mengindikasikan
jika aliran modal asing cenderung masuk ke negara-negara maju atau industri
yang relatif lebih kaya modal dibandingkan dengan negara berkembang. Negaranegara maju tersebut memiliki intensitas kapital yang lebih tinggi dibandingkan
dengan negara berkembang sehingga cenderung untuk berspesialisasi pada
produk-produk padat modal. Hal ini ini bertentangan dengan teori perekonomian
terbuka yang memprediksi jika modal mengalir masuk ke negara berkembang
15
yang relatif kaya tenaga kerja dan langka dalam permodalan. Peningkatan tenaga
kerja atau produktifitas di suatu negara pada gilirannya akan mendorong aliran
modal untuk keluar dari negara tersebut. Apabila kondisi tersebut terjadi, maka
keunggulan komparatif yang dimiliki suatu negara dapat berubah atau bersifat
dinamis karenanya.
Interaksi antara intensitas faktor dalam perdagangan internasional dapat
dihubungkan dengan perubahan tenaga kerja (produktifitas) melalui neraca
transaksi berjalan. Neraca transaksi berjalan pada negara-negara ASEAN+6
cenderung menggambarkan selisih posisi tabungan – investasi, dibandingkan
dengan selisih ekspor – impor. Negara yang memiliki tingkat intensitas kapital
yang tinggi membutuhkan investasi lebih besar dibandingkan dengan tabungan
yang ada. Kesenjangan tersebut yang akan ditutupi oleh pihak asing. Kondisi ini
akan tercermin dari membesarnya defisit neraca transaksi berjalan. Peningkatan
jumlah angkatan kerja pada suatu negara mendorong penurunan intensitas kapital
yang pada gilirannya mendorong aliran modal keluar.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat dikemukakan pertanyaan
yang diajukan dalam penelitian ini.
1. Apakah intensitas kapital berpengaruh pada neraca transaksi berjalan di
negara-negara ASEAN+6?
2. Apakah angkatan kerja di suatu negara berpengaruh terhadap neraca transaksi
berjalan di negara-negara ASEAN+6?
3. Apakah ada perubahan dalam struktur industri dan keunggulan komparatif
yang dimiliki oleh suatu negara, studi kasus di Indonesia?
16
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka tujuan yang ingin dicapai
sebagai berikut.
1. Menganalisis pengaruh intensitas kapital yang dimiliki suatu negara terhadap
neraca transaksi berjalan di negara-negara ASEAN+6.
2. Menganalisis pengaruh angkatan kerja suatu negara terhadap neraca transaksi
berjalan negara-negara ASEAN+6.
3. Menganalisis ada tidaknya perubahan dalam struktur industri dan keunggulan
komparatif yang dimiliki oleh suatu negara, studi kasus di Indonesia.
1.4 Keaslian Penelitian
Ketidakseimbangan dalam neraca transaksi berjalan telah menjadi
kontroversi dalam analisis kebijakan perdagangan internasional. Debat yang
terjadi merefleksikan kembali teori dari David Hume dengan menitikberatkan
keseimbangan transaksi berjalan sebagai alat potensial dalam transmisi kejutan
internasional atau sebagai kerentanan keuangan. Beberapa bukti menunjukkan
jika krisis seringkali didahului dengan defisit transaksi berjalan dalam jumlah
besar, termasuk yang terjadi di beberapa negara maju (Obstfeld, 2012).
Studi yang dilakukan oleh Chinn dan Prasad (2003) mengidentifikasi
beberapa variabel determinan neraca transaksi berjalan dalam jangka menengah
dengan mengambil sampel dari negara-negara industri dan berkembang. Studi
17
serupa dilakukan oleh Gruber dan Kamin (2005). Analisis tidak hanya dilakukan
dengan data cross section (silang tempat) tapi juga data panel dengan metode OLS
dan fixed effect (metode efek tetap) untuk menangkap karakteristik variasi neraca
transaksi berjalan antar negara dan antar waktu. Beberapa variabel yang dikatakan
berpengaruh positif adalah anggaran pemerintah dan stok awal net foreign assets.
Beberapa negara berkembang juga menunjukkan hubungan positif antara
kedalaman integrasi keuangan dengan neraca transaksi berjalan. Indikator
keterbukaan terhadap perdagangan internasional dikatakan berkorelasi negatif.
Pendekatan yang digunakan di sini adalah melihat neraca transaksi berjalan dari
perspektif jangka panjang keseimbangan tabungan – investasi, tidak hanya
mempengaruhi pergerakan neraca transaksi berjalan dalam jangka pendek.
Beberapa studi terdahulu mencoba mengidentifikasikan beberapa variabel
yang dapat menjadi sumber kejutan terhadap transaksi berjalan. Cashin dan
McDermott (1998) menguji hubungan antara kejutan terms of trade terhadap
tabungan dan posisi transaksi berjalan. Hasil penelitian mereka mengatakan jika
hubungan diantara variabel ini bersifat ambigu. Kejutan dalam terms of trade
dapat memperburuk atau memperbaiki posisi transaksi berjalan tergantung pada
apakah hasil efek pendapatan lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan
efek substitusi. Hubungan relatif dari efek subsitusi ini diestimasi dengan
menggunakan data lima negara OECD selama periode 1970 - 1995. Hasilnya
menunjukkan besar dan signifikannya pengaruh kejutan ini terhadap transaksi
berjalan.
18
Glick dan Rogoff (1995) mengembangkan model empiris dari investasi
dan transaksi berjalan yang diaplikasikan pada data negara-negara G7. Hasilnya
menunjukkan perbedaan antara kejutan global dan spesifik negara dapat
menjelaskan perilaku transaksi berjalan. Satu puzzle yang muncul kemudian
adalah respon transaksi berjalan terhadap kejutan spesifik ini lebih kecil
dibandingkan dengan respon yang diberikan oleh investasi.
Lane (1999) menunjukkan bahwa kejutan moneter dapat mendorong
ketidakseimbangan transaksi berjalan suatu negara. Hasil dengan menggunakan
analisis VAR menunjukkan jika kejutan moneter berpengaruh signifikan terhadap
transaksi berjalan Amerika Serikat. Analisis VAR juga digunakan oleh Lee dan
Chinn (2002) di tujuh negara yaitu Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jepang,
Jerman, Prancis, dan Italia. Salah satu asumsi yang digunakan dalam analisis di
sini bahwa kejutan global tidak berpengaruh terhadap transaksi berjalan, dan
hanya dipengaruhi oleh kejutan spesifik negara.
Sek dan Chuah (2011) menguji dinamisme transaksi berjalan di beberapa
negara Asia untuk menganalisis determinan dalam menjelaskan pergerakan neraca
transaksi berjalan, khususnya melihat pengaruh nilai tukar sebagai determinan
utama. Penelitian dilatarbelakangi oleh perubahan transaksi berjalan beberapa
negara Asia yang bergerak dari defisit menjadi surplus setelah krisis 1997.
Analisis dilakukan dengan menggunakan SVAR dan diperoleh hasil jika nilai
tukar tidak berpengaruh terhadap neraca transaksi berjalan setelah krisis.
Determinan utama pergerakan transaksi berjalan adalah kejutan riil dan CPI.
Sebagai tambahan analisis oleh Sachs (1982) menegaskan jika hubungan antara
19
nilai tukar dan transaksi berjalan harus diteliti lebih cermat, karena hubungan
antara transaksi berjalan dan depresiasi dapat dibuktikan di dalam perekonomian
negara OECD yang besar, tapi tidak untuk negara lainnya yang relatif kecil.
Ju dan Wei (2007) menyajikan teori tentang penyesuaian transaksi
berjalan yang menempatkan sistem kelembagaan pasar tenaga kerja sebagai pusat
analisis. Pada dasarnya penyesuaian sebuah perekonomian terhadap satu kejutan
melibatkan kombinasi transmisi dari dua sektor. Pertama transmisi dalam satu
waktu (intratemporal), yaitu perubahan dalam komposisi perdagangan barang.
Kedua, transmisi antar waktu (intertemporal), yaitu perubahan dalam aliran
modal. Ketika tenaga kerja di satu sektor yang spesifik, seluruh penyesuaian
untuk sebuah perekonomian yang relatif kecil bergerak melalui aliran modal. Hal
sebaliknya jika tenaga kerja bersifat mobilitas sempurna dalam satu negara, setiap
kejutan dicerminkan melalui perubahan dalam output dan komposisi perdagangan
tanpa perubahan dalam transaksi berjalan. Peraturan ketenagakerjaan yang relatif
kaku akan menurunkan transisi dari jangka pendek ke jangka panjang, dan
karenanya menurunkan kecepatan konvergensi rasio transaksi berjalan terhadap
PDB.
Studi oleh Antras dan Caballero (2009) membagi negara-negara di dunia
menjadi “utara” dan “selatan” berdasarkan perkembangan sistem finansial
mereka. Hasil model yang mereka kembangkan menunjukkan adanya hubungan
komplementer antara perdagangan dan mobilitas kapital, terutama di negaranegara dengan sistem finansial yang kurang berkembang. Hal ini disebabkan
karena terbukanya perdagangan internasional menyebabkan meningkatnya imbal
20
hasil atas kapital sehinggga mendorong naiknya insentif apabila modal bergerak
ke negara tersebut. Ada dua dimensi heterogenitas dalam friksi sistem finansial di
setiap negara. Pertama adalah heterogenitas antar negara yaitu kemampuan untuk
memberikan janji imbal hasil atas modal bagi penanam modal potensial di negara
kaya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Kedua adalah
heterogenitas antar sektoral. Sekalipun beroperasi di dalam sistem keuangan yang
sama, produsen di sektor tertentu menemukan masalah yang lebih besar dalam
memperoleh pendanaan dibandingkan dengan produsen di sektor lainnya.
Negara-negara berkembang, atau yang mereka sebut “selatan”, memiliki
institusi finansial yang kurang berkembang dan karenanya memiliki batasan
pinjaman yang lebih ketat di sektor-sektor tertentu. Ketidaksempurnaan dalam hal
finansial tersebut mendorong munculnya keunggulan komparatif yang memiliki
efek serupa dengan keunggulan komparatif dalam H-O model setelah liberalisasi
perdagangan. Liberalisasi perdagangan meningkatkan permintaan atas barangbarang yang diproduksi oleh sektor-sektor yang tidak memiliki keterbatasan
dalam pinjaman di selatan dan mendorong mereka untuk berspesialisasi dalam
produksi barang tersebut. Tenaga kerja di selatan akan dialokasikan pada sektor
yang tidak memiliki keterbatasan tersebut yang kemudian meningkatkan
permintaan agregat kapital karena sektor ini tidak memiliki keterbatasan dalam
pinjaman. Hasil derivasi model mereka secara khusus menunjukkan bahwa saat
perbedaan antar negara hanya dalam perkembangan sistem finansial dan
ketergantungan terhadap pembiayaan finansial, integrasi perdagangan akan
mengurangi kesenjangan antara imbal hasil riil kapital di “utara” dan “selatan”.
21
Zhang (2012) dalam penelitiannya mengenai hubungan liberalisasi
perdagangan dan aliran modal dalam perspektif keunggulan komparatif dan
perusahaan yang heterogen menunjukkan adanya pola “S” dari aliran modal
dalam merespon liberalisasi perdagangan. Aliran modal keluar bergerak dari
negara-negara berkembang ke negara-negara maju. Dua mekanisme yang
dikatakan sebagai kekuatan pendorong perubahan aliran modal yang menyertai
liberalisasi perdagangan. Pertama adalah meningkatnya produktifitas secara
keseluruhan di kedua negara yang merupakan salah satu manfaat penting
liberalisasi perdagangan karena efek pilihan ekspor. Produktifitas yang semakin
tinggi menghasilkan hasil marjinal dari kapital yang lebih besar, meningkatkan
nilai imbal hasil dan menarik lebih banyak aliran modal masuk, dengan asumsi
pergerakan tenaga kerja antar negara yang dibatasi. Efek ini disebut dengan efek
heterogen.
Mekanisme kedua adalah realokasi tenaga kerja dari sektor yang padat
modal ke sektor-sektor yang padat karya. Liberalisasi perdagangan meningkatkan
permintaan atas produk-produk yang bersifat padat karya dan menurunkan
permintaan untuk produk yang padat modal di negara yang memiliki tenaga kerja
yang melimpah. Konsekuensinya kapital diharapkan akan bergerak dari negara
yang kekurangan kapital ke negara yang kaya akan kapital. Efek ini dikenal
dengan efek keunggulan komparatif. Kedua mekanisme tersebut memberikan
dorongan yang saling bertolak belakang terhadap respon aliran modal. Studi
empiris di China menunjukkan adanya kedua mekanisme tersebut.
22
Perkembangan model menjadi perekonomian terbuka yang dinamis juga
menunjukkan pola serupa. Hal ini karena liberalisasi perdagangan memiliki dua
efek yang saling bertolak belakang terhadap permintaan kapital. Liberalisasi
perdagangan di sisi lain mendorong ekspansi pasar untuk perusahaan di kedua
negara dan karenanya menarik semakin banyak perusahaan lain untuk masuk
pasar. Pendanaan berdirinya perusahaan-perusahaan baru tersebut membutuhkan
tambahan permintaan kapital, dimana ekspansi yang lebih besar akan didorong
untuk sektor-sektor padat karya di negara-negara berkembang dan menekan
permintaan kapital.
Studi-studi terdahulu mengenai hubungan antara aliran modal dan
perdagangan pada prinsipnya masih dipertanyakan secara teoritis. Sekalipun
beberapa studi empiris telah membuktikan jika perdagangan barang internasional
yang semakin terbuka berkaitan erat dengan semakin besarnya perdagangan aset
finansial, namun jembatan penghubung spesifik yang dilalui perdagangan barang
untuk mempengaruhi aliran modal masih kurang dieksplorasi. Jin (2012)
mengembangkan sebuah model berdasarkan pada teori perdagangan HeckscherOhlin dengan menggunakan kerangka analisis overlapping generations model
(OLG). Proposisi utama yang diajukan dari hasil konstruksi teorinya adalah
negara yang semakin berspesialisasi pada barang-barang padat modal akan
mengalami defisit neraca transaksi berjalan yang semakin besar. Literatur-literatur
empiris tentang determinan neraca transaksi berjalan sebelumnya tidak ada yang
memasukkan pengaruh perubahan pola spesialisasi sepanjang waktu. Pola
spesialisasi sebuah negara dalam Jin (2012) disebut berupa intensitas kapital
23
sebuah negara yang dilihat dari hubungan intensitas produk setiap industri dengan
aliran perdagangannya atau ekspor, seperti yang digunakan oleh Romalis (2004).
Prediksi teori kemudian diujikan pada data panel beberapa negara industri dan
negara berkembang untuk melihat hubungan antar variabel dalam jangka panjang
dengan menggunakan metode ordinary least squares (OLS) dan metode efek
tetap.
Penelitian disertasi ini menguji kemapanan model yang dikembangkan
oleh Jin (2012) dengan memasukkan variabel intensitas kapital sebagai
determinan neraca transaksi berjalan negara-negara ASEAN+6. Perbedaan
mendasar penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat dijabarkan sebagai
berikut.
1. Metode pembentukan variabel intensitas kapital yang menggunakan variasi
dari revealed capital intensity (RCI) yang berupa salah satu variasi
pengukuran keunggulan komparatif negara dengan menggunakan nilai
revealed comparative advantage (RCA) sebagai pembobot. Pembentukan
variabel ini menjadi lebih sederhana namun tetap dapat menggambarkan
keunggulan komparatif setiap negara.
2. Perbedaan mendasar lainnya adalah model panel yang digunakan mengingat
hubungan antara perdagangan barang dan aliran modal melibatkan neraca
transaksi berjalan. Perkembangan pendekatan intertemporal modern terhadap
keuangan internasional yang menekankan bahwa transaksi berjalan sangat
tergantung pada keputusan investasi dan tabungan domestik diharapkan dapat
memberikan
masukan
yang
baik
dalam
menjelaskan
fenomena
24
ketidakseimbangan dalam neraca transaksi berjalan global. Hal ini sangat
penting dari perspektif peramalan seperti halnya informasi ekonomi yang bisa
diperoleh dengan mempertimbangkan penyesuaian dinamis. Pengujian
dilakukan tidak hanya untuk melihat hubungan jangka pendek, namun juga
melihat hubungan jangka panjang. Karena itu model dalam disertasi ini
mengaplikasikan model panel dinamik autoregression distributed lag
(ARDL).
3. Perubahan jumlah angkatan kerja yang dikatakan sebagai sumber kejutan yang
mengubah nilai intensitas kapital setiap negara akan mempengaruhi
pergerakan neraca transaksi berjalan, namun bagaimana arah dan karakteristik
kejutan tersebut tidak banyak dieksplorasi bahkan oleh Jin (2012) sendiri.
Penelitian disertasi ini menyajikan bagaimana pengaruh dan arah angkatan
kerja terhadap negara tertentu secara spesifik dan juga negara lainnya dalam
kelompok ASEAN+6.
4. Proposisi lain yang diajukan oleh Jin (2012) adalah adanya perubahan struktur
industri suatu negara karena interaksi antara aliran modal dengan keunggulan
komparatif tersebut, namun hal itu tidak diuji lebih lanjut. Disertasi ini
melakukan
pengujian
terhadap
ada
tidaknya
perubahan
keunggulan
komparatif dengan menggunakan data industri Indonesia sebagai kasus.
Analisis mengenai intensitas kapital dalam seluruh kelompok industri dengan
menggunakan data industri sedang dan besar Indonesia pada level perusahaan
dapat dikatakan jarang dilakukan. Sejauh ini analisis produktifitas industri
hanya dilakukan untuk satu kelompok tertentu secara spesifik yang ditujukan
25
untuk melihat perkembangan produktifitas suatu industri. Analisis pada
disertasi ini dimaksudkan untuk melihat intensitas kapital pada setiap
kelompok industri sehingga dapat diketahui dengan pasti bagaimana
perkembangan kelompok indutri yang bersifat padat modal dan padat karya di
Indonesia serta pengaruhnya terhadap transaksi berjalan.
Download