A. Biografi Aisyah Bintu Syathi’ Aisyah Bintu Syathi’ atau yang lebih dikenal dengan nama Bintu Syathi’ memiliki nama asli yaitu Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’, lahir di Dumyath sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913 M1. Aisyah Bintu Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh, Abdurrahman ayahnya adalah seorang guru teologi di daerahnya. Aisyah memulai pendidikannya pada usia lima tahun yaitu belajar membaca dan menulis tulisan arab, kemudian ia melanjutkan ke tingkat sekolah dasar untuk mempelajari gramatika bahasa arab dan dasar-dasar kepercayaan Islam. Pada awalnya Aisyah tidak dibolehkan oleh ayahnya untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan formal, namun berkat jasa ibu serta kakeknya Aisyah dapat melanjutkan pendidikanya tanpa sepengetahuan ayahnya. Tahun 1936 M., Aisyah mendaftarkan dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad I Kairo Mesir dan lulus tahun 1939 M. dengan meraih gelar Lc. Di Universitas yang sama, Aisyah meraih gelar Master pada tahun 1941 M. serta menyelesaikan program doktornya tahun 1950 M. Setelah ia menyelesaikan akademiknya, ia lantas tidak meninggalkan dunia pendidikan, ia menjadi guru besar bahasa serta sastra arab di Universitas ‘Ain Al-Syams Mesir, serta guru besar tamu di Universitas Qarawiyyin. Selain dalam bidang sastra arab, Aisyah juga mempunyai bakat dalam dunia jurnalistik terlihat dengan karyanya menerbitkan majalah al-Nahdah an-Nisa’iyyah pada 1933, dimana ia bertindak sebagai redakturnya. Kecintaan Aisyah Bintu Syathi’ dalam kajian tafsir Al-Qur’an diawali sejak pertemuannya dengan Prof. Amin Al-Khuli di sebuah Unversitas di Kairo Mesir. Aisyah Bintu Syathi’ sangat terpengaruh oleh gaya dari sang guru yang juga menjadi suaminya. 1 Aisyah bintu Syathi’, at-Tafsir al-Bayanli al-Quran al-Karim, Juz I, terj. Mudzakir Abdussalam, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009) 25 26 B. Metode Penafsiran Aisyah Bintu Syathi’ Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang Bintu Syathi’ dengan mufasir lain adalah bahwa dia lebih menonjolkan dari segi sastra. Pendekatan yang beliau pakai adalah dengan metode semantik. Metode penafsiran yang digunakan Bintu Syathi’ dalam menafsirkan ayat al-Quran yaitu: metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah2 yaitu metode mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan. Pada kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bintu Syathi’ menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami tercintanya, Amin al-Khuli. Perlu diketahui, gagasan Amin al-Khuli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an, yaitu menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Diakui oleh Bintu alSyati’ sendiri bahwa Amin al-Khuli telah banyak menginspirasinya, baik dalam kehidupan maupun keilmuan. Ia juga mengungkapkan bahwa metode dalam tafsirnya adalah apa yang ia sarikan dari metode penafsiran Amin alKhuli. Adapun metode yang ditawarkan oleh Amin al-Khuli sbb : Studi Eksternal Teks (dirasat ma haul al-Qur’an), kajian tersebut meliputi kajian khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan Arab. Studi Internal Teks (dirasat ma fi al-Qur’an), kajian ini bermaksud untuk mencari makna etimologis, terminologis. Semantik yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic dalam satu ayat yang ditafsirkan. Berangkat dari metode yang ditawarkan oleh Amin al-Khuli tersebut, Bintu Syathi’ kemudian menetapkan metode penafsirannya sebagai berikut: 2 Aisyah Abdurrahman bintu Syathi’, at-Tafsir al-Bayanli al-Quran al-Karim, Juz I, (Darul Ma’arif, 1962) 27 “Selaras dengan pendapat tersebut, Bintu al-Syathi’ dalam tafsirnya adalah pengambilan objektivitas yang disatukan dalam kajian tematik tertentu, yakni dengan mengumpulkan apa yang ada dalam al-Qur’an dan mengambil petunjuk melalui penggunaan umum dari kata-kata dan gaya bahasanya.” Bintu al-Syathi’telah membawa metode sastra Amin al-Khuli kearah neo tradisionalisme. Hal ini dilakukan bisa jadi, karena jalur tradisional ini dipilih agar terhindar dari nasib yang dialami oleh beberapa murid al-Khuli lainnya. Meskipun berhaluan pada metode klasik, seperti “menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an”, tidak bisa dipungkiri bahwa metode tersebut memang terdapat pada suatu metode tafsir modern, yang nyatanya metode tersebut belum diberlakukan secara efektif oleh mufassir klasik. Dan tidak jarang dengan metode ini ia menemukan beberapa penafsiran baru yang menyegarkan. Bintu Syathi’ sangat terpengaruh gaya sang guru yang juga pendamping hidupnya, Amin al-Khuli. Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang Bintu al-Shathi’ dengan mufasir lainnya adalah bahwa dia lebih menonjolkan segi sastra. Pendekatan yang beliau pakai yaitu dengan menggunakan metode semantik, metode yang berbasis pada analisa teks. Metode penafsiran yang digunakan Bintu al-Shathi’dalam menafsirkan ayat al-Quran yaitu metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode yang mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan. Langkah pertamanya yaitu dengan mengumpulkan kata dan penggunaannya dalam beberapa ayat al-Qur’an untuk mengetahui penjelasan apa saja yang terkait dengan sebuah kata yang ditafsirkan atau diberi penjelasan. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya Bintu Syathi’ dalam menulis karya tafsirnya banyak dipengaharui oleh gurunya yang sekaligus belakangan menjadi suaminya, yakni Amin al-Khuli. Yang menafsirkan alQuran dengan memposisikanya sebagai teks kebahasaan dan sastra (al- 28 Arabiyyah al-Akbar). Hal demikian juga ditegaskan Syathi’ dalam pengantar bukunya : “ Yang utama didalam metode tafsir bernuansa sastra ini, sebagaimana saya terima dari guru saya adalah penguasaan tema untuk mengkaji satu tema didalamnya, lalu menghimpun semua tema didalam Al-Qur’an, mengikuti kelaziman penerapan lafal-lafal dan ungkapam-ungkapan sesudah membatasi makna bahasa.” Berlandaskan posisi al-Qur’an sebagai kitab sastra Bintu Syathi’ menggunakan formulasi prinsip dan metode yang dibangun oleh suaminya, Amin al-Khuli. Adapun metode dan prinsip tersebut adalah: Pertama, prinsip yang digunakan Bintu Syathi’ adalah bahwa sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan salah satu metode yang dipegangi ulama klasik, yakni menafsirkan dengan metode bir riwayat. Dalam menerapkan prinsip ini Bintu Syathi’ memulai dengan mengumpulkan semua ayat dan surah mengenai topik yang ingin dikaji. Kedua, metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode munasabah, yaitu mengaitkan antara kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada didekatnya, dan bahkan bisa tidak ada didekatnya. Ketiga, prinsip bahwa ‘ibrah atau ketentuan suatu bahasa masalah berdasar atas bunyi umumnya lafaz atau teks bukan karena adanya sebab khusus. Keempat, keyakinan bahwa kata-kata didalam bahasa arab Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya mempunyai satu makna. Sehingga apabila ada yang mencoba untuk menggantikan kata dari al-Qur’an. Maka al-Qur’an bisa kehilangan efektifitasnya, ketepatan, keindahan dan esensinya. Sastra tematik yang dikembangkan Aisyah Bintu Syathi’ yang dimaksud disini adalah corak tafsir kontekstual yang menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhu’i ‘am). Pengkajiannya dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Beliau tidak mengambil seluruh surat dalam al-Qur’an. Namun, beberapa surat pendek saja di juz ‘amma pada 29 buku pertama: Adh- Dluha, Asy-Syarh, Az- Zalzalah, Al-Adiyat, An-Nazi’at, Al-Balad, dan At-Takatsur. Dan tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua: Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al- Fajr, Al-humazah, dan AlMa’un. C. Contoh penafsiran Bintu Syati’ ( Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an) Dalam pembahasan ini Bintu Syathi’ mencoba untuk memetakan term-term manusia dalam Al-Qur’an. Term manusia dalam Al-Qur’an terbagi dalam beberapa kata, yaitu al-basyar, al-nas, dan al-ins. Kata al-basyar digunakan dalam Al-Qur’an untuk menyebut manusia sebagai anak keturunan adam, yaitu makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Kata ini digunakan untuk menunjukkan aspek fisik manusia secara keseluruhan, dengan kata lain menunjukkan keturunan Adam seluruhnya baik itu orang beriman, orang kafir, maupun para nabi3. Adapun kata al-nas dalam Al-Qur’an memiliki penekanan makna yang menunjukkan satu kesatuan makhluk hidup. Dengan kata lain, kata alnas digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan jenis makhluk hidup keturunan Adam. 4 Sedangkan kata al-Ins dan al-insan memiliki kesamaan makna ( ملحظ )مشتركkarena berasal dari akar kata yang sama yaitu a-n-s ()ا – ن – س. Kedua kata ini merujuk pada makna yang sama, yaitu lawan kata dari “liar” ()التوحش. Akan tetapi kedua kata ini memiliki perbedaan dari segi penggunaan kata dalam Al-Qur’an. Kata al-ins digunakan dalam Al-Qur’an sebagai lawan kata dari al-jinn. Dalam relasi paradigmatifnya, kata al-ins memiliki makna yang disesuaikan dengan kata al-jinn sebagai antonimnya, yaitu makna yang terkandung dalam kata al-ins adalah tidak liar (jinak) sebagai lawan dari kata al-jinn yang berbentuk metafisik menandakan sifat liar atau bebas karena tidak terikat ruang dan waktu. Dengan kata lain, kata al-ins merujuk pada 3 4 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Qur’an: Dirasah Qur’aniyyah, hlm. 11 Ibid, hlm. 13. 30 sifat manusia yang berbeda dari makhluk selainnya yang bersifat metafisik dan berbeda cara hidupnya.5 Adapun penggunaan kata al-insan dalam Al-Qur’an adalah untuk menunjukkan tingginya derajat manusia sehingga ia pantas untuk menjadi khalifah di bumi. Hal tersebut disebabkan karena manusia memiliki kemampuan dalam bidang ilmu, berbicara, akal dan berpikir, pandai membedakan antara yang benar dan yang salah, serta mampu mengatasi segala masalah dan kesesatan yang datang dalam dirinya. Oleh karena itu, manusia diberikan tanggung jawab yang besar baik dari segi hubungan kepada Tuhan maupun kepada alam sekitar. Di sisi lain, kata al-insan juga menunjukkan kelemahan manusia dan kehinaannya ketika ia tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhan.6 Q.S. al-Hujurat (49):13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S. al-Baqarah (2): 161-162 dan 213. 161. Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat la’nat Allah, para Malaikat, dan manusia seluruhnya. 162. Mereka kekal di dalam la’nat itu, tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. 213. Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk member keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keteranga-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah member petunjuk orang-orang yang beriman kepada 5 6 Ibid, hlm. 14 Ibid, hlm. 15-19 31 kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengankehendakNya. Dan Allah selalu member petunjuk orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus. Kata manusia dalam ayat di atas menggunakan kata al-na>s. Dari ayat di atas terlihat jelas, bahwa kata al-nas dipakai sebagai nama jenis yang berasal dari satu keturunan Adam dan umat yang satu. Kalau diteliti lebih lanjut dalam alMu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur-an al-Karim, maka kita bisa menemukan paling tidak ada tujuh kata yang menyebut ummah wahidah atau umat satu. Kata al-na>s yang disebut 241 kali di dalam al-Qur’an mempunyai ragam penjelasan yang bermacam-macam. Contoh sederhananya adalah bahwa kata alna>s banyak dikaitkan dengan kata iman dan kafir. Dalam Q.S. Yusuf (12):103 dan al-Ra’du (13): 1, dikaitkan bahwa sebagian besar manusia itu tidak mengerti dan ada juga yang menyebutkan bahwa sebagian besar manusia itu tidak beriman. Ketika berserikat dalam kebaikan dengan mengutuk kekafiran atau menjadi utusan Allah, kata al-na>s disebut bersama dengan kata al-mala’ikah (alBaqara [2]: 161, Ali Imran [3]: 87, dan al-Hajj [22]:75). Tetapi kata al-nas berserikat dalam kejelekan, kejahatan, dan kekafiran yang kemudian masuk neraka Jahanam, maka kawan berserikatnya adalah dari golongan jin, al-jinnah (Q.S. Hud [11]: 119,32,13, dan al-Ikhlas [114]: 6). D. Kesimpulan Aisyah Bintu Syathi’ atau yang lebih dikenal dengan nama Bintu Syathi’ memiliki nama asli yaitu Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’, lahir di Dumyath sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913 M7. Aisyah Bintu Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh, Abdurrahman ayahnya adalah seorang guru teologi di daerahnya. 7 Aisyah bintu Syathi’, at-Tafsir al-Bayanli al-Quran al-Karim, Juz I, terj. Mudzakir Abdussalam, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009) 32 Metode penafsiran yang digunakan Bintu Syathi’ dalam menafsirkan ayat al-Quran yaitu: metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah8 yaitu metode mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan. Kata al-nas dipakai sebagai nama jenis yang berasal dari satu keturunan Adam dan umat yang satu. Kalau diteliti lebih lanjut dalam al-Mu’jam alMufahras li Alfaz al-Qur-an al-Karim, maka kita bisa menemukan paling tidak ada tujuh kata yang menyebut ummah wahidah atau umat satu. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Aisyah, Maqal al-Insan fi al-Qur’an: Dirasah Qur’aniyyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969) 8 Aisyah Abdurrahman bintu Syathi’, at-Tafsir al-Bayanli al-Quran al-Karim, Juz I, (Darul Ma’arif, 1962) 33 Abdurrahman Bintu Syathi’, Aisyah, al-Tafsir al-Bayani al-Quran al-Karim, Juz I, (Darul Ma’arif, 1962) Bintu Syathi’, Aisyah, al-Tafsir al-Bayani al-Quran al-Karim, Juz I, terj. Mudzakir Abdussalam, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009) Boullata, Issa J., “ Modern Qur’an Exegesis: A Study of Bint al-Shati’s Method,” The Muslim World, 1974. Jansen, J.J.G, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, Leiden: E.J. Brill, 1974. Rahman, ‘Aisyah ‘Abd al-, Manusia: Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief. Yogyakarta: LKPSM, 1997.