BAB 1 - Blog UB - Universitas Brawijaya

advertisement
MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI
(DAS)
Tugas Minggu ke-1
“Solusi Gangguan Fungsi-Fungsi DAS Brantas”
Dosen : Ir. Didik Suprayogo, MSc. PhD
Kelas : B
Disusun oleh:
Mulyasari Galuh Pradini
115040101111081
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
1
BAB 1
Potensi dan Manfaat Sumberdaya Alam bagi Masyarakat
Sumberdaya alam menyajikan berbagai manfaat yang penting bagi
kehidupan makhluk hidup. Sumber Daya Alam adalah semua kekayaan
bumi, baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia, misalnya: tumbuhan,
hewan, udara, air, tanah, bahan tambang, angin, cahaya matahari, dan
mikroba (jasad renik). Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam
yang berlimpah. Dari kekayaan di darat hingga kekayaan di lautnya.
Sumberdaya alam terbagi menjadi dua yaitu sumberdaya alam hayati
dan non hayati. Sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya alam yang
berasal dari makhluk hidup, contohnya peternakan, perkebunan, perikanan
dan pertanian. Sedangkan sumberdaya alam non hayati merupakan
suberdaya alam yang berasal dari makhluk tak hidup, contohnya bahan
tambang, bahan galian,air dan tanah.
DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah
dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan
pengatur aliran. Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan pengatur
air, sedangkan ekosistem hilir merupakan pemakai air. Hubungan antara
ekosistem-ekosistem ini menjadikan DAS sebagai satu kesatuan hidrologis.
Dari macam-macam sumberdaya alam tersebut, masing-masing
memiliki potensi yang bermanfaat bagi manusia baik yang hayati maupun
non hayati. Hingga perusahaan-perusahaan besar memanfaatkannya demi
memperoleh keuntungan lebih. Saat ini banyak sekali perusahaan asing
yang bergerak di bidang pengelolaan Sumber Daya Alam. Sebenarnya hal
ini berdampak positif bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah
tempat perusahaan tersebut beroperasi, karena dengan berdirinya suatu
perusahaan di daerah banyak penduduk, secara otomatis akan menyerap
banyak tenaga kerja yang berasal dari masyrakat sekitar perusahaan itu
sendiri. Dengan diserapnya tenaga kerja dalam jumlah besar, maka angka
pengangguran di daerah tersebut akan berkurang dan tingkat kemakmuran
serta taraf hidup masyarakat akan semakin meningkat, sehingga terciptalah
golongan masyarakat menengah ke atas atau bahkan golongan elit yang
secara tidak langsung akan berdampak positif pula bagi kemajuan ekonomi
dan pembangunan di daerah tersebut.
Namun, sering kali suatu perusahaan asing tersebut tidak memberikan
kesempatan lapangan pekerjaan kepada warga sekitar, tapi justru membawa
orang dari negaranya sendiri / perusahaan utama di negara asal perusahaan
asing tersebut untuk mengisi seluruh posisi dan tempat di perusahaan
tersebut, karena menganggap masyarakat sekitar tidak berkualitas dan
kurang mampu / kurang keahlian. Sering juga terjadi dimana suatu
perusahaan membuka lapangan kerja yang sangat luas kepada warga
sekitar tapi justru mengupah mereka dengan nilai yang sangat jauh dibawah
standar. Selain itu kelestarian ekosistem tak dihiraukan yang pada akhirnya
menimbulkan berbagai masalah yang berkaitan dengan kerusakan
lingkungan.
2
BAB 2
Permasalahan gangguan fungsi DAS
2.1. Fakta lapangan gangguan ekosistem DAS
Permasalahan utama dalam pembangunan pengelolaan DAS adalah
belum mantapnya institusi dan lemahnya sistem perencanaan yang
komprehensif. Meskipun upaya-upaya pengelolaan DAS di Indonesia telah
cukup lama dilaksanakan, namun karena kompleksitas masalah yang
dihadapi hasilnya belum mencapai yang diinginkan, terutama yang berkaitan
dengan pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagan masyarakat.
Kemiskinan sering dianggap sebagai salah satu penyebab kemerosotan
lingkungan dan dampak negatif dari pembangunan. Sebaliknya kemerosotan
daya dukung lingkungan dapat menjadi penyebab muncul dan
berkembangnya kemiskinan. Untuk mengatasi kemiskinan, pendekatan
harus dapat dilekatkan dalam berbagai program pembangunan, maupun
sebagai program yang khusus dan eksplisit.
Gangguan-gangguan ekosistem di sepanjang DAS Brantas tidaklah
sedikit. Penebangan hutan secara besar-besaran di daerah hulu yang
biasanya digunakan untuk pelebaran perumahan, pembangunan tempat
wisata, pembangunan villa justru merusak ekosistem DAS. Pemanfaatan
lahan yang tidak sesuai peruntukkannya mengakibatkan erosi berlebih dan
berkurangnya daerah resapan.
Limbah pabrik serta limbah rumah tangga yang seenaknya dibuang ke
sungai Brantas akan mengakibatkan kerusakan ekosistem. Zat kimia yang
berasal dari limbah pabrik akan dengan cepat mengkontaminasi air karena
air terus mengalir ke hilir. Sedangkan limbah rumah tangga berbahan plastik
akan sulit terurai sehingga akan menyumbat pintu-pintu air.
Cepatnya pertumbuhan penduduk mengakibatkan kebutuhan untuk
rumah tinggi di tengah sempitnya area khusus perumahan karena banyak
didirikan gedung-gedung perkantoran yang tak tanggung-tanggung luasnya.
Oleh karena itu, banyak warga yang terpaksa membuat rumah di bantaran
sungai meski tahu resiko yang dihadapinya.
Apabaila ada kegiatan di suatu DAS maka kegiatan tersebut dapat
mempengaruhi aliran air di bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Penebangan hutan secara sembarangan di bagian hulu suatu DAS
dapat mengganggu distribusi aliran sungai di bagian hilir. Pada musim hujan
air sungai akan terlalu banyak bahkan sering menimbulkan banjir tetapi pada
musim kemarau jumlah air sungai akan sangat sedikit atau bahkan kering.
Disamping itu kualitas air sungai pun menurun, karena sedimen yang
terangkut akibat meningkatnya erosi cukup banyak. Perubahan penggunaan
lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok pun dapat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir.
2.2. Dampak masalah terhadap masyarakat dan petani di daerah hulu DAS
Akibat penebangan hutan di DAS hulu, banjir bandang serta lonsor
mengancam setiap saat. Jika hal itu terjadi, petani yang bercocok tanam di
3
sekitar DAS Brantas akan mengalami kerugian besar bukan hanya itu saja,
harta benda juga akan sekejap mata hilang. Penambangan pasir
menyebabkan tepi Sungai Brantas longsor. Belum lagi ditambah dengan
semakin besarnya pembuangan limbah industri yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan, dimana pembuangan limbah langsung dialirkan ke
sungai Brantas.
2.3. Dampak masalah terhadap masyarakat daerah hilir DAS
Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian
hulu DAS menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah
(ground water) juga berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim
kemarau. Dengan demikian terlihat bahwa peristiwa banjir dan kekeringan
merupakan fenomena ikutan yang tidak terpisahkan dari peristiwa eropsi.
Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta bahan
organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau sungai
(Sinukaban 1981). Hal ini mengakibatkan terjadinya eutrofikasi berlebihan
dalam danau atau waduk sehingga memungkinkan perkembangan tananam
air menjadi lebih cepat dan pada akhirnya mempercepat pendangkalan dan
kerusakan waduk atau danau tersebut. Meningkatnya aktivitas
pertambangan dan pembanguan pabrik yang tidak diikuti dengan teknik
konservasi dan penanganan limbah yang memadai, akan meningkatkan
pencemaran yang luar biasa di bagian hilir.
Limbah kimia dari pabrik dapat mengakibatkan pencemaran air yang
dapat merugikan biota yang hidup di air maupn di darat. Manusia juga akan
terkena imbasnya. Efek buruk yang ditimbulkan dari pencemaran tersebut
yaitu merusak kesehatan manusia. Pembuangan sampah di sepanjang DAS
maupun langsung ke aliran Sungai Brantas bisa merugikan penduduk sekitar
dan di kawasan yang lebih rendah. Sampah yang menumpuk menimbulkan
bau busuk karena fermentasi, menjadi sarang serangga dan tikus, serta bisa
menimbulkan kebakaran karena adanya gas metana di tumpukan sampah.
Berkurangnya daerah resapan sepanjang DAS Brantas mengakibatkan
banjir di sekitar hilir saat musim penghujan dan kekeringan saat kemarau
karena daerah resapan yang semestinya digunakan untuk menyimpan air
berlebih sudah tidak ada. Penurunan infiltrasi akibat kerusakan DAS
mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run off) dan menurunnya
pengisian air bawah tanah (groundwateri) mengakibatkan meningkatnya
debit aliran sungai pada musim hujan secara drastis dan menurunnya debit
aliran pada musim kemarau. Pada keadaan kerusakan yang ekstrim akan
terjadi banjir besar di musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi kehilanghan air dalam jumlah besar di
musim hujan yaitu mengalirnya air ke laut dan hilangnya mata air di kaki
bukit akibat menurunnya permukaan air bawah tanah. Dengan perkataan
lain, pengelolaan DAS yang tidak memadai akan mengakibatkan rusaknya
sumberdaya air.
2.4. Analisis akar masalah secara komperhensif
4
Kesadaran warga sekitar akan pentingnya kelestarian SDA sepanjang
DAS Brantas masih rendah. Secara sektoral pengelolaan kom-ponen
ekosistem tidak menemui banyak masalah artinya mudah untuk
dilaksanakan, misalnya pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan
keserasian lingkungan. Akan tetapi apabila pengelolaan hutan dikaitkan juga
dengan pengelolaan komponen yang lain seperti, tanah, air dan kegiatan
masyarakat sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan masalah
lingkungan, maka penyelesaiannya menjadi tidak mudah. Oleh karena itu
keterkaitan diantara komponen tersebut harus dikaji lebih lanjut dan dirinci
untuk tiap-tiap komponen ekosistem.
Sasaran tersebut dapat dicapai apabila ada penataan ekosistem, dan
kegiatan ini tidak dilakukan pada pengelolaan sektoral. Seperti diketahui
bersama bahwa kondisi umum yang ada selama ini, konsep pembangungan
berkelanjutan hanyalah sebagai kebijaksanaan saja. Namun, di dalam
prakteknya justru pengelolaan sumberdaya alam yang tidak terkendali
dengan akibat kerusakan lingkungan yang dapat mengganggu kelestarian
alam.
5
BAB 3
Tinjauan Pustaka
3.1 Teknik Pengendalian Erosi
Usaha untuk mencegah dan atau mengendalikan erosi ,ada beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi seperti: faktor iklim, tanah,
bentuk wilayah(misalnya kemiringan), vegetasi penutup tanah dan kegiatan
manusia.
Prinsip-prinsip dari usaha pengendalian erosi yaitu memperbesar
resistensi permukaan tanah sehingga lapisan permukaan tanah tahan
terhadap pengaruh tumbukan butir-butir air hujan, memperbesar kapasitas
infiltrasi tanah, sehingga lajunay aliran permukaan dapat diredusir,
memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut aliran
permukaan terhadap partikel-partikel tanah dapt diperkecil atau direduksi
(Anonymousa,2013).
3.2 Teknik Pengelolaan Sedimentasi
Pengelolaan DAS memainkan peran penting untuk meminimalkan
sedimen yang masuk ke dalam waduk-waduk yang terdapat di dalam DAS.
DAS Brantas menghasilkan sedimen, terutama hasil dari letusan gunung
berapi yang aktif, yaitu Gunung Kelud. Menurut data sejak tahun 1000,
Gunung Kelud meletus rata-rata setiap 15 sampai 30 tahun. Sekitar 100-200
juta m3 lava yang mengalir di salah satu letusan, menyebabkan meningginya
dasar Sungai Brantas. Pada letusan terakhir tahun 1990, berakibat pada
Waduk Wlingi yang terletak di bagian tengah Sungai Brantas sudah hampir
sepenuhnya ditutupi oleh endapan sedimen yang berasal dari lereng selatan
Gunung. Kelud. Untuk menyelesaikan masalah ini, sedimen maka dibangun
perangkap sedimen. Bendungan-bendungan sabo di alur Sungai Konto dan
Lesti, yang terletak di hulu sungai Brantas, direncanakan akan direhabilitasi
atau dibangun untuk debit perangkap sedimen.
Terdapat 2 bendungan (Sengguruh dan Wlingi) dari 7 bendungan yang
terkena dampak sedimen akibat letusan gunung berapi (Gunung Kelud dan
Gunung Semeru). Untuk mengatasi masalah tersebut, di samping
pembangunan cek dam sebagaimana dimaksud dalam Master Plan, juga
dilakukan penggalian berkala (pengerukan) oleh PJT pada kedua
bendungan tersebut. Reboisasi dan penghijauan juga berlangsung dipimpin
oleh PJT untuk mengendalikan erosi dan sedimentasi.
Sedimentasi waduk tidak hanya diakibatkan oleh endapan gunung
meletus tetapi juga kerusakan pada daerah tangkapan hujan oleh
perambahan hutan, berkurangnya areal hutan di hulu Brantas akibat
penebangan lindungan dan pola pertanian yang tidak sesuai, serta pesatnya
pengembangan permukiman dan industri. Berdasarkan hasil perhitungan,
bangunan pengendali sedimen yang ada hanya dapat mengendalikan
sedimen yang terjadi sebesar 8% dari sedimen maksimum tahunan yang
keluar setelah letusan Gunung Kelud dan sisa kapasitas penyimpanan
sedimennya hampir sama dengan sedimen tahunan sungai yang keluar
6
pada kondisi normal. Tabel 6 menunjukkan luas lahan kritis di DAS Brantas
pada tahun 2007.
Berdasarkan data BP DAS Brantas, pada tahun 2006 telah dilakukan
berbagai upaya pembangunan pengelolaan DAS dan rehabilitasi hutan dan
lahan. Upaya-upaya tersebut sesungguhnya tidak hanya untuk tujuan terkait
pengendalian lahan kritis, tetapi juga upaya mempertahankan jumlah air
yang cukup termasuk pemberdayaan masyarakat yang tinggal di dalam
DAS, sehingga dapat terlihat dari bentuk-bentuk kegiatannya yang beragam
antara lain:
3.2.1. Pengelolaan hutan rakyat
Kegiatan pengelolaan hutan rakyat berupa Pembuatan Hutan
Rakyat / Kebun Rakyat, yaitu penanaman lahan kosong dan
pekarangan di luar kawasan hutan oleh masyarakat dengan jenis
tanaman keras, MPTS (Multi Purpose Trees Spesies), dan buahbuahan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh penutupan lahan
yang optimal untuk mengendalikan lahan kritis, menghasilkan kayu
bakar, kayu bangunan, untuk keperluan masyarakat lokal,
konservasi tanah, memperbaiki iklim mikro dan tata air serta
lingkungan.
Kegiatan pengembangan pengelolaan hutan rakyat ini,
merupakan usaha untuk mengelola hutan rakyat berdasarkan azas
kelestarian lingkungan dan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, penyediaan bahan baku industri, dan
peningkatan mutu lingkungan. Hutan Rakyat adalah hutan yang
dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 Ha dengan penutupan
tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih
dari 50 % dan/atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman
sebanyak minimal 500 tanaman per hektar (Keputusan Menteri
Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 tanggal 20 Januari 1997).
Usaha hutan rakyat dilakukan melalui unit-unit usaha. Satu unit
usaha merupakan unit pengelolaan usaha hutan rakyat yang terdiri
dari beberapa kelompok tani dengan luas lahan minimal 900 Ha.
Usaha hutan rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau
lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar kawasan hutan yang
memenuhi persyaratan untuk kegiatan hutan rakyat yang bertujuan
disamping untuk rehabilitasi lahan juga menghasilkan kayu rakyat
(Damayanti, 2013).
3.2.2. Pemanfaatan Lahan di Bawah Tegakan
Kegiatan pemanfaatan lahan di bawah tegakan yang telah
dilaksanakan antara lain :
a. Wanatani, yaitu pemanfaatan lahan untuk usaha pertanian
dan kehutanan dan/atau ternak yang secara ekologis, sosial dan
ekonomis , sehingga terjadi kesinambungan antara kedua usaha
tersebut. Oleh karena itu, Wanatani secara teknis dirancang dengan
mengatur pola tanam, jarak tanam (tanaman kehutanan), pergiliran
tanaman, pemilihan jenis tanaman komersial (tanaman pangan,
7
obat-obatan, hortikultura, kehutanan), waktu tanam, pemeliharaan
dan pemanenannya.
b. Wanafarma, yaitu kegiatan pemanfaatan lahan dengan
penanaman tumbuh-tumbuhan sebagai penghasil obat-obatan di
bawah tegakan hutan (Hutan Negara dan Hutan Rakyat), dengan
jenis tanaman produktif tertentu yang bertujuan memperkaya atau
meningkatkan nilai hutan secara ekonomis dan ekologis sehingga
berfungsi sebagai tumpangsari secara permanen.
Sasaran pengembangan Wanatani dan Wanafarma adalah
lokasi hutan (Hutan Negara atau Hutan Rakyat) yang diutamakan
wilayah yang mendapat tekanan sosial ekonomi tinggi, serta
wilayah lainnya dengan pertimbangan: kondisi Hutan Rakyat;
tingkat kesuburan tanah; kelerengan lahan dan; kondisi
masyarakatnya (Damayanti, 2013).
3.2.3. Pengembangan hutan mangrove
Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai adalah upaya
pembuatan tanaman hutan untuk memulihkan fungsi hutan
mangrove dan hutan pantai yang mengalami degradasi kepada
kondisi yang dianggap baik secara ekologis dan ekonomis. Hal ini
terkait erat dengan pengaturan fungsi DAS di bagian hilir.
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
bakau merupakan ekosistem hutan sehingga Pemerintah
bertanggungjawab dalam pengelolaannya.
Adapun yang dimaksud dengan Hutan Mangrove adalah suatu
formasi pohon-pohon yang tumbuh pada tanah Aluvial di daerah
pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air
laut dan dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis : Avicenniaspp (Apiapi), Soneratia spp (Pedada), Rhizophora spp (Bakau), Bruguiera
spp (Tanjang), Lumnitzera excoecaria (Tarumtum), Xylocarpus spp
(Nyirih), dan Nypa fruticans(Nipah). Hutan Mangrove merupakan
zona peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang
memiliki nilai penting untuk perlindungan pantai, penahanan
endapan lumpur dan fungsi keseimbangan lingkungan. Hutan
Mangrove ini juga merupakan hutan tropis yang hidup dan tumbuh
di sepanjang pantai berlumpur, atau lempung, atau gambut, atau
berpasir dan selalu digenangi oleh air laut secara berkala dan
mempunyai zona vegetasi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya
(Damayanti, 2013).
Sementara Hutan Pantai adalah suatu formasi pohon-pohon
yang tumbuh di tepi pantai dan berada di atas garis pasang
tertinggi. Jenis-jenis pohonnya antara lain : Casuarina equisetifolia
(Cemara Laut), Terminalia catappa (Ketapang), Hibiscus tiliaceus
(Waru), Cocos nucifera (Kelapa), dan Arthocarpus altilis (Nangka /
Cempedak) (Damayanti, 2013).
3.2.4. Reboisasi
8
Reboisasi adalah upaya pembuatan tanaman jenis pohon hutan
pada kawasan hutan rusak dan lahan kritis berupa lahan kosong /
terbuka, alang-alang, atau semak belukar dan hutan rawang untuk
mengembalikan fungsi hutan (Damayanti, 2013).
3.2.5. Penghijauan
Penghijauan dalam arti luas adalah upaya untuk memulihkan,
memelihara, dan menigkatkan kondisi lahan agar dapat berproduksi
dan berfungsi secara optimal, baik sebagai pengatur tata air
maupun sebagain pelindung lingkungan. Penghijauan Lingkungan
adalah
usaha
untuk
menghijaukan
lingkungan
dengan
melaksanakan penanaman di taman, jalur hijau, pemukiman,
perkantoran, dan lain-lain termasuk turus jalan yakni penghijauan
yang dilakukan di kiri kanan jalan (Damayanti, 2013).
3.2.6. Sabuk Hijau (Green Belt)
Sabuk Hijau (Green Belt) adalah hutan yang tumbuh pada
kawasan sekitar bendungan /waduk / danau pada daratan
sepanjang tepian danau / bendungan / waduk yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik bendungan / waduk /
danau. Pada kawasan ini tidak diperbolehkan melakukan
penebangan pohon dan melakukan pengolahan tanah (Damayanti,
2013).
3.2.7. Areal model budidaya buah atau getah
Pembuatan Areal Model Budidaya Buah atau Getah adalah
kegiatan penanaman lahan kosong dan pekarangan di luar
kawasan hutan oleh masyarakat dengan jenis tanaman MPTS (Multi
Purpose Trees Spesies) dan buah-buahan. Tujuan kegiatan ini
untuk memperoleh penutupan lahan yang optimal untuk
mengendalikan lahan kritis, kayu bangunan untuk keperluan
masyarakat local, konservasi tanah, memperbaiki iklim mikro dan
tata air serta lingkungan (Damayanti, 2013).
3.2.8. Kebun Bibit Desa (KBD)
Kebun Bibit Desa adalah unit persemaian yang tidak permanen
yang dibuat untuk menyediakan bibit dalam pecan penghijauan di
sekitar desa lokasi kegiatan. Kebun Bibit Desa ini dikelola oleh
kelompok tani pelaksana penghijauan / pembangunan hutan /
kebun rakyat. Untuk 1 (satu) unit Kebun Bibit Desa mempunyai luas
0,25 Ha (Damayanti, 2013).
3.2.9. Hutan kota
Hutan Kota adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
yang bertumbuhan pohon-pohonan yang kompak dan rapat di
dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah
9
hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh Pejabat yang
berwenang (Damayanti, 2013).
3.2.10. Dam pengendali (Dpi)
Dam Pengendali adalah bendungan kecil untuk menampung air
dan sedimen dengan konstruksi yang sederhana. Manfaat dari Dam
Pengendali ini adalah sebagai pengendali banjir dan sedimentasi,
meningkatkan infiltrasi, dan sebagai sumber air bagi masyarakat
dan perikanan (Damayanti, 2013).
3.2.11. Dam penahan (Dpn)
Dam Penahan adalah bendungan kecil yang hanya
menampung sedimen dengan konstruksi bronjong batu atau trucuk
kayu / bambu. Manfaatnya adalah sebagai pengendali sediment
dan aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi (Damayanti,
2013).
3.2.12. Sumur resapan
Sumur resapan adalah bangunan yang menyerupai sumur gali
dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat
menampung air hujan yang jatuh dari atas atap rumah atau daerah
kedap air lainnya dan meresapkannya ke dalam tanah. Sumur ini
bermanfaat untuk meningkatkan kandungan air tanah dan
mengurangi jumlah aliran permukaan yang dapat mengakibatkan
banjir (Damayanti, 2013).
3.2.13. Gully plug
Gully Plug (Bangunan Pengendali Jurang) adalah bendungan
kecil yang lolos air yang dibuat pada parit-parit melintang alur parit
dengan konstruksi batu, kayu, atau bambu. Gully plug ini dibangun
pada lahan iritis dan potencial iritis, kemiringan > 30 % dan terjadi
erosi parit / alur, sedimentasi dan curah hujan yang tinggi,
pengelolaan lahan sangat intensif atau lahan terbuka, serta
kemiringan alur maksimal 5 % (Damayanti, 2013).
10
BAB 4
Rencana Aksi Manajemen DAS
4.1 Pihak – pihak yang berkepentingan dalam Pengelolaan DAS
Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS telah dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum,
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Pertanian,
Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Departemen Pertambangan
dan Energi dan pihakpihak lainnya. Masing-masing instansi mempunyai
pendekatan yang berbeda dalam kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit
perencanaan maupun implementasinya sehingga dapat dikatakan bahwa
pengelolaan DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik ditinjau dari
banyaknya pihak yang terlibat maupun aspek-aspek yang ada di dalam
suatu DAS. Dengan kondisi yang demikian maka dibutuhkan suatu sistem
yang dapat menciptakan percepatan dalam pengelolaan DAS secara ideal.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat
sektoral, dan oleh karenanya, seringkali terjadi tabrakan kepentingan
(conflict of interest) antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan, diperlukan klarifikasi
dan identifikasi secara jelas tugas dan wewenang masing-masing lembaga
dalam menjalankan fungsinya. Selain masalah tabrakan kepentingan,
masalah lain yang umum terjadi dalam pengelolaan sumberdaya yang
melibatkan banyak lembaga adalah masalah kerjasama dan koordinasi antar
lembaga. Oleh karena itu, pengaturan kelembagaan dan regulasi yang
mengatur mekanisme kerja antar lembaga tersebut harus disiapkan dengan
matang sehingga dapat menghasilkan pola kerjasama dan koordinasi yang
optimal.
Menyadari adanya keterbatasan dalam hal kapasitas kelembagaan dan
besarnya tingkat kesulitan dalam melaksanakan pengaturan kelembagaan
dalam pengelolaan DAS, terutama dalam sistem pengelolaan yang
mengandalkan pada pola kerjasama dan koordinasi antar lembaga, maka
hal pertama yang perlu dilakukan adalah:
Melakukan identifikasi dan membuat daftar seluruh lembaga dan pihak
yang berkepentingan dalam pelaksanaan pengelolaan DAS termasuk
mereka yang diprakirakan akan terkena dampak atas pelaksanaan program
pengelolaan DAS. Melakukan identifikasi tugas dan wewenang masingmasing lembaga dan pihak – pihak yang berkepentingan tersebut.
Merumuskan bentuk lembaga atau badan pengelola DAS yang sesuai
dengan karakteristik biogeofisik dan sosekbud serta letak geografis DAS.
4.2 Wilayah Tanggungjawab Lembaga-Lembaga yang Terkait
Pelaksanaan pengelolaan DAS lazimnya melibatkan lebih dari satu
lembaga (pemerintah dan non-pemerintah) pelaksana. Untuk masing-masing
lembaga (pemerintah) di dalamnya terbagi lagi menjadi direktorat-direktorat
yang mempunyai kewenangannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam
perencanaan pengelolaan DAS harus secara jelas disebutkan fungsi pokok
termasuk kewenangan dan tanggung jawab masing-masing organisasi
11
pelaksana pengelolaan DAS. Secara spesifik, peran masing-masing
organisasi/lembaga tersebut dalam implementasi program pengelolaan DAS
termasuk kegiatan monitoring dan evaluasi harus secara jelas disebutkan.
Penetapan kewenangan bagi masing-masing organisasi/lembaga
pengelola DAS tersebut harus didasarkan pada fungsi masing-masing
organisasi/lembaga. Hal ini penting untuk diperhatikan karena dalam
prakteknya masalah kewenangan antar lembaga ini seringkali tumpangtindih dan menjadi kendala bagi pengelolaan DAS yang pelaksanaannya
banyak menggunakan mekanisme koordinasi antar lembaga.
Dalam pengelolaan DAS, ada lembaga tertentu memiliki tanggung jawab
khusus untuk suatu wilayah pengelolaan, misalnya pengurusan konservasi
tanah dan air di areal hutan menjadi tanggung jawab Departemen
Kehutanan dan Perkebunan (c.q. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi
Tanah). Konservasi tanah dan air di lahan-lahan milik di lokasi yang
berdekatan dengan hutan menjadi tanggung jawab Departemen Dalam
Negeri (Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah). Demikian pula,
pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam satu atau lebih
departemen dapat berbeda-beda, misalnya ada bagian yang menangani
irigasi, pengendalian banjir, pembangkit listrik tenaga air (hydropower),
perikanan, pariwisata, dan seterusnya.
Misalnya, dalam program pengelolaan DAS akan dilaksanakan kegiatankegiatan pembuatan jalan, dam pengendali sedimen, pembuatan reservoir
untuk perikanan atau pariwisata, saluran irigasi, penghijauan, dan
seterusnya. Tampak bahwa kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS tersebut di
atas akan melibatkan lebih dari satu lembaga/ departemen, dan dengan
demikian, juga kewenangan dan tanggung jawabnya. Oleh karenanya,
penetapan kewenangan yang didasarkan pada fungsi dari masing-masing
lembaga/departemen dan/atau masing-masing direktorat dalam satu
departemen menjadi penting. Tidak kalah pentingnya adalah mengupayakan
bentuk dan mekanisme koordinasi dan kooperasi yang dapat disepakati oleh
seluruh pihak – pihak yang berkepentingan, baik pada tingkat lokal, regional,
dan nasional. Meskipun disadari bahwa masalah koordinasi dan kooperasi
antar lembaga tidak mudah untuk dilaksanakan, butir-butir tersebut di bawah
ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan aspek koordinasi dan kooperasi antar lembaga.
Identifikasi seluruh lembaga/organisasi yang akan dipengaruhi dan
sekaligus memainkan peran dalam program pengelolaan DAS. Identifikasi
wilayah kewenangan masing- masing lembaga/ organisasi tersebut pada
butir Tentukan suatu mekanisme koordinasi dan kooperasi antar lembaga
pengelola DAS yang bersifat menyeluruh dari hulu hingga hilir DAS serta
mencakup keseluruhan lembaga/organisasi yang terlibat dalam pengelolaan
DAS termasuk kewenangan masingmasing lembaga/organisasi berdasarkan
fungsinya. Nyatakan dengan jelas tanggung jawab (termasuk aspek
finansial) masing-masing lembaga/organisasi terhadap masing-masing
komponen program pengelolaan DAS.
12
BAB 5
Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berbagai kendala di lapangan yang dihadapi pengelola kawasan lindung
di Sub DAS Brantas Hulu ini masih berkutat pada masalah kemanan hutan
seperti penebangan liar, perambahan kawasan hutan oleh masyarakat
menjadi lahan garapan, pengambilan hasil hutan non kayu secara illegal,
perburuan satwa dan kebakaran hutan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kondisi ekosistem di daerah hulu sangat rentan terhadap berbagai gangguan
yang menyebabkan kerusakan pada vegetasi hutan. Kondisi ini akan
berdampak pada daerah hilir berupa bahaya banjir dan kekeringan di musim
kemarau akibat rendahnya kontinyuitas ketersediaan air.
5.2 Saran
Dengan semakin tingginya pemahaman akan fungsi hutan sebagai
daerah resapan air hendaknya perhatian lebih difokuskan pada tata guna
lahan di wilayah hulu. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan
timbulnya masalah, benturan atau persaingan antar kegiatan dalam suatu
DAS, diperlukan suatu rencana pengembangan yang komprehensif dan
terpadu. Betapa pun sukarnya penyusunan rencana ini, hanya dengan cara
inilah tujuan kegiatan tersebut dapat dicapai, tanpa atau dengan benturan
yang minimal. Di dalam perencanaan yang demikian, berbagai aspek yang
mempengaruhi pengelolaan DAS seperti sifat tanah, karakteristik hidrologi
DAS, potensi yang dapat dikembangkan guna memberikan kontribusi di
bidang: pangan, industri , pertambangan, penyediaaan air untuk irigasi,
industri dan air minum, maupun kemungkinan terjadinya banjir, erosi,
sedimentasi dan lainnya, harus diperhitungkan. Demikian pula dengan
faktor sosial ekonomi seperti kependudukan, tingkat pendapatan, pemasaran
hasil, kelembagaan, pelayanan di bidang pendidikan dan sebagainya juga
perlu diperhatikan.
13
Lampiran
Gambar 1. Pembuangan Sampah di Sungai
Gambar 2. Alih fungsi DAS
menjadi Pemukiman
Gambar 3. Penebangan Hutan
Gambar 4. Alih fungsi DAS
menjadi gedung-gedung
bertingkat
Gambar 5. Penambangan Pasir Liar
14
DAFTAR PUSTAKA
Anonymousa, 2013.http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/metode-vegetatifpada-konservasi-tanah.html. Diakses tanggal 20 Februari 2013.
Damayanti,
2013.http://staff.blog.ui.ac.id/astrid.damayanti/2012/01/13/strategidan-implementasi-pengelolaan-terpadu-das-brantas/. Diakses tanggal 19
Februari 2013.
Sinukaban,
2013.
http://sinukaban.blogspot.com/DAS-dan-Pengelolaannya(2)_BebasBanjir2015/. Diakses tanggal 19 Februari 2013.
15
Download