MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) Tugas Minggu ke-1 “Solusi Gangguan Fungsi-Fungsi DAS Brantas” Dosen : Ir. Didik Suprayogo, MSc. PhD Kelas : B Disusun oleh: Mulyasari Galuh Pradini 115040101111081 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 1 BAB 1 Potensi dan Manfaat Sumberdaya Alam bagi Masyarakat Sumberdaya alam menyajikan berbagai manfaat yang penting bagi kehidupan makhluk hidup. Sumber Daya Alam adalah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia, misalnya: tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan tambang, angin, cahaya matahari, dan mikroba (jasad renik). Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang berlimpah. Dari kekayaan di darat hingga kekayaan di lautnya. Sumberdaya alam terbagi menjadi dua yaitu sumberdaya alam hayati dan non hayati. Sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya alam yang berasal dari makhluk hidup, contohnya peternakan, perkebunan, perikanan dan pertanian. Sedangkan sumberdaya alam non hayati merupakan suberdaya alam yang berasal dari makhluk tak hidup, contohnya bahan tambang, bahan galian,air dan tanah. DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem hilir merupakan pemakai air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem ini menjadikan DAS sebagai satu kesatuan hidrologis. Dari macam-macam sumberdaya alam tersebut, masing-masing memiliki potensi yang bermanfaat bagi manusia baik yang hayati maupun non hayati. Hingga perusahaan-perusahaan besar memanfaatkannya demi memperoleh keuntungan lebih. Saat ini banyak sekali perusahaan asing yang bergerak di bidang pengelolaan Sumber Daya Alam. Sebenarnya hal ini berdampak positif bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah tempat perusahaan tersebut beroperasi, karena dengan berdirinya suatu perusahaan di daerah banyak penduduk, secara otomatis akan menyerap banyak tenaga kerja yang berasal dari masyrakat sekitar perusahaan itu sendiri. Dengan diserapnya tenaga kerja dalam jumlah besar, maka angka pengangguran di daerah tersebut akan berkurang dan tingkat kemakmuran serta taraf hidup masyarakat akan semakin meningkat, sehingga terciptalah golongan masyarakat menengah ke atas atau bahkan golongan elit yang secara tidak langsung akan berdampak positif pula bagi kemajuan ekonomi dan pembangunan di daerah tersebut. Namun, sering kali suatu perusahaan asing tersebut tidak memberikan kesempatan lapangan pekerjaan kepada warga sekitar, tapi justru membawa orang dari negaranya sendiri / perusahaan utama di negara asal perusahaan asing tersebut untuk mengisi seluruh posisi dan tempat di perusahaan tersebut, karena menganggap masyarakat sekitar tidak berkualitas dan kurang mampu / kurang keahlian. Sering juga terjadi dimana suatu perusahaan membuka lapangan kerja yang sangat luas kepada warga sekitar tapi justru mengupah mereka dengan nilai yang sangat jauh dibawah standar. Selain itu kelestarian ekosistem tak dihiraukan yang pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan. 2 BAB 2 Permasalahan gangguan fungsi DAS 2.1. Fakta lapangan gangguan ekosistem DAS Permasalahan utama dalam pembangunan pengelolaan DAS adalah belum mantapnya institusi dan lemahnya sistem perencanaan yang komprehensif. Meskipun upaya-upaya pengelolaan DAS di Indonesia telah cukup lama dilaksanakan, namun karena kompleksitas masalah yang dihadapi hasilnya belum mencapai yang diinginkan, terutama yang berkaitan dengan pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagan masyarakat. Kemiskinan sering dianggap sebagai salah satu penyebab kemerosotan lingkungan dan dampak negatif dari pembangunan. Sebaliknya kemerosotan daya dukung lingkungan dapat menjadi penyebab muncul dan berkembangnya kemiskinan. Untuk mengatasi kemiskinan, pendekatan harus dapat dilekatkan dalam berbagai program pembangunan, maupun sebagai program yang khusus dan eksplisit. Gangguan-gangguan ekosistem di sepanjang DAS Brantas tidaklah sedikit. Penebangan hutan secara besar-besaran di daerah hulu yang biasanya digunakan untuk pelebaran perumahan, pembangunan tempat wisata, pembangunan villa justru merusak ekosistem DAS. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukkannya mengakibatkan erosi berlebih dan berkurangnya daerah resapan. Limbah pabrik serta limbah rumah tangga yang seenaknya dibuang ke sungai Brantas akan mengakibatkan kerusakan ekosistem. Zat kimia yang berasal dari limbah pabrik akan dengan cepat mengkontaminasi air karena air terus mengalir ke hilir. Sedangkan limbah rumah tangga berbahan plastik akan sulit terurai sehingga akan menyumbat pintu-pintu air. Cepatnya pertumbuhan penduduk mengakibatkan kebutuhan untuk rumah tinggi di tengah sempitnya area khusus perumahan karena banyak didirikan gedung-gedung perkantoran yang tak tanggung-tanggung luasnya. Oleh karena itu, banyak warga yang terpaksa membuat rumah di bantaran sungai meski tahu resiko yang dihadapinya. Apabaila ada kegiatan di suatu DAS maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi aliran air di bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penebangan hutan secara sembarangan di bagian hulu suatu DAS dapat mengganggu distribusi aliran sungai di bagian hilir. Pada musim hujan air sungai akan terlalu banyak bahkan sering menimbulkan banjir tetapi pada musim kemarau jumlah air sungai akan sangat sedikit atau bahkan kering. Disamping itu kualitas air sungai pun menurun, karena sedimen yang terangkut akibat meningkatnya erosi cukup banyak. Perubahan penggunaan lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok pun dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir. 2.2. Dampak masalah terhadap masyarakat dan petani di daerah hulu DAS Akibat penebangan hutan di DAS hulu, banjir bandang serta lonsor mengancam setiap saat. Jika hal itu terjadi, petani yang bercocok tanam di 3 sekitar DAS Brantas akan mengalami kerugian besar bukan hanya itu saja, harta benda juga akan sekejap mata hilang. Penambangan pasir menyebabkan tepi Sungai Brantas longsor. Belum lagi ditambah dengan semakin besarnya pembuangan limbah industri yang dilakukan oleh beberapa perusahaan, dimana pembuangan limbah langsung dialirkan ke sungai Brantas. 2.3. Dampak masalah terhadap masyarakat daerah hilir DAS Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian terlihat bahwa peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang tidak terpisahkan dari peristiwa eropsi. Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau sungai (Sinukaban 1981). Hal ini mengakibatkan terjadinya eutrofikasi berlebihan dalam danau atau waduk sehingga memungkinkan perkembangan tananam air menjadi lebih cepat dan pada akhirnya mempercepat pendangkalan dan kerusakan waduk atau danau tersebut. Meningkatnya aktivitas pertambangan dan pembanguan pabrik yang tidak diikuti dengan teknik konservasi dan penanganan limbah yang memadai, akan meningkatkan pencemaran yang luar biasa di bagian hilir. Limbah kimia dari pabrik dapat mengakibatkan pencemaran air yang dapat merugikan biota yang hidup di air maupn di darat. Manusia juga akan terkena imbasnya. Efek buruk yang ditimbulkan dari pencemaran tersebut yaitu merusak kesehatan manusia. Pembuangan sampah di sepanjang DAS maupun langsung ke aliran Sungai Brantas bisa merugikan penduduk sekitar dan di kawasan yang lebih rendah. Sampah yang menumpuk menimbulkan bau busuk karena fermentasi, menjadi sarang serangga dan tikus, serta bisa menimbulkan kebakaran karena adanya gas metana di tumpukan sampah. Berkurangnya daerah resapan sepanjang DAS Brantas mengakibatkan banjir di sekitar hilir saat musim penghujan dan kekeringan saat kemarau karena daerah resapan yang semestinya digunakan untuk menyimpan air berlebih sudah tidak ada. Penurunan infiltrasi akibat kerusakan DAS mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run off) dan menurunnya pengisian air bawah tanah (groundwateri) mengakibatkan meningkatnya debit aliran sungai pada musim hujan secara drastis dan menurunnya debit aliran pada musim kemarau. Pada keadaan kerusakan yang ekstrim akan terjadi banjir besar di musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi kehilanghan air dalam jumlah besar di musim hujan yaitu mengalirnya air ke laut dan hilangnya mata air di kaki bukit akibat menurunnya permukaan air bawah tanah. Dengan perkataan lain, pengelolaan DAS yang tidak memadai akan mengakibatkan rusaknya sumberdaya air. 2.4. Analisis akar masalah secara komperhensif 4 Kesadaran warga sekitar akan pentingnya kelestarian SDA sepanjang DAS Brantas masih rendah. Secara sektoral pengelolaan kom-ponen ekosistem tidak menemui banyak masalah artinya mudah untuk dilaksanakan, misalnya pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan keserasian lingkungan. Akan tetapi apabila pengelolaan hutan dikaitkan juga dengan pengelolaan komponen yang lain seperti, tanah, air dan kegiatan masyarakat sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan masalah lingkungan, maka penyelesaiannya menjadi tidak mudah. Oleh karena itu keterkaitan diantara komponen tersebut harus dikaji lebih lanjut dan dirinci untuk tiap-tiap komponen ekosistem. Sasaran tersebut dapat dicapai apabila ada penataan ekosistem, dan kegiatan ini tidak dilakukan pada pengelolaan sektoral. Seperti diketahui bersama bahwa kondisi umum yang ada selama ini, konsep pembangungan berkelanjutan hanyalah sebagai kebijaksanaan saja. Namun, di dalam prakteknya justru pengelolaan sumberdaya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang dapat mengganggu kelestarian alam. 5 BAB 3 Tinjauan Pustaka 3.1 Teknik Pengendalian Erosi Usaha untuk mencegah dan atau mengendalikan erosi ,ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi seperti: faktor iklim, tanah, bentuk wilayah(misalnya kemiringan), vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia. Prinsip-prinsip dari usaha pengendalian erosi yaitu memperbesar resistensi permukaan tanah sehingga lapisan permukaan tanah tahan terhadap pengaruh tumbukan butir-butir air hujan, memperbesar kapasitas infiltrasi tanah, sehingga lajunay aliran permukaan dapat diredusir, memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut aliran permukaan terhadap partikel-partikel tanah dapt diperkecil atau direduksi (Anonymousa,2013). 3.2 Teknik Pengelolaan Sedimentasi Pengelolaan DAS memainkan peran penting untuk meminimalkan sedimen yang masuk ke dalam waduk-waduk yang terdapat di dalam DAS. DAS Brantas menghasilkan sedimen, terutama hasil dari letusan gunung berapi yang aktif, yaitu Gunung Kelud. Menurut data sejak tahun 1000, Gunung Kelud meletus rata-rata setiap 15 sampai 30 tahun. Sekitar 100-200 juta m3 lava yang mengalir di salah satu letusan, menyebabkan meningginya dasar Sungai Brantas. Pada letusan terakhir tahun 1990, berakibat pada Waduk Wlingi yang terletak di bagian tengah Sungai Brantas sudah hampir sepenuhnya ditutupi oleh endapan sedimen yang berasal dari lereng selatan Gunung. Kelud. Untuk menyelesaikan masalah ini, sedimen maka dibangun perangkap sedimen. Bendungan-bendungan sabo di alur Sungai Konto dan Lesti, yang terletak di hulu sungai Brantas, direncanakan akan direhabilitasi atau dibangun untuk debit perangkap sedimen. Terdapat 2 bendungan (Sengguruh dan Wlingi) dari 7 bendungan yang terkena dampak sedimen akibat letusan gunung berapi (Gunung Kelud dan Gunung Semeru). Untuk mengatasi masalah tersebut, di samping pembangunan cek dam sebagaimana dimaksud dalam Master Plan, juga dilakukan penggalian berkala (pengerukan) oleh PJT pada kedua bendungan tersebut. Reboisasi dan penghijauan juga berlangsung dipimpin oleh PJT untuk mengendalikan erosi dan sedimentasi. Sedimentasi waduk tidak hanya diakibatkan oleh endapan gunung meletus tetapi juga kerusakan pada daerah tangkapan hujan oleh perambahan hutan, berkurangnya areal hutan di hulu Brantas akibat penebangan lindungan dan pola pertanian yang tidak sesuai, serta pesatnya pengembangan permukiman dan industri. Berdasarkan hasil perhitungan, bangunan pengendali sedimen yang ada hanya dapat mengendalikan sedimen yang terjadi sebesar 8% dari sedimen maksimum tahunan yang keluar setelah letusan Gunung Kelud dan sisa kapasitas penyimpanan sedimennya hampir sama dengan sedimen tahunan sungai yang keluar 6 pada kondisi normal. Tabel 6 menunjukkan luas lahan kritis di DAS Brantas pada tahun 2007. Berdasarkan data BP DAS Brantas, pada tahun 2006 telah dilakukan berbagai upaya pembangunan pengelolaan DAS dan rehabilitasi hutan dan lahan. Upaya-upaya tersebut sesungguhnya tidak hanya untuk tujuan terkait pengendalian lahan kritis, tetapi juga upaya mempertahankan jumlah air yang cukup termasuk pemberdayaan masyarakat yang tinggal di dalam DAS, sehingga dapat terlihat dari bentuk-bentuk kegiatannya yang beragam antara lain: 3.2.1. Pengelolaan hutan rakyat Kegiatan pengelolaan hutan rakyat berupa Pembuatan Hutan Rakyat / Kebun Rakyat, yaitu penanaman lahan kosong dan pekarangan di luar kawasan hutan oleh masyarakat dengan jenis tanaman keras, MPTS (Multi Purpose Trees Spesies), dan buahbuahan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh penutupan lahan yang optimal untuk mengendalikan lahan kritis, menghasilkan kayu bakar, kayu bangunan, untuk keperluan masyarakat lokal, konservasi tanah, memperbaiki iklim mikro dan tata air serta lingkungan. Kegiatan pengembangan pengelolaan hutan rakyat ini, merupakan usaha untuk mengelola hutan rakyat berdasarkan azas kelestarian lingkungan dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penyediaan bahan baku industri, dan peningkatan mutu lingkungan. Hutan Rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 Ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50 % dan/atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar (Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 tanggal 20 Januari 1997). Usaha hutan rakyat dilakukan melalui unit-unit usaha. Satu unit usaha merupakan unit pengelolaan usaha hutan rakyat yang terdiri dari beberapa kelompok tani dengan luas lahan minimal 900 Ha. Usaha hutan rakyat dapat dikembangkan pada lahan milik atau lahan yang dibebani hak-hak lainnya di luar kawasan hutan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan hutan rakyat yang bertujuan disamping untuk rehabilitasi lahan juga menghasilkan kayu rakyat (Damayanti, 2013). 3.2.2. Pemanfaatan Lahan di Bawah Tegakan Kegiatan pemanfaatan lahan di bawah tegakan yang telah dilaksanakan antara lain : a. Wanatani, yaitu pemanfaatan lahan untuk usaha pertanian dan kehutanan dan/atau ternak yang secara ekologis, sosial dan ekonomis , sehingga terjadi kesinambungan antara kedua usaha tersebut. Oleh karena itu, Wanatani secara teknis dirancang dengan mengatur pola tanam, jarak tanam (tanaman kehutanan), pergiliran tanaman, pemilihan jenis tanaman komersial (tanaman pangan, 7 obat-obatan, hortikultura, kehutanan), waktu tanam, pemeliharaan dan pemanenannya. b. Wanafarma, yaitu kegiatan pemanfaatan lahan dengan penanaman tumbuh-tumbuhan sebagai penghasil obat-obatan di bawah tegakan hutan (Hutan Negara dan Hutan Rakyat), dengan jenis tanaman produktif tertentu yang bertujuan memperkaya atau meningkatkan nilai hutan secara ekonomis dan ekologis sehingga berfungsi sebagai tumpangsari secara permanen. Sasaran pengembangan Wanatani dan Wanafarma adalah lokasi hutan (Hutan Negara atau Hutan Rakyat) yang diutamakan wilayah yang mendapat tekanan sosial ekonomi tinggi, serta wilayah lainnya dengan pertimbangan: kondisi Hutan Rakyat; tingkat kesuburan tanah; kelerengan lahan dan; kondisi masyarakatnya (Damayanti, 2013). 3.2.3. Pengembangan hutan mangrove Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai adalah upaya pembuatan tanaman hutan untuk memulihkan fungsi hutan mangrove dan hutan pantai yang mengalami degradasi kepada kondisi yang dianggap baik secara ekologis dan ekonomis. Hal ini terkait erat dengan pengaturan fungsi DAS di bagian hilir. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan bakau merupakan ekosistem hutan sehingga Pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaannya. Adapun yang dimaksud dengan Hutan Mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada tanah Aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis : Avicenniaspp (Apiapi), Soneratia spp (Pedada), Rhizophora spp (Bakau), Bruguiera spp (Tanjang), Lumnitzera excoecaria (Tarumtum), Xylocarpus spp (Nyirih), dan Nypa fruticans(Nipah). Hutan Mangrove merupakan zona peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang memiliki nilai penting untuk perlindungan pantai, penahanan endapan lumpur dan fungsi keseimbangan lingkungan. Hutan Mangrove ini juga merupakan hutan tropis yang hidup dan tumbuh di sepanjang pantai berlumpur, atau lempung, atau gambut, atau berpasir dan selalu digenangi oleh air laut secara berkala dan mempunyai zona vegetasi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya (Damayanti, 2013). Sementara Hutan Pantai adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh di tepi pantai dan berada di atas garis pasang tertinggi. Jenis-jenis pohonnya antara lain : Casuarina equisetifolia (Cemara Laut), Terminalia catappa (Ketapang), Hibiscus tiliaceus (Waru), Cocos nucifera (Kelapa), dan Arthocarpus altilis (Nangka / Cempedak) (Damayanti, 2013). 3.2.4. Reboisasi 8 Reboisasi adalah upaya pembuatan tanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak dan lahan kritis berupa lahan kosong / terbuka, alang-alang, atau semak belukar dan hutan rawang untuk mengembalikan fungsi hutan (Damayanti, 2013). 3.2.5. Penghijauan Penghijauan dalam arti luas adalah upaya untuk memulihkan, memelihara, dan menigkatkan kondisi lahan agar dapat berproduksi dan berfungsi secara optimal, baik sebagai pengatur tata air maupun sebagain pelindung lingkungan. Penghijauan Lingkungan adalah usaha untuk menghijaukan lingkungan dengan melaksanakan penanaman di taman, jalur hijau, pemukiman, perkantoran, dan lain-lain termasuk turus jalan yakni penghijauan yang dilakukan di kiri kanan jalan (Damayanti, 2013). 3.2.6. Sabuk Hijau (Green Belt) Sabuk Hijau (Green Belt) adalah hutan yang tumbuh pada kawasan sekitar bendungan /waduk / danau pada daratan sepanjang tepian danau / bendungan / waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik bendungan / waduk / danau. Pada kawasan ini tidak diperbolehkan melakukan penebangan pohon dan melakukan pengolahan tanah (Damayanti, 2013). 3.2.7. Areal model budidaya buah atau getah Pembuatan Areal Model Budidaya Buah atau Getah adalah kegiatan penanaman lahan kosong dan pekarangan di luar kawasan hutan oleh masyarakat dengan jenis tanaman MPTS (Multi Purpose Trees Spesies) dan buah-buahan. Tujuan kegiatan ini untuk memperoleh penutupan lahan yang optimal untuk mengendalikan lahan kritis, kayu bangunan untuk keperluan masyarakat local, konservasi tanah, memperbaiki iklim mikro dan tata air serta lingkungan (Damayanti, 2013). 3.2.8. Kebun Bibit Desa (KBD) Kebun Bibit Desa adalah unit persemaian yang tidak permanen yang dibuat untuk menyediakan bibit dalam pecan penghijauan di sekitar desa lokasi kegiatan. Kebun Bibit Desa ini dikelola oleh kelompok tani pelaksana penghijauan / pembangunan hutan / kebun rakyat. Untuk 1 (satu) unit Kebun Bibit Desa mempunyai luas 0,25 Ha (Damayanti, 2013). 3.2.9. Hutan kota Hutan Kota adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan yang bertumbuhan pohon-pohonan yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah 9 hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh Pejabat yang berwenang (Damayanti, 2013). 3.2.10. Dam pengendali (Dpi) Dam Pengendali adalah bendungan kecil untuk menampung air dan sedimen dengan konstruksi yang sederhana. Manfaat dari Dam Pengendali ini adalah sebagai pengendali banjir dan sedimentasi, meningkatkan infiltrasi, dan sebagai sumber air bagi masyarakat dan perikanan (Damayanti, 2013). 3.2.11. Dam penahan (Dpn) Dam Penahan adalah bendungan kecil yang hanya menampung sedimen dengan konstruksi bronjong batu atau trucuk kayu / bambu. Manfaatnya adalah sebagai pengendali sediment dan aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi (Damayanti, 2013). 3.2.12. Sumur resapan Sumur resapan adalah bangunan yang menyerupai sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh dari atas atap rumah atau daerah kedap air lainnya dan meresapkannya ke dalam tanah. Sumur ini bermanfaat untuk meningkatkan kandungan air tanah dan mengurangi jumlah aliran permukaan yang dapat mengakibatkan banjir (Damayanti, 2013). 3.2.13. Gully plug Gully Plug (Bangunan Pengendali Jurang) adalah bendungan kecil yang lolos air yang dibuat pada parit-parit melintang alur parit dengan konstruksi batu, kayu, atau bambu. Gully plug ini dibangun pada lahan iritis dan potencial iritis, kemiringan > 30 % dan terjadi erosi parit / alur, sedimentasi dan curah hujan yang tinggi, pengelolaan lahan sangat intensif atau lahan terbuka, serta kemiringan alur maksimal 5 % (Damayanti, 2013). 10 BAB 4 Rencana Aksi Manajemen DAS 4.1 Pihak – pihak yang berkepentingan dalam Pengelolaan DAS Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan dengan pengelolaan DAS telah dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Departemen Pertambangan dan Energi dan pihakpihak lainnya. Masing-masing instansi mempunyai pendekatan yang berbeda dalam kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit perencanaan maupun implementasinya sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik ditinjau dari banyaknya pihak yang terlibat maupun aspek-aspek yang ada di dalam suatu DAS. Dengan kondisi yang demikian maka dibutuhkan suatu sistem yang dapat menciptakan percepatan dalam pengelolaan DAS secara ideal. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat sektoral, dan oleh karenanya, seringkali terjadi tabrakan kepentingan (conflict of interest) antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan, diperlukan klarifikasi dan identifikasi secara jelas tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam menjalankan fungsinya. Selain masalah tabrakan kepentingan, masalah lain yang umum terjadi dalam pengelolaan sumberdaya yang melibatkan banyak lembaga adalah masalah kerjasama dan koordinasi antar lembaga. Oleh karena itu, pengaturan kelembagaan dan regulasi yang mengatur mekanisme kerja antar lembaga tersebut harus disiapkan dengan matang sehingga dapat menghasilkan pola kerjasama dan koordinasi yang optimal. Menyadari adanya keterbatasan dalam hal kapasitas kelembagaan dan besarnya tingkat kesulitan dalam melaksanakan pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan DAS, terutama dalam sistem pengelolaan yang mengandalkan pada pola kerjasama dan koordinasi antar lembaga, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah: Melakukan identifikasi dan membuat daftar seluruh lembaga dan pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan pengelolaan DAS termasuk mereka yang diprakirakan akan terkena dampak atas pelaksanaan program pengelolaan DAS. Melakukan identifikasi tugas dan wewenang masingmasing lembaga dan pihak – pihak yang berkepentingan tersebut. Merumuskan bentuk lembaga atau badan pengelola DAS yang sesuai dengan karakteristik biogeofisik dan sosekbud serta letak geografis DAS. 4.2 Wilayah Tanggungjawab Lembaga-Lembaga yang Terkait Pelaksanaan pengelolaan DAS lazimnya melibatkan lebih dari satu lembaga (pemerintah dan non-pemerintah) pelaksana. Untuk masing-masing lembaga (pemerintah) di dalamnya terbagi lagi menjadi direktorat-direktorat yang mempunyai kewenangannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam perencanaan pengelolaan DAS harus secara jelas disebutkan fungsi pokok termasuk kewenangan dan tanggung jawab masing-masing organisasi 11 pelaksana pengelolaan DAS. Secara spesifik, peran masing-masing organisasi/lembaga tersebut dalam implementasi program pengelolaan DAS termasuk kegiatan monitoring dan evaluasi harus secara jelas disebutkan. Penetapan kewenangan bagi masing-masing organisasi/lembaga pengelola DAS tersebut harus didasarkan pada fungsi masing-masing organisasi/lembaga. Hal ini penting untuk diperhatikan karena dalam prakteknya masalah kewenangan antar lembaga ini seringkali tumpangtindih dan menjadi kendala bagi pengelolaan DAS yang pelaksanaannya banyak menggunakan mekanisme koordinasi antar lembaga. Dalam pengelolaan DAS, ada lembaga tertentu memiliki tanggung jawab khusus untuk suatu wilayah pengelolaan, misalnya pengurusan konservasi tanah dan air di areal hutan menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan dan Perkebunan (c.q. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah). Konservasi tanah dan air di lahan-lahan milik di lokasi yang berdekatan dengan hutan menjadi tanggung jawab Departemen Dalam Negeri (Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah). Demikian pula, pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam satu atau lebih departemen dapat berbeda-beda, misalnya ada bagian yang menangani irigasi, pengendalian banjir, pembangkit listrik tenaga air (hydropower), perikanan, pariwisata, dan seterusnya. Misalnya, dalam program pengelolaan DAS akan dilaksanakan kegiatankegiatan pembuatan jalan, dam pengendali sedimen, pembuatan reservoir untuk perikanan atau pariwisata, saluran irigasi, penghijauan, dan seterusnya. Tampak bahwa kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS tersebut di atas akan melibatkan lebih dari satu lembaga/ departemen, dan dengan demikian, juga kewenangan dan tanggung jawabnya. Oleh karenanya, penetapan kewenangan yang didasarkan pada fungsi dari masing-masing lembaga/departemen dan/atau masing-masing direktorat dalam satu departemen menjadi penting. Tidak kalah pentingnya adalah mengupayakan bentuk dan mekanisme koordinasi dan kooperasi yang dapat disepakati oleh seluruh pihak – pihak yang berkepentingan, baik pada tingkat lokal, regional, dan nasional. Meskipun disadari bahwa masalah koordinasi dan kooperasi antar lembaga tidak mudah untuk dilaksanakan, butir-butir tersebut di bawah ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan aspek koordinasi dan kooperasi antar lembaga. Identifikasi seluruh lembaga/organisasi yang akan dipengaruhi dan sekaligus memainkan peran dalam program pengelolaan DAS. Identifikasi wilayah kewenangan masing- masing lembaga/ organisasi tersebut pada butir Tentukan suatu mekanisme koordinasi dan kooperasi antar lembaga pengelola DAS yang bersifat menyeluruh dari hulu hingga hilir DAS serta mencakup keseluruhan lembaga/organisasi yang terlibat dalam pengelolaan DAS termasuk kewenangan masingmasing lembaga/organisasi berdasarkan fungsinya. Nyatakan dengan jelas tanggung jawab (termasuk aspek finansial) masing-masing lembaga/organisasi terhadap masing-masing komponen program pengelolaan DAS. 12 BAB 5 Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Berbagai kendala di lapangan yang dihadapi pengelola kawasan lindung di Sub DAS Brantas Hulu ini masih berkutat pada masalah kemanan hutan seperti penebangan liar, perambahan kawasan hutan oleh masyarakat menjadi lahan garapan, pengambilan hasil hutan non kayu secara illegal, perburuan satwa dan kebakaran hutan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekosistem di daerah hulu sangat rentan terhadap berbagai gangguan yang menyebabkan kerusakan pada vegetasi hutan. Kondisi ini akan berdampak pada daerah hilir berupa bahaya banjir dan kekeringan di musim kemarau akibat rendahnya kontinyuitas ketersediaan air. 5.2 Saran Dengan semakin tingginya pemahaman akan fungsi hutan sebagai daerah resapan air hendaknya perhatian lebih difokuskan pada tata guna lahan di wilayah hulu. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan timbulnya masalah, benturan atau persaingan antar kegiatan dalam suatu DAS, diperlukan suatu rencana pengembangan yang komprehensif dan terpadu. Betapa pun sukarnya penyusunan rencana ini, hanya dengan cara inilah tujuan kegiatan tersebut dapat dicapai, tanpa atau dengan benturan yang minimal. Di dalam perencanaan yang demikian, berbagai aspek yang mempengaruhi pengelolaan DAS seperti sifat tanah, karakteristik hidrologi DAS, potensi yang dapat dikembangkan guna memberikan kontribusi di bidang: pangan, industri , pertambangan, penyediaaan air untuk irigasi, industri dan air minum, maupun kemungkinan terjadinya banjir, erosi, sedimentasi dan lainnya, harus diperhitungkan. Demikian pula dengan faktor sosial ekonomi seperti kependudukan, tingkat pendapatan, pemasaran hasil, kelembagaan, pelayanan di bidang pendidikan dan sebagainya juga perlu diperhatikan. 13 Lampiran Gambar 1. Pembuangan Sampah di Sungai Gambar 2. Alih fungsi DAS menjadi Pemukiman Gambar 3. Penebangan Hutan Gambar 4. Alih fungsi DAS menjadi gedung-gedung bertingkat Gambar 5. Penambangan Pasir Liar 14 DAFTAR PUSTAKA Anonymousa, 2013.http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/metode-vegetatifpada-konservasi-tanah.html. Diakses tanggal 20 Februari 2013. Damayanti, 2013.http://staff.blog.ui.ac.id/astrid.damayanti/2012/01/13/strategidan-implementasi-pengelolaan-terpadu-das-brantas/. Diakses tanggal 19 Februari 2013. Sinukaban, 2013. http://sinukaban.blogspot.com/DAS-dan-Pengelolaannya(2)_BebasBanjir2015/. Diakses tanggal 19 Februari 2013. 15