PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI PENDENGARAN PADA Tn. A DENGAN SKIZOFRENIA PARANOID DI RUANG P1 WISMA PUNTADEWA RUMAH SAKIT JIWA Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG Juliana Da Costa*, Ana Puji Astuti**, M Musta’in*** Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran [email protected] ABSTRAK Skizofrenia merupakan suatu kondisi terjadinya penyimpangan fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi. Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “teresepsi”. Halusinasi terdiri dari delapan jenis: pendengaran, penglihatan, pengecapan, perabaan, penciuman, seksual, kinistetik dan viseral.Tujuan penulis melaporkan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di Ruang Wisma Puntadewa RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi,. Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan kasus selama 2 hari pada klien, yang berupa asuhan keperawatan dalam mengatasi masalah halusinasi pendengaran. Hasil pengelolaan didapatkan klien dapat menjelaskan dan mendemonstrasikan cara mengontrol halusinasi dengan obat sesuai prinsip 5 benar. Saran bagi RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang Diharapkan untuk lebih meningkatkan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien sesuai dengan standar operasional prosedur, aktif dalam memberikan pendidikan pada klien dan keluarga, terutama pada klien dengan gangguan persepsi sensori: Halusinasi. Kata kunci: halusinasi pendengaran dengan skizofrenia paranoid, minum obat Kepustakaan: 11 (2005-2015) PENDAHULUAN Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menjelaskan, sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Seseorang yang sehat jiwa dapat dilihat dari sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan (Yosep, 2007). Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan keestabilan emosional (Videbeck, 2008). Masalah kesehatan jiwa yang ringan berupa masalah psikososial seperti kecemasan, psikosomatis dapat terjadi dan keadaan yang lebih berat seperti depresi dan psikosis dapat terjadi jika orang yang mengalami masalah psikososial tidak ditangani dengan baik (Keliat & Akemat, 2007). Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Ris. Kes. Das, 2008) yang dilakukan oleh badan penelitian pengembangan kesehatan departemen kesehatan, menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4,6 permil, artinya dari 1000 penduduk Indonesia, maka empat sampai lima orang diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Salah satu jenis gangguan jiwa berat yang paling banyak ditemukan adalah skizofrenia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DepKes RI) mencatat bahwa 70% gangguan jiwa terbesar di Indonesia adalah skizofrenia. Skizofrenia (schizophrenia) adalah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Skizofrenia merupakan suatu kondisi terjadinya penyimpangan fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul (Prabowo, 2014). Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi. Meskipun bentuk halusinasinya bervariasi tetapi sebagian besar pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa mengalami gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran (Yosep, 2007). Gangguan persepsi sensori: halusinasi merupakan salah satu masalah keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa (Keliat & Akemat, 2007). Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar (Prabowo, 2014). Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang tahun 2013-2015 klien skizofrenia berjumlah 6869 orang yang terdiri dari 4412 laki-laki dan 2457 perempuan. Klien yang mengalami gangguan jiwa lebih banyak yaitu laki-laki penulis beranggapan bahwa, karena laki-laki memiliki tanggung jawab yang besar dalam keluarga, dan juga karena lebih memendamkan masalah yang dihadapi. Pernyataan ini didukung oleh penelitian dari Suara Merdeka tanggal 19 Oktober 2008, yang menyatakan bahwa kaum pria lebih mudah terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang menjadi penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup, sementara Cordosa et al mengemukan kenapa perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan dibandingkan dengan laki-laki (Erlina, 2010). Dari semua uraian yang ada, angka klien yang mengalami skizofrenia sangat tinggi, dan menurut Yosep (2007), klien dengan skizofrenia diperkirakan 90% mengalami gangguan persepsi sensori: halusinasi. Sehingga penulis tertarik untuk menggali lebih dalam lagi dengan mengelola klien yang mengalami gangguan persepsi sensori: halusinasi. METODE PENGELOLAAN Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan kasus selama 2 hari pada klien, yang berupa asuhan keperawatan dalam mengatasi masalah halusinasi pendengaran. HASIL PENGELOLAAN Hasil pengelolaan didapatkan klien dapat menjelaskan dan mendemonstrasikan cara mengontrol halusinasi dengan obat sesuai prinsip 5 benar. PEMBAHASAN Menurut Nanda-I (2012), dalam Damaiyanti (2012), diagnosis keperawatan adalah interpretasi ilmiah dari data pengkajian yang digunakan untuk mengarahkan perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan. Dari data yang diperoleh saat pengkajian ditemukan tiga diagnosa keperawatan yaitu gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran, gangguan kosep diri: harga diri rendah dan resiko perilaku kekerasan. Dari ketiga diagnosa diatas, penulis mengambil gangguan persepsi sensori:halusinasi pendengaran sebagai masalah utama karena berdasarkan dari hasil pengkajian yang didapatkan data yang paling aktual yaitu masalah gangguan persepsi sensori:halusinasi pendengaran dan data tersebut masih muncul pada malam hari tanggal 6 April. Menurut Potter & Perry (2005), menetapkan prioritas bukan semata-mata memberikan nomor pada diagnosa keperawatan dengan dasar keparahan atau kepentingan fisiologis, menurut Hierarki Maslow, menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia itu sendiri dari lima tingkatan prioritas. Tingkatan yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis contohnya udara, air dan makanan. Tingkatan kedua adalah kebutuhan keselamatan dan keamanan yang melibatkan keamanan fisik dan psikologis. Tingkatan yang ketiga meliputi kebutuhan rasa cinta dan seksual. Tingkatan yang keempat adalah rasa berharga dan harga diri yang meliputi percaya diri, merasa berguna, penerimaan dan kepuasan diri. Kemudian tingkatan yang terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri yaitu pernyataan dari penerimaan yang potensi dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah serta mengatasinya dengan cara realistis yang berhubungan dengan situasi kehidupan. Dari semua penjabaran teori Maslow diatas menjadi salah satu alasan penulis menegakkan gangguan persepsi sensori: halusinasi sebagai masalah utama, selain karena masalah yang paling aktual dan sesuai tingkatan kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan tentang keamanan fisik dan psikologis berada di tingkatan kedua tetapi perawat mungkin menghadapi situasi dimana tidak tampak kebutuhan fisik atau keselamatan, tetapi di mana prioritas tertinggi harus diberikan pada kebutuhan psikologis, sosiokultural, perkembangan atau spiritual klien, contohnya klien dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi. Setelah ditinjau kembali, ada beberapa perbedaan data yang diperoleh dari hasil pengkajian pada klien Tn. A berbeda dengan teori, data yang muncul pada Tn. A yaitu: sering mendengar suara bisikan yang mengajak berantem, klien sering terlihat bicara sendiri dan mulut komat-kamit, sedangkan menurut Videbeck (2004) dalam Yosep (2007) yaitu: Data subjektif: mendengar suara menyuruh melalukan sesuatu yang berbahaya, mendengar suara atau bunyi, mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar seseorang yang sudah meninggal, mendengar suara yang mengancam diri klien atau orang lain atau suara lain yang membahayakan. Data objektif: mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marahmarah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit dan ada gerakan tangan, kemungkinan perbedaan ini terjadi karena klien bukan baru kali ini dirawat di rumah sakit jiwa dan tentunya juga karena klien telah menjalani perawatan dari waktu klien masuk pada tanggal 17 Maret 2016 sampai saat penulis melakukan pengkajian tanggal 06 April 2016. Sehingga pada saat pengkajian data yang ada tidak semuanya muncul sesuai data teoritis tentang gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran yaitu: klien tidak mendengar suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya, tidak menutup telinga, tidak mengerakkan tangan dan mendengar suara seseorang yang sudah meninggal. Tetapi dari data yang diperoleh di pengkajian, sudah dapat mengkuatkan untuk mengambil diagnosa gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran menjadi masalah keperawatan utama (core problem). Strategi pelaksanaan 1: Membina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik, menanyakan pada klien tentang waktu, isi, frekuensi timbulnya halusinasi, perasaan dan respon klien tentang halusinasi, menanyakan pada klien cara apa yang sudah klien pelajari untuk mengontrol halusinasinya, melatih mengontrol halusinasi dengan prinsip 5 benar obat, menganjurkan pada klien agar masukkan di jadwal kegiatan dan evaluasi tindakan. Alasan penulis melakukan strategi pelaksanaan minum obat supaya bisa mengurangi masalah gangguan persepsi sensori halusinasi dan untuk mengatasi efek yang disebabkan oleh masalah gangguan persepsi sensori: halusinasi, sedangkan menurut Dermawan (2013), untuk mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering sekali mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Untuk itu pasien perlu dilatih mengunakan obat sesuai program dan berkelanjutan. Strategi Pelaksanaan 2: mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien, latih mengendalikan halusinasi dengan cara melakukan kegiatan, menganjurkan klien masukkan di jadwal kegiatan, dan melakukan rencana tindak lanjut. Alasan penulis melakukan strategi pelaksanaan kegiatan karena penulis beranggapan bahwa pada saat klien mempunyai banyak kegiatan, klien tidak akan fokus pada halusinasinya. Sedangkan menurut Dermawan (2013), untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang sering sekali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami halusinasi bisa dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu. Implementasi yang dilakukan pada tanggal 06 April 2016 yaitu: cara mengontrol halusinasi dengan minum obat sesuai prinsip 5 benar (SP 2). Penulis langsung melakukan tindakan keperawatan mengontrol halusinasi dengan obat karena dari hasil pengkajian didapatkan bahwa klien sudah mampu mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. Untuk itu implementasi yang akan dilakukan pada Tn. A antara lain: mengontrol halusinasi dengan minum obat sesuai prinsip 5 benar dan mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan. Implementasi pertama dilakukan pada hari Rabu, 6 April 2016, jam 10:15 WIB. Membina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik Menurut Afnuhazi (2015), komunikasi terapeutik merupakan media utama yang digunakan untuk mengaplikasikan proses keperawatan dalam lingkungan kesehatan jiwa. Tujuan dari komunikasi terapeutik yaitu dapat membina hubungan saling percaya, meningkatkan hubungan interpersonal, mencapai tujuan personal yang realitas. Hubungan saling percaya sangat penting untuk mengawali hubungan agar klien bersedia mengekspresikan segala masalah yang dihadapi dan mau bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut. Menanyakan pada klien tentang waktu, isi, frekuensi timbulnya halusinasi, perasaan dan respon klien tentang halusinasi. Menurut Keliat (2007), membantu pasien mengenal halusinasi dapat melakukan dengan cara berdiskusi dengan klien tentang isi halusinasi ( apa yang didengar atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadi halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respon pasien saat halusinasi muncul. Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh pasien. Respon yang didapat saat melakukan tindakan yaitu: klien mengatakan mendengar bisikan bisikan yang mengajak berantem, bisikannya sering didengar, suaranya paling sering muncul saat sendiri, klien tidak suka dengan bisikan bisikan itu, mulut klien terlihat komat –kamit. Menanyakan pada klien cara apa yang sudah klien pelajari untuk mengontrol halusinasinya. Menurut Dermawan (2013), dalam keperawatan mempunyai empat cara untuk membantu klien agar mampu mengontrol halusinasi. Keempat cara tersebut meliputi: menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan kegiatan terjadwal dan menggunakan obat secara teratur. Menjelaskan pada klien tentang cara mengontrol halusinasi dengan obat, sesuai dengan prinsip 5 benar obat. Menurut Potter & Perry (2005), suatu obat atau medikasi adalah zat yang digunakan dalam diagnosis, terapi, penyembuhan, penurunan, atau pencegahan penyakit. Perawat merupakan tenaga perawatan kesehatan yang paling tepat untuk memberikan obat dan meluangkan sebagian besar waktu bersama klien. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengintegrasi terapi obat ke dalam perawatan. Menurut Keliat (2007), klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah seringkali mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Untuk itu klien perlu dilatih menggunakan obat sesuai program. Obat yang diminum klien saat ini yaitu Clozapine salah satu kelompok obat antipsikotik atipikal terbaru, cara kerja obat ini mengobati penderita skizofrenia yang tidak bereaksi pada obat antipsikotik lain, warnanya kuning, obat ini minumnya sesudah makan, 3 kali sehari, obat ini berfungsi agar klien merasa nyaman dan terhindar dari suara-suara yang didengarnya. Menganjurkan pada klien agar masukkan di jadwal kegiatan Menurut Afnuhazi (2015), jadwal kegiatan adalah sejumlah kegiatan yang disusun agar mengurangi resiko halusinasi muncul lagi dengan menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Penulis beranggapan bahwa, dengan memasukkan cara tersebut kedalam jadwal kegiatan, klien akan selalu mengingat apa yang sudah diajari dan agar klien bisa patuh dalam pengobatan. Evaluasi tindakan. Menurut Afnuhazi (2015), evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Hal ini dilakukan penulis karena penulis beranggapan bahwa setelah melakukan tindakan keperawatan, kita harus tahu hasil dari tindakan tersebut agar kita bisa menentukan apa yang akan dilakukan pada pertemuan selanjutnya. Melakukan kontrak pertemuan selanjutnya: Menurut Potter & Perry (2005), tujuan utama pada akhir hubungan yang membantu apapun adalah pemutusan dengan cara yang terencana dan memuaskan, meringkaskan prestasi dan mengulang kebutuhan yang tidak terpenuhi atau perawatan lebih lanjut akan sangat membantu. Setelah tindakan yang sudah dilakukan perawat mungkin dapat menetapkan kontrak dengan klien. Elemen kontrak meliputi lokasi, frekuensi dan panjang kontak dengan klien dan durasi hubungan. Implementasi kedua dilakukan pada hari Kamis, 7 April 2016, jam 10:30 WIB.Pada pertemuan kedua, penulis mengevaluasi apa yang sudah diajari pada hari sebelumnya tetapi klien menjawab tidak sesuai seperti apa yang diajari sebelumnya. Setelah mengevaluasi, penulis akan mengulang kembali cara mengontrol halusinasi dengan SP obat. Pertama tetap membina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan komunikasi terapeutik, memvalidasi kembali masalah yang dialami klien dengan menanyakan isi, frekuensi, dan situasi pencetus halusinasi. Kedua, menjelaskan kembali kepada klien tentang cara mengontrol halusinasi dengan obat sesuai prinsip 5 benar. Ketiga, menyuruh klien mempraktekkan lagi tentang cara mengontrol halusinasi sesuai prinsip 5 benar minum obat, menganjurkan pada klien agar masukkan lagi di jadwal kegiatan dan melakukan kontrak selanjutnya dengan topik mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan. KESIMPULAN DAN SARAN Setelah melakukan tindakan keperawatan selama 2 hari tentang minum obat sesuai prinsip 5 benar, evaluasi pada hari pertama tanggal 6 April 2016, setelah melakukan tindakan, klien sudah mampu membina hubungan saling percaya dan klien mampu menyebutkan prinsip 5 benar obat. Tetapi pada hari kedua tanggal 7 April 2016 pada pagi hari saat melakukan evaluasi, klien belum mampu melakukan cara kontrol halusinasi dengan obat sesuai prinsip 5 benar, oleh karena itu intervensi strategi pelaksanaan mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan tidak dilakukan dan penulis mengulang kembali strategi pelaksanaan mengontrol halusinasi dengan minum obat sesuai prinsip 5 benar. Setelah melakukan strategi strategi pelaksanaan mengontrol halusinasi dengan minum obat sesuai prinsip 5 benar pada evaluasi tindakan keperawatan kedua, klien sudah mampu menjelaskan tentang nama, jenis, cara minum, fungsi, frekuensi dan kontinuitas minum obat sesuai prinsip 5 benar. Adapun beberapa saran yang diberikan yaitu: Bagi perawat pelaksana Diharapkan perawat pelaksana dapat meningkatkan lagi komunikasi dengan klien dan sering melakukan terapi aktivitas kelompok terutama gangguan persepsi sensori: halusinasi agar klien mampu berinteraksi dengan teman satu ruangan dan juga perawat yang ada di ruangan sehingga klien bisa mengalihkan perhatiannya terhadap suara-suara yang didengarnya. Bagi Institusi pendidikan Diharapkan dapat menambahkan literatur tentang gangguan jiwa terutama tentang asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori: halusinasi karena dirasa literatur di perpustakaan masih kurang. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa secara maksimal. Bagi Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang Diharapkan untuk lebih meningkatkan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien sesuai dengan standar operasional prosedur, aktif dalam memberikan pendidikan pada klien dan keluarga. Terutama pada klien dengan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi. Bagi masyarakat/keluarga Diharapkan masyarakat/keluarga bisa merubah pandangan terhadap klien gangguan jiwa agar tidak dijauhi, mampu menerima dan merawat klien gangguan jiwa terutama dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran. Keluarga juga harus selalu memotivasi klien agar klien lebih terbuka tentang masalah yang dihadapinya dan selalu mendampingi klien saat klien kontrol ke rumah sakit agar klien merasakan kasih sayang serta dukungan dari keluarga. DAFTAR PUSTAKA Afnuhazi R. (2015). Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa: Gosyen Publishing. Damaiyanti M. & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama. Dermawan D. & Rusdi. (2013). Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Gosyen Publishing Erlina, Soewadi & Dibyo P. (2010). Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Hb Saanin Padang Sumatera Barat. Berita Kedokteran Masyarakat (Vol. 26, No. 2). Yogyakarta Keliat A. & Aklemat. (2007). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC Nanda-I,(2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses Dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC Prabowo E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta : Nuha Medika. Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang Tahun 2015. Videbeck S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Yosep I. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama