5307 - UPT Perpustakaan Universitas Ngudi Waluyo

advertisement
PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI PENDENGARAN PADA Tn. A
DENGAN SKIZOFRENIA PARANOID DI RUANG P1 WISMA PUNTADEWA
RUMAH SAKIT JIWA Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG
Juliana Da Costa*, Ana Puji Astuti**, M Musta’in***
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran
[email protected]
ABSTRAK
Skizofrenia merupakan suatu kondisi terjadinya penyimpangan fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Diperkirakan
lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi. Halusinasi adalah persepsi yang
tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang “khayal”,
halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “teresepsi”.
Halusinasi terdiri dari delapan jenis: pendengaran, penglihatan, pengecapan, perabaan,
penciuman, seksual, kinistetik dan viseral.Tujuan penulis melaporkan asuhan keperawatan pada
Tn. A dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di Ruang Wisma Puntadewa RSJ
Prof. Dr. Soerojo Magelang.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi,. Metode
yang digunakan adalah memberikan pengelolaan kasus selama 2 hari pada klien, yang berupa
asuhan keperawatan dalam mengatasi masalah halusinasi pendengaran.
Hasil pengelolaan didapatkan klien dapat menjelaskan dan mendemonstrasikan cara
mengontrol halusinasi dengan obat sesuai prinsip 5 benar.
Saran bagi RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang Diharapkan untuk lebih meningkatkan dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada klien sesuai dengan standar operasional prosedur, aktif
dalam memberikan pendidikan pada klien dan keluarga, terutama pada klien dengan gangguan
persepsi sensori: Halusinasi.
Kata kunci: halusinasi pendengaran dengan skizofrenia paranoid, minum obat
Kepustakaan: 11 (2005-2015)
PENDAHULUAN
Undang-Undang nomor 23 tahun
1992 tentang kesehatan menjelaskan, sehat
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa
dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Seseorang yang sehat jiwa dapat dilihat dari
sikap yang positif terhadap diri sendiri,
tumbuh berkembang, memiliki aktualisasi
diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki
persepsi sesuai kenyataan dan kecakapan
dalam beradaptasi dengan lingkungan
(Yosep, 2007).
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi
sehat emosional psikologis dan sosial yang
terlihat dari hubungan interpersonal yang
memuaskan, perilaku dan koping yang
efektif, konsep diri yang positif dan
keestabilan emosional (Videbeck, 2008).
Masalah kesehatan jiwa yang ringan
berupa
masalah
psikososial
seperti
kecemasan, psikosomatis dapat terjadi dan
keadaan yang lebih berat seperti depresi dan
psikosis dapat terjadi jika orang yang
mengalami masalah psikososial tidak
ditangani dengan baik (Keliat & Akemat,
2007).
Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang, berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Ris. Kes. Das, 2008) yang
dilakukan
oleh
badan
penelitian
pengembangan kesehatan departemen
kesehatan,
menunjukkan
prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4,6
permil, artinya dari 1000 penduduk
Indonesia, maka empat sampai lima orang
diantaranya menderita gangguan jiwa berat.
Salah satu jenis gangguan jiwa berat yang
paling banyak ditemukan adalah skizofrenia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(DepKes RI) mencatat bahwa 70% gangguan
jiwa terbesar di Indonesia adalah skizofrenia.
Skizofrenia (schizophrenia) adalah
gangguan yang terjadi pada fungsi otak.
Skizofrenia merupakan suatu kondisi
terjadinya penyimpangan fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta
oleh afek yang tidak wajar atau tumpul
(Prabowo, 2014). Diperkirakan lebih dari
90% klien dengan skizofrenia mengalami
halusinasi. Meskipun bentuk halusinasinya
bervariasi tetapi sebagian besar pasien
skizofrenia di rumah sakit jiwa mengalami
gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran (Yosep, 2007).
Gangguan
persepsi
sensori:
halusinasi merupakan salah satu masalah
keperawatan yang dapat ditemukan pada
pasien gangguan jiwa (Keliat & Akemat,
2007). Halusinasi merupakan gangguan atau
perubahan
persepsi
dimana
pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya
tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra
tanpa ada rangsangan dari luar (Prabowo,
2014).
Menurut data yang diperoleh dari
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang
tahun 2013-2015 klien skizofrenia berjumlah
6869 orang yang terdiri dari 4412 laki-laki
dan 2457 perempuan. Klien yang mengalami
gangguan jiwa lebih banyak yaitu laki-laki
penulis beranggapan bahwa, karena laki-laki
memiliki tanggung jawab yang besar dalam
keluarga,
dan
juga
karena
lebih
memendamkan masalah yang dihadapi.
Pernyataan ini didukung oleh penelitian dari
Suara Merdeka tanggal 19 Oktober 2008,
yang menyatakan bahwa kaum pria lebih
mudah terkena gangguan jiwa karena kaum
pria yang menjadi penopang utama rumah
tangga sehingga lebih besar mengalami
tekanan hidup, sementara Cordosa et al
mengemukan kenapa perempuan lebih
sedikit berisiko menderita gangguan jiwa
dibandingkan laki-laki karena perempuan
lebih bisa menerima situasi kehidupan
dibandingkan dengan laki-laki (Erlina, 2010).
Dari semua uraian yang ada, angka
klien yang mengalami skizofrenia sangat
tinggi, dan menurut Yosep (2007), klien
dengan skizofrenia diperkirakan 90%
mengalami gangguan persepsi sensori:
halusinasi. Sehingga penulis tertarik untuk
menggali lebih dalam lagi dengan mengelola
klien yang mengalami gangguan persepsi
sensori: halusinasi.
METODE PENGELOLAAN
Metode yang digunakan adalah
memberikan pengelolaan kasus selama 2
hari pada klien, yang berupa asuhan
keperawatan dalam mengatasi masalah
halusinasi pendengaran.
HASIL PENGELOLAAN
Hasil pengelolaan didapatkan klien
dapat menjelaskan dan mendemonstrasikan
cara mengontrol halusinasi dengan obat
sesuai prinsip 5 benar.
PEMBAHASAN
Menurut Nanda-I (2012), dalam
Damaiyanti (2012), diagnosis keperawatan
adalah interpretasi ilmiah dari data
pengkajian
yang
digunakan
untuk
mengarahkan perencanaan, implementasi,
dan evaluasi keperawatan.
Dari data yang diperoleh saat
pengkajian ditemukan tiga diagnosa
keperawatan yaitu gangguan persepsi
sensori: halusinasi pendengaran, gangguan
kosep diri: harga diri rendah dan resiko
perilaku kekerasan.
Dari ketiga diagnosa diatas, penulis
mengambil
gangguan
persepsi
sensori:halusinasi pendengaran sebagai
masalah utama karena berdasarkan dari
hasil pengkajian yang didapatkan data yang
paling aktual yaitu masalah gangguan
persepsi sensori:halusinasi pendengaran dan
data tersebut masih muncul pada malam
hari tanggal 6 April.
Menurut Potter & Perry (2005),
menetapkan prioritas bukan semata-mata
memberikan
nomor
pada
diagnosa
keperawatan dengan dasar keparahan atau
kepentingan fisiologis, menurut Hierarki
Maslow, menyatakan bahwa kebutuhan
dasar manusia itu sendiri dari lima tingkatan
prioritas. Tingkatan yang paling dasar adalah
kebutuhan fisiologis contohnya udara, air
dan makanan. Tingkatan kedua adalah
kebutuhan keselamatan dan keamanan yang
melibatkan keamanan fisik dan psikologis.
Tingkatan yang ketiga meliputi kebutuhan
rasa cinta dan seksual. Tingkatan yang
keempat adalah rasa berharga dan harga diri
yang meliputi percaya diri, merasa berguna,
penerimaan dan kepuasan diri. Kemudian
tingkatan yang terakhir adalah kebutuhan
aktualisasi diri yaitu pernyataan dari
penerimaan yang potensi dan memiliki
kemampuan dalam memecahkan masalah
serta mengatasinya dengan cara realistis
yang
berhubungan
dengan
situasi
kehidupan.
Dari semua penjabaran teori Maslow
diatas menjadi salah satu alasan penulis
menegakkan gangguan persepsi sensori:
halusinasi sebagai masalah utama, selain
karena masalah yang paling aktual dan
sesuai tingkatan kebutuhan dasar manusia
yaitu kebutuhan tentang keamanan fisik dan
psikologis berada di tingkatan kedua tetapi
perawat mungkin menghadapi situasi
dimana tidak tampak kebutuhan fisik atau
keselamatan, tetapi di mana prioritas
tertinggi harus diberikan pada kebutuhan
psikologis, sosiokultural, perkembangan atau
spiritual klien, contohnya klien dengan
gangguan persepsi sensori: halusinasi.
Setelah ditinjau kembali, ada
beberapa perbedaan data yang diperoleh
dari hasil pengkajian pada klien Tn. A
berbeda dengan teori, data yang muncul
pada Tn. A yaitu: sering mendengar suara
bisikan yang mengajak berantem, klien
sering terlihat bicara sendiri dan mulut
komat-kamit, sedangkan menurut Videbeck
(2004) dalam Yosep (2007) yaitu: Data
subjektif: mendengar suara menyuruh
melalukan sesuatu yang berbahaya,
mendengar suara atau bunyi, mendengar
suara yang mengajak bercakap-cakap,
mendengar
seseorang
yang
sudah
meninggal,
mendengar
suara
yang
mengancam diri klien atau orang lain atau
suara lain yang membahayakan. Data
objektif: mengarahkan telinga pada sumber
suara, bicara atau tertawa sendiri, marahmarah tanpa sebab, menutup telinga, mulut
komat-kamit dan ada gerakan tangan,
kemungkinan perbedaan ini terjadi karena
klien bukan baru kali ini dirawat di rumah
sakit jiwa dan tentunya juga karena klien
telah menjalani perawatan dari waktu klien
masuk pada tanggal 17 Maret 2016 sampai
saat penulis melakukan pengkajian tanggal
06 April 2016. Sehingga pada saat pengkajian
data yang ada tidak semuanya muncul sesuai
data teoritis tentang gangguan persepsi
sensori: halusinasi pendengaran yaitu: klien
tidak mendengar suara yang menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya, tidak
menutup telinga, tidak mengerakkan tangan
dan mendengar suara seseorang yang sudah
meninggal. Tetapi dari data yang diperoleh
di pengkajian, sudah dapat mengkuatkan
untuk mengambil diagnosa gangguan
persepsi sensori: halusinasi pendengaran
menjadi masalah keperawatan utama (core
problem).
Strategi pelaksanaan 1: Membina
hubungan
saling
percaya
dengan
menggunakan prinsip komunikasi terapeutik,
menanyakan pada klien tentang waktu, isi,
frekuensi timbulnya halusinasi, perasaan dan
respon klien tentang halusinasi, menanyakan
pada klien cara apa yang sudah klien pelajari
untuk mengontrol halusinasinya, melatih
mengontrol halusinasi dengan prinsip 5
benar obat, menganjurkan pada klien agar
masukkan di jadwal kegiatan dan evaluasi
tindakan.
Alasan penulis melakukan strategi
pelaksanaan minum obat supaya bisa
mengurangi masalah gangguan persepsi
sensori halusinasi dan untuk mengatasi efek
yang disebabkan oleh masalah gangguan
persepsi sensori: halusinasi, sedangkan
menurut
Dermawan
(2013),
untuk
mengontrol halusinasi pasien juga harus
dilatih untuk menggunakan obat secara
teratur sesuai dengan program. Pasien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering
sekali mengalami putus obat sehingga
akibatnya pasien mengalami kekambuhan.
Untuk itu pasien perlu dilatih mengunakan
obat sesuai program dan berkelanjutan.
Strategi
Pelaksanaan
2:
mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien,
latih mengendalikan halusinasi dengan cara
melakukan kegiatan, menganjurkan klien
masukkan di jadwal kegiatan, dan melakukan
rencana tindak lanjut. Alasan penulis
melakukan strategi pelaksanaan kegiatan
karena penulis beranggapan bahwa pada
saat klien mempunyai banyak kegiatan, klien
tidak akan fokus pada halusinasinya.
Sedangkan menurut Dermawan (2013),
untuk mengurangi resiko halusinasi muncul
lagi adalah dengan menyibukkan diri dengan
aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas
secara terjadwal, pasien tidak akan
mengalami banyak waktu luang sendiri yang
sering sekali mencetuskan halusinasi. Untuk
itu pasien yang mengalami halusinasi bisa
dibantu untuk mengatasi halusinasinya
dengan cara beraktivitas secara teratur dari
bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari
dalam seminggu.
Implementasi yang dilakukan pada
tanggal 06 April 2016 yaitu: cara mengontrol
halusinasi dengan minum obat sesuai prinsip
5 benar (SP 2). Penulis langsung melakukan
tindakan keperawatan mengontrol halusinasi
dengan obat karena dari hasil pengkajian
didapatkan bahwa klien sudah mampu
mengontrol
halusinasi
dengan
cara
menghardik. Untuk itu implementasi yang
akan dilakukan pada Tn. A antara lain:
mengontrol halusinasi dengan minum obat
sesuai prinsip 5 benar dan mengontrol
halusinasi dengan melakukan kegiatan.
Implementasi pertama dilakukan
pada hari Rabu, 6 April 2016, jam 10:15 WIB.
Membina hubungan saling percaya
dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik
Menurut
Afnuhazi
(2015),
komunikasi terapeutik merupakan media
utama
yang
digunakan
untuk
mengaplikasikan proses keperawatan dalam
lingkungan kesehatan jiwa. Tujuan dari
komunikasi terapeutik yaitu dapat membina
hubungan saling percaya, meningkatkan
hubungan interpersonal, mencapai tujuan
personal yang realitas. Hubungan saling
percaya sangat penting untuk mengawali
hubungan
agar
klien
bersedia
mengekspresikan segala masalah yang
dihadapi dan mau bekerja sama untuk
mengatasi masalah tersebut.
Menanyakan pada klien tentang
waktu, isi, frekuensi timbulnya halusinasi,
perasaan dan respon klien tentang
halusinasi.
Menurut Keliat (2007), membantu
pasien
mengenal
halusinasi
dapat
melakukan dengan cara berdiskusi dengan
klien tentang isi halusinasi ( apa yang
didengar atau dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadi halusinasi,
situasi yang menyebabkan halusinasi muncul
dan respon pasien saat halusinasi muncul.
Tujuan perawat bertanya adalah untuk
mendapatkan informasi yang spesifik
mengenai apa yang disampaikan oleh
pasien. Respon yang didapat saat melakukan
tindakan
yaitu:
klien
mengatakan
mendengar bisikan bisikan yang mengajak
berantem, bisikannya sering didengar,
suaranya paling sering muncul saat sendiri,
klien tidak suka dengan bisikan bisikan itu,
mulut klien terlihat komat –kamit.
Menanyakan pada klien cara apa
yang sudah klien pelajari untuk mengontrol
halusinasinya.
Menurut Dermawan (2013), dalam
keperawatan mempunyai empat cara untuk
membantu klien agar mampu mengontrol
halusinasi. Keempat cara tersebut meliputi:
menghardik, bercakap-cakap dengan orang
lain, melakukan kegiatan terjadwal dan
menggunakan obat secara teratur.
Menjelaskan pada klien tentang cara
mengontrol halusinasi dengan obat, sesuai
dengan prinsip 5 benar obat.
Menurut Potter & Perry (2005),
suatu obat atau medikasi adalah zat yang
digunakan
dalam
diagnosis,
terapi,
penyembuhan, penurunan, atau pencegahan
penyakit. Perawat merupakan tenaga
perawatan kesehatan yang paling tepat
untuk memberikan obat dan meluangkan
sebagian besar waktu bersama klien.
Perawat menggunakan proses keperawatan
untuk mengintegrasi terapi obat ke dalam
perawatan.
Menurut Keliat (2007), klien
gangguan jiwa yang dirawat di rumah
seringkali mengalami putus obat sehingga
akibatnya pasien mengalami kekambuhan.
Untuk itu klien perlu dilatih menggunakan
obat sesuai program.
Obat yang diminum klien saat ini
yaitu Clozapine salah satu kelompok obat
antipsikotik atipikal terbaru, cara kerja obat
ini mengobati penderita skizofrenia yang
tidak bereaksi pada obat antipsikotik lain,
warnanya kuning, obat ini minumnya
sesudah makan, 3 kali sehari, obat ini
berfungsi agar klien merasa nyaman dan
terhindar dari suara-suara yang didengarnya.
Menganjurkan pada klien agar
masukkan di jadwal kegiatan
Menurut Afnuhazi (2015), jadwal
kegiatan adalah sejumlah kegiatan yang
disusun agar mengurangi resiko halusinasi
muncul lagi dengan menyibukkan diri
dengan aktivitas yang teratur.
Penulis beranggapan bahwa, dengan
memasukkan cara tersebut kedalam jadwal
kegiatan, klien akan selalu mengingat apa
yang sudah diajari dan agar klien bisa patuh
dalam pengobatan.
Evaluasi tindakan. Menurut Afnuhazi (2015),
evaluasi adalah proses yang berkelanjutan
untuk
menilai
efek
dari
tindakan
keperawatan pada klien.
Hal ini dilakukan penulis karena
penulis beranggapan bahwa setelah
melakukan tindakan keperawatan, kita harus
tahu hasil dari tindakan tersebut agar kita
bisa menentukan apa yang akan dilakukan
pada pertemuan selanjutnya.
Melakukan kontrak pertemuan
selanjutnya: Menurut Potter & Perry (2005),
tujuan utama pada akhir hubungan yang
membantu apapun adalah pemutusan
dengan cara yang terencana dan
memuaskan, meringkaskan prestasi dan
mengulang kebutuhan yang tidak terpenuhi
atau perawatan lebih lanjut akan sangat
membantu. Setelah tindakan yang sudah
dilakukan
perawat
mungkin
dapat
menetapkan kontrak dengan klien. Elemen
kontrak meliputi lokasi, frekuensi dan
panjang kontak dengan klien dan durasi
hubungan.
Implementasi kedua dilakukan pada
hari Kamis, 7 April 2016, jam 10:30 WIB.Pada
pertemuan kedua, penulis mengevaluasi apa
yang sudah diajari pada hari sebelumnya
tetapi klien menjawab tidak sesuai seperti
apa yang diajari sebelumnya. Setelah
mengevaluasi, penulis akan mengulang
kembali cara mengontrol halusinasi dengan
SP obat. Pertama tetap membina hubungan
saling percaya dengan mengungkapkan
komunikasi terapeutik, memvalidasi kembali
masalah yang dialami klien dengan
menanyakan isi, frekuensi, dan situasi
pencetus halusinasi. Kedua, menjelaskan
kembali kepada klien tentang cara
mengontrol halusinasi dengan obat sesuai
prinsip 5 benar. Ketiga, menyuruh klien
mempraktekkan
lagi
tentang
cara
mengontrol halusinasi sesuai prinsip 5 benar
minum obat, menganjurkan pada klien agar
masukkan lagi di jadwal kegiatan dan
melakukan kontrak selanjutnya dengan topik
mengontrol halusinasi dengan melakukan
kegiatan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah
melakukan
tindakan
keperawatan selama 2 hari tentang minum
obat sesuai prinsip 5 benar, evaluasi pada
hari pertama tanggal 6 April 2016, setelah
melakukan tindakan, klien sudah mampu
membina hubungan saling percaya dan klien
mampu menyebutkan prinsip 5 benar obat.
Tetapi pada hari kedua tanggal 7 April 2016
pada pagi hari saat melakukan evaluasi, klien
belum mampu melakukan cara kontrol
halusinasi dengan obat sesuai prinsip 5
benar, oleh karena itu intervensi strategi
pelaksanaan mengontrol halusinasi dengan
melakukan kegiatan tidak dilakukan dan
penulis
mengulang
kembali
strategi
pelaksanaan mengontrol halusinasi dengan
minum obat sesuai prinsip 5 benar. Setelah
melakukan strategi strategi pelaksanaan
mengontrol halusinasi dengan minum obat
sesuai prinsip 5 benar pada evaluasi
tindakan keperawatan kedua, klien sudah
mampu menjelaskan tentang nama, jenis,
cara minum, fungsi, frekuensi dan
kontinuitas minum obat sesuai prinsip 5
benar.
Adapun beberapa saran yang diberikan
yaitu:
Bagi perawat pelaksana
Diharapkan perawat pelaksana dapat
meningkatkan lagi komunikasi dengan
klien dan sering melakukan terapi
aktivitas kelompok terutama gangguan
persepsi sensori: halusinasi agar klien
mampu berinteraksi dengan teman satu
ruangan dan juga perawat yang ada di
ruangan
sehingga
klien
bisa
mengalihkan perhatiannya terhadap
suara-suara yang didengarnya.
Bagi Institusi pendidikan
Diharapkan
dapat
menambahkan
literatur tentang gangguan jiwa
terutama tentang asuhan keperawatan
gangguan persepsi sensori: halusinasi
karena dirasa literatur di perpustakaan
masih kurang. Meningkatkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan kepada
mahasiswa secara maksimal.
Bagi Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo
Magelang
Diharapkan untuk lebih meningkatkan
dalam
memberikan
pelayanan
kesehatan kepada klien sesuai dengan
standar operasional prosedur, aktif
dalam memberikan pendidikan pada
klien dan keluarga. Terutama pada klien
dengan Gangguan Persepsi Sensori:
Halusinasi.
Bagi masyarakat/keluarga
Diharapkan masyarakat/keluarga bisa
merubah pandangan terhadap klien
gangguan jiwa agar tidak dijauhi,
mampu menerima dan merawat klien
gangguan jiwa terutama dengan
gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran. Keluarga juga harus
selalu memotivasi klien agar klien lebih
terbuka
tentang
masalah
yang
dihadapinya dan selalu mendampingi
klien saat klien kontrol ke rumah sakit
agar klien merasakan kasih sayang serta
dukungan dari keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Afnuhazi R. (2015). Komunikasi Terapeutik
Dalam Keperawatan Jiwa: Gosyen
Publishing.
Damaiyanti M. & Iskandar. (2012). Asuhan
Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama.
Dermawan D. & Rusdi. (2013). Konsep dan
Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan
Jiwa. Gosyen Publishing
Erlina, Soewadi & Dibyo P. (2010).
Determinan
Terhadap
Timbulnya
Skizofrenia Pada Pasien Rawat Jalan Di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Hb Saanin
Padang Sumatera Barat. Berita
Kedokteran Masyarakat (Vol. 26, No. 2).
Yogyakarta
Keliat A. & Aklemat. (2007). Model Praktik
Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
EGC
Nanda-I,(2012). Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta : EGC
Potter & Perry. (2005). Fundamental
Keperawatan Konsep, Proses Dan
Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC
Prabowo E. (2014). Konsep dan Aplikasi
Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta :
Nuha Medika.
Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Soerojo Magelang Tahun 2015.
Videbeck S. L. (2008). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep I. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung
: Refika Aditama
Download