Memahami Tingkat Melek Politik Warga di Kabupaten Sleman Tim Peneliti Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SLEMAN 0 Memahami Tingkat Melek Politik Warga di Kabupaten Sleman TIM PENELITI Fasilitator FGD Mada Sukmajati, Muhammad Mahsun Analisis data dan penyusunan laporan Abdul Gaffar Karim, Ashari Cahyo Edi, Desi Rahmawati, Ristyan Widiaswati Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM Research Centre for Politics and Government (PolGov) Gd. BA FISIPOL UGM Lt. 4 R. BA 403. Jl. Sosio Yusticia Bulaksumur Yogyakarta 55281. No Telp: 0274- 552212; 555880; 563362 (ext. 150). Email: [email protected]; [email protected] 1 DAFTAR ISI PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 2 METODE PENELITIAN DAN SISTEMATIKA PENULISAN......................................................................... 4 KERANGKA TEORI: LITERASI POLITIK .................................................................................................. 5 Definisi Literasi Politik.................................................................................................................... 5 Elemen-elemen Literasi Politik ....................................................................................................... 5 Urgensi Literasi Politik ................................................................................................................... 6 Membentuk Masyarakat yang Literate secara Politik ..................................................................... 7 Tantangan Literasi Politik............................................................................................................... 8 TEMUAN-TEMUAN ............................................................................................................................ 8 Pengguna Hak Pilih Secara Kuantitatif: sekilas tinjauan secara umum ............................................ 8 Kualitas Literasi Politik Penduduk Sleman: temuan FGD ............................................................... 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingginya Partisipasi Pemilih ................................................. 10 Pendidikan Pemilih yang Belum Efektif ........................................................................................ 12 Beberapa Usulan Rekomendasi yang Muncul dari FGD ................................................................ 16 Kesimpulan FGD .......................................................................................................................... 18 REKOMENDASI KEBIJAKAN .............................................................................................................. 18 BIBLIOGRAFI .................................................................................................................................... 20 LAMPIRAN..……………………………………………………………………………………………………………………………………..22 1 PENDAHULUAN Hajatan demokrasi di Indonesia yang digelar tahun 2014 lalu menunjukkan tingginya partisipasi pemilih secara nasional. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 75,11% pemilih tercatat menggunakan hak pilihnya (KOMPAS.com, 2014a). Angka ini meningkat dari periode pemilu 2009 yang mencatatkan 70,99% kehadiran pemilih, dan melampaui target Komisi Pemilihan Umum/KPU sebesar 75% (detikcom, 2014). Sementara itu pada Pemilu Presiden (Pilpres), walaupun mengalami sedikit penurunan dibandingkan periode sebelumnya namun partisipasi pemilih masih tinggi yaitu sekitar 70% (KOMPAS.com, 2014b). Senada dengan capaian di tingkat nasional, Kabupaten Sleman juga mencatatkan tingginya angka partisipasi pemilih. Kabupaten Sleman meraih angka partisipasi pemilih tertinggi di DIY. Pada Pilpres 2014 lalu 81,7% pemilih menggunakan hak pilihnya. Capaian ini lebih tinggi dari Kota Yogyakarta (77,15%), Kabupaten Bantul (81,3%), Kulonprogo (79,3%) dan Gunungkidul yang hanya 77,04% (HarianJogja.com, 2014a). Dalam pemilu legislatif 2014, angka partisipasi di Kabupaten Sleman bahkan mencapai 83,276%, melebihi capaian saat pemilu legislatif 2009 yang hanya sekitar 70% (HarianJogja.com, 2014b). Tidak hanya itu KPU Kabupaten Sleman selaku penyelenggara pemilu di kabupaten ini juga meraih penghargaanTerbaik II KPU Award 2014 dalam kategori Kreasi Sosialisasi dan Partisipasi Pemilu (Kedaulatan Rakyat Online, 2014)1. Namun demikian tingginya capaian partisipasi pemilih masih menyisakan skeptisisme pada banyak kalanganyang menilai bahwa realisasi demokrasi di Indonesia masih sebatas pada demokrasi prosedural, belum mencapai demokrasi substansial. Apakah capaian kuantitas tersebut mencerminkan kualitas demokrasi? Cukupkah kita memaknai demokrasi hanya dengan capaian angka? Banyak ahli, aktivis, maupun peserta pemilu di Indonesia memberikan catatan khusus terhadap pemilu 2014 yang mengindikasikan kuatnya praktik politik uang; bagaimana pelanggaran pemilu dalam bentuk ini dipraktikkan secara terbuka di semua daerah dan level pemilihan. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie, misalnya, menyatakan bahwa praktik politik uang dilakukan secara massif (Republika Online, 2014a). Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyoroti praktik ini yang dilakukan secara terang-terangan dalam beragam bentuk seperti uang, amplop, dan kartu asuransi (KOMPAScom, 2014c). Sementara itu Aspinall & Sukmajati tidak hanya mengelaborasi bentuk-bentuk praktik politik uang di lebih dari tiga puluh daerah namun juga mengkaitkannya dengan politik patronase yang ditengarai menjadi aspek sentral dalam strategi kampanye sebagian besar kandidat (Aspinall & Sukmajati 2015:10). Meski politik uang mendominasi praktek pelanggaran kampanye pada pemilu 2014, pelanggaran lain juga penting dilihat dalam konteks kualitas elektoral. Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2), Rustika Herlambang mengungkapkan bahwa media menyoroti beragam pelanggaran pemilu. Selain didominasi oleh politik uang (52%), pemilu lalu juga diwarnai dengan penggelembungan suara (18%), pemilu ulang 1Penghargaan ini diperoleh melalui prestasi KPU Sleman dalam menggunakan media Ular Tangga Pemiluuntuk mengenalkan pemilu pada kalangan pelajar. 2 atau pencoblosan ulang (12%), pelanggaran kode etik (9%), serta penghitungan ulang sebesar 9% (Republika Online, 2014b)2. Di Kabupaten Sleman, kasus pelanggaran pemilu juga banyak dilaporkan, walaupun bukti-buktinya sulit ditemukan, khususnya pelanggaran dalam bentuk politik uang. Misalnya seperti yang diutarakan oleh Ketua Panwaslu Sleman Sutoto Jatmiko bahwa pihaknya banyak menerima aduan atas maraknya “serangan fajar” di Sleman namun belum menemukan bukti (Republika Online, 2014c). Praktek pelanggaran pemilu tersebut sulit dihilangkan mengingat adanya demand dan supply. Disamping itu, pembuktian yang sulit akan mempengaruhi tidak tuntasnya dalam penyelesaian hukum. Realitas di atas mengarah pada praktek pembajakan demokrasi yang terstruktur dan sistematis. Pemilu berkualitas memerlukan prakondisi yang baik dalam hal peserta pemilu (contestant), pemilih (voter), dan suara pemilih (voice). Terkait dengan pemilih (voter) atau semua warga negara yang memiliki hak pilih difasilitasi secara baik untuk menggunakan hak pilihnya. Dan, pada saat yang bersamaan tidak boleh orang yang tidak memiliki hak pilih difasilitasi sebagai pemilih. Sedangkan pemilih (voice) harus dipastikan bahwa suara pemilih memiliki makna dalam arti suara pemilih dicatat apa adanya tanpa ada manipulasi dan ditransfer ke dalam kursi sesuai mekanisme yang telah ditentukan (Sigit Pamungkas, 2010). Dalam melihat kualitas pemilu, “preferensi politik” merupakan aspek penting. Afan Gaffar (1994: 34) dalam Javanese Voters melihat dua hal penting dalam pembentukan preferensi politik pemilih ketika pemilu; 1) kecenderunan munculnya pemilih patronase yakni pemilih yan mendasarkan pada pilihannya pada ketokohan dan figur tertentu, yang dianggap dapat mencitrakan dirinya sebagai pemimpin; 2) munculnya fenomena ABS (Asal Bapak Senang), yakni pemilih yang tidak memiliki rasionalitas dan hanya menjadi pemilih follower yang mengikuti pada suara mayoritas. Partisipasi pemilu yang bekualitas, mensyaratkan adanya pemilih yang cerdas dan kritis. Hal tersebut akan terpenuhi jika pemilih melek politik. Heryanto (2012: 109) melihat substansi kekuatan literasi politik ada pada partisipasi politik warganegara yang kritis dan memberdayakan terkait dengan konsep-konsep pokok politik yang akan berdampak pada kehidupan warga. Literasi politik bukanlah semata konsep normatif, melainkan bauran antara pengetahuan, skill dan sikap politik. Pemilih tidak hanya perlu mempunyai pengetahuan dan kesadaran melainkan juga bebas dari segala bentuk intimidasi dari berbagai pihak. Jika tidak, maka partisipasi pemilih hanya akan berhenti di kotak suara. Untuk menjaga kualitas demokrasi partisipasi pemilih diperlukan lebih dari sekedar mencoblos, melainkan juga peran serta dalam pengawasan demokrasi, sehingga prosedur dan substansi demokrasi dapat terpenuhi dengan baik. Demokrasi memiliki tantangan untuk menjadikan partisipannya melek politik. Oleh karenanya, pendidikan politik perlu diintensifkan agar pemilih dapat dikategorikan melek politik. Terlebih dengan adanya fakta bahwa di Kabupaten Sleman Angka partisipasi pemilih pemula yang mencapai 77.000 pemilih atau 10 persen dari total pemilih. Pemilih pemula merupakan segmen penting dalam pemilu. Menurut Nur 2Hasil teropong pemberitaan pengamanan pemilu yang telah dilakukan Indonesia Indicator (I2), lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui pemberitaan (media mapping). 3 Budi Hariyanto (2012: 130) preferensi pemilih pemula seringkali dinilai baru pada tahap penerimaan (akseptabilitas) dan belum sampai pilihan politik (elektabilitas). Menyikapi hal tersebut, penyelenggara pemilu di Kabupaten Sleman telah melakukan berbagai upaya untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas. Misalnya, Divisi Sosialisasi, Pendidikan Politik KPU Sleman menyelenggarakan berbagai upaya pendidikan politik untuk pemilih pemula maupun beragam segmen masyarakat pemilih lainnya3. Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan amanat dari pasal 6 PKPU No. 5 Tahun 2015 yang menyebutkan bahwa penyelenggara Pemilu wajib melaksanakan sosialisasi dan pendidikan politik bagi pemilih maka KPU Sleman juga akan merintis desa melek politik (Kabar Kota, 2015). Kompleksitas permasalahan di atas telah mendorong Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM dan KPU Kabupaten Sleman untuk melakukan kajian terhadap aspek literasi politik (“melek politik”) di balik tingginya partisipasi masyarakat pada pemilu tahun 2014. Kajian ini hendak memetakan secara umum tentang apakah tingginya partisipasi politik warga Sleman dalam Pemilu 2014 memang disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang tinggi ataukah karena ada hal lain? Bagaimana melek politik warga selama ini terbentuk? Faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya melek politik warga? Kebijakan apa saja yang perlu dirumuskan untuk meningkatkan melek politik warga? Namun demikian, berbagai keterbatasan membatasi lingkup penelitian ini; tidak dengan melakukan survey pada masyarakat pemilih, namun melakukan pemetaan umum berdasarkan pengetahuan dari aktor-aktor kunci yang kami nilai memiliki pengetahuan/ pemahaman yang cukup tentang kondisi masyarakat di Kabupaten Sleman. METODE PENELITIAN DAN SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian tentang “Memahami Tingkat Melek Politik Warga di Kabupaten Sleman” ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang terbatas; dimana desk study maupun field study dilakukan secara terbatas. Pada tahap paling awal dilakukan pengumpulan data sekunder dengan metode desk study. Dalam tahapan ini fokus pada literatur mengenai literasi politik serta dokumen, regulasi, dan data yang terkait dengan pemilu, khususnya yang berkaitan langsung dengan konteks Kabupaten Sleman. Karena itu juga dikaji bahan-bahan yang telah dipublikasikan, yang terkait dengan isu-isu strategis dalam penyelenggaraan pemilu dan program literasi politik di Kabupaten Sleman tahun 2014, termasuk buku, statistik, hasil monitoring dan evaluasi, dokumen resmi dari KPU dan lembaga lain, hasil penelitian lembaga lain, dan lain-lain. Hasil desk study ini dikaji dengan menggunakan analisa framing dan analisa isi. Tahap kedua adalah pengumpulan data primer, yang karena berbagai keterbatasan maka hanya dilakukan melalui focused group discussion (FGD). Aktivitas ini bertujuan untuk memetakan pandangan umum para aktor kunci mengenai kondisi 3Untuk pemilih pemula misalnya dilakukan dengan menyelenggarakan Cerdas Cermat Kepemiluan dan demokrasi di sekolah-sekolah SMA/sederajat dan Training of Trainer (ToT) terhadap guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Kabupaten Sleman. Selanjutnya lihat pada bagian D. TemuanTemuan yang menyarikan ragam pendidikan politik yang telah dilakukan KPU Kabupaten Sleman. 4 literasi politik masyarakat pemilih di Kabupaten Sleman. FGD ini telah diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 2015 dengan melibatkan 19 narasumber yang berasal dari aktivis NGO yang memiliki komunitas masyarakat dampingan (marginal, difabel, dan miskin), partai politik, penyelenggara pemilu, dan tenaga kependidikan di Kabupaten Sleman. Analisis menyeluruh atas data yang telah terkumpul kemudian dijadikan dasar untuk menyusun laporan ini, yang terdiri dari lima bab, meliputi: Pengantar, Metode Riset, Kerangka Konsep, Temuan dan Rekomendasi. KERANGKA TEORI: LITERASI POLITIK Definisi Literasi Politik Seseorang dikatakan memiliki literasi politik jika ia mampu mengidentifikasi hak dan kewajibannya sebagai warga negara, merasionalisasi pilihan-pilihan politiknya dan mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga politik, dalam kaitannya dengan pemenuhan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Namun demikian, mengidentifikasi definisi literasi politik secara konseptual bukan pekerjaan mudah. Ilmuan politik sebagian besar menilai literasi politik adalah konsep yang abstrak. Namun hal ini tidak mengurangi kesepakatan para ilmuan, bahwa literasi politik merupakan hal urgen dalam membangun kehidupan yang demokratis. Terdapat beberapa pemikiran tentang literasi politik yang penting untuk dipertimbangkan. Di antaranya adalah Westhom et. al. (1990) dan Denver dan Hands (1990). Literasi politik menurut Westholm et al. (1990) pada dasarnya adalah kompetensi warga negara. Kompetensi yang dibentuk agar seorang warga negara siap menjalankan perannya dalam kehidupan demokrasi. Literasi politik, kata Denver dan Hands (1990, p. 263), merupakan pengetahuan dan pemahaman tentang proses politik dan isu-isu politik. Pengetahuan dan pemahaman ini memungkinkan warga negara untuk secara efektif melaksanakan perannya sebagai warga negara. Pengetahuan dan pemahaman ini oleh Cassel dan Lo (1997), disebut sebagai political expertise, political awareness, yang intinya merujuk pada sejauhmana seorang individu memberi perhatian dan memahami politik. Elemen-elemen Literasi Politik Elemen-elemen literasi politik mencakup pengetahuan, keterampilan dan nilai (Andrew et.al., 2008). Kesemuanya digunakan agar mampu berperan secara baik dalam kehidupan publik. Menilik Osler dan Starkey (2005) public life, pada hakikatnya adalah, The term ‘public life’ is used in its broadest sense to encompass realistic knowledge of and preparation for conflict resolution and decision-making related to the main economic and social problems of the day, including each individual’s expectations of and preparation for the world of employment, and discussion of the allocation of public resources and the rationale of taxation. Such preparations are needed whether these occur in locally, nationally or internationally concerned organizations or at any level of society from formal political institutions to informal groups, both at local or national 5 Pendidikan politik dalam rangka meningkatkan literasi politik sejatinya berada dalam bingkai pendidikan kewargaan (citizenship education). Citizenships, tegas Heywood (2004), adalah tentang ikatan dan hubungan resiprokal dalam bingkai hak dan kewajiban antara warga negara dengan negara. Salah satunya adalah political rights. Hak memilih, hak dipilih, hak menagih kinerja pejabat publik adalah contoh sejumlah hak-hak politik warga negara. Dalam kerangka kewargaan tersebut, literasi politik juga merupakan hasil dari pendidikan kewargaan (citizenship education), yang lebih luas dengan mencakup civil rights dan social rights. Dengan bercermin pada kasus partisipasi politik perempuan, Mudhok (2005) lebih jauh, menyatakan bahwa literasi politik setidaknya bisa ditilik dari beberapa elemen: (1) kehirauan dan kesadaran pentingnya aktivitas dan insitutsi politik, kewenangannya, dan perannya; (2) kemampuan untuk membuat opini dan otonomi posisi dalam proses politik dalam rangka menghasilkan suatu outcome politik; (3) pengetahuan mengenai kebijakan, perencanan dan anggaran pemerintah untuk pembangunan dan pelayanan ublik; (4) partisipasi dalam kegiatan politik. Urgensi Literasi Politik Kondisi di mana masyarakat memiliki level literasi politik yang memadai sangat penting bagi kehidupan demokrasi yang sehat. Stoker (2005) menyatakan bahwa sifat mendasar dari politik dalam sistem demokrasi sungguh rumit. Tanpa direcoki dengan korupsi dan kolusi sekalipun, upaya untuk mengagregasi kepentingan, mengelola negosiasi, lalu muncul dengan satu keputusan yang disetujui bersama merupakan hal yang sangat sulit. Mengingat kompleksnya sistem, institusi serta mekanisme yang ada maka ia pun menyebut warga negara sebagai political amateurs, para amatir dalam politik. Yakni yang pihak yang berpartisipasi dalam politik secara sporadis, piece meal, dengan kapasitas secara relatif lebih rendah dibanding para profesional politik seperti lobbiest, aktivis LSM, kader parpol, anggota dewan. Kontradiksi tersebut, jika tidak dikelola, bisa memunculkan banyak masalah. Pertama, yang paling ekstrim, adalah sinisme terhadap politik, participation fatigue, hingga keterputusan warga dari politik. Kekecewaan yang mendalam bisa berujung memudarnya kepercayaan dan dukungan publik terhadap sistem demokrasi. Dengan level literasi politik yang terbatas, ada resiko bagi warga untuk mudah dipengaruhi oleh propaganda politik sehingga mendukung kekuatan non-demokratis. Apatisme yang berhulu pada ketakcukupan kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan politik bisa pula berujung pada perilaku yang merusak (defecting) seperti dengan sengaja menjual suara dalam pemilu. Kedua, tanpa literasi politik yang cukup mengenai praktik daily governing dan policymaking, meningkatkan resiko menjauhnya politik dari kepentingan publik. Pertanggungjawaban dari atas (supply-side accountability) menjadi lemah. Misalnya, minimnya pengetahuan tentang siklus dan cara berpartisipasi serta monitoring perencanaan dan penganggaran daerah bersinonim dengan terbatasnya kontrol publik terhadap pemerintahan daerah. Refleksi advokasi perencanaan partisipatif dan penelusuran belanja publik di Bantul dan Kebumen misalnya, menunjukkan aksekutif dan legislatif dengan leluasa menganulir hak-hak publik, dengan melakukan misalokasi anggaran dan program tatkala kontrol publik lemah (Anwar & Sunaji, 2008). Di aspek demand-side, literasi politik penting untuk agar warga negara mampu menjadi pelaku aktif yang mengontrol kedaulatan yang ia mandatkan kepada pejabat publik. 6 Membentuk Masyarakat yang Literate secara Politik Bagaimana literasi politik terbentuk? Literasi politik merupakan hasil (outcome) dari pendidikan politik (political education). Yang utama adalah sosialisasi politik. Pengertian sosialisasi di sini bukanlah proses instan mendengarkan penjelasan dalam workshop ataupun training. Sosialisasi pada dasarnya adalah upaya untuk membangun kesadaran dan tingkat kognisi tentang politik. Ia merupakan proses internal, yang dibentuk baik melalui pendidikan baik formal maupun informal. Secara formal, di mana pun, pemerintahan demokratis senantiasa berupaya mengajarkan literasi politik bagi generasi baru, yang mana itu berimplikasi bagi pendidikan publik pada umumnya. Saha (2000) menemukan, pada usia dini, anak-anak di Amerika, Inggris dan Australia mulai memperoleh fondasi bagi pengetahuan politiknya. Konsep-konsep politik diserap dan dimaknai. Ia menggarisbawahi, sosialisasi politik dan pembelajaran politik sejak kecil menjadi basis bagi perkembangan lanjut dari sikap dan kebiasan politiknya. Terlepas, tentunya, kualitas dan komitmen pendidikan politik tersebut tentunya beragam. Wai, Yuen, dan Leung (2009) mengingatkan bahwa isu netralitas guru menjadi sentral dalam pendidikan di sekolah. Sementara itu, cara informal, seseorang mendapatakan sosialisasi politik melalui keterlibatannya dalam berbagai aktivitas politik. Exposure politik bisa berasal dari lingkungan kerja, lingkungan sosial, dan seterusnya. Kecenderungan orang untuk, misalnya, permisif terhadap politik uang, juga dipengaruhi oleh pengalaman berpartisipasi atau mengalami pemilu di sejumlah periode. Dampak aktivitas politik ini didukung oleh temuan Saha (2000), di mana pengalaman politik menentukan aktivisme politik di masa-masa selanjutnya. Hasil proses pembentukan literasi politik tersebut dengan baik dirumuskan oleh Westheimer dan Kahe (2004). Menurut mereka, demokrasi warga negara yang baik yang terbentuk melalui pendidikan politik dan kewarganegaran dicirikan oleh tiga hal. Pertama, personally responsible citizens, yang ditandai oleh kemauan membayar pajak, mematuhi hukum, mau bergotong-royong, hingga memiliki solidaritas sosial. Kedua, participatory citizens, yang dicirikan kemauan untuk aktif berkomunitas, mau belajar terkait sistem kepemerintahan dan politik, mau mengorganisir komunitas dan mengetahui strategi untuk mencapai tujantujuan bersama. Ketiga, justice-oriented citizens, yang ditandai oleh kemampuan secara kritis menilai sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik. Selain itu, warga yang beroeientasi pada pencapaian keadilan juga memiliki kemauan untuk menjawab problem ketidakadilan, mengetahui bagaimana menggalang gerakan sosial warga negara serta mempengaruhi secara sistemik. Tiga ciri ini penting sebab, warga negara yang baik tidak saja bisa bertanggungjawab ketika menjalankan hak-hak politiknya dalam pemilu, namun di saat yang sama juga memiliki solidaritas dengan sesama warga, tidak membuang sampah sembarangan, hingga menolak membayar suap untuk memperoleh privilege layanan publik. 7 Tantangan Literasi Politik Literasi politik tentu tidak bisa dicapai melalui “sistem kebut sebulan” ala sosialisasi jelang pemilu. Setidaknya ada dua tantangan mendasar dari upaya membangun literasi politik. Pertama, berkaitan dengan komitmen politik. Pihak yang paling dirugikan ketika masyarakat literate secara politik adalah elit. Jauh Hari Tandon (2002) mengingatkan tentang gap akuntabilitas yang sengaja dipertahankan. Dalam kultur transisi dimana budaya politik non-demokratis masih kuat, warga memilih kandidat dengan logika kultural—kesamaan etnisitas, budaya, agama, dan seterusnya. Diandaikan, kesamaaan tersebut akan bertransformasi dalam praktik politik yang aspiratif. Sebaliknya, logika para elit ketika berhadapan dengan warga dan praktik representasi simbolik adalah ekonomi politik. Dua logika ini tidak bertemu, dan akuntabilitas urung terjadi. Jika literasi politik meningkat, elit menjadi pihak yang paling terancam. Kedua, berkaitan dengan aspek teknokratis perancangan program/kegiatan. Sebagai proyek jangka panjang, upaya membangun literasi politik memerlukan kebijakan, program/kegiatan, dengan rute jalan yang jelas. Kelemahan yang mencolok, sejauh ini, belum ada desain kebijakan kewargaan yang jelas, yang menjadi bingkai dari pendidikan politik pada khususnya. Tidak jelas bangunan besar substansinya, strategi dan pendekatan yang dipilih, hingga upaya penyiapan sumberdaya manusia pelaksananya. Secara kronis, dari tahun ke tahun yang tampak adalah kegiatan sosialisasi sesaat menjelang perhelatan pemilu. Ini diperparah dengan kurang sinkronnya antar sektor yang memiliki tupoksi relevan, lantaran kuatnya ego sektoral. Ketiga, selama ini literasi politik masih dibebankan kepada KPU/KPUD. Padahal, jika misinya adalah untuk mengembangkan insan warga negara yang aktif, maka lembaga-lembaga pemerintah yang lain harus aktif memfasilitasi keterlibatan publik (Andrew et.al. 2008). Sayangnya, lembaga-lembaga ini belum optimal berperan. Di level lokal, misalnya, SKPD-SKPD belum mau membuka informasi terkait dokumen perencanaan dan penganggaran, betapapun Indonesia telah memiliki UU Keterbukaan Informasi. Karena itu, jika literasi politik mencakup kesadaran berpartisipasi melebihi prosesi pemilu, maka lembaga-lembaga pemerintah di luar KPU/KPUD penting untuk membuka diri, memberikan informasi yang relevan dan memfasilitasi partisipasi masyarakat. TEMUAN-TEMUAN Pengguna Hak Pilih Secara Kuantitatif: sekilas tinjauan secara umum Sebagaimana telah disampaikan dalam latar belakang, motivasi untuk melakukan penelitian terbatas tentang tingkat/ kualitas literasi pemilih di Kabupaten Sleman ini dilatarbelakangi oleh tingginya partisipasi pemilih di Kabupaten Sleman (lebih dari 80%) sehingga menimbulkan pertanyaan tentang apakah tingginya tingkat partisipasi secara kuantitatif ini juga menunjukkan tingginya tingkat melek politik masyarakat pemilih secara kualitatif. Tingginya tingkat pemilih ini juga sempat menghadirkan “kecurigaan” tentang apakah karakter penduduk (urban/ sub urban atau rural) di tiap kecamatan berpengaruh terhadap persentase keikutsertaan dalam pemilu. Tetapi setelah ditelusuri dari data kuantitatif, ternyata hal tersebut tidak cukup terbukti, kecuali dilakukan penelitian mendalam tentang motivasi pemilih di tiap-tiap kecamatan. 8 Tabel Persentase Pengguna Hak Pilih di Kabupaten Sleman Kecamatan Jumlah Pemilih Jumlah Penggguna Hak Pilih % pengguna hak pilih di kec. thd pemilih di kec. masingmasing % pengguna hak pilih di kec. thd total pemilih di kab % pengguna hak pilih di kec. thd total pengguna hak pilih di kab Gamping 69880 57843 82.77% 7.06% 8.64% Godean 52452 43850 83.60% 5.35% 6.55% Moyudan 25877 22150 85.60% 2.70% 3.31% Minggir 25283 21279 84.16% 2.60% 3.18% Sayegan 36669 31529 85.98% 3.85% 4.71% Mlati 74514 58762 78.86% 7.18% 8.78% Depok 107982 79256 73.40% 9.68% 11.84% Berbah 40028 32800 81.94% 4.01% 4.90% Prambanan 39333 32518 82.67% 3.97% 4.86% Kalasan 59042 48511 82.16% 5.92% 7.25% Ngemplak 45613 37780 82.83% 4.61% 5.64% Ngaglik 74285 59213 79.71% 7.23% 8.85% Sleman 50474 42620 84.44% 5.20% 6.37% Tempel 39857 34347 86.18% 4.19% 5.13% Turi 26575 23302 87.68% 2.85% 3.48% Pakem 27906 23903 85.66% 2.92% 3.57% Cangkringan 23190 19615 84.58% 2.40% 2.93% 818960 669278 % total pengguna hak pilih thd total pemilih 81.72% 81.72% Sumberdata: KPUD Sleman 2014 Sebagaimana tampak dalam tabel, secara umum tingkat pengguna hak pilih pada tingkat kecamatan cukup merata, tidak ada perbedaan yang mencolok. Persentasi pengguna hak pilih di kecamatan-kecamatan sub urban di Kabupaten Sleman, misalnya Depok, Mlati, Ngaglik, dan Gamping memang terlihat lebih rendah jika dibandingkan Turi, Pakem, dan Cangkringan yang lebih rural. Tetapi perbedaan tersebut tidaklah mencolok. Kedua, ada perbedaan yang cukup berarti dari sisi jumlah penduduk pada kecamatan sub urban dibandingkan kawasan rural sehingga bilangan pembaginya menjadi tidak setara. Sehingga persentase per kecamatan ini perlu dilihat secara lebih teliti; setidaknya dengan membandingkannya dari beragam sudut pandang. Karena itu kami menyajikan perhitungan kedua, yaitu perbandingan antara pengguna hak pilih di kecamatan terhadap total pemilih di kabupaten. Dari sana terlihat bahwa pemilih yang tinggal di kawasan sub urban lebih banyak menggunakan hak pilihnya dibandingkan mereka yang tinggal di kawasan rural. Namun apakah kuantitas 9 tingginya pengguna hak pilih ini merupakan bukti tingginya kualitas pemahaman politik atau tingginya tingkat melek politik mereka, tidak bisa dijustifikasi secara tergesa-gesa. Melainkan, perlu pendalaman yang cukup melalui penelitian yang lebih dalam. Perbandingan persentase yang ketiga, yaitu antara pengguna hak pilih pada kecamatan dibandingkan dengan total pengguna hak pilih di kabupaten. Lagi-lagi kecamatan-kecamatan yang lebih sub urban menunjukkan tingkat pengguna hak pilih yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan-kawasan yang lebih rural. Tetapi seperti halnya pada perbandingan yang kedua, capaian kuantitas tidak serta merta menunjukkan capaian kualitas. FGD yang dilakukan baru-baru ini tidak dilakukan untuk mencari jawaban pada level kecamatan, melainkan untuk mencari gambaran umum tentang kualitas pengguna hak pilih di Kabupaten Sleman. Dan untuk melihat gambaran umum itu, batasan administratif seperti kecamatan bukan menjadi prioritas karena ada batasan lain yang agaknya lebih krusial untuk dilihat, yaitu “batasan” mengenai jenis/ kelompok masyarakat pemilih, sebagaimana akan coba diperlihatkan sebagaimana berikut. Kualitas Literasi Politik Penduduk Sleman: temuan FGD FGD yang diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 2015 di FISIPOL UGM dihadiri 27 peserta dari kalangan CSO (baik dari unsur perempuan, pemuda, organisasi keagamaan, buruh, dan lain-lain), penyelenggara pemilu pada level teknis (misalnya pada tingkat kecamatan/PPK), partai politik, guru, dan mahasiswa yang merepresentasikan kelompok pemuda (selengkapnya dapat dilihat dalam Daftar Hadir FGD Literasi Politik PolGov JPP UGM). Demi efektivitas penggalian informasi dari para peserta, para peserta dibagi kedalam dua kelompok FGD yang masing-masing mendiskusikan tentang sejauh mana tingkat literasi politik masyarakat pemilih di Sleman telah berpengaruh pada perilaku memilih mereka. Juga, faktor-faktor yang telah mempengaruhi tingkat melek politik ini. Apakah tingkat partisipasi pemilih Sleman yang sewaktu pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 lalu mencapai lebih dari 80% ini bisa menggambarkan kualitas pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang bermukim di kawasan Kabupaten Sleman Provinsi DIY. Dua kelompok diskusi ini masing-masing dipandu oleh seorang fasilitator dan keduanya diikuti oleh representasi dari kelompok yang hadir, yaitu CSO, penyelenggara pemilu, partai politik, pemuda, dan guru. Aktivitas yang sebatas pada penyelenggaraan satu kali FGD ini sudah barang tentu tidak bisa menghasilkan jawaban mendalam/ gambaran utuh mengenai kondisi literasi politik masyarakat pemilih di Sleman. Tetapi, dengan mengundang beberapa pihak yang diyakini memiliki pengetahuan cukup tentang kondisi masyarakat pemilih di Kabupaten Sleman, maka setidaknya FGD ini berhasil mengidentifikasi sejumlah isu besar sebagai gambaran umum tentang kondisi literasi politik masyarakat pemilih di Kabupaten Sleman. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingginya Partisipasi Pemilih Secara umum, peserta FGD Kelompok 1 maupun Kelompok 2 berpendapat bahwa tingkat partisipasi pemilu yang tinggi secara kuantitatif belum tentu membuktikan tingkat literasi politik masyarakat yang juga tinggi/ baik. Walaupun 10 kesadaran politik yang baik sangat mungkin menjadi pendorong bagi tingginya tingkat partisipasi masyarakat pemilih di Sleman, namun keberadaan hal-hal lain juga harus dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi motivasi pemilih atau keputusan mereka dalam menentukan pilihan. Beberapa hal yang terangkum dalam dua kelompok FGD ini adalah sebagai berikut: 1. Pengetahuan politik yang telah baik Sekalipun sebagian besar peserta FGD cukup skeptis dengan tingkat literasi politik pemilih di Sleman sebagai penyebab dari tingginya partisipasi pemilih tahun lalu, namun tetap ada keyakinan bahwa masih ada pemilih yang memilih dengan kesadaran dan pengetahuan, khususnya para pemilih dari kalangan terdidik (mahasiswa, dan sebagainya). 2. Politik uang sebagai motivator pemilih Seperti halnya dalam FGD-FGD sejenis yang pernah dilakukan oleh JPP Fisipol UGM (i.e. Aspinall & Sukmajati, 2015; JPP FISIPOL UGM, 2015), para peserta FGD kali ini baik dari kalangan CSO maupun partai politik juga mengungkapkan kecurigaannya tentang politik uang sebagai salah satu motivator negatif yang mendorong para pemilih untuk pergi ke TPS dan menyalurkan suaranya dalam pemilu lalu. Sayangnya, politik uang terutama dalam bentuk cash—serangan fajar— juga disebutkan hadir hingga ke kawasan-kawasan yang dihuni oleh kelompok masyarakat yang memiliki pendidikan formal yang baik. Peserta FGD kelompok 2 menyoroti praktik politik uang ini dalam kaitannya dengan tingkat apatisme masyarakat yang tinggi terhadap politisi yang telah berubah menjadi sikap oportunis untuk turut serta dalam pemberian suara, tetapi sekaligus juga menyebabkan rendahnya kontrol masyarakat terhadap caleg/ aleg. Keapatisan warga terhadap caleg/ pemilu, disebutkan oleh anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam diskusi pada Kelompok 2, juga tampak dari keacuhan masyarakat terhadap informasi mengenai caleg yang telah dipampang oleh PPK di papan pengumuman. Namun ketika politik uang dilancarkan banyak diantara mereka yang menanti “jatah” yang diberikan dalam bentuk uang maupun beragam fasilitas yang ditawarkan oleh para caleg. Pemberian materi oleh caleg kemudian diterima dengan senang hati dan mendorong pemilih dengan perasaan tanpa beban pergi ke TPS dan menyalurkan suaranya. Dalam diskusi ini muncul istilah yang cukup popular di kalangan masyarakat maupun caleg: NPWP (Nomor Piro, Wani Piro), yang disinyalir telah membentuk relasi “beli-putus” antara caleg dan pemilih. Pemberian uang dari caleg kepada pemilih membuat mereka dengan ringan datang ke TPS dan memberikan suara mereka dengan tanpa beban tertentu. Demikian juga, caleg terpilih juga secara tanpa beban akan menjalankan aktivitasnya sebagai aleg, karena “tanggung jawabnya” telah diberikan dalam bentuk uang saat pemilu. Fenomena politik uang juga disebutkan menjadi bagian dari politik primordial dimana caleg berusaha melakukan apapun demi mendapatkan posisi politik tertentu dan ini memang menjadi tantangan yang besar bagi upaya untuk melakukan pendidikan politik/pemilu/pemilu. Apalagi ketika potret pemilih yang paling dominan adalah masyarakat umum yang secara umum pula masih 11 menghendaki keberadaan politik uang, baik yang dikoordinir (atas nama kelompok masyarakat tertentu) maupun individu. 3. Mobilisasi suara Masih terkait dengan politik uang, faktor lain yang disebutkan turut mendukung tingginya tingkat partisipasi adalah mobilisasi suara oleh broker politik terutama yang berasal dari kalangan perangkat pemerintahan terendah/ desa maupun tokoh masyarakat lainnya. Peserta pada FGD kelompok 1 mengatakan bahwa para pemilih yang belum cukup terdidik secara politik sering dihadapkan pada mobilisasi oleh para tokoh masyarakat ini yang notabene terlibat dalam dealdeal politik dengan caleg. Misalnya negosiasi mereka untuk mendapatkan fasilitas pembangunan, seragam senam, dan lain lain yang diperuntukan bagi umum/ kelompok tertentu kemudian sebagai konsekuensinya dipertukarkan dengan memobilisasi suara anggota masyarakat kepada calon tersebut. Selanjutnya, mobilisasi suara yang berkaitan dengan isu gender dan patriarki. Dari diskusi pada kelompok 1 juga diungkapkan bahwa tingginya partisipasi dan kecenderungan memilih calon tertentu juga sangat mungkin dilatarbelakangi oleh dominasi laki-laki (kepala keluarga) dalam menggiring suara anggota keluarganya. Mirip dengan temuan FGD serupa yang pernah diselenggarakan oleh JPP UGM pada Mei 2015 lalu (JPP FISIPOL UGM, 2015), cerita tentang bagaimana kepala keluarga mempengaruhi anggota keluarganya untuk memilih calon yang ia pilih juga muncul dalam diskusi ini. Demikian juga soal isu kurangnya kapasitas caleg perempuan, serta dukungan setengah hati parpol terhadap kandidat perempuan yang semata demi memenuhi syarat administratif 30% caleg yang ditentukan oleh regulasi pemilih. Disini, isu yang muncul adalah, literasi politik juga terkendala pada perspektif patriarki yang melingkupi tidak saja pemilih, tetapi juga partai politik dan para caleg itu sendiri. Pendidikan Pemilih yang Belum Efektif Lalu, apakah hal-hal di atas terjadi karena masyarakat belum mendapatkan pendidikan politik/pemilu? Kedua kelompok FGD sama-sama menyatakan bahwa pendidikan politik/pemilu sebenarnya telah banyak dilakukan untuk banyak kelompok masyarakat, hanya saja belum efektif baik dalam hal jangkauan, materi, ataupun strategi. Pendidikan politik/pemilu yang telah dilakukan juga belum mampu menghalau politik uang maupun pengerahan suara baik yang dilakukan oleh aparat, kepala keluarga, atau bahkan pendamping pemilih. 1. Pendidikan politik/pemilu yang belum merata dan efektif untuk kelompok minoritas Sebagai contoh, untuk kelompok minoritas penyandang disabilitas. Peserta dari Kelompok FGD 1 menyampaikan bahwa transfer pengetahuan melalui pendidikan politik/pemilu untuk penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman sebenarnya mulai sering dilakukan; khususnya menyangkut sosialisasi tentang hak dan tata cara memilih. Tetapi pada sisi lain, peserta FGD juga menggarisbawahi bahwa pada realitasnya banyak warga masyarakat yang berkebutuhan khusus ini 12 belum memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal (banyak yang tidak tidak sekolah dan sebagainya). Karena itu, khususnya pada kelompok 1 FGD, secara umum peserta menilai bahwa kendala teknis telah mengakibatkan beberapa hal: sosialisasi mengenai hak dan tata cara memilih belum dilakukan secara merata dan efektif sehingga masih banyak kekeliruan teknis dalam pemberian suara kurangnya dukungan dari keluarga karena ketidaktahuan mereka bahwa anggota keluarga mereka yang menyandang disabilitas memiliki hak dan ketrampilan dalam menggunakan hak pilih kesulitan transfer of knowledge untuk tenaga sosialisasi (para pendamping), terkadang ketika mereka tidak tahu bahwa yang didampingi sudah mendapatkan informasi mengenai dan tata cara memilih mereka justru melakukan pemaksaan terkadang parpol juga belum cukup memperlihatkan perannya dalam melakukan pendampingan dan sosisalisasi bagi kelompok difabel. Apa yang dilakukan parpol bukan pendidikan politik/pemilu melainkan pengarahan agar memilih calopn dari partainya. Hal yang berbeda dihadapi oleh kelompok minoritas transgender. Aktivis dari kelompok ini menceritakan bahwa, jangankan mendapatkan pendidikan politik/pemilu, kelompok mereka bahkan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan justifikasi untuk terlibat di dalam politik, salah satunya karena banyak diantara mereka adalah pendatang. Sulitnya mendapatkan jastifikasi politik ini juga berimplikasi pada tidak diperolehnya hak-hak politik sebagaimana mestinya, apalagi akses mendapatkan informasi dan dukungan tentang itu. Pendapat ini menjadi berbeda dengan data sosialisasi pendidikan politik/ pemilu oleh KPU yang menyebutkan bahwa kelompok transgender merupakan salah satu kelompok yang mendapatkan sosialisasi (KPU Kab. Sleman 2014). Walau demikian, perbedaan ini bisa merujuk pada isu belum meratanya informasi di kalangan kelompok/ aktivis transgender. 2. Pendidikan politik/pemilu untuk pemilih pemula Sementara itu untuk pemilih pemula, responden dari guru menyampaikan kesulitannya tentang pendidikan pemilih untuk pemula. Aktivitas yang banyak “dilimpahkan” ke sekolah ini menghadapi tantangan tersendiri. Materi tentang pendidikan politik/pemilu, menurut guru, adalah materi yang paling sulit untuk dipahamkan kepada anak didik (calon pemilih baru); karena sering berbenturan dengan kenyataan. Para pemilih baru ini juga dihadapkan pada mobilisasi politik dari parpol yang menjanjikan “uang bensin” untuk bermotor di jalan raya yang bagi mereka adalah kesempatan yang luar biasa; sehingga apa yang diajarkan di sekolah menjadi sia-sia bahkan ketika metode pendidikan politik/pemilu di sekolah telah diuapayakan menggunakan media interaktif (menonton film dan diskusi misalnya). Usia para pemilih pemula yang secara psikologis baru menyukai aktivitas yang semacam itu menjadi mudah dimanfaatkan oleh parpol. Kedua, para pemilih baru terkadang juga dihadapkan pada “pemaksaan” preferensi politik agar sesuai dengan preferensi politik orang tuanya terhadap calon tertentu. Ketiga, pendidikan 13 politik/pemilu untuk pemula juga sering terkendala pada substansi pengajaran, yakni demokrasi. Guru juga merasa bahwa kesulitan mengajarkan pendidikan politik/pemilu juga karena nuansa “demokrasi liberal” yang lebih kental ketimbang “demokrasi pancasila” sehingga berkontribusi dalam kesulitan mengenalkan demokrasi yang lebih mudah kepada anak didik. Kemudian, jika cerita tersebut muncul dari pihak guru SMA, maka kesulitan lain diungkapkan oleh peserta dari kelompok pemuda itu sendiri (aktivis pemuda/ mahasiswa). Pertama, keterbatasan jangkauan pemuda sehingga berimplikasi pada bentuk materi pendidikan politik/pemilu dan efektivitas penyampaiannya. Misalnya, sulitnya mengorganisir para pemuda menjadikan agenda sosialisasi/ pendidikan politik/pemilu selama ini cenderung hanya memahamkan tentang pemilu itu apa. Kedua, menurunnya ketertarikan pemuda untuk terlibat dalam aktivisme dan kecenderungan aktivis pemuda untuk masuk dalam organisasi partai politik. Sementara, keterlibatan mereka di parpol juga mengalami berbagai tantangan karena parpol belum bisa bekerja optimal dalam pendidikan politik/pemilunya atau juga beragam isu pengkaderan dalam partai politik. Ketiga, mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi kepemudaan lama—yang melekat dalam pemerintah—misalnya OKP KNPI yang merupakan warisan Orde Baru juga terhadang oleh sistem pendidikan politik/pemilu yang dikatakan sebagai “sangat tidak sehat”, kemungkinan karena masih meneruskan tradisi lama organisasi yang lebih bersifat mengkooptasi ketimbang mengembangkan kemampuan berpikir yang demokratis dan sebagainya. 3. Pendidikan politik/pemilu pada kalangan buruh Pendidikan politik/pemilu untuk kalangan buruh. Sekalipun Sleman bukan kawasan industri yang besar tetapi jumlah buruh dari sektor industri diprediksi cukup besar. Selain itu juga buruh-buruh seperti buruh gendong yang kehidupannya jauh dari hiruk pikuk politik. Kelompok-kelompok ini diyakini belum cukup tersentuh oleh pendidikan politik/pemilu4 sehingga banyak diantara mereka kemudian diyakini menjadi “korban” dari praktik politik uang karena kurangnya kesadaran politik yang benar tentang proses pemilu atau bahkan sekedar tata cara pemilu yang demokratis. Apa yang diungkapkan oleh aktivis buruh dalam FGD kelompok 1 ini juga terkonfirmasi dalam temuan FGD pada kelompok 2. Sekalipun pendidikan politik/pemilu telah dilakukan tetapi hasilnya beragam. Pendidikan politik/pemilu untuk kelompok pekerja telah berhasil membuat sebagian dari mereka sadar bahwa pemilu bukan sistem “beli-putus”; bahwa politik akan berlangsung terus menerus dalam kebijakan sehari-hari yang akan berimplikasi pada kehidupan langsung para pekerja: kebijakan upah/ gaji, jaminan kesejahteraan (BPJS) dan lain-lain. Bahwa kebijakan-kebijakan tersebut akan selalu menyambungkan relasi buruh dengan bupati dan DPRD sehingga mengindikasikan pentingnya kontrol terhadap mereka yang terpilih. Meski demikian, sebagaimana ditemukan dalam kelompok FGD 1, aktivis buruh pada kelompok FGD 2 juga Dalam riset serupa yang dilakukan JPP tahun 2014, kurangnya sosialisasi terhadap teknis pemberian suara dilami oleh buruh gendong di pasar Giwangan Yogyakarta. Menjelang pileg 2014 yang tinggal menghitung hari, para buruh gendong diwilayah tersebut belum mengetahui cara mencoblos dengan benar. Hal tersebut terungkap ketika JPP hendak mensosialisasikan pendidikan pemilih melalui kartu kontrol-telusur rekam jejak kandidat pemilu.(JPP-TIFA 2014) 4 14 menyadari bahwa upaya pendidikan politik/pemilu/ sosialisasi ide-ide semacam ini tidak mudah karena kesempatan untuk menyelenggarakan sosialisasi semacam ini juga tidak banyak. Sementara itu, kesadaran atau kemampuan kelompok masyarakat terdidik untuk melakukan tracking terhadap calon juga, menurut peserta, masih terbatas. Pengetahuan baru mereka akan calon tertentu bisa mengubah keputusan awal mereka untuk tidak memilih (golput) menjadi ingin memilih, tetapi tidak banyak dari pemilih pada kelompok ini yang kemudian benar-benar (berhasil) melakukan tracking secara maksimal terhadap calon di tengah berbagai rumor yang diterpakan terhadap calon yang akan mereka pilih. Apa yang dihadapi oleh kelompok masyarakat terdidik ini juga menjadi persoalan tersendiri bagi kelompok masyarakat lain yang sebenarnya telah memiliki kesadaran tentang pentingnya melakukan tracking. Dalam riset sejenis yang pernah dilakukan oleh JPP (JPP-TIFA 2014), keterbatasan informasi yang terbuka untuk publik juga menjadi masalah utama bagi mereka yang ingin melakukan penelusuran jejak kandidat demi menilai kualitas mereka. 4. Pendidikan politik/ pemilu untuk perempuan Cerita yang lebih optimistik disampaikan oleh sejumlah aktivis yang menyatakan telah melakukan serangkaian aktivitas pendidikan politik untuk perempuan, termasuk untuk kalangan partai politik, ormas, maupun pemilih perempuan, yang antara lain diselenggarakan oleh kalangan CSO maupun KPU Sleman. Materi yang mereka sampaikan pun beragam, mulai dari soal HAM, gender, hingga politik; yaitu bagaimana menyuarakan dan menegosiasikan kepentingan kepada pihak yang relevan Tidak optimalnya pendidikan politik/pemilu bagi kelompok-kelompok masyarakat tersebut membawa pertanyaan kepada: sejauh mana para aktor penyelenggara pendidikan politik/pemilu menunjukkan keseriusannya dalam bekerja? KPU Kabupaten Sleman, sebagai penyelenggara pemilu di kabupaten ini sebenarnya cukup banyak melakukan sosialisasi tentang pemilu tidak saja dengan cara membidik banyak segmen masyarakat namun juga dengan menerapkan beragam aktivitas/ metode dan alat peraga. Dalam dokumen sosialisasi yang dihimpun oleh KPU Kabupaten Sleman, lembaga ini setidaknya telah menyelenggarakan 79 aktivitas sosialisasi sejak akhir tahun 2013 hingga menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014. Kegiatan tersebut dilakukan dengan membidik kelompok sasaran yang sangat beragam: pemuda dan mahasiswa, instansi pemerintah vertikal dan daerah yang ada di Kabupaten Sleman, LSM, masyarakat umum, kelompok marjinal (difabel, transgender), warga binaan di lembaga pemasyarakatan, kelompok-kelompok perempuan, kelompok keagamaan, guru dan pengurus OSIS SMA/ SMK, pemilih pemula, anak-anak pada bangku Sekolah Dasar, wartawan, dan lain sebagainya. Sosialisasi tersebut juga menggunakan metode/ aktivitas yang cukup beragam seperti lokakarya, rapat kerja bersama, audiensi, kirab bersama masyarakat, bimbingan teknis untuk relawan, temu warga, sarasehan, gerak jalan, sosialisasi keliling (mobil keliling), dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, sarana dan alat bantu yang digunakannya juga cukup bervariasi mulai dari modul sosialisasi, kartu, hingga sarana dalam bentuk permainan. KPU juga menyertakan partisipasi masyarakat yang tergabung dalam Program Relawan Demokrasi/ Relasi dalam aktivitas sosialisasinya. (Selengkapnya lihat pada KPU Kab. Sleman 2014). Selain itu, sebagaimana informasi yang disampaikan dalam FGD, KPU Kabupaten Sleman juga tengah menjalankan pilot project di 18 kabupaten (9 provinsi) 15 yang akan bermuara pada program “dusun melek politik”. Namun, menilik pada pendapat para partisipan FGD, jangkauan KPU yang semacam ini agaknya masih belum mencukupi. Lalu, bagaimana keseriusan aktor-aktor lain dalam menyelenggarakan pendidikan pemilu? Permasalahan tentang keterbatasan kemampuan dan jangkauan melakukan pendidikan politik/pemilu juga diakui oleh kelompok CSO. Sekalipun banyak LSM di Yogyakarta ketika melakukan pendampingan masyarakat sehari-hari juga menyisipkan agenda pengetahuan politik tentang pemilu namun ada banyak keterbatasan. Banyak LSM dan ormas juga telah melakukan kerja berjaringan dalam beragam bentuk untuk tujuan yang sama (pendidikan politik/pemilu). Misalnya seperti yang dilakukan oleh LSM IDEA dengan masyarakat dampingannya (PSM/ Perempuan Sahabat Merapi). Juga kerja jaringan sejumlah LSM yang menyelenggarakan program sekolah politik perempuan, atau pendidikan politik/pemilu melalui aliansi-aliansi. Tetapi tetap saja masih banyak kelompok masyarakat yang sama sekali belum tersentuh pendidikan politik/pemilu. Kemudian, kerja-kerja jaringan juga kerap terkendala dengan pendanaan. Ketika mereka mengkander kelompok tertentu yang diharapkan dapat menularkan pendidikan politik/pemilu, mereka ini juga berhadapan dengan dana untuk transportasi dan mungkin juga konsumsi. Pada level penyelenggara pendidikan formal terutama untuk pemilih baru (siswa SMA/ SMK dan sederajat), sebagaimana ditunjukkan oleh temuan di atas, masih ada kendala pada pemilihan substansi pelajaran dan strategi yang belum mampu menembus tantangan yang lebih luas/ realistis. Kaitannya dengan tantangan yang lebih luas ini, salah satunya merujuk pada kontribusi aktor lain yang juga berkewajiban melakukan pendidikan politik/pemilu yang baik bagi masyarakat, yaitu partai politik. Sekalipun banyak partai politik mungkin juga telah melakukan beragam aktivitas dan inovasi untuk menyelenggarakan pendidikan politik/pemilu yang baik, namun pendapat yang muncul dalam FGD ini menyayangkan peran partai politik yang dinilai turut berkontribusi terhadap kesulitan guru dalam menanamkan nilai-nilai demokrasi dan penyelenggaraan pemilu yang benar. Keinginannya untuk memenangkan suara sebanyak diyakini menjadi penyebab partai politik banyak mendukung politik uang sekaligus mengajarkan pendidikan politik/pemilu untuk kelompok pemula yang kontradiktif terhadap agenda pendidikan politik/pemiluyang diajarkan melalui mata pelajaran di sekolah (memfasilitasi pemilih pemula untuk konvoi5 daripada aktivitas yang lebih positif). Beberapa Usulan Rekomendasi yang Muncul dari FGD FGD ini tidak menyepakati beberapa isu sebagai rekomendasi khusus dari para narasumber yang hadir. Namun, dari diskusi yang berlangsung selama sekitar 3 jam ini ada beberapa lontaran ide yang kami maknai sebagai usulan rekomendasi, diantaranya sebagai berikut: 1. Pentingnya civic education dalam literasi politik Dari FGD pada kelompok 1, dalam hal ini adalah responden dari guru SMA beranggapan bahwa civic education (pendidikan kewarganegaraan) untuk 5Merujuk pada penyediaan “uang bensin” yang menarik hati pemilih pemula untuk turut dalam konvoi yang tidak tertib. 16 literasi politik yang diselenggarakan dari tingkat tinggi hingga ke tingkat terbawah seperti RT/ RW akan efektif untuk menyampaikan pendidikan politik/pemilu yang baik. Walaupun ini juga akan berhadapan dengan kendala teknis, soal tenaga pendidik misalnya. Pendidikan semacam itu, asalkan dilakukan dengan terarah, diyakni akan juga bisa meminimalisir penggunaan politik uang dalam pemilu. Politik uang diyakini akan lebih diarahkan kepada kelompok-kelompok yang belum “melek politik”. 2. Revolusi mental, peran partai politik dan penyelenggara pemilu untuk menghalau hasrat politik uang Kaitannya dengan politik uang, peserta dari diskusi pada FGD kelompok 2 menyampaikan keyakinannya bahwa tradisi politik uang yang menjadi kendala utama dalam literasi politik hanya bisa diatasi dengan revolusi mental. Tradisi politik uang, dalam keyakinannya, telah bekerja selama berpuluh tahun dan semakin menguat saat ini tidak saja menghinggapi masyarakat umum namun juga tokoh masyarakat yang sangat religius (tokoh agama). Masyarakat bisa saja memiliki pengetahuan tentang pemilu yang cukup luas (melek politik) tetapi pengetahuan ini masih terkalahkan oleh oportunisme politik uang. Oleh karena itu muncul juga sejumlah usulan untuk menanamkan pendidikan anti politik uang sejak usia dini; juga contoh mengenai keberanian generasi muda yang tergabung dalam Ormas Fatayat yang menanamkan sikap mandiri demi menolak politik uang. Peserta dari kelompok ini menceritakan bahwa organisasinya berani menolak calon yang disodorkan kepada mereka dengan konsekuensi diberhentikannya bantuan biaya listrik sebesar Rp. 500.000/ bulan. Selain soal “revolusi mental”, ada juga peserta yang menyoroti peran partai politik dan penyelenggara pemilu (KPU). Partai politik diminta mendukung upaya ini dengan cara memastikan kandidatnya untuk mengusung visi, misi, dan program daripada menggunakan politik uang. Sedangkan KPU diharapkan bisa memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi pembatalan pada peserta yang terbukti melakukan praktik ini (penguatan KPU). 3. Pentingnya sinergi penyiapan materi pendidikan politik/pemilu Siapa yang harus melakukan pendidikan politik/pemilu? Dari kelompok 1 muncul gagasan bahwa salah satu hal yang mungkin bisa dilakukan adalah kerjakerja penyamaan persepsi (standarisasi materi), misalnya dengan cara beberapa universitas besar di Yogyakarta menyamakan persepsi dalam membuat modul dan bersama-sama terjun melakukan pendampingan/ sosialisasi. Dan cara ini tidak terbatas dilakukan menjelang pilkada atau pemilu saja misalnya tapi juga berguna untuk masyarakat yang menghadapi pilkades. 4. Pentingnya strategi yang tepat dalam penyampaian pendidikan politik/pemilu Sementara itu peserta pada kelompok 2 mengingatkan pentingnya strategi yang tepat yaitu penerapan strategi yang berbeda-beda untuk setiap kelompok masyarakat yang disesuaikan dengan karakter masing-masing kelompok. Misalnya strategi pendidikan politik/pemilu untuk pemilih pemula yang enerjik dan melek teknologi harus dibedakan dengan strategi yang membidik kelompok ibu-ibu PKK di pedesaan, misalnya. 17 Kesimpulan FGD Terbatasnya aktivitas riset ini menyebabkan sulit mengukur secara pasti mengenai tingkat literasi politik pemilih di Kabupaten Sleman. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat literasi politik—jika merujuk pada cara masyarakat pemilih memahami tentang pemilu baik tentang tata cara dan implikasinya pada politik atau bahkan kehidupan nyata mereka, maka hasilnya akan beragam. Pertama, ada sebagian masyarakat yang mungkin telah memiliki tingkat literasi politik yang cukup baik namun kelompok ini kadang terkendala dengan ketersediaan informasi yang lebih dalam tentang kandidat (kesulitan melakukan tracking terhadap kandidat). Kedua, sebagian masyarakat masih memahami bahwa motivasi uang/ fasilitas menjadi pertimbangan penting dalam menyalurkan hak pilih mereka6. Ketiga, sebagian masyarakat menyalurkan pilihannya karena mobilisasi dari keluarga/ relasi/ tokoh masyarakat/ lainnya. Selanjutnya, para peserta FGD ini secara umum juga mengungkapkan beberapa hal penting. Misalnya, pertama, banyak pihak menyadari bahwa tingginya tingkat partisipasi politik secara kuantitatif belum menunjukkan tingginya kualitas literasi politik masyarakat pemilih. Kedua, forum FGD juga menceritakan bahwa sesungguhnya telah ada banyak upaya dari banyak pihak, melalui beragam cara, untuk memberikan pendidikan politik/pemilu bagi kelompok-kelompok tertentu akan tetapi masih banyak kendala yang menyebabkan upaya ini masih belum cukup berhasil. Misalnya: kendala substantif (terutama pada pendidikan politik/pemilu yang disampaikan secara formal di bangku sekolah menengah atas), kendala pendanaan (dalam kerja-kerja berjaringan), kendala jangkauan, kendala informasi dan lain sebagainya. Kedua, salah satu kendala yang paling berat yang banyak disinggung oleh peserta diskusi adalah budaya politik uang yang sangat kuat baik yang melingkupi calon, parpol, dan bahkan masyarakat pemilih. Politik uang yang antara lain dipicu oleh oportunisme pemilih di balik apatisme mereka terhadap DPRD maupun kepala pemerintahan terpilih telah menjadi salah satu faktor pendorong tingginya minat pemilih untuk menyalurkan suaranya pada pemilu. Hal ini tentu saja sekaligus menjadi bukti bahwa tingginya partisipasi politik sekali lagi tidak membuktikan tingginya kualitas literasi politik warga/ pemilih. Ketiga, peserta FGD juga turut menyumbangkan pikiran untuk upaya perbaikan pendidikan politik/pemilu yang tidak saja sebatas pada memperbanyak pendidikan politik/pemilu untuk masyarakat pemilih, namun juga pentingnya memikirkan strategi yang tepat untuk tiap-tiap kelompok masyarakat sesuai dengan karakternya masingmasing. Masukan ini, dengan demikian, mensyaratkan adanya identifikasi karakter masyarakat juga identifikasi yang lebih jauh mengenai dimana letak ketidakefektivitasan selama ini dan apa saja keberhasilan yang perlu ditindaklanjuti/ dikembangkan. REKOMENDASI KEBIJAKAN Belajar dari kedua FGD ini, serta dengan melihat hasil-hasil riset terdahulu yang telah dipaparkan di atas, salah satu agenda terbesar yang harus diprioritaskan adalah pendidikan politik dan kewargaan yang lebih efektif dan komprehensif. Efektif Dorongan uang maupun fasilitas sama-sama bisa dikategorikan dalam politik uang. Lebih jelas, lihat pengertian politik uang dalam Aspinall dan Sukmajati, 2015. 6 18 berarti pendidikan politik dan kewargaan itu bisa mencapai hasil yang diharapkan, sedangkan komprehensif berarti program tersebut melibatkan pihak-pihak yang relevan untuk mencapai hasil yang optimal. KPU memiliki peluang untuk melakukan peran besar dalam pendidikan politik dan kewargaan ini, dengan menjadi leading sector untuk mensinkronkan kerja bersama antar berbagai pemangku-kepentingan. KPU Sleman dapat melakukan peran inisiasi dengan melakukan aktivitas piloting untuk mewujudkan hal itu. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh KPU Sleman. 1. Melakukan identifikasi aktivitas-aktivitas pendidikan politik dan kewargaan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain. KPU Sleman perlu menjalin komunikasi intensif dengan CSO-CSO yang selama ini aktif melakukan pendidikan politik, dengan sekolah-sekolah (SD hingga SMA), dengan partai-partai politik, serta dengan lembaga-lembaga lain yang relevan. Komunikasi ini dimaksudkan untuk mengetahui apa saja yang mereka telah lakukan, apa capaian yang telah dibuat, serta kendala apa yang dihadapi dalam menyelenggarakan pendidikan politik dan kewargaan. KPU Sleman bisa mengundang mereka dalam pertemuan berkala. 2. Melakukan identifikasi metode pendidikan politik yang ideal untuk setting masyarakat Sleman. KPU Sleman perlu melakukan konsultasi intensif ke pihak-pihak yang relevan untuk menemukan metode pendidikan politik yang ideal bagi masyarakat Sleman. Pihak-pihak utama yang perlu dilibatkan termasuk: ahli kependidikan, ahli ilmu politik, pengajar profesional (seperti para guru di sekolah-sekolah), budayawan, dan pelaku politik. Metode pendidikan politik dan kewargaan yang akan digunakan harus mampu menggugah minat masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara. KPU Sleman perlu menghindari metode konvensional yang berkisar pada penyuluhan dan sosialisasi aturan semata-mata. 3. Melakukan assesmen secara berkala untuk mengetahui tingkat literasi politik warga. Assesmen ini perlu dilakukan dengan metode yang tepat, untuk mengetahui tingkat melek politik warga Sleman sebelum program dilaksanakan, dan seiring dengan pelaksanaan program. Dengan assesmen ini, KPU Sleman bisa mengetahui perkembangan tingkat melek politik warga, sekaligus mengevaluasi program pendidikan politik dan kewargaan yang tengah dilakukan. 19 BIBLIOGRAFI Andrews, R., Cowell, R., Downe, J., Martin, S., & Turner, D. (2008). Supporting Effective Citizenship in Local Government: Engaging, Educating and Empowering Local Citizens. Local Government Studies 34(4) , 489-507. Aspinall, E., & Sukmajati, M. (2015). Patronase dan Klientelisme dalam Politik Elektoral di Indonesia. Dalam E. Aspinall, & M. Sukmajati (Penyunt.), Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov. Bakti, A. F. (2012). Literasi Politik dan Kondolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia Press. Cassel, C. A., & Lo, C. C. (1997). Theories of Political Literacy. Political Behavior, Vol. 19, No. 4 , 317-335. detikcom. (2014, Januari 9). Dipetik Agustus 21, 2015, dari www.detik.com: http://news.detik.com/berita/2462629/kpu-targetkan-partisipasi-pemilih-75-di-pemilu-2014 HarianJogja.com. (2014a, Juli 8). Dipetik Agustus 21, 2015, dari http://jogja.solopos.com: http://jogja.solopos.com/baca/2014/07/18/pilpres-2014-angka-partisipasi-pemilih-disleman-meningkat-masih-belum-penuhi-target-520137 HarianJogja.com. (2014b, April 24). Dipetik Agustus 2014, 24, dari http://jogja.solopos.com: http://jogja.solopos.com/baca/2014/04/24/populasi-golput-di-sleman-turun-504282 Heywood, A. (2004). Political Theory, An Introduction, 3rd Edition. New York: Palgrave Macmillan. JPP FISIPOL UGM. (2015). Meningkatkan Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Parlemen di Indonesia. Laporan Pelaksanaan FGD belum dipublikasikan, Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Yogyakarta. JPP-TIFA. (2014). Program Meningkatkan Rasionalitas Pemilih (II) Utilisasi Political Tracking Sebagai Instrumen Pendidikan Pemilih dan Penguatan Engagement antara Politisi dan Konstituen. Laporan Lapangan tidak dipublikasikan, Kerjasama JPP FISIPOL UGM dengan TIFA Foundation, Yogyakarta. Kabar Kota. (2015, Agustus 7). Dipetik Agustus 24, 2015, dari www.kabarkota.com: http://www.kabarkota.com/berita-3826-kpu-sleman-akan-rintis-desa-melek-politik.html Kedaulatan Rakyat Online. (2014, Desember 19). Dipetik Agustus 24, 2015, dari www.krjogja.com: http://krjogja.com/read/241364/kpu-sleman-raih-terbaik-ii.kr KOMPAS.com. (2014a, Mei 10). Dipetik Agustus 21, 2015, dari www.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/0211249/KPU.Partisipasi.Pemilih.di.Pemilu.Le gislatif.2014.Capai.75.11.Persen KOMPAS.com. (2014b, Juli 2014). Dipetik Agustus 21, 2015, dari www.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2014/07/23/16270771/Ternyata.Tingkat.Partisipasi.dalam .Pilpres.Menurun.Dibandingkan.Pileg 20 KOMPAScom. (2014c, April 13). Dipetik Agustus 24, 2015, dari www.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2014/04/13/1801547/Politik.Uang.di.Pemilu.2014.Dinilai.L ebih.Vulgar KOMPAScom. (2014d, Mei 10). Dipetik Agustus 24, 2015, dari www.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/0543110/Partisipasi.Pemilih.Lampaui.Target. KPU.Klaim.Keberhasilan.Luar.Biasa?utm_source=news&utm_medium=bpkompas&utm_campaign=related& KPU Kab. Sleman. (2014). Kreasi Sosialisasi dan Partisipasi Pemilu 2014. KPU Kabupaten Sleman Provinsi DIY, Yogyakarta. Madhok, S. (2005). Autonomy, Political Literacy and the "Social Woman": towards a politics of inclusion. Dalam C. Bates, & S. Basu (Penyunt.), Rethinking Indian political institutions. London: Anthem. Osler, A., & Starkey, H. (2004). Citizenship Education and Cultural Diversity in France and England. Dalam J. Demaine (Penyunt.), Citizenship and Political Education Today. New York: Palgrave Macmillan. Pamungkas, S. (2009). Pemilu, Perilaku Pemilih & Kepartaian. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism. Republika Online. (2014a, April 27). Dipetik Agustus 24, 2015, dari www.republika.co.id: http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/04/27/n4o3jq-jimly-asshidiqiepemilu-2014-banyak-masalah Republika Online. (2014b, Mei 11). Dipetik Agustus 24, 2015, dari www.republika.co.id: http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politik-uangdominasi-pelanggaran-pemilu-2014 Republika Online. (2014c, April 9). Dipetik Agustus 24, 2015, dari www.republika.co.id: http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/04/09/n3r1pz-serangan-fajarmarak-di-sleman Republika Online. (2014c, Mei 11). Dipetik Agustus 24 , 2014, dari www.republika.co.id: http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politik-uangdominasi-pelanggaran-pemilu-2014 Saha, L. (2000). Political Activism and Civic Education Among Australian Secondary School Students. Australian journal of Education 44(2) , 155-174. Tandon, R. (2002). Linking citizenship, participation and accountability: a perspective from PRIA. IDS Bulletin 137 . Wai, T., Yuen, W., & Leung, Y. W. (2009). Political Education: Controversial Issues, Neutrality of Teachers and Merits of Team Teaching. Issues in Political Education . Westheimer, J., & Kahne, J. (2004). What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy. American Educational Research Journal 41( 2) , 237–269. 21 LAMPIRAN 22 23 24