LEARNED HEPLESSNESS ANAK YANG BERADA PADA SITUASI ESKA (EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK) LEARNED HELPLESSNESS CHILDREN IN SITUATIONS CSEC (COMMERCIAL SEXUAL EXPLOITATION OF CHILDREN) Jaka Bagja Darma Wisena1, Sri Maslihah2, Gemala Nurendah3 Departemen Psikologi UPI ; Jl. Dr Setiabudhi No 229 Bandung, +62-22-2013651 Email : [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran learned helplessness (ketidakberdayaan) pada anak yang terlibat aktifitas seks komersial/ekspoitasi seksual komersil anak (ESKA) dan menggali faktor-faktor yang ikut mempengaruhi anak sehingga berada pada situasi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Sampel penelitian terdiri dari tiga orang anak (usia dibawah 18 tahun) yang terlibat pada aktivitas seks komersial di kota Bandung. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara mendalam.. Hasil penelitian ini menunjukkan gambaran tentang learned helplessness yang dialami oleh anak dalam situasi Eska antara lain : penurunan motivasi (motivational deficit), gangguan emosi (emotional deficit) dan penurunan fungsi kognisi (cognitive deficit). Adapun faktor-faktor yang mendorong anak berada pada kondisi learned heplessness karena rendahnya resilience anak sebagai akibat banyaknya risk factor yang terjadi dan tidak ditemui adanya protective factor pada setiap subjek. Faktor-faktor resiko (risk factor) yang terjadi pada ketiga subjek yaitu, pola asuh permisif, perilaku seksual pranikah, interaksi negatif, serta adanya faktor ekonomi . Kata kunci: eska, learned helplessness, resiliensi PENGANTAR Terungkapnya prostitusi rumahan pada pertengahan April 2015 dikawasan Dewi Sartika Kota Bandung, yang melibatkan perempuan dengan usia 17 tahun sebagai pekerja seks komersial, menjadi bukti terjadinya kasus eksploitasi seksual dan komersialisasi terhadap anak. Kasus tersebut muncul setelah korban, berhasil kabur dari rumah prostitusi yang dikelola oleh seorang perempuan dewasa yang berperan sebagai germo atau mucikari. Hasil penyelidikan mengungkapkan, perempuan yang berusia 17 tahun kabur, disebabkan oleh perlakuan kasar dari germo atau mucikari selama berada dalam situasi seks komersial (news.okezone.com, 2015). Keterlibatan anak (individu dibawah 18 tahun) dalam situasi seks komersial merupakan bentuk Eksploitasi Seksual Komersialisasi Anak (ESKA), dimana anak tersebut dijadikan sebagai obyek seksual dan obyek komersial orang dewasa (ECPAT, 2008). Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersialisasi pada tahun 2008 menyebutkan, sekurang-kurangnya terdapat 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi setiap tahunnya. Pada tahun 2010, ILO menyebutkan terdapat 14.000 anak di Jakarta dan Jawa Barat melakukan aktifitas seks komersial, 9000 diantaranya berada di wilayah Provinsi Jawa Barat (dalam Widyaningrum & Sulistyaningsih, 2013). Khusus di Kota Bandung Provinsi Jawa Barat, Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia melakukan penjangkawan selama 3 tahun dan didapat data 452 orang anak berada dalam situasi seks komersial (Pangaji, 2013). Sebuah penelitian menyebutkan, terdapat dua faktor yang mendorong dan menyebabkan anak sulit keluar dari situasi ESKA. Faktor tersebut adalah faktor internal seperti lemahnya pengetahuan anak tentang agama, dan pengalaman seks usia dini yang anak alami (Marzelina dkk, 2013). Selain itu faktor lain yang mendorong anak dalam situasi ESKA adalah faktor eksternal seperti pendorong anak masuk dalam situasi ESKA antara lain ketidakharmonisan keluarga, dan stigma yang muncul dari masyarakat akibat yang berawal dari kenakalan anak dan remaja (Wismayanti, 2012). Aktivitas ekonomi anak yang terjebak dalam situasi ESKA, bukanlah hal yang baik untuk tumbuh kembang anak. Hal tersebut dikarenakan anak yang berada dalam situasi ESKA rentan mengalami kekerasan psikologis, verbal, fisik dan kekerasan secara seksual. Selain itu ancaman tertularnya Infeksi Menular Seksual (IMS) berpotensi didapat anak yang masuk dalam dunia prostitusi. Akan tetapi tidak sedikit anak yang sulit dan tidakberdaya untuk keluar dari situasi seks komersial (Widyaningrum & Sulistyaningsih, 2013). Ketidakberdayaan (learned helplessness) memang berpontensi terjadi pada anak. Hal tersebut dikarenakan anak masih belum matang dari segi mental dan masih membutuhkan dukungan orang dewasa untuk membantunya menjadi manusia yang matang dari segi mental (Aulia Rizky, 2012). Dalam kasus ESKA, ketidakberdayaan (learned helplessness) terjadi karena ketidak mampuan anak melawan pihak yang melakukan ekspolitasi seksual dirinya (Sumera, 2013). Ketidakberdayaan (learned helplessness) merupakan kondisi dimana individu merasa tidak mampu mengontrol (not in control) atas hasil (outcome) dari perilakunya sendiri (Barber, 1985). Individu yang mengalami learned helplessness cenderung menganggap dirinya telah mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut memungkinkan munculnya emosi negatif, kemunduran dalam kinerja dan kemerosotan self-esteemnya dibandingkan dengan individu yang memiliki mastery oriented, yang cenderung lebih memfokuskan dirinya untuk mencari solusi dari pada mencari alasan atas kegagalannya (Dweck, dalam Hall & Lindzy 1985). Individu yang mengalami learned helplessness cenderung untuk mengatribusi kejadian secara internal, dimana kejadian yang buruk bersumber karena dirinya sendiri. Selain itu learned heplessness yang terjadi juga bersifat menyeluruh dan permanen (Seligman, dalam Miller 2006). Hal tersebut ditandai dengan penurunan motivasi, penurunan kognisi, dan penurunan emosional saat individu mengalami learned helplessness (Seligman, dalam Smallheer 2011). Sebuah penelitian yang menggambarkan learned helplessness pada anak menyebutkan, anak yang berada dalam kondisi berkerja dan tereksploitasi berpotensi lebih besar mengalami learned helplessnes. Penelitian ini sendiri juga menyebutkan bahwa penyebab learned helplessness disebabkan oleh faktor internal anak yang memang belum kuat secara mental. Adapun rekomendasi dari penelitian tersebut yang dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya untuk mencari informasi yang lebih banyak kondisi lingkungan anak seperti keluarga dan tempat bekerja anak (Farhan Zakariyya, 2013). Hal juga didukung oleh prapenelitian yang dilakukan peneliti, dengan mencoba melakukan wawancara terhadap salah satu anak yang terjebak dalam situasi ESKA bernama NS. Adapun hasil wawancara yang dilakukan kediaaman subjek pada tanggal 2 November 2015 tersebut sebagai berikut, “Ya, saya sudah tanggung dianggap sebagai pelacur”. Jika dilihat dari sudut pandang alasan anak masuk dalam situasi ESKA, tentunya ada faktor yang mendorong terjadinya kondisi tersebut. Asumsi telah terjadi kondisi learned heplessness pada anak dalam situasi ESKA tentunya harus dibuktikan secara ilmiah. Untuk itu berdasarkan data yang telah dipaparkan pada, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai learned heplessness anak dalam situasi ESKA serta faktor apa saja yang mendorong terjadinya hal tersebut. Mengacu pada uraian tersebut, maka dalam kesempatan kali ini pada kesempatan kali ini akan dilakukan penelitian untuk melihat learned helplessness yang dialami oleh anak dalam situasi ESKA dengan mengangkat sebuah judul penelitian tentang “Learned Helplessness Anak Dalam Situasi ESKA (Eksplotitasi Seksual Komersial Anak) di Kota Bandung”. Fokus pada penelitian ini adalah dengan mengambil salah satu dari alternatif dalam menetapkan fokus yang dikemukakan oleh Spradley (Sugiyono, 2010), yaitu dengan menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait kasus anak yang berada dalam situasi ESKA. Adapun hal yang akan dikaji pada kasus tersebut mengenai sebagai berikut, 1. 2. Bagaiamana gambaran dinamika learned heplessness yang terjadi pada anak dalam situasi ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) ? Faktor apa saja yang mendorong anak dalam situasi ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) mengalami learned heplessness ? Penelitian ini diharapankan dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang berarti bagi perkembangan ilmu psikologi. Khususnya dalam bidang Psikologi Klinis yang berkaitan dengan learned helplessness dan Psikologi Sosial terutama bagi anak yang terjebak dalam situasi ESKA (Eskploitasi Seksual Komersial Anak). Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan sumbangan pengetahuan bagi mereka yang berada di lingkungan masyarakat dan pemerintah, khususnya dinas sosial kota Bandung, agar dapat membantu, memberikan dukungan, dan pelayanan terbaik bagi anak yang terjebak dalam situsasi ESKA, sehingga memungkinkan tercapai kondisi yang lebih baik untuk mereka. METODE Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan sarana untuk mengeksplorasi dan memahami masalah sosial atau manusia baik secara individu ataupun kelompok. Proses penelitian melibatkan pertanyaan yang terus berkembang untuk membuat gambaran secara holistik, menganalisis dan menginterpretasi data, serta melaporkan pandangan informan secara rinci pada situasi kompleks yang terjadi (Creswell, 2013). Adapun disain penelitian yang digunakan adalah Penelitian kualitatif ini menggunakan desain penelitian studi kasus karena penelitian ini lebih memfokuskan pada suatu kasus tertentu. Studi kasus merupakan salah satu metode dari pendekatan kualitatif dimana peneliti melakukan pengumpulan data secara mendalam dari waktu ke waktu dengan melibatkan berbagai sumber informasi dan melaporkan deskripsi kasus secara rinci pada sistem (kasus) yang terbatas (Creswell, 2013). Studi kasus ditujukan untuk memperoleh wawasan yang mendalam mengenai aspek-aspek dasar tentang perilaku manusia, melakukan penyelidikan secara lebih mendalam dan totalitas, intensif, dan utuh (Sugiyono, 2013). HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini didapat hasil terkait faktor yang mendorong anak masuk dalam situasi ESKA. Adapun faktor yang mendorong masuknya anak dalam situasi ESKA adalah rendahnya resilience anak sebagai akibat banyaknya risk factor yang terjadi dan tidak ditemui adanya protective factor pada setiap subjek. Menurut Fergus X Zimmerman (2005), resiliensi merupakan proses mengatasi efek negatif dari resiko yang ada, berhasil mengatasi pengalaman traumatis dan menghindari dampak negatif terkait resiko (Dalam Mira Rizky W 2008) Konsep resiliensi ditidak lepas dari protective factor (faktor pelindung) dan risk factor (faktor resiko). Protective factor (faktor pelindung) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut faktor penyeimbang atau yang melindungi dari risk factor (faktor yang memunculkan resiko) pada individu yang resilien (Riley & Masten, 2005). Konsep keseimbangan tersebut contohnya, ketika orangtua menekankan nilai-nilai moral kepada anaknya dan memberikan pengasuhan yang baik kepada anaknya, maka pola asuh tersebut dapat menjadi protective factor. Sebaliknya ketika orangtua tidak memberikan pola asuh yang baik dan terkesan memberikan kebebasan kepada (Axford, 2007). Berikut ini uraian hasil penelitian tersebut. 1. Pola asuh permisif Pola asuh permisif adalah tipe pola asuh dimana orangtua cenderung bersikap longgar dan memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan apa yang dikehandaki sang anak namun tanpa pengawasan yang cukup. Pola asuh ini biasanya tidak ada aturanaturan yang ketat dan kurangnya pemberian bimbingan dari orangtua sehingga tidak ada pengendalian serta tuntutan pada anak (Baumrind, 1967). Kebebasan yang dilakukan oleh orang tua subjek AM, membuatnya bebas untuk membangun hubungan dengan lawan jenis dan pulang hingga larut malam. Berikut kutipan wawancara tersebut. “kan saya ngekos disini” (S1W1J38). “Oh iya dibilang bebas mungkin ia juga ya a. Tapi kalau sekolah mah mamah rada merhatiin kitu. Ya gak pengenlah aku sama ade gak sekolah” (S1W3J16). “Enggak sih kalau ngelarang temenan atau pacaran mah, asal bisa jaga diri aja. Lagian waktu pertama kali pacaran juga mamah tau orangnya yang mana. Jadi gak ngelarang gitu” (S1W3J16). “Ia gak ngelarang kalau pulang malam juga, asal kalau pergi sama dia ya pulang sama dia juga. Soalnya kan mamah mikirnya dia udah dewasa sugan atuh nyiuen aku ge jadi bener cenah. Padahal mah naon beuki baong mah heeh (padahal tambah anakl)” (S1W3J16). Hal yang sama juga terjadi pada subjek CA, yang memiliki kebebasan dari orangtuanya untuk berhubungan dengan lawan jenis. Sedangkan subjek IR, sejak SMA ia telah tinggal terpisah dengan orangtuanya dengan menyewa salah satu kos-kosan di kota Bandung, sehingga ia pun memiliki kebebasan tanpa adanya control dari orangtuanya. Berikut kutipan wawancara tersebut. “Tapi gak tau sih pikirannya kayak gimana” (S2W1J195). “Iya gak tau, kalau si mamah mikirnya kayak gimana, iya dia pasti tau lah kerja karoke kayak gimana, takutnya apa apa gitu kan” (S2W1J195). “Enggak sih gak tau mamah mah sama pacar aku. Kan aku juga tinggal gak serumah sama mamah. Gak ini sih orang tua mah. Gak apa, gak terlalu banyak nanya gitu ke aku. Ngebebasin lah yang penting bisa jaga diri aja” (S2W3J24). “Ia a, waktu tinggal serumah juga ngebebasin orang tua mah. Misalnya pulang malem jugakan atau aku kemana kemana gitu gak banyak nanya mamah mah” (S2W3J25). Rex Forehand (dalam Sarwono, 2010) juga menuturkan bahwa semakin tinggi pengawasan orangtua, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak. Masten, Best dan Garmezy memaparkan bahwa pola asuh dan perhatian orangtua berhubungan dengan tingkat resiliensi seseorang (Axford, 2007). 2. Perilaku seksual pranikah Kebebasan yang di dapat oleh subjek AM, CA dan IR dari orangtuanya untuk, membuat mereka mendapat pengalaman seksual usia dini berupa sexual intercourse dengan pacarnya. Sexual intercourse merupakan salah satu aktivitas seksual dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke alat kelamin wanita (Katchadourian, dalam Steinberg 1989). Subjek AM dan IR mengaku sexual intercourse yang ia lakukan petama kali pada saat usianya 15 tahun, akibat terpengaruh film kategori dewasa. Berikut kutipan wawancara subjek AM. “15” (S1W1J26). “hooh, baru-baru nakal” (S1W1J28). “Gak dipaksa sih, cuman di rangsang gitu a. Terus dianya bilang gitu mau gak kata dia teh ?” (S1W3J4). “Ya aku tehkan udah kagok kerangsang gitu ya a. Jadi we gitu. Terus teh dia teh bilangnya mau tanggung jawab sama aku kalau aku hamil. Jadikan gimana ya akunya percaya aja gitu. Lagiankan dianya emang udah kerja jadi ah yakin aja dia bakal tanggung jawab kalau ada apa apa” (S1W3J5). “Ia waktu pertama kalinya mah suka sama suka. Tapi kelamaan mah emang sok rada maksa sih a. Misalnya aku teh lagi dapet gitukan, terus dia teh ngajak gitu lagi” (S1W3J6). “Pakek tangan” (S1W3J7). “Kan pernah liat di film gitukan. Nyak jadi pertama kali berhubungan ge, gara gara nonton bokep dina hp manehna. Jadi we terangsang kitu” (S1W3J8). Sedangkan subjek CA melakukan sexual intercourse akibat pengaruh minuman yang mengandung alkohol. Sexual intercourse yang dilakukan oleh pasangan yang belum diikat tali perkawinan adalah bentuk perilaku seksual pranikah (Melodina, 1990). Berikut wawancara subjek CA. “Enggak suka sama suka juga a, cuman akunya teh emang rada mabok. Jadi gak bisa ngontrol diri” (S2W3J6). “Ia sama dia, jadikan emang udah pacaran kita teh. Terus kan waktu aku pulang kerja di karoke dijemput dia. Terus dia teh bawa minuman kan waktu dikosan. Udah we gitu. Dianya kan nginep dikosan aku juga waktu itu teh emang” (S2W3J7). “Ia tidur bareng” (S2W3J8). “Ia kan emang sih akunya udah pernah hampir gituan kan sama dia, cuman waktu itu teh akunya takut kan. Waktu itu mah gara gara mabok mungkin jadi gak bisa ngelawan we” (S2W3J9). “Ada sih ada, takutnya dianya. Orang cewek udah kayak gitu rugilah kalau ditinggalin” (S2W1J86). Perilaku seksual pranikah merupakan salah satu bentuk bentuk penyimpang (Gottman & DeClaire dalam Sari, 2005). Kondisi dimana ketiga subjek telah mendapat pengalam seks usia dini inilah, yang nantinya mendorong subjek masuk dalam situasi ESKA. Hal tersebut dikarenakan, perilaku seksual pranikah dapat mengakibatkan gangguan pada psikis yaitu berupa perasaan terhina, rasa bersalah, rendahnya harga diri (kemerosotan self eskteem), bahkan depresi (Curran dalam Conger,1991). 3. Faktor ekonomi Himpitan ekonomi yang dialami oleh subjek AM dan IR menuntutnya untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi keluarga. Dikarenakan telah memiliki pengalaman seks usia dini, subjek AM dan IR memilih aktivitas ESKA sebagai jalan memecahkan masalah ekonomi yang dihadapi. Berikut kutipan wawancara salah satu subjek, yaitu AM. “ya ngeliat situasi bapak sakit-sakitan” (S1W1J34). “semenjak sakit udah ga kerja lagi, jadi” (S1W1J36). “kalau ibu mah ngga, ibu rumah tangga jadi tertarik da saya teh pengen ngebantu gitu. Kan liat si bapa dulu gimana banting tulangnya ngebiayain kami sekolah. Sekarang saya teh pengen ngebantu, apalagi sekarang ngeliat si bapak sakit .. tidur-tiduran. Terus gabisa ngapa-ngapain” (S1W1J37). Sebuah penelitian menyebutkan selain faktor keluarga, faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang mendorong anak masuk kedalam situasi seks komersial (Marzelina dkk (2013). 4. Interaksi Negatif Kondisi subjek yang telah memiliki pengalaman seks usia dini dengan rendahnya kontrol dari orang tua, membuat subjek membangun interkasi negatif dengan pihak yang berperan sebagai mucikari. Kondisi tersebut terjadi pada ketiga subjek, baik AM, CA dan IR. Berikut kutipan wawancara salah satu subjek yaitu, CA. “Ya kadang kan aku yang minta tolong, kadang juga aku teh suka ngerasa di manfaatin gitulah sama kakak” (S2W2J43). “Sekarang mah gini we, kan aku yang nemenin tamu tapi dia juga dapet uang gitu” (S2W2J45). “Sebelumnyakan tamu nya teh ngeDP gitu, itu teh semuanya buat dia. Aku mah dapetnya pas udah ketemu sama tamu. Jadi suka ngerasa gak adil gitu” (S2W2J46). “Pernah sih, terus ngadat si etana” (S2W2J47). “Ya diem we aku mah, da aku juga yang minta tolong ke dia” (S2W2J48). “Ya jadi ya udah we, susah sih jadinya. Mau marah juga da susah” (S2W2J49). Mc.riset mengungkapkan, anak memang memiliki kerentanan untuk terjebak dalam interaksi negatif. Hal tersebut dikarenakan interaksi negatif merupakan salah satu bentuk dari faktor resiko (risk factor) (Robets, 2007). Dalam kondisi tersebut dibutuhkan peran orangtua beberapa pihak untuk melakukan proteksi kepada anak, agar anak membentuk resiliensi memudahkan anak untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing) (Reivich & Shatte, 2002). Situasi ESKA yang dialami oleh subjek AM, CA dan IR berdampak pada kondisi learned helplessness yang mereka alami. Learned helplessness merupakan kondisi bahwa individu merasa tidak mampu mengontrol (not in control) atas hasil (outcome) dari perilakunya sendiri (Barber, 1985). Individu yang mengalami learned helplessness cenderung menganggap dirinya telah mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut cenderung melakukan atribusi internal yang bersifat permanen yaitu memberikan atribusi bahwa kegagalannya disebabkan karena ketidakmampuan pribadinya, sehingga memungkinkan munculnya emosi negatif, kemunduran dalam kinerja dan kemerosotan self-esteemnya dibandingkan dengan individu yang memiliki mastery oriented, yang cenderung lebih memfokuskan dirinya untuk mencari solusi dari pada mencari alasan atas kegagalannya (Dweck, dalam Hall & Lindzy 1985). Berikut uraian terkait gambaran learned heplessness yang ditemukan. 1. Learned heplessness : motivational deficit Menurut Maier & Seligman, individu yang mengalami kondisi learned heplessness akan mengalami penurunan motivasi (motivational deficit). Penurunan motivasi membuat individu cenderung menunda untuk melakukan sesuatu, dan hanya melakukan sedikit usaha untuk keluar dari stimulus yang berbahaya (dalam Seligman et all 1984). Gambaran learned heplessness berupa motivational deficit dialami oleh subjek AM dan CA. Meskipun aktivitas mereka menyadari bahwa aktivitas ESKA bukanlah hal yang baik, motivational deficit yang mereka alami membuatnya cenderung menunda keluar dari aktivitas tersebut. Berikut kutipan wawancara salah satu subjek, yaitu CA. “Orang kayak gini juga capelah” (S2W1J204) “Ya cape aja we, udah gak mau, udah bosen” (S2W1J205). “Ya sebelum ada pekerjaan yang lain ya udahlah” (S2W1J206). “Ya nyari kerja susah kali. Sekarang mah ini aja dulu” (S2W2J22). 2. Learned heplessness : emotional deficit Emotional deficit merupakan indikator yang menyatakan bahwa individu mengalami kondisi learned helpelessness. Emotional deficit dapat dilihat dari simptom-simptom agresi yang rendah, learned heplessness menjadi awal dari penurunan agresi. Individu dengan sengaja mengurangi respon, bahkan tidak merespon terhadap ancaman yang muncul, karena menganggap respon tersebut tidak seharusnya ia lakukan (Maier & Seligman, 1984). Pada penelitian kali ini emotional deficit ditemukan pada ketiga subjek. Berada dalam situasi ESKA membuat subjek AM rentan mendapat kekerasan seksual oleh orang dewasa. Akan tetapi AM memilih untuk tidak melakukan perlawanan kepada pihak yang mengancam dirinya. Kondisi serupa juga dialami IR dimana ia beberapa kali mendapat kekerasan seksual oleh orang dewasa. Jika ia mengalami hal tersebut, IR memilih menenangkan dirinya dengan mengkonsumsi minuman beralkohol. Sedangkan subjek CA mengalami emotioan deficit berupa kecemasan yang berlebih. Kecemasan terebut muncul saat CA mengalami keterlambatan siklus menstruasi yang membuatnya terindikasi hamil. Hal tersebut mengakibatkan ia takut dan memutuskan untuk berhenti dari sekolah, padahal setelah dilakukan pengecekan secara medis ia dianyatakan negatif hamil. Berikut kutipan wawancara subjek CA. “Waktu itu teh aku pernah kayak yang telat, jadi takut. Yang namanya perempuan udah pernah hamil kan liatnya pasti beda. Udah ada telat hampir sebulan lebih waktu itu” (S2W1J145). “Ia temen aku mah bilangnya aku hamil. Kan aku teh sempat cerita juga ke si rara gitukan. Kamu hamil CA cenah kitu. Jadi takut aku teh. Terus sempet mikir mau digugurin gitukan. Tapi gak keluar keluar juga, gak ada tanda tanda mau keguguran gitu” (S2W3J17). “Ya barulah aku teh bilang ke pacar aku, sama dia teh dibawa ke bidan buat digugurin. Nah pas dicek teh da lain hamil cenah eta mah gangguan naon kitulah” (S2W3J18). “Ya entah perasaan aja, tapi waktu diperiksa kedokter enggak, tapi waktu itu udah terlanjur keluar sekolah, ya udah we” (S2W1J146). 3. Learned heplessness : cognitive deficit Gambaran cognitive deficit juga ditemukan pada subjek CA dan IR. Individu yang mengalami cognitive deficit menghasilkan kesulitan dalam mempelajari respon untuk sukses. Individu akan percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan adalah suatu hal yang terpisah. (Maier & Seligman, Smallheer 2011). Cognitive deficit yang individu alami, berpengaruh pada kecenderungan prilaku deliquen. Individu yang berprilaku deliquen sangat sulit untuk merespon hal yang optimis dan cenderung mengambil jalan pintas serta menganggap apa yang ia lakukan sudah benar dan sesuai (Hartati, 2012). Pada kasus CA dan IR kedua subjek menganggap bahwa aktivitas ESKA bukanlah aktivitas yang baik secara agama ataupun untuk kesehatan dirinya, akan tetapi karena kedua subjek merasa sudah terlanjut mendapat pengalaman seks usia dini, keputusan untuk masuk dalam situasi ESKA pun dilakukan. Berikut kutipan wawancara salah satu subjek, yaitu IR. “Nah jadi sering gitu akunya juga kadang kadang teh pengen juga. Tapi gak tau sih habis gitu teh kadang kadang mikir ih aku teh udah gini gini gitukan. Takutlah hamil, dosa atau gimana” (S3W3J15). “aku fikir mungkin ya, ah terlanjur. urang ges kieu kitu kan (saya sudah pernah begitu kan), ngapain lagi” (S3W1J112). “hooh sekarang ngapain lagi gitu kan? Ya udah” (S3W1J113). “hooh, nya meunang duit ari jeung batur mah, ai jeung kabogohmah geus mah dikeiu teu meunang duit, kan saya rugi.. (iya, kan dapet uang sama orang lain sih, kalau sama pacar mah sudah diginiin, ga dapet uang lagi) gitu” (S3W1J114). DISKUSI Eskploitasi Seksual Komersialisasi Anak (ESKA) merupakan anak yang berada dalam situasi seks komersial, dijadikan obyek seksual dan obyek seksual orang dewasa. Sebagain besar dari mereka dipekerjakan di tempat hiburan, lokasi protitusi, panti pijat, pusat perbelanjaan dan lain sebagainya. ESKA merupakan suatu pelanggaran terhadap hakhak anak, karena anak dalam situasi ESKA mengalami pemaksaan, kekerasan ataupun pengarahan seksual untuk kepentingan komersial, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. (ECPAT Internasional, 2008). Menurut UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” (Soetodjo, 2006). Keterlibatan anak (individu dibawah 18 tahun) dalam situasi seks komersial merupakan bentuk Eksploitasi Seksual Komersialisasi Anak (ESKA), dimana anak tersebut dijadikan sebagai obyek seksual dan obyek komersial orang dewasa (ECPAT Internasional, 2008). Pada dasarnya individu yang berada pada usia 18 tahun masuk dalam masa perkembangan remaja (Sarwono, 2006). Istilah remaja dikenal dengan adolescence dalam bahasa latin, yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pada masa remaja ini, anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum (Hurlock, 2004). Tahap ini, remaja memiliki tugas perkembangan untuk mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. Mereka diharapkan dapat melepaskan diri dari kedekatan dan ketergantungannya pada orang tua, dan dapat secara mandiri dalam bertindak dan mengambil keputusan serta mampu mempersiapkan karir ekonomi serta mampu mempersiapkan perkawinan (Sarwono, 2006). Akan tetapi, pada masa remaja di anggap sebagai usia bermasalah, sebab masa remaja sering terjadi masalah yang sulit diatasi. Ketidakmampuan mereka untuk mengatasi masalah membuat banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka (Hurlock,1980). Sebutan remaja sebagai usia bermasalah dikarenakan rentannya remaja melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma masyatakat, atau yang lazim disebut sebagai kenakalan remaja. Kondisi tersebut dikarenakan remaja rentan mengalami krisis identitas dan sedang dalam tahap mencari figur untuk membantu menuju individu yang dewasa. Kondisi ini menyebabkan individu memiliki emosi yang meledak ledak. Mereka secara naluriah ingin mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, namun masih bergantung figur orang tua untuk mengarahkannya (Sarwono, 2007). Kenakalan remaja merupakan suatu bentuk dari penyimpangan sosial (Kartini, 2005). Penyimpangan sosial merupakan kondisi dimana individu mengalami kegagalan untuk menyesuaikan dengan individu atau kelompok lainnya. Masalah tersebut bersumber dari rendahnya penyesuaian diri individu, masyarakat dan institusi sosial adalah mengembangkan kepribadiannya (Kartini, 2007). Ketika tidak terjadinya kesesuaian antara keinginan yang diharapkan individu diusia remaja dengan keinginan figur yang melakukan kontrol terhadap dirinya, maka akan terjadi kegegalan dalam upaya penyesuaian didalam masyarakat. Pada kondisi ini remaja menjadi rentan untuk masuk kedalam situsasi menyimpang dari norma masyarakat, seperti pergaulan bebas, resiko penyalah gunaan obat terlarang, ataupun aktivitas seksual yang tidak aman seperti perilaku seksual pranikah (Gottman & DeClaire dalam Sari, 2005). Perilaku Seksual Pranikah adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh sepasang insan sebelum mereka diikat tali perkawinan (Melodina, 1990). Menurut Scazoni & Scazoni (dalam Kusumaningrum 2000) mengatakan bahwa seks pranikah yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum terikat tali perkawinan dimana nantinya mereka akan menikah satu sama lain atau masing-masing akan menikah dengan orang lain. Jadi tidak hanya terbatas pada orang yang yang sudah pacaran saja. Bird dan Keith (1994) juga mengatakan bahwa premarital seks adalah salah satu bentuk sexual intercourse yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya tidak terikat tali pernikahan. Perilaku seksual pranikah menimbukan konsekuensi terutama untuk remaja wanita. Perasaan-perasaan negatif seperti hilangnya keperawanan, mengakibatkan gangguan pada psikis yaitu berupa perasaan terhina, rasa bersalah, rendahnya harga diri (kemerosotan self eskteem), bahkan depresi (Curran dalam Conger,1991). Gejala penyimpangan sosial seperti perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja dapat dicegah jika adanya factor protective yang didapat oleh remaja (McCubbin, 2001). Protective factor (faktor pelindung) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut faktor penyeimbang atau yang melindungi dari risk factor (faktor yang memunculkan resiko) pada individu yang resilien (Riley& Masten, 2005). Menurut Fergus X Zimmerman (2005), resiliensi merupakan proses mengatasi efek negatif dari resiko yang ada, berhasil mengatasi pengalaman traumatis dan menghindari dampak negatif terkait resiko (Dalam Mira Rizky W 2008). Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, sedangkan individu yang tidak resilien cenderung memandang masa dengan dengan pesimis (Reivich & Shatte, 2002). Salah satu bentuk pengembangan dari teori pesimisme adalah learned helplessness (Surbakti, dalam Mashudi 2012). Learned Helplessness (ketidakberdayaan) merupakan kondisi yang terjadi pada inidividu akibat proses internalisasi kepercayaan bahwa apa yang dilakukannya tidak berarti. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya control yang dipersepsikan terhadap kejadian yang menyulitkan sebelumnya (Stoltz, 2000). Learned helplessness menyatakan individu yang teraniaya umumnya berpendapat bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan perbuatan penyiksanya, dan akhirnya cenderung untuk menghentikan segala usaha untuk keluar dari kondisi penyiksaan tersebut (Bell &Naugle, 2005). Anak yang berada dalam situasi ESKA rentan mengalami kondisi learned heplessness (ketidakberadayaan). Hal tersebut dikarenakan anak yang berada dalam situasi ESKA rentan mengalami kekerasan psikologis, verbal, fisik dan seksual seringkali terjadi dalam praktek prostitusi. Selain itu ancaman inveksi menular seksual (IMS) dan kehamilan diluar nikah berpotensi didapat anak yang masuk dalam dunia prostitusi. Stigma yang buruk dalam dunia prostitusi akibat dari penyamarataan tersebut pun, dapat memberikan dampak buruk pada masa depan anak. Akan tetapi tidak sedikit anak yang sulit dan tidakberdaya (learned helplessness) untuk keluar dari situasi seks komersial (Widyaningrum & Sulistyaningsih, 2013). Hasil dari penelitian ini pun membuktikan bahwa anak yang berada dalam situasi ESKA berada dalam kondisi learned helplessness, dimana gambaran learned heplessness tersebut berupa motivational deficit, emotional deficit dan cognitive deficit. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan rendahnya resiliensi anak yang disebabkan risk factor. Adapun risk factor yang dimaksud berupa pola asuh permisif, perilaku seksual pranikah, faktor ekonomi, dan interasi negatifi. Hasil dari penelitian ini tentunya dapat memberikan sumbangsi informasi baru terkait fenomena anak dalam situasi ESKA, dimana faktor ekonomi bukanlah faktor tunggal masuknya anak dalam situasi ESKA. Dinamika psikologis yang ditemukan sebagai dampak dari learned heplessness pada penelitian ini pun, dapat menjadi dasar pemikiran untuk menyusun skema pemecahan masalah sosial khususnya anak dalam situasi ESKA. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Berdasarkan hasil penelitian mengenai learned heplessness pada tiga orang anak yang berada dalam situasi ESKA (Eskploitasi Seksual Komersial Anak) di kota Bandung, disimpulkan bahwa ketiga subjek mengalami learned heplessness. Adapun faktor yang mendorong situasi tersebut terjadi yaitu rendahnya recilience karena risk factor yang dialami, sedangakn protective factor tidak ditemukan. Berikut ini uraian mengenai learned heplessness dan risk factor apa saja yang mempengaruhinya: 1. Gambaran leared heplessness yang terjadi pada subjek 1 (AM) adalah emotional deficit dan motivational deficit. Sedangkan risk factor yang dialami subjek 1 yaitu, pola asuh permisif, prilaku seksual pranikah, faktor ekonomi, dan interaksi negatif. 2. Gambaran learned helplessness yang terjadi pada subjek 2 (CA) adalah emotional deficit, motivational deficit dan cognitive deficit. Sedangkan risk factor yang dialami subjek 2 yaitu, pola asuh permisif, prilaku seksual pranikah, faktor ekonomi, dan interaksi negatif. 3. Gambaran learned heplessness yang terjadi pada subjek 3 (IR) adalah emotional deficit dan cognitive deficit. Sedangkan risk factor yang dialami subjek 2 yaitu, pola asuh permisif, prilaku seksual pranikah dan interaksi negatif. SARAN Berdasarkan proses dan hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat hal-hal yang disarankan kepada beberapa pihak terkait dengan learned helplessness anak dalam situasi ESKA, yaitu: 1. Bagi orang tua Bagi orang tua disarankan untuk membangun kedekatan dengan anak dalam lingkungan keluarga. Selain itu orangtua lebih mempererat komunikasi dengan anaknya sehingga anak dapat bertanya dan membicarakan topik yang berkaitan dengan seksualitas secara leluasa sehingga orangtua dapat berperan dalam memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral agar anak dapat membuat keputusan yang bertanggung jawab berkaitan dengan perilaku seksual. Pengawasan yang lebih pada kegiatan yang dilakukan terhadap anak dapat menghindarkan anak dari melakukan perilaku seksual pranikah, karena seringkali pengawasan yang lemah membuat anak menjadi leluasa untuk melakukan perilaku seksual. Terlebih lagi jika sang anak tinggal terpisah dari orangtua. 2. Bagi pemerintah Bagi pemerintah disarankan untuk membangun suatu kebijakan yang strategis, khususnya untuk anak anak yang berada dalam kondisi putus sekolah. Sehingga anak yang terputus akses pendidikan memiliki opsi untuk kehidupan yang lebih baik kedepannya. Selain itu pemerintah juga diharapkan dapat membangun suatu strategi untuk memutus pertumbuhan dunia aktivitas seks komersial yang melibatkan anak, dengan bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti kepolisian, dinas sosial, lembaga swadaya masyarakat dan instansi lainnya. 3. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk melakukan penelitian mengenai learned helplessness disarankan untuk menggali faktor personality, subjek pola asuh yang diterapkan oleh orangtua subjek, kehidupan sosial subjek, konflik internal subjek, juga dinamika sikap terhadap munculnya prilaku seksual yang dilakukan subjek yang berada dalam situasi ESKA. Selain itu, dapat menambah referensi dan teknik pengumpulan data sehingga dapat menggali informasi yang lebih dalam. Peneliti juga diharapkan lebih peka dalam memahami pernyataan-pernyataan subjek agar dapat mengeksplorasi lebih dalam data yang diperoleh selama proses penelitian berlangsung. DAFTAR ACUAN Adelina, N. (2014). Hubungan Antara Gaya Kelekatan (Attachment Style Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja. Jurnal [Online]. Tersedia : academia.edu [20 Mei 2015]. Al-Mukaffi, A. (2001). Pacaran dalam Kacamata Islam, Media Dakwah, 1421 H. Kategori Acara TV dan Media Cetak yang Haram di Indonesia. Jakarta: Darul Falah. Amaliyasari, Y & Puspitasari, N. (2008). Perilaku Seksual Anak Usia Pra Remaja Di Sekitar Lokalisasi dan Faktor yang Mempengaruhi. Jurnal Penelitian Dinas Sosial. Vol 7, No 1. A. M, Sardiman. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Raja Gravindo Persada. Andayani, R. T. & Setiawan I. 2005. Perilaku Seksual Pranikah dan Sikap Terhadap Aborsi (Study Korelasi Pada Mahasiswa Program Study Patologi UNDIP Semarang). Jurnal Psikologi UNDIP. Vol 2, No 2, 1-10. Anindyadjati, M. Yohanes, B & Monica. (2006). Pengaruh Pola Kelekatan Terhadap Jenis Cinta Pasangan Suami Istri. Jurnal Psikologi. Vol 4, No 1. Ariyani, N, F. (2012). Peran UNICEF Sebagai Organisasi Internasional Dalam Melindungi Hak Anak Dari Eksploitasi Seksual Anak Indonesia. Jurnal Online Trans-Border. Vol 1, No 1. Aulia, Rizky. (2012). Mengatasi Learned Helplessness Pada Siswa Tinggal Kelas Melalui Konseling Emotif Teknik Homework Assignments. Jurnal IJGC. Vol 1, No 1. Axford, K. M. (2007). Attechment, Affect Regulation and Resilience in undergraduate student. Dessertation, Walden University Baumrind, D. (1967). Child Care Practice Anteceding Three Patterns of Preschool Behavior. Genetic Psychology Monographs No. 75(1): 43-88. Baradja, A. (2005). Psikologi perkembangan : Tahapan-tahapan dan aspek-aspeknya. Jakarta: Studia Press. Barber, J.G. (1985). Competing Accounts of the Learned Helplessness Effect in Human. Thesis Unpublished: Department of Psychology University of Adelaide. Baron dan Donn Byrne. (2003). Psikologi Sosial. Edisi kesepuluh. Jakarta: Erlangga. Baswardono, Dono. (2005). Perawan Tiga Detik. Yogyakarta : Galang Press. Bawole, M. T. (2013). Kajian Hak Asasi Manusia Terhadap Perlakukan Diskriminasi Pekerja Seks Komersial. Jurnal [Online]. Vol 21, No 3, 12-23. Tersedia di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14980- &val=1002 Collins, N. L. & Feeney, B. C. (2004). Working models of attachment shape perceptions of social support : Evidence from experimental and observational studies. Journal of Personality and Social Psychology. Volume 87, 363-383. Conger, J. J. (1991). Adolescene and youth : psychological development in a changing world (4th ed). New york : Harper Collin Publisher Creswell, John W. (2013). Qualitative Inquiry & Research Design : Choosing Among Five Approaches 3rd ed. California: Sage Publications, Inc. Elida, T. (2008). Tingkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Penanggulangan Kemiskianan Di Perkotaan. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma. Vol 2, No 1, 75-83. Endrawati, N. (2012). Perlindungan Hukum Pada Pekerja Anak Di sector Informal. Jurnal Dinamika Hukum [Online]. Vol 12, No 2, Purwokerto: Universitas Negri Jendral Seodirman tersedia [http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/7.%20 Netty %20 Endrawati. Pdf]. ECPAT Internasional. (2008). Memerangi Pariwisata Sex Anak : Tanya & Jawab. Restu Printing Indoneisa. Evlyn, M. R. Z & Dewi, E. Z. (2007). Hubungan Antara Persepsi Tentang Seks dan Perilaku Seksual Remaja Di SMA Negeri 3 Medan. Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara. Vol 2, No 2. Endrawati, N. (2012). Perlindungan Hukum pada Pekerja Anak Di sector Informal, Jurnal Dinamika Hukum Vol 12 No 2 Purwokerto: Universitas Negri Jendral Seodirman tersedia di http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/7.%20Netty%20Endrawati.pdf Ferran, L. Giorgio, B. & Patchareeboon, S. (2008). Memerangi Pariwisata Sex Anak : Tanya & Jawab. Indonesia : Restu Printing. Hall C, Lindzey G. (1985) .Introduction to Theories of Personality . Canada: John Wiley &sons, Inc. Hartati, S. (2012). Pendekatan Kognitif Untuk Menurunkan Kecenderungan Prilaku Deliquensi Pada Remaja. Jurnal Humanitas. Vol 9, No. 2, 123-146. Hurlock. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Bandung: Erlangga. Ispranoto, Tri. (2015). Kronologi Terbongkarnya Prostitusi Rumahan di Bandung. Artikel. [online]. Tersedia : News.okezone.com. [12 Mei 2015]. Junaeman & Wahyu, R. (2013). The Influence Of Sexual Values On Perceived Risk Of Interfaith Marriage Among Unmarried Urban Students In Jakarta. Journal Humaniora. Vol 25, No 1. Karmila, Mayalisya. (2011). Kecemasan dan Dampak Dari Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa. Skrpsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Kartono, Kartini. (2005). Patologi sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kartono, Kartini. (2007). Patologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mahabbati, Aini. (2006). Identifikasi Anak Dengan Gangguan Emosi dan Prilaku Di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Khusus. Vol 2, No. 2. Maryatun. (2013). Peran Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Pra Nikah Pada Remaja Di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta. Jurnal Gaster. Vol 10, No 1. Marzelina, F. Uning, P. & Yetisma, S. (2013). Faktor-Faktor Penyebab Anak Dibawah Umur Menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) (Studi Kasus Di Kota Solok). Jurnal. [Online]. Tersedia : ejurnal.bunghatta.ac.id [12 Mei 2015] Mayangsari, F & M Noor Rochman, H. (2002). Perilaku Seksual Remaja Dalam Berpacaran Ditinjau Dari Harga Diri Berdasarkan Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi. No. 2, 120127. McCubbin, L. (2001). Chalange to The Definition of Resilience. Paper presentated at The Annual Meeting of the American Psychological Association in Sanfancisco. Jurnal. [Online]. Tersedia : journal.ui.ac.id [27 Desember 2015] Mustafa, H. (2011). Prilaku Manusia Dalam Perfektif Psikologi Sosial. Jurnal Administrasi Bisnis Fisip Unpar. Vol 7, No 2, 143-156. Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset Ninawati & Iriani, F. (2005). Gambaran Psikologis Dewasa Muda Ditinjau Dari Pola Attachment. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara. Vol 3, No 1, 44-64. Pangaji, R. B. (2013). EXCEED (Eliminate Exploitive Child Labor Throught Education and Economics Development). Dokument : Konfederasi Anti Pemiskinan Indonesia. Pangkahila, W. (1998). Perkembangan Seksual Remaja, Upaya dan Cara Mengatasinya. Jakarta: PT. Renekapta. Rahman, D. A. (2011). Hubungan Antara Learned Helplessness (Ketidakberdayaan yang Dipelajari) dengan Tingkat Depresi pada Pengguna Narkoba di Jakarta. Jurnal [Online]. Tersedia : digilib.esaunggul.ac.id [20 Mei 2015] Rayle, A., Moorhead, H., Green, J., Griffin, C. A., & Ozimek, B. (2007). Adolescent Girl-toGirl Bullying: Wellness-Based Interventions for School Counselors. Journal Of School Counseling. Vol. 5 No. 6. Reivich, K, & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor. New York: Broadway Books Riley, J. R., & Masten, A. S. (2005). Resilience in context. In R. DeV. Peters, B. Leadbeater, & R. J. McMahon (Eds.), Resilience in children, families, and communities: Linking context to practice and policy (pp. 13-25). New York: Kluwer Academic/Plenum. Rusdiana. (2014). Interkasi Sosial Pekerja Seks Komersial Lokalisasi Bandang Raya Dengan Masyarakat Desa Mugirejo, Kota Samarinda. Jurnal Ilmu Sosiatri. [Online]. Tersedia : ejournal.sos.fisip.org [2 Januari 2016] Roberts, K. A. (2007). Self-Efficacy, Self-Concept, and Social Competence as Resources Supporting Resilience and Psychological Well-Being in Young Adult Reared within the Military Community. Dissertation, Fielding Graduate University. Sarwono, S.M. (1981). Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja : Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta. Jakarta : Rajawali. Sari, M. Y. 2005. Kecerdasan Emosional dan Kecenderungan Psikopat Pada Remaja Delinkuen Di Lembaga Pemasyarakatan. Anima Vol 20 No 2 halaman 139-148. Sarwono, S. W. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Sarwono, S. W. (2010). Psikologi Remaja Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Santrock. (2007). Perkembangan Anak. Boston: McGraw-Hill Schoon, I. (2006). Risk and Resilience; Adaptation in Changing Times. Cambridge University Press, New York. Seligman, et all .(1984). attributional style and the generality of learned helplessness. Journal of Personality and Social Psychology 1984. Vol 46, No. 3, 681-687. Sherif, M. & C. Holland. (1996). Social Judgment. London : Yale University Press-New Haven. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung : Alfabeta Wetner, Emmy, E. (2005). Resilience and Research: Past, Present, and future. Dalam Petres dkk., Resilience in Children, Famiies and Community: Linking Context to Practice and Policy. Plenum Publisher, New York. Wijayanti, Mira Rizki. (2008). Gambaran resiliensi pada muslimah dewasa muda yang menggunakan cadar. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Skripsi. Tidak diterbitkan. Wojowasito, Prof. Drs. S. (1980). Kamus Lengkap Inggris Indonesia. Bandung; Hasta.