Is There Any Specific Measurement to Monitor Growth and Development in Infant Born with Small for Gestational Age DR. Dr. Hartono Gunardi, SpA (K) Menurut data WHO tahun 2013, prevalensi bayi yang lahir dengan small for gestational age (SGA) di Indonesia adalah sekitar 30-40%. Di Asia Tenggara, angka kejadian SGA aterm adalah sekitar 21% pada tahun 2013, angka SGA preterm sekitar 3%, dan total angka kejadian SGA di Asia Tenggara tahun 2013 adalah 24%. Di RSCM, angka kejadian prematuritas dalam 5 tahun terakhir adalah sekitar 28-30%. Pemantauan pertumbuhan sejatinya dimulai pada saat periode antenatal. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa pemantauan pertumbuhan intrauterin penting sekali untuk mendeteksi adanya hambatan pertumbuhan dalam rahim (IUGR). Apabila bayi dengan IUGR dan/atau SGA tersebut dilahirkan karena milleu intrauterine tidak kondusif lagi untuk tumbuh, diperlukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan yang baik agar bayi dengan SGA tersebut bisa tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin. Pemantauan pertumbuhan setelah lahir dapat dilakukan dengan pengukuran berat badan, panjang/tinggi badan, dan lingkar kepala. 1. Pengukuran berat badan Pengukuran berat badan sejak lahir sampai usia 2 tahun dinilai sampai ketelitian 10 gram, dan setelah 2 tahun sampai ketelitian 100 gram. 2. Pengukuran panjang badan/tinggi badan Pengukuran panjang badan/tinggi badan sejak lahir sampai usia 2 tahun dilakukan pada posisi berbaring terlentang, dan setelah 2 tahun dilakukan pada posisi berdiri. 3. Pengukuran lingkar kepala Pengukuran lingkar kepala dilakukan dengan menggunakan pita ukur yang lembut tapi tidak elastis. Kurva yang digunakan untuk memantau pertumbuhan bayi SGA adalah dengan kurva Fenton 2003. Pada tahun 2006, WHO mengeluarkan kurva pertumbuhan yang dapat diaplikasikan pada bayi preterm setelah usianya aterm. Masalah yang timbul berikutnya adalah bagaimana untuk memantau pertumbuhan bayi preterm sebelum mencapai usia aterm? Oleh karena itu, Fenton 2003 dan WHO melakukan harmonisasi dan menghasilkan kurva yang bisa digunakan untuk memantau pertumbuhan janin dan bayi preterm (usia pada saat kelahiran 24-36 minggu) sampai usia 50 minggu. Kurva ini disebut dengan kurva Fenton 2013. Setelah usia 50 minggu, bayi dapat dipantau pertumbuhannya dengan menggunakan kurva WHO. Berikut ini adalah gambar kuva Fenton 2013. Kita telah mengetahui bersama bahwa 90% bayi yang lahir dengan SGA akan dapat mengejar ketinggalan pertumbuhannya (catch-up growth) dalam usia 2 tahun. Catch-up growth yang dialami oleh bayi SGA akan berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, tinggi badan pada usia selanjutnya, dan fungsi kognitif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Victora CG, et al dan dipublikasikan di International Journal of Epidemiology tahun 2001, bayi SGA yang mengalami catch-up growth ≥ 0.66 Z-score pada usia 20 bulan, mempunyai angka kejadian perawatan di rumah sakit 65% lebih rendah daripada bayi SGA yang mengalami catch-up growth < 0.66 Z-score. Angka mortalitas pada usia 5 tahun pada bayi SGA yang mengalami catch-up growth ≥ 0.66 Z-score adalah 3 dari 320 kelahiran, sedangkan angka mortalitas bayi SGA yang mengalami catch-up growth < 0.66 Z-score adalah 13 dari 320 kelahiran. Penelitian lainnya telah dilakukan untuk mencari hubungan antara pertumbuhan bayi very low birth weigth (VLBW) atau bayi yang lahir pada saat usia kehamilan < 32 minggu dengan kemampuan kognitifnya pada usia 5 tahun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hasil dari pertumbuhan lingkar kepala pada usia 2 tahun berhubungan dengan pencapaian Full Scale IQ (FSIQ). Berdasarkan penelitian ini, kita dapat simpulkan bahwa pencapaian berat badan dan lingkar kepala yang baik berhubungan dengan outcome kognitif yang lebih baik pada usia 5 tahun. Untuk menunjang pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi SGA, dilakukan juga pemeriksaan skrining pendengaran dan penglihatan. Bayi SGA yang berusia > 24 jam dilakukan pemeriksaan otoaccoustic emission (OAE) sebelum dipulangkan. Alur pemeriksaan skrining OAE secara singkat dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Jika bayi dapat melewati skrining tersebut dan tidak ada faktor risiko untuk mengalami gangguan pendengaran maka tidak perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. 2. Jika bayi dapat melewati skrining tersebut tetapi mempunyai faktor risiko untuk mengalami gangguan pendengaran, maka perlu dilakukan pemeriksaan audiologi dan pemantauan perkembangan bicara setiap 6 bulan selama 3 tahun. 3. Jika pada saat skrining OAE bayi menunjukkan refer, maka 3 bulan kemudian perlu dilakukan otoskopi, timpanometri, distortion product OAE, dan BERA. 4. Jika bayi dapat melewati pemeriksaan ini, dilanjutkan dengan pemantauan perkembangan bicara dan audiologi tiap 6 bulan selama 3 tahun. 5. Sedangkan jika bayi menunjukkan refer pada pemeriksaan, maka perlu dirujuk ke dokter spesialis THT untuk pemeriksaan dan tatalaksana selanjutnya. Bayi SGA khususnya yang preterm mempunyai risiko untuk mengalami retinopathy of prematurity (ROP). Indikasi pemeriksaan ROP antara lain: 1. Berat badan bayi ≤ 1500 gram, atau usia kehamilan ≤ 34 minggu 2. Berat badan dan usia kehamilan saat bayi dilahirkan lebih dari yang ditentukan tetapi menerima FiO2 tinggi selama > 7 hari, atau yang menerima transfusi multipel. Bayi > 37 minggu tidak ada indikasi untuk dilakukan pemeriksaan untuk ROP. Jadwal pemantauan untuk ROP adalah usia 2-4 minggu untuk bayi yang lahir pada usia kehamilan > 30 minggu, usia 4 minggu untuk bayi yang lahir pada usia kehamilan ≤ 30 minggu, atau minimal 1 kali periksa sebelum pulang. Pemeriksaan ROP dilakukan oleh dokter spesialis mata yang berpengalaman dengan ROP. Selama pemeriksaan ROP, saturasi oksigen dan denyut jantung sebaiknya dipantau. Untuk pemantauan perkembangan bayi SGA, saat usia berapapun ia datang untuk imunisasi atau untuk pemeriksaan lainnya perlu dilakukan surveillance perkembangan dengan anamnesis orang tua atau pengasuh mengenai milestone perkembangan bayi. Alur surveillance dan skrining pada payi SGA secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut: 1. Jika pada saat surveillance bayi menunjukkan risiko mengalami gangguan perkembangan maka perlu dilakukan skrining dengan menggunakan alat skrining yang sudah terstandardisasi. 2. Jika pada saat skrining perkembangan bayi menunjukkan hasil yang normal, bayi dijadwalkan untuk menjalani skrining perkembangan di usia berikutnya. 3. Jika hasil skrining menunjukkan bayi mengalami keterlambatan, perlu dilakukan evaluasi medis dan perkembangan secara berkala. 4. Jika pada saat surveillance tidak menunjukkan adanya risiko, dilihat apakah bayi tersebut datang pada usia 9, 18, atau 30 bulan. Jika ya, maka dilakukan skrining perkembangan (minimal 3 kali selama 3 tahun pertama). 5. Jika ditemukan adanya keterlambatan perkembangan, perlu dilakukan evaluasi medis dan perkembangan secara berkala. Alat skrining yang dapat digunakan untuk pemantauan perkembangan ada beberapa macam, yaitu: 1. Ages and Stages Questionnaire (ASQ) 2. Bayley Infant Neurodevelopmental Screen (BINS) 3. Denver-II Developmental Screening Test 4. Parent’s Evaluation of Developmental Status (PEDS) merupakan modalitas skrining perkembangan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang moderat. Alat Skrining yang dapat dilakukan untuk memantau perkembangan bahasa dan kognitif antara lain; 1. Capute Scales: Cognitive Adaptive Tes/ Clinical Linguistic Auditory Milestone Scale (CAT/ CLAMS) 2. Communication and Symbolic Behavior Scales-Development profile (CSBS-DP) 3. Early Language Milestone Scale (ELM Scale-2 Alat yang digunakan untuk skrining autisme antara lain: 1. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT) 2. Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) 3. Pervasive Developmental Disorders Screening Test-II (PDDST-II) Pemeriksaan skrining perkembangan mempercepat waktu untuk mengidentifikasi adanya keterlambatan perkembangan, waktu untuk merujuk, dan waktu untuk memberikan intervensi awal pada anak yang mempunyai risiko mengalami gangguan perkembangan dibandingkan dengan dilakukan surveillance saja. Selain pemantauan tumbuh kembang, stimulasi juga perlu dilakukan untuk mengoptimalkan perkembangan bayi dengan SGA. Stimulasi yang dimaksud meliputi stimulasi taktil (raba, sentuhan, pijat, posisi), stimulasi vestibular kinestetik (menggoyang, mengayun), stimulasi pendengaran (menyanyi, musik, rekaman suara ibu, irama jantung ibu), stimulasi penglihatan (gerakan, warna, bentuk). Orang tua diajarkan melakukan stimulasi melalui pengaturan lingkungan untuk merangsang sensorimotor dan langsung berinteraksi dengan bayinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Prevalensi SGA semakin meningkat, oleh karena itu dibutuhkan pemantauan tumbuh kembang yang lebih ketat. 2. Kurva Fenton 2013 dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan bayi SGA/preterm. 3. Catch up growth pada bayi SGA berhubungan dengan outcome perkembangan yabg lebih baik. 4. Surveillance perkembangan sebaiknya dilakukan pada setiap kunjungan dan skrining perkembangan dilakukan minimal pada bulan ke-9, 18, dan 24-30. 5. PEDS merupakan salah satu alat skrining perkembangan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang moderat.