PEMANFAATAN TUMBUHAN SEBAGAI SUMBER OBAT Oleh : Sudiono Tumbuhan merupakan komponen yang penting bagi manusia. Mulai dari pada zaman purbakala tumbuhan telah digunakan untuk kebutuhan manusia, misalnya sebagai kayu bakar, bahan bangunan dan lain-lainnya. Dengan kemajuan teknologi kebutuhan itu semakin hari semakin meningkat, terutama untuk industri kayu log, pulp dan kertas, kayu lapis, dan material bangunan. Pemanfaatan hasil hutan yang berlebihan ini telah mengurangi jumlah tumbuhan. Pembukaan lahan baru untuk lahan perkebunan dan pertanian telah pula mengurangi jumlah tempat hidup tumbuhan yang dalam hal ini dapat dikatakan hutan. Hasil hutan Indonesia khususnya di Riau yang berlimpah sebenarnya dapat pula dikembang untuk industri yang lebih luas, antara lain: obat tradisional, agrokimia, bahan obat, bahan dasar industri dan lain lain. Pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber obat telah kembali berkembang sejak tahun 1980-an setelah sebelumnya menurun karena adanya obat sintesis. Perkembangan ini disebabkan senyawa kimia yang disari dari tumbuhan lebih berpotensi untuk memiliki aktivitas. Dua senyawa kimia yang yang berasal dari tumbuhan yang saat ini digunakan untuk obat antikanker adalah paclitaxel dan camptothecine. Keampuhan senyawa ini melebihi dari keampuhan obat sintesis, selain efek samping yang ditimbulkannya juga minimum. Pendekatan untuk mencari sumber obat baru dari tumbuhan ini pada dasarnya ada beberapa cara, yaitu skrining fitokimia, skrining bioaktifitas dan etnobotani/etnofarmakologi. Skrining fitokimia adalah pendekatan pencarian sumber obat baru dengan melakukan survei ke lapangan untuk koleksi sampel dan sampel tersebut kemudian diuji kandungan kimianya di laboratorium untuk melihat jenis atau golongan senyawa kimia yang dikandungnya. Skrining bioaktifitas juga hampir sama dengan cara skrining fitokimia tapi yang dilihat adalah aktifitas biologis atau efek farmakologis apabila sari tumbuhan tersebut diberikan pada hewan percobaan, sel hidup ataupun DNA. Pendekatan etnobotani atau etnofarmakologi adalah cara untuk memperoleh senyawa dari tumbuhan dengan melihat penggunaan tumbuhan oleh masyarakat atau suku tertentu. Tumbuhan yang digunakan disebut dengan obat tradisional. Oleh karena umumnya masyarakat perkotaan sudah banyak menggunakan obat modern, maka informasi penggunaan tumbuhan diambil dari masyarakat desa. Di Indonesia selain masyarakat desa kita juga memiliki masyarakat terasing. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Universitas Riau, masyarakat terasing ini sangat banyak menyimpan pengetahuan penggunaan tumbuhan sebagai obat. Disamping itu itu pengetahuan tentang tumbuhan itu sendiri mereka lebih baik. Maka oleh sebab itu sejak tahun 1990-an penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Kimia FMIPA Universitas Riau selalu melalui pendekatan etnobotani/etnofarmakologi ini. Namun usaha yang telah dilakukan ini tidaklah sebanding dengan lajunya pengrusakan biodiversitas hutan di Provinsi Riau. Tingginya tingkat konversi hutan di Provinsi ini karena daerah ini menjadi pusat industri kertas dan pulp, kayu lapis, perkebunan karet, perkebunan kelapa hibrida dan kelapa sawit serta berbagai jenis pertambangan. Jadi, pemanfaatan sumber daya alam hutan Indonesia ini, terutama di Provinsi Riau masih sangat terbatas dan tidak berwawasan lingkungan. Akibatnya pemanfaatan hutan selalu diikuti dengan kerusakan hutan. Bila mau kita bisa pula memanfaatkan hutan untuk industri obat tradisional, agrokimia, bahan obat, bahan dasar industri dan lain lain. Indonesia khususnya Riau memiliki beberapa suku yang masih banyak tergantung kepada alam atau yang dikenal dengan masyarakat suku terasing yang masih menggunakan obat tradisional yang umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pengetahuan dalam mengolah tumbuhan untuk dijadikan obat mereka peroleh secara turun-temurun. Mereka yang menerima pengetahuan pengobatan ini biasanya dinamakan dukun atau pawang. Setiap suku memiliki keterampilan sendiri-sendiri dalam mengolah tumbuhan untuk dijadikan obat. Masyarakat suku terasing yang ada di Provinsi Riau yang cukup besar populasinya antara lain suku Talang Mamak di Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu; suku Sakai di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis dan di Bukit Kapur, Kotamadya Dumai; suku Akit di Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis; dan suku Bonai di Kecamatan Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu. Masing-masing suku ini memiliki cara unik dalam mengolah dan memanfaatkan tumbuhan sebagai obat. Melihat potensi tersebut maka besar kemungkinan kita dapat mengembangkan industri obat-obat tradisional yang berasal dari suku-suku yang ada di Riau. Kesempatan ini mesti diambil sebelum punahnya ilmu yang dimiliki mereka bersama hilangnya keanekaragaman hayatinya. Oleh karena Indonesia sangat besar dan pemerintah pusat tidak mungkin memantau potensi masing-masing daerah, maka sebaiknya kebijakan ini mesti menjadi kewajiban pemerintah daerah. Cara yang paling efektif dalam penelitian dan pengembangan tumbuhan obat di Riau ini adalah dengan melibatkan perguruan tinggi yang ada di provinsi ini. (Oy). Sumber : Eryanti, Y., Zamri, A., Teruna, H.Y., Syafril, D., Yuharmen, Balatif, N. and Zulisman, 2000, “Penelitian kandungan kimia tumbuhan hutan tropis yang digunakan oleh masyarakat suku terasing sebagai obat tradisional di daerah Riau”. Pusat Pengkajian Sumber Daya Alam Universitas Riau, Pekanbaru. Balitbang Provinsi Riau, Pokok-Pokok Pikiran Dewan Riset Daerah Provinsi Riau. 2012. Pekanbaru.