BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obesitas Obesitas merupakan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal
didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan
dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan
dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas
disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang
meningkat (WHO, 2006).
Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan
perhitungan indeks masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan
perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas
dapat berdasarkan atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau
(2) berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan
peningkatan dari lemak tubuh (WHO, 2006).
Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah
serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat
sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas
sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena
berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular (Bigaard et al.,
2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008).
2.1.1
Etiologi Obesitas
Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya
ketidakseimbangan energi, terlepas dari adanya faktor lainnya seperti faktor
genetik, sosial dan kebudayaan. Ketidakseimbangan energi tersebut timbul
bilamana asupan energi (makanan) melebihi dari penggunaan energi total (WHO,
2006).
Perbedaan antara asupan dan penggunaan energi terutama dikatakan oleh
perubahan banyaknya simpanan lemak (triasilgliserol) pada organ penyimpan
utama yaitu jaringan lemak putih (Trayhurn, 2008). Akumulasi lemak akan terjadi
pada bagian tubuh yang tidak diinginkan seperti jantung, hati, pankreas dan otot
skeletal jika suatu individu tidak dapat menyimpan kelebihan energi yang
dihasilkan pada jaringan adiposa subkutannya (Despres et al., 2006 dan Despres et
al., 2008).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas biasanya
bekerja secara kombinasi diantaranya diet, merokok, kehamilan, kurangnya
aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan tertentu dan juga memiliki masalah
kesehatan tertentu (Trayhurn, 2008). Adanya penurunan dari berbagai hormon
akibat penuaan seperti hormon pertumbuhan dan produksi testosteron dapat juga
dikatakan meningkatkan akumulasi dari lemak, penurunan masa otot, dan
keseimbangan energi (Villareal, et al., 2005).
2.1.2
Epidemiologi Obesitas
Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih
dari 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 juta
orang akan mengalami obesitas (WHO, 2014). Obesitas semula hanya menjadi
perhatian pada Negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi,
namun belakangan secara dramatis obesitas juga mengalami peningkatan pada
negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di
daerah urban (WHO, 2014). Di negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat dan
Australia prevalensi orang dengan obesitas dan overweight tampaknya mempunyai
kecenderungan akan semakin meningkat dan telah mengenai sekitar 50-65 persen
populasi, juga meningkat secara ekstrim di beberapa negara seperti Meksiko, Mesir
dan populasi hitam di Afrika Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada
beberapa pulau-pulau daerah Pasifik, dan daerah Timur Tengah (WHO, 2014).
Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan
berat badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen, sedangkan
negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar 1,5-2 persen
(Mokdad, et al. 2001).
2.1.3
Pengaruh Obesitas terhadap Kesehatan
Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih banyak
masalah terhadap kesehatannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki
berat badan normal (Yanovski, 2002). Dari berbagai penelitian terbukti bahwa
obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap beberapa
penyakit
yang
tidak
menular
diantaranya
hipertensi,
DMT2,
penyakit
kardiovaskular, osteoartritis, stroke, dan beberapa penyakit keganasan (kolon,
rektum, esofagus, ginjal, payudara, dan prostat) (WHO, 2014). Meskipun secara
keseluruhan telah dibuktikan mengenai beberapa pengaruh yang merugikan dari
obesitas terhadap kesehatan, obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan
para klinisi karena sangat penyebab dan mekanismenya sangat luas. Beberapa
orang yang mengalami obesitas memiliki tekanan darah normal, profil lipoprotein-
lemak plasma yang normal, dan euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya
dengan berat badan yang normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor
resiko metabolik (Depres et al., 2006).
Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah membuktikan bahwa
sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan timbunan lemak berlebih di
daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk menderita DMT2, dislipidemia,
hipertensi
dan
penyakit
kardiovaskuler
(Despress
dan
Marette,
2008).
Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh dunia mungkin mendorong prevalensi
DMT2 menjadi lebih tinggi (WHO, 2014).
Beberapa dekade terakhir telah membuktikan adanya hubungan antara
aktivitas fisik dengan SM. Kurangnya aktivitas fisik atau sendentary life akan
meningkatkan resiko terjadinya obesitas dan meningkatkan resiko terjadinya
beberapa penyebab kematian, penyakit kronik dan disabilitas (Pergola et al., 2013).
Dampak obesitas yang baru-baru ini diteliti yakni obesitas yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya 20% kejadian kanker di Amerika. Hubungan antara
obesitas dan meningkatnya resiko kanker dikarenakan berbagai penyebab salah
satunya dari parameter antropometrik dan faktor pola hidup. Parameter antopometri
termasuk BMI, peningkatan berat badan, total lemak tubuh khususnya lemak
abdominal, pola hidup termasuk sedentary lifestyle, parameter diet termasuk
makanan berkalori tinggi dan diet berkualitas rendah yang diduga berperan sebagai
faktor predisposisinya. Beberapa jenis kanker yang kemungkinan berkaitan dengan
kejadian obesitas yakni kanker esofagus, payudara, endometrium, ginjal, pankreas,
kandung empedu dan tiroid. Walaupun hingga kini mekanisme terjadinya kanker
pada obesitas belum jelas diketahui, diperkirakan adanya produksi hormon yang
berlebihan, meningkatnya insulin, insulin growth factor, dan low grade
imflammation sebagai faktor pencetus (Pergola et al,. 2013).
2.1.3.1 Obesitas dan Hipertensi
Penelitian pada tahun 1959 telah menunjukkan adanya hubungan langsung
antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan. Penelitian oleh Rahmouni et
al, 2005 juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang
mempunyai berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu beberapa penelitian
epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas
dan hipertensi, hubungan kausalnya memang belum dapat diketahui dengan pasti,
namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas tersebut di
turunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun, oleh karena itu timbul
beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya
yaitu adanya mekanisme hemodinamik. Penelitiannya juga mendapatkan bahwa
adanya peningkatan stroke volume dan cardiac output pada penderita obesitas bila
dibandingkan dengan yang bukan obesitas dan juga didapatkan peningkatan
tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan
dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa
peningkatan stroke vulume, cardiac output dan peningkatan tahanan perifer
memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas.
Peranan aktivitas saraf simpatis, juga dikatakan sebagai faktor yang
berperan pada obesitas dengan hipertensi ditunjukkan pada penderita perempuan
obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan
darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan
sisa-sisa metabolisme katekolamin, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan
katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat.
Adanya peranan pada sistem endokrin yang diduga ikut berperan dalam
proses hipertensi pada obesitas terlihat pada adanya peningkatan kadar insulin dan
aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi
natrium di dalam glomerulus, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan
jelas mengurangi pula sekresi natrium dalam glomerulus, dalam beberapa hal
keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan
insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dalam darah yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, dan nantinya menyebabkan
hipertensi. Para peneliti tersebut sepakat bahwa menurunkan berat badan akan serta
merta dapat menurunkan tekanan darah (Rahmouni et al., 2015).
2.1.4.2 Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik
Penelitian Krauss et al., 1998 menunjukkan meningkatnya resiko kematian
mendadak yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas.
Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian
mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Hasil
penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap
terjadinya arteriosklerosis koroner. Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat
obesitas ternyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibuktikan.
Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita
obesitas yang dengan pemeriksaan angiografi memperlihatkan sklerosis arteria
koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu
arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat
bahwa obesitas tidak langsung menyebabkan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi
hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.
2.1.4.3 Obesitas dan Diabetes Melittus
Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem metabolism glukosa dan
energi, dan yang sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan
kejadian diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9
kali lebih sering bila dibandingkan orang yang tidak obesitas. Di Amerika telah
dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 - 45 tahun mempunyai
kecenderungan terkena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan
dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 - 75
tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering daripada yang
memiliki berat badannya normal. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas
sering mengalami hiperglikemia tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan
ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya
reseptor insulin terhadap adanya keadaan hiperglikemia. Beberapa penelitian yang
menyebutkan bahwa pada penderita diabetes dengan obesitas, kelainan dasarnya
adalah gangguan sekresi insulin. Sekresi insulin dikatakan terhambat sehingga
kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan baik dan terdapat peningkatan
sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan
peningkatan resistensi insulin. Disamping itu hiperglikemia dan hiperinsulinemia
dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya
peningkatan hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya
jumlah reseptor insulin yang sensitif pada membran sel.
2.1.4.4 Obesitas dan Gangguan Pernafasan
Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan
rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan oleh
karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas vital paru yang
akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat
dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian
syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat
badannya.
2.1.4.5 Obesitas dan Kelainan Sendi
Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban
yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung
menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi
osteoartrosis (OA) baik primer ataupun sekunder. Conway dan Mc Carthy, 2015
dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata
grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung
lebih cepat menderita OA memerlukan operasi penggantian sendi. Beberapa
mekanisme termasuk mekanikal, epigenetik, peranan sitokin-sitokin pro imflamasi
seperti VEGF, IL-6, TNF-A, penurunan adiponektin yang menurun diperkirakan
sebagai penyebab terjadinya osteoarthritis pada obesitas. Sendi yang terkena adalah
sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan
kaki.
2.1.4.6 Obesitas dan Defisiensi Hormon Testosteron
Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala
dan tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya
diketahui pada kondisi yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis
dan kualitas hidup penderita. Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa;
menurunnya libido, menurunnya aktifitas seksual, berkurangnya massa dan
kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah / low energy dan depresi (Jones , 2007 ;
Mendonca et al., 2014).
Assosiasi yang substansial / signifikan yang banyak
dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan risiko penyakit
kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi vaskuler,
hipertensi dan aterosklerosis (Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al.,
2011).
Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor
yang penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang (Ohisson et
al., 2011 ; Wang et al., 2011).
Obesitas merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan adipose
mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFA(Free
Fatty Acid) dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada
perkembangan SM, DM tipe-2 seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen
(Traish et al., 2009).
Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi (active secretory
tissue) sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor
proinflamatori lainnya seperti IL-6, IL-1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen,
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan serum amyloid A (Wang et al.,
2011).
Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan
disfungsi dari vaskuler sistemik maupun perifer (Reilly et al., 2004). FFA
mengaktifasi nuclear factor-κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα
mengaktivasi lipolisis diikuti dengan meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage
chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang akan meningkatkan mobilisasi makrofag
dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα juga meningkatkan ekspresi
molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6 menstimulasi
sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang
merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron
terbukti dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat
memodulasi secara langsung sensitivitas insulin (Reilly et al., 2004 ; Wang et al.,
2011). Kadar testosteron pada penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan
komponen Sindrom Metabolik dapat dilihat pada gambar 2.5 (Wang et al., 2011)
2.1.4
Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas
Standar pengukuran dan cara paling sederhana untuk menentukan obesitas
adalah dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT) yang ditetapkan berdasarkan
berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter [berat/tinggi
badan (kg/m2)] (WHO, 2006). Pada umumnya IMT berkorelasi dengan adipositas
di dalam tubuh, meskipun kadangkala dapat memberikan informasi yang kurang
tepat tentang klasifikasi variasi kandungan lemak tubuh dan masa lemak intra
abdominal (Frayn et al., 2005). Dewasa ini masa jaringan adiposa dapat diukur
dengan berbagai cara, akan tetapi kebanyakan memerlukan peralatan dan teknik
yang canggih, sehingga jauh dari jangkauan untuk diterapkan secara klinis
(Villareal et al., 2005). Dibandingkan pemeriksaan lainnya, untuk memperkirakan
kandungan total lemak tubuh mempergunakan IMT mempunyai spesifisitas yang
tinggi yaitu 98-99 persen, dengan nilai prediksi positif sebesar 97 persen. Selain itu
IMT mudah dihitung dan telah direkomendasikan sebagai cara pengukuran obesitas
untuk orang dewasa (WHO, 2006).
Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa IMT berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas dari berbagai penyakit. Untuk penduduk di
wilayah Asia-Pasifik, WHO menganjurkan pemakaian kriteria yang berbeda
berdasarkan faktor risiko dan morbiditas. Pada orang Asia, cut-off untuk
overweight ( 23.0 kg/m2) dan obesitas ( 25.0 kg/m2) lebih rendah dibandingkan
dengan kriteria WHO (WHO, 2014). Usulan sementara ini berdasarkan dari hasil
penelitian pada penduduk Cina di Hongkong dan Singapura, dan keturunan India di
Mauritius. Tetapi pada penduduk asli kepulauan Pasifik diperlukan cut-off yang
lebih tinggi yaitu untuk overweight IMT 26 kg/m2 dan untuk obesitas IMT  32
kg/m2 (WHO, 2014).
Tabel 2.1
Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia dewasa berdasar IMT
(WHO, 2014)
2.1.5
Pengukuran Distribusi Lemak Tubuh
Distribusi lemak di dalam tubuh sangat menentukan resiko dari obesitas
yang dapat ditimbulkannya yakni morbiditas dan mortalitas (Depres et al., 2006).
Terdapat berbagai cara untuk menentukan secara tepat distribusi lemak tubuh
manusia.
a. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)
Beberapa tahun belakangan alat ini telah dapat digunakan sebagai alat
untuk menjelaskan tempat berkumpulnya jaringan lemak yang kemungkinan suatu
lemak intra abdominal dan nantinya dapat memberikan informasi tentang dampak
yang dapat ditimbulkannya (Frayn, 2005). CT Scan atau MRI jaringan adiposa
intra abdominal dan subkutan dikerjakan setinggi L3/L4 dengan potongan multipel
(slices) merupakan gold standard untuk pengukuran jaringan lemak viseral
(Wajchenberg, 2000). Pada ras Kaukasus luas lemak viseral >130 cm2
berhubungan dengan sindroma metabolik sedangkan apabila <110 cm2 merupakan
risiko rendah. Kedua cara ini memiliki ketepatan yang tinggi yang juga dapat
membedakan antara lemak viseral dengan lemak subkutan (WHO, 2006; Despres et
al., 2006).
b. Dual-energy X-ray scanning
Penginderaan secara longitudinal dapat diperoleh dengan cara dual-energy
X-ray scanning (DEXA). Cara ini tidak akan menghasilkan data yang tepat
mengenai distribusi lemak tubuh seperti daerah intraabdominal, dan hanya
memberikan informasi tentang distribusi dan perubahan yang terjadi pada lemak
tubuh (Hao Wang et al., 2012). Metode ini memerlukan peralatan yang mahal dan
banyak menghabiskan waktu, cara penggunaan tidak praktis sehingga masih
diperlukan metode yang sederhana terutama untuk penelitian di lapangan dengan
jumlah sampel yang banyak (Heymsfield et al., 2001).
c. Pengukuran subcutan fat
Mengukur subcutan fat atau lapisan lemak di bawah kulit memberikan
estimasi yang baik tentang total lemak tubuh pada orang dewasa dan anak-anak
dengan berat badan normal, namun ini hanya merupakan cara tambahan untuk
mengukur total lemak tubuh. Jangka lengkung lipatan kulit memuat ukuran lemak
yang berada persis dibawah kulit yang berasal dari beberapa bagian tubuh (WHO,
2006). Pengukuran dilakukan pada 4 lokasi (bisep, trisep, subskapula dan suprailiaka). Seseorang dikatakan obesitas jika pada laki-laki yang memiliki total lemak
tubuh lebih dari 25% dan perempuan jika memiliki total lemak tubuh lebih dari
30% (WHO, 2006). Cara pengukuran ini tidak cocok dilakukan pada subjek yang
sangat gemuk karena tidak dapat mengukur komponen lemak intra abdominal yang
sangat penting (Baum, 2004).
d. Pengukuran lingkar pinggang (Lp) dan rasio pinggang pinggul (RPP)
Kedua cara ini sangat praktis, sederhana dan murah untuk menentukan
adanya timbunan lemak berlebih di daerah abdominal. Pengukuran obesitas ini
ditujukan untuk dapat mengidentifikasi adanya berbagai faktor risiko yang
berhubungan dengan obesitas tersebut. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa Lp
dapat dipergunakan untuk menentukan lemak intra abdominal (Despress et al.,
2006). Rasio pinggang pinggul (RPP) atau waist to hip ratio (WHR) juga dapat
dipergunakan untuk mengukur obesitas abdominal, dimana PP > 0,9 pada pria dan
> 0,80 untuk wanita dipergunakan untuk menentukan adanya obesitas abdominal
(WHO, 2006). Pengukuran Lp saja ternyata terbukti merupakan cara yang baik
untuk mengukur lemak intra abdominal. Pengukuran Lp sangat kecil dipengaruhi
oleh tinggi badan atau umur dan menurunnya Lp berhubungan dengan perbaikan
faktor risiko kardiovaskuler (Hwang et al., 2012). Penelitian longitudinal selama
kurun waktu 7 tahun menunjukkan bahwa perubahan Lp lebih berkorelasi dengan
perubahan pada jaringan lemak viseral bila dibandingkan dengan perubahan pada
RPP (Despres et al., 2008). Pengukuran Lp dapat mengidentifikasi individu yang
memiliki distribusi lemak abdominal dan memiliki berbagai risiko untuk penyakit
kardiovaskuler. Pengukuran Lp sangat berkorelasi dengan pengukuran IMT dan
RPP (Lean et al., 1995). Individu dengan Lp 94-101 cm pada pria dan 80-87 cm
pada wanita 1½-2 kali memiliki satu atau lebih faktor risiko penyakit
kardiovaskular dan individu dengan Lp 102 pada pria dan 88 cm untuk wanita
memiliki 2½-4½ kali faktor risiko. Dianjurkan apabila Lp > 94 cm pada pria atau
Lp > 80 cm pada wanita tidak lagi boleh mengalami peningkatan berat badan.
Penurunan berat badan diperlukan apabila Lp > 102 cm untuk pria dan > 88 cm
untuk wanita (Lean et al., 1995).
2.2 Fungsi Jaringan Adiposa
Timbunan lemak atau adiposa pada manusia sebagian besar terdiri dari
jaringan lemak atau adiposa putih dan diperkirakan menjadi tempat utama
penyimpanan energi (Tilg dan Moshen, 2008). Penyimpanan energi oleh jaringan
adiposa putih terjadi dalam bentuk trigliserida dan bila diperlukan akan melepaskan
energi berupa asam lemak bebas. Sel adiposa putih pada tingkat seluler terdiri dari
sel adiposit yang mengandung lemak dan dikelilingi oleh matrik serat kolagen, sel
imun, fibroblast dan pembuluh darah (Trayhurn, 2008). Masa jaringan lemak
ditentukan
oleh
keseimbangan
antara
asupan
dan
pengeluaran
energi,
keseimbangan kalori positif pada orang gemuk akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan lipid intraselular dan membesarnya ukuran adiposit (hipertrofi) dan
meningkatnya jumlah adiposit (hiperplasia) (Bays, et al. 2008). Beberapa
penelitian menjelaskan bahwa adiposit dari jaringan adiposa tersebut dapat
mengeluarkan protein yang bekerja secara endokrin, parakrin dan autokrin untuk
mengatur diferensiasi dari sel lemak dan juga pengaturan keseimbangan energi.
Beberapa tahun belakangan sejak leptin ditemukan, terjadi pergeseran paradigma
dalam pengertian tentang peranan fisiologis jaringan adiposa putih. Penemuan 120
bahan yang terdiri dari berbagai hormon dan sejumlah faktor autokrin dan parakrin
dihasilkan atau diproses didalam jaringan adiposa (Kirkland et al., 2003). Sebagian
dari faktor-faktor yang disebut adipokin ini adalah tissue factor, leptin, tumor
necrosis factor- (TNF-), interleukin-6 (IL-6), interleukin-8 (IL-8), interleukin1 (IL-1), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), transforming growth factor1 (TGF-1), adipsin, adiponektin, angiotensinogen, resistin, serum amiloid A3
(Mutch et al., 2001; Kirkland et al., 2003). Adipokin-adipokin tersebut berkorelasi
denngan imunitas dan respon inflamasi, dan produksinya secara umum meningkat
pada obesitas (Hotamisligil, 2006). Salah satu perkecualian adalah adiponektin,
yang bekerja sebagai anti-inflamasi dan perangsang pengeluaran insulin, ekspresi
dan sekresinya menurun pada obesitas (Ronti, et al. 2006). Mekanisme yang terjadi
pada obesitas sangat kompleks dan banyak melibatkan sitokin, hormon dan growth
factor. Kenyataan bahwa TNF a, Leptin, IL-6, insulin, PAI-1, TGF-B dan lainnya
meningkat pada obesitas dan peranan ini berhubungan dengan berbagai penyakit
yang sering dijumpai pada obesitas (Fruhbeck et al, 2001).
2.3 Hubungan Lemak Viseral dengan Sindroma Metabolik
Dibandingkan dengan lemak subkutan, lemak viseral lebih berhubungan
dengan hipertensi, hiperinsulinemia dan resistensi insulin, diabetes mellitus,
dislipidemia dan penurunan fungsi fibrinolisis membuktikan bahwa lemak viseral
lebih kuat hubungannya dengan tekanan darah sistolik dan diastolik, trigliserida,
kolesterol total, kolesterol-HDL, kolesterol-LDL dan resistensi insulin (Yamashita
et al., 1996; Kopelman, 2000; Wajchenberg et al., 2000; Despres et al., 2006).
Timbunan lemak viseral yang berlebihan juga berhubungan dengan variabel
hemostatik yang berperan terhadap meningkatnya risiko aterotrombosis (Alessi et
al., 1997).
Penelitian secara morfologi dari adiposit yang diambil dari berbagai bagian
tubuh menunjukkan bahwa metabolisme adiposit dari daerah abdominal berbeda
dengan
metabolisme
adiposit
dari
femuro-gluteal.
Adiposit
abdominal
menunjukkan bentuk hipertrofi, sedangkan adiposit femuro-gluteal adalah
hiperplastik (Van Gaal, 2006). Lemak abdominal memiliki respon lipolisis yang
lebih besar terhadap noradrenalin dan kurang sensitif terhadap antilipolisis dari
insulin sehingga mengakibatkan peningkatan masuknya asam lemak bebas (ALB)
ke dalam sirkulasi portal (Kopelman, 2000). Diperkirakan ALB yang berasal dari
lemak viseral melalui aliran portal mempengaruhi metabolisme hepar dan
menyebabkan peningkatan sintesa very low density lipoprotein (VLDL), dan
selanjutnya low density lipoprotein (LDL). Disamping itu ALB dapat merangsang
glukoneogenesis dan meningkatkan kadar glukosa darah. Penelitian dengan cara
mengukur perfusi pada hepar tikus membuktikan bahwa ALB dapat menurunkan
kliren dari insulin dan menimbulkan hiperinsulinemia (Kopelman, 2000; Björntorp,
2003; British Nutrition Foundation, 2003). Data di atas hanya terbatas berdasar
hasil penelitian secara invitro.
Penelitian pada manusia masih menjumpai banyak kendala karena
pengukuran vena porta hampir tidak pernah dapat dikerjakan karena kesulitan
teknis. Secara tidak langsung pengukuran konsentrasi ALB pada vena hepatika
dapat menggambarkan produksi ALB dari depot lemak viseral, tetapi masih
dijumpai kendala karena terdapat juga aliran darah ke hepar melalui arteri hepatika
dari sirkulasi sistemik. Sehingga ALB yang diukur pada vena hepatika tidak hanya
berasal dari lipolisis jaringan lemak viseral, tetapi juga berasal dari lipolisis
jaringan lemak ditempat lainnya (Björntorp, 2003).
Disamping teori ALB dari lemak viseral, yang mendasari terjadinya berbagai
faktor risiko, penelitian pada tikus membuktikan terjadinya ekspresi berlebihan dari
-hydroxy steroid dehydrogenase1 pada jaringan adiposa. Enzim ini merubah
glukokortikoid inaktif menjadi kortikosteron aktif. Sebagai akibatnya terjadi
resistensi insulin dengan segala akibatnya. Pada manusia keadaan ini menyebabkan
terjadinya kelebihan kortisol, sehingga peran spesifik dari lemak viseral menjadi
tidak jelas (Björntorp, 2003).
2.4 Mekanisme Resistensi Insulin pada Obesitas Abdominal
Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek metabolik
insulin yang berakibat pada insensitivitas jaringan terhadap insulin (Hawkins &
Rossetti, 2005). Efek metabolik insulin mencakup efek penghambatan terhadap
produksi glukosa endogen, efek stimulasi pada pengambilan glukosa dan sintesis
glikogen pada jaringan, serta menghambat penguraian lemak pada jaringan
adiposa. Tanpa adanya defek pada fungsi sel beta pankreas, individu
mengkompensasi resistensi insulin dengan peningkatan jumlah sekresi insulin
(hiperinsulinemia) (Masharani et al., 2004).
RI tidak hanya menyangkut hubungan antara glukosa dengan insulin tetapi
juga kerja biologis lainnya dari insulin seperti pengaruhnya terhadap metabolisme
lemak dan protein, fungsi endotel, dan ekspresi gen (Cefalu, 2001). Berbagai faktor
genetik, lingkungan dan metabolik yang berperan terjadinya RI saat ini belum
sepenuhnya diketahui (Lewis et al., 2002). Ambilan dan metabolisme glukosa
melalui kerja insulin merupakan hasil akhir dari aktivasi tahapan signaling insulin.
Perubahan satu atau lebih dari proses ini akan menimbulkan gangguan terhadap
kerja insulin dan menimbulkan resistensi insulin (Tjokroprawiro, 2003). Resistensi
insulin juga sangat berkaitan dengan suatu kluster (kumpulan) kondisi yang disebut
sindroma metabolik (SM) (obesitas sentral, hipertensi, resistensi insulin, dan
dislipidemia) (Carr & Brunzell, 2004). Sindroma metabolik juga sangat
berhubungan dengan inflamasi sistemik akibat peningkatan sitokin proinflamasi
serta status protrombotik seiring dengan peningkatan kadar plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) serta stres oksidatif (Kahn et al., 2005).
Secara garis besar terdapat 3 tahapan utama yang berperan terjadinya RI: 1)
ikatan insulin dengan reseptor, 2) fosforilasi dari reseptor insulin, dan 3) signaling
insulin intra seluler (Giannarelli et al., 2003; Tjokroprawiro, 2003). Reseptor
insulin merupakan protein heterotetrameric terdiri dari dua subunit- pada domain
ekstraseluler dan dua subunit- β pada domain intra seluler. Pada saat terjadi ikatan
antara insulin dengan subunit-, terjadi fosforilasi subunit- dari reseptor
insulin. Autofosforilasi dari subunit- akan mengakibatkan aktivasi insulin
receptor substrate (IRS-1;-2;-3;-4). Protein ini mengatur mediator lainnya seperti
phospho-inositol-3-kinase (PI3-kinase). Peran dari IRS-1 dan IRS-2 terhadap RI
telah dibuktikan secara eksperimental dengan tikus knock-out yang dibuat secara
genetik. Aktivasi PI3-kinase mengkatalisasi terbentuknya PI-3,4,5 –fosfat yang
akan menimbulkan aktivasi PKB/AKT dan phosphatidilinositol-3,4,5-phosphate
kinase-1 (PDK-1). Fosforilasi PKB/AKT akan mengatur tahapan kinase yang
berperan terhadap transduksi signal insulin yang berperan terhadap translokasi
GLUT-4 dari kompartemen membran intra seluler ke membran sel sehingga terjadi
transport glukosa transmembran secara aktif dan fosforilasi, anti lipolisis, sintesis
glikogen dan protein, dan ekspresi gen (Youngren et al., 1999; Cefalu, 2001).
Tabel 2.
Definisi Sindroma Metabolik menurut WHO, EGIR dan NCEP
(Eschwege, 2003)
WHO
EGIR
Resistensi
Insulin
(ambilan glukosa dibawah
quartile terendah untuk
kelompok populasi yang
diteliti
Apabila ditemukan paling
Hiperinsulinemia
(insulin puasa diatas sedikit 3 dari 5 faktor risiko
upper quartile dari dibawah ini:
populasi non diabetes.
Dan/atau
Disertai dengan 2 atau 
lebih:
Gangguan glukosa darah 
(GDP 110 dan/atau 2jam
pp 140 mg/dl)

Disertai 2 atau lebih

Hipertensi
(sistolik
140 mmHg dan/atau
distolik 90 mmHg

Peningkatan
trigliserida, kol –HDL
rendah.Trigliserida
>150 mg/dl dan atau 
kol-HDL <35 mg/dl
untuk pria atau < 39
mg/dl untuk wanita

Obesitas viseral (RPP
>0,90 untuk pria dan
>0,85 untuk wanita

Mikroalbuminuria
(UAE 20 mg/min atau
rasio albumin/kreatinin
>30mg/kg)
NCEP

Gula darah puasa 110
mg
Hiperglikemi (BSN 
 110 mg/dl.
Tekanan darah 130/85
mmHg
Hipertensi (tekanan 
darah sistolik 140
mmHg,
dan/atau 
diastolik
90
mmHg,dan/atau

mendapat
pengobatan
hipertensi.
Trigliserida 150 mg/dl
Dislipidemia
(trigliserida
>180
mg/dl) dan/atau kolHDL <40 mg/dl dan
atau
mendapat
pengobatan
dislipidemia.
Kol-HDL untuk pria <40
mg/dl, <50 mg/dl untuk
wanita
Obesitas viseral (Lp >102
cm untuk pria dan >88 cm
untuk wanita; beberapa pria
dengan Lp >94 cm akan
mengidap berbagai faktor
risiko metabolik melalui
predisposisi genetik untuk
resistensi insulin,dan akan
bermanfaat untuk merubah
pola hidup seperti pada pria
dengan Lp >102 cm.
Obesitas
viseral
(Lp 94 cm untuk
pria dan 80 cm
untuk wanita
Berbagai faktor diperkirakan berperan terhadap timbulnya RI pada obesitas
dan diantaranya adalah TNF-α, leptin dan ALB (Despres dan Marette, 1999;
Frűhbeck et al., 2001). Banyak penelitian secara in vivo maupun in vitro
membuktikan bahwa TNF-α berperan terhadap timbulnya RI pada obesitas. Terjadi
peningkatan ekspresi dari TNF-α pada jaringan adiposa yang mengalami
pembesaran pada obesitas dan lebih jauh TNF-α dapat menurunkan ambilan
glukosa karena pengaruh insulin. Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa
disamping TNF-α juga dijumpai faktor lainnya ikut berperan terjadinya RI pada
obesitas (Despres and Marette, 1999). Leptin yang dihasilkan oleh jaringan adiposa
ekspresi dan sekresinya mengalami peningkatan pada obesitas. Diperkirakan
hiperleptinemia berperan untuk terjadinya RI pada obesitas. Pemaparan sel adiposit
dengan leptin dalam jangka lama akan menimbulkan gangguan terhadap transport
glukosa karena pengaruh insulin, glycogen synthase, lipogenesis, antilipolisis dan
sintesis protein. Dilain pihak peranan leptin pada RI yang berhubungan dengan
obesitas sangat komplek mengingat leptin tidak dapat bekerja langsung pada otot
skeletal yang merupakan lokasi terpenting terjadinya RI pada obesitas (Despres and
Marette, 1999).
Pada obesitas terjadi pelepasan ALB berlebihan dari jaringan adiposa
kedalam sirkulasi. Lemak viseral lebih sensitif dibandingkan dengan lemak
subkutan terhadap pengaruh lipolisis dari katekolamin dan kurang sensitif terhadap
pengaruh antilipolisis dan re-esterifikasi asam lemak dari insulin (Lewis et al.,
2002; Mittelman et al., 2002). Pada lemak viseral terjadi peningkatan komponen βadrenoceptor (terutama β3-AR) sebagai komponen lipolisis dan menurunnya
komponen α2-adrenoceptor (α2-AR) sebagai komponen antilipolisis (Despres dan
Marette, 1999). Masuknya ALB melalui aliran vena porta mengakibatkan
peningkatan ALB mencapai hepar. Meskipun cadangan lemak viseral hanya 20%
dari total masa lemak tubuh pada pria dan 6 % pada wanita, tetapi hampir 80% dari
aliran darah hepatik berasal dari vena porta (Lewis et al., 2002). Pada obesitas
peningkatan masa lemak akan disertai peningkatan kadar ALB didalam sirkulasi.
Randle tahun 1963, pertama kali membuktikan bahwa ALB berkompetisi dengan
glukosa untuk oksidasi substrat pada jaringan otot. Peningkatan oksidasi ALB akan
menimbulkan
peningkatan
rasio
acetyl-CoA/CoA
dan
NADH/NAD+
dan
menimbulkan inaktivasi piruvat dehydrogenase. Keadaan ini akan meningkatkan
konsentrasi sitrat yang selanjutnya akan menghambat phosphofructokinase dan
akumulasi glucose-6-phosphate. Peningkatan kadar glucose-6-phosphate akan
menghambat hexokinase II dan berakibat menurunnya ambilan glukosa (Roden et
al., 1996). ALB juga dapat merangsang peningkatan glukoneogenesis dan
menurunkan ambilan insulin oleh hepar (Boden et al., 2001). Hipotesis dari Randle
ini masih banyak dipertentangkan dan belum diterima sepenuhnya. Peneliti lainnya
membuat suatu unifying hypothesis, dimana peningkatan ALB akan meningkatkan
metabolit dari asam lemak intraseluler seperti diacylglycerol, fatty acyl CoA atau
ceramide yang akan mengaktifasi serine/threonine kinase cascade (mungkin
dimulai
oleh
protein
kinase
C),
akan
mengakibatkan
fosforilasi
dari
serine/threonine pada substrat reseptor insulin. Bentuk fosforilasi serin dari protein
ini tidak dapat mengaktifasi PI-3 kinase sehingga menurunkan aktifasi transport
glukosa dan aktifitas lain di bawahnya (Shulman, 2000; Boden and Laakso, 2004).
Bagaimanapun juga berbagai hipotesis yang ada masih perlu pembuktian
lebih lanjut mengenai peran ALB untuk menimbulkan resistensi insulin. ALB juga
dapat meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa (Shulman, 2000;
Frayn, 2001; Lewis, 2002).
2.5
Pengukuran Resistensi Insulin
Homeostasis Assessment Model (HOMA) merupakan model matematik yang
memungkinkan untuk mengetahui sensitifitas insulin dan fungsi sel- (dinyatakan
sebagai persentase dari normal) apabila pada saat bersamaan diketahui kadar
glukosa puasa dan kadar insulin puasa. Karena sekresi insulin bersifat pulsatil,
sampel yang optimal sebaiknya berupa harga rerata dari 3 pengukuran dalam
interval 0; 5 dan 10 menit (Matthews et al., 1985)
Pengukuran RI dengan cara HOMA dihitung berdasar formula: [kadar insulin
puasa (µU/ml) x glukosa plasma puasa (mM)] 22,5. Untuk penelitian epidemiologi
sering dipergunakan sampel tunggal (Wallace dan Matthews, 2002). Sedangkan
untuk fungsi sekresi insulin dipergunakan Homeostasis Model Assessment -Cell
(HOMA-B). Pengukuran
RI dengan HOMA berkorelasi kuat dengan metoda
euglycaemic hyperinsulinemic clamp (Matthews et al.,1985; Bonora et al., 2000).
Berbeda dengan metoda lainnya, HOMA mengukur resistensi insulin basal
sedangkan metoda lainnya mengukur resistensi insulin terstimulasi. Continuous
Infusion of Glucose with Model Assessment (CIGMA) merupakan model
matematik dengan menilai respon glukosa dan insulin terhadap infus glukosa
dalam dosis rendah. Infus glukosa dengan kecepatan 5 mg/kg berat badan ideal
selama 60 menit dan kadar glukosa dan insulin (atau C-peptida) diperiksa pada 50;
55 dan 60 menit (Wallace and Matthews, 2002).
Euglycaemic hyperinsulinemic clamp merupakan baku emas untuk
mengukur RI. Kadar glukosa sebelumnya dipatok dalam kadar tertentu (misalnya 5
mmol/l) dengan melakukan titrasi infus glukosa terhadap infus insulin dalam
kecepatan tetap. Kecepatan infus insulin harus diperhitungkan berdasar dosis per
unit dari luas tubuh daripada berdasarkan berat badan, untuk mencegah pemberian
insulin berlebihan pada individu dengan overweight. Kecepatan infus glukosa
dihitung berdasarkan kadar glukosa darah yang diukur setiap 3 sampai 5 menit
selama clamp. Apabila telah dicapai steady state, derajat RI berhubungan terbalik
dengan jumlah glukosa yang diperlukan untuk mempertahankan kadar glukosa
darah tertentu (Wallace and Matthews, 2002). Metode HOMA ternyata mempunyai
korelasi yang kuat dengan metode euglycaemic hyperinsulinemic clamp yang lebih
rumit dan mahal (Cefalu, 2001).
Timbunan lemak berlebih pada obesitas berhubungan dengan RI, demikian
juga sebaliknya pada lipodistrofi di mana terjadi difisiensi jaringan lemak, ternyata
juga diikuti dengan RI dan tingginya angka kejadian DM tipe-2. Tampaknya pada
kedua keadaan ini terdapat mekanisme sama yang mendasari terjadinya RI (Frayn,
2000).
2.6 Peranan Klasik Tulang dan Organ Endokrin
Telah lama diketahui bahwa peranan klasik tulang kerangka untuk
perlindungan organ vital seperti otak dan medula spinalis, stabilisasi tubuh dan
dukungan dalam bergerak, selain itu tulang juga dianggap sebagai tempat untuk
terjadinya hematopoesis dan sebagai organ penting dalam hemostasis kalsium dan
phosfor (Fukumoto and Martin, 2010). Pada beberapa penelitian dijelaskan selain
beberapa fungsi diatas, tulang juga memiliki fungsi lainnya yaitu sebagai organ
endokrin. Bukti terbaru menjelaskan bahwa tulang setidaknya dapat menghasilkan
dua hormon yaitu faktor pertumbuhan Fibroblast growth factor 23 (FGF23) dan
OC. FGF23 merupakan hormon yang diproduksi oleh osteosit di dalam tulang,
hormon tersebut berperan dalam menghambat 1α-hidroksilase vitamin D dan juga
berfungsi untuk meningkatkan ekskresi phosphor oleh ginjal (Ferron et al., 2008;
Fukumoto dan Martin 2010). Studi genetika yang dilakukan pada tikus
mengungkapkan bahwa OC yang merupakan protein yang dihasilkan oleh
osteoblast dan memiliki peran pada sel-β pankreas dalam meningkatkan produksi
insulin dan metabolisme glukosa pada jaringan perifer sebagai hasil dari
peningkatan sensitivitas insulin dan berkurangnya lemak viseral. Penelitian
tersebut menyoroti bahwa hasil studi terbaru yang menunjukkan peran tulang
sebagai organ endokrin (Confavreux et al., 2011).
Gambar 2.1
Mekanisme undercarboxylated osteocalcin (ucOC) dan fibroblat growth factor 23
(FGF23) sebagai hormon pada tulang (Fukumoto and Martin, 2010)
2.6.1
Tulang dan Insulin
Hipotesis yang dijelaskan oleh Karsenty dkk yang pertama kali
menerangkan bahwa tulang memiliki hubungan timbal balik dalam metabolisme
insulin. Beberapa studi yang telah dilakukan tersebut menjelaskan juga bahwa
tulang merupakan organ yang sangat besar dan dalam memeliharanya diperlukan
pasokan energi yang juga besar, hal tersebut menegaskan tulang dan metabolisme
energi memiliki hubungan yang sangat erat (Veldhuis-Vlug et al., 2013). Banyak
studi dilakukan untuk meneliti gen spesifik pada tulang, telah dilakukan juga
penelitian terhadap gen yang dihasilkan oleh tikus knockout untuk mempelajari
fenotipe metaboliknya, OC dan stem sel embrionik phosphatase (Esp) yang
merupakan kandidat gen yang berhubungan dengan metabolisme energi
(Confavreux et al., 2009; Wah Ng, 2011; Veldhuis-Vlug et al., 2013).
Gambar 2.2
Hubungan remodeling tulang, homeostasis glukosa, lipid dan metabolisme energi
(Wah Ng, 2011)
Beberapa penelitian menjelaskan gen spesifik yang dihasilkan oleh
osteoblast yakni Esp merupakan suatu gen yang mengkoding tyrosine phosphatase
intraseluler yang disebut OST-PTP, dimana Esp sendiri memiliki peran yang
berlawanan dengan kerja OC (Lee et al., 2007). Beberapa bukti genetik dan
biokimia menunjukkan bahwa kerja Esp tempatnya lebih diatas dari OC dalam
menghambat fungsi metabolik. Osteoblast mensekresi molekul OC ke dalam
sirkulasi sebagai petanda dari pergantian tulang dan dapat mempengaruhi
homeostasis glukosa (Confavreux et al., 2009; Schwetz et al., 2012). Sekresi OC
oleh osteoblast melalui beberapa tahapan modifikasi post-translational melalui
vitamin-K dependent dimana 3 glutamic acid residue mengalami carboxylated
sehingga memungkinkan protein ini berikatan dengan kalsium. Kadar OC dalam
sirkulasi terdiri dari carboxylated OC (cOC) dan undercarboxylated OC (ucOC)
dan dipergunakan sebagai biomarker pembentukan tulang (Shea et al., 2009; Ducy,
2011). Penelitian in vitro membuktikan bahwa cOC adalah bentuk osteocalcin yang
tidak aktif sedangkan bentuk yang aktif adalah ucOC (Ducy, 2011; Schwetz et al.,
2012). Gen Esp diekpresikan pada osteoblast dan penelitian pada mencit dengan
global (Esp-/-) atau inaktivasi gen Esp, atau osteoblast-specific (Esposb-/-) knockout
Esp akan mati segera setelah lahir karena mengalami hipoglikemia yang berat
(Ferron et al., 2011). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa mencit
mengalami peningkatan proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin dan peningkatan
kadar adiponektin. Disamping itu mencit Esp-/- disertai peningkatan sensitifitas
insulin pada jaringan otot dan jaringan lemak. Mencit ini disertai kandungan lemak
viseral lebih sedikit, peningkatan area mitokondria jaringan otot, peningkatan kadar
protein yang berhubungan dengan biogenesis mitokondria yang memperlihatkan
peningkatan pemakaian energi. Penelitian pada mencit ini membuktikan bahwa
osteoblast adalah sel endokrin yang dapat mengatur metabolisme energi karena
mempengaruhi sekresi dan kepekaan jaringan terhadap insulin (Ferron et al.,
2010). Sebaliknya mencit dengan osteocalcin knockout (OC-/-) memiliki fenotipe
metabolik
yang
berlawanan
dengan
mencit
dengan
Esp-/-
tidak
dapat
mensekresikan osteocalcin (OC) suatu protein spesifik dihasilkan oleh osteoblast
akan mengalami penurunan sel-β pankreas, peningkatan kadar glukosa,
peningkatan masa lemak viseral, kadar trigliserida, resistensi insulin, penurunan
sekresi insulin dan toleransi glukosa, dan penurunan kadar adiponektin
dibandingkan dengan mencit wild-type (Lee et al., 2007; Garcia-Martin et al.,
2013).
Infus dengan rekombinant OC pada mencit wild-type memperbaiki toleransi
glukosa dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya mencit dengan diit tinggi
lemak penberian OC akan menurunkan berat badan dan resistensi insulin (Lee et
al., 2007; Wah Ng, 2011; Veldhuis et al., 2013). Berdasarkan hasil berbagai studi
pada mencit Lee dkk membuat hipotesa bahwa OST-PTP menginaktifasi OC
melalui proses - carboxylation. Ex-vivo OC dapat merangsang Cyclin D1 dan
ekspresi insulin pada sel- pankreas dan adiponektin pada jaringan adiposa (Lee et
al., 2007).
Dari hasil penelitian pada mencit dapat disimpulkan bahwa inaktifasi Esp
pada osteoblast akan meningkatkan sekresi ucOC dari tulang dan mengakibatkan
terjadinya hipoglikemi disertai menurunnya adipositas sebagai akibat dari
peningkatan proliferasi sel-β pankreas dan sekresi insulin dan memperbaiki
sensitifitas insulin. Metabolisme energi secara positif dikendalikan melalui
peningkatan metabolisme lemak dan peningkatan pemakaian energi (Wah Ng,
2009). ucOC diperkirakan berperan penting pada metabolisme energi seperti
proliferasi sel-β, sekresi insulin, sensitifitas insulin dan konsumsi energi sehingga
jaringan tulang berpengaruh langsung terhadap metabolisme energi (Schwetz et al.,
2012).
Penelitian pada mencit yang mengalami defisiensi OC total akan disertai
peningkatan masa lemak viseral, penurunan sekresi insulin, resistensi insulin dan
gangguan toleransi glukosa. Sebaliknya mencit dengan peningkatan kadar ucOC
karena delesi gen Esp, yang mengkode protein yang bertanggung jawab
terbentuknya cOC, memperlihatkan peningkatan sekresi insulin, proliferasi sel-β
pankreas, meningkatkan sensitifitas insulin dan menurunkan masa lemak (Ferron et
al., 2012; Magalhaes et al., 2013).
2.6.2 Osteocalcin sebagai Hormon pada Tulang yang Berpengaruh Pada
Metabolisme Energi
OC atau protein Y-carboxyglutamic acid tulang, merupakan protein spesifik
tulang dari 46-50 residu yang mengalami modifikasi post translasi oleh vitamin K
dependent g carboxylasi dari residu tiga glutamic acid. OC sendiri dihasilkan oleh
osteoblast matur yang berikatan kuat dengan hydroxyapatite. Protein OC tersebut
dapat ditemukan sebagian besar didalam matrix tulang, namun sebagian kecil juga
dapat ditemukan beredar didalam sirkulasi darah dan jumlah OC didalam serum
sendiri juga sering dikaitkan sebagai penanda pembentukan tulang (Lean et al.,
1989, Booth et al., 2012).
Gambar 2.3
Mekanisme kerja signal insulin dan OC. (Veldhuis-Vlug et al., 2013)
Penelitian selanjutnya dilakukan dalam usaha pengembangan hubungan
antara OC, OST-PTP dan metabolisme glukosa yang menunjukkan bahwa insulin,
setelah berikatan dengan reseptor insulin pada osteoblast, akan meningkatkan
ekspresi dari OC dan mengurangi ekspresi gen osteoprotregerin (OPG). OPG
biasanya menghambat deferensiasi osteoklast. Oleh karena itu sinyal insulin pada
osteoblast merangsang resorpsi tulang oleh osteoklast (Booth et al., 2012). Selama
terjadinya resorpsi tulang, osteoklast itu sendiri menciptakan lingkungan yang
asam untuk melarutkan matriks tulang. OC nantinya dilepaskan dari matriks tulang
oleh karena rendahnya PH, dan residu asam glutamat yang dihasilkan OC sendiri
akan menjadi terkarboksilasi dan juga meningkatkan konsentrasi ucOC dalam
sirkulasi. Pada akhirnya, pengikatan ucOC pada reseptor GPCR6a dalam sel-β
pankreas dapat menstimulasi sekresi insulin (Confavreux et al., 2009; Ducy 2009;
Motyl et al., 2010). Pada salah satu penelitian setelah pemberian infus rekombinant
OC kedalam tikus wild-type dikatakan tikus tersebut mengalami perbaikan dalam
toleransi glukosanya dan juga peningkatan sekresi insulin dan ketika tikus tersebut
diinfus diet tinggi lemak, infus rekombinant OC dikatakan dapat mengurangi berat
badan tikus dan resistensi insulin (Ducy, 2009; Wei et al., 2010).
Setelah beberapa penelitian dilakukan pada tikus telah dilakukan juga
penelitian yang dilakukan pada manusia, penelitian pada tikus diatas telah
menunjukkan kemungkinan juga terjadi pada manusia yang memiliki kadar OC
yang rendah dapat memiliki metabolisme yang lebih baik, seperti pada plasma
glukosa puasa, insulin dan index HOMA-IR (Movamed et al., 2011; Garcia-Martin
et al., 2013; Veldhuis-Vlug et al., 2013).
Beberapa penelitian juga menerangkan adanya peningkatan kompensasi OC
yang terjadi pada pasien prediabetes dan penurunan OC diprediksi akan
berkembang menjadi diabetes dalam kurun waktu 10 tahun follow up pada laki-laki
yang memiliki resiko diabetes (Veldhuis-Vlug et al., 2013). Studi tambahan
lainnya menjelaskan adanya hubungan terbalik antara OC dan sindroma metabolik,
aterosklerosis koroner, masa lemak dan ketebalan intima serta non-alcoholic fatty
liver disease. Pada salah satu penelitian mengenai metabolisme tulang yang pernah
dilakukan yakni meneliti intervensi tentang metabolisme tulang yang berdampak
pada konsentrasi OC ternyata dapat mempengaruhi metabolisme glukosa.
Penelitian ini beranggapan pemakaian biphosphonate dapat menurunkan ucOC
kemudian memiliki dampak efek negatif pada metabolisme glukosa (Wei et al.,
2010; Veldhuis-Vlug et al., 2013).
Pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh Zwakerberg et al 2015,
meneliti tentang hubungan antara total osteocalcin, ucOC dan ucOC% dengan
faktor-faktor resiko DMT2. Penelitian tersebut mengikutsertakan 1.635 orang
sebagai subyek penelitian yang 833 subyeknya menderita diabetes dan 802 subyek
nondiabetes. Umur subyek antara 21-70 tahun yang berasal dari penelitian EPICNL kohort. Metode case control dengan mengambil data kohort retrospektif EPICNL kohort selama 10 tahun digunakan sebagai rancangan penelitian tersebut untuk
meneliti osteocalcin dan hubungannya dengan faktor resiko DMT2 lainnya.
Penelitian ini sebenarnya ingin mengetahui hubungan antara berbagai bentuk
komponen osteocalcin dengan faktor-faktor resiko penyebab DMT2, dikarenakan
hasil yang berbeda dari tiga penelitian besar dengan metode kohort prospektif
sebelumnya tentang peran total osteocalcin itu sendiri, dan juga penelitian tentang
hubungan antara kadar ucOC dan faktor resiko DMT2 menunjukkan hasil tidak
konsisten. Kemudian penelitian ini juga ingin mengetahui peran masing-masing
komponen osteocalcin tersebut secara tepat Karen pada penelitian sebelumnya
tidak memakai alat pemeriksaan dengan HAP. Penelitian ini menggunakan analisis
regresi logistik untuk mencari odds rasio DMT2 pada kuartil tOC, ucOC dan
%ucOC dan membuktikan bahwa beberapa komponen pengukuran osteocalsin baik
cOC, ucOC, ucOC% tidak ada yang berhubungan dengan faktor-faktor resiko
penyebab DMT2.
Namun walaupun beberapa penelitian menyebutkan adanya korelasi antara
osteocalcin dengan metabolism energi, ada beberapa penelitian besar yang
memberikan hasil sebaliknya. Diperlihatkan oleh penelitian terbaru yang dilakukan
oleh Zwakerberg et al 2015, yang meneliti tentang hubungan antara total
osteocalcin, ucOC dan ucOC% dengan faktor-faktor resiko DMT2. Penelitian
tersebut mengikutsertakan 1.635 orang sebagai subyek penelitian yang 833
subyeknya menderita diabetes dan 802 subyek nondiabetes. Umur subyek antara
21-70 tahun yang berasal dari penelitian EPIC-NL kohort. Metode case control
dengan mengambil data kohort retrospektif EPIC-NL kohort dalam rentang 10
tahun digunakan sebagai rancangan penelitian tersebut untuk meneliti osteocalcin
dan hubungannya dengan faktor resiko DMT2 lainnya. Penelitian ini sebenarnya
ingin mengetahui hubungan antara berbagai bentuk komponen osteocalcin dengan
faktor-faktor resiko penyebab DMT2, dikarenakan hasil yang berbeda dari tiga
penelitian besar dengan metode kohort prospektif sebelumnya tentang peran total
osteocalcin itu sendiri, dan juga penelitian tentang hubungan antara kadar ucOC
dan faktor resiko DMT2 menunjukkan hasil tidak konsisten. Kemudian penelitian
ini juga ingin mengetahui peran masing-masing komponen osteocalcin tersebut
secara tepat karena pada penelitian-penelitian sebelumnya yang tidak memakai alat
pemeriksaan dengan metode HAP yang dikatakan merupakan pemeriksaan yang
paling valid untuk menentukan kadar osteocalcin dalam tubuh. Penelitian ini
menggunakan analisis regresi logistik untuk mencari odds rasio DMT2 pada kuartil
tOC, ucOC dan %ucOC dan membuktikan bahwa beberapa komponen pengukuran
osteocalsin baik cOC, ucOC, ucOC% tidak ada yang berhubungan dengan faktorfaktor resiko penyebab DMT2.
Penelitian skala besar lainnya yang dilakukan di Korea oleh Hwang et al
2012, penelitian ini ingin meneliti hubungan antara kadar serum osteocalcin
dengan kemungkinan berkembang menjadi DMT2. Dengan menggunakan metode
studi kohort restropektif selama kurang lebih 8 tahun pada 1229 pasien laki-laki
bukan nondiabetes, dengan rentang umur 25-60 tahun. Penelitian ini ingin
membuktikan teori pada binatang yang menyebutkan adanya suatu hubungan
antara kadar serum osteocalcin dengan peningkatan sekresi insulin oleh sel β
pankreas, regulasi total lemak tubuh dan meningkatkan ekspresi adiponektin pada
mencit, juga terbukti pada manusia karena beberapa hasil sebelumnya pada
manusia inconclusive dan penelitian pada manusia yang mendapatkan korelasi
positif antara hubungan serum osteocalcin dengan faktor penyebab DMT2 yakni
memakai jumlah sampel yang kecil dan metode penelitian longitudinal. Penelitian
ini mengharapkan adanya hubungan positif jika dilakukan penelitian dengan
metode prospektif dan skala besar. Jika hasil tersebut juga ditemukan pada manusia
diharapkan osteocalcin sendiri akan memberikan nilai sebagai pencegahan
berkembangnya DMT2 dimasa depan dan potensial sebagai obat penyakit
metabolik lainnya. Analisis penelitian ini menggunakan analisis regresi
proporsional cox hazard. Pada penelitian ini menemukan bahwa kadar serum
osteocalcin tidak berhubungan dengan kejadian DMT2 pada laki-laki Korea usia
paruh baya di masa depan.
2.6.3
Bioaktivitas Osteocalcin
Penghapusan satu alel dari OC cukup untuk menyelamatkan tikus dengan
fenotipe Esp-/- yang terbukti kuat bahwa gen Esp-/- merupakan sesuatu yang dapat
mempengaruhi fungsi OC itu sendiri, namun belum jelas diterangkan bagaimana
OST-PTP berefek pada bioaktivitas dari OC (Confavreux et al., 2010). Pada OC, 3
residu glu dapat merubah bentuk uncarboxylated menjadi penuh carboxylated.
Kemampuan residu dari Gla berikatan dengan hidroxyapatite, serum diinkubasi
dengan hidroxyapatite untuk mengikat carboxylated OC. Pada Esp-/- ada
peningkatan serum ucOC dibandingkan dengan tikus wild-type, masing-masing
26% dan 10% (Lee et al., 2007). Dalam sebuah percobaan tambahan, ketika jenis
tikus wild-type menerima warfarin akan terjadi gangguan proses karboksilasi
gamma, nantinya menyebabkan fraksi ucOC meningkat dan osteoblast sendiri akan
memicu ekspresi adiponektin lebih tinggi secara signifikan (Confavreux, et al.,
2009; Ferron et al., 2010; Veldhuid-Vlug et al., 2013). Penemuan tersebut
menyatakan bahwa setidaknya bahwa percobaan pada tikus yang dilakukan,
osteoblast merupakan organ endokrin yang mempengaruhi metabolisme energi
melalui suatu hormon yang baru yang dinamakan osteocalsin. Bentuk aktif OC
yakni ucOC merupakan fraksi aktif pada sirkulasi pada sel adiposit dan sel-β
pankreas. Penelitian baru juga telah menyebutkan produk dari Esp, OST-PTP
menstimulasi karboksilasi dari OC dan menyebabkan berkurangnya bioaktivasi
OC. Gagasan bahwa OC berhubungan dengan fungsi metabolik telah dikuatkan
dengan adanya beberapa penelitian pada manusia (Confavreux et al., 2011).
2.6.4
Sintesis dari Osteocalcin dan Undercarboxylated Osteocalcin
Studi sebelumnya menjelaskan bahwa OC normalnya berfungsi pada tulang
dalam menghambat mineralisasi, kemungkinan juga dapat menghambat osteosit
tertanam didalam mineral. Dijelaskan bahwa transkripsi gen OC terjadi pada
tingkat 1,25 dihydroxyvitamin D, modifikasi post-translasi dari OC akan berikatan
erat dengan ion kalsium hydroxyapatite (HA) (Karsenty et al., 2006; Ferron et al.,
2009; Motyl et al., 2009; Confavreux et al., 2010). Karboksilasi terjadi akibat
aktivitas vitamin K dependent karboksilase, namun mekanismenya belum
sepenuhnya dipahami (Lee et al., 2007; Confavreux et al., 2009). uoOC memiliki
kurang dari tiga residu karboksilasi dan memiliki afinitas yang rendah pada tulang.
OC yang terkarboksilasi penuh atau yang tidak mengalami karboksilasi keduanya
ditemukan di tulang dan serum. Meskipun ucOC lebih banyak ditemukan
disirkulasi, residu OC yang terkarboksilasi penuh dijelaskan bahwa proporsinya
lebih banyak ditemukan di matrik tulang (Confavreux et al., 2010; Motyl et al.,
2010; Wah Ng, 201
Gambar 2.4
Pengaruh OC pada metabolime energi
(Motyl et al.,2010)
Vitamin K merupakan ko faktor untuk enzim glutamat karboksilase yang
diperlukan untuk karboksilasi dari protein yang mengandung gla pada kaskade
koagulasi dan karboksilasi dari OC (Booth et al., 2010). Rendahnya diet vitamin K
berhubungan dengan peningkatan nilai ucOC dan suplementasi vitamin K pada
dosis tertentu dan dalam jangka waktu tertentu dapat mengurangi kadar ucOC.
Metode yang dapat digunakan untuk dapat mengukur ucOC dalam sirkulasi, salah
satunya uji hydroxyapatite (HAP) dan uji langsung yang spesifik dengan ucOC
yaitu menggunakan metode ELISA. OC memiliki ritme circardian dengan
konsentrasi puncak pada sekitar pukul 4 dini hari dan memiliki konsentrasi
terendah pada siang hari (Motyl et al., 2010).
Studi menyebutkan terapi sistemik ucOC memiliki efek berkebalikan
dengan OC-/- pada tikus. Uji metabolik menunjukkan dilakukannya infus kronik
ucOC (0,3-3,0 ng/ml/h) dapat mengurangi kadar glukosa, meningkatkan nilai
insulin serum, dan peningkatan toleransi glukosa. Dasar inilah yang dipakai
bawasannnya terapi dengan ucOC memiliki efek anti diabetes. Penelitian ini juga
menjelaskan pemberian terapi ucOC dapat meningkatkan kadar serum adiponektin
(adipokinase yang mempengaruhi sensitivitas insulin) (Feron et al., 2009; Motyl et
al., 2010).
Download