undang-undang republik indonesia nomor 17 tahun 2003 tentang

advertisement
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan
tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang;
b. Bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana dimaksud
pada huruf a telah diatur dalam Bab VIII UUD 1945;
c.
Bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain
mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-undang tentang
Keuangan Negara;
Mengingat
:
Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18A,
Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B,
Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut
APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut
APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran
berikutnya.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1,
meliputi :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.
kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah.
Pasal 3
(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan,
alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi
kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus
dimasukkan dalam APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi
kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus
dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau
penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Pasal 4
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Desember.
Pasal 5
(1)
Satuan
hitung
dalam
penyusunan,
penetapan,
pertanggungjawaban APBN/APBD adalah mata uang Rupiah.
dan
(2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur
oleh Menteri Keuangan sesuai de- ngan ketentuan perundanganundangan yang berlaku.
BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 6
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal
dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan
mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah
yang dipisahkan.
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi
antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur
dengan undang-undang.
Pasal 7
(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk
mencapai tujuan bernegara.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai
tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun
disusun APBN dan APBD.
Pasal 8
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri
Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut :
a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan
dengan undang-undang;
f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN;
h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang
berdasarkan ketentuan undang-undang.
pengelolaan
fiskal
Pasal 9
Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas
sebagai berikut :
a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang
dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan
menyetorkannya ke Kas Negara;
e. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian
negara /lembaga yang dipimpinnya;
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 10
(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c :
a.
dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan
daerah selaku pejabat pengelola APBD;
b.
dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku
pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
(2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c.
melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c.
melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
f.
mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung
jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya.
BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN
Pasal 11
(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan
ditetapkan tiap tahun dengan undang- undang.
negara
yang
(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
pembiayaan.
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan
pajak, dan hibah.
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas
pemerintahan pusat dan pelak- sanaan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 12
(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun
pendapatan negara.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang
tentang APBN.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat
mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun
berjalan.
(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka
ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh
Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN
tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan
fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat
membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan
acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan
usulan anggaran.
Pasal 14
(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan
lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun
rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun
berikutnya.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun
anggaran yang sedang disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada
Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undangundang tentang APBN tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan
anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 15
(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang
APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya
kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun
sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan
sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang
mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam
Rancangan Undang-undang tentang APBN.
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambatlambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilak- sanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi,
fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan
Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah
Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka
APBN tahun anggaran sebelumnya.
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
Pasal 16
(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan
ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah.
daerah
yang
(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
pembiayaan.
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 17
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah
tentang APBD.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan
surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun
anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD
selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh
Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun
anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan
DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk
dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan
anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya.
(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan
pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan
prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang
sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan
pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada
pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan
anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan
Daerah.
Pasal 20
(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen
pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober
tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan
sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan
kedudukan DPRD.
(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah
penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan
Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan
sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi,
fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan
setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.
Pasal 22
(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada
Pemerintah Daerah berdasarkan undang-undang perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada
Pemerintah Daerah atau sebaliknya.
(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima
pinjaman dari daerah lain dengan persetujuan DPRD.
Pasal 23
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau
menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan
persetujuan DPR.
(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diteruspinjam-kan
kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah.
BAB VI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
Pasal 24
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada
dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.
(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan
pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu
ditetapkan dalam APBN/APBD.
(3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
perusahaan negara.
(4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan
kepada perusahaan daerah.
(5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi
perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR.
(6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi
perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional,
Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan
penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat
persetujuan DPR.
Pasal 25
(1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari
Pemerintah Pusat.
(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan
kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas
dari Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi
badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari
pemerintah.
BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26
(1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya
dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
(2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya
dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama
APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada
DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang
bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah
Pusat.
(3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan
keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam
rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran
yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi
yang digunakan dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c.
keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis
belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun
sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang
berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran
yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan
Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang
Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan
perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan
persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir.
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama
APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada
DPRD selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang
bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah
Daerah.
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan
keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam
rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran
yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan
umum APBD;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis
belanja.
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun
sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang
berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia angga- rannya, yang selanjutnya
diusulkan dalam rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan
dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Perubahan APBD tahun angga- ran yang bersangkutan
berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk
menda- patkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir.
Pasal 29
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka
pelaksanaan APBN dan APBD ditetapkan dalam undang-undang yang
mengatur perbendaharaan negara.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD
Pasal 30
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan,
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan
Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan
Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
negara dan badan lainnya.
Pasal 31
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD
berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Peme- riksa
Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan
Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan
Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
daerah.
Pasal 32
(1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN/APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31
disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
(2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat
pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 33
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
diatur dalam undang-undang tersendiri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF,
DAN GANTI RUGI
Pasal 34
(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti
melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam
undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan
anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang
tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undangundang ini.
Pasal 35
(1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang
melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau
tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan
mengganti kerugian dimaksud.
(2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar,
dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang
negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung
jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada
dalam pengurusannya.
(4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam
undang-undang mengenai perbendaharaan negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan
belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan,
digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
(2) Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah
pusat/pemerintah daerah, demikian pula penyelesaian pemeriksaan
laporan keuangan pemerintah pusat/ pemerintah daerah oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan
Pasal 31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat berlakunya undang-undang ini :
1. Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor
448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2860);
2. Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936
Nomor 445;
3. Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933
Nomor 381;
sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Pasal 38
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah
selesai selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini
diundangkan.
Pasal 39
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Telah sah
pada tanggal 5 April 2003
Diundangkan di Jakarta
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 47
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum
dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan
negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang.
Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem
pengelolaan keuangan negara.
Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum,
dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem
pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan
belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan
mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur
dengan undang-undang.
Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih
digunakan ketentuan perundang-undangan yang disusun pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang
lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan
diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan
terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968, yang ditetapkan pertama kali
pada tahun 1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet
(IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het
Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam
pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara digunakan
Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl.
1933 No. 320. Peraturan perundang- undangan tersebut tidak dapat
mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem
kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik
Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal
masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.
Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara
menjadi salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan
tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan
(sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UndangUndang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang
mengatur pengelolaan keuangan negara.
Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan
keuangan negara telah dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh
karena itu, penyelesaian Undang-undang tentang Keuangan Negara merupakan
kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam
rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh UndangUndang Dasar 1945.
2. Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam Ketentuan Pengelolaan
Keuangan Negara yang Diatur dalam Undang-undang ini
Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan
negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang
lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara,
kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan
Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai
penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan
pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah
dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan
badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu
penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar
akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada
perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara
internasional.
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara
adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang
dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala
sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi
subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek
sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan
lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan
Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat
dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan
moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
4. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan
secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat
Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan
Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UndangUndang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas
yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas
tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asasasas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang
baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
• akuntabilitas berorientasi pada hasil;
• profesionalitas;
• proporsionalitas;
• keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
• pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin
terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asasasas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara,
pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi
manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
5. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan
yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan
kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada
Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu
Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial
Officer
(CFO)
Pemerintah
Republik
Indonesia,
sementara
setiap
menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer
(COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan
secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan
tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas
pemerintahan.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi
perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan
keuangan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada
Gubernur/ Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula
untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
dilakukan oleh bank sentral.
6.
Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam
undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran
pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses
penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas
kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran,
penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah
dalam penyusunan anggaran.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi.
Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan
pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam
rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali
tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas
peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan
anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, dalam undang-undang ini
disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti
bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan
antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki
proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis
prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil
memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari
duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan
penyatuan sistem
akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan
sistem
penyusunan
rencana
kerja
dan
anggaran
kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan
anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi
sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran
akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran
berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi
anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional.
Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan
untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan
gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah,
menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan
penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran
belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam
anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula
bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan
dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi,
penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana
pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang
ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak
sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era
globalisasi.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan
membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan
anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran
Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana
dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses
penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas
mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian
tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja
kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.
7. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah
Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah,
Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan
keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara
pemerintah dan lembaga-lembaga infra/supranasional. Ketentuan tersebut
meliputi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral,
pemerintah daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan
keuangan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah,
perusahaan swasta dan badan pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa
pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan
pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban
pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah
daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan
pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan
pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan
pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari
perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
8.
Pelaksanaan APBN dan APBD
Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang,
pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai
pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran.
Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal
yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran
untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran
gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi
beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi
pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi
subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan
APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan
realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran
yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi
bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan
penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka
pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang
mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut
hubungan administratif antarkementerian negara/ lembaga di lingkungan
pemerintah.
9.
Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat
waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah
diterima secara umum.
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang
setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas
dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar
akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang
bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang
bersangkutan.
Dalam
rangka
akuntabilitas
pengelolaan
keuangan
negara
menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota
selaku
pengguna
anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang
APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi
kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala
Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang
dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam
undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian
negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang
tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut
dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai
jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah
tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang
siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau
menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab
secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya.
Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola
keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi
kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan
pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga,
atau perusahaan negara/daerah.
Pasal 3
Ayat (1)
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan.
Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan
perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan
untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi
alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang
bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan
umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain
penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN,
penetapan
pedoman
penyusunan
rencana
kerja
kementerian
negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman
pengelolaan Penerimaan Negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis
yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang
kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan
dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga
negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan
lembaga adalah pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan
keuangan lembaga yang bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Piutang dimaksud dalam ayat ini adalah hak negara dalam rangka
penerimaan negara bukan pajak yang pemungutannya menjadi tanggung
jawab kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Utang dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban negara kepada pihak
ketiga dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya
merupakan tanggung jawab kementerian negara/lembaga berkaitan
sebagai unit pengguna anggaran dan/atau kewajiban lainnya yang timbul
berdasarkan undang-undang/keputusan pengadilan.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam
rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan
negara, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah
dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan
keuangan daerah, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas
penggunaan anggaran.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam pungutan perpajakan tersebut termasuk pungutan bea masuk dan
cukai.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan
umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup,
perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama,
pendidikan, dan perlindungan sosial.
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain
terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi,
hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional
tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik
Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik
Bruto.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk
pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan
jaminan sosial.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan
oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan
umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan
dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan,
serta perlindungan sosial.
Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain
terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi,
hibah, dan bantuan sosial.
Pasal 17
Ayat (1)
Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional
tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional
Bruto daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60%
dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip
pertanggungjawaban
antar
generasi,
sehingga
penggunaannya
diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan
peningkatan jaminan sosial.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan
oleh DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan
salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah
ditandatangani.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan
salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah
ditandatangani.
Pasal 24
Ayat (1)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan
salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah
ditandatangani.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan badan pengelola dana masyarakat dalam ayat ini
tidak termasuk perusahaan jasa keuangan yang telah diatur dalam aturan
tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan
mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang
APBN yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan
mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang
APBD yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambatlambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari
Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan
belanja, juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian
negara/lembaga.
Pasal 31
Ayat (1)
Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan
keuangan dari Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan
belanja, juga menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila dalam waktu 2 (dua) bulan tidak memberikan pertimbangan yang
diminta, Badan Pemeriksa Keuangan dianggap menyetujui sepenuhnya
standar akuntansi pemerintahan yang diajukan oleh Pemerintah.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Kebijakan yang dimaksud dalam ayat ini tercermin pada manfaat/hasil
yang harus dicapai dengan pelaksanaan fungsi dan program kementerian
negara/lembaga/pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Undangundang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun.
Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya Undang-undang ini dan
sudah selesai dalam waktu 2 (dua) tahun.
Pasal 39
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4286
Download