DP. Jilid 12 Bil.1/2012 Pendidikan Matematik Model Pembelajaran Means-Ends Analysis Sebagai Salah Satu Alternatif untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Andhin Dyas Fitriani Pendahuluan Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu, matematika merupakan sebuah ilmu yang lebih bersifat abstrak. Dalam pembelajarannya, matematika dinilai dapat memberikan sumbangan yang penting bagi peserta didik dalam pengembangan nalar, berpikir logis, sistimatik, kritis dan cermat serta bersifat obyektif dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan. Salah satu kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik adalah kemampuan pemecahan masalah matematis. Melalui kemampuan pemecahan matematis, peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengalaman-pengalaman dalam menggunakan dan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya. Untuk menumbuhkan motivasi dan kemampuan pemahaman peserta didik pada kegiatan belajar mengajar khususnya dalam melakukan kegiatan matematika, maka harus dikembangkan model pembelajaran matematika yang tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada peserta didik untuk mencerna dan membentuk pengetahuan tetapi juga membantu peserta didik agar mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dan mengkomunikasikan ide mereka. Salah satu model pembelajaran yang dapat diberikan pada situasi ini adalah model pembelajaran dengan pendekatan pemecahan masalah. Salah satu variasi dari model pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran Means-Ends Analysis. Pemecahan Masalah Matematis Sebagian besar dalam kehidupan manusia sehari-hari akan berhadapan dengan persoalan, tetapi tidak semua persoalan merupakan suatu masalah. Suatu masalah akan mendorong seseorang untuk menyelesaikannya. Dalam suatu masalah memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Menurut Hayes dan Mayer (Jacob, 1998: 2) suatu masalah akan muncul apabila ada suatu kesenjangan antara di mana kita sekarang (apa yang diketahui dari masalah tersebut) dan di mana kita ingin berada (tujuan yang hendak dicapai) dan kita tidak mengetahui bagaimana mengatasi kesenjangan itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Ellis dan Hunt (Suharnan, 2005: 283) yang menyatakan bahwa “problem is a gap or discrepancy between present state and future state or desired goal”. Masalah dalam matematika adalah sesuatu persoalan yang mampu diselesaikan oleh peserta didik tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin (Ruseffendi, 1991: 335). Suatu persoalan merupakan masalah bagi seseorang jika persoalan tersebut tidak dikenalnya dan peserta didik harus mampu menyelesaikannya baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuannya. Suatu masalah akan terjadi apabila seseorang belum menemukan prosedur atau cara pemecahannya dan bila ia merasa bahwa itu merupakan tantangan baginya sehingga ia berusaha untuk menemukan cara pemecahan yang benar. Masalah dapat diartikan sebagai 65 DP. Jilid 12 Bil.1/2012 Pendidikan Matematik suatu tantangan yang apabila kita membacanya, melihatnya ataupun mendengarnya pada waktu tertentu dan kita tidak mampu untuk menyelesaikannya pada saat itu juga. Menurut Munandir (Jawahir, 2003: 15) suatu masalah dapat diartikan sebagai suatu situasi di mana seseorang diminta menyelesaikan persoalan yang belum pernah dikerjakan dan belum pernah memahami cara pemecahannya. Menurut Hudojo (2001: 163) syarat suatu masalah bagi seorang peserta didik adalah: i. Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang peserta didik haruslah dapat dimengerti oleh peserta didik tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya. ii. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui peserta didik. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu soal merupakan masalah bagi peserta didik apabila soal tersebut tidak dikenalnya atau belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya, tetapi peserta didik tersebut memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyelesaikannya. Hal ini merupakan suatu dorongan bagi peserta didik, karena peserta didik dituntut untuk dapat menemukan jawabannya. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru sering mengajukan berbagai pertanyaan yang disesuaikan dengan materi yang sedang diajarkan. Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi seorang peserta didik tetapi mungkin bukan merupakan masalah bagi peserta didik lain. Selain itu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi seorang peserta didik pada suatu saat, tetapi bukan merupakan masalah lagi bagi peserta didik tersebut saat peserta didik tersebut sudah mengetahui proses dalam penyelesaian masalah tersebut. Berdasarkan uraian tentang pengertian suatu masalah, Poole (1997: 6) mengungkapkan, kemungkinan suatu soal dapat dipecahkan apabila permasalahan itu mempunyai ciri-ciri: i. Masalahnya dapat dipahami. ii. Permasalahannya masuk akal. iii. Masalahnya dapat dipecahkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dalam suatu masalah memuat beberapa komponen. Secara visual suatu masalah melibatkan tiga komponen (Suharnan, 2005: 283), yaitu: i. Suatu keadaan sekarang atau tengah dihadapi. ii. Tujuan yang ingin dicapai. iii. Prosedur atau aturan yang akan ditempuh apakah menurut pendekatan algorima atau heuristik. Sedangkan menurut Glass, Holyoak, dan Santa (Jacob, 2005: 2) paling sedikit terdapat tiga komponen dalam setiap masalah, yaitu: i. Diberikan (given), yaitu diberikannya suatu informasi apabila masalah itu disajikan. ii. Tujuan (goal), yaitu tujuan akhir yang ingin dicapai. iii. Operasi (operation), yaitu suatu tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Simon (Ashman dan Robert, 1989: 93) mengungkapkan bahwa masalah terbagi menjadi wellstructured dan ill-structured. Masalah akan disebut well-structured jika penyajian dalam masalah tersebut jelas, memuat semua informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut dan terdapat strategi yang menjamin solusi yang tepat serta tujuan yang 66 DP. Jilid 12 Bil.1/2012 Pendidikan Matematik ingin dicapai dinyatakan secara jelas (Ashman dan Robert, 1989: 93; Jacob, 2005: 2). Sebaliknya, suatu masalah disebut ill-structured jika informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah kurang (tidak semua informasi yang dibutuhkan ada), kadang tidak terdapat strategi yang jelas untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan tujuan yang ingin dicapai bermakna ganda (Ashman dan Robert, 1989: 93; Jacob, 2005: 2). Pada masalah jenis ini, solusi yang ditemukan kadang tidak tunggal. Seseorang akan menggunakan proses pemecahan masalah apabila seseorang tersebut menginginkan suatu tujuan tertentu, sementara tujuan itu tidak dijumpai atau harus dicari dan diusahakan pada saat itu. Atau dengan kata lain, pemecahan masalah paling sedikit melibatkan proses berpikir dan seringkali harus dilakukan dengan penuh usaha. Menurut Evans (Suharnan, 2005: 289) pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan cara yang tepat bagi tindakan dan pengubahan kondisi sekarang (present state) menuju situasi yang diharapkan (future state). NCTM (1989) menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan salah satu fokus utama dalam pembelajaran matematika. Pemecahan masalah matematis merupakan aktivitas yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Hal tersebut dikarenakan tujuan belajar yang harus dicapai dalam pemecahan masalah dan prosedur pemecahan masalah berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari, serta prosedur dalam pelajaran matematika dapat ditransfer dalam prosedur penyelesaian suatu masalah yang lain. Dahar (1988: 190) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menerapkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang diperoleh sebelumnya. Melalui pemecahan masalah peserta didik dimungkinkan memperoleh pengalaman dalam menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya untuk diterapkan pada proses pemecahan masalah. Pemecahan masalah harus menjadi bagian integral dari proses pengajaran yang dilakukan di sekolah. Menurut Cooney (Sondari, 2003: 9) pemecahan masalah merupakan proses menerima masalah dan berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Hayes (Suharnan, 2005: 307) menyatakan bahwa pemecahan masalah dianggap sebagai suatu proses mencari atau menemukan jalan yang menjembatani antar keadaan yang sedang dihadapi dengan keadaan yang diinginkan. Gagne (Ruseffendi, 1991: 335) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan kompleks dibandingkan dengan tipe belajar lainnya. Hal tersebut berdasarkan delapan tipe belajar yang dikemukakan Gagne (Ruseffendi, 1991: 335), yaitu: signal learning (belajar isyarat), stimulus-response learning, chaining (rangkaian gerak), verbal association (rangkaian verbal), discrimination learning (belajar membedakan), concept learning (pembentukan konsep), rule learning (pembentukan aturan), dan problem solving (pemecahan masalah). Gagne (Ruseffendi, 1991: 336) menyatakan bahwa menyelesaikan pemecahan masalah diperlukan aturan kompleks atau aturan tingkat tinggi dan aturan tingkat tinggi tersebut dapat dicapai setelah menguasai aturan atau konsep yang terdefinisi. NCTM (2000: 52) merekomendasikan standar kemampuan pemecahan masalah matematis yang dimiliki oleh peserta didik, yaitu meliputi: i. Membangun pengetahuan matematika baru sampai dapat memecahkan masalah. 67 DP. Jilid 12 Bil.1/2012 Pendidikan Matematik ii. Memecahkan masalah-masalah yang muncul pada matematik dan konteks lain. iii. Menggunakan dan mengadaptasi variasi dari strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. iv. Mengawasi dan merefleksi proses dari pemecahan masalah. Dalam pembelajaran matematika, masalah-masalah yang sering dihadapi peserta didik berupa soal-soal atau tugas-tugas yang harus diselesaikan peserta didik. Pemecahan masalah dalam hal ini adalah aturan atau urutan yang dilakukan peserta didik untuk memecahkan soal-soal atau tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Semua pemecahan masalah melibatkan beberapa informasi dan untuk mendapatkan penyelesaian digunakan informasi tersebut. Informasiinformasi ini pada umumnya merupakan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika. Untuk memperoleh kemampuan dalam pemecahan masalah, seseorang harus memiliki banyak pengalaman dalam memecahkan berbagai masalah. Dalam menyelesaikan masalah, peserta didik diharapkan memahami proses menyelesaikan masalah tersebut dan menjadi terampil dalam memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan mengorganisasikan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Pemecahan masalah dapat mempertajam kekuatan analisis peserta didik dan kekuatan berpikir kritis peserta didik. Menurut Sudjimat (Sukasno, 2002: 18) belajar dalam memecahkan masalah pada hakikatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason) untuk berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah yang baru yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Oleh karena itu pembelajaran yang bernuansa pemecahan masalah harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mendorong peserta didik untuk berpikir dan mendorong peserta didik menggunakan pikirannya secara sadar untuk memecahkan masalah. Means-Ends Analysis Model pembelajaran Means-ends Analysis adalah salah satu model pembelajaran yang merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah (Suherman, 2008: 6). Penyajian materi pada model pembelajaran ini dilakukan dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic (Suherman, 2008: 6). Karena penyajian materi yang disajikan berbasis heuristic, maka dalam penyajian materi tidak dilakukan dengan algoritma yang rutin. Pembelajaran ini dilakukan dengan langkah-langkah penyajian materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, analisis menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadi koneksivitas, pilih strategi solusi. Strategi solusi yang digunakan adalah strategi heuristic, bukan menggunakan algoritma yang rutin. Selain sebagai model pembelajaran, Means-ends Analysis merupakan suatu proses atau cara yang dapat dilakukan untuk memecahkan suatu masalah ke dalam dua atau lebih subtujuan dan kemudian dikerjakan berturut-turut pada masing-masing subtujuan tersebut (Ormrod dalam Jacob, 2005: 3 dan Suharnan, 2005: 313). Newell dan Simon (Eysenck, 1993: 142 dan O’neil, 1978: 111) mengembangkan suatu jenis pemecahan masalah dengan berdasarkan strategi heuristik yang lebih umum yang disebut dengan Means-ends Analysis. Means-ends Analysis adalah suatu proses yang digunakan pada pemecahan masalah di mana mencoba untuk mereduksi perbedaan antara current state (pernyataan sekarang) dan goal state 68 DP. Jilid 12 Bil.1/2012 Pendidikan Matematik (tujuan). Langkah mereduksi perbedaan tersebut dilakukan secara berulang-ulang sampai tidak terdapat lagi perbedaan antara current state (pernyataan sekarang) dan goal state (tujuan). Glass dan Holyoak (Jacob, 2005b: 4) menyatakan bahwa model pembelajaran Means-ends Analysis memuat dua langkah yang digunakan berulang-ulang. Langkah-langkah yang dilakukan tersebut adalah: i. Mengidentifikasi perbedaan antara current state dan goal state. ii. Menggunakan suatu tindakan untuk mengelaborasi perbedaan tersebut. Prosedur dua langkah tersebut disebut reduksi perbedaan (difference reduction). Prosedur tersebut menghendaki seorang pemecah masalah untuk menentukan tujuan (ends) dari suatu masalah yang hendak dicapai dan cara (means) yang dapat membantunya untuk mencapai tujuan tersebut (Jacob, 2005b:3). Proses awal yang dilakukan pada Means-ends Analysis adalah memahami suatu masalah yang meliputi proses pendeteksian current state (pernyataan sekarang) dan goal state (tujuan). Setelah dilakukan pendeteksian dan mencatat current state dan goal state perlu dicari perbedaan di antara kedua hal tersebut. Kemudian dilakukan pereduksian perbedaan tersebut. Keadaan ini perlu disesuaikan dengan keperluan agar suatu submasalah menjadi suatu keadaan yang nantinya dapat teraplikasikan pada masalah yang ada. Selanjutnya gunakan perbedaan antara current state dan goal state untuk menyeleksi prosedur yang akan digunakan. Ulangi langkah-langkah tersebut, dengan catatan bahwa current state yang baru merupakan hasil perbedaan current state dan goal state dari langkah sebelumnya. Kesimpulan Salah satu kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh peserta didik adalah kemampuan pemecahan matematis. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis adalah dengan menerapak model pembelajaran yang tepat. Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapa dilakukan adalah model pembelajaran Means-Ends Analysis. Langkah-langkah yang dilakukan pada model pembelajaran Means-Ends Analysis menuntut peserta didik mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikan ide dalam menganalisis sub-sub masalah dan dalam memilih strategi solusi. Langkah-langkah pada model pembelajaran Means-Ends Analysis membimbing peserta didik untuk melaksanakan aspek pemecahan masalah. Rujukan Ashman, A. F., dan Robert, N. F. C. (1989). Cognitive Strategies for Special Edition. London: Routledge. Cai, Lane, dan Jakabcin (1996). Assesing Student Mathematical Comunnication. Official Journal of The Science an Mathematics 238-246 Dahar, R. W. (1988). Teori–Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK. Depdiknas. (2007). Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas. 69 DP. Jilid 12 Bil.1/2012 Pendidikan Matematik Eysenck, M. W. (1993). Principles of Cognitive Psychology. Hilldale (USA): Lawrence Erlbaum associates, Punblishers. Hudojo, H. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: JICA. Ibrahim. (2007). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika melalui Pendekatan Advokasi dengan Penyajian Masalah Open-Ended. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika UNY 2007. Jacob, C. (1998). Mengajar Pemecahan Masalah dalam Matematika. Makalah disajikan pada Seminar Nasional: Upaya-Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globalisasi: Perspektif Pembelajaran Alternatif Kompetitif. Program Pascasarjana IKIP Malang, 4 April 1998. __________. (2005). The Means-Ends Analysis Heuristic: A Methematical Problem Solving Strategy. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Departemen Matematika FMIPA UI Jakarta, 30 Juli 2005. O’Neil Jr, H. F. (1978). Learning Strategies. New York: Academic Press. Ornstein, A. C. (1990). Strategies for Effective Teaching. Chicago: Happer Collins. Polya. How To Solve It. [Online]. Tersedia: http://www.math.utah.edu/~alfeld/ math/polya. html [akses pada 26 April 2011] Poole, T. G., dan Szymankiewicz, J. Z. (1997). Using Simulation to Solve Problem. England: Mc Graw Hill. Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. __________. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa khususnya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: Modul Kuliah UPI [tidak dipulikasikan] Shadiq, F. (2004). Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Diklat Instruktur / Pengembangan Matematika SMP Jenjang Dasar P4TK Yogyakarta, tanggal 10-23 Oktober 2004. Suherman, E. (2008). Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Siswa. Tersedia:http://educare.e-fkipunla.net/index2.php.pdf. Surbakti, J. (2002). Strategi Heuristik Model Polya pada Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika. Tesis pada PPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika. Jakarta: PT. Leuser Citra Pustaka. 70 DP. Jilid 12 Bil.1/2012 Pendidikan Matematik Wahyudin. (2008a). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pelengkap untuk meningkatkan Kompetensi Pedagogis Guru dan Calon Guru Profesional). Bandung: Belum Dipublikasikan. __________. (2008b). Dipublikasikan. Kurikulum, Pembelajaran dan Evaluasi. Bandung: 71 Belum