bayi gendut, lucu tapi belum tentu sehat

advertisement
19-07-2017
1/2
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Artikel ini diambil dari : www.depkes.go.id
BAYI GENDUT, LUCU TAPI BELUM TENTU SEHAT
DIPUBLIKASIKAN PADA : JUMAT, 20 JANUARI 2017 00:00:00, DIBACA : 2.267 KALI
Jakarta, 20 Januari 2017
Kebanyakan ibu di Indonesia akan merasa bangga bila memiliki bayi yang bertubuh gemuk
atau gendut, karena dianggap sangat sehat, lucu dan menggemaskan. Padahal, kondisi
kelebihan berat badan baik overweight maupun obese berarti terjadi penumpukan lemak
sehingga memiliki risiko penyakit tidak menular (PTM). Perlu adanya perubahan
pemahaman di masyarakat bahwa anak yang gemuk belum tentu sehat.
Dahulu masyarakat bangga punya anak gemuk, pipinya montok. Tapi saat anaknya sudah
besar malu ingin kurus, tapi susah, ujar Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes, Ir Doddy
Izwardi, MA, saat ditemui media di Jakarta, Kamis siang (19/1).
Secara umum, obesitas disebabkan oleh tiga faktor, yakni faktor perilaku, lingkungan, dan
genetik. Faktor genetik sebenarnya menyumbang 10-30% sementara faktor perilaku dan
lingkungan dpaat mencapai 70%. Beberapa penelitian menyatakan, perkembangan teknologi yang pesat berkontribusi pada peningkatan prevalensi kegemukan,
tanpa disadari teknologi menggiring kita untuk bergaya hidup sedentary diantaranya kurang beraktifitas fisik, makan makanan instan, dan kurang mengonsumsi
buah dan sayur.
Dikatakan Doddy, status ekonomi masyarakat bukan merupakan pengaruh utama terhadap terjadinya obesitas pada anak. Faktor lain yang dapat memengaruhi
terjadinya obesitas pada anak yaitu pola asuh orang tua (terutama pola pemberian makan). Mulai dari rendahnya ASI Eksklusif karena tergoda memberikan susu
formula yang tinggi lemak dan mengandung gula, sampai pada pemberian makanan rendah protein namun tinggi gula, garam, dan lemak salah satunya adalah
makanan instan.
Berdasarkan laporan gizi global atau Global Nutrition Report (2014), Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang memiliki 3 permasalahan gizi sekaligus, yaitu
stunting (pendek), wasting (kurus), dan juga overweight (obesitas). Data riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2013) menyebutkan bahwa prevalensi balita gemuk
menurut BB/TB pada anak usia 0-59 bulan sebesar 11,8% sedangkan data survey pemantauan status gizi (PSG, 2015) menyatakan bahwa prevalensi balita
gemuk menurut BB/TB usia 0-59 bulan sebesar 5,3%.
Sementara itu, Riskesdas 2013 menggambarkan kondisi anak di Indonesia sebanyak 8 dari 100 anak di Indonesia mengalami obesitas. Prevalensi obesitas anak
yang dihitung berdasarkan indeks massa tubuh dibandingkan usia (IMT/U) pada kelompok anak usia 5-12 tahun besarnya 8%. Prevalensi tertinggi obesitas pada
anak usia 5-12 tahun adalah DKI Jakarta.
1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
2/2
19-07-2017
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami masalah gizi balita gemuk, karena menurut WHO 2010, suatu negara dikatakan tidak lagi
memiliki masalah gizi bila indikator balita gemuk berada di bawah 5%, terang Doddy.
Doddy juga menyarankan agar penggunaan bahasa yang tepat perlu dilakukan saat pengukuran untuk pemantauan pertumbuhan anak di Posyandu dan
Puskesmas.
Biasanya sering digunakan istilah sangat sehat bagi anak yang gemuk sekali, ini harus diperbaiki. Obesitas pada anak perlu diperhatikan. Jangan sampai
kesenangan kita sebagai orang tua justru akan merugikan bayi atau Balita kita di masa mendatang, tandas Doddy.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes
melalui hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
- 2 -
Printed @ 19-07-2017 18:07
Download