LGBT Dalam Kontroversi LGBT DALAM KONTROVERSI SEJARAH SEKSUALITAS DAN RELASI KUASA (Sebuah Pengantar) Oleh Noviandy⃰ [email protected] Abstrak Seksualitas. Apa yang sebenarnya mendasari seseorang untuk mewacanakan seksualitas, dan kenapa seksualitas dijadikan indikator untuk memarginalkan dan mendeskriditkan hak-hak dasar warga negara Indonesia? Pertanyaan inilah yang menjadi dasar komunitas LGBT Indonesia dalam menuntut legalitas negara atas diri mereka agar bisa menjalani kehidupan sosial, berbangsa, dan beragama sebagaimana warga lainnya. Dengan menggunakan analisis historis relasi kuasa dan pengetahuan Foucault serta psikoseksual Sigmund Frued, mereka mendekonstruksi sejarah dominasi pewacanaan normalitas seksual. Mereka ingin membuka tabir gelap yang telah mewacanakan LGBT sebagai penyakit kejiwaan, sehingga hanya heteroseksual yang dianggap normal dan mendapat legalitas negara. Kata kunci: sejarah seksualitas, LGBT, psikoseksual. Pendahuluan LGBT (Lesbi, Gay, Bisexual, dan Transgender)1 merupakan topik yang sangat kontroversial, bukan hanya dari sisi akademis, tetapi juga di dalam realitas pragmatis kita. LGBT acap kali disepelekan dan dianggap sebagai subjek yang tidak penting di dalam khazanah ilmiah, terlebih di komunitas keagamaan yang secara mutlak telah menfatwakan LGBT sebagai barang haram. Alasannya sederhana, LGBT merupakan wujud keganjilan dan upaya melawan takdir Tuhan.2 Lebih dari itu, seseorang yang membicarakan aktivitas LGBT sering kali mendapat kecurigaan yang mendalam. Apalagi negara secara konstitusional telah melarang keberadaan dan aktivitas kaum LGBT melalui UU Pornografi pasal 5 ayat 3 Pasal ini pada intinya berbunyi tentang pelarangan atas tindakan seksual, ⃰ Dosen STAI Teungku Dirundeng Meulaboh. 1 LGBT adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Lesbian merupakan istilah yang umum digunakan untuk para perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan, atau perempuan yang mencintai perempuan baik itu secara fisik, seksual, atau emosional. (http://jurnalperempuan.com/2011/siapakahlesbian/). Gay atau Homo adalah istilah untuk laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual kepada sesama pria, atau pria yang mencintai pria baik secara fisik, seksual, atau emosional. (http://id.wikipedia.org/wiki/Gay). Biseksual adalah istilah untuk seseorang penyuka sejenis atau dua jenis kelamin, yaitu wanita dan pria. Biseksual kerap di pandang sebagai salah satu bentuk penyembunyian identitas homoseksual atau sebagai masa transisi antara identitas heteroseksual dan identitas gay dan lesbian. Transgender adalah orang yang cara berperilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan peran gender pada umumnya. Transgender dianggap sebagai orang yang dalam berbagai level melanggar norma kultural mengenai bagaimana seharusnya menjadi pria atau wanita. Seorang wanita, misalnya, secara kultural dituntut untuk lemah lembut. Kalau pria yang berkarakter demikian, maka bisa disebut transgender. Orangorang yang terlahir dengan alat kelamin luar kombinasi pria-wanita juga termasuk transgender. Transgender ada pula yang mengenakan pakaian lawan jenisnya, baik sesekali maupun rutin. Perilaku transgenderlah, yang mungkin membuat beberapa orang mengganti jenis kelaminnya, seperti pria berganti jenis kelamin menjadi wanita, begitu pula sebaliknya. (http://mitrawacanawrc.com/final/index.php?option=com). 2 Farid Muttaqin, Observing the Islamic Theological Context: Contemporary Indonesian Muslim Feminist Agendas Toward Recognition of Gay and Lesbian Rights (Ohio University, Athen), 1. Volume 02 No. 02 November 2012 57 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi penetrasi dan hubungan seks pada pasangan sejenis, anak-anak, orang meninggal dan hewan.3 Efek signifikan dari undang-undang ini adalah memarginalkan komunitas LGBT secara sosial sekaligus menghilangkan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara Indonesia. Kaum feminis (baik yang bernafaskan nasionalis ataupun religius) dan komunitas LGBT yang intens dengan sosialisasi berkenaan dengan hak-hak dasar warga negara yang disandang oleh komunitas LGBT banyak menemukan kesulitan dan benturan sosial, khususnya dengan masyarakat yang berpegang teguh kepada doktrin keagamaan yang konservatif. Walaupun mereka sudah melakukan berbagai interpretasi kritis terhadap doktrin keagamaan, namun dalam prakteknya mereka masih menyembunyikan ketakutan dan kecemasan ketika melakukan sosialisasi masalah tersebut. Hal ini dikarenakan mereka sering dipandang sebagai perusak agama dan penyebab turunnya azab Tuhan, jika mereka tetap menyuarakan hak-hak dasar komunitas LGBT.4 Fenomena ini menunjukan secara jelas bahwa mayoritas masyarakat Indonesia tidak ingin memberikan ruang untuk pemenuhan hak-hak komunitas LGBT sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Yang lebih mengerikan, komunitas ini selalu menjadi objek kekerasan sosial, baik itu secara verbal ataupun dalam wujud fisik. Berbeda dengan di beberapa negara Eropa, di Indonesia keberadaan komunitas LGBT tidak mendapat legitimasi politik, walaupun pada titik tertentu sering kali menjadi objek politik. Tidak adanya legalitas politik, menjadi alasan kuat kenapa identitas komunitas LGBT menjadi semu, illegal dan sekaligus membawa polemik baru di dalam realitas pragmatis masyarakat Indonesia. Bagi mereka, tidak adanya pengakuan ini sangat bertentangan dengan hak-hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi itu sendiri. Apa lagi jika melihat nomenklatur Hak Azazi Manusia (HAM) yang mewajibkan setiap negara untuk menjamin hak-hak dasar warganya. Menurut deklarasi PBB (Perserikatan BangsaBangsa), hak dasar individu terdiri dari; hak hidup, hak kebebasan, dan hak memiliki kebahagiaan. Atas dasar deklarasi ini, setiap individu berhak mendapatkan tiga hak tersebut, dan wajib dijamin oleh negara. Hak-hak inilah yang terus dipermasalahkan oleh komunitas LGBT di Indonesia. Komunitas LGBT sendiri menyadari akan keterbatasan dan bedanya pola aktivitas seksual mereka, namun mereka menolak jika hal itu diasumsikan sebagai bentuk kelainan jiwa, kehinaan, ataupun abnormal yang patut disingkirkan. Apalagi distigmakan telah melawan takdir dan biang terjadinya azab Tuhan. Bagi mereka, pandangan tersebut adalah bentuk diskriminasi, karena tidak ada seorangpun dari anggota komunitas LGBT yang ingin terlahir sebagai bagian dari LGBT. Dalam literatur yang membahas homoseksual misalnya, dijelaskan bahwa homoseksual terjadi bukan karena kelainan genetik, ketidakseimbangan hormon, sakit mental ataupun merupakan hasil dari kejahatan. Homoseksual hanya sebatas mengekspresikan seksualitas dan rasa kasih sayang kepada manusia. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) terbitan Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV dari Ikatan Psi‐kiatri Amerika (APA), dan International Classification of Diseases (ICD) 10 dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), ketiga‐tiganya menyatakan bahwa homoseksual sebagai varian biasa dari seksualitas manusia, dan bahkan menganjurkan agar dalam kasus orang yang ragu‐ragu akan homoseksualitasnya, psikolog dan psikiater mengarahkannya untuk menjadi homoseks yang lebih dapat menerima diri.5 Diakui atau tidak keberadaan LGBT dengan segala haknya sebagai warga negara Indonesia adalah dilema kemanusiaan yang terus mendapat sorotan tajam agar dikaji kembali secara konstitusional dengan tinjauan yang lebih 3 Undang-undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. 4 Farid Muttaqin, Observing the Islamic Theological Context, 2. 5 Dede Utomo, Memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) Berdasarkan Identitas Gender dan Seksualitas Di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada semiloka hak atas kebebasan pribadi bagi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Interseksual, Transgender dan Transeksual. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kuta, 15–16 Agustus 2006 Volume 02 No. 02 November 2012 58 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi holistik (menyeluruh). Sejarah Seksualitas dan Relasi Kekuasaan Michel Foucault dalam penelitiannya tentang sejarah seksualitas mengungkapkan bahwa seksualitas dikendalikan oleh relasi kekuasaan yang bergeser searah dengan strategi yang dikembangkan oleh wacana. Dalam perspektif ini, kekuasaan yang bertindak sebagai rezim wacana dianggap mampu menggapai, menembus dan mengontrol individu sampai kepada kenikmatankenikmatan yang paling intim. Caranya, dengan penggemboran wacanawacana yang tidak hanya dirumuskan dalam bentuk penolakan dan pelarangan, namun juga perangsangan, rayuan dan intensifikasi (teknik-teknik kekuasaan yang memiliki banyak bentuk).6 Menurut Foucault, relasi kuasa yang membendung atau memendam seksualitas ini bisa digambarkan seperti bagunan yang dilengkapi dengan perlengkapan atau mesin-mesin untuk memproduksi wacana-wacana kebenaran. Dalam konteks ini, wacana kekuasaan berfungsi untuk menampung atau menyembunyikan kebenaran. Seks bukan hanya persoalan sensasi dan kenikmatan, atau hukum dan larangan, tetapi di dalam seks juga dipertaruhkan masalah benar dan salah. Mengetahui apakah seks itu benar atau salah dapat membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan. Sejauh mana seks bisa dianggap berharga atau menakutkan, bisa bergeser menjadi pertaruhan kekuasaan. Wal hasil, menurut Foucault seks dijadikan ajang pertaruhan validalitas kebenaran untuk meraih simpati sekaligus kekuasaan.7 Analisis sejarah seksualitas yang telah dilakukan Foucault mampu merekonstruksi kembali bagaimana sejarah lembaga-lembaga yang terlibat dalam memproduksi kebenaran dan perubahanperubahan yang berlangsung di dalam lembaga-lembaga tersebut. Sehingga setiap orang yang berbicara tentang seks -dari tempat dan sudut pandangnya- akan senantiasa menunjukkan seberapa jauh kepentingannya terlibat dalam masalah tersebut. Oleh sebab itu, tidak aneh jika pemikiran Foucault berhasil mengungkapkan bahwa setiap institusi memiliki kepentingan tertentu untuk mengatur masalah seksualitas masyarakat. Dalam kaitannya dengan seksualitas dan relasi kekuasan vis a vis pengetahuan, Foucault mengungkapkan empat poin penting hasil analisanya terhadap sejarah seksualitas, sebagai berikut: 1. Histerisasi tubuh perempuan menunjukkan bahwa tubuh dikaitkan dengan tubuh sosial untuk menjamin kesuburan, dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga, termasuk kehidupan anak. Oleh karena itu, tubuh perempuan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab biologis dan moral. 2. Pedagogisasi seks anak bertujuan agar anak jangan sampai jatuh dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual pada anak mengandung bahaya fisik dan moral, serta dampak kolektif maupun individual. Pedagogisasi ini juga ditujukan untuk melawan onanisme. 3. Sosialisasi perilaku prokreatif dimaksudkan untuk kesuburan pasangan, sosialisasi politik dilaksanakan melalui tanggung jawab pasangan terhadap tubuh sosial, dan sosialisasi medik termasuk praktik kontrol kelahiran atau KB. 4. Psikiatrisasi kenikmatan menyimpang. Usaha ini bertujuan agar naluri seks diisolasi untuk diperlakukan sebagai naluri biologis dan psikis yang otonom. Maka ketika berhadapan dengan anomali dalam perilaku seks, jawabannya ialah penerapan normalisasi dan patologisasi 6 Haryatmoko, “Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana Sejarah Seksualitas: Sejarah Pewacanaan Seks & Kekuasaan Menurut Foucault” dalam Michel Foucault, Histoire de la sexualité I. La volonté du savoir (Paris: Gallimard 1976), 21. Disampaikan dalam seri kuliah umum tentang seksualitas di komunitas “Salihara”, Sabtu 12 Juni 2010, untuk sesi “Michel Foucault Tentang Seksualitas”. 7 Ibid., 76. Volume 02 No. 02 November 2012 59 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi perilaku. Untuk tujuan ini dibutuhkan teknologi normalisasi. Maka dalam hal ini dokter, psikiatri, psikolog bahkan teolog merasa ikut berkepentingan memakai teknologi normalisasi itu.8 Keempat strategi di atas tentunya menjadi sarana keberlangsungan lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, institusi pendidikan, agama, lembaga kesehatan dan negara. Keluarga menginginkan anak-anak berhasil dalam mengarungi bahtera hidup. Oleh karena itu anak-anak harus dijauhkan dari kegiatan yang terkait dengan aktivitas seksual yang mengganggu atau mengakibatkan anak tidak produktif. Dalam prosesnya, doktrin agama juga digunakan sebagai penjaga moralitas anak-anak. Melarang dan menolak perilaku tertentu dalam hal seksualitas menjadi bagian dari tugasnya. Dalam konteks ini, doktrin agama mengatur kehidupan individu dan masyarakat melalui penyeragaman perilaku, bahasa, pakaian, dan ritual. Dengan mengaplikasikan penyeragaman rutinitas dan ritualitas yang diarahkan oleh doktrin agama, maka setiap individu akan mudah mendapatkan “legitimasi baik“ dari pemeluk lainnya. Dan akan mendapatkan “justifikasi buruk“ jika tidak melaksanakannya. Menurut Foucault, dalam realitas kehidupan manusia, obyek dan sasaran utama kekuasaan otoritas agama adalah seksualitas. Mulai dari cara berpakaian, wacana (diskursus) hingga ritual, diarahkan untuk mengontrol perilaku umat agar terhindar dari aktivitas seksual ilegal. Masalah seksualitas hanya boleh diakses oleh pasangan yang memiliki predikat suami-istri, itupun harus dilakukan secara intim dan tersembunyi. Efeknya, hanya orang dewasalah yang harus memiliki pengetahuan tentang seksualitas, dan wacana seksualitas akan memiliki kebenaran hanya jika diwacanakan oleh orang dewasa. Pada titik inilah kita bisa melihat bagaimana relasi kekuasaan dan pengetahun terjalin. Bagi Foucault, kekuasaan pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan pernyataan ilmiah. Oleh karena itu semua masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol dan mengatur wacana mereka agar sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana semacam ini dianggap mempunyai otoritas. Pengetahuan tidak bersumber pada subyek, tetapi dalam hubunganhubungan kekuasaan. Seperti diungkapkan Haryatmoko, “Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk hubungan kekuasaan“.9 Dalam pandangan Michel Foucault, ada kecenderungan bahwa sepanjang sejarah manusia, seksualitas selalu dijadikan objek represi yang berjalan selama berabad-abad. Di abad ke-17 misalnya, untuk menguasai sirkulasi pengucapan hingga perilaku seksual, masyarakat dan negara menerapkan sensor serta sanksi. Seksualitas dikekang, dikendalikan, bahasa yang menyebutkan seks secara terangterangan, atau mengandung insinuasi seksual dianggap tabu. Foucault mengkritik kesunyian wacana seksualitas yang terjadi pada abad ke-17, karena kesunyian itu tidak serta merta berarti kesantunan, meskipun dilarang di permukaan. Bagi Foucault, di balik segala pelarangan itu budaya kemunafikan tercipta, apa lagi ketika pelarangan-pelarangan yang diberlakukan gereja dan negara dianggap sebagai syarat bagi suatu peradaban yang maju. Foucault menganggap masyarakat yang hidup pada zaman itu diselimuti oleh berbagai kemunafikan, khususnya kaum aristrokrat, yang secara sembunyi-sembunyi menikmati kehidupan seks yang bebas.10 8 Michel Foucault, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Terj, Rahayu S. Hidayat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 134-135. 9 Haryatmoko, “Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana Sejarah Seksualitas: Sejarah Pewacanaan Seks & Kekuasaan Menurut Foucault“ dalam Michel Foucault, Surveiller et punir. Naissance de la prison (Paris: Gallimard 1975), 36 10 Michel Foucault, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, hal.3 3-34. Lihat juga Saras Dewi, Menggugat Normalitas, Makalah dipaparkan dalam diskusi publik peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO), 26 Mei 2011 di Universitas Paramadina. Volume 02 No. 02 November 2012 60 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi Pada abad ke-18, karena dorongan politik dan ekonomi, masalah seksualitas dikaitkan dengan aspek moral dan rasionalitas yang bersinggungan dengan ranah kekuasaan publik. Sejak itu pula masalah seksual menjadi urusan negara yang diatur oleh polisi. Realitas sejarah ini menunjukan bahwa pengaturan seksualitas melalui wacana sangat efektif untuk meredam gejolak publik. Dalam perkembangan selanjutnya, seksualitas senantiasa dikaitkan dengan penduduk, kekayaan, tenaga kerja, kemampuan kerja, keseimbangan antara pertumbuhan, dan sumber daya. Tidak hanya itu, ia juga sering dikaitkan dengan variabel-variabel lain seperti natalitas, kelangsungan hidup, tingkat kesuburan, kesehatan, penyakit, makanan dan tempat tinggal.11 Bagi Foucault, seksualitas selayaknya dijadikan sebagai tempat membeberkan hasrat sekaligus sebagai penyingkapan kebenaran subjek. Seksualitas bukan semata-mata pertaruhan tubuh dan intensitas kenikmatan, tetapi ia juga harus menjadi scientia sexualis. Karena objektifitas subjek ada pada kalimat: “Katakan bagaimana dan siapa yang kau inginkan, dan saya bisa mengatakan siapa kamu”. Kodifikasi hukum sampai abad ke-18 hanya menjamin dan melegalkan aktivitas seksual yang dilakukan oleh pasangan (suami-istri) yang menikah. Larangan-larangan muncul bagi aktivitas seksual di luar nikah, dan terus merambah kepada bentuk aktivitas seksual lain seperti zoophile, sodomie, necrophilia atau LGBT. Semuanya tidak bisa diterima dan dianggap sebagai penyimpangan dan harus dihukum karena melanggar ketentuan. Dalam konteks inilah masalah seksualitas merangkak naik menjadi masalah hukum. Memasuki abad ke-19, masyarakat dan berbagai institusi mengembangkan mekanisme kontrol terhadap perilaku individu. Pada abad ini seksualitas orang gila, anak-anak,para kriminal dijaga, dalam arti dicegah dan dilarang. Sedangkan pasangan yang sudah menikah mempunyai hak, sekalipun penuh diskresi. Seksualitas anak menjadi perhatian yang berlebih, dan karenanya berbagai aturan diterapkan padanya. Pembagian kelas, pengaturan rekreasi, jam malam, hingga bentuk tempat tidur yang hanya cukup ditutupi dengan tirai.12 Karena wacana seksualitas berjalan secara institusional, maka berbagai kalangan turut andil dalam hal ini. Dokter, guru, keluarga, pendidik, psikiater hingga ke RT, terlibat dalam mengawasi seksualitas. Ada yang menarik dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Kita tidak membiarkan aktivitas seksual dalam relung gelap, tetapi paradoksnya, membiarkan seseorang untuk bicara tentang seks dengan meyakinkan bahwa seks adalah rahasia. Di lain pihak, ditemukan penyimpangan yang keluar dari norma alamiah dan dianggap patut untuk dihakimi sebagai kehinaan, seperti LGBT yang kita bahas ini. Tetapi ketidaksetiaan pasangan (suami atau istri) sering kali tidak dianggap sebagai perkara abnormal. Dan seksualitas menyimpang bukan lagi urusan jaksa, tetapi menjadi urusan dokter. Karena perilaku seks yang tidak umum ini dimasukkan ke dalam kategori penyakit jiwa. Bagi Foucault yang menganut seks bebas dalam kerangka Ars Erotica, selama ini setiap individu telah dirampas kebebasannya untuk menikmati seks melalui mekanisme kontrol masyarakat, institusi negara dan agama. Dalam kontrol ini seksualitas terkebiri hanya sebagai ruang propagasi, atau reproduktif suami istri. Padahal aktivitas seksual juga dapat mencari apa yang kita sebut dengan estetis, menyenangkan dan kenikmatan. Motif kenikmatan inilah yang menurut Foucault telah tergerus di dalam kebudayaan wacana (diskursus) yang tertutup. Wacana yang tidak memberikan ruang bagi kemungkinankemungkinan relasi seksual dengan motif pengalaman akan kenikmatan. Poin penting yang ingin disampaikan Foucault adalah, selama ini wacana seksualitas kita terjebak di dalam bentuk normalitas, dan kita seharusnya menggugat hal ini. Normalitas adalah kata yang berbahaya, khususnya dalam memahami orientasi seksual. Kekerdilan kata normalitas dalam wacana seksualitas menjadi pemicu prasangka dan kekerasan. Dengan kata itu juga pikiran seseorang menjadi terjebak pada dikotomi seksualitas; orientasi normal dan orientasi abnormal. Relasi heteroseksual 11 Michel Foucault, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, 41-44. 12 Michel Foucault, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, 91. Volume 02 No. 02 November 2012 61 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi dianggap relasi yang pantas, tepat, benar dan normal. Sementara itu, itu relasi gay atau homoseksual dianggap relasi yang janggal, salah, menyimpang dan abnormal. Pada ranah praktis hal ini menimbulkan diskriminasi. Mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda dianggap menyimpang, memiliki kelainan jiwa dan harus „disembuhkan‟, atau disadarkan. Lebih parah lagi dimarginalkan.13 Psikoseksual Sigmund Freud Menurut Sigmund Frued, perkembangan seksual seseorang sangat berpengaruh kepada kepribadiannya. Adapun perkembangan dan perubahan seksual seseorang akan sangat ditentukan oleh daerah-daerah erogen. Gasasan ini dikenal dengan istilah psikoseksual.14 Dalam konteks perkembangan dan perubahan seksualitas ini, Freud memetakan psikoseksualitasnya ke dalam lima fase sebagai berikut: 1. Fase Oral Fase ini adalah fase anak baru lahir sampai berusia 1,5 tahun. Kenikmatan, kesakitan dan perubahan kesakitan adalah tiga hal dominan yang mengendalikan kepribadiannya. Pada fase ini mulut (oral) merupakan sumber kenikmatan. Oleh karena itu setiap bayi yang berada dalam fase ini akan senantiasa mengisap makanan atau benda apapun yang menempel pada mulutnya. Fase ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, penggabungan oral (complete oral intercoperation), yaitu fase dimana dalam diri seorang bayi muncul rasa kasih sayang dan kepercayaan kepada objek, khususnya ibu yang menyusui. Kedua, sadisme oral (oral sadism), yaitu fase dimana bayi sudah mampu menggigit dan memamah. Kedua hal ini mengendap dalam diri seorang bayi. Oleh karena itu setiap bayi pada fase ini akan merasakan cinta sekaligus agresi yang diwujudkan dalam bentuk menggigit dan menghisap puting ibunya.15 2. Fase Anal Fase anak berumur 1,5 sampai dengan 3 tahun. Daerah erogennya adalah anus (pelepasan). Pada fase ini anak disibukkan dengan fungsi membuang air besar dan menahannya. Perkembangan ego16 pada fase ini ditandai dengan kemampuan untuk menguasai objek, sadar dan toleran terhadap kecemasan, berfikir serta tumbuhnya pertahanan terhadap impulsifitas. Fase ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, anak mendapat kepuasan seks ketika membuang air besar. Kedua, seorang anak mendapat kepuasan dengan menahan tinja dalam perutnya. Dalam kaitannya dengan bagian kedua, anak menunjukan kebenciannya kepada orang tua dengan cara membuang air besar kalau disuruh atau dilarang melakukan sesuatu. 3. Fase Falik Fase anak berumur 3 sampai dengan 4 tahun. Daerah erogennya adalah alat kelamin. Fase ini adalah fase meningkatnya minat seks yang terkait dengan anggota keluarga, dan diwujudkan dalam bentuk odipus complex, yaitu kecenderungan seorang anak laki-laki untuk menyukai ibunya, dan kecenderungan seorang anak perempuan untuk menyukai bapaknya. 13 Moh. Yasir Alimi, “Tidak Hanya Gender, Seks Juga Konstruksi Sosial (Kritik terhadap Heteroseksual)” dalam Jurnal Perempuan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2008). 14 Ainurrofiq Dawam, “Sigmund Freud dan Homoseksual (sebuah Tinjauan Wacana Keislaman)” dalam Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol 2, No. 1, Maret, 2003, 49-51. 15 Jiwa seorang anak dikendalikan oleh Id, yang merupakan sumber segala energi psikis yang berisi impuls dari kebutuhan biologis, dan impul ini mengatur tingkah laku. Id bekerja atas dasar prinsip kesenangan. Hasan Langgulung, “Teori Kesehatan Mental: Pendekatan Psikologi Modern Dan Pendekatan Pakar Pendidikan Islam”, dalam Sigmund Freud dan Homoseksual, 47. 16 Ego merupakan sistem yang bekerja atas dasar prinsip realitas dan dasar berpikir sekunder dengan menggunakan logika, persepsi dan kognisi. Dengan ini ego menjadi penguji atau sensor realitas. Ainurrofiq Dawam, Sigmund Freud dan Homoseksual, 47. Volume 02 No. 02 November 2012 62 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi 4. Fase Laten Fase anak berusia 4 sampai dengan 7 tahun. Daerah erogenya masih tetap pada kelamin. Tidak ada perkembangan dan pertumbuhan baru dalam seksualitasnya, namun hasrat seksualnya disublimasi, termasuk cinta kepada orang tua yang diejawantahkan dengan bentuk rasa hormat dan menghargai. Pada fase ini mekanisme pertahanan masih sangat diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, karena ego lebih banyak berhubungan dengan objek di dunia luar. 5. Fase Genital Fase anak berusia 12 sampai dengan 15 tahun. Fase ini merupakan penghubung dari masa kanak-kanak ke fase dewasa. Dalam prosesnya, fase ini memiliki tiga tahapan penting. (a) Tahap prapuber yang ditandai dengan meningkatnya kembali dorongan libido. (b) Tahap puber yang ditandai dengan pertumbuhan fisik (haid, kemampuan ereksi). Pada tahap ini masturbasi sering terjadi, dan cendrung mencintai diri sendiri (narsistik). (c) Kemampuan adaptasi dalam wujud penyesuaian diri dengan dorongan seksual dan perubahan fisik yang tiba-tiba. Pada tahapan ini, anak mulai mencintai orang lain, mulamula pada sejenis kelamin, kemudian kepada lawan jenis. Tahap-tahap ini berakhir ketika remaja telah menjadi orang dewasa yang tersosialisasi. Uraian Frued mengenai lima fase di atas menunjukan kepada kita bahwa seksualitas sangat mendominasi perkembangan dan pertumbuhan kepribadian seorang manusia. Oleh karena itu, menurut Frued, seksualitas merupakan dorongan utama dalam kehidupan manusia. Bagaimana pandangan Frued dengan LGBT? Bagi sebagian besar psikolog, lesbian, gay, biseksual dan trangender merupakan bentuk penyimpangan seksual. Apa yang disebut dengan normal dalam pandangan mereka adalah hubungan yang bersifat heteroseksual, pria dan wanita. Namun, bagi Frued yang intens meneliti tentang homoseksual,17 masalah LGBT tidak bisa hanya dijustifikasi dengan benar atau salah secara apologetik. Kita harus meninjaunya dari berbagai aspek. Dalam penelitiannya, Frued menemukan beberapa faktor kenapa seseorang memilih untuk terlibat dalam aktivitas seksual komunitas LGBT.18 1. Faktor Prinsip Hidup. Menurut Frued, setiap manusia memiliki dua prinsip, mati dan hidup (dead and life). Prinsip dead merupakan prinsip yang cenderung merusak dan agresif. Sedangkan prinsip life adalah prinsip manusia untuk mempertahankan diri dan mengembangkan kepribadiannya di dalam realitas kehidupan. Prinsip life cenderung terarah kepada pemuasan libido. Dalam hal ini libido adalah satu-satunya energi dasar kehidupan manusia dalam mencari kelezatan dan kesenangan hidup tanpa melihat norma-norma yang berlaku di masyarakat. 2. Faktor Lingkungan. Berkenaan dengan hal ini, Freud memegang prinsip determinisme psikologis, yaitu setiap manusia telah menentukan sebelumnya untuk hidup di sebuah lingkungan tertentu. Dalam kaitannya dengan LGBT, faktor lingkungan menjadi alasan kenapa seseorang menentukan pilihan untuk lerlibat dalam komunitas LGBT. Perlakuan kurang simpatik, kekerasan dari lawan jenis, pemondokan sesama jenis, dan perlakuan tidak senonoh lainnya merupakan indikator-indikator lingkungan yang menentukan seseorang untuk bergabung ke dalam komunitas LGBT. 17 Freud banyak berbicara masalah Homoseksual. Hasil penelitiannya seringkali digunakan untuk mengungkap LGBT. 18 Ainurrofiq Dawam, Sigmund Freud dan Homoseksual, 52-54. Volume 02 No. 02 November 2012 63 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi 3. Faktor Kebebasan Seksual (Free Sex) Kebebasan sex (free sex) pada titik tertentu akan mendorong seseorang untuk mencari kepuasan seks dari gaya dan varian seks lainnya, atau terlibat dalam aktivitas seksual seperti yang dilakukan oleh komunitas LGBT. 4. Faktor Genetik Perkembangan biologi molekuler dan genetika memberi warna baru dalam memahami eksistensi manusia. Saat ini, semua yang menyangkut dengan kepribadian dan historisitas keturunan manusia bisa ditinjau dari aspek genetik, lebih spesifiknya DNA. Melalui DNA kita bisa memahami sifat-sifat seseorang. Sebut saja, berani, lembut, panakut, pemalu, terbuka, tertutup, emosional dan sebagainya. Melalui DNA juga kita bisa memahami kecenderungan seseorang untuk bersifat setengah laki-laki dan setengah perempuan yang berimplikasi kepada kesulitan seseorang untuk menentukan jenis kelaminnya. Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa kecenderungan seseorang untuk masuk ke dalam komunitas LGBT bisa disebabkan oleh faktor genetik. 5. Faktor Hormon Dalam ilmu biologi disebutkan bahwa sifat maskulin dan feminin sangat ditentukan oleh hormon testosteron dan progesteron. Kelebihan kadar hormon testosteron misalnya, menentukan seorang lelaki untuk menyukai lawan jenis (wanita). Jika sebaliknya, ia akan menyukai sesama jenis (laki-laki). Begitu juga sebaliknya dengan perempuan. 6. Faktor Ketidakpuasan Seks Dengan Pasangan Ketidakharmonisan hubungan seksual suami istri menjadi salah satu faktor kenapa seseorang mengalihkan orientasi seksualnya seperti aktivitas seksual yang dilakukan oleh kaum LGBT. Dengan bersandar kepada enam faktor di atas, Frued mengungkapkan bahwa LGBT bukan sebuah kelainan, tetapi sebagai aktivitas manusia yang secara psikologis bersifat wajar. Tentunya pendapat ini banyak tentangannya, karena sebagian besar psikolog menganggap keenam faktor tersebut tiada lain adalah alasan kuat seseorang untuk memalingkan orientasi seksualitasnya yang normal ke dalam bentuk orientasi seksual yang tidak wajar atau menyimpang, yang dalam konteks ini adalah aktivitas seksual kaum LGBT. LGBT Dalam Kontroversi Teologi Komunitas LGBT seringkali dideskriditkan dalam berbagai ranah sosial, hak-hak dasar meraka sebagai warga negara acap kali dihiraukan, dan bahkan hinaan, cercaan dan perlakuan keji sering dialamatkan kepada mereka, sekalipun mereka tidak melakukan tindakan kriminalitas yang mengganggu ketertiban sosial. Mereka menyadari akan orientasi seksualnya yang berbeda dengan mayoritas masyarakat disekitarnya. Namun, kelainan orientasi seksual ini tidak berarti sebagai bentuk kriminalitas yang dapat menimbulkan berbagai patologi sosial. Apalagi pada faktanya tidak sedikit dari anggota komunitas LGBT yang lebih peka dan peduli terhadap persoalan-persoalan sosial. Dalam beberapa dasawarsa ini kaum feminis dan komunitas-komunitas LGBT di Indonesia selalu mengaitkan hak-hak dasar komunitas LGBT sebagai warga negara dengan interpretasi dan justifikasi teologis. Mereka meninjau kembali penginterpretasian teks-teks keagamaan untuk melihat bagaimana proses justifikasi etis, kehinaan, keganjilan dan stigma-stigma negatif yang dilabelkan kepada mereka. Upaya ini sangat rasional karena selama ini stigma negatif, dan kebencian kepada mereka lebih gencar dilakukan oleh masyarakat, tokoh-tokoh dan lembaga yang mengatasnamakan agama. Dalam hal ini, teks-teks keagamaan kerap kali dijadikan sebagai justifikasi tekstual untuk menghukumi mereka. Volume 02 No. 02 November 2012 64 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi Alasan lain dari komunitas LGBT untuk meninjau kembali interpretasi teologis adalah, kehampaan psikologis komunitas tersebut yang memerlukan pencerahan spiritual sebagaimana yang diajarkan oleh agama. Walaupun orientasi seksual mereka lain dari yang umum, namun, pada titik tertentu mereka juga merasakan akan perlunya dimensi spiritualitas dalam kehidupan mereka. Fenomena ini menjadi persoalan baru, karena persoalan utama yang dihadapi mereka saat ini adalah, mereka hidup dalam sebuah kondisi dimana agama diarak kembali ke ruang publik, disuarakan dengan gerakan-gerakan yang hampir menafikan nilai-nilai etika. Dan pada titik tertentu, agama seringkali dijadikan tameng atau instrumen untuk memobilisasi massa demi memuluskan kepentingan dan kekuasaan kelompok tertentu. Agama selalu dijadikan propaganda massif karena, seperti diungkapkan Abou Fadhl, syahwat kekuasaan agama tidak pernah melemah (puritan). Begitu pula dengan wacana spiritualitas dan seksualitas komunitas LGBT selalu diganjal oleh gerakan-gerakan yang mengatasnamakan keagamaan. Adakah ruang teologis bagi komunitas LGBT? Komunitas LGBT tidak bisa lari dari kenyataan bahwa seluruh penafsiran doktrin agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) yang ada saat ini, secara tegas menolak aktivitas seksual yang dilakukan komunitas LGBT. Penolakan inipun berimplikasi kepada penolakan seluruh aktivitas sosial mereka yang lainnya, sekalipun aktivitas tersebut tidak ada kaitannya dengan masalah seksual. Wal hasil mereka tidak memiliki ruang gerak, dibunuh tidak, gerak ditindak. Inilah kendala besar yang dihadapi oleh komunitas LGBT. Oleh karena itu, untuk memperoleh legitimasi teologis mereka melakukan reinterpretasi teks-teks keagaman yang ditinjau dari sisi humanistik dan etik. Dan tentunya bahasan yang paling fundamental dalam hal ini adalah berkenaan dengan teks-teks yang mengungkap fenomena seksualitas (homoseksual) umat nabi Luth yang kemudian dikiaskan dengan aktivitas seksual LGBT. Dalam kitab-kitab tafsir dijelaskan bahwa alasan Tuhan mengazab umat nabi Luth dikarenakan oleh aktivitas seksual umat nabi Luth yang menyimpang, lebih spesifiknya homoseksual. Alasan ini pula yang digunakan oleh para agamawan dalam mengharam aktivitas seksual komunitas LGBT. Komunitas LGBT tidak mengamini hal ini, maka dari itu mereka menggali kembali tafsir surat Luth tersebut. Menurut mereka, alasan yang digunakan oleh para agamawan untuk menghukumi komunitas LGBT kurang mendasar. Surat Luth yang ditafsirkan sebagai kemarahan Tuhan terhadap aktivitas homoseksual yang berlangsung saat itu, tidak sesuai dengan konteks historis umat nabi Luth yang holistik. Penafsisran tersebut bersifat parsial. Menurut mereka, alasan Tuhan mengazab umat nabi Luth bukan karena alasan aktivitas homoseksual yang parsial, tetapi, secara holistik lebih dikarenakan oleh dimensi moral dan kemanusiaan umat nabi Luth yang sudah hilang. Dalam konteks budaya umat nabi Luth, menyamun, berbuat keonaran dan perbuatan hina lainnya sudah menjadi rutinitas harian umat nabi Luth. Kondisi inilah yang sebenarnya menimbulkan amarah Tuhan. Amarah Tuhan, sama sekali bukan dikarenakan oleh “norma seksual”.19 Terlepas dari pemahaman komunitas LGBT dalam memahami realitas sejarah umat nabi Luth. Namun, sejarah membuktikan bahwa aktivitas homoseksual merupakan salah satu indikator hilangnya humanisme umat nabi Luth. Alasan inilah yang menjadi dasar kenapa para ulama mengharamkan aktivitas seksual seperti yang dilakukan oleh komunitas LGBT. Alasan ini memang masih normatif. Dalam konteks normatifitas ini pula ketidaksetujuan para komunitas LGBT terhadap para ulama. Oleh karena itu, hingga saat ini, mereka mencoba meninjau kembali aktivitas seksual mereka dari aspek medis, psikologis, dan bahkan dari aspek politik, atau relasi kuasa seperti yang dibahas oleh Foucault dan Frued. 19 Guntur Romli, Homoseksualitas & Agama. Makalah dipaparkan dalam diskusi publik peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO) 26 Mei 2011 di Universitas Paramadina. Volume 02 No. 02 November 2012 65 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi Penutup Dari penjelasan singkat di atas ada tiga hal penting yang harus kita pahami perbedaannya. Pertama, seks dalam arti biologis, yaitu alat kelamin, penis bagi laki-laki dan vagina untuk perempuan. Kedua, gender, yaitu jenis kelamin yang dikonstruksi oleh faktor sosial (bentuk pekerjaan, dan sifat). Gender dapat kita istilahkan dengan kelamin sosial. Ketiga, seksualitas, yaitu kecendrungan atau orientasi seseorang dalam menyalurkan hasratnya seksnya, baik ke dalam bentuk aktivitas seksual gay, lesbian, biseksual, transgender ataupun heteroseksual. Menurut Foucault, gender dan seksualitas secara dominan dibentuk oleh jaringan relasi kuasa yang kemudian diwujudkan dalam bentuk wacana atau pengetahuan. Wacana-wacana inilah yang kemudian menjadi pengetahuan yang mampu mengarahkan dan bahkan menentukan sikap seseorang dalam menentukan pilihan seksualitas. Bagi Foucault dan Frued, kita tidak bisa mempertanyakan apakah seseorang menjadi bagian dari komunitas LGBT itu merupakan aspek kodrati (nature), karena kita tidak bisa menentukan keputusan ini, kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Tuhan. Ini berarti bahwa menjadi LGBT tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Tuhan. Masalah ini merupakan konstruksi sosial dan pilihan hidup (nurture). Karena identitas dan seksualitas seseorang berkembang sesuai dengan kecendrungan perubahan yang ada dalam diri dan lingkungan sosial. Dalam konteks doktrin agama, perubahan orientasi seks seseorang ke dalam bentuk LGBT merupakan sebuah perkara yang menyimpang. Penyimpangan ini bukan semata-mata dikarenakan oleh faktor bawaan biologis yang bersifat adikodrati. Ia merupakan respon dan sikap individu dalam kaitannya dengan dinamika realitas sosial. Oleh karena itu, di dalam doktrin agama, para pelaku LGBT harus disikapi dengan pendekatan medis, sosiologis, dan psikologis. Kendati demikian, bukan berarti para pelaku LGBT dihukumi sebagai orang gila yang hilang akal. Karena dalam doktrin agama mementingkan proses, dan mengajarkan kepada kita untuk senantiasa melakukan perbaikan diri sesuai dengan kapasitas dan identitas biologis kita, maka dalam upaya restorasi diri sipelaku LGBT harus meninjau faktor-faktor ekternal yang mengarahkan pilihan seseorang untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang dilakukan oleh kaum LGBT. Lebih dari itu, berusaha untuk turut andil dalam merestorasi identitas eksistensial komunitas LGBT sesuai dengan wujud biologis mereka. Daftar Pustaka Alimi, Yasir, Moh., Tidak Hanya Gender, Seks Juga Konstruksi Sosial: Kritik terhadap Heteroseksual. Jurnal Perempuan, Edisi 41, Jakarta. Dawam, Ainurrofiq, Sigmund Freud dan Homoseksual: Sebuah Tinjauan Wacana Keislaman. Musawa (Jurnal Studi Gender dan Islam), Vol 2, No. 1, Maret 2003, Yogyakarta. Dewi, Saras Menggugat Normalitas. Makalah dipaparkan dalam diskusi publik peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO), 26 Mei 2011 di Universitas Paramadina. Foucault, Michel Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, terj. Rahayu S Hidayat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Haryatmoko, Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana Sejarah Seksualitas: Sejarah Pewacanaan Seks & Kekuasaan Menurut Foucault. Makalah disampaikan dalam Seri kuliah umum tentang “Seksualitas” di Komunitas Salihara, Sabtu 12 Juni 2010, untuk sesi “Michel Foucault tentang Seksualitas”. Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodelogi Tafsir Al-Quran. Jakarta: Teraju, 2002. Muttaqin, Farid Observing the Islamic Theological Context: Contemporary Indonesian Muslim Feminist Agendas toward Recognition of Gay and Lesbian Rights. Athen: Ohio University. Romli, Guntur, Homoseksualitas & Agama, Makalah dipaparkan dalam diskusi publik peringatan Volume 02 No. 02 November 2012 66 M O M E N T U M LGBT Dalam Kontroversi International Day Against Homophobia (IDAHO), 26 Mei 2011 di Universitas Paramadina. Utomo, Dede, Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Identitas Gender dan Seksualitas Di Indonesia. Makalah yang dipresentasikan pada Semiloka Hak atas Kebebasan Pribadi bagi Kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Interseksual, Transgender dan Transeksual. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kuta, 15–16 Agustus 2006. 67 M O M E N T U M Volume 02 No. 02 November 2012