BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etnobotani

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etnobotani
Etnobotani berasal dari Bahasa Yunani yang tersusun atas kata ethnos dan
botany. Ethnos berarti bangsa dan botany yang berarti tumbuh-tumbuhan,
sehingga etnobotani dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari
hubungan langsung antara manusia dengan tumbuhan dalam pemanfaatan secara
tradisional. Istilah etnobotani pada awalnya diusulkan oleh Harsberger pada tahun
1893 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan
secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif atau terbelakang
(Soekarman & Riswan 1992).
Rifai dan Walujo (1992) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
etnobotani adalah ilmu yang mendalami hubungan budaya suatu masyarakat
dengan komunitas alam hayati di sekitarnya (khususnya tumbuhan). Dharmono
(2007) mendefinisikan etnobotani sebagai ilmu botani mengenai pemanfaatan
tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa. Etnobotani ini
merupakan ilmu yang kompleks karena tidak hanya melibatkan satu disiplin ilmu.
Banyak disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan dan
pendekatan etnobotani, misalnya linguistik, antropologi, sejarah, pertanian,
kedokteran, farmasi dan lingkungan (Suwahyono et al. 1992).
Menurut Purwanto (2000) ruang lingkup kajian etnobotani, di antaranya : 1)
etnoekologi, mempelajari sistem pengetahuan tradisional tentang fenologi
tumbuhan, adaptasi dan interaksi dengan organisme lainnya, pengaruh
pengelolaan tradisional terhadap lingkungan alam; 2) pertanian tradisional,
mempelajari sistem pengetahuan tradisional tentang varietas tanaman dan sistem
pertanian, pengaruh alam dan lingkungan pada seleksi tanaman serta sistem
pengelolaan sumberdaya tanaman; 3) etnobotani kognitif, studi tentang persepsi
tradisional terhadap keanekaragaman sumberdaya alam tumbuhan, melalui
analisis simbolik dalam ritual dan mitos serta konsekuensi ekologinya, organisasi
dari sistem pengetahuan melalui studi etnoksonomi; 4) budaya materi,
mempelajari sistem pengetahuan tradisional dan pemanfaatan tumbuhan serta
5
produk tumbuhan dalam seni dan teknologi; 5) fitokimia tradisional, studi tentang
pengetahuan tradisional mengenai penggunaan berbagai spesies tumbuhan dan
kandungan bahan kimianya, contohnya insektisida lokal dan tumbuhan obatobatan; 6) paleobotani, studi tentang interaksi masa lalu antara populasi manusia
dengan tumbuhan yang mendasarkan pada interpretasi peninggalan arkeologi.
Disiplin ilmu lain yang terkait kajian etnobotani adalah ilmu taksonomi, ekologi
dan geografi tumbuhan, pertanian, kehutanan, sejarah, antropologi dan ilmu yang
lain (Soekarman & Riswan 1992).
Pengkajian etnobotani saat ini menjadi penting di tengah krisis dimensional
yang terjadi. Banyak di antara para ilmuan mengkaji aspek ini sebagai upaya
pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan nasional juga upaya konservasi mulai
dari keanekaragaman flora yang ada, juga kearifan tradisional yang mulai
menghilang. Dengan kajian etnobotani diharapkan dapat menggali potensi
tumbuhan berguna dan pola pemanfaatannya. Dengan diketahuinya pola
pemanfaatan tradisional terhadap tumbuhan oleh masyarakat diharapkan dapat
mengimbangi perkembangan teknologi yang pesat.
Bentuk pemanfaatan tumbuhan disetiap daerah di Indonesia sangat beragam.
Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan, potensi tumbuhan dan kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat tersebut. Misalnya, pada masyarakat Papua, tumbuhan
yang banyak dijadikan sumber pangan adalah ubi dan sagu (Somantri 2008).
Kemudian masyarakat Etnis Dani yang menempati Lembah Baliem, Jaya Wijaya,
di sekitar Wamena dan Karulu. Mereka menganggap bahwa hutan tidak hanya
sebagai hal yang magis religius, tetapi juga sebagai sumber yang menguntungkan
dan memberi hidup bagi mereka. Mereka menggunakan sumberdaya alam sebagai
bahan sandang, pangan, obat tradisional dan lain-lain (Purwanto & Walujo 1992).
Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat juga ditunjukkan oleh
masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tidak kurang
dari 25 spesies tumbuhan yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit
rakyat seperti sakit batuk, diare, luka, cacingan, gatal karena jelateng, demam,
gatal, cacar, terkena gigitan kalajengking, malaria, mata merah, goaman, “keloh”,
disentri, sesak nafas dan terkena gigitan ular. Hal ini merupakan wujud bentuk
6
kearifan lokal masyarakat Suku Sasak yang berada di Desa Senaru dalam
memanfaatkan tumbuhan (Riswan & Andayaningsih 2008).
Beragamnya bentuk pemanfaatan tumbuhan dari berbagai daerah dapat
menjadi kekayaan bagi kebudayaan Indonesia. Selain perbedaan dalam pola
pemanfaatan tumbuhan, juga memungkinkan masyarakat dapat memanfaatkan
tumbuhan yang sama dalam manfaat yang berbeda maupun tumbuhan berbeda
dengan manfaat yang sama.
Terdapat empat usaha utama yang berkaitan erat dengan etnobotani, yaitu:
1) pendokumentasian pengetahuan etnobotani tradisional; 2) penilaian kuantitatif
tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber botani; 3) pendugaan
tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari tumbuhan, untuk keperluan sendiri
maupun untuk tujuan komersial; dan 4) proyek yang bermanfaat untuk
memaksimalkan nilai yang dapat diperoleh masyarakat lokal dari pengetahuan
ekologi dan sumber-sumber ekologi (Martin 1998).
Dokumentasi sebagai salah satu usaha utama dalam etnobotani merupakan
pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan. Dokumentasi tersebut dapat
berupa dokumen tertulis, rekaman foto, majalah, film dokumenter. Dalam hal
botani, dokumentasi juga dilakukan dengan cara pengumpulan spesimen
(herbarium).
2.2 Kearifan Tradisional
Kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf 2002).
Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal
secara turun temurun (Soekarman & Riswan 1992).
Pengetahuan
merupakan kapasitas
manusia
untuk
memahami dan
menginterpretasikan baik hasil pengamatan langsung maupun pengalaman
sehingga dapat digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan
dalam pengambilan keputusan (Kartikawati 2004). Bangsa Indonesia yang
tersebar dari Sabang hingga Merauke terdiri dari suku-suku mempunyai
kebudayaan dan adat istiadat masing-masing yang berkembang dan diwariskan
7
secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kehidupan sukusuku tersebut terutama yang mempunyai interaksi dekat dengan sumberdaya dan
lingkungannya secara turun-temurun pula mewarisi pola hidup tradisional yang
dijalani oleh leluhurnya. Pola hidup tradisional inilah yang kemudian membentuk
kearifan tradisional.
Kearifan tradisional menyangkut pengetahuan, pemahaman adat dan
kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana hubungan di antara semua
penghuni komunitas ekologis harus dibangun. Berdasarkan hal tersebut di atas
Keraf (2002) menyebutkan bahwa :
1.
Kearifan tradisional adalah milik komunitas bukan individu.
2.
Kearifan tradisional yang juga berarti pengetahuan tradisional, lebih bersifat
praktis mencakup bagaimana memperlakukan setiap kehidupan di alam
dengan baik.
3.
Kearifan tradisional lebih bersifat holistik karena menyangkut pengetahuan
dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam
semesta.
4.
Berdasarkan kearifan tradisional masyarakat adat juga memahami semua
aktivitasnya sebagai aktivitas moral.
2.3 Pemanfaatan Tumbuhan
Pemanfaatan tumbuhan tradisional dilakukan secara turun temurun oleh
masyarakat adat, tradisional maupun masyarakat sekitar kawasan yang masih
menurunkan warisan kearifan tradisional leluhurnya. Pemanfaatan ini bukan
dipandang sebagai suatu yang misterius, melainkan sebagai sumber yang
menguntungkan dan memberi hidup bagi masyarakat.
Menurut Soekarman dan Riswan (1992), baru sekitar 3-4% tumbuhan
bermanfaat yang ada di Indonesia sudah dibudidayakan dan ditanam, sementara
sisanya masih tumbuh liar di hutan-hutan. Pemanfaatan tumbuhan oleh
masyarakat yang berasal dari hutan digunakan sebagai bahan sandang, bahan
noken (anyaman), bahan pewarna, bahan obat tradisional, upacara adat dan
kegiatan sosial, bahan pangan, bahan bangunan, bahan tali-temali, kayu bakar,
8
bahan alat (tani, parang atau senjata) dan bahan lain-lain (Purwanto & Walujo
1992).
Menurut Zuhud et al. (2004), tumbuhan dapat diklasifikasikan dalam
beberapa kelompok kegunaan di antaranya tumbuhan obat, tumbuhan aromatik,
tumbuhan pangan, tumbuhan penghasil warna, tumbuhan penghasil pestisida
nabati, tumbuhan hias, tumbuhan penghasil pakan ternak, tumbuhan untuk
keperluan ritual dan keagamaan, tumbuhan penghasil tali, anyaman, kerajinan,
tumbuhan penghasil kayu bakar, tumbuhan penghasil minuman dan tumbuhan
penghasil bahan bangunan. Selain beragamnya pemanfaatan (fungsi) tumbuhan di
atas, setiap bagian tumbuhan yang dimanfaatkan juga berbeda-beda, misalnya saja
bagian yang dimanfaatkan adalah buah, daun, umbi, akar, kulit, bunga, biji, getah,
batang dan sebagainya.
Berdasarkan habitus tumbuhan yang dimanfaatkan, tumbuhan juga
dikelompokkan dalam beberapa habitus. Habitus merupakan penampakan luar dan
sifat tumbuh suatu tumbuhan. Adapun habitus berbagai spesies tumbuhan menurut
Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut:
a)
Pohon merupakan tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki satu batang
yang jelas dan bercabang jauh dari permukaan tanah.
b) Perdu merupakan tumbuhan berkayu yang tidak terlalu besar dan bercabang
dekat dengan permukaan tanah atau di dalam tanah.
c)
Semak merupakan tumbuhan berkayu yang mengelompok dengan anggota
yang sangat banyak membentuk rumpun, tumbuh pada permukaan tanah dan
tingginya dapat mencapai 1 m.
d) Herba merupakan tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak dan berair.
e)
Liana merupakan tumbuhan berkayu, yang batangnya menjalar/memanjat
pada tumbuhan lain.
f)
Epifit merupakan tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain sebagai
tempat hidupnya.
2.3.1 Tumbuhan pangan
Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Pangan
berasal dari bahan hewani dan nabati (tumbuh-tumbuhan). Menurut Kamus Besar
9
Bahasa Indonesia bahan pangan nabati atau lebih dikenal tumbuhan pangan
adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun dan dapat
dimakan atau dikonsumsi oleh manusia (apabila dikonsumsi hewan disebut
pakan).
Produk pangan yang telah lama diproduksi, berkembang dan dikonsumsi di
suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat lokal tertentu, produk tersebut
umumnya diolah dari bahan baku lokal menggunakan teknologi lokal dikenal
dengan sebutan pangan lokal. Proses pengadaan pangan lokal tersebut
berdasarkan pengetahuan lokal dan biasanya dikembangkan sesuai dengan
preferensi konsumen lokal pula. Biasanya produk lokal sering menggunakan nama
daerah seperti dodol garut dan talas bogor.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 menjelaskan pengertian
pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Menurut Depkes RI (1983)
pengertian tanaman pangan yaitu kelompok tanaman yang biasa dikonsumsi
sehari-hari oleh manusia, berupa sayuran dan buah-buahan, memiliki kandungan
nutrien, vitamin dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta
merupakan komponen penting untuk diet sehat.
Tumbuhan pangan ada yang berasal dari tumbuhan rendah dan tumbuhan
tingkat tinggi. Tumbuhan tingkat tinggi ini dapat diperoleh dari hasil hutan berupa
buah-buahan, dedaunan dan biji-bijian. Pada umumnya tumbuhan pangan berasal
dari kelompok buah-buahan, sayur-sayuran dan sereal (Sunarti et al. 2007) atau
mengandung
karbohidrat,
sayuran,
buah-buahan
dan
kacang-kacangan
(Purwadarminta 1988). Tumbuhan penghasil pangan dapat dikelompokkan
menjadi tiga (Moeljopawiro & Manwan 1992) yaitu:
a)
Komoditas utama: padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), kedelai (Glycine
max), kacang tanah (Arachis hypogaea), kacang hijau (Phaseolus radiatus),
ubi kayu (Manihot utilissima) dan ubi jalar (Ipomoea batatas).
10
b) Komoditas potensial: sorgum (Andropogon sorgum), kacang tunggak (Vigna
sinensis), kacang gude (Cajanus cajan), wijen (Sesamum orientale), talas
(Colocasia esculenta), ubi kelapa (Dioscorea alata) dan sagu (Metroxylon
spp.).
c)
Komoditas introduksi: ganyong (Canna edulis), jawawut (Panicum viridae),
terigu (Triticum sativum) dan kara (Dolichos lablab).
Tumbuhan pangan di alam memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan tubuh
seperti karbohidrat, protein, vitamin, mineral dan sebagainya. Kandungan tersebut
dapat ditemukan pada spesies tumbuhan seperti kacang-kacangan, buah-buahan,
sayuran dan sereal (sumber karbohidrat) (Kartikawati 2004).
a. Kacang-kacangan
Kacang-kacangan merupakan biji-bijian yang dapat diperoleh dari spesies
polong-polongan. Polong-polongan adalah anggota suku Fabaceae yang memiliki
polong/legum. Kacang-kacangan utama yang dapat dimakan termasuk ke dalam
anak suku Papilionoidae (anak suku terbesar dari Fabaceae) yang masih memiliki
450 marga dan 10000 spesies. Kacang-kacangan bermanfaat sebagai bahan
pangan yang kaya protein (Koswara 2010).
b. Buah-buahan
Buah-buahan merupakan komoditas yang besar dan beraneka ragam
(Kartikawati 2004). Buah dapat dimakan dalam keadaan segar, maupun yang telah
dikeringkan atau yang telah diolah. Buah-buahan umumnya dikonsumsi dalam
keadaan mentah (tidak dimasak, matang dari pohonnya). Buah-buahan
mengandung vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh (Dhalimarta & Adrian
2011) menyeimbangkan menu makanan, kaya protein, energi dan ada yang
mengandung lemak.
c. Sayuran
Sayuran merupakan komoditas tumbuhan yang mengandung air. Menurut
Kartikawati (2004), beberapa contoh sayuran yang biasanya ditanam di kebun dan
merupakan spesies tumbuhan hortikultura di antaranya selada (Lactuca sativa),
11
katuk (Sauropus androgynus), berbagai spesies kobis, kol (Brassica oleraceae),
kangkung (Ipomea aqutica) dan spesies lainnya. Adapun sayuran yang digunakan
sebagai bumbu, yaitu bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium
sativum), daun bawang (Allium ampeloprasum), seledri (Apium graveolens).
Spesies tumbuhan yang fungsi sekundernya sebagai sayuran adalah daun pepaya
(Carica papaya), daun ubi jalar (Ipomea batatas), jagung muda (Zea mays) dan
daun singkong (Manihot utillisima).
d. Palem-paleman dan umbi-umbian
Palem-paleman dan umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat terpenting
(Sunarti et al. 2007). Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia.
Beberapa spesies tumbuhan yang merupakan sumber karbohidrat di antaranya
adalah sagu (Metroxylon spp.), aren (Arenga pinnata) dan lain-lain yang
merupakan jenis palem berkarbohidrat, kemudian ubi jalar (Ipomea batatas),
singkong
(Manihot
utillisima)
dan
sebagainya
yang
merupakan
umbi
berkarbohidrat.
2.3.1.1 Ketahanan Pangan
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
menjelaskan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan konsep
yang multidimensional, yaitu adanya hubungan keterkaitan antara mata rantai
sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi.
Menurut Hariyadi (2010), aspek utama dalam ketahanan pangan terdiri dari
4 hal yaitu (1) aspek ketersediaan pangan (food availibity), (2) aspek stabilitas
ketersediaan/pasokan pangan (stability supplies) (3) aspek keterjangkauan (acces
supplies) dan (4) aspek konsumsi (food utilization). Faktor-faktor struktur sosial,
budaya, politik dan ekonomi sangat penting dalam menentukan ketahanan pangan.
Faktor-faktor tersebut di atas merupakan faktor determinan dasar (basic
determinan) bagi ketahaan pangan.
12
Sumberdaya lokal termasuk di dalamnya pangan lokal erat kaitannya
dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang dikembangkan berdasarkan
kekuatan sumberdaya lokal akan menciptakan kemandirian pangan yang
selanjutnya akan melahirkan individu yang sehat, aktif dan berdaya saing
sebagaimana indikator ketahanan pangan. Di samping itu, juga akan melahirkan
sistem pangan dengan pondasi yang kokoh (Hariyadi 2010).
2.3.1.2 Kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan memiliki peran penting sebagai strategi untuk mencegah
krisis pangan. Membangun kedaulatan pangan dapat dilakukan melalui
peningkatan produksi pangan dan pengurangan konsumsi yang berlebihan dan
tidak perlu, disertai pembangunan pedesaan terpadu. Ketidakberhasilan dalam
penerapan strategi ketahanan pangan menjadi inspirasi munculnya strategi
alternatif, yaitu kemandirian dan kedaulatan pangan.
Kemandirian pangan dapat dilihat dari kemampuan suatu bangsa untuk
menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, bermutu baik,
dan aman yang berbasis pada pemanfaatan secara optimal sumber daya lokal.
Lima komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu ketersediaan yang
cukup, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, mutu/keamanan pangan yang baik,
dan tidak ada ketergantungan pada pihak luar. Membangun kemandirian dan
kedaulatan pangan merupakan strategi untuk mencegah krisis pangan dan
mengentaskan masyarakat tani dari kemiskinan.
Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan di Indonesia diarahkan
untuk: (1) mewujudkan kemandirian dan kedaulatan negara dan rakyat dalam
menentukan kebijakan produksi, distribusi dan konsumsi pangan berdasarkan
pemanfaatan sumber daya lokal, tanpa pengaruh pihak luar; (2) mengurangi
ketergantungan pada pangan impor; (3) memanfaatkan keragaman sumber daya
hayati
untuk
memproduksi
berbagai
komoditas
pangan
non
beras;
(4) menciptakan lapangan kerja pada industri pertanian di perdesaan;
(5) membebaskan petani tanaman pangan dari perangkap kemiskinan sehingga
mampu menyongsong masa depan yang lebih sejahtera dan bermartabat (Swastika
2011).
13
2.3.2 Tumbuhan obat
Tumbuhan obat menurut Depkes RI sebagaimana yang tercantum dalam
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 149/SK/Menkes/IV/1978 adalah sebagai
berikut:
a) Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat
tradisional atau jamu
b) Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pemula bahan
baku obat (prokursor)
c) Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang diekstraksi dan ekstrak tumbuhan
tersebut digunakan sebagai obat
Zuhud et al. (1994) menjelaskan bahwa tidak kurang dari 1260 spesies
tumbuhan yang sudah diketahui bermanfaat sebagai bahan baku obat-obatan.
Tumbuhan obat tersebut dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yakni:
1. Tumbuhan obat tradisional: spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya
memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan obat tradisional.
2. Tumbuhan obat modern: spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan
mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan
penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
3. Tumbuhan obat potensial: spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau
memiliki khasiat obat tetapi belum dapat dibuktikan secara medis.
Tumbuhan obat sejak zaman dahulu memainkan peranan penting dalam
menjaga kesehatan, mempertahankan stamina dan mengobati penyakit. Oleh
karena itu penggunaan tumbuhan obat sebagai bahan baku obat tradisional masih
berakar kuat dalam kehidupan masyarakat saat ini. Semula, untuk kelangsungan
hidupnya, manusia menggantungkan semua keperluan pada alam sekitarnya,
termasuk untuk menjaga kesehatan (Pramesthi 2008). Sejalan dengan sejarah
perkembangan manusia, pengetahuan tentang penyakit dan pengalaman tentang
pengobatan penyakit, semakin lama semakin banyak ragamnya, sesuai dengan
budaya, kemampuan bangsa, lingkungan, serta ragam flora dan fauna yang ada.
Pengolahan tumbuhan obat sebelum dikonsumsi, dapat berbagai macam
cara. Mulai dari daun atau bunga yang direbus, sari yang diperas dari daun dan
tapal yang dapat diperoleh dari akar atau kulit kayu atau juga bahan simplisia
14
yakni bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat yang belum mengalami
proses apapun kecuali dikeringkan (Depkes
RI 1980). Pengetahuan tentang
pemanfaatan tumbuhan obat ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan
pengalaman, yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu
kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini.
Rostiana et al. (1992) menambahkan bahwa di antara jenis-jenis simplisia
yang dominan penggunaannya, selama kurun waktu lima tahun (1985-1990)
terdapat enam spesies yang sudah memasyarakat pembudidayaannya yaitu
temulawak, jahe, lengkuas, kencur dan kunyit dari famili zingiberaceae serta ada
dari famili umbelliferae.
Setiap suku di Indonesia memiliki pengetahuan yang berbeda-beda tentang
pengobatan tradisional, termasuk pengetahuan mengenai tumbuhan obat. Hal ini
bisa dilihat dari perbedaan ramuan untuk mengobati penyakit yang sama. Semakin
beragam ramuan yang digunakan
untuk mengobati penyakit tertentu, maka
peluang menyembuhkan suatu penyakit pun menjadi semakin besar. Hal ini
karena suatu ramuan belum tentu cocok untuk semua orang.
Berdasarkan intensitas pemanfaatannya, Aliadi dan Roemantyo (1994)
membagi masyarakat pemanfaat tumbuhan obat menjadi tiga kelompok, yaitu:
a)
Kelompok masyarakat asli yang hanya menggunakan pengobatan tradisional,
umumnya tinggal di pedesaan atau daerah terpencil yang tidak memiliki
sarana dan prasarana kesehatan
b) Kelompok masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional dalam
skala keluarga, yang umumnya tinggal di daerah pedesaan dengan sarana dan
prasarana kesehatan terbatas
c)
Kelompok industriawan obat tradisional
2.4 Tri-Stimulus Amar Pro-Konservasi
Konsep Tri-Stimulus Amar Konservasi digunakan sebagai alternatif
pengelolaan lingkungan hidup yang efektif demi terwujudnya keberlanjutan
sumberdaya alam hayati dan kesejahteraan masyarakat (Zuhud 2007). Tiga
komponen stimulus yang mendorong terwujudnya konservasi yaitu stimulus
15
“alamiah”, “manfaat” dan “religius-rela” yang merupakan kristalisasi dari nilainilai: “kebenaran”, “kepentingan”, dan “kebaikan”.
Stimulus alamiah dapat diartikan sebagai nilai-nilai kebenaran dari alam,
kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter
bioekologinya. Stimulus manfaat mengandung nilai-nilai kepentingan untuk
manusia di dalamnya, seperti memperoleh manfaat ekonomi, manfaat obat,
manfaat biologis atau ekologis dan manfaat lainnya. Stimulus religius-rela
mengandung nilai-nilai kebaikan yang di dalamnya mengharap ganjaran dari Sang
Pencipta Alam, nilai spiritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan,
kearifan budaya/tradisional, kepuasan batin dan lainnya.
Tri-Stimulus Amar Konservasi pada awalnya diharapkan menimbulkan 3
sikap konservasi yakni: 1) Cognitive (persepsi, pengetahuan, pengalaman,
pandangan dan keyakinan), 2) Affective (emosi, senang, benci, dendam, sayang,
cinta, dan lain-lain), 3) Overt actions (kecenderungan bertindak). Ketiga sikap
konservasi tersebut, masing-masing diharapkan mengarah pada sikap yang positif
dan akhirnya menuju perilaku pro konservasi, hingga pada akhirnya konservasi
dapat terwujud di dunia nyata karena banyaknya partisipasi dan sikap pro
konservasi dari masyarakat ataupun instansi yang terkait dengan pengelolaan
lingkungan dan sumberdaya alam hayati.
Download