3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etnobotani Chandra (1990) diacu dalam Soekarman dan Riswan (1992) menyebutkan bahwa etnobotani berasal dari dua kata, yaitu etnos (berasal dari bahasa Yunani) yang berarti bangsa dan botany yang berarti tumbuh-tumbuhan. Etnobotani merupakan kajian tentang hubungan antara manusia dengan tumbuhan (Martin 1998). Lebih lanjut Waluyo dan Rifai (1992) mengemukakan tentang pengertian etnobotani, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan sumber daya nabati di lingkungan sekitarnya. Di Indonesia, etnobotani belum banyak dikenal meskipun dalam prakteknya sudah banyak dilakukan terutama oleh ahli botani dan antropologi. Dari sekian melimpahnya kekayaan alam Indonesia, baru sekitar 3-4% tumbuhan yang tumbuh di Indonesia yang sudah ditanam dan dibudidayakan, sedangkan sisanya masih tumbuh liar di hutan-hutan. Di sinilah pentingnya kajian etnobotani guna menggali pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan oleh penduduk setempat. Pengetahuan ini sangat penting dalam mengungkap kegunaan tumbuhan liar di hutan bagi manusia dalam usaha menanggulangi meningkatnya keperluan akan sandang, papan, dan pangan yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia (Soekarman & Riswan 1992). 2.2 Keanekaragaman Sumberdaya Alam Hayati Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati Benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) dan Benua Australia (Pulau Papua), serta sebaran wilayah peralihan Wallaceae (Pulau Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara) yang memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dengan tingkat kekhasan yang tinggi dengan tingkat endemisme yang tinggi pula. Keadaan negara Indonesia yang kaya akan jenis flora dan fauna tersebut, menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki keunikan dan keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga Indonesia menjadi salah satu negara mega biodiversity di dunia (Samedi & Fautina 2006). 4 Menurut Suhartrislakhadi (2007), keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan Indonesia meliputi lebih dari 27.500 jenis tumbuhan berbunga (10% dari seluruh jenis tumbuhan di dunia didominasi oleh hutan tropis basah). Kekayaan keanekaragaman hayati tersebut merupakan salah satu modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pemanfaatan tersebut harus sesuai dengan kemampuan (carrying capacity), karakteristik, dan fungsinya (Ismanto 2007). Mengingat pentingnya keanekaragaman hayati sebagai penyedia berbagai barang dan jasa, mulai dari pangan, energi, dan bahan produksi hingga sumber daya genetik bahan dasar pemuliaan tanaman komoditas serta obat dan selain berfungsi juga untuk mendukung sistem kehidupan, maka pemanfaatan keanekaragaman hayati harus dilakukan dengan benar (Noor 2007). Lebih lanjut Iskandar dan Karlina (2004) mengemukakan bahwa pemanfaatan sumberdaya hayati tanpa memperhatikan aspek kelestarian jenisnya, akan mengakibatkan musnahnya potensi tersebut. Menurut Retnoningsih (2006) diacu dalam Suhartrislakhadi (2007) dengan mengetahui potensi dan manfaatnya diharapkan penghargaan terhadap sumberdaya hayati dan keanekaragaman genetiknya semakin meningkat, sehingga tingkat kerusakan yang terjadi dapat ditekan. 2.3 Sistem Pengetahuan Tradisional Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Kartikawati 2004). Menurut Soekarman dan Riswan (1992), pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal secara turun-temurun. Pusat dari pengetahuan tradisional mengenai pemanfaatan tumbuhan ini umumnya dijumpai pada negara-negara berkembang, yang umumnya terletak pada kawasan tropika baik di Amerika, Afrika, dan Asia. Pada masyarakat lokal, sistem pengetahuan tentang tumbuhan merupakan pengetahuan dasar yang amat penting dalam mempertahankan kelangsungan 5 hidup mereka. Dalam kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, ketergantungan hidup masyarakat kepada sumber daya alam yang tersedia tercermin dalam berbagai bentuk tatanan adat istiadat yang kuat (Setyowati & Wardah 2007). Lebih lanjut Nopandry (2007) mengemukakan bahwa secara tradisional, masyarakat memiliki kearifan lokal yang merupakan potensi dan kekuatan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan mereka yang diiringi dengan eksistensi hutan selama beratus-ratus tahun yang merupakan suatu bukti peradaban dan potensi dalam pelestarian hutan. 2.4 Pemanfaatan Tumbuhan Berguna Indonesia memiliki hutan yang sangat luas, tercatat 143.970.000 hektar luasan hutan tersebar di seluruh pulau. Tidak heran jika hutan yang sangat luas itu, memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat tinggi (Sastrapradja et al. 1992). Selain diakui sebagai komunitas yang paling kaya, hutan tropika Indonesia diakui pula sebagai salah satu bagian dunia yang menyisakan kehidupan liar, yang dapat membangkitkan keajaiban dan kekaguman manusia. Dalam perkembangan hidupnya, manusia mengenal betul keadaan sekelilingnya dan memperhatikan segala sesuatu yang bisa dipakai untuk mempertahankan hidupnya. Salah satu benda hidup yang berada di sekitar manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Manusia benar-benar memperhatikan tumbuhtumbuhan karena merupakan salah satu benda yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan hidupnya, yaitu sebagai sumber makanan pokok (Kartiwa & Martowikrido 1992). Menurut Purwanto dan Waluyo (1992), tumbuhan berguna dikelompokkan berdasarkan pemanfaatannya antara lain tumbuhan sebagai bahan pangan, sandang, bangunan, obat-obatan, kosmetik, alat rumah tangga dan pertanian, talitemali, anyam-anyaman, pelengkap upacara adat dan kegiatan sosial, minuman, dan kesenian. 6 2.4.1 Tumbuhan obat Menurut Zuhud et al. (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokkan menjadi: (1) Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional; (2) Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis; dan (3) Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional. Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber atau bahan obat oleh masyarakat Indonesia merupakan warisan nenek moyang (Purwanto & Waluyo 1993). Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional yang telah digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia secara turun temurun. Keuntungan obat tradisional yang dirasakan langsung oleh masyarakat adalah kemudahan untuk memperolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan sendiri, murah dan dapat diramu sendiri di rumah (Zein 2005). Bagi masyarakat Indonesia khususnya yang tinggal di pedesaan (di sekitar hutan), pemanfaatan tumbuhan sebagai obat untuk kepentingan kesehatannya bukanlah merupakan hal yang baru tetapi sudah berlangsung cukup lama (Uji et al. 1992). 2.4.2 Tumbuhan hias Tumbuhan hias adalah tumbuhan yang memiliki nilai estetika keindahan. Tumbuhan hias merupakan komoditi holtikultura non-pangan yang digolongkan ke dalam holtikultur, dalam kehidupan sehari-hari dibudidayakan untuk hiasan dalam dan luar rumah (Arafah 2005). Secara umum, tanaman hias dikelompokkan menjadi dua, yaitu tanaman hias daun dan tanaman hias bunga. Tanaman hias daun yaitu jenis tanaman hias yang memiliki bentuk dan warna daun yang unik. Sementara daya tarik tanaman hias bunga terletak pada bentuk, warna, dan aroma bunganya (Ratnasari 2007). 7 2.4.3 Tumbuhan aromatik (minyak atsiri) Menurut Kick dan Outhmer (1954) diacu dalam Sastrohamidjojo (2004) minyak atsiri merupakan senyawa yang pada umumnya berwujud cairan, yang diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, daun, buah, biji maupun dari bunga dengan cara penyulingan dengan uap. Sedangkan menurut Sastrohamidjojo (2004) minyak atsiri atau minyak yang mudah menguap merupakan campuran dari senyawa yang berwujud cairan atau padatan yang memiliki komposisi maupun titik didih yang beragam. Indonesia merupakan penghasil sejumlah minyak atsiri seperti minyak sereh, minyak daun cengkeh, minyak kenanga, minyak akar wangi, minyak kayu cendana, minyak nilam, dan sebagainya. Di Indonesia terdapat tidak kurang dari 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri, tetapi yang dikenal di pasaran dunia hanya 12 jenis saja (Rusli et al. 1988). Menurut Heyne (1987), tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri diantaranya adalah dari famili Lauraceae, misalnya kulit kayu manis (Cinnamomum burmannii); Poaceae, misalnya akar wangi (Andropogon zizanoides); Santalaceae, misalnya cendana (Santalum album); Zingiberaceae, misalnya jahe (Zingiber officinale); Annonaceae, misalnya kenanga (Canangium odoratum) dan sebagainya. 2.4.4 Tumbuhan penghasil pangan Menurut Depdikbud (1988), tumbuhan pangan adalah segala sesuatu yang tumbuh, berakar, berdaun, berbatang, dan dapat dikonsumsi oleh manusia (apabila dikonsumsi oleh hewan disebut pakan), contohnya yaitu buah-buahan, kacangkacangan, sayuran, dan tumbuhan yang mengandung karbohidrat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kartikawati (2004), sumber makanan pokok dan sumber karbohidrat masyarakat Dayak Meratus selain padi adalah sagu aren (Arenga pinnata), gadung (Dioscorea hispida), ubi kayu (Manihot utillisima), talas/kamuna (Colocasia esculenta), ubi jalar/lelayap (Ipomoea batatas), lumbu (Colocasia gigantea), jagung (Zea mays), dan jawau/gumbili (Dioscorea esculenta). 8 2.4.5 Tumbuhan penghasil pakan ternak Menurut Manetje dan Jones (1992) diacu dalam Kartikawati (2004), pakan ternak adalah tanaman konsentrasi rendah dan mudah dicerna yang merupakan penghasil pakan bagi satwa herbivora. Pada umumnya tumbuhan penghasil pakan ternak merupakan tumbuhan yang memiliki serat yang cukup tinggi (Dwanasuci 2006). 2.4.6 Tumbuhan penghasil pestisida nabati Menurut Komar (1987) diacu dalam WALHI (1988), pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Beranekaragam jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati, yaitu tembakau, kenikir, pandan, kemangi, cabe rawit, kunyit, bawang putih, gadung, sereh dan masih banyak lagi yang dapat dipakai sebagai bahan-bahan pembuat pestisida nabati/alami. 2.4.7 Tumbuhan penghasil bahan pewarna Menurut Lemmens dan Soetjipto (1999) diacu dalam Inama (2008), pewarna nabati adalah pewarna yang berasal dari tumbuhan. Sebagian besar warna dapat diperoleh dari tumbuhan seperti warna kuning, merah, biru, cokelat, dan warna hitam, warna hijau biasanya diperoleh dari perpaduan pewarna nabati yang berwarna biru dan kuning. Di Indonesia terdapat beberapa jenis tumbuhan yang menghasilkan zat pewarna. Beberapa diantaranya adalah zat warna kurkumin pada tanaman tenuntenunan, terutama kunyit (Curcuma domestica) dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza) , biji Indigofera arrecta, daun suji (Pleomele angustifolia), daun salam (Syzygium polyanthum) , Bixa orellana, Gordonia exelsa dan Bischofia javanica. Tumbuh-tumbuhan tersebut banyak digunakan oleh masyarakat secara tradisional, baik untuk kerajinan tangan maupun dalam pembuatan makanan (Rostiana et al. 1992). Lebih lanjut Heyne (1987) mengemukakan, masyarakat Indonesia telah banyak menggunakan tumbuhan sebagai bahan pewarna nabati dan sudah lama mengenal pewarna alami tumbuhan untuk makanan, seperti daun suji (Pleomele 9 angustifolia) untuk warna hijau, rimpang kunyit (Curcuma domestica) untuk warna kuning, dan kulit kayu soga (Peltophorum pterocarpus) sebagai bahan pewarna cokelat untuk pewarna batik. 2.4.8 Tumbuhan penghasil bahan bangunan Pohon-pohon di hutan merupakan sumber bahan bangunan yang dapat digunakan secara berkesinambungan. Pemanfaatan kayu oleh masyarakat Dayak Meratus biasanya dilakukan apabila ingin membuat rumah. Biasanya pemilihan jenis-jenis kayu tersebut berdasarkan pertimbangan kekuatan kayu dan ketahanan terhadap rayap (Kartikawati 2004). Berdasarkan penelitian Purwanto dan Waluyo (1992) terhadap Suku Dani dapat diketahui bahwa masyarakat Dani di pedalaman Irian Jaya pada umumnya telah mengenal berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. 2.4.9 Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan adalah tumbuhan yang biasa digunakan untuk membuat tali, anyaman maupun kerajinan. Beberapa tumbuhan yang sering digunakan oleh masyarakat untuk membuat anyaman adalah jenis rotan dan bambu. Menurut Isdijoso (1992), tumbuhan yang termasuk dalam kelompok sumber bahan sandang, tali temali dan anyaman antara lain kapas (Gossypium hirsutum), kenaf (Hibiscus cannabinus), rosella (Hibiscus sabdariffa), yute (Corchorus capsularis dan C. olitorius), rami (Boehmeria nivea), abaca (Musa textilis), dan agave/sisal (Agave sisalana dan A. cantula). 2.4.10 Tumbuhan penghasil kayu bakar Pada dasarnya semua tumbuhan berkayu atau bentuk pohon dapat digunakan sebagai kayu bakar (Purwanto & Waluyo 1992). Menurut Inama (2008) kayu bakar merupakan sumberdaya hayati yang sangat penting bagi masyarakat yang tidak memiliki sumber energi lain seperti listrik, minyak tanah atau gas. 10 2.4.11 Tumbuhan untuk ritual adat dan keagamaan Diantara pengetahuan tentang tumbuhan yang dimiliki oleh masyarakat, ada yang bersifat spiritual, magis, dan ritual. Demikian pula pemanfaatannya, salah satunya yaitu pemanfaatan di bidang upacara adat. Indonesia memiliki kurang lebih 350 etnis budaya yang memiliki pengetahuan etnobotani dalam pemanfaatan maupun penggunaannya di masing-masing daerah khususnya yang dipakai untuk upacara adat. Dalam upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan daur hidup, tumbuhan banyak digunakan untuk keperluan tersebut (Kartiwa & Martowikrido 1992). Salah satu contoh pemanfaatan tumbuhan untuk upacara tradisional yaitu upacara tradisional pada masyarakat Suku Banjar. Upacara tradisional yang masih dilaksanakan oleh Suku Banjar adalah upacara “manaradak”, upacara “manuping”, upacara “manyanggar danau”, upacara “manyanggar banua”, upacara “maarak kitab bukhari”, upacara “bamuludan”, upacara “batajak” rumah, upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam, dan upacara yang berkaitan dengan daur hidup. Misalnya untuk hiasan upacara digunakan tebu kuning, tebu (betung) merah, mayang bungkus, mayang urai, beringin kurung, anyaman janur kuning, dan lain-lain. Tumbuhan bagi orang Banjar tidak hanya digunakan untuk upacara adat, tetapi juga digunakan untuk kekuatan ilmu hitam dan penangkis ilmu hitam itu sendiri. Dengan demikian upacara itu sendiri sebenarnya untuk mendatangkan kesejahteraan bagi pelaksananya baik kerabat maupun masyarakat dan kampungnya (Asnawi 1992).