bab ii tinjauan pustaka

advertisement
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Interaksi Masyarakat dengan Tumbuhan
Interaksi adalah suatu bentuk hubungan timbal balik. Bentuk interaksi dapat
berupa interaksi positif maupun negatif. Pemanfaatan sumberdaya hutan oleh
masyarakat merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan untuk
menjamin kelestarian diperlukan upaya untuk pengelolaan, sehingga akan muncul
interaksi antara masyarakat dengan hutan (Ardhita et al. 2012). Bentuk interaksi
masyarakat dengan lingkungan dapat pula dalam skala yanag lebih kecil misalnya
dalam pemanfaatan tumbuhan yang ada di sekitar mereka. Bentuk interaksi
masyarakat dan tumbuhan dapat di kaji dan diperdalam dengan dasar etnobotani.
Jika dilihat dari asal katanya etnobotani berasal dari bahasa Yunani,ethos
yang berarti bangsa dan botany yang berarti tumbuhan, sehingga etnobotani dapat
diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hubungan langsung antara
manusia dengan tumbuhan dalam pemanfaatan secara tradisional. Sedangkan
menurut Walujo dan Rifai (1992) etnobotani adalah ilmu yang mendalami
hubungan budaya suatu masyarakat dengan komunitas alam hayati disekitarnya
(khususnya tumbuhan).
Etnobotani merupakan ilmu yang kompleks karena tidak hanya melibatkan
satu disiplin ilmu saja. Banyak disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk menunjang
pelaksanaan dan pendekatan etnobotani, misalnya taksonomi, ekologi, kehutanan,
sejarah, antropologi dan ilmu lainnya (Riswan & Soekarman 1992).
Pengertian
mengenai
etnobotani
semakin
berkembang
seiring
perkembangan jaman. Menurut Martin (1998), etnobotani adalah segala bentuk
pengetahuan (mengenai tumbuhan) yang menggambarkan hubungan antara
masyarakat lokal (etnis) dengan sumberdaya alam.
Akhir-akhir ini etnobotani mulai banyak digali oleh para ahli. Hal ini
banyak dilakukan karena mulai punahnya beberapa spesies tumbuhan berguna
yang belum sempat diteliti. Dengan menggunakan etnobotani diharapkan dapat
menggali potensi tumbuhan berguna dan pola pemanfaatannya. Dengan
diketahuinya pola pemanfaatan tradisonal terhadap tumbuhan oleh masyarakat
4
diharapkan dapat mengimbangi perkembangan teknologi yang pesat (Riswan &
Soekarman 1992).
Bentuk pemanfaatan tumbuhan (etnobotani) di setiap daerah di Indonesia
sangat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan, potensi tumbuhan dan
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Misalnya, pada masyarakat
Bali bentuk pemanfaatan etnobotani lebih berhubungan dengan acara ritual dan
keagamaan. Menurt Purwita (1990), tumbuhan yang digunakan dalam upacara
ngaben tertera dalam pustaka lontar ajaran agama Hindu seperti Empulutuk,
Ngaben, Basundari, Purwayatmatatwa. Tumbuhan tersebut merupakan simbol,
sesaji, hidangan dan bekal selama jiwa manusia kembali keasal-usulnya. Hampir
semua bagian tumbuhan dapat dimanfaatkan, dapat berupa umbi, batang, daun,
bunga, buah, biji dan bagian lainnya. Sebagian besar tumbuhan yang digunakan
dalam upacara ngaben adalah tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri yang
dapat menghasilkan tumbuhan aromatik, misalnya cendana (Santalum album),
kenanga (Cananga odorata) dan beberapa jenis lainnya.
Pemanfaatan tumbuhan dalam bentuk lain adalah pemanfaatan tumbuhan
pada pada tradisi “nyekar” di daerah Yogyakarta. Tumbuhan yang dimanfaatkan
dalam tradisi nyekar adalah jenis-jenis tumbuhan yang memiliki bau wangi.
Misalnya mawar, kenanga, kantil, melati dan telasih. Jenis-jenis tumbuhan
tersebut biasanya memiliki manfaat yang beragam, tidak hanya untuk satu
pemanfaatan (Anggana 2011).
Beragamnya bentuk pemanfaatan tumbuhan dari berbagai daerah dapat
dijadikan kekayaan kebudayaan Indonesia. Selain perbedaan dalam pola
pemanfaatan tumbuhan, juga memungkinkan masyarakat dapat memanfaatkan
tumbuhan yang sama dalam manfaat yang berbeda maupun tumbuhan berbeda
dengan manfaat yang sama.
2.2
Pemanfaatan Tumbuhan
Sebagian masyarakat Indonesia tinggal disekitar hutan untuk dapat
memanfaatkan hutan sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidup. Banyak jenis
tumbuhan liar yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik untuk
bahan pangan, bangunan, obat-obatan maupun manfaat lain. Tetapi menurut
5
Soekarman dan Riswan (1992) baru sekitar 3-4% tumbuhan bermanfaat yang ada
di Indonesia sudah dibudidayakan, selain itu masih diambil dari alam khususnya
hutan. Masyarakat sekitar kawasan hutan juga hanya memenfaatkan sekitar 17%
spesies yang ada di hutan.
Tumbuhan dapat dimanfaatkan dalam banyak hal, menurut Siswoyo et al.
(2004), klasifikasi kelompok kegunaan tumbuhan di masyarakat meliputi
tumbuhan obat, tumbuhan aromatik, tumbuhan pangan, tumbuhan penghasil
warna, tumbuhan penghasil pestisida nabati, tumbuhan hias, tumbuhan penghasil
pakan ternak, tumbuhan untuk keperluan ritual dan keagamaan, tumbuhan
penghasil tali, anyaman, kerajinan, tumbuhan penghasil kayu bakar, tumbuhan
penghasil minuman, dan tumbuhan penghasil bahan bangunan. Selain beragam
pemanfaatnnya setiap tumbuhan juga memiliki bagian-bagian yang berbeda dalam
pemanfaatannya. Misalnya saja bagian yang dimanfaatkan adalah buah, daun,
umbi, akar, kulit, bunga, biji, getah, batang, dsb.
2.2.1 Tumbuhan obat
Bagi masyarakat Indonesia yang khususnya bertempat tinggal di daerah
pedesaan
di
sekitar
hutan,
pemanfaatan
tumbuhan
untuk
kepentingan
kesehatannya merupakan salah satu bentuk kearifan yang sudah turun-menurun
sehingga bukan merupakan sesuatu yang baru. Namun dewasa ini masyarakat
yang tinggal di kota juga mulai kembali menggunakan tumbuhan sebagai
tumbuhan obat.
Tumbuhan obat tersebut dikelompokan kedalam tiga kelompok (Zuhud et al
1994) yaitu :
1. Tumbuhan obat tradisional: spesies tumbuhan yang diketahui atau
dipercaya memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan obat
tradisional.
2. Tumbuhan obat moderen: spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah
dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat
dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
3. Tumbuhan obat potensial: spesies tumbuhan yang diduga mengandung
atau memiliki khasiat obat tetapi belum dapat dibuktikan secara medis.
6
2.2.2 Tumbuhan pangan
Indonesia memiliki kekayaan tumbuhan pangan yang tersebar luas, namun
ada pula beberapa jenis tumbuhan yang menjadi khas suatu daerah, karena
keberadaannya jarang dijumpai di daerah lain. Hal ini dikarenakan perbedaan
iklim dan kondisi alam di beberapa daerah di Indonesia. Perbedeaan spesies
tumbuhan pangan yang ada di setiap daerah juga menjadikan beragamnya pola
makan dan masakan khas setiap daerah. Selain digunakan sebagai tumbuhan
penghasil pangan, biasanya tumbuhan tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk
penggunaan lain. Riswan dan Soekarman (1992) menyebutkan bahwa tumbuhan
penghasil pangan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Komoditas utama: padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi
jalar dan ubi kayu.
2. Komoditas potensial: sorgum, gude, kacang tunggak, wijen, talas, ubi
kelapa dan sagu.
3. Komoditas introduksi: terigu, jewawut, kara, ganyong.
Dewasa ini mulai banyak dikembangkan tumbuhan penghasil pangan
dengan kandungan karbohidrat tinggi sehingga dapat menggantikan beras sebagai
bahan makanan pokok utama. Karena keragaman potensi tumbuhan penghasil
pangan di Indonesia juga dapat menambah kekayaan budaya Indonesia. Contoh
tumbuhan yang mulai dikembangkan sebagai tumbuhan penghasil pangan adalah
sukun
(Artocarpus
artilis).
Kandungan
karbohidrat
pada
sukun
dapat
dimanfaatkan sebagai tumbuhan penghasil pangan selain beras.
2.2.3
Tumbuhan penghasil warna
Tumbuhan penghasil warna atau tumbuhan pewarna adalah tumbuhan
yang dapat memberikan pengaruh warna terhadap benda baik berupa pewarna
makanan, minuman, atau benda lainnya baik yang sudah diolah maupun belum
diolah. Pewarna yang berasal dari tumbuhan dapat pula disebut sebagai pewarna
nabati.
Sebagian besar pewarna dapat dihasilkan dari tumbuhan. Misalnya warna
dasar yaitu kuning, merah, biru, hitam dan cokelat maupun warna hijau yang
diperoleh dari perpaduan warna biru dan kuning. Contoh dari pewarna nabati
adalah daun suji (Pleomele angustifolia), daun salam (Syzygium polyantum), Bixa
7
orellana, Gordonia excela. Masyarakat pada umumnya membuat warna hijau
alami secara tradisional dengan menggunakan daun suji (Pleomele angustifolia)
atau daun pandan (Pandanus tectorius) (Rostiana et al. 1992). Lebih lanjut Heyne
(1987) mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia telah banyak menggunakan
tumbuhan sebagai bahan pewarna nabati dan sudah lama pula mereka mengenal
bahan pewarna alami dari tumbuhan untuk makanan. Misalnya saja warna hijau
dari daun suji (Pleomele angustifolia), warna merah pada agar-agar menggunakan
daun Iresine herbstii, rimpang kunyit (Curcuma domestica) untuk pewarna
kuning, dan kulit kayu soga (Peltophorum pterocarpum) sebagai bahan pewarna
cokelat pada batik.
2.2.4 Tumbuhan penghasil pestisida nabati
Menurut Kardinan (1999) pestisida adalah suatu zat yang bersifat racun,
menghambat pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembanganbiakan,
kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai
pemikat, penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT (Organisme
Perusak Tanaman). Pestisida nabati secra umum dapat diartikan sebagai suatu
pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan.
Pestisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuab dan pengetahuan
yang terbatas, oleh karena itu pestisida nabati akan mudah terurai di alam
sehingga tidak akan mencemari lingkungan. Selanjutnya menurut Kardinan (1999)
pestisida nabati bersifat “pukul dan lari” yaitu apabila digunakan akan membunuh
hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat
menghilang di alam. Penggunaan pestisida nabati nabati diharapkan dapat
mengurangi intensitas penggunaan pestisida sintetis yang beresiko tinggi terhadap
kerusakan lingkungan.
Menurut Rachmat dan Wahyono (2007) efektivitas pengaruh pestisida
nabati tergantung dari bahan yang dipakai, karena satu jenis tumbuhan yang sama
dapat memiliki resistensi yang berbeda terhadap pestisida nabati, hal ini
dikarenakan perbedaan sifat bioaktif atau sifat racunnya yang tergantung dari
kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tanaman tersebut.
Secara sederhana pembuatan pestisida nabati dilakukan melalui beberapa
proses penanganan bahan tumbuhan secara baik agar bahan tersebut tidak
8
kehilangan aktivitas hayatinya. Kehilangan aktivitas hayati dapat terjadi pada
tahap pengkoleksian, penyimpanan dan persiapan bahan atau material tumbuhan
(Rachmat & Wahyono 2007).
Menurut Rachmat dan Wahyono (2007) beberapa jenis yang dapat
digunakan untuk bahan pestisida nabati antara lain pacar cina (Aglaia adorata),
bengkuang (Pachyrrhyzus erosus), selasih (Ocimum basilicum), mimba
(Azadirachta indica), cengkeh (Syzygium aromaticum) dan beberapa jenis lainnya.
2.2.5 Tumbuhan hias
Tumbuhan hias adalah tumbuhan yang memiliki nilai estetika. Keindahan
visual dan tekstur tanaman dapat mempengaruhi keindahan tanaman (Hasim
2009). Berdasarkan pada daya tariknya tumbuhan hias dapat dibagi menjadi
tumbuhan hias daun dan bunga. Selain itu warna dari tanaman dapat memiliki
makna masing-masing. Misalnya saja warna gelap memberikan kesan teduh
sedangkan warna cerah memberikan kesan riang dan ceria. Komposisi warna yang
senada memberikan kesan ketenangan, sedangkan susunan warna kontras
memberikan kesan ceria (Hasim 2009).
Dalam kehidupan sehari-hari perbanyakan ataupun budidaya tanaman hias
dapat dilakukan di dalam maupun diluar rumah. Di beberapa daerah tumbuhan
hias dapat menjadi komoditas utama penghasilan masyarakatnya.
2.2.6 Tumbuhan penghasil pakan ternak
Tumbuhan hijau merupakan pakan utama bagi satwa herbivora. Sebagian
besar tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan satwa adalah jenis tumbuhan
bawah dan perdu. Jenis tumbuhan bawah atau semak yang banyak digunakan
sebagai pakan antara lain jenis rumput gajah dan alang-alang (Ardiansyah 2008).
Jenis – jenis tersebut biasanya dapat tumbuh secara alami dengan mudah.
2.2.7 Tumbuhan keperluan ritual adat dan keagamaan
Kartiwa
dan
Martowikidro
(1992)
menyebutkan
bahwa
diantara
pengetahuan tentang tumbuhan yang dimiliki oleh masyarakat, ada yang bersifat
spiritual, magis, dan ritual. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya spesies tumbuhan
yang digunakan dalam upacara adat. Perbedaan jenis spesies yang digunakan oleh
9
masyarakat dalam keperluan adat disebabkan oleh perbedaan pengetahuan
masing-masing masyarakat di berbagai etnis di Indonesia.
Asnawi (1992), upacara adat adalah upacara yang dilakukan secara turuntemurun, yang tidak diketahui siapa yang melaksanakan pertama kalinya.
Meskipun bentuknya bermacam-macam tetap berkaitan dengan kepercayaan dan
religi. Menurut Kartiwa dan Martowikidro (1992) di masyarakat ada kepercayaan
bahwa tumbuhan yang dianggap mengandung khasiat magis dapat pula mengobati
penyakit yang disebabkan gangguan magis pula. Hal ini menyebabkan tumbuhan
atau bagian tumbuhan yang dianggap dapat mengusir roh jahat menduduki
peringkat penting dalam ritual.
Tata cara adat yang masih ada di daerah pedesaan khususnya di daerah Jawa
antara lain ruwahan, muludan, nyadran, suran, grebeg sukuh, bakdan, selikuran
dan peringatan pada orang meninggal. Upacara tradisional daur hidup yang masih
dilaksanakan adalah tingkepan, brokohan, supitan atau tetesan, temanten,
kematian dan upacara lainnya hanya terdapat di masyarakat sporadik saja
(Purnomo 1992).
2.2.8 Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan
Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan merupakan tumbuhan
yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan tali, anyaman dan kerajinan.
Indonesia memiliki banyak potensi tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan
kerajinan yang dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan barang-barang
yang dapat menjadi komoditas ekspor Indonesia. Menurut Anggana (2011) jenis
tumbuhan yang banyak digunakan sebagai bahan kerajinan adalah tumbuhan yang
menghasilkan serat dengan kualitas yang baik.
2.2.9 Tumbuhan penghasil kayu bakar
Spesies tumbuhan yang baik digunakan untuk kayu bakar adalah spesies
yang mudah dimakan api (mudah terbakar), mudah kering, dan mudah diperoleh
(Uluk et al. 2001). Kayu bakar yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
hutan biasanya adalah “rencek” yang berasal dari potongan kayu, ranting yang
jatuh ke permukaan tanah (Anggana 2011).
10
2.2.10 Tumbuhan penghasil bahan bangunan
Tumbuhan penghasil bahan bangunan oleh masyarakat tradisional biasanya
digunakan untuk membangun rumah sebagai sarana berkumpul bahkan sebagai
sarana beribadah. Menurut Uluk et al. (2001) menyebutkan bahwa kayu yang
digunakan sebagai bahan bangunan dipilih berdasar pada segi kekuatan, tahan
lama, serat halus dan sebagainya. Spesies yang umum digunakan sebagai bahan
bangunan adalah jati (Tectona grandis), sengon (Paraseriantes falcataria), ulin
(Eusideroxylon zwageri) dan beberapa spesies lainnya.
2.3
Taman Hutan Raya (TAHURA)
Menurut Undang – undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan ekosistemnya, Taman Hutan Raya
(TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan
atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang
dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Kriteria penunjukan suatu kawasan TAHURA berdasar pada PP No 68
Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam adalah
sebagai berikut:
1. Memiliki ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang
ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah;
2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;
3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi
tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.107/Kpts-II/2003
Tentang
Penyelenggaraan Tugas dan Pembantuan Pengelolaan Taman Hutan Raya Oleh
Gubernur atau Bupati/Walikota menyebutkan bahwa tugas pembantuan
pengelolaan TAHURA diberikan kepada:
1. Gubernur sepanjang wilayah Taman Hutan Raya yang bersangkutan berada
pada lintas Kabupaten/Kota;
2. Bupati sepanjang wilayah Taman Hutan Raya yang bersangkutan berada di
wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
11
Tugas pembantuan yang dimaksud adalah:
1. Tugas pembantuan pengelolaan Taman Hutan Raya meliputi: pembangunan,
pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan Taman Hutan Raya.
2. Tugas pembantuan pengelolaan Taman Hutan Raya sebagaimana dimaksud
yang berkaitan dengan teknis, dikoordinasikan dengan Kepala Balai
Konservasi Sumberdaya Alam setempat.
TAHURA setidaknya memuat tujuan pengelolaan dan garis kegiatan yang
menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Upaya
pengawetan kawasa TAHURA dilaksanakan dalam bentuk perlindungan dan
pengamanan, inventarisasi potensi kawasan serta penelitian dan pengembangan
menunjang pengelolaan.
Download