jenis-jenis tumbuhan obat di kawasan hutan gunung sinabung

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi Tumbuhan Obat-Obatan di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam Megadiversitas, yaitu
merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman yang tinggi (Sadjudin, 2000).
Depkes R.I (2007), menambahkan bahwa Indonesia merupakan pusat keragaman
hayati dan menduduki urutan terkaya kedua di dunia setelah Brazilia. Diperkirakan
sekitar 25% aneka jenis di dunia ini berada di Indonesia, yang dari setiap jenis
tersebut memuat ribuan plasma nuftah dalam kombinasi yang unik sehingga terdapat
aneka gen dalam individu (Arief, 2001).
Indonesia juga Negara agraris yang memiliki areal pertanian dan perkebunan
yang luas serta pekarangan yang dapat ditanami tumbuhan obat. Hutan Indonesia yang
begitu luas banyak menyimpan kekayaan alam yang demikian besar, diantaranya
berpeluang sebagai sumber obat tradisional. Hingga saat ini di Indonesia terdapat
1.036 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri, terdiri dari 129
Industri Obat Tradisional (IOT) dan 907 Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT).
Banyaknya lembaga penelitian obat-obatan bahan alam merupakan kekuatan yang
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan obat tradisional (Depkes, R.I., 2007).
Indonesia adalah salah satu negara yang masih mempunyai hutan tropis
terbesar di dunia. Flora indonesia sangat kaya dengan berbagai jenis dan
keragamannya, sebagai gambaran kekayaan dan keragaman flora Indonesia
memperkirakan bahwa jumlah jenis tanaman berbunga antara 25.000-30.000 jenis
(Sikumbang, 2008).
Heyne (1987), menyatakan bahwa Indonesia memiliki tidak
kurang dari 1000 jenis tumbuhan obat yang tergabung dalam ± 150 jenis famili.
Syafrinal (1996), melaporkan bahwa tumbuhan obat yang ditemukan di Cagar Alam
Sibolangit, Sumatera Utara adalah 62 jenis yang tergolong spermatophyta, 5 jenis dari
Universitas Sumatera Utara
pteridophyta, yang termasuk dalam 35 famili. Menurut Ardan (1996), di beberapa
Desa Sumatera Barat ditemukan 103 jenis tumbuhan obat yang termasuk dalam 43
famili.
2.2 Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Bahan Obat Oleh Masyarakat
Indonesia memiliki etnis sangat beragam, yaitu terdiri atas 300 kelompok etnis (Salim
dalam Komphalindo, 1994). Menurut Tamin & Arbain (1995), setiap kelompok
masyarakat ini memanfaatkan tumbuhan untuk kehidupan mereka, seperti untuk obatobatan, peralatan rumah tangga, bermacam-macam anyaman/tali-temali, bahan
pelengkap upacara adat, disamping yang digunakan untuk kebutuhan sandang, pangan
serta papan. Bentuk susunan ramuan, komposisi dan proses pembuatan/pengolahan
dilakukan secara tradisional menurut cara suku/kelompoknya masing-masing yang
mereka terima secara turun-temurun.
Tamin & Arbain (1995) menyatakan istilah etnobotani dikemukakan pertama
kalinya oleh Harshberger pada tahun 1895 dan didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa
primitif. Secara terminologi, etnobotani adalah studi yang mempelajari tentang
hubungan antara tumbuhan dengan manusia. Dua bagian besar dari etnobotani ini
adalah terbagi dalam 2 kata yaitu ” etno”, studi tentang manusia dan ”botani”, studi
tentang tumbuhan. Jadi, etnobotani adalah studi yang menganalisis hasil dari
manipulasi materil tanaman asli dengan kontek budaya dalam hal penggunaan
tanaman atau dinyatakan bahwa etnobotani melihat dan mengetahui bagaimana
masyarakyat memandang dunia tumbuhan, masyarakyat bekerjasama dengan
tumbuhan, atau memasukkan tumbuhan ke alam budaya dan agama mereka. Menurut
Balick & Cox (1996), masyarakyat yang dimaksudkan adalah penduduk asli yaitu
orang-orang yang mengikuti tradisi atau kehidupannya non industrial pada suatu
daerah dan kemudian diturunkan pada generasinya. Martin (1995), menambahkan
etnobotani adalah bagian dari etnoekologi yang memprioritaskan tumbuhan dalam
bidang kajiannya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Tarigan (1990), kelompok etnik tradisional di Indonesia mempunyai
ciri-ciri dan jati diri budaya yang sudah jelas terdefinisi, sehingga diduga
kemungkinan besar persepsi dan konsepsi masyarakat terhadap sumberdaya nabati di
lingkungannya berbeda, termasuk dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai obat
tradisional. Menurut catatan World Health Organization (WHO), diperkirakan hampir
80% dari
umat manusia terutama di negara-negara sedang berkembang masih
menggantungkan dirinya pada tumbuh-tumbuhan (ekstrak dan bahan aktif biologi)
sebagai bahan obat dan memelihara kesehatannya (Fansworth et al., 1985 dalam
Chairul, 2003). Berbagai produk biosprospektif seperti obat tradisional (herbal
medicine, homeopathy, aromatheraphy), kosmetika, makanan/minuman tambahan
(food suplement) telah beredar di masyarakat mulai dari pedagang kaki lima sampai di
supermarket (Heyney, 1987).
Ramuan tradisional adalah media pengobatan alamiah dengan memakai
tumbuhan sebagai bahan dasarnya. Media ini mungkin merupakan media pengobatan
tertua. Sampai saat ini, ilmu pengobatan ini tetap mengacu pada tradisi kuno. Itulah
sebabnya obat-obatan atau ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan tanaman disebut
sebagai obat tradisional. Disebut obat karena ramuan tradisional tersebut dibuat dari
jenis tumbuhan dan tanaman dan diyakini dapat menyembuhkan atau mengobati suatu
penyakit (Dianawati et al.,2001).
Selain digunakan sebagai bahan ramuan obat-obatan tradisional, tumbuhtumbuhan juga sudah sejak lama digunakan sebagai bahan baku obat-obatan modern.
Pada penyakit-penyakit tertentu, obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ini lebih
ampuh dari obat yang berasal dari obat yang berasal dari zat-zat kimia, misalnya
digitalis dari tumbuhan Digital purpurea dan Digital lanata yang ditemukan oleh
Whitering pada tahun 1785 sebagai obat jantung, dan masih banyak lagi tumbuhan
yang digunakan sebagai bahan obat modern seperti Altropa belladonna. Epherdra
vulgaris, Rauwolf serpentine dan sebagainya (ISFI, 1993).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern yang semakin pesat dan
canggih ternyata tidak mampu bergeser sepenuhnya dan mengesampingkan begitu
saja keberadaan dan peranan obat-obatan tradisional, tetapi saling melengkapi.
Universitas Sumatera Utara
Diperkirakan di Indonesia terdapat 100.000 pengobatan tradisional yang tersebar di
65.000 desa, seperti yang dilakukan oleh dukun, sinshe, tabib dan sebagainya. Hal ini
didasari kenyataan bahwa pengobatan tradisional dalam keadaan tertentu cukup efektif
dan efisien untuk menangani berbagai macam penyakit dan derajat kesembuhannya
cukup memuaskan bahkan kadang-kadang menakjubkan (Manuputty, 1990).
Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memanfaatkan
tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah
kesehatan yang dihadapinya. Pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman ini
merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan
keterampilan secara turun-temurun telah di wariskan oleh generasi berikutnya,
termasuk saat ini (Hutchinson, 2000).
Menurut Mumpuni (2004), seperti suku yang ada di Indonesia lainnya, suku
Karo termasuk suku yang telah lama mengenal sistem pengobatan tradisional. Obatobatan tradisional Karo beranekaragam. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakyat
Karo mengenal berbagai jenis penyakit dan cara-cara pengobatannya. Selanjutnya
menurut Sardjono (1989) dalam Suryanto et al., (2006), Penggunaan tumbuhan obat
di Indonesia masih berdasarkan kebiasaan yang turun-temurun belum didasari
penelitian farmakologi dan klinik.
Menurut Mumpuni (2004), masyarakat karo di tempat yang berbeda
menggunakan
tumbuhan
obat
yang
berbeda,
setiap
kelompok
masyarakat
memanfaatkan tumbuhan untuk kehidupan mereka dengan cara yang berbeda satu
dengan yang lain.
2.3 Kandungan Tumbuhan Obat
Kandungan kimia pada tumbuhan berdasarkan cara terbentuk dan fungsinya dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) metabolit primer, merupakan
senyawa organik yang ikut terlibat dalam proses metabolisme makhluk hidup, seperti
asam amino dan protein, karbohidrat, asam lemak, lipid dan asam organik lainnya, 2)
Universitas Sumatera Utara
metabolit sekunder, merupakan hasil sampingan proses metabolisme, seperti alkaloid,
steroida/terpenoida, flavanoida, fenolik, kumarin, kuinon, lignin, dan glikosida.
Fungsi metabolit sekunder ini sangat bervariasi antara lain sebagai pelindung dan
pertahanan diri terhadap serangan dan gangguan yang ada disekitarnya, dan sebagai
antibiotika. Alkaloid sebagai metabolit sekunder mempunyai peranan penting dalam
kehidupan makhluk dan hasil detoksifikasi dari timbunan metabolit yang beracun
(Tamin & Arbain, 1995). Lewis (1977) menambahkan bahwa alkaloid terdistribusi di
sebagian besar tanaman tingkat tinggi, misalnya dari famili Apocinaceae,
Berberidaceae, Fabaceae, Papaveraceae, Ranunculaceae, Rubiaceae, dan Solanaceae,
sedangkan Lamiaceae, Rosaceae, dan Gymnospermae kebanyakan tidak mengandung
alkaloid.
Setiap jenis yang ada di darat maupun yang ada di lautan menghasilkan
beraneka ragam bahan-bahan kimia (Chemical prosfecting). Jadi setiap jenis memiliki
nilai-nilai kimiawi yang dapat diartikan bahwa keaneragaman hayati merupakan
laboratorium alam yang tersibuk di dunia, dimana setiap detiknya menghasilkan satu
atau lebih bahan kimia dari berbagai tipe dan jenis yang berguna untuk menunjang
kelangsungan hidup organisme tersebut. Tipe dan jenis bahan kimia yang dihasilkan
untuk setiap jenis tidaklah sama tergantung pada jenis dari organisme atau
kekerabatannya (taksa). Jadi setiap tumbuhan menghasilkan bahan kimia alam yang
spesifik tergantung dari taksanya dan setiap bahan kimia tersebut memiliki fungsi
tertentu
dalam
metabolit
organisme
tersebut,
beberapa
diantaranya
dapat
mempengaruhi fungsi fisiolik manusia dan organisme lainnya, inilah yang
disebut dengan senyawa-senyawa aktif biologi (Biologically active compaunds)
(Chairul, 2003).
Asam lemak dan minyak essensial, gum dan resin, steroid adalah produk yang
ditemukan dalam obat modern. Minyak dan gum biasanya digunakan sebagai
pengemulsi dalam pembuatan obat. Minyak volatile dan resin sering digunakan
sebagai penetrasi jaringan dan sebagai antiseptik. Alkaloid dan steroid merupakan
kelompok terbesar derivat senyawa kimia yang ada pada tumbuhan obat. Steroid
adalah senyawa kimia kompleks yang memilki empat cincin karbon yang biasanya
disebut dengan steroid backbone. Alkaloid adalah kelompok heterosiklik kimia yang
Universitas Sumatera Utara
berbentuk gumpalan karena mengandung nitrogen. Biasanya alkaloid pada manusia
bersifat racun bila dalam dosis yang sangat tinggi, tapi apabila dalam dosis kecil akan
aman bagi manusia (Simson & Molly, 1995).
Studi tanaman obat merupakan ilmu yang komplek, dan dalam pelaksanaanya
memerlukan pendekatan yang terpadu dari beberapa disiplin ilmu antara lain
taksonomi, ekologi, geografi tumbuhan, pertanian, sejarah, dan antropologi (Tamin &
Arbain, 1995), lingustik, kimia bahan alam, pharmakologi, ekologi tumbuhan,
antropologi dan ekonomi (Balick & Cox, 1996).
Melonjaknya harga obat sintetis dan efek sampingnya bagi kesehatan
meningkatkan kembali penggunaaan obat tradisional oleh masyarakat dengan
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar. Sebagai langkah awal yang
sangat membantu untuk mengetahui suatu tumbuhan berkhasiat obat adalah dari
pengetahuan masyarakat tradisional secara turun temurun (Dharma, 2001).
Pada era millenium ini, kecenderungan gaya hidup masyarakyat dunia adalah
back to nature. Hal ini mengakibatkan penggunaan metode tradisional tidak akan
ketinggalan zaman, contohnya di Barat, walaupun masyarakyat telah berpikiran dan
berbudaya dengan sangat maju dan modern, sampai sekarang ini kecenderungan
untuk menggunakan metode pengobatan dalam hal
penggunaan obat tradisional
(Dianawati & Irawan, 2001).
Pada tahun 1973, beberapa ilmuwan terkemuka berkumpul di Puslitbang
Biologi. Ilmuan yang berkumpul di antaranya tokoh permuseuman, para ahli ilmu
sosial, kemasyarakatan dan antropologi serta pakar-pakar botani Indonesia. Mereka
berkumpul untuk mematangkan gagasan pendirian sebuah museum yang bisa
menampung kekayaan etnobotani Indonesia. Pada 18 Mei 1982, bertepatan dengan
peringatan 165 tahun berdirinya kebun raya Bogor, Menristek Profesor B.J Habibie
meresmikan dibukanya museum ini. Gagasan pendirian museum datang dari Prof Dr
Sarwono Prawirohardjo yang saat itu menjabat ketua Majelis Ilmu Pengetahuan
Indonesia (sekarang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang pertama. Sarwono
menyadari bahwa perlu dibuat sebuah wadah untuk melestarikan pengetahuan lokal
Universitas Sumatera Utara
ratusan masyarakat daerah yang ada di Indonesia. Terpikirlah untuk membuat sebuah
museum etnobotani (Info Lingkungan, 2010).
2.4 Beberapa Penelitian Tumbuhan Obat
Akhir-akhir ini penelitian tentang jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi dan
diduga berpotensi sebagai obat gencar dilakukan. Penelitian tentang pengetahuan dan
pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat lokal telah banyak dilakukan di
Indonesia, diantaranya pemanfaatan suku Zingiberaceae sebagai obat tradisional oleh
masyarakat Lembak Delapan, Bengkulu (Siagian & Sunaryo, 1996). Selain itu,
penelitian tentang inventarisasi tumbuhan obat tradisional dan pemanfaatannya telah
dilakukan oleh Des (1993) di kotamadya Padang. Namun, penelitian tentang
pemanfaatan suku Zingiberaceae sebagai bahan obat tradisional dan kajian etnobotani
pada berbagai etnis di Kalimantan Selatan belum banyak dilakukan.
Menurut Sadjudin ( 2000) dalam Kuntorini (2005), mengemukakan bahwa
Kota Banjarbaru merupakan bagian dari propinsi Kalimantan Selatan dikenal sebagai
kota pendidikan, kota pemukiman, kota pemerintahan, kota jasa, industri dan
perdagangan sehingga dihuni oleh berbagai etnis yaitu antara lain etnik Jawa, Banjar,
Dayak, Madura, Bugis, Sunda, Batak daln lainnya. Diasumsikan dengan dihuni oleh
berbagai etnis tersebut maka masyarakat Banjarbaru kaya dengan khasanah
pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional
khususnya dari suku Zingiberaceae.
Universitas Sumatera Utara
Download